Anda di halaman 1dari 66

1.

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Produk perikanan yang sering dikonsumsi oleh masyarakat adalah ikan bandeng.
Menurut Saprianto (2007), potensi akuakultur air payau, yakni dengan sistem tambak di
pekirakan mencapai 931.000 ha dan hampir telah dimanfaatkan potensinya hingga 100% dan
sebagian besar digunakan untuk memelihara ikan bandeng (Chanos chanos) dan udang
(Pennaeus sp). Ikan bandeng merupakan suatu komoditas perikanan yang memiliki rasa
cukup enak dan gurih sehingga banyak digemari masyarakat, harganya juga terjangkau oleh
segala lapisan masyarakat. Ikan bandeng digolongkan sebagai ikan berpotensi tinggi dan
berkadar lemak rendah.
Salah satu bentuk pengolahan ikan adalah pembuatan otak-otak ikan, dimana daging
ikan dikerok kemudian dihaluskan dan dicampur dengan bahan-bahan, setelah itu kemudian
dikukus dan digoreng (Puspitaningati, 2016). Tujuan pengukusan adalah agar produk tidak
cepat membusuk. Ikan bandeng sebagai bahan mentah untuk diolah lebih lanjut memerlukan
persyaratan mutu kesegaran yang baik, sebab daya kesegarannya hanya beberapa jam saja,
namun bila ikan bandeng diolah dalam bentuk lain akan dapat dikonsumsi dalam waktu lebih
lama.
Otak-otak ikan merupakan olahan hasil perikanan yang mulai digemari masyarakat.
Otak-otak ikan memiliki kelebihan yaitu mempunyai cita rasa yang tinggi dan bernilai
ekonomis, Ikan bandeng sebagai bahan bakunya juga mempunyai banyak kandunan gizi.
Berdasarkan hal tersebut, maka penulis ingin mengetahui lebih banyak mengenai proses
pengolahan otak-otak ikan melalui Praktik Kerja Lapang IV di CV. Fania Food Yogyakarta.

1.2 Tujuan
Praktik Kerja Lapangan ini bertujuan untuk:
1) Melakukan proses pengolahan otak – otak ikan bandeng
2) Mengetahui mutu bahan baku dan produk akhir pada proses pembuatan otak – otak ikan
bandeng
3) Mengetahui rendemen pada proses pembuatan otak – otak ikan
4) Mengetahui penerapan rantai dingin dan suhu tinggi pada proses pengolahan otak – otak
ikan bandeng
5) Mengetahui kelayakan usaha pembuatan otak – otak ikan bandeng
6) Mengetahui kelayakan dasar di CV. Fania Food

1
1.3 Batasan Masalah
Praktik Kerja Lapangan ini dibatasi dengan batasan masalah:
1) Mengamati alur proses pembuatan otak – otak ikan mulai dari penerimaan sampai produk
akhir
2) Mengamati mutu bahan baku dan produk akhir pada proses pembuatan otak – otak ikan
3) Mengamati rendemen pada pembuatan otak – otak ikan mulai dari tahap penyiangan
sampai pengambilan daging
4) Mengamati penerapan rantai dingin dan suhu tinggi pada pembuatan otak – otak ikan
mulai dari penerimaan bahan baku sampai penyimpanan produk akhir
5) Mengamati kelayakan usaha pembuatan otak – otak ikan bandeng di CV. Fania Food
6) Mengamati kelayakan dasar GMP dan SSOP di CV. Fania Food

2
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Ikan Bandeng (Chanos chanos)
Ikan bandeng adalah ikan yang sering dijumpai di Indonesia. Ikan bandeng sering
dibudidayakan oleh orang Indonesia. Bandeng (Chanos chanos) di Asia Tenggara adalah ikan
yang populer dikonsumsi. Ikan bandeng merupakan spesies satu-satunya yang masih ada
dalam familia Chanidae. Bahasa Bugis dan Makasar dikenal sebagai ikan bolu, dan dalam
bahasa Inggris milkfish (Novianto, 2011 dalam Waryanti, 2013). Ikan bandeng memiliki
karakteristik berbadan langsing, sirip bercabang serta lincah di air, memiliki sisik seperti kaca
dan berdaging putih. Ikan bandeng memiliki keunikan, yaitu mulutnya tidak bergigi dan
makanannya adalah tumbuh-tumbuhan dasar laut. Panjang usus bandeng 9 kali panjang
badannya (Murtijo, 1989 dalam Waryanti, 2013). Ikan bandeng hidup di perairan pantai, muara
sungai, hamparan hutan bakau, lagon, daerah genangan pasang surut dan sungai. Ikan
bandeng dewasa biasanya berada di perairan littoral (Novianto, 2011 dalam Waryanti, 2013).
Pemijahan secara alami berlangsung dalam kelompok kecil tersebar di sekitar pantai dengan
karakteristik habitat perairan jernih, dasar perairan berpasir dan berkarang dengan kedalaman
antara 10-30 meter (Muslim, 2004 dalam Waryanti, 2013).

2.1.1 Klasifikasi Ikan Bandeng (Chanos chanos)


Ikan bandeng atau milkfish termasuk ikan yang sudah lama dikenal di Indonesia. Ikan
bandeng termasuk jenis ikan pelagis yang mencari makan di permukaan dan sering dijumpai
di daerah dekat pantai atau litoral. Ikan bandeng merupakan ikan bertulang keras (Teleostei)
dengan habitat di perairan payau. Diantara genus-nya, ikan bandeng hanya terdapat satu
spesies, yaitu ikan bandeng (Chanos chanos). Klasifikasi ikan bandeng menurut Nelson
(1984) dapat dipaparkan sebagai berikut :
Filum : Chordata
Kelas : Pisces
Sub kelas : Teleostei
Ordo : Gonorhynchiformes
Famili : Chanidae
Genus : Chanos
Spesies : Chanos chanos

3
Gambar 1. Ikan Bandeng (Chanos chanos)
Sumber : Adelaide (2011)

2.1.2 Morfologi Ikan Bandeng (Chanos chanos)


Ikan bandeng ini mempunyai ciri-ciri morfologi bentuk tubuh langsing mirip terpedo,
dengan moncong agak runcing, ekor bercabang dan sisiknya halus. Warnanya putih
gemerlapan seperti perak pada tubuh bagian bawah dan agak gelap pada punggungnya
(Mudjiman, 1998). Ikan bandeng memiliki tubuh yang panjang, ramping, padat, pipih, dan oval.
menyerupai torpedo. Perbandingan tinggi dengan panjang total sekitar 1 : (4,0-5,2).
Sementara itu, perbandingan panjang kepala dengan panjang total adalah 1 : (5,2-5,5)
(Sudrajat, 2008). Ukuran kepala seimbang dengan ukuran tubuhnya, berbentuk lonjong dan
tidak bersisik. Bagian depan kepala (mendekati mulut) semakin runcing (Purnomowati, dkk.,
2007).
Sirip dada ikan bandeng terbentuk dari lapisan semacam lilin, berbentuk segitiga,
terletak di belakang insang di samping perut. Sirip punggung pada ikan bandeng terbentuk
dari kulit yang berlapis dan licin, terletak jauh di belakang tutup insang dan, berbentuk
segiempat. Sirip punggung tersusun dari tulang sebanyak 14 batang. Sirip ini terletak persis
pada puncak punggung dan berfungsi untuk mengendalikan diri ketika berenang. Sirip perut
terletak pada bagian bawah tubuh dan sirip anus terletak di bagian depan anus. Terdapat sirip
ekor berukuran paling besar dibandingkan sirip-sirip lain di bagian paling belakang tubuh ikan
bandeng. Bagian ujungnya berbentuk runcing, semakin ke pangkal ekor semakin lebar dan
membentuk sebuah gunting terbuka. Sirip ekor ini berfungsi sebagai kemudi laju tubuhnya
ketika bergerak (Purnomowati, dkk., 2007).

2.1.3 Komposisi Gizi Ikan Bandeng (Chanos chanos)


Bandeng (Chanos chanos) merupakan salah satu komoditas yang strategis untuk
memenuhi kebutuhan protein yang relatif murah dan digemari oleh konsumen di Indonesia.
Pasaribu (2004) mengemukakan bahwa ikan bandeng diekspor dalam bentuk bandeng
umpan dan konsumsi. Bandeng sebagai bahan pangan, merupakan sumber zat gizi yang
penting bagi proses kelangsungan hidup manusia. Pamijiati (2009) menyatakan bahwa ikan

4
bandeng banyak digemari oleh sebagian besar masyarakat Indonesia karena memiliki
kandungan gizi tinggi dan protein yang lengkap dan penting untuk tubuh. Zat gizi utama pada
ikan antara lain protein, lemak, vitamin dan mineral. Zat gizi ini tidak akan bernilai tinggi dan
turun mutunya apabila tidak ditangani dengan baik setelah penangkapan atau pemanenan.
Kandungan gizi pada setiap ikan akan berbeda beda tergantung pada faktor internal
dan eksternal. Faktor internal berupa jenis atau spesies ikan, jenis kelamin, umur dan fase
reproduksi pada ikan. Faktor eksternal berupa faktor yang ada pada lingkungan hidup ikan
berupa habitat, ketersediaan pakan dan kualitas perairan tempat ikan hidup. Habitat ikan
berpengaruh terhadap kandungan kimia di dalam dagingnya seperti proksimat, asam amino
dan asam lemak. Menurut USDA National Nutrient Database for Standard Reference (2009),
ikan bandeng mempunyai nutrisi yang lengkap, terdiri dari proksimat, mineral lemak dan asam
amino yang bermanfat bagi pemenuhan nutrisi manusia, dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Nutrisi Ikan Bandeng (100 gr daging)
Nutrisi Unit Nilai
Proksimat
Air gr 70.85
Energi kcl 148
Energi kj 619
Protein gr 20.53
Lemak gr 6.73
Abu gr 1.14
Karbohidrat gr 0.00
Fiber,total diet gr 0.0
Mineral
Kalsium,ca mg 51
Besi. fe mg 0.32
Magnesium, mg mg 30
Fosfor,p mg 162
Kalium mg 292
Natrium,na mg 72
Seng,zn mg 0.82
Tembaga,cu mg 0.034
Mangan,mn mg 0.020
Selesnium,se mg 12.6

5
Lanjutan
Nutrisi Unit Nilai
Vitamins
Thiamin mg 0.013
Robolvafin mg 0.054
Niacin mg 6.440
Pantothenic acid mg 0.750
Vitamin B6 mg 0.423
Folate,total mcg 16
Asam folat mcg 0
Folate food mcg 16
folateDFE mcg_dfe 16
vitamin B12 mcg 3.40
vitamin A,RAE mcg_rae 30
retinol mcg 30
Vitamin A,IU iu 100
Lemak
Asam lemak,total saturated gr 1.660
Asam lemak,total gr 2.580
monounsaturated gr 1.840
Asam lemak, total mg 52
poliyunsaturated
Kolesterol
Asam amino
Tryptophan gr 0.230
Threonin gr 0.900
Isoleousin gr 0.946
Leusin gr 1.669
Lisin gr 1.886
Methionin gr 0.608
Sistin gr 0.220
Phenylalanin gr 0.802
Tyrosin gr 0.693
Valin gr 1.058
Sumber : USDA National Nutrient Database for Standard Reference (2009)

2.2 Otak – Otak Ikan


Otak-otak ikan merupakan diversifikasi produk olahan hasil perikanan yang sudah
lama dikenal oleh masyarakat luas. Proses pengolahan otak-otak harus dilakukan dengan
tepat supaya menghasilkan produk yang berkualitas. Penanganan bahan baku dan
pengolahan yang kurang tepat seringkali berpengaruh terhadap mutu produk yang dihasilkan.
Proses pengolahan otak-otak ikan menggunakan bahan baku daging ikan yang telah
dilumatkan dan ditambahkan dengan bahan tambahan pangan yang dicampurkan selama
proses pengolahan berlangsung. Otak-otak ikan merupakan produk emulsi dimana sistem
emulsi pada otak-otak mudah rusak dikarenakan sistem emulsi yang tidak stabil (Putra et al.,
2015). Pengolahan otak-otak dilakukan dengan cara pengukusan, pemanggangan, dan
penggorengan (Nurjanah, 2005).

6
Menurut Agustini et al. (2006) dalam Putra et al. (2015), otak-otak ikan merupakan
produk gel dari daging ikan yang dicampur dengan tapioka dan bumbu-bumbu seperti garam,
gula, santan kental, bawang putih, bawang merah, dan lada. Produk otak-otak ikan berasal
dari daerah Sumatra, kemudian berkembang ke daerah lain. Produk otak-otak ikan yang
paling terkenal adalah otak-otak ikan terbuat dari ikan tenggiri. Fungsi teknologi pembuatan
otakotak ikan adalah sebagai upaya diversifikasi produk olahan ikan berbentuk gel yang
diharapkan memiliki nilai tambah (Putra et al., 2015). Tujuan dari pembuatan otak-otak adalah
untuk mendapatkan produk gel yang memiliki cita rasa khas dan digemari oleh masyarakat.
Produksi otak-otak ikan dapat dilakukan dalam skala rumah tangga maupun industri.
Otak-otak merupakan modifikasi produk olahan antara bakso dan kamaboko, yang
terbuat dari ikan berdaging putih dengan penambahan tepung, santan, putih telur dan
bumbunya, yang dibungkus memanjang dengan daun kemudian dimasak sesuai dengan
selera bisa dikukus dipanggang dan digoreng (Karim et al., 2013). Pembuatan otak-otak tidak
jauh berbeda dengan pembuatan makanan yang berbahan dasar surimi, seperti bakso,
nugget, sosis, empek-empek, dan lain-lain. Ikan yang biasa digunakan untuk membuat otak-
otak adalah ikan laut.

2.3 Teknik Penanganan dan Pengolahan Otak-Otak Ikan Bandeng


2.3.1 Persyaratan Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan otak-otak ikan dapat terbuat dari
berbagai macam bentuk yang berasal dari ikan segar, ikan beku, lumatan daging ikan, dan
surimi dengan mutu sesuai spesifikasi. Bahan baku yang digunakan juga harus berasal dari
perairan yang bersih dan tidak tercemar. Mutu bahan baku dalam pembuatan otak-otak ikan
harus sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI). Bahan baku dalam pembuatan otak-
otak ikan di UPI tersebut menggunakan ikan segar dengan mengacu pada SNI 2729:2013.
Ikan segar secara organoleptik mempunyai karakteristik :
Kenampakan : mata cerah, cemerlang
Bau : segar spesifik jenis
Tekstur : elastis, padat dan kompak

7
Tabel 2. Persyaratan Mutu dan Keamanan Ikan Segar Menurut SNI 2729:2013
Parameter uji Satuan Persyaratan
a Organoleptik - Min. 7 (Skor 1 – 9)
b Cemaran mikroba*
- ALT
- Escherichia coli
Koloni/g 5,0 x 105
APM/g <3
- Salmonella
- Negatif/25 g
- Vibrio cholera
- Negatif/25 g
- Vibrio
APM/g <3
parahaemolyticus
c Cemaran logam*
mg/kg Maks. 1,0
- Arsen (As)
mg/kg Maks. 0,1
- Kadmium (Cd)
mg/kg Maks. 0,5 **
mg/kg Maks. 0,5
- Merkuri (Hg)
mg/kg Maks. 1,0 **
mg/kg Maks. 40,0
- Timah (Sn)
mg/kg Maks. 0,3
- Timbal (Pb)
mg/kg Maks. 0,4 **
d Kimia*
- Histamin*** mg/kg Maks. 100
e Residu kimia*
- Kloramfenikol****
- Tidak boleh
- Malachite green dan
- Tidak boleh
leuchomalachite
green****
- Nitrofuran (SEM, AHD,
- Tidak boleh
AOZ, AMOZ)****
f Racun Hayati*
- Ciguatoksin***** - Tidak boleh
g Parasit* - Tidak boleh
CATATAN * Bila diperlukan
** untuk ikan predator
*** untuk ikan scombroidae (scombroid), clupeidae, pomatomidae,
coryphaenedae
**** untuk ikan hasil budidaya
***** untuk ikan karang
Sumber : BSN (2013)

2.3.2 Bahan Tambahan


1) Tepung tapioka
Tepung tapioka merupakan produk awetan kering yang terbuat dari ubi kayu atau
singkong, tepatnya adalah pati singkong yang dikeringkan, berwarna putih, bersih, lembut dan
licin. Tepung ini sering digunakan untuk membuat makanan dan sebagai bahan perekat.
Kualitas otak – otak tersebut berkurang jika kandungan tapioka dalam produk terlalu banyak
maka karena dapat mempengaruhi cita rasa dan aroma dari produk yang dihasilkan (Daniati,
2005).

8
2) Bahan Penyedap
Bahan penyedap berfungsi sebagai bahan penambah cita rasa dan penyedap agar
menjadi semakin enak. Penggunaan bahan tersebut diusahakan seminimal mungkin
dikarenakan dapat mempengaruhi produk otak-otak ikan tersebut, jika penggunaan bahan
penyedap terlalu banyak maka dapat menghilangkan rasa asli dari ikan yang menjadi bahan
utama dalam pembuatan otak-otak ikan.
3) Garam
Garam digunakan sebagai pemberi rasa pada produk otak-otak ikan. Penggunaan
garam dalam otak-otak ikan hanya 4-5% dari bahan utama yaitu daging ikan. Garam juga
digunakan untuk proses gelling yang menjadikan otak-otak ikan tersebut kenyal. Garam harus
diberikan pada awal penggilingan hal ini dilakukan untuk meningkatkan kerekatan pasta ikan
dalam proses pembentukan gel ikan, jika garam diberikan pada akhir penggilingan maka akan
menurunkan tingkat kerekatan gel ikan (Tanikawa, 1985).
4) Bahan Penghomogen (Air)
Air berfungsi sebagai bahan pelunak adonan atau menghomogenkan adonan.
Penggunaan air yang dianjurkan hanyalah sedikit, hal ini disebabkan karena adonan otak-
otak ikan telah mendapat air dari es yang digunakan selama proses pengadukan daging
dengan garam. Penggunaan air yang terlalu banyak dapat menyebabkan adonan menjadi
lembek sehingga sulit untuk pembentukan otak-otak ikan.
5) Telur
Telur dalam pembuatan otak-otak ikan berfungsi sebagai bahan pengempuk dan
sebagai bahan agar otak – otak ikan tersebut tidak menjadi keras. Telur juga berfungsi
sebagai penambah cita rasa pada otak-otak ikan. Telur yang digunakan adalah bagian putih
telur. Putih telur banyak mengandung protein sehingga dapat menambah kandungan gizi
pada otak-otak ikan. Telur juga dapat berfungsi sebagai bahan pengembang adonan pada
otak-otak ikan.
6) Es
Penggunaan es ini sangat penting dalam pembentukan tekstur otak-otak. Suhu dapat
dipertahankan agar tetap rendah dengan adanya es ini,sehingga protein daging tidak
terdenaturasi akibat gerakan mesin penggiling dan ekstraksi protein berjalan dengan baik.
Penggunaan es juga berfungsi untuk menambahkan air ke dalam adonan sehingga adonan
tidak kering selama pembentukan adonan maupun selama perebusan. Es batu dicampur
pada saat proses penggilingan, hal ini dimaksudkan agar selama proses pengilingan daya
elastisitas daging tetap terjaga sehingga otak-otak ikan yang dihasilkan akan lebih kenyal.
7) Rempah- rempah
Rempah–rempah yang ditambahkan bertujuan memberi aroma dan rasa yang dapat
membangkitkan selera makan. Jenis rempah–rempah yang digunakan adalah bawang merah,

9
bawang putih, cabe, kemiri, ketumbar, laos, sereh, dan daun salam. Manfaat lain dari
penggunaan rempah–rempah adalah sebagai pengawet karena beberapa jenis rempah dapat
membunuh bakteri.

2.3.3 Alur Proses


Alur proses pembuatan otak-otak ikan menurut SNI 7757:2013 meliputi penerimaan
bahan baku, sortasi, pencucian 1, penyiangan, pencucian 2, pengambilan daging, pelumatan
daging, pencampuran, pencetakan tanpa daun, perebusan, pendinginan, pembekuan,
pengemasan dan penimbangan, dan pemuatan.

Penerimaan Bahan Baku


Bahan baku yang diterima di unit pengolahan harus diuji secara organoleptik untuk
mendapatkan bahan baku sesuai dengan spesifikasi dan mengetahui mutunya, kemudian
ditangani secara cepat, cermat dan saniter dengan mempertahankan suhu dingin (0°C – 5°C).

Sortasi
Bahan baku harus dipisahkan berdasarkan mutu dan jenis agar mendapatkan bahan
baku yang sesuai dengan spesifikasi. Sortasi mutu dilakukan secara hati-hati, cepat, cermat
dan saniter dengan mempertahankan rantai dingin (0°C – 5°C).

Pencucian 1
Bahan baku dicuci menggunakan air mengalir secara cepat, cermat dan saniter dalam
kondisi suhu dingin (0°C – 5°C) agar bahan baku yang diperoleh bersih dan sesuai dengan
spesifikasi.

Penyiangan
Bahan baku yang digunakan harus dibersihkan bersihkan yaitu ikan disiangi dengan
cara membuang kepala, sisik dan isi perut. Penyiangan dilakukan secara cepat, cermat dan
saniter dan dalam kondisi suhu dingin (0°C – 5°C)

Pencucian 2
Kemunduran mutu pada ikan biasanya terjadi akibat kesalahan penanganan dan
kontaminasi bakteri karena kurangnya sanitasi dan hygiene dengan itu perlu adanya
pencucian ulang untuk mendapatkan bahan baku yang bersi, yaitu dengan cara bahan baku
dicuci dengan menggunakan air mengalir secara cepat, cermat dan saniter dalam kondisi
suhu dingin (0°C – 5°C)

10
Pengambilan Daging
Ikan diambil dagingnya secara cepat, cermat dan hati-hati untuk mendapatkan daging
ikan yang bersih dari duri, kulit dan sisik yang sesuai serta tetap mempertahankan suhu dingin
pada ruang proses agar tidak terjadinya kemunduran mutu pada dagig ikan.

Pelumatan Daging
Daging ikan dilumatkan dengan alat pelumat daging (mincer) dan dilakukan secara
cepat, cermat, dan saniter serta tetap mempertahankan suhu dingin untuk mendapatkan
lumatan daging sesuai spesifikas.

Pencampuran
Proses pencampuran adonan bertujuan untuk mendapatkan adonan baik dan rata
yaitu dengan cara lumatan daging dimasukkan ke dalam alat pencampur, ditambahkan garam
dan dicampur hingga mendapatkan adonan yang lengket (sticky), selanjutnya dilakukan
penambahan bumbu lainnya, dicampur sampai homogen, secara cepat, cermat dan saniter
dalam kondisi suhu dingin.

Pencetakan Tanpa Daun


Pembentukan atau pencetakan adonan dilakukan untuk mendapatkan bentuk adonan
yang diinginkan atau sesuai dengan spesifikasi adonan dapat dibentuk dengan atau tanpa
bungkus daun secara manual atau dengan mesin pencetak sesuai spesifikasi, secara cepat,
cermat dan saniter.

Perebusan
Pertumbuhan bakteri dan cacat mutu biasanya disebabkan karena suhu dan
pemasakan yang tidak sesuai untuk mendapatkan mutu dan keamanan otak-otak ikan sesuai.
otak-otak ikan direbus atau dipanggang sesuai dengan suhu dan waktu yang ditentukan.

Pendinginan
Otak-otak ikan yang telah direbus didinginkan dengan cara ditiriskan atau dibantu
dengan blower atau kipas angin, dilakukan secara cermat dan saniter yang bertujuan untuk
menurunkan suhu pada otak-otak ikan.

Pembekuan
Pembekuan yang tidak sempurna dapat mengakibatkan kemunduran mutu, untuk itu
perlu dilakukan pembekuan agar dapat mempertahankan mutu. Pembekuan dilakukan

11
dengan cara otak-otak ikan yang telah didinginkan disusun dalam pan sedemikian rupa di
dalam alat pembeku agar udara dingin tersebar merata, dilakukan secara cermat dan saniter.

Pengemasan dan Penimbangan


Otak-otak ikan dikemas dan ditimbang sesuai spesifikasi serta dilakukan secara cepat,
cermat dan saniter agar otak-otak ikan terlindungi dari kerusakan dan kontaminasi mikroba
serta mendapatkan otak-otak ikan yang sesuai dengan spesifikasi.

Penyimpanan Beku
Kemunduran mutu karena kesalahan penanganan dan pertumbuhan bakteri akibat
kurangnya sanitasi dan hygiene dapat menurunkan mutu dan menyebabkan teradinya
pertumbuhan bakteri pathogen, oleh karena itu produk harus disimpan dalam suhu dan
fluktuasi sesuai dengan spesifikasi.

Pemuatan
Produk dalam kemasan dimuat dalam alat transportasi agar terhindar dari penyebab
yang dapat merusak atau menurunkan mutu produk, yang bertujuan untuk mendapatkan
produk yang aman dikonsumsi dan melindungi produk dari kerusakan fisik selama pemuatan.

2.3.4 Persyaratan Produk Akhir


Tabel 3. Persyaratan Mutu dan Keamanan Otak – Otak Ikan Menurut SNI 7757:2013
Parameter uji Satuan Persyaratan
a Sensori - Min. 7 (Skor 3 – 9)
b Kimia
- Kadar air % Maks 60,0
- Kadar abu % Maks 2,0
- Kadar protein % Min 5,0
- Kadar lemak % Maks 16,0
c Cemaran mikroba*
- ALT Koloni/g Maks 5 x 104
- Escherichia coli APM/g <3
- Salmonella - Negatif/25 g
- Vibrio cholerae* - Negatif/25 g
- Staphylococcus aureus koloni/g Maks 1,0 x 102
d Cemaran logam*
- Kadmium (Cd) mg/kg Maks 0,1
- Merkuri (Hg) mg/kg Maks 0,5
- Timbal (Pb) mg/kg Maks 0,3
- Arsen (As) mg/kg Maks 1,0
- Timah (Sn) mg/kg Maks 40,0
e Cemaran Fisik
- Filth - 0
CATATAN * bila diperlukan
Sumber : BSN (2013)

12
2.4 Penerapan Rantai Dingin
2.4.1 Pendinginan
Definisi Pendinginan
Pendinginan adalah penyimpanan bahan pangan diatas suhu pembekuan bahan yaitu
-2 sampai 10 °C. Pendinginan yang biasa dilakukan sehari-hari dalam lemari es adalah pada
suhu 5-8 °C (Winarno, 1993 dalam Puspita, 2014). Pendinginan dan pembekuan juga akan
berbeda pengaruhnya terhadap rasa, tekstur, nilai gizi dan sifat-sifat lain dari bahan pangan.
Pendinginan merupakan cara yang sudah umum bagi pengawetan makanan yang sifatnya
sementara. Faktor yang kritis dalam pendinginan adalah temperatur, kelembaban relatif,
ventilasi dan penggunaan cahaya ultra violet (Apandi, 1974 dalam Puspita, 2014).
Penyimpanan pada suhu rendah dapat menghambat kerusakan makanan, antara lain
kerusakan fisiologis, kerusakan enzimatis maupun kerusakan mikrobiologis. Pengawetan
dengan suhu rendah dibedakan antara pendinginan dan pembekuan. Pendinginan dan
pembekuan merupakan salah satu cara pengawetan yang tertua. Pendinginan atau refrigerasi
ialah penyimpanan dengan suhu rata-rata yang digunakan masih di atas titik beku bahan.
Kisaran suhu yang digunakan biasanya antara -1°C sampai 4°C. Pertumbuhan bakteri dan
proses biokimia akan terhambat pada suhu tersebut.
Pendinginan biasanya akan mengawetkan bahan pangan selama beberapa hari atau
beberapa minggu, tergantung kepada jenis bahan pangannya. Pendinginan yang biasa
dilakukan di rumah-rumah tangga adalah dalam lemari es yang mempunyai suhu -2°C sampai
16°C (Rusendi, 2010 dalam Puspita, 2014). Tujuan penyimpanan suhu dingin (cold storage)
adalah untuk mencegah kerusakan tanpa mengakibatkan pematangan abnormal atau
perubahan yang tak diinginkan sehingga mempertahankan komoditas dalam kondisi yang
dapat diterima oleh konsumen selama mungkin (Tranggono, 1990 dalam Puspita, 2014).
Pendinginan atau refrigerasi adalah proses pengambilan panas dari suatu bahan
sehingga suhunya akan menjadi lebih rendah dari sekelilingnya. Suatu medium pendingin
kontak dengan benda lain misalnya bahan pangan, maka akan terjadi pemindahan panas dari
bahan pangan tersebut ke medium pendingin sampai suhu keduanya sama atau hampir
sama. Pendinginan telah lama digunakan sebagai salah satu upaya pengawetan bahan
pangan, karena dengan pendinginan tidak hanya cita rasa yang dapat dipertahankan, tetapi
juga kerusakan-kerusakan kimia dan mikrobiologis dapat dihambat.

Teknik Pendinginan
Cara penanganan ikan mati agar kesegaran tetap maksimal adalah dengan
menurunkan suhu tubuh ikan (pendinginan), semakin besar panas ikan yang di serap maka
suhu ikan akan semakin rendah. Proses-proses biokimia yang berlangsung dalam tubuh ikan

13
yang mengarah pada kemunduran mutu ikan menjadi lebih lambat pada suhu rendah (dingin
atau beku). Teknik pendinginan dengan berbagai media (Aditya, 2015) di antaranya:
1) Pendinginan Ikan dengan Menggunakan Es
Es yang digunakan sebagai media pendingin sebaiknya dibuat dari air bersih sebagai
mana persyaratan untuk air minum. Es yang digunakan untuk media pendingin mempunyai
suhu antara -12˚C sampai -18˚C (es “matang”). Es yang matang memiliki beberapa sifat :
a) Butiran-butiran es nya lebih kecil bila di hancurkan
b) Waktu peleburannya lebih lama
c) Tidak mudah membentuk masa padat seperti es biasa
2) Pendinginan Ikan Menggunakan Es Ditambah Garam
Media pendinginan es yang di tambah garam (NaCl) juga banyak digunakan dalam
penanganan ikan segar. Media pendinginan ini terutama digunakan oleh para pedagang
pengecer ikan untuk menyimpan ikan yang tidak terjual pada penjualan hari pertama. Es yang
ditambah garam dapat menyerap panas dari tubuh ikan lebih besar dari pada media es saja
3) Pendinginan Ikan Menggunakan Es Ditambah Es Kering (CO2 Padat)
Penggunaan media pendingin es ditambah es kering dalam penanganan ikan segar
masih terbatas di kalangan tertentu saja. Penggunaan es ditambah es kering hanya untuk
pengangkutan udang windu dan jenis ikan bernilai eknomis tinggi saja, hal ini disebabkan
harga es kering masih relatif mahal.
4) Pendinginan Ikan Menggunakan Air Dingin
Air dingin merupakan media pendingin yang memanfaatkan air yang didinginkan untuk
menyerap panas. Air mempunyai kemampuan lebih besar daripada es untuk bersinggungan
atau melakukan kontak langsung dengan seluruh permukaan ikan sebagai media pendingin.
Media air dingin ini dapat menyerap panas lebih besar dari dalam tubuh ikan sehingga tubuh
ikan lebih cepat dingin.

Jenis-Jenis Es
1) Es Curai
Es curai merupakan es yang berbentuk butiran-butiran yang sangat halus dengan
diameter 2 mm dan tekstur lembek, umumnya sedikit berair. Es ini lebih cepat meleleh
sehingga proses pendinginan lebih cepat terjadi (perlu disimpan dan diangkut di dalam kotak
yang berinsulasi atau jika memungkinkan dengan mesin pendingin. Ukuran es yang semakin
kecil menyebabkan ikan akan lebih cepat dalam proses pendinginannya. Es curai lebih mudah
penggunaannya, tidak perlu dihancurkan dulu sebelum digunakan sedangkan kelemahan es
curai memerlukan ruang penyimpanan yang lebih besar, karena permukaan es lebih luas dan
banyak rongga udara, meleleh lebih cepat karena dalam proses pembuatannya kurang dari
titik beku (Adawyah 2007 dalam Napitupulu, 2017). Es curai (small ice atau fragmentary ice)

14
adalah istilah yang diberikan pada banyak es yang dibuat dalam bentuk kepingan kecil, yang
dalam perdagangan dikenal dengan nama es keping (flake ice), es potongan atau es lempeng
(slice ice), es tabung (tube ice), es kubus (cube ice), es pelat (plate ice), es pita (ribbon ice)
dan lain-lain (Ilyas 1998 dalam Napitupulu, 2017).
2) Es Balok
Es balok merupakan es yang berbentuk balok berukuran 12-60 kg/balok. Es ini adalah
jenis es yang paling banyak atau umum untuk digunakan dalam pendinginan ikan karena
harganya murah dan mudah dalam pengangkutannya. Es balok lebih lama mencair dan
menghemat penggunaan tempat pada palka, es balok ditransportasikan dan disimpan dalam
bentuk balok dan dihancurkan bila akan digunakan (Napitupulu, 2017).

2.4.2 Pembekuan
Definisi Pembekuan
Pembekuan merupakan salah satu metode pengawetan pangan, dimana produk
pangan diturunkan suhunya sehingga berada dibawah suhu bekunya, terjadi pelepasan
energi (panas sensible dan panas laten) selama pembekuan. Pembekuan menurunkan
aktivitas air dan mengehntikan aktivitas mikroba (bahkan beberapa dirusak, reaksi enzimatis,
kimia dan biokimia, dengan demikian produk beku dapat memiliki daya awet yang lama
(Kusnandar, 2010 dalam Puspita, 2014). Suhu produk pangan menurun hingga di bawah titik
bekunya selama pembekuan, dan sebagian dari air berubah wujud dari fase cair ke fase padat
dan membentuk kristal es. Adanya kristalisasi air ini menyebabkan mobilitas air terba-tas
sehingga aktivitas air pun menurun. Penurunan aktivitas air ini berpengaruh pada
penghambatan pertumbuhan mikroba, serta reaksi-reaksi kimia dan biokimia yang
mempengaruhi mutu dan keawetan produk pangan, dengan demikian pengawetan oleh
proses pembekuan disebabkan oleh adanya kombinasi penurunan suhu dan penurunan
aktivitas air (Kusnandar, 2010 dalam Puspita, 2014). Suhu yang digunakan untuk
membekukan bahan pangan umumnya dibawah -2°C. Pembekuan bahan pangan biasanya
digunakan untuk pengawetan bahan dan produk olahan yang mudah rusak (biasanya memiliki
kadar air atau aktivitas air yang tinggi) seperti buah, sayur, ikan, daging dan unggas. Sebagian
besar air yang ada di dalam bahan pangan (90%-95%) membeku pada suhu beku
(Kusnandar, 2010 dalam Puspita, 2014).
Proses pembekuan terjadi secara bertahap dari permukaan sampai pusat bahan.
Pembekuan berlangsung cepat pada permukaan bahan, sedangkan pada bagian yang lebih
dalam, proses pembekuan berlangsung lebih lambat. Terjadi fase precooling pada awal
proses pembekuan dimana suhu bahan diturunkan dari awal ke suhu titik beku, pada tahap
ini semua kandungan air bahan berada dalam keadaan cair. Tahap perubahan fase terjadi

15
setelah tahap precooling, pada tahap ini terjadi pembentukan kristal es (Heldman dan Singh,
1981 dalam Puspita, 2014). Laju pembekuan ada dalam 3 golongan yaitu :
1) Pembekuan lambat, jika waktu pembekuan adalah 30 menit atau lebih untuk 1 cm bahan
yang dibekukan
2) Pembekuan sedang, jika waktu pembekuan adalah 20-30 menit atau lebihuntuk 1 cm bahan
yang dibekukan
3) Pembekuan cepat jika waktu pembekuan adalah kurang dari 20 menit untuk 1 cm bahan
yang dibekukan. Prinsip dasar dari semua proses pembekuan cepat adalah cepatnya
pengambilan panas dari bahan pangan (Rohanah, 2002 dalam Puspita, 2014).

Prinsip Pembekuan
Prinsip pembekuan suatu bahan adalah penurunan suhu bahan tersebut sampai di
bawah titik bekunya, sehingga air di dalam bahan akan membeku. Pembekuan didasarkan
pada dua prinsip menurut Syamsir (2008) dalam Dewayani (2016) yaitu :
1) Suhu yang sangat rendah menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan
memperlambat aktivitas enzim dan reaksi kimiawi.
2) Pembentukan kristal es yang menurunkan ketersediaan air bebas di dalam pangan
sehingga pertumbuhan mikroorganisme terhambat. Proses blansir perlu dilakukan
sebelum pembekuan untuk menginaktifkan enzim penyebab pencokelatan pada beberapa
bahan pangan. Pangan yang akan dibekukan diletakkan di dalam freezer pada skala
domestik, dimana akan terjadi proses pindah panas yang berlangsung secara konduksi
(untuk pengeluaran panas dari produk).
Proses ini berlangsung selama beberapa jam, tergantung pada kondisi bahan pangan
yang akan dibekukan, di industri pangan telah dikembangkan metode pembekuan lainnya
untuk mempercepat proses pembekuan yang memungkinkan produk membeku dalam waktu
yang pendek. Pembekuan cepat akan menghasilkan kristal es berukuran kecil sehingga akan
meminimalkan kerusakan tekstur bahan yang dibekukan (Syamsir, 2008 dalam Dewayani,
2016).

Alat Pembekuan
Alat-alat pembekuan dapat dibedakan dalam dua hal yaitu diantaranya :
1) Air Blast Freezer
Keuntungan utama freezer ini adalah keluwesannya dalam membekukan berbagai
produk, dapat mengatasi berbagai ragam bentuk produk. Air blast freezer ini dapat
membekukan dengan berbagai macam bentuk dan ukuran yang beragam. Pemakai sulit

16
memastikan pekerjaan yang harus dilakukan karena keluwesan ini. Sekali freezer ini
dipasang, orang cenderung untuk menggunakannya secara tidak benar dan tidak efisien.
Keuntungan pembekuan dengan metode ini adalah terjadinya proses pengeringan
pada produk, apalagi bila tidak dikemas seperti halnya udang utuh, untuk itu pengawasannya
harus baik termasuk pencegahan penggembungan kemasan-kemasan tersebut.
Kelebihannya dapat dipakai untuk membekukan produk yang berbeda besarnya, ukuran dan
jenisnya dalam waktu yang bersamaan (Moeljanto, 1992 dalam Hidayah, 2008).
2) Contact Plate Freezer
Plate freezer dan air blast freezer adalah dua jenis freezer yang paling banyak dipakai
untuk pembekuan. Plate freezer tidak luwes dalam penggunaannya, hanya dapat dipakai
untuk membekukan produk yang berbentuk blok. Plate freezer dapat dirancang dengan pelat-
pelat mendatar untuk membentuk rak-rak, dan disebut horizontal plate freezer. Plate freezer
yang modern menggunakan pelat-pelat dari bahan alumunium yang diekstruksi sedemikian
rupa hingga didalamnya terdapat alur-alur untuk mengalirkan bahan pendingin. Kedua sisi
pelat dapat dimanfaatkan untuk pembekuan. Model yang kuno menggunakan pelat hampa
yang didalamnya berisi pipa-pipa untuk menyalurkan bahan pendingin.
Zaman sekarang, semua plate freezer dilengkapi dengan sistem hidrolik untuk
merapatkan pelat-pelat dengan maksud untuk memanfaatkan produk dan untuk
menghasilkan blok yang lebih padat. Manfaat lain dari langkah-langkah ini ialah meningkatkan
kontak antara udang dengan pelat pembeku sehingga pembekuan dapat berlangsung lebih
cepat, dan untuk mempermudah melepaskan blok setelah pembekuan.

Metode Pembekuan
Metode pembekuan udang yang lazim digunakan adalah sebagai berikut (Hadiwiyoto
1993 dalam Saulina, 2009):
1) Air Blast Freezing (ABF)
Metode pembekuan ini dilakukan dengan cara menempatkan produk pada rak-rak
pembeku di dalam ruang pembekuan, kemudian udara bersuhu rendah dihembuskan ke
sekitar produk yang disimpan pada rak-rak pembekuan tersebut. Prinsip dari teknik ini adalah
pembekuan dilakukan dengan menghembuskan udara dingin melewati pipa-pipa pendingin
ke permukaan produk dengan kecepatan yang tinggi.
2) Contact Plate Freezing (CPF)
Prinsip teknik pembekuan ini yaitu kontak langsung produk dengan plat logam
evaporator yang dapat digerakkan, sehingga terjadi perpindahan panas yang cepat dari
produk ke plat logam tersebut.

17
3) Individually Quick Freezing (IQF)
Pembekuan dengan IQF bertujuan agar tiap udang menjadi beku tanpa menempel
satu sama lain. Proses pembekuan dengan Metode IQF biasanya berjalan dengan cara terus
menerus (continous) dan tidak terpotong-potong (batch process).
4) Immersion Freezing
Metode pembekuan ini adalah dengan mencelupkan produk ke dalam cairan yang
dingin. Larutan yang biasa digunakan adalah garam (NaCl), campuran gliserol, larutan alkohol
atau larutan gula.
5) Cryogenic Freezing
Prinsip teknik pembekuan ini adalah kontak langsung antara bahan cair kriogenik
dengan produk, dengan cara mencelupkan produk ke dalam nitrogen cair atau karbondioksida
cair.
6) Spray Freezing
Pembekuan dengan cara penyemprotan bahan pendingin berbentuk cairan.
7) Pembekuan konvensional
Cara pembekuannya menggunakan alat pendinginan sederhana yang tradisional atau
konvensional sifatnya.

2.5 Pengolahan Suhu Tinggi


1) Blanching
Blanching merupakan suatu cara pemanasan pendahuluan atau perlakukan
pemanasan tipe pasteurisasi yang dilakukan pada suhu kurang dari 100°C selama beberapa
menit, dengan menggunakan air panas atau uap. Suhu yang digunakan biasanya sekitar 82-
93°C selama 3-5 menit. Contoh blanching misalnya mencelupkan sayuran atau buah dalam
air mendidih selama 3-5 menit atau mengukusnya selama 3-5 menit. Tujuan utama blanching
ialah menginaktifkan enzim diantaranya enzim peroksidase dan katalase, walaupun sebagian
dari mikroba yang ada dalam bahan juga turut mati (mengurangi jumlah mikroba),
menghilangkan beberapa substansi pada bahan pangan yang dapat menyebabkan adanya
off flavor (flavor yang tidak diinginkan), mempertahankan warna alami dari bahan pangan.
2) Pasteurisasi
Pasteurisasi adalah suatu proses pemanasan yang dilakukan pada suhu kurang dari
100°C, tetapi dengan waktu yang bervariasi dari beberapa detik sampai beberapa menit
tergantung pada tingginya suhu yang digunakan. Semakin tinggi suhu pasteurisasi, semakin
singkat waktu yang dibutuhkan untuk pemanasannya. Tujuan utama dari proses pasteurisasi
adalah untuk menginaktifkan sel-sel vegetatif mikroba patogen, mikroba pembentuk toksin
maupun kiroba pembusuk atau penyebab penyakit seperti bakteri penyebab TBC, disentri,

18
diare dan penyakit perut lainnya. Pasteurisasi juga bertujuan untuk mengurangi populasi
bakteri sehingga memperpanjang daya simpan (Abubakar, 2008).
3) Sterilisasi
Sterilisasi merupakan salah satu cara pengolahan bahan pangan yang bersifat
mengawetkan. Sterilisasi juga merupakan istilah untuk setiap proses yang menghasilkan
kondisi steril dalam bahan pangan. Sterilisasi adalah cara atau langkah atau usaha yang
dilakukan untuk membunuh semua mikroba yang hidup dalam bahan pangan.
4) Perebusan
Perebusan adalah pemasakan makanan dengan cara memanaskan makanan dalam
air bersuhu sekitar 100°C. Perebusan biasanya dipakai untuk memasak daging dan sayur.
5) Penggorengan
Penggorengan adalah suatu operasi mengubah eating quality suatu makanan,
memberikan efek preservasi akibat destruksi termal pada mikroorganisme dan enzim, serta
mengurangi aktivitas air (aW) (Fellows, 1990). Shelf life makanan goreng hampir semuanya
ditentukan oleh kadar air setelah penggorengan. Panas yang diterima bahan dipergunakan
untuk berbagai proses dalam bahan, antara lain untuk penguapan air, gelatinisasi pati,
denaturasi protein, reaksi pencoklatan dan karamelisasi (Suyitno, 1991).
6) Pemanggangan
Pemanggangan merupakan proses pengolahan pangan yang digunakan untuk
mengubah mutu bahan pangan dengan cara mengurangi kadar air yang ada dalam bahan
pangan, menggunakan udara panas sebagai media panas. Memanggang merupakan proses
pengolahan makanan dengan cara pemanasan tidak langsung. Alat-alat yang biasa
digunakan dalam proses pemanggangan yaitu oven yang biasanya menggunakan suhu tinggi
yaitu antara suhu 180-200°C.
7) Penggorengan
Penggorengan merupakan salah satu metode memasak klasik untuk menghasilkan
produk yang kering dan bercita rasa khas. Bahan makanan menjadi kering karena ada proses
hidrasi sebagai akibat pindah panas dari minyak goreng ke bahan. Ciri dari produk goreng
adalah permukaannya kering dan menyerap minyak goreng. Produk goreng umumnya
mengandung proporsi resapan minyak goreng yang tinggi sebagai akibat kontak bahan
pangan dengan minyak goreng selama proses penggorengan.
Proses ini dilakukan dengan cara merendamkan produk pangan pada minyak goreng
bersuhu tinggi. Metode ini banyak digunakan di industri makanan ringan, industri mie instan,
nugget dan lain-lain. Keuntungan dari penggunaan deep fat frying antara lain metode
pemasakan yang cepat, mudah, menghasilkan tekstur yang menarik dan renyah serta
menghasilkan warna yang bagus. Kekurangan dari metode ini deep fat frying adalah lebih

19
berbahaya dari metode penggorengan lainnya jika tidak ditangani secara benar, minyak yang
digunakan dalam jumlah besar sehingga biayanya lebih tinggi.
8) Penyangraian
Penyangraian adalah proses pindah panas baik tanpa media maupun menggunakan
pasir dengan tujuan mendapatkan cita rasa tertentu, saat proses penyangraian, uap air yang
keluar dari bahan pangan pada saat penggorengan akan dilepaskan ke udara bebas
(Mawaddah, 2012). Penguapan air menyebabkan kadar air pada permukaan bahan pengan
yang digoreng menjadi rendah, yang menyebabkan tekstur yang renyah. Minyak juga akan
melepaskan hasil degradasi yang bersifat volatil ke udara.

2.6 Rendemen
Rendemen merupakan perbandingan antara berat akhir produk yang diinginkan
dengan berat semula. Rendemen dinyatakan dalam % berat, yang angkanya didapat
berdasarkan perhitungan berat awal dibagi berat bahan mentah yang dihasilkan, dikalikan
100. Tujuan dari perhitungan ini adalah untuk mengetahui berat bersih dari ikan yang
digunakan dalam optimalisasi produksi dibandingkan berat kotor yang tidak terpakai.
Faktor yang mempengaruhi rendemen antara lain adalah faktor ukuran ikan, serta
faktor kesegaran merupakan faktor utama. Semakin segar bahan baku, maka semakin mudah
dikerjakan karena daging masih elastis sehingga persentase yang diperoleh lebih tinggi, faktor
keahlian pekerja juga mempengaruhi besar kecilnya persentase rendemen ikan yang
dihasilkan karena masing-masing pekerja memiliki tingkat keahlian yang berbeda-beda pada
setiap tahapnya, selain itu karyawan yang tergolong ahli karena telah mempunyai
pengalaman dan mengikuti latihan, ketekunan dan ketelitian bekerja sehingga akan
menghasilkan rendemen yang lebih besar (Ilyas, 1993 dalam Hidayah, 2008).

2.7 Perhitungan Kelayakan Usaha


2.7.1 Analisis Keuangan
Analisis keuangan adalah analisis mengenai dua daftar yang disusun oleh akuntan
pada akhir periode untuk suatu perusahaan. Kedua daftar itu adalah daftar neraca/laporan
posisi keuangan dan daftar pendapatan atau daftar laba rugi. Laporan keuangan merupakan
salah satu informasi penting bagi para pemakai laporan keuangan dalam rangka pengambilan
keputusan ekonomi. Hasil analisis laporan keuangan akan mampu menginterpretasikan
berbagai hubungan dan kecenderungan yang dapat memberikan pertimbangan terhadap
keberhasilan perusahaan di masa datang.

20
Biaya Tetap (Fixed Cost)
Biaya tetap adalah biaya yang jumlahnya tetap, tidak tergantung kepada perubahan
tingkat kegiatan dalam menghasilkan keluaran atau produk didalam interval tertentu. Biaya
tetap penggunaannya tidak habis dalam satu masa produksi, antara lain: biaya penyusutan,
tenaga kerja langsung, sewa mesin, tenaga kerja tak langsung, bunga, dll (Umar 2005 dalam
Nurhasanah 2008).

Biaya Tidak Tetap (Variable Cost)


Biaya tidak tetap merupakan biaya yang jumlahnya beruba-ubah sesuai dengan
perubahan tingkat produksi. Biaya tidak tetap ini habis dalam satu kali produksi. Titik berat
dari biaya tidak tetap ini adalah jumlah dari biaya tidak tetap tersebut, bukan besarnya biaya
tidak tetap per unit (Umar 2005 dalam Nurhasanah 2008).

Total Pengeluaran
Total pengeluaran merupakan keseluruhan biaya yang harus dikeluarkan oleh
perusahaan untuk membeli semua keperluan baik barang dan jasa yang akan digunakan
dalam proses produksi demi menghasilkan suatu barang (Yuwandhana, 2018). Keseluruhan
jumlah biaya yang dikeluarkan terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel.

Penyusutan
Penyusutan adalah pengalokasian dari sebagian harga perolehan aset tetap
berdasarkan manfaat yang diestimasikan, atau beban yang dikeluarkan secara berkala
selama jangka waktu pemakaian dari aset tersebut. Biaya penyusutan aset tetap memiliki
pengaruh terhadap perolehan laba karena biaya penyusutan aset tetap merupakan salah satu
unsur biaya operasional sehingga besar atau kecil biaya penyusutan aset tetap akan
mempengaruhi perolehan laba pada suatu periode akuntansi (Wairooy, 2017).

2.7.2 Analisis Keuntungan


Laba/Rugi
Analisis laba/rugi diketahui dari selisih pendapatan dengan biaya variable dan biaya
tetap (Nurhasanah, 2008). Laporan laba/rugi adalah laporan yang menunjukkan jumlah
pendapatan yang diperoleh dan biaya–biaya yang dikeluarkan dalam suatu periode tertentu
(Kasmir dan Jakfar 2006 dalam Nurhasanah 2008). Menurut Efendi dan Oktariza (2006)
dalam Hengga (2009), analisa laba/rugi bertujuan untuk mengetahui besar keuntungan atau
kerugian dari usaha yang dikelola. Usaha yang menguntungkan akan memiliki nilai
penerimaan lebih besar dari total pengeluaran.

21
Benefit Cost Ratio (B/C Ratio)
Perhitungan B/C ratio lebih diletakkan pada kriteria-kriteria investasi yang
pengukurannya diarahkan pada usaha untuk memperbandingkan, mengukur serta
memperhitungkan tingkat keuntungan usaha perikanan. Perhitungan B/C Ratio ini untuk
menentukan kelayakan suatu usaha (Nurhasanah, 2008). Usaha tersebut belum
mendapatkan keuntungan bila nilainya 1, sehingga perlu dilakukan pembenahan, sebab
semakin kecil hasil perhitungan B/C Ratio ini maka perusahaan akan semakin menderita
kerugian (Raghardi 2001 dalam Nurhasanah 2008). Usaha dikatakan layak apabila
berdasarkan analisa B/C Ratio menunjukkan hasil >1.

Payback Period
Menurut Umar (2005) dalam Cahyadi (2009), payback period adalah suatu periode
yang diperlukan untuk menutup kembali pengeluaran investasi (intial cash investment)
dengan menggunakan aliran kas, dengan kata lain PP merupakan rasio antara intial cash
investment dengan cash flow-nya yang hasilnya merupakan satu waktu, selanjutnya nilai rasio
ini dibandingkan dengan maximum payback period yang dapat diterima.

Break Event Point (BEP)


Break Event Point adalah analisa untuk menghitung hubungan antara biaya tetap,
biaya variable, keuntungan dan biaya produksi (Wijaya, 2008). Break Event Point merupakan
suatu nilai dimana hasil penjualan produksi sama dengan biaya produksi sehingga
pengeluaran sama dengan pendapatan (Nurhasanah, 2008). Perhitungan BEP ini digunakan
untuk menentukan batas minimum volume penjualan agar suatu perusahaan tidak rugi.
Analisis BEP bertujuan menemukan satu titik baik dalam unit maupun rupiah yang
menunjukkan biaya sama dengan pendapatan. Sasaran analisis BEP tidak lain mengetahui
pada tingkat volume berapa titik inpas berada. Analisis BEP pun digunakan untuk membantu
pemilihan jenis produk atau proses dengan mengidentifikasi produk atau proses yang
mempunyai total biaya terendah untuk suatu volume (Nurhasanah, 2008).

2.8 Persyaratan Kelayakan Dasar Unit Pengolahan


Menurut Direktorat Pengolahan dan Bina Mutu (2017), sesuai dengan amanat
Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 tentang Perikanan, Pasal 20 ayat (3) bahwa setiap orang yang melakukan
penanganan dan pengolahan ikan wajib memenuhi dan menerapkan persyaratan kelayakan
pengolahan ikan, sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan, dan ayat (4) bahwa
setiap orang yang memenuhi dan menerapkan persyaratan kalayakan pengolahan ikan

22
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memperoleh Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP).
SKP diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (Dirjen
P2HP) sebagai hasil pembinaan terhadap Unit Pengolahan Ikan (UPI) baik skala besar
maupun skala UKM (Usaha Kecil Menengah) yang telah menerapkan Cara Pengolahan Yang
Baik (Good Manufacturing Practices/GMP) dan memenuhi persyaratan Prosedur Operasi
Sanitasi Standar (Standard Sanitation Operating Procedure/SSOP).

2.8.1 Persyaratan Fisik


Lokasi
Unit pengolahan harus berlokasi di daerah yang bebas dari kotoran yang bersifat
bakteriologis, biologis, fisis dan kimia sehingga tidak menimbulkan penularan dan kontaminasi
terhadap produk dan bahaya bagi masyarakat. Persyaratan fisik lokasi unit pengolahan harus
bebas dari pencemaran. Sumber-sumber pencemaran meliputi sebagai berikut :
1) Sawah/rawa
2) Tempat pembuangan sampah
3) Lokasi padat penduduk
4) Dekat industri yang menyebabkan pencemaran udara dan air
5) Tempat penumpukan barang bekas
6) Dekat gudang pelabuhan
7) Pekarangan yang tidak terpelihara
8) Sistem saluran pembuangan air yang kurang baik
Menurut Taufiqullah (2018), lokasi unit pengolahan secara umum harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1) Unit pengolahan harus jauh dari daerah lingkungan yang tercemar atau daerah tempat
kegiatan industri yang menimbulkan pencemaran terhadap pangan olahan.
2) Jalan menuju unit pengolahan seharusnya tidak menimbulkan debu atau genangan air,
dengan disemen, dipasang batu atau paving block dan dibuat saluran air yang mudah
dibersihkan.
3) Lingkungan unit pengolahan harus bersih dan tidak ada sampah teronggok.
4) Unit pengolahan seharusnya tidak berada di daerah yang mudah tergenang air atau
daerah banjir.
5) Unit pengolahan seharusnya bebas dari semak-semak atau daerah sarang hama.
6) Unit pengolahan seharusnya jauh dari tempat pembuangan sampah umum, limbah atau
pemukiman penduduk kumuh, tempat rongsokan dan tempat-tempat lain yang dapat
menjadi sumber cemaran.

23
Bangunan
Hal utama yang perlu diperhatikan dalam unit pengolahan yang baik, adalah konstruksi
bangunannya. Menurut Taufiqullah (2018), bangunan secara umum harus memenuhi hal-hal
berikut ini :
1) Bangunan dan ruangan sesuai persyaratan teknik dan higiene (jenis makanan yang
diproduksi dan urutan proses)
2) Mudah dibersihkan, mudah dilakukan kegiatan sanitasi, mudah dipelihara dan tidak terjadi
kontaminasi silang.
3) Bangunan terdiri dari ruang pokok (proses produksi), ruang penunjang (administrasi, toilet,
tempat cuci, dan lain-lain).
4) Ruang pokok dan ruang penunjang harus terpisah untuk mencegah pencemaran terhadap
makanan.
5) Ruangan proses produksi cukup luas, tata letak ruangan sesuai urutan proses, sekat
antara ruang bahan dan proses/pengemasan.
Konstruksi bangunan unit pengolahan meliputi dinding, lantai, langit-langit, ventilasi,
dan pencahayaan (Nurhidayat, 2014).
1) Dinding
Letak dinding minimal 20 cm diatas dan dibawah permukaan lantai terbuat dari bahan
yang tahan lama, kedap air, bagian dalam halus, rata, tidak berlubang, berwarna terang, tidak
mudah terkelupas, mudah dibersihkan, apabila digunakan pelapis dinding maka bahannya
harus tidak beracun (nontonic) (Nurhidayat, 2014).
2) Lantai
Terbuat dari bahan yang harus kedap air, keras dan padat, tahan air, garam, asam
dan basa serta bahan kimia lainnya. Kondisi permukaan lantai rata dan mudah mengalirkan
air pencucian atau pembuangan. Lantai juga dapat dibuat miring ke arah area pembuangan
air, untuk mencegah adanya genangan air dalam dapur halus, tidak licin dan mudah
dibersihkan, pertemuan lantai dan dinding tidak boleh bersudut mati (harus lengkung), kedap
air (Nurhidayat, 2014). Pemakaian karpet sebagai penutup lantai harus dari bahan yang
mudah dibersihkan. Karpet tidak boleh digunakan pada area preparasi makanan, ruang
penyimpanan, dan area pencucian peralatan karena akan terekspos air atau minyak.
3) Langit-Langit
Terbuat dari bahan yang tahan lama dan mudah dibersihkan. Letak langit-langit
minimal 2,5 meter di atas lantai dan disesuaikan dengan peralatan. Kondisi langit-langit bebas
dari kemungkinan catnya rontok/jatuh atau dalam keadaan kotor dan tidak terawat, tidak rata,
retak atau berlubang (Nurhidayat, 2014).

24
4) Ventilasi
Kondisi ventilasi harus memiliki sirkulasi udara pada ruang proses produksi yang baik
(tidak pengap), lubang ventilasi harus mencegah masuknya serangga, hama, dan mencegah
menumpuknya debu atau kotoran, mudah dibersihkan. Ventilasi terbuat dari bahan yang
dapat menghilangkan kondesat uap asap, bau, debu dan panas, mudah dibersihkan,
dilengkapi alat penghisap (exhaust fan), atau paling tidak dilengkapi dengan cerobong
(Nurhidayat, 2014).
5) Pencahayaan
Pencahayaan yang memadai sangat penting untuk menjamin bahwa semua peralatan
yang digunakan di dapur dan ruang penyajian dalam keadaan bersih, selain itu pencahayaan
yang memadai juga sangat penting untuk menjamin keberhasilan pekerjaan preparasi,
pengolahan, penyajian, dan penyimpanan produk. Lampu yang dipasang di atas area
prosesing tidak boleh merubah warna. Kondisi pencahayaan cukup mendapat cahaya, terang
sesuai dengan keperluan dan persyaratan kesehatan. Lampu dilengkapi dengan screen
sehingga aman bila jatuh dan bebas serangga (Nurhidayat, 2014).

Fasilitas
Fasilitas dalam unit pengolahan sangat penting untuk diperhatikan. Fasilitas tersebut
meliputi toilet, tempat pencucian, tempat sampah, tempat cuci tangan, ruang ganti karyawan,
dan tempat penanganan limbah.
1) Toilet
Lokasi toilet harus tertutup, dekat ruang pengolahan namun terpisah dari ruang
pengolahan tersebut. Kelengkapan di toilet harus terdapat sabun dan handuk yang diganti
secara reguler, saluran pembuangan tertutup, menggunakan air mengalir, tempat sampah
tertutup, serta kondisinya pun harus dibersihkan setiap hari (Direktorat PHP, 2009)
2) Tempat pencucian
Fasilitas pencucian bahan baku harus dilengkapi dengan sistem pemasukan dan
pengeluaran/pembuangan air yang baik dan lancar. Fasilitas pencucian peralatan harus
dilengkapi dengan air panas berdaya semprot yang memadai (tekanan 15 psi = 1,2 kg/m²)
(Direktorat PHP, 2009).
3) Tempat sampah
Ruang pengolahan harus disediakan tempat sampah yang tertutup, dengan
kapasitas/jumlah memadai dan di tempatkan di tempat yang mudah dijangkau dan
dibersihkan setiap hari. Ada pemisahan sampah organik dan non organik (Direktorat PHP,
2009)

25
4) Tempat cuci tangan
Fasilitas tempat cuci tangan harus diletakkan di tempat yang mudah dijangkau.
Tempat cuci tangan 1 buah untuk 10 orang.
5) Ruang ganti pakaian
Unit pengolahan wajib memiliki ruang ganti karyawan yang letaknya di luar ruang
pengolahan agar tidak terjadi kontaminasi dan sanitasi karyawan dapat terjaga.
6) Tempat penanganan limbah
Limbah bahan pangan dikumpulkan dalam wadah khusus yang memiliki tutup.
Mencegah terjadinya pencemaran lingkungan, pembuangan limbah bahan pangan harus
selalu dimonitor oleh seorang operator atau karyawan yang khusus ditugaskan menangani
(Direktorat PHP, 2009)

2.8.2 Persyaratan Operasional


Good Manufacturing Practices (GMP)
Good Manufacturing Practices (GMP) atau dalam bahasa Indonesia adalah Cara
Produksi Makanan yang Baik (CPMB) merupakan syarat minimum sanitasi dan
pengolahannya yang diperlukan untuk memastikan agar dihasilkan pangan yang aman. GMP
menurut Thaheer (2005) dalam Nurdiyansyah (2010) merupakan pedoman cara memproduksi
pangan agar pangan yang dihasilkan diproduksi dengan cara yang telah memenuhi
persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan untuk menghasilkan produk pangan yang
diinginkan dan sesuai dengan tuntutan konsumen. GMP menjadi salah satu pre-requisite
program atau program persyaratan dasar dalam penerapan sistem HACCP, yang menjamin
praktik pencegahan terhadap kontaminasi yang menyebabkan produk menjadi tidak aman
untuk dikonsumsi (Winarno dan Surono, 2004).

Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP)


Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) merupakan suatu prosedur untuk
memelihara kondisi sanitasi yang umumnya berhubungan dengan seluruh fasilitas produksi
atau area perusahaan dan tidak terbatas pada tahapan tertentu (Triharjono dkk, 2013).
Prinsip-prinsip sanitasi untuk diterapkan dalam SSOP dikelompokkan menjadi 8 aspek kunci
sebagai persyaratan utama sanitasi dan pelaksanaannya. Menurut Winarno dan Surono
(2004), 8 kunci persyaratan sanitasi dalam SSOP terdiri dari :
1) Keamanan air dan es
Air merupakan komponen penting dlm industri pangan yaitu sebagai bagian dari
komposisi; untuk mencuci produk; membuat es/glazing; mencuci peralatan/sarana lain; untuk
minum dan sebagainya, karena itu dijaga agar tidak ada hubungan silang antara air bersih

26
dan air tidak bersih (pipa saluran air hrs teridentifikasi dengan jelas) (Susiwi, 2009). Sumber
air yang digunakan dalam industri pangan : 1) Air PAM, biasanya memenuhi standar mutu ;
2) Air sumur, peluang kontaminasinya sangat besar, karena adanya banjir, septictank, air
pertanian dan sebagainya; 3) Air laut (digunakan industri perikanan) harus sesuai dengan
standar air minum, kecuali kadar garam.
2) Kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan
Semua peralatan dan perlengkapan yang kontak dengan bahan pangan harus
didesain dan terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan 2 Peralatan dan perlengkapan harus
dibersihkan dengan metode yang efektif (Triharjono dkk, 2013).
3) Pencegahan kontaminasi silang
Kontaminasi silang sering terjadi pada industri pangan akibat kurang dipahaminya
masalah ini. Beberapa hal untuk pencegahan kontaminasi silang adalah : tindakan karyawan
untuk pencegahan, pemisahan bahan dengan produk siap konsumsi, disain sarana prasarana
(Susiwi, 2009). Pekerja tidak boleh menggunakan perhiasaan selama proses produksi.
Pekerja dilarang berbicara selama proses berlangsung. Pekerja wajib menggunakan masker,
penutup kepala dan sarung tangan (Triharjono dkk, 2013).
4) Menjaga fasilitas pencuci tangan, sanitasi dan toilet
Kondisi fasilitas cuci tangan, toilet dan sanitasi tangan sangat penting untuk mencegah
terjadinya kontaminasi terhadap proses produksi pangan. Kontaminasi akibat kondisi fasilitas
tersebut akan bersifat fatal, karena diakibatkan oleh bakteri patogen (Susiwi, 2009). Fasilitas
sanitasi dan cuci tangan harus mudah dijangkau pekerja. Penyediaan mesin alat pengering
tangan. Penyediaan toilet harus cukup untuk pekerja, 50-100 minimal 3 toilet, dan harus dijaga
kebersihannya (Triharjono dkk, 2013).
5) Proteksi dari bahan-bahan kontaminan
Tujuannya adalah untuk menjamin bahwa produk pangan, bahan pengemas, dan
permukaan kontak langsung dengan pangan terlindung dari kontaminasi mikrobial, kimia dan
fisik (Susiwi, 2009). Bahan pangan dan non pangan masing – masing harus terlindungi dari
cemaran fisik, kimia dan biologi. Tempat dapat menampung dan jauh dari lokasi produksi.
Penggunaan bahan kimia harus mengikuti aturan penggunaan (Triharjono dkk, 2013).
6) Pelabelan, penyimpanan dan penggunaan bahan toksin yang benar
Tujuan monitoring ini adalah untuk menjamin bahwa pelabelan, penyimpanan dan
penggunaan bahan toksin adalah benar untuk proteksi produk dari kontaminasi (Susiwi,
2009). Bahan pangan dan non pangan harus disimpan terpisah untuk menghindari
kontaminan. Pengemasan harus dapat meminimumkan dari cemaran fisik, kimia dan biologis
(Triharjono dkk, 2013).

27
7) Pengawasan kondisi kesehatan personil yang dapat mengakibatkan kontaminasi
Tujuan dari kunci ini adalah untuk mengelola personil yang mempunyai tandatanda
penyakit, luka atau kondisi lain yang dapat menjadi sumber kontaminasi mikrobiologi (Susiwi,
2009). Pengawas dan pengecekan kesehatan karyawan harus dilakukan secara rutin. Pekerja
yang dalam kondisi sakit, luka dapat menjadi sumber kontaminan pada proses pengolahan,
kemasan dan produk akhir tidak boleh masuk sampai kondisinya normal (Triharjono dkk,
2013).
8) Menghilangkan hama pengganggu dari unit pengolahan
Tujuan dari kunci ini menurut Susiwi (2009) adalah menjamin tidak adanya pest
(hama) dalam bangunan pengolahan pangan. Beberapa pest yang mungkin membawa
penyakit :
a. Lalat dan kecoa : mentransfer Salmonella, Streptococcus, C.botulinum, Staphyllococcus,
C.perfringens, Shigella
b. Binatang pengerat : sumber Salmonella dan parasit
c. Burung : pembawa variasi bakteri patogen Salmonella dan Listeria

2.8.3 Penilaian Kelayakan Dasar


Menurut Peraturan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan
No.Per.011/DJ-P2HP/2007 dalam Sulastri (2010), sertifikat kelayakan pengolahan adalah
sertifikat yang diberikan kepada Unit Pengolahan Ikan (UPI) yang telah menerapkan Good
Manufacturing Practices (GMP), serta memenuhi persyaratan Sanitation Standard Operating
Procedures (SSOP) dan Good Hygiene Practices (GHP) sesuai dengan standar dan regulasi
dari otoritas yang berkompeten. Sertifikasi kelayakan pengolahan merupakan upaya dalam
menjamin bahwa suatu unit yang melakukan pengolahan maupun penyimpanan telah
memenuhi kelayakan dasar sehingga produk yang dihasilkan memenuhi standar mutu yang
baik dan sesuai permintaan pasar, terjamin keamanannya pada saat dikonsumsi, serta
mampu meningkatkan daya saing baik di pasar domestik maupun Internasional.
Setiap orang yang melakukan penanganan dan pengolahan ikan wajib memenuhi dan
menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu dan keamanan
hasil perikanan, dan setiap orang yang memenuhi dan menerapkan persyaratan kalayakan
pengolahan ikan memperoleh Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP). Ditjen P2HP melalui
Direktorat Pengolahan Hasil melakukan pelayanan penerbitan SKP dengan cara penilaian
kelayakan dasar pengolahan dalam rangka meningkatkan pembinaan kepada UPI skala
besar dan UKM untuk memenuhi penerapan standar kelayakan dasar UPI. Setiap UPI yang
memperoleh SKP memiliki nilai kelayakan dasar antara lain A, B, C, dan D. Penerapan ini
meliputi seleksi bahan baku, penanganan dan pengolahan, bahan pembantu, pengemasan,
penyimpanan, distribusi, lokasi, konstruksi bangunan termasuk lantai, dinding, langit-langit,

28
ventilasi, pintu, tempat cuci tangan, penerangan, toilet, saluran pembuangan, pasokan air dan
es, limbah, bahan pembantu dan bahan tambahan, penanganan bahan pengemas, deterjen
dan bahan kimia, serta higiene personil.

29
3 METODE PRAKTIK
3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Praktik
Praktik Kerja Lapangan pengolahan otak – otak ikan dilaksanakan pada tanggal 10
Desember sampai 21 Desember 2018 di CV Fania Food Jl. Semangu KG-1 No. 16 RT 03/RW
01 Gedongkuning, Rejowinangun, Kota Gede, Yogyakarta.

3.2 Alat dan Bahan


3.2.1 Alat
Peralatan yang digunakan dalam praktik kerja lapangan ini adalah baskom,
timbangan, meat bound, sealer, silent cutter, blender, dan panci perebusan.

3.2.2 Bahan
Bahan baku yang digunakan adalah ikan bandeng utuh segar. Bahan tambahan yang
digunakan antara lain tepung tapioka, tepung terigu, bawang putih, garam, gula pasir, daun
bawang, dan pengenyal (STPP). Bahan pembantu yang digunakan yaitu air, es, dan minyak
sayur.

3.3 Metode Praktik


3.3.1 Alur Proses
Alur proses pembuatan otak-otak ikan meliputi penerimaan bahan baku, pencucian,
penyiangan, pengambilan daging, pelumatan daging, pencampuran adonan, pencetakan,
perebusan, pendinginan, pengemasan dan penimbangan, dan penyimpanan beku. Adapun
diagram alur proses pengolahan otak – otak ikan dapat dilihat pada Gambar 2.

30
Penerimaan Bahan Baku

Pencucian

Penyiangan

Pengambilan Daging

Pelumatan Daging

Pencampuran Adonan

Pencetakan

Perebusan

Pendinginan

Pengemasan dan Penimbangan

Penyimpanan Beku

Gambar 2. Diagram Alur Proses Pengolahan Otak – Otak Ikan


Sumber : CV Fania Food (2018)

3.3.2 Komposisi Bahan


Komposisi bahan yang digunakan pada pembuatan otak – otak ikan di CV Fania Food
dapat dilihat pada Tabel 4.

31
Tabel 4. Komposisi Bahan
No. Nama Bahan Jumlah Persentase
1 Daging ikan bandeng 3000 gr 54,45 %
2 Tepung Tapioka 1000 gr 18,14%
3 Tepung Terigu 750 gr 13,61%
4 Garam 165 gr 2,99%
5 Daun Bawang 83 gr 1,50%
6 Bawang Putih 250 gr 4,53%
7 Gula 167 gr 3,02%
8 Pengenyal 28 gr 0,50%
9 Minyak goreng 69 gr 1,25%
Sumber : CV Fania Food (2018)

3.3.3 Pengamatan Mutu


Pengamatan mutu dilakukan untuk mengetahui mutu bahan baku sampai produk akhir
berdasarkan uji organoleptik dan sensori menurut panelis yang mengacu pada Standar
Nasional Indonesia (SNI). Data yang diperoleh dari lembar penilaian ditabulasi dan ditentukan
nilai mutunya dengan mencari hasil rerata pada setiap panelis pada tingkat kepercayaan 95%.
Menghitung interval nilai mutu rerata dari setiap panelis digunakan rumus sebagai berikut :

P(x̅ − (1,96.s/ √𝑛 )) ≤ μ ≤ (𝑥̅ + (1,96.s/ √𝑛))


∑ni=1 xi
𝑥̅ =
n
∑ni=1(xi – x̅ )2
𝑆2 =
n

∑ni=1(xi – x̅ )2
s=√
n

Keterangan :
n adalah banyaknya panelis;
𝑆 2 adalah keragaman nilai mutu;
1,96 adalah koefisien standar deviasi pada taraf 95 %;
𝑥̅ adalah nilai mutu rata-rata;
𝑥𝑖 adalah nilai mutu dari panelis ke i, dimana i = 1,2,3......n;
s adalah simpangan baku nilai mutu.

32
Mutu Bahan Baku
Mutu bahan baku dalam pengolahan otak – otak ikan dapat diuji dengan penilaian
organoleptik. Lembar penilaian organoleptik ikan segar menurut SNI 2729:2013 yang
dilakukan oleh 6 panelis, 6 kali pengamatan dan 3 kali ulangan, dapat dilihat pada Lampiran
1.

Mutu Produk Akhir


Mutu produk akhir pengolahan otak – otak ikan dapat diuji dengan penilaian sensori.
Lembar penilaian sensori otak-otak ikan menurut SNI 7757:2013 yang dilakukan oleh 6
panelis, 6 kali pengamatan dan 3 kali ulangan dapat dilihat pada Lampiran 2.

3.3.4 Penerapan Rantai Dingin dan Suhu Tinggi


Pengamatan rantai dingin dan suhu tinggi dilakukan dengan mengamati perubahan
suhu pada setiap alur proses yang dilalui yang meliputi perubahan suhu air, ruangan, serta
produk dengan enam kali pengamatan dan tiga kali ulangan menggunakan termometer.
Proses penerapan rantai dingin dan suhu tinggi dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut
:

x1 + x2 + x3 + ...+xn
x̅ =
n

3.3.5 Perhitungan Rendemen


Rendemen merupakan rasio berat antara daging dan berat ikan utuh. Perhitungan
rendemen digunakan untuk memperkirakan berapa banyak dari tubuh udang yang dapat
digunakan sebagai bahan makanan (Hadiwiyoto, 1993 dalam Afriwanty, 2008). Pengamatan
rendemen dilakukan pada tahap ikan utuh ke penyiangan sampai pemisahan daging.
Persentase rendemen dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Bobot akhir (gram)


Rendemen (%) = Bobot awal (gram) x 100

3.3.6 Perhitungan Kelayakan Usaha


Keuntungan
Rumus laba/rugi adalah sebagai berikut :

Laba/Rugi ( Rupiah ) = Total Pendapatan – Total Biaya

33
Penyusutan
Rumus penyusutan adalah sebagai berikut :

Nilai Baru – Nilai Sisa


Penyusutan =
Umur Ekonomis

Benefit Cost Ratio (B/C ratio)


Rumus B/C ratio adalah sebagai berikut :

Total Penerimaan
B/C Ratio =
Total Biaya

Payback Period (PP)


Rumus PP adalah sebagai berikut :

Investasi
PP = X 1 tahun
Keuntungan

Break Even Point (BEP)


Perhitungan BEP dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
 Break Event Point dalam unit :
BT
BEP Q =
P-BV

 Break Event Point dalam rupiah :


BT
BEP =
BV
1-
S

Keterangan:
BT = Biaya Tetap
Q = Jumlah unit yang dihasilkan dan dijual (kg)
P = Harga jual (rupiah)
BV = Biaya Variabel (rupiah)
S = Penjualan

34
3.3.7 Pengamatan Kelayakan Dasar Unit Pengolahan
Pengamatan terhadap penerapan teknik berproduksi yang baik dan benar untuk
menghasilkan produk yang memenuhi persyaratan mutu dan keamanan pangan. Penerapan
ini meliputi seleksi bahan baku, penanganan dan pengolahan, bahan pembantu,
pengemasan, penyimpanan, dan distribusi. Pengamatan GMP dilakukan selama alur proses
pengolahan berlangsung, prosedur, tujuan, pengawasan, tindakan koreksi, serta pencatatan.
Pengamatan terhadap penerapan teknik sanitasi dan higiene unit pengolahan
dilakukan dengan membahas semua aspek-aspek sesuai dengan keadaan di lapangan.
Aspek-aspek tersebut adalah lokasi, konstruksi bangunan termasuk lantai, dinding, langit-
langit, ventilasi, pintu, tempat cuci tangan, penerangan, toilet, salu ran pembuangan, pasokan
air dan es, limbah, bahan pembantu dan bahan tambahan, penanganan bahan pengemas,
deterjen dan bahan kimia, serta higiene personil.

35
4. KEADAAN UMUM PERUSAHAAN
4.1 Sejarah Perusahaan
CV. Fania Food didirikan sejak bulan Juni Tahun 2008 di Kota Yogyakarta, oleh Ibu
Hani Kusdaryanti. Pada awalnya pemilik hanya mengolah ikan bandeng menjadi otak- otak
bandeng. Otak- otak bandeng sendiri pada mulanya tidak ditujukan untuk diperdagangkan,
pada saat itu orang tua dari pemilik yang berasal dari Kudus sering berkunjung ke Yogyakarta
dan membawakan oleh- oleh berupa otak- otak bandeng, karena penasaran dengan rasanya
yang enak kemudian Ibu Hani Kusdaryanti mencoba untuk membuat otak - otak ikan bandeng
sendiri dengan resep dari Kudus, setelah beberapa kali percobaan dan akhirnya Ibu Hani
dapat membuat otak- otak ikan bandeng dengan cita rasa yang lezat.
Pemilik mencoba memasak untuk mengisi waktu luang dan memasarkan sendiri
produk yang dihasilkan dari rumah – ke rumah dan dengan modal awal yang sangat minim,
seiring berjalannya waktu permintaan produksi semakin bertambah banyak, pemilik mulai
kewalahan dan akhirnya merekrut 2 orang karyawan untuk membantu produksi otak- otak
ikan bandeng, dan 2 orang karyawan sebagai tenaga penjual dengan sistem door to door.
Fania Food akhirnya berhasil dikenal oleh masyarakat luas dengan mengubah sistem
penjualan dari sistem door to door menjadi sistem agen, khususnya daerah Yogyakarta. Fania
Food telah berhasil memperkenalkan hasil olahannya ke beberapa Rumah Sakit, Hotel,
sekolah full day dan catering yang berada di Yogyakarta dan sekitarnya.
Akhirnya dengan perluasan atau penambahan Agen Pemasaran di beberapa kota di
luar Yogyakarta, Fania Food menjadi semakin kokoh dan berkembang. Kini Fania Food
memiliki karyawan tenaga produksi berjumlah 10 orang, dan memiliki Agen Pemasaran
dibeberapa tempat yang tersebar di wilayah Jawa dan luar Jawa, dan masih didukung oleh
tenaga marketing sales door to door.
Seiring dengan meningkatnya omset penjualan, Fania Food telah memiliki rumah
produksi sendiri yang terpisah dengan rumah tinggal. Sehingga proses produksi benar- benar
dilakukan secara sanitasi dan higiene dan dapat tertata sesuai dengan Standard Operational
Procedure (SOP) yang ditentukan.

4.2 Lokasi dan Tata Letak Perusahaan


CV. Fania Food berlokasi di Jl. Semangu KG- 1 No. 16 RT.3 RW.1 Gedongkuning
Rejowinangun Kecamatan Kotagede Yogyakarta Daerah Istimewa Yogyakarta. Jarak UPI ke
jalan raya 200 meter ke arah utara, terletak sekitar 7 km dari pusat Kota Yogyakarta,
pemukiman penduduk dan sawah. Kelebihan lokasi UPI ini berada dekat dengan kota
sehingga mempermudah dalam pemasaran produk, dan mudah dalam memperoleh bahan-
bahan pendukung produksi. Ketersediaan air, listrik dan telekomunikasi yang mudah.

36
Kekurangannya, berada di dekat pemukiman padat penduduk dan harus melalui gang yang
agak sempit.
CV. Fania Food dibangun dengan bangunan berbentuk tingkat atau berlantai 2 yang
terdiri dari ruang pencucian bahan baku, ruang pengolahan produk basah, ruang pengolahan
produk kering, ruang penyimpanan bahan mentah, ruang penyimpanan peralatan
pengolahan, ruang locker tim masuk, ruang transit toilet, toilet, ruang pengemasan, ruang
gudang pengemasan, ruang istirahat staff, ruang display produk, dan ruang tamu. Tata letak
bangunan diatur sedemikian rupa untuk mempermudah dalam jalannya proses produksi.
Denah atau tata letak perusahaan dapat dilihat pada Lampiran 3.

4.3 Stuktur Organisasi


Struktur organisasi yang digunakan pada CV. Fania Food terdiri dari direktur, manajer
produksi, manajer mutu, manajer pemasaran dan manajer pengemasan. Bagian-bagian ini
menjadi acuan dalam menjalankan kegiatan usaha, setiap bagian memiliki tanggung jawab
dan wewenang berbeda. Struktur organisasi pada CV Fania Food dapat dilihat pada Gambar
3.

DIREKTUR
Hani Kusdaryanti, SE.

MANAGER MANAGER MANAGER PENGEMASAN MANAGER PEMASARAN


MUTU PRODUKSI
Heru Bintoro Hastin Atas Asih
Jumiyati Sumiyem

Gambar 3. Struktur Organisasi


Sumber : CV Fania Food (2018)

Tugas dan tanggung jawab masing-masing bagian dalam struktur perusahaan sebagai
berikut :
a. Direktur
Direktur bertugas sebagai penanggung jawab terhadap kelompok dan unit usaha,
memberikan pengarahan terhadap para karyawan dalam mengolah produk maupun hal
lainnya, memberikan binaan mulai dari memberikan pelatihan, pembentukan kelompok,
pengajuan dana dan menangani proses pemasaran.
b. Manajer Produksi
Manajer Produksi mempunyai tanggung jawab terhadap proses produksi. Mengatur
dan mengawasi kerja karyawan produksi sehingga kontinuitas produksi terjamin, serta
mengawasi jalannya produksi secara keseluruhan.

37
c. Manajer Mutu
Manajer Mutu bertugas sebagai pengawas mutu yang mengawasi setiap tahapan
proses diruang produksi, mengawasi setiap karyawan pada saat proses berlangsung,
memberi arahan pada karyawan untuk menggunakan perlengkapan kerja pada saat di dalam
ruang produksi.
d. Manajer Pemasaran
Manajer pemasaran bertugas sebagai penanggung jawab jalannya pemasaran produk
yang sudah jadi pada setiap agen, mencari agen baru untuk memperluas pasar.
e. Manajer Pengemasan
Manajer pengemasan bertugas mengecek ulang produk yang sudah jadi dan masuk
ke dalam kemasan, mengemas produk hasil akhir dan membuat label kemasan produk hasil
olahan.

4.4 Sarana dan Prasarana


4.4.1 Sarana
Sarana yang dimiliki CV. Fania Food sebagai fasilitas penunjang produksi. Sarana
yang dimiliki CV. Fania Food sebagian didapatkan dari hasil sumbangan dan meminjam dari
perusahaan lain di daerah Gunung kidul. Sarana yang dimiliki CV. Fania Food dapat dilihat
pada Tabel 5 berikut :
Tabel 5. Sarana dan Fungsi Pada CV. Fania Food
Jumlah
No. Sarana Fungsi
Unit
Digunakan untuk menimbang bahan bahan,
1. Timbangan 2
bumbu dan hasil produk
Untuk melakukan aktivitas produksi
2. Meja Proses 2
produksi
Untuk memisahkan daging dengan duri,
3. Meat Bone Separator bertipe BSO9 dengan kapasitas 200-300 kg, 1
dan daya 220 volt.
Digunakan untuk saluran air pencuci bahan
4. Kran saluran air 2
baku dan peralatan
Digunakan untuk merebus otak- otak ikan
5. Panci perebusan 8
dan bakso
Rak peniris otak- otak Digunkan untuk meniriskan otak-otak
6. 1
Bandeng Bandeng
Untuk memotong bahan baku atau bahan
7. Pisau 10
tambahan
Sebagai tempat penyimpanan dingin produk
8. Freezer 7
beku

38
Lanjutan
Jumlah
No. Sarana Fungsi
Unit
Untuk mengambil atau mencetak adonan
9. Solet 10
dalam ukuran kecil
10. Baskom Sebagai tempat adonan 15
11. Bak Pencuci Sebagai tempat mencuci 4
12. Kompor gas Untuk memasak produk 2
13. Stuffer Sebagai alat pencetak sosis 1
Sebagai alat vaccum sealer kemasan
14. Vacuum sealer 1
produk, dengan merk DZ 400-ZD
15. Hand Sealer Untuk sealer plastik kemasan produk 2
Untuk memberi kode tanggal kadaluarsa
dan produksi. Alat ini mempunyai tipe HP-
16. Tape Hot Printer 1
341, dengan kemampuan temperatur 0-
200OC.
Untuk membantu pendinginan dalam proses
17. Kipas angin 2
produksi
Rak Penyimpanan Digunakan sebagai tempat menyimpan
18. 1
bahan bahan tambahan tepung
19. Autoclave Untuk membuat presto bandeng 1
Untuk menyimpan dokumen-dokumen
20. Lemari dokumen 1
penting
untuk mengurangi minyak yang ada pada
21. Spinner 1
produk
22. Blender Untuk menghaluskan bumbu-bumbu kecil 1
Sumber : CV. Fania Food (2018)

4.4.2 Prasarana
Prasarana yang digunakan dalam menunjang produksi di CV. Fania Food tercantum
pada Tabel 6 sebagai berikut :
Tabel 6. Prasarana Pada CV. Fania Food
No. Prasarana Keterangan
Ruang pencucian digunakan untuk mencuci bahan
Ruang Pencucian Bahan
1. baku dan peralatan- peralatan, dengan ukuran 3m x
Baku
3m.
Ruang persiapan bumbu ini digunakan sebagai tempat
untuk mempersiapkan bumbu- bumbu pengolahan.
2. Ruang persiapan bumbu
Yang dilengkapi dengan peralatan blander dan alat
lainya dan terdapat meja peracikan.
Ruang Pengolahan Ruang pengolahan produk basah digunkan untuk
3.
Produk Basah memproduksi produk produk yang basah 10m x 6 m.
Ruang pengolahan ini digunakan hanya untuk
Ruang Pengolahan
4. pengolahan produk kering supaya tidak terjadi
Produk Kering
kontaminasi, dengan ukuran ruangan 4m x 3 cm.

39
Lanjutan
No. Prasarana Keterangan
Terdapat 1 ruang istirahat staf yang disediakan untuk
karyawan yang terletak di lantai atas sebagai tempat
5. Ruang istirahat staff
istirahat karyawan pada saat waktu istirahat dengan
ukuran 3 x 4 meter.
Ruang penegemasan berada pada lantai atas dengan
6. Ruang Pengemasan
ukuran 4m x 3 m.
Gudang kemasan berada dekat dengan ruang
7. Gudang Kemasan
pengemasan di lantai atas dengan luas 4m x 4m
Ruang locker tim masuk ini terdapat pada lantai bawah
8. Ruang Locker Tim berdekatan dengan pintu masuk ruang prosesyang
berukuran 2m x 3m
Toilet yang dimiliki hanya berjumlah 1 toilet dengan
9. Toilet
ukuran 2,5m x 2m
Ruang tamu berada pada lantai atas berdekatan
10. Ruang Tamu
dengan ruang display produk, dengan luas 4m x 3m.
Ruang Penyimpanan Ruang penyimpanan peralatan berada pada lantai
11.
Peralatan bawah nuntuk menyimpan alat- alat produksi
Ruang Display Produk Ruang display produk berada pada lantai atas untuk
12.
Jadi menampilkan hasil produk yang telah diolah
Sumber : CV. Fania Food (2018)
Ruang produksi dan gudang dalam keadaan baik. Perawatan dan pembersihan
dilakukan setiap hari untuk menjaga prasarana tetap dalam kondisi baik dan bersih.
Sedangkan perlengkapan kerja untuk karyawan CV. Fania Food adalah sebagai berikut :
a. Masker
Masker digunakan untuk menutup mulut, sehingga pada saat berbicara tidak akan
menjadi sumber kontaminasi. Tiap karyawan wajib menggunakan masker pada saat di ruang
proses produksi.
b. Sarung Tangan
Penggunaan sarung tangan agar tidak terkontaminasi silang dari bakteri- bakteri yang
terdapat pada tangan terhadap produk. Sarung tangan yang digunakan adalah sarung tangan
plastik.
c. Apron
Penggunaan apron bertujuan untuk melindungi pakaian kerja dari berbagai macam
kotoran saat bekerja.
d. Penutup Kepala
Penutup kepala digunakan setiap memasuki ruang proses untuk menghindari filth dan
terjadinya kontaminasi silang.

40
e. Seragam Kerja
Seragam kerja wajib digunakan pada saat melakukan produksi untuk menghindari
terjadinya kontaminasi silang. Alat pelindung diri adalah kelengkapan yang wajib digunakan
saat bekerja sesuai kebutuhan untuk menjaga keselamatan pekerja itu sendiri dan orang di
sekelilingnya. Alat keselamatan kerja pada CV Fania Food, yaitu terdapat tabung pemadam
api yang berfungsi untuk memadamkan api saat terjadi kebakaran yang bersumber dari api
atau asap kecil.

41
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Alur Proses Pengolahan Otak-Otak Ikan
Alur proses pengolahan otak-otak ikan meliputi : penerimaan bahan baku, pencucian,
penyiangan, pengambilan daging, pelumatan daging, pencampuran adonan, pencetakan,
perebusan, pendinginan, pengemasan dan penimbangan, dan penyimpanan beku.

Penerimaan Bahan Baku


Proses penerimaan bahan baku bertujuan untuk mendapatkan bahan baku yang
sesuai dengan standar unit usaha yaitu mendapatkan ikan yang segar dan bermutu baik.
Kualitas bahan bahan baku merupakan faktor penting untuk menghasilkan produk akhir yang
bermutu baik. Pada proses peneriamaan dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari
terjadinya kerusakan pada bahan baku tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hadiwiyoto
(1993) bahwa bahan baku yang diterima haruslah memiliki mutu yang bagus serta layak untuk
dikonsumsi oleh manusia.
CV. Fania Food dalam menerima bahan baku dimulai dari bahan baku datang
kemudian ditaruh didalam bak besar yang terbuat dari plastik kemudian diberi es untuk tetap
menjaga suhu bahan baku agar tidak naik, setelah itu dilakukan pengujian organoleptik dan
dilakukan pengecekan suhu. Bahan baku ikan bandeng harus mendapatkan penanganan
yang baik agar mutu tetap terjaga agar memperoleh produk akhir yang bagus sesuai dengan
sepesifikasi yang telah ditentukan oleh CV. Fania Food. Pengujian organoleptik meliputi
pengujian bau, warna, tekstur daging. Bahan baku diangkut mengunakan mobil box
berpendingin untuk mempertahankan suhu ikan dibawah 50C, selain itu sebelum dilakukan
produksi ikan diuji organoleptiknya. Volume penerimaan bahan baku perharinya sebesar 60
kg (Lampiran 4).
Penanganan yang dilakukan yaitu proses penyiangan dan pemisahan daging, karena
pada pengolahan value added ini yang diperlukan hanya dagingnya saja. Apabila hasil bahan
baku terlalu banyak, maka bahan baku akan disimpan pada freezer dengan suhu mencapai -
200C selama 1 hari. Bahan baku ikan bandeng yang akan diolah dapat dilihat pada Gambar
4.

42
Gambar 4. Penerimaan bahan baku
Sumber : CV Fania Food (2018)

Pencucian

Proses selanjutnya adalah pencucian. Tujuan dari pencucian adalah agar bahan baku
tidak terjadi kontaminasi silang, menghilangkan bau, lendir, mengurangi perkembangbiakan
mikroorganisme yang terdapat pada tubuh ikan, dan menghilangkan kotoran yang terdapat
pada bahan baku, untuk mendapatkan bahan baku yang bersih dan sesuai dengan
spesifikasi. Cara dengan mengambil ikan satu persatu kemudian ikan ditaruh di bawah air
yang mengalir kemudian dibasuh mengunakan tangan mulai dari kepala melakukan
pencucian adalah, tempat ingsang, badan hingga ekor agar proses pencucian lebih bersih.
Air yang digunakan adalah air kran yang berasal dari air sumur yang umumnya sudah
bestandar SNI yaitu, tidak berasa, tidak berwarna dan tidak mengandung zat – zat berbahaya.
Proses pencucian dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Pencucian
Sumber : CV Fania Food (2018)

Air yang digunakan berasal dari sumur yang dibuat sendiri oleh CV. Fania Food. Air
sumur yang digunakan sudah memenuhi standart karena di uji lab setiap 6 bulan sekali. Air
yang digunakan untuk pencucian tidak berbau dan jernih. Air dialirkan melalui pipa-pipa yang
telah dibuat sedemikian rupa. Air diambil menggunakan pompa air kemudian ditampung pada
sebuah penampungan air yang berada di atas rumah.

43
Penyiangan
Proses penyiangan dan pembuangan insang dilakukan untuk mengurangi penyebab
kontaminasi pada ikan karena isi perut dan insang merupakan sumber bakteri, sebelum
proses penyiangan ikan juga disisik terlebih dahulu untuk mengilangkan sisik pada ikan, hal
tersebut dilakukan untuk mengurangi penyebab kontaminasi bakteri yang ada pada
permukaan atau sisik ikan. Proses penyiangan dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Penyiangan
Sumber : CV Fania Food (2018)

Pengambilan Daging
Proses pengambilan daging bertujuan untuk mendapatkan daging ikan bandeng yang
utuh bersih, bersih dari sisik dan tulang besar tetapi masih terdapat duri-duri kecil karena ikan
bandeng sendiri memiliki duri yang banyak pada dagingnya sebanyak 164 buah duri, maka
dari itu untuk membuang duru-duri kecil tersebut harus mengunakan mesin khusus. Cara
pengambilan daging adalah dengan cara mengambil daging mengunakan tangan kiri mulai
dari bagian kepala ikan kemudian ditarik menuju bagian ekor pada waktu bersamaan duri
besar ditahan mengunakan sendok dengan tangan kanan sehingga semua daging terpisah
dari duri tapi masih menempel dengan kulit, sebelum proses pengambilan daging dilakukan
proses penyisikan dan penyiangan dengan cara membuang ingsang dan isi perut. Proses
pengambilan daging dapat dilihat pada Gambar 7 dan 8.

Gambar 7. Pemisahan tulang Gambar 8. Pengambilan daging dengan sendok


Sumber : CV Fania Food (2018) Sumber : CV Fania Food (2018)

Proses penarikan duri ikan dilakukan secara manual dan menggunakan sarung tangan,
agar daging ikan tidak terkontamiasi bakteri. Setelah itu daging ikan dipisahkan dari kulit

44
dengan cara dikerok menggunakan sendok. Sendok yang digunakan terbuat dari bahan
stainless steel yang dicuci terlebih dahulu debelum digunakan. Ikan yang telah dipisahkan
dari tulang besar dipegang dibagian ekornya kemudian sendok diarahkan menuju kepala ikan
hingga semua daging terpisah dari kulit. Tujuan dari pengerokan ini adalah untuk
mendapatkan daging utuh yang terpisah dari kulit ikan.

Pelumatan Daging
Daging yang sudah di pisahkan dari dari kulit dan duri dilumatkan mengunakan alat
meat bone separator. Cara pelumatan daging menggunakan mesin dengan cara daging ikan
dimasukan kedalam mesin meat bone separator. Selama proses pemisahan daging dan duri
dilakukan secara berulang-ulang, hingga 6 kali pengulangan daging dimasukan ke dalam
mesin meat bone separator, hal ini dikarenakan akan berpengaruh terhadap rendemen yang
akan dihasilkan oleh produk. Semakin banyak proses pengulangan tahapan maka akan
semakin banyak rendemen yang dihasilkan, akan tetapi daging harus benar-benar telah
terpisah dari durinya. Proses pelumatan daging dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Pelumatan daging


Sumber : CV Fania Food (2018)

Pencampuran Adonan
Pencampuran adonan bertujuan untuk menghomogenkan daging lumat dengan
tepung dan bumbu-bumbu yang akan ditambahkan dalam adonan. Pada proses pengadonan
ini daging yang telah digiling atau dihaluskan terlebih dahulu ditambahkan garam yang telah
dicampur dengan bumbu-bumbu lainya yang telah dihaluskan untuk dihomogenkan
menggunakan mesin pengaduk adonan sampai daging menjadi kenyal. Proses pengenyalan
daging ini diasumsikan karena adanya penambahan garam dan STPP, garam dan STPP ini
memiliki fungsi untuk mengikat air pada daging sehingga protein yang larut dalam air dapat
diikat oleh garam dan STPP. Protein yang diikat oleh garam dan STPP pada proses
pengenyalan daging ini adalah actin dan myosin sehingga terbentuklah actomyosin yang
menyebabkan daging terasa kenyal. Setelah dilakukan penambahan garam dan bumbu –

45
bumbu yang didalamnya mengandung STPP diperoleh kenampakan daging sedikit lebih
pucat dari warna yang sebelumnya yaitu cokelat muda dan daging terasa kenyal serta mudah
untuk dicetak.
Tepung dimasukkan sedikit demi sedikit, tepung yang digunakan antara lain tepung
tapioka dan tepung terigu dengan jumlah 1000 gram tepung tapioka dan 300 gram tepung
terigu untuk 3 Kg daging ikan, kemudian adonan diaduk sampai adonan homogen dengan
ditambahkan sedikit air es sampai adonan homogen dan dapat dicetak. Penambahan air es
ini bertujuan untuk menjaga suhu adonan agar tetap dingin karena pada saat proses
pengadukan adonan menggunakan mesin pengaduk adonan yang berputar dengan
kecepatan tinggi sehingga dapat menimbulkan panas pada adonan, hal ini dapat
menyebabkan protein pada daging ikan rusak sehingga adonan bakso tidak sempurna. Air es
berfungsi sebagai pelarut serta berfungsi untuk menurunkan suhu reaksi adonan bakso,
sehinggga protein daging tidak rusak dan bisa bereaksi atau tercampur sempurna, homogen
atau rata. Pembuatan otak-otak ikan di CV. Fania Food ini menggunakan perbandingan 1 : 3
yaitu 1 kg tepung untuk 3 kg daging ikan yang telah digiling. Proses pengadonan dapat dilihat
pada Gambar 10.

Gambar 10. Persiapan pengadonan


Sumber : CV Fania Food (2018)

Pembuatan otak-otak ikan dalam 1 resep produk membutuhkan 3 kg daging ikan


menggunakan 1 kg tepung tapioka, 0,3 kg tepung terigu, 750 gram garam, 83 gram daun
bawang, bawang putih 250 gram, 167 gram gula, dan pengenyal 28 gram. Bahan-bahan
diatas ditakar mengunakn timbangan. Penimbangan dilakukan dengan hati-hati untuk
menghasilkan otak-otak ikan yang mempunyai cita rasa yang sesuai standar. Pencampuran
adonan dapat dilihat pada Gambar 11.

46
Gambar 11. Pencampuran adonan
Sumber : CV Fania Food (2018)

Pembuatan adonan ini menggunakan mesin pengaduk adonan yang mempunyai


diameter 63,5 cm, tinggi 75 cm dan lebar 71 cm. Mesin ini berfungsi untuk menghomogenkan
adonan sehingga adonan menjadi merata dan mudah dilakukan pencetakan. Selama proses
pengadonan berlangsung ditambahkan es curai sedikit demi sedikit. Tujuan dari penambahan
es adalah untuk mempertahankan suhu adonan serta untuk menghomogenkan tepung
sebagai pengganti air.

Pencetakan
Proses selanjutnya yaitu pencetakan, pencetakan bertujuan untuk memeperoleh
bentuk produk yang seragam dan sesuai dengan ketentuan dari perusahaan. Saat
pembentukan harus dilakukan hati-hati karena bentuk harus sama. Prosedur dalam proses
pembentukan adalah dengan menggunakan plastik segitiga, kemudian adonan dimasukkan
kedalam plastik tersebut. Ujung plastik digunting atau di potong untuk menjadi tempat
keluarnya produk saat ditekan. Pengguntingan hanya dilakukan dengan cara dikira-kira untuk
membentuk diameter 2 cm dan panjang 30 cm serta tidak ada standar baku pada bentuk
potongan ujung plastik, kemudian disiapkan talenan khusus untuk pencetakan otak-otak ikan.
Adonan yang berada di plastik segitiga kemudian di tekan agar adonan keluar melewati
lubang yang sudah digunting. Pencetakan di lakukan pada telenan dapat dilihat pada Gambar
12.

47
Gambar 12. Pencetakan pada talenan
Sumber : CV Fania Food (2018)

Pencetakan dilakukan saat air rebusan sudah mendidih. Proses pencetakan masih
dilanjutkan dengan pemotongan adonan yang sudah dicetak pada talenan. Adonan yang
sudah dicetak dengan bentuk memanjang kemudian di potong dengan menggunakan pisau
secara miring dengan diameter pusat 2 cm dan panjang 10 cm. Pemotongan secara miring
dimaksudkan untuk memndapatkan bentuk yang di inginkan, setelah di potong langsung
dimasukan kedalam air yang sudah dididihkan, pencetakan ini memerlukan waktu 20
menit/resep yang dilakukan oleh 2 orang pegawai. Pencetakan ini meliputi pencetakan pada
talenan dan pemotongan untuk perebusan. Proses pengirisan dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Pengirisan otak-otak ikan (miring)


Sumber : CV Fania Food (2018)

Perebusan
Perebusan didalam panci, adonan otak-otak ikan yang sudah dibentuk membutuhkan
waktu perebusan ± 15 menit, untuk memastikan bahwa otak-otak ikan tersebut telah matang.
Otak-otak ikan yang telah matang akan mengapung diatas permukaan air yang mendidih
dengan suhu 1000C. Otak-otak ikan kemudian langsung ditiriskan dan diletakkan pada tempat
yang sudah disediakan. Perebusan otak-otak ikan hampir sama dengan perebusan bakso,
hanya saja otak-otak ikan satu kali perebusan dengan suhu tinggi. Hal ini sependapat dengan
Wibowo (2004) yang menyatakan bahwa jika otak-otak ikan sudah mengapung di permukaan
air berarti sudah matang dan dapat diangkat. perebusan otak-otak yang matang ditandai

48
dengan mengapungya otak-otak tersebut. Kematangan otak-otak ikan juga dapat diperiksa
dengan melihat bagian dalam otak-otak ikan jika diiris, bekas irisan otak-otak yang matang
akan tampak mengkilap agak transparan biasanya perebusan otak-otak ikan memerlukan
waktu sekitar 15 menit. Proses perebusan dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14. Perebusan


Sumber : CV Fania Food (2018)

Pendinginan

Pendinginan dan penirisan bertujuan untuk menghilangkan atau meminimalisir air


hasil dari perebusan yang ada pada produk dan juga untuk menurunkan suhu serta menjaga
produk agar tidak rusak. Tahapan yang dilakukan dalam proses pendinginan adalah otak-otak
ikan yang matang ditaruh pada sebuah wadah yang berlubang kecil-kecil agar kandungan air
yang ada pada otak-otak berkurang serta wadah tersebut diletakan di atas nampan besar
untuk menampung tetesan sisa penirisan air perebusan. Pendinginan membutuhkan waktu
selama 30 menit untuk memastikan kadar air sudah berkurang. Otak-otak ikan yang telah
ditiriskan kemudian diletakkan di atas meja, dibantu dengan penggunaan kipas angin agar
otak-otak ikan kering dan cepat dingin. Proses pendinginan dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15. Pendinginan dan penirisan otak-otak ikan


Sumber : CV Fania Food (2018)

49
Pengemasan dan Penimbangan
Otak-otak ikan yang telah dingin, kemudian langsung dikemas. Tujuan dari
pengemasan itu adalah untuk melindungi produk supaya tidak terjadi kontaminasi oleh bakteri
dan juga kotoran, selain itu juga untuk meningkatkan nilai jual pada produk tersebut. Hal ini
sesuai dengan yang dikemukakan oleh Purwaningsih (1995), bahwa pengemasan merupakan
salah satu cara untuk melindungi produk pangan maupun non-pangan dan juga untuk
mengawetkan produk yang dikemas, mempermudah transportasi, mempermudah distribusi,
dan juga untuk memperindah penampilan produk. Pengemasan menggunakan plastik PP
(Polyprophylene). Dalam satu kemasan dihitung berat per-plastik seberat 250 gram, setelah
itu disealer supaya tidak ada udara didalam kemasan tersebut sehingga bakteri tidak dapat
berkembang dan produk dapat tahan lebih lama. Satu resep otak-otak ikan akan
menghasilkan 30 bungkus otak-otak ikan dengan berat 250 gram. Proses penimbangan dan
pengemasan dapat dilihat pada Gambar 16 dan Gambar 17.

Gambar 16. Penimbangan Gambar 17. Sealing


Sumber : CV Fania Food (2018) Sumber : CV Fania Food (2018)

Penyimpanan
Penyimpanan produk dilakukan dengan cara memasukan produk kedalam freezer
satu persatu dan ditata dengan rapi agar freezer bisa menyimpan lebih banyak produk. Suhu
penyimpanan didalam freezer yaitu -200C dengan maksimal penyimpanan 6 bulan. CV. Fania
Food saat ini mempunyai 7 freezer, 1 freezer digunakan untuk penyimpanan bahan baku.
Penyimpanan beku yang pada penggunaanya tidak dibedakan menurut jenis produknya,
meskipun CV. Fania Food memiliki banyak macam produk akan tetapi jumlah yang di produksi
relatif kecil sehingga tempat penyimpanan (freezer) masih bisa untuk menampung sementara.
Freezer yang dimiliki CV. Fania Food memiliki kapasitas yang berbeda-beda dimana
dua freezer dengan kapasitas penyimpanan mencapai 200 kg, 5 freezer dengan kapasitas
yang lebih besar yaitu 400 kg. CV. Fania Food tidak hanya memiliki freezer di rumah produksi
saja, tetapi juga memiliki freezer ditempat agen-agen yang memasarkan produk-produk Fania
Food. Freezer selain digunakan untuk penyimpanan juga untuk memperpanjang daya awet
produk. Penyimpanan dingin mengawetkan produk makanan dengan cara hampir seluruh

50
kandungan air dalam produk menjadi es. Keadaan beku menyebabkan aktivitas mikrobiologi
dan enzim terhambat sehingga daya simpan produk bisa lebih panjang. Proses penyimpanan
dapat dilihat pada Gambar 18.

Gambar 18. Penyimpanan


Sumber : CV Fania Food (2018)

5.2 Pengamatan Mutu


Pengamatan mutu bisa dilihat berdasarkan penilaian terhadap uji organoleptik ikan
segar dan uji sensori otak-otak ikan yang meliputi, mata, insang, lendir permukaan badan,
daging, bau, dan tekstur pada ikan segar serta kenampakan, bau, rasa, dan tekstur pada otak-
otak ikan. Mutu bahan baku dan produk akhir bisa diketahui dari hasil uji penilaian tersebut
dengan mengambil nilai rata-rata dari hasil penilaian masing-masing panelis berdasarkan
kriteria pengujian.

5.2.1 Mutu Bahan Baku


Bahan baku yang dipakai untuk diolah agar menciptakan olahan yang aman dan
berkualitas berasal dari bahan baku yang baik. Bahan baku utama otak-otak ikan adalah ikan
segar. Ikan yang segar akan memberikan cita rasa yang enak dibandingkan jika memakai
ikan yang kurang segar atau tidak segar karena bahan baku menentukan hasil dari produk
akhir. Semakin baik bahan baku tersebut maka semakin baik pula produk akhirnya.
Mutu bahan baku ikan segar dapat diuji dengan penilaian organoleptik. Penilaian
organoleptik bahan baku dilakukan dengan mengambil sampel secara acak dan melakukan
penilaian terhadap mata, insang, lendir permukaan badan, daging, bau, dan tekstur. Nilai
organoleptik bahan baku ikan segar dapat dilihat pada Tabel 7.

51
Tabel 7. Nilai Organoleptik Ikan Segar
Pengamatan Simpangan Baku Nilai Organoleptik SNI 2729:2013
I 7.85 ≤ μ ≤ 8.14 8
II 7.81 ≤ μ ≤ 7.99 8
III 7.89 ≤ μ ≤ 8.10 8
7
IV 7.84 ≤ μ ≤ 7.96 8
V 7.99 ≤ μ ≤ 8.00 8
VI 7.89 ≤ μ ≤ 7.90 8
Nilai organoleptik terhadap bahan baku ikan segar menunjukkan bahwa nilai
organoleptik ikan segar pada perusahaan adalah 8 dan sudah memenuhi syarat sebagai
bahan baku untuk diolah (Lampiran 5). Hal ini mengacu pada standar mutu bahan baku
menurut SNI 2729:2013 yang menjelaskan bahwa nilai organoleptik minimal untuk ikan segar
adalah 7. Nilai organoleptik ikan segar pada perusahaan ini adalah 8 disebabkan perusahaan
ini selalu menggunakan bahan baku ikan yang segar dan proses penanganannya pun cepat
sehingga mutunya dapat dijaga. Menurut Metusalach, dkk (2012), salah satu faktor yang
mempengaruhi penurunan mutu ikan adalah waktu, semakin lama waktu maka semakin cepat
ikan mengalami proses penurunan mutu.

5.2.2 Mutu Produk Akhir


Produk akhir merupakan barang jadi dari suatu produksi (hasil akhir proses
pengolahan). Pelaksanaan kegiatan memproduksi harus membangun dan mempertahankan
suatu sistem mutu, untuk itu harus terjaga keamanan mutu dari produk tersebut. Mutu produk
akhir otak-otak ikan dapat diuji dengan penilaian sensori. Penilaian sensori produk akhir
dilakukan dengan mengambil sampel secara acak dan melakukan penilaian terhadap
kenampakan, bau, rasa, dan tekstur. Hasil penilaian sensori otak-otak ikan dapat dilihat pada
Tabel 8 (Lampiran 6).
Tabel 8. Nilai Sensori Otak-Otak Ikan
Pengamatan Simpangan Baku Nilai Sensori SNI 7757:2013
I 8.30 ≤ μ ≤ 8.70 8
II 8.22 ≤ μ ≤ 9.18 8
III 8.46 ≤ μ ≤ 8.54 8
7
IV 8.07 ≤ μ ≤ 8.73 8
V 8.04 ≤ μ ≤ 8.36 8
VI 8.12 ≤ μ ≤ 8.88 8
Nilai sensori terhadap produk akhir otak-otak ikan menunjukkan bahwa nilai sensori
otak-otak ikan pada perusahaan adalah 8 dan sudah memenuhi standar mutu otak-otak ikan
menurut SNI 7757:2013 dengan nilai sensori minimal 7. Nilai sensori ini dipengaruhi oleh
kondisi otak-otak ikan sendiri yang cukup baik. Menurut Sikorski (1990), bahwa kualitas
produk tergantung pada kualitas bahan baku, metode dan lama penyimpanan.

52
5.3 Rendemen
Pengamatan rendemen dilakukan pada tahap ikan utuh ke penyiangan lalu sampai
pengambilan daging. Berdasarkan hasil dari perhitungan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
rendemen ikan berkisar antara 56,01 % sampai 49,90 % dan persentase rata-rata rendemen
dari seluruh pengamatan adalah 51,03 %. Persentase rendemen dari ikan utuh sampai
dengan pengambilan daging yang akan dipakai dapat dilihat pada Tabel 9 (Lampiran 7).
Tabel 9. Rendemen Ikan Pada Pengolahan Otak-Otak Ikan
Pemisahan daging
Pengamatan Utuh (gram) Persentase (℅)
(gram)
1 1007 504 56,01
2 1005 500 49,75
3 1008 502 49,80
4 1001 504 50,35
5 1000 504 50,40
6 1008 503 49,90
Rata-rata 51,03
Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi rendemen antara lain adalah faktor
ukuran ikan, faktor kesegaran merupakan faktor utama. Semakin segar bahan baku, maka
semakin mudah dikerjakan karena daging elastis sehingga persentase yang diperoleh tinggi,
faktor keahlian pekerja juga mempengaruhi besar kecilnya persentase rendemen ikan yang
dihasilkan, karena masing-masing pekerja memiliki tingkat keahlian yang berbeda-beda pada
setiap tahapnya. Karyawan yang tergolong ahli karena telah mempunyai pengalaman dan
mengikuti pelatihan, ketekunan dan ketelitian bekerja sehingga akan menghasilkan rendemen
yang lebih besar (Ilyas, 1993).

5.4 Pengamatan Suhu


Pengamatan suhu dilakukan dengan mengamati suhu bahan baku, suhu air dan suhu
ruangan di setiap tahapan proses pengolahan. Pengamatan suhu dilakukan dengan enam
hari pengamatan dan tiga kali ulangan. Pengamatan suhu bahan baku, suhu air dan suhu
ruangan di setiap tahapan proses pengolahan dapat dilihat pada Tabel 10, 11, dan 12
(Lampiran 8).
Tabel 10. Pengamatan Suhu Bahan Baku
Suhu (°C) Rata-
Tahapan Proses
I II III IV V VI rata
Penerimaan 6,4 6,4 6,6 6,1 6,6 6,2 6,4
Penimbangan 1 6,6 6,6 6,8 6,1 6,9 6,3 6,6
Penyiangan 6,8 6,8 6,9 6,4 6,8 6,4 6,6
Pencucian 6,9 6,9 6,9 6,5 6,7 6,5 6,6
Pengambilan daging 7,0 7,0 7,0 6,7 6,7 6,8 6,8

53
Lanjutan
Suhu (°C) Rata-
Tahapan Proses
I II III IV V VI rata
Penggilingan 7,0 7,0 6,7 6,8 6,8 6,8 6,8
Pencampuran 6,7 6,7 7,0 6,6 7,1 6,8 7,0
Pencetakan manual 18,8 18,8 19,3 20,4 19,1 7,9 13,5
Perebusan 80,0 80,0 81,2 81,4 81,1 81,9 81,5
Pendinginan 27,0 27,0 25,8 26,9 27,0 26,9 27,0
Pengemasan dan Penimbangan
25,9 25,9 25,9 26,1 26,4 26,3 26,3
2
Penyimpanan - 4,5 - 4,5 -4,3 -4,1 - 4,7 - 4,6 -4,7
Berdasarkan data tersebut, suhu cenderung naik pada suhu ikan di setiap masing-
masing proses atau tahapan, terjadinya fluktuasi ini disebabkan oleh penanganan yang
dilakukan pada suhu ruang. Menurut Ilyas (1983), suhu mempunyai pengaruh besar terhadap
jenis bakteri pembusuk. Pengamatan suhu juga dilakukan dengan mengamati perubahan
pada suhu air. Pengamatan suhu air tersebut dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Pengamatan Suhu Air
Suhu (°C) Rata-
Air
I II III IV V VI rata
Pencucian 25,9 25,8 26,0 26,1 25,9 25,9 25,9
Pencampuran 25,3 25,3 25,2 25,1 25,0 25,1 25,2
Berdasarkan Tabel 11 menunjukkan bahwa telah terjadi fluktuasi suhu pada air yang
digunakan dalam proses pengolahan otak-otak ikan. Fluktuasi tersebut dipengaruhi karena
air yang digunakan hanya air yang mengalir dan tidak ditambahkan es. Pengamatan suhu
juga dilakukan dengan mengamati perubahan pada suhu ruangan. Pengamatan suhu ruang
tersebut dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Pengamatan Suhu Ruang
Suhu (°C)
Ruang Rata-rata
I II III IV V VI
Produksi 26,3 26,4 26,9 26,8 26,4 27,0 26,6
Pengemasan 25,2 25,1 24,9 25,0 25,4 25,4 25,2
Hasil pengamatan suhu ruang proses pengolahan otak-otak ikan terjadi fluktuasi.
Fluktuasi tersebut dipengaruhi oleh jumlah tenaga kerja dalam ruangan, luas ruangan, dan
kondisi ruangan tersebut.

5.5 Kelayakan Usaha


5.5.1 Investasi atau Modal Usaha
CV Fania Food memproduksi otak-otak ikan bandeng dengan modal meliputi modal
tetap dan modal kerja. Modal tetap diartikan sebagai modal yang tidak akan habis dalam satu
masa produksi. Modal tetap atau yang bisa dikatakan investasi yang digunakan pada
pengolahan otak-otak ikan bandeng sebesar Rp 30.008.000,- serta biaya penyusutan sebesar
Rp 258.992 (Lampiran 9).

54
5.5.2 Biaya Produksi
Biaya produksi merupakan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam pengolahan bahan
baku menjadi produk, yang digunakan untuk menghitung biaya produk jadi dan biaya produk
yang pada akhir periode akuntasi masih dalam proses (Mulyadi, 2005). Total biaya produksi
pada pengolahan otak-otak ikan bandeng adalah sebesar Rp 4.696.268,- dari penjumlahan
biaya tetap sebesar Rp 3.316.492,- dan biaya tidak tetap sebesar Rp 1.379.776,- (Lampiran
10).

Biaya Tetap (Fixed Cost)


Biaya tetap adalah biaya yang jumlahnya tetap, tidak tergantung kepada perubahan
tingkat kegiatan dalam menghasilkan keluaran atau produk didalam interval tertentu. Biaya
tetap penggunaannya tidak habis dalam satu masa produksi, antara lain: biaya penyusutan,
tenaga kerja langsung, sewa mesin, tenaga kerja tak langsung, bunga, dll (Umar 2005 dalam
Nurhasanah 2008). Jumlah total fixed cost adalah tetap untuk setiap tingkat output, misalnya
penyusutan, bunga modal dan lain-lain. Jumlah biaya tetap pada usaha pembuatan otak-otak
ikan bandeng adalah Rp. 3.316.492,-.

Biaya Tidak Tetap (Variable Cost)


Biaya tidak tetap merupakan biaya yang jumlahnya beruba-ubah sesuai dengan
perubahan tingkat produksi. Biaya tidak tetap ini habis dalam satu kali produksi. Titik berat
dari biaya tidak tetap ini adalah jumlah dari biaya tidak tetap tersebut, bukan besarnya biaya
tidak tetap per unit (Umar 2005 dalam Nurhasanah 2008). Jumlah biaya tidak tetap pada
usaha pengolahan otak-otak ikan bandeng adalah Rp 1.379.776,-.

Total Pengeluaran
Total pengeluaran merupakan keseluruhan biaya yang harus dikeluarkan oleh
perusahaan untuk membeli semua keperluan baik barang dan jasa yang akan digunakan
dalam proses produksi demi menghasilkan suatu barang (Yuwandhana, 2018). Total
pengeluaran usaha pengolahan otak-otak ikan adalah Rp 4.696.268,-.

5.5.3 Analisa Usaha


Keuntungan
Keuntungan usaha atau pendapatan bersih adalah besarnya penerimaan setelah
dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan untuk proses produksi baik tetap maupun tidak tetap
(Primyastanto dan Istikharah, 2006 dalam Afiati, 2017). Laba adalah infromasi potensial yang
terdapat di dalam laporan keuangan yang sifatnya sangat penting untuk pihak internal atau
eksternal perusahaan. Informasi keuntungan berfungsi untuk menilai kinerja manajemen,

55
membantu mengestimasi kemampuan laba yang representative dalam jangka panjang,
menafsir risiko investasi ataupun meminjamkan dana. Hasil perhitungan menunjukkan
keuntungan yang didapat pada usaha pembuatan otak-otak ikan bandeng per bulan sebesar
Rp 1.063.732 dan per tahun sebesar Rp. 10.637.320,- (Lampiran 12).

Payback Period
Menurut Umar (2005) dalam Cahyadi (2009), payback period adalah suatu periode
yang diperlukan untuk menutup kembali pengeluaran investasi (intial cash investment)
dengan menggunakan aliran kas. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa waktu
pengembalian modal usaha atau periode untuk menutup kembali pengeluaran investasi yaitu
selama kurang lebih 2 tahun 7 bulan 5 hari (Lampiran 11).

B/C Ratio
Perhitungan B/C Ratio ini untuk menentukan kelayakan suatu usaha (Nurhasanah,
2008). Usaha tersebut belum mendapatkan keuntungan bila nilainya 1, sehingga perlu
dilakukan pembenahan, sebab semakin kecil hasil perhitungan B/C Ratio ini maka
perusahaan akan semakin menderita kerugian (Raghardi 2001 dalam Nurhasanah 2008).
Usaha dikatakan layak apabila berdasarkan analisa B/C Ratio menunjukkan hasil >1.
Analisa B/C ratio pada pembuatan otak-otak ikan bandeng sebesar 1,23. Besarnya
B/C ratio pada usaha pembuatan otak-otak ikan bandeng ini lebih dari 1, sehingga dapat
dikatakan usaha pembuatan otak-otak ikan bandeng ini layak untuk diteruskan. Rincian
perhitungan analisa B/C ratio dapat dilihat pada Lampiran 11.

Break Even Point (BEP)


Break Event Point adalah analisa untuk menghitung hubungan antara biaya tetap, biaya
variable, keuntungan dan biaya produksi (Wijaya, 2008). Perhitungan BEP ini digunakan
untuk menentukan batas minimum volume penjualan agar suatu perusahaan tidak rugi. BEP
dapat dihitung ketika sudah diketahui jumlah total biaya tetap, biaya variabel per unit atau total
variabel, hasil penjualan total atau harga per unit. BEP akan meningkat jika biaya tetap
meningkat, dan akan menurun jika biaya tetap juga turun, begitu juga pada perubahan biaya
variable per unit. Harga jual per unit dinaikkan dapat menurunkan tingkat BEP dan sebaliknya.
Hasil perhitungan BEP per unit untuk pembuatan otak-otak ikan bandeng adalah
sebanyak 272 bungkus dengan harga Rp 13.045,-/bungkus. Hal ini menerangkan bahwa
usaha pembuatan dendeng ikan buntal pisang ini tidak rugi dan tidak untung (impas) saat
produk laku sebanyak 272 bungkus dengan harga Rp 13.045,-/bungkus dalam tiap bulannya
(Lampiran 11).

56
5.6 Pengamatan Kelayakan Dasar Unit Pengolahan
CV Fania Food memperoleh Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP). SKP diterbitkan
oleh Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (Dirjen P2HP) sebagai
hasil pembinaan terhadap Unit Pengolahan Ikan (UPI) baik skala besar maupun skala UKM
(Usaha Kecil Menengah) yang telah menerapkan Cara Pengolahan Yang Baik (Good
Manufacturing Practices/GMP) dan memenuhi persyaratan Prosedur Operasi Sanitasi
Standar (Standard Sanitation Operating Procedure/SSOP. Penilaian SKP yang telah
dilakukan menunjukkan bahwa CV Fania Food memperoleh nilai B (baik) (Lampiran 12).

5.6.1 Persyaratan Fisik


Lokasi
CV.Fania Food berada dekat dengan kota sehingga mempermudah dalam pemasaran
produk, dan mudah dalam memperoleh bahan pendukung produksi. Ketersediaan air, listrik
dan telekomunikasi yang mudah, didekat pemukiman padat penduduk dan harus melalui gang
yang agak sempit.

Bangunan
Bangunan CV. Fania Food berada di tempat yang bebas dari pencemaran dan
berdasarkan perencanaan yang memenuhi persyaratan sanitasi dan higiene yang sesuai
dengan jenis produk yang di produksi, sehingga memudahkan proses pembersihan termasuk
tindakan dalam sanitasi dan mudah dalam pemeliharaan. CV. Fania Food dirancang dan
ditata memiliki batas yang jelas. Pembagian ruang terdiri dari ruang pencucian bahan baku,
ruang pengolahan produk basah, ruang pengolahan produk kering, ruang penyimpanan
bahan mentah, ruang penyimpanan peralatan pengolahan, ruang locker tim masuk, ruang
transit toilet, toilet, ruang pengemasan, ruang gudang pengemasan, ruang istirahat staff,
ruang display produk, dan ruang tamu.
1) Lantai
CV. Fania Food memiliki lantai ruangan yang terbuat dari semen dan dilapisi dengan
keramik berwarna putih, permukaan lantai halus dan rata, sehingga memudahkan dalam
operasi sanitasi. Pertemuan lantai dan dinding di ruangan proses membentuk sudut. Selama
proses produksi berlangsung petugas sanitasi tetap menjaga kebersihan dengan selalu
membersihkan kotoran yang ada dilantai.
2) Dinding
Permukaan dinding terbuat dari tembok yang di cat putih, halus, rata, tidak bercelah,
dan mudah dibersihkan, kedap air serta berwarna terang.

57
3) Langit-langit
Langit-langit pada ruang proses pengolahan terbuat dari plafon berwarna putih, kedap
air, dan mudah dibersihkan, tetapi masih terdapat celah pada langit-langit dan mudah retak.
Tinggi langit-langit pada ruang proses pengolahan mencapai dua meter di atas lantai.
4) Ventilasi
Ruang proses pengolahan terdapat ventilasi yang mudah dibersihkan, dan terdapat
blower yang berfungsi untuk sirkulasi udara dalam ruang proses pengolahan, menghilangkan
bau yang tidak diinginkan, mencegah pengembunan, pertumbuhan jamur, menghindari panas
yang berlebihan. Produk yang dibuat harus tetap terjaga suhunya.
5) Penerangan
Ruang pengolahan yang dimiliki CV. Fania Food mempunyai penerangan dengan
menggunakan lampu berwarna putih yang dipasang dengan jumlah dua pasang, dipasang
dengan cara merata dengan jumlah yang cukup sehingga setiap bagian ruangan
mendapatkan intensitas cahaya yang cukup selama proses pengolahan berlangsung. Lampu-
lampu diruang pengolahan diberi penutup dari plastik mika, hal ini dilakukan agar tidak
membahayakan apabila sewaktu waktu lampu pecah, maka pecahan lampu tidak tertahan
dan jatuh mengenai produk.
6) Pintu dan Jendela
Pintu masuk ruang proses pengolahan terbuat dari besi dan diberikan tirai plastik (air
curtain) untuk mencegah masuknya serangga dan binatang pengerat lainnya yang dapat
masuk ke dalam ruang pengolahan yang dapat mengkontaminasi produk. Tidak terdapat
jendela pada CV. Fania Food ini.

Fasilitas
a) Ruang Produksi
Terletak di lantai satu dan terpisah dari ruangan lainnya. Digunakan untuk kegiatan
proses pengolahan, dirancang dengan baik sehingga batas antara ruangan yang satu dengan
yang lainnya terlihat jelas untuk mencegah terjadinya kontaminasi terhadap produk yang akan
dihasilkan.
b) Tempat cuci tangan
Ruang pengolahan CV. Fania Food terdapat satu tempat cuci tangan yang terdapat
didekat pintu ruang masuk proses produksi, dilengkapi dengan sabun dan lap tangan.
c) Toilet
Toilet terletak di lantai dua yang terpisah dengan ruang proses pengolahan. Fasilitas
air lancar, pintu dan langit-langit dalam keadaan baik. Perlengkapan yang ada di toilet hanya
gayung dan ember. Fasilitas toilet yang dimiliki CV berjumlah 1 untuk seluruh kayawan, dalam
penggunaannya tergabung antara toilet wanita dan pria.

58
5.6.2 Persyaratan Operasional
Good Manufacturing Practices (GMP)
1) Penerimaan Bahan Baku
Bahan baku di CV. Fania Food diterima dalam bentuk bandeng utuh dalam keadaan
segar. Bahan baku yang diterima dilakukan pengecekan oleh petugas dengan mengacu pada
organoleptik pada penampakan dan warna. Pengiriman dilakukan dengan menggunakan
mobil pick up, karena pengiriman biasa dilakukan pada pagi hari dan untuk menjaga suhunya
ditambahkan juga es curai yang disusun bersama ikan. Pembongkaran dilakukan pada ruang
penerimaan, ikan dikeluarkan dengan cepat dan hati-hati untuk mencegah terjadinya
kenaikan suhu ikan serta mencegah terjadinya kerusakan fisik ikan yang berakibat
menurunnya kesegaran mutu ikan. Bahan baku yang datang kemudian dicatat waktu
penerimaan dan berat bahan baku yang diterima.
Suhu rata-rata pada tahap penerimaan bahan baku adalah 6,4ºC, pengukuran
dilakukan dengan menggunakan alat pengukur suhu thermometer digital, dengan cara
menusukkan pada bagian bawah sirip insang. Pengukuran suhu dilakukan sebagai salah satu
usaha untuk mempertahankan kesegaran ikan. Bahan baku yang telah diterima kemudian
dilakukan penimbangan sesuai ukuran, kemudian dilanjutkan ke tahap proses penanganan
dan pengolahan.
2) Penanganan dan Pengolahan
Penanganan dan pengolahan ikan bandeng dilakukan dengan cukup baik.
Penanganan dimulai dari bahan baku yang diterima, bahan baku ikan segar yang diangkut
dengan mobil pick up kemudian ditangani secara hati-hati dan cepat, kemudian dilanjutkan
ketahap pengolahan yang dilakukan dengan cepat dan cermat untuk menjaga suhu pada
bahan baku. Suhu ruang produksi yang ada diunit pengolahan memiliki suhu rata-rata 26,6ºC.
3) Bahan Pembantu
Bahan pembantu yang digunakan adalah air dan es. Air dan es yang digunakan telah
memenuhi persyaratan air minum (PDAM), yang dicek setiap 6 bulan sekali.
4) Pengemasan dan Penyimpanan
Kemasan yang digunakan untuk produk yaitu plastik polyprophylene (PP).
Pengemasan selanjutnya produk akan dilapisi menggunakan master carton yang telah
disediakan sesuai dengan spesifikasi produknya apabila produk tersebut akan dikirimkan,
satu master carton harus berisi produk dengan kode produksi dan kualitas yang sama. Produk
yang belum terjual di simpan dalam freezer dalam suhu ≤ -15ºC.
5) Distribusi
Produk yang dijual akan dikirim dan dimasukkan kedalam mobil pick up tertutup
apabila pembeli berjarak jauh dari unit pengolahan, tetapi apabila pembeli adalah orang
sekitar daerah unit pengolahan hanya memakai plastic biasa. Kondisi mobil pick up yang

59
digunakan untuk distribusi yang jauh tertutup dan dapat menjaga produk dari sinar matahari.
Produk ditangani dan dilakukan dengan cermat, hati-hati dan cepat secara saniter.

Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP)


1) Keamanan Air dan Es
Air merupakan komponen penting dalam proses pengolahan karena perannya sebagai
bagian utama untuk proses pengolahan, pembersihan lantai, didalam dan diluar proses
produksi. Air yang dipakai CV. Fania Food berasal dari PDAM (perusahaan daerah air minum)
yang telah mempunyai mutu standar dan untuk menjaga keamanan air yang digunakan dalam
proses produksi air dan es diuji pada laboratorium setiap satu kali dalam enam bulan. Es yang
digunakan di CV. Fania Food diproduksi sendiri, es dibuat menggunakan air PDAM yang
dikemas dalam plastik kemudian es dibekukan didalam freezer.
2) Kondisi dan Kebersihan Permukaan yang Kontak dengan Bahan Pangan
Kontruksi bangunan dan semua peralatan yang digunakan dalam proses pengolahaan
terbuat dari stainless steel dan dapat mengurangi kontaminasi terhadap produk. Semua
peralatan yang digunakan selalu dibersihkan sebelum, dan setelah proses pengolahan
menggunakan air bersih mengalir sesuai standar untuk mencegah terjadinya kontaminasi.
Peralatan dibersihkan dan dicuci dengan menggunakan sabun dan air bersih. Khusus untuk
peralatan yang dapat kontak langsung dengan produk seperti sarung tangan dan dapat diganti
setiap hari, begitu juga dengan penggunaan apron dalam ruang pengolahan harus bersih dan
selalu dibersihkan untuk mengurangi terjadinya kontaminasi.
3) Pencegahan Kontaminasi Silang
Kontaminasi silang adalah bagian yang sering terjadi pada unit pengolahan karena
kurangnya pemahaman terhadap hal ini. Untuk mencegah terjadinnya kontaminasi silang
dilakukan upaya-upaya seperti menjaga kebersihan dalam ruang pengolahan dan selama
proses pengolahan berlangsung. Lantai dan dinding dibersihkan dengan menggunakan air
bersih dan disikat. Pencucian dilakukan sebelum proses, sebelum istirahat dan selesai
proses. Karyawan wajib memakai pakaian bersih dan tertutup (sarung tangan, topi, masker,
pakaian kerja, dan apron), sebelum masuk ruang pengolahan karyawan atau tamu diwajibkan
dalam kondisi bersih. Karyawan wajib memakai peralatan kerja dalam keadaan lengkap
selama proses. Sarung tangan dan perlengkapan lainnya harus dibersihkan secepatnya
ketika kontak langsung dengan lantai.
4) Menjaga Fasilitas Pencuci Tangan, Sanitasi dan Toilet
Setiap karyawan di CV. Fania Food memiliki perlengkapan kerja seperti apron yang
semuanya wajib dijaga akan kebersihannya dan tidak dibawa pulang, apron dipakai pada saat
bekerja. Karyawan yang akan masuk kedalam ruang pengolahan diwajibkan mencuci tangan

60
dengan sabun, membilas dan mengeringkannya. Wajib melewati bak cuci kaki sebelum
masuk keruang pengolahan. Tempat bak cuci kaki diletakkan didepan pintu masuk.
CV. Fania Food memiliki sebuah toilet yang tidak dibedakan antara toilet pria dan
wanita. Toilet terletak dilantai dua terpisah dari ruang pengolahan. Fasilitas air lancar, pintu
dan langit-langit dalam keadaan baik dan dilengkapi dengan sabun cair untuk membersihkan
tangan. Fasilitas toilet yang dimiliki unit pengolahan yaitu 1 buah untuk seluruh karyawan.
Jumlah toilet tersebut sudah mencukupi mengingat jumlah karyawan disana sebanyak 10
orang karyawan. Toilet juga dilengkapi dengan gayung dan ember.
5) Proteksi Dari Bahan Bahan Kontaminan
Unit pengolahan menyimpan bahan pengemas, dan alat-alat untuk produksi pada
ruangan khusus untuk mencegah kontaminasi silang, bahan-bahan lain yang digunakan juga
disimpan terpisah dari bahan-bahan sanitasi. Karyawan dilarang makan, minum, berbicara,
menyanyi, merokok. Seluruh karyawan harus memakai atribut pengolahan, mencelupkan kaki
kedalam bak cuci kaki dan mencuci tangan dengan sabun yang sudah tersedia sebelum
masuk ruang proses. Ketika selesai produksi alat-alat untuk produksi dicuci dengan sabun
dan diletakkan di tempat khusus.
6) Pelabelan, Penyimpanan dan Penggunaan Bahan Baku yang Benar
Penggunaan bahan-bahan tambahan dan bahan-bahan pembersih disesuaikan
dengan kebutuhannya, sabun cair digunakan untuk mencuci alat-alat pengolahan seperti
pisau, baskom dan alat pengolahan lainnya. Bahan pembersih diberikan label dan cara
penggunaannya untuk mencegah terjadinya kontaminasi dan keamanan pada saat
penggunaannya. Bahan kemasan dan bahan pembersih di simpan dengan baik, terlindungi
dari resiko kontaminasi dan di tempatkan dalam ruangan yang terpisah dengan ruang
produksi. Bahan untuk pembungkus dan pengemasan tidak berasal dari sumber kontaminasi,
bahan yang digunakan aman terhadap bahan makanan.
7) Pengawasan Kondisi Kesehatan Personil
Setiap karyawan baru harus mempunyai catatan kesehatan dan dalam kondisi sehat.
Setiap karyawan yang dari hasil pemeriksaan kesehatan atau pengamatan ternyata sakit,
luka, atau masalah lainnya yang mungkin mengkontaminasi produk tidak diperkenankan
mengikuti proses sampai kondisi sembuh. Karyawan selalu diberikan pengarahan secara
berkala dalam memperhatikan kebersihan pribadi mereka.
8) Pengendalian Hama
Ruang pengolahan CV. Fania Food dilengkapi dengan tirai plastik disetiap pintu
masuk ruang pengolahan untuk mencegah masuknya serangga ke dalam ruang pengolahan,
Pipa pada saluran pembuangan air dari ruang pengolahan dilengkapi dengan penutup lubang
pada saluran pembuangan untuk mencegah masuknya binatang pengerat. Ruangan harus
selalu dibersihkan untuk tidak ada serangga didalamnya, tidak ada lubang untuk mencegah

61
masuknya serangga dari pintu masuk sampai ke daerah pengolahan dan secara berkala
dilakukan pengontrolan tehadap perangkap-perangkap yang telah dipasang.

62
6. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan selama Praktik Kerja Lapangan di CV Fania Food
maka dapat disimpulkan beberapa hal antara lain sebagai berikut :
1) Proses pengolahan otak-otak ikan meliputi penerimaan bahan baku, pencucian,
penyiangan, pengambilan daging, pelumatan daging, pencampuran, pencetakan tanpa
daun, perebusan, pendinginan, pengemasan dan penimbangan, dan penyimpanan beku.
2) Mutu bahan baku ikan segar mempunyai rata – rata nilai organoleptik 8 yang menyatakan
baik sedangkan mutu produk akhir otak-otak ikan mempunyai rata – rata nilai sensori 8
yang sudah memenuhi standar SNI.
3) Persentase rendemen dari ikan utuh sampai pengambilan daging berkisar antara 56,01%
sampai 49,90%.
4) Pengamatan suhu pada setiap indikator suhu menunjukkan bahwa perusahaan belum
dapat menerapkan sistem rantai dingin dengan baik.
5) Kelayakan usaha pada CV Fania Food menunjukkan total pendapatan Rp. 5.760.000,
keuntungan Rp. 1.063.732, B/C rasio 1,23, titik impas 272 bungkus dan Rp. 4.361.191
tiap bulannya.
6) Penerapan kelayakan dasar GMP dan SSOP di CV Fania Food memenuhi standar
sanitasi dan higiene yang mengacu pada kuisioner Supervisi Sertifikat Kelayakan
Pengolahan UPI Skala kecil walaupun masih ada GMP dan SSOP yang perlu diperbaiki.
Penilaian SKP menunjukkan bahwa CV Fania Food memperoleh nilai B (baik).

6.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas maka dapat diberikan saran antara lain:
1) Suhu pada proses pengolahan harus tetap dijaga untuk mempertahankan mutu produk
selama proses pengolahan.
2) Lokasi perusahaan sebaiknya tidak berada di lingkungan pemukiman penduduk agar
tidak menjadi sumber kontaminan.
3) Langit-langit pada ruang pengolahan harus menggunakan bahan yang tidak mudah retak
dan tidak terdapat celah pada langit-langit.

63
DAFTAR PUSTAKA

Abubakar. (2008). Pengaruh Suhu dan Waktu Pasteurisasi Terhadap Mutu Susu Selama
Penyimpanan. Jurnal Badan Peternakan Nasional.
Adelaide MU, Mega M, M. Zaelani, Nico, Siti lulu AM, yudha A. (2011). Identifikasi Parasit
Pada Ikan Bandeng. Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian universitas Sultan Ageng
Tirtaysa, Serang.
Aditya, R. (2015). Media dan Teknik Pendinginan Ikan. Diambil dari:
https://www.scribd.com/doc/257936035/Media-Dan-Teknik-Pendinginan-Ikan.
Diakses pada 21 November 2018.
Afiati, S. (2017). Proses Pembuatan Otak-Otak Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus) di
UKM Fania Food Gedongkuning, Kel. Rejowinangun, Kec. Kotagede,
Yogyakarta. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Brawijaya. Malang.
Afriwanty, M. D. (2008). Mempelajari pengaruh penambahan tepung rumput laut
(Kappaphycus alvarezii) terhadap karakteristik fisik surimi ikan nila
(Oreochromis sp.). Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. (2013). SNI 2729:2013. Ikan Segar. Badan
Standardisasi Nasional, Jakarta.
__________________________________ __. SNI 7757:2013. Otak – Otak Ikan. Badan
Standardisasi Nasional, Jakarta.
Cahyadi, E. (2009). Analisis Kelayakan Usaha Penangkapan Ikan Cakalang (Kotsuwonus
Pelamis) Ditinjau Dari Aspek Teknis Dan Finansial Dengan Huhate (Pole and
Line) Pada Km. Flotim 21 Di Unit Plasma PT. Okhisin Larantuka NTT. Karya Ilmiah
Praktek Akhir. Jurusan Teknologi Penangkapan Ikan. Sekolah Tinggi Perikanan
Jakarta.
Daniati. (2005). Pemanfaatan Sumber Pangan Dengan Penambahan Nilai. Bumi Aksara.
Jakarta.
Dewayani, G. M. (2016). Penerapan Metode Air Blast freezing (ABF) Pada Pembekuan
Ikan Salmon Chum (Oncorhynchus keta). PT. Marine Cipta Agung, Pasuruan. Jawa
Timur
Direktorat Pengolahan dan Bina Mutu. (2017). Latar Belakang Subdit Standarisasi Ditjen
P2HP. Diambil dari http://skp-pdspkp.kkp.go.id/?m=f_latarbelakang_terbit. Diakses
pada 21 November 2018.
Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian. (2009). Konsep Pedoman Sanitasi dan Hygiene
Agroindustri Perdesaan. Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian.
Departemen Pertanahan : Jakarta.
Fellows, P. 1990. Food Processing Technology : Principles and Practise. New York: Ellis
Horwood Limited.
Hadiwiyoto, S. (1993). Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Fakultas Teknologi
Pengolahan Universitas Gajah mada. Yogyakarta
Hengga, H. (2009). Analisis Usaha Dan Teknik Produksi Benih Ikan Koi (Cyprinus carpio)
Di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi, Jawa
Barat. Karya Ilmiah Praktek Akhir. Jurusan Teknologi Pengelolaan Sumberdaya
Perairan. Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta.
Hidayah, N. (2008). Penanganan dan Pengolahan Udang Windu (Penaeus monodom)
Kaitannya terhadap mutu udang segar beku (Fresh Frozen Shrimp, Head Less)
Di PT Misaja Mitra Tarakan Kalimantan Timur. Karya Ilmiah Praktik Akhir. Jakarta:
Jurusan Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan, Sekolah Tinggi Perikanan.
Ilyas, S. (1983). Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan. Jakarta: CV Paripurna.
______. (1993). Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan. Jilid I Teknik Pendinginan Ikan.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta.

64
Karim, M., Susilowati, A., & Asnidar. (2013). Analisis Tingkat Kesukaan Konsumen
Terhadap Otak-Otak dengan Bahan Baku Ikan Berbeda. Jurnal Balik Diwa, Vol. 4,
No. 1, Hal 25-31.
Mawaddah, A. (2012). Teknologi Pengolahan Pangan. Yogyakarta.
Metusalach, Kasmiati, Fahrul, dan Ilham Jaya. (2012). Analisis Hubungan Antara Cara
Penangkapan Dan Cara Penanganan Dengan Kualitas Ikan Yang Dihasilkan.
Laporan Hasil Penelitian. LP2M. Unhas.
Mudjiman, A. (1998). Makanan Ikan. Penebar Swadaya, Jakarta.
Mulyadi. (2005). Akuntasi Biaya. Edisi kelima. Yogyakarta : UPPAMP YKPN Universitas
Gajah Mada.
Napitupulu, Romauli J. (2017). Es. Teknik Pengolahan Produk Perikanan. Politeknik Kelautan
dan Perikanan Karawang. Karawang.
Nelson, J.S. (1984). Fishes of The World. A Wiley Interscience Publication.
Nurdiyansyah, A. (2010). Evaluasi Aplikasi GMP dan SSOP Serta Penyusunan HACCP
Plan Pada Produksi Yoghurt Drink Di PT Indolakto Factory Pandaan Pasuruan.
Bogor: IPB.
Nurhasanah, (2008). Kelayakan Usaha Pengolahan Kerupuk Cumi Di UD. Pelangi Sari,
Banyuwangi, Jawa Timur. Karya Ilmiah Praktek Akhir. Jurusan Teknologi
Pengolahan Hasil Perikanan. Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta.
Nurhidayat. (2014). Sanitasi Ruang Pengolahan Makanan. Diambil dari
http://nurhidayat.lecture.ub.ac.id/files/2014/09/minggu-08.-SANITASI-RUANG-
PENGOLAHAN-MAKANAN.pdf. Diakses pada 21 November 2018.
Nurjanah. (2005). Bahan Tambahan Pangan dalam Otak-otak. Fakultas Pertanian.
Universitas IPB. Bogor.
Pamijiati, (2009). Pengaruh Ekstrak Daun Selasih (Ocimum basilicum linn) Terhadap
Mutu Kesegaran Ikan Bandeng Selama Penyimpanan Dingin (Chanos chanos
Forsk). Skripsi. Semarang: Universitas Diponegoro.
Pasaribu, A.M. (2004). Kajian Sistem Mudular Pada Usaha Tani Ikan Bandeng (Chanos
chanos, Forskal) di Sulawesi Selatan. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian, 7, 187-192.
Purnomowati, I., Hidayati, D., dan Saparinto, C. (2007). Ragam Olahan Bandeng. Kanisius.
Yogyakarta.
Purwaningsih, S. (1995). Sanitasi Higiene Dalam Pengolahan Makanan. Kanisius.
Yogyakarta.
Puspita, F. (2014). Pembekuan dan Pendinginan. Laporan Praktikum Prinsip Teknik
Pangan. Purwokerto: Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman.
Puspitaningati, R. P. (2016). Proses Pengolahan Otak-Otak Ikan Bandeng (Channos
channos) Di UKM Fania Food Yogyakarta. Laporan Praktik Kerja Lapang. Program
Studi Teknik Pengolahan Produk Perikanan. Politeknik Kelautan dan Perikanan
Sidoarjo: Sidoarjo.
Putra, D. A., Agustini, T. W., & Wijayanti, I. (2015). Pengaruh Penambahan Karagenan
Sebagai Stabilizer Terhadap Karakteristik Otak-Otak Ikan Kurisi (Nemipterus
nematophorus). Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan, Vol. 4, No. 2,
Hal 1-10.
Saprianto, C. (2007). Membuat Aneka Olahan Bandeng. Penebar Swadaya, Jakarta.
Saulina, H. (2009). Pengendalian Mutu Pada Proses Pembekuan Udang Menggunakan
Statistical Process Control (SPC) Studi Kasus : Di Pt Lola Mina Jakarta Utara.
Skripsi. cDepartemen Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan Dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor: Bogor.
Sikorski, Z. E. (1990). Chilling of Fresh Fish. Seafood Resources, Nutritional Composition
and Preservation. CRC Press Inc.Florida.
Sudrajat, A. (2008). Budidaya 23 Komoditas Laut Menguntungkan. Penebar Swadaya,
Jakarta.

65
Sulastri, S. (2010). Penerapan Sistem Kelayakan Dasar Pada Pengalenganrajungan
(Portunus pelagicus). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian
Bogor : Bogor.
Susiwi, S. (2009). Dokumentasi SSOP (Sanitation Standard Operating Procedures) S P
O Sanitasi. Handout. Jurusan Pendidikan Kimia. Universitas Pendidikan Indonesia:
Bandung.
Suyitno. (1991). Dasar - Dasar Fisiologi Tumbuhan. Jilid 1. Bogor: Departemen Botani
Fakultas Pertanian IPB.
Tanikawa, E. (1985). Marine Productc In Japan. Koseisha-Koseikaku Company, Tokyo.
Taufiqullah. (2018). Aspek Lingkungan Produksi (Lokasi). Diambil dari
https://www.tneutron.net/pangan/aspek-lingkungan-produksi-lokasi/. Diakses pada 21
November 2018.
Triharjono, A. Banun D. P., Muhammad F. (2013). Evaluasi Sanitation Standard Operating
Procedures Kerupuk Amplang Di UD Sarina Kecamatan Kalianget Kabupaten
Sumenep. AGROINTEK Vol 7, No.2, Hal 76 - 83.
USDA National Nutrient Database For Standard Reference. (2009). Milkfish List Nutrition.
Wairooy, A. (2017). Pengaruh Biaya Penyusutan Aset Tetap terhadap Laba pada PT.
Bank Sulselbar. Jurnal Office, Vol. 3 No. 1.
Waryanti, D. (2013). Uji Daya Hambat Secara In Vitro Ekstrak Biji Picung (Pangium edule)
Terhadap Pertumbuhan Bakteri Pada Ikan Bandeng (Chanos chanos) Busuk
yang Diawetkan dengan Pengasapan. Purwokerto: Program Studi Pendidikan
Biologi. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Muhammadiyah
Purwokerto.
Wibowo, S. (2004). Pembuatan Bakso Ikan dan Bakso Daging. Penebar Swadaya. Jakarta
Wijaya, P. (2008). Pengolahan Permen Rumput Laut (Eucheuma cotonii) Serta Analisa
Finansial Dan Strategi Pengembangan Usaha Di UD. Rukhaiyah, Lombok, Nusa
Tenggara Barat. Karya Ilmiah Praktek Akhir. Jurusan Teknologi Pengolahan Hasil
Perikanan. Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta.
Winarno, F. G. dan Surono. (2004). GMP Cara Pengolahan Pangan yang Baik. M-Brio
Press. Bogor.
Yuwandhana, D. P. (2018). Menghitung Biaya – Biaya Dalam Industri Pengolahan Hasil
Perikanan. Teknik Pengolahan Produk Perikanan. Politeknik Kelautan dan Perikanan
Karawang.

66

Anda mungkin juga menyukai