Anda di halaman 1dari 37

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan salah satu negara penghasil ikan tenggiri terbesar di
dunia. Ikan tenggiri (Scomberamorus commerson) merupakan jenis ikan pelagis
besar yang memiliki kandungan gizi yang tinggi, rasa yang enak dan harga yang
cukup terjangkau. Ikan tenggiri memiliki kandungan lemak yang tinggi yaitu 0,2-
5% dan protein sekitar 18-22% yang sangat baik untuk pertumbuhan. Selain itu,
ikan tenggiri secara fisik memiliki daging yang tebal sehingga masyarakat
memanfaatkannya menjadi beberapa produk olahan laut salah satunya adalah
otak-otak. Otak-otak ikan merupakan salah satu produk diversifikasi hasil
perikanan yang sudah lama dikenal oleh masyarakat. Otak-otak ikan tenggiri pada
dasarnya terbuat dari daging ikan tenggiri yang cukup banyak mengandung
protein dan lemak sehingga memiliki nilai gizi yang baik bagi tubuh.
Pembuatan otak-otak tidak jauh berbeda dengan pembuatan makanan yang
berbahan dasar surimi, seperti baso, nugget, sosis, empek-empek, dan lain-lain.
Bahan tambahan yang biasa digunakan dalam pembuatan otak-otak ikan ini
adalah tepung, umumnya tepung tapioka atau tepung sagu, tepung terigu, santan,
daun bawang, bawang merah, bawang putih, merica, garam dan gula yang
kemudian dikukus, digoreng atau dipanggang dalam balutan daun pisang. Pada
praktikum dilakukan percobaan untuk menentukan konsentrasi tepung terigu dan
tapioka yang ditambahkan pada pembuatan otak-otak. Oleh karena itu dilakukan
praktikum yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan otak-otak ikan tenggiri
pada pemberian tambahan tepung terigu dan tapioka terkait parameter yang
diujikan.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari kegiatan praktikum pembuatan otak-otak adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui cara pengolahan ikan menjadi otak-otak.
2. Untuk mengetahui formulasi terbaik dalam pembuatan otak-otak
ikan.
3. Untuk mengetahui pengaruh pemberian tepung terigu dan tapioka
terhadap parameter fisik dan organoleptik otak-otak.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Produk dan Kandungan Gizi Produk


Otak-otak merupakan salah satu produk olahan dari ikan tenggiri dengan
campuran santan, sagu, gula dan bahan tambahan lainnya yang dibungkus dengan
daun pisang dan dipanggang. Tekstur yang kenyal tetapi lembut pada daging ikan
tenggiri , juga rasanya yang gurih menjadi nilai tambah dalam pemanfaatannya
menjadi bahan baku produk otak-otak. Bahan baku yang digunakan untuk
membuat produk otak-otak ikan tenggiri sangat menetukan kualitas mutu produk
yang dihasilkan (Karim et.al., 2013).
Otak-otak ikan adalah sejenis makanan yang dibuat dari ikan yang dibungkus
dengan daun pisang dan dibakar menggunakan api arang kayu. Otak-otak pada
umumnya terbuat dari ikan tenggiri, santan, sagu, bumbu, dan gula. Otak-otak ini
merupakan makanan khasn daerah Sumatera Selatan. Namun penyebarannya
hampir di seluruh Indonesia termasuk Sulawesi Selatan . Otak-otak digunakan
sebagai hidangan dan sajian pembuka. Otak-otak ini dapat tahan lebih dari satu
hari jika disimpan dalam lemari pendingin (Hendrik, 2009).
Otak-otak dibuat dari ikan yang diambil dagingnya, dihaluskan dan dibumbui.
Selanjutnya daging ikan tersebut dicampurkan dengan bahan-bahan lainnya
seperti santan, sagu dan daun bawang yang kemudian dikukus, digoreng atau
dipanggang dalam balutan daun pisang. Otak-otak biasanya identik dengan
menggunakan daun pisang, yang menjadi kunci kelezatannya karena bau khasnya
yang menyatu dengan bahan-bahan yang lain saat dipanggang.
Otak-otak merupakan produk makanan yang menggunakan bahan baku utama
daging atau filet ikan yang diolah menjadi pasta atau gel protein yang disebut
kamaboko. Selanjutnya kamaboko diolah menjadi otak-otak. Bahan baku yang
digunakan adalah fillet ikan segar seperti yang memilki daging berwarna putih
dan tidak memiliki banyak duri serta daging yang kenyal. Daging ikan yang
berwarna putih memiliki kandungan protein yang lebih baik. Kualitas dan
kandungan protein ikan dapat berpengaruh terhadap tingkat kekenyalan otak-otak
(Suzuki, 1981).
Berikut ini pada Tabel 2.1 adalah persyaratan mutu dan keamanan otak-otak
ikan : Tabel 2.1 Syarat Mutu Otak-otak Ikan Berdasarkan SNI 7757-2013

No Parameter Uji Satuan Persyaratan


.
1 Sonsori - Min 7 (skor 3 – 9)
2 Kimia -
2.1 Kadar air % Maks 60,0
2.2 Kadar abu % Maks 2,0
2.3 Kadar protein % Maks 5,0
2.4 Kadar lemak % Maks 16,0
3 Cemaran mikroba - -
3.1 ALT koloni/g Maks 5 x 104
3.2 Escherichia coli APM/g <3
3.3 Salmonella - Negatif/25 g
3.4 Vibrio cholerae - Negatif/25 g
3.5 Staphylococcus aureus koloni/g Maks 1,0 x 102
4 Cemaran logam - -
4.1 Kadmium (Cd) mg/kg Maks 0,1
4.2 Merkuri (Hg) mg/kg Maks 0,5
4.3 Timbal (Pb) mg/kg Maks 0,3
4.4 Arsen (As) mg/kg Maks 1,0
4.5 Timah (Sn) mg/kg Maks 40,0
5 Cemaran fisik - -
5.1 Filth
Sumber: SNI 7757-2013

2.2 Fungsi Penambahan Bahan


2.2.1 Tapioka
Tapioka merupakan yang berasal dari umbi singkong yang dikeringkan dan
dihaluskan. Tepung ini biasanya berwarna putih agak kekuningan dan mempunyai
tektur yang licin. Kandungan pati yang terdapat pada tepung tapioka ini adalah
sekitar 85% dan amilosanya sekitar 30% dengan suhu gelatinisasi 52 0C - 640C.
Tepung tapioka memiliki pati yang lebih tinggi. Pati memegang peranan penting
dalam menentukan tekstur makanan, dimana campuran granula pati dan air bila
dipanaskan akan membentuk suatu gumpalan sehingga viskositasnya akan
semakin meningkat (Suprapti, 2005).
Tepung tapioka ini berfungsi sebagai bahan pengisi, pengikat, dan pemantap
yang sangat berpengaruh pada mutu akhir produk terutama tekstur dan konsistensi
produk otak-otak. Jenis dan jumlah bahan pengikat akan sangat berpengaruh pada
kualitas tekstur dari otak-otak yang dihasilkan. Perbandingan tepung dengan pasta
ikan atau gilingan ikan yaitu 0:1 sampai 1:1. Tepung yang terlalu banyak akan
menyebabkan tekstur adonan otak-otak menjadi keras dan rasa ikannya tidak
muncul dan sebaiknya jika kurang maka otak-otak akan menjadi lembek dan
hancur jika dikunyah (Suprapti, 2005).
2.2.2 Ikan Tenggiri
Ikan tenggiri memiliki kandungan lemak yang tinggi yaitu 0,2 - 5% dan
protein sekitar 18 - 22% yang sangat baik untuk pertumbuhan. Selain itu, ikan
tenggiri secara fisik memiliki daging yang tebal sehingga cocok untuk pembuatan
otak-otak ikan. Tekstur yang kenyal tetapi lembut pada daging ikan tenggiri , juga
rasanya yang gurih menjadi nilai tambah dalam pemanfaatannya menjadi bahan
baku produk otak-otak. Bahan baku yang digunakan untuk membuat produk otak-
otak ikan tenggiri sangat menetukan kualitas mutu produk yang dihasilkan (Padli,
2015).
2.2.3 Bawang Merah dan Bawang Putih
Penambahan bawang merah pada pembuatan makanan sebagai bahan
pengawet makanan dan menambah aromanya agar lebih kuat (Wibowo 1991).
Bawang merah (Allium cepa var. ascalonicum) berfungsi sebagai pemberi aroma
pada makanan (Winarno, 1994). Bawang putih sebagai bahan pengawet karena
bersifat bakteriostatik yang disebabkan oleh adanya zat aktif alisin yang sangat
efektif terhadap bakteri. Selain itu bawang putih mengandung skordinin, yaitu
senyawa komplek thioglisidin yang bersifat antioksidan (Palungkun dan
Budhiarti, 1995). Aroma yang khas yang ada pada bawang putin berguna untuk
meningkatkan selera makan. Bawang putih memiliki zat kimia berupa allicin,
scordinin, allithanin dan selenium. Allicin ini berperan memberi aroma bawang
putih dan bersifat antibakteri (Palungkun dan Budiarti 1992).
2.2.4 Gula dan Garam
Garam Sebagai penegas cita rasa dan berfungsi sebagai pengawet. Garam
sebagai bahan pengawet karena kemampuannya untuk menarik air keluar dari
jaringan (Afrianto dan Liviawaty 2005). Garam sebagai pengawet karena dalam
jumlah yang cukup, garam dapat menyebabkan autolisis dan pembusukan serta
plasmolisis pada mikroba (Soeparno, 1994). Garam berinteraksi dengan protein
daging selama pemanasan, sehingga protein membentuk massa yang kuat, dapat
menahan air, dan membentuk tekstur yang baik. Garam memberi cita rasa asin
pada produk, serta bersama-sama senyawa fosfat, berperan dalam meningkatkan
daya menahan air dan meningkatkan kelarutan protein serabut daging, serta
menghambat pertumbuhan mikroba.
Gula berfungsi memberi rasa manis, memodofikasi rasa, serta memperbaiki
warna dan aroma (Bailey, 1998). Gula dapat menghambat pertumbuhan mikroba.
Kadar gula yang tinggi, yaitu konsentrasi 30 sampai 40% akan menyebabkan air
dalam sel bakteri akan keluar menembus dinding sel dan mengalir ke larutan gula.
Osmosis dan mentebabkan sel mikroba mengalami plasmolisis dan
pertumbuhannya akan terhambat (Winarno, et al., 1994).
2.2.5 Lada
Pemberian lada pada masakan bertujuan untuk menghasilkan aroma masakan
yang diinginkan. Manfaat lada adalah untuk menghilangkan bau anyir,
menimbulkan bau sedap, menimbulkan rasa pedas yang gurih dan menyedapkan
makanan (Zaitsev et al. 1969 dalam Utami 2010). Pemberian lada membangkitkan
kesan sedap di mulut (Farrell, 1990).
2.2.6 Santan
Santan mempunyai rasa lemak dan digunakan sebagai perasa yang
menyedapkan masakan menjadi gurih. Santan mempunyai rasa lemak, sehingga
membuat rasa masakan menjadi lebih sedap dan gurih dengan aroma khas kelapa
yang harum (adanya senyawa nonylmethylketone). Ada dua jenis santan dalam
masakan Indonesia, santan encer dan santan kental. Perbedaan ini berdasarkan
kadar air yang dikandungnya. Santan encer biasanya digunakan untuk sayur
berkuah seperti lodeh dan soto, sementara santan kental digunakan untuk rendang
dan aneka kue dan penganan ringan (Soekopitojo, 2014).
Santan kental adalah santan dengan kadar lemak kelapa tinggi. Diperoleh
dengan mancampur kelapa parut dengan sedikit air (Nursaadah, 2006). Santan
mempunyai rasa lemak, sehingga membuat rasa masakan menjadi lebih sedap dan
gurih dengan aroma khas kelapa yang harum (adanya senyawa
nonylmethylketone). Santan murni secara alami mengandung sekitar 54% air,
35% lemak dan 11% padatan tanpa lemak (karbohidrat ± 6%, protein ± 4% dan
padatan lain) yang dikategorikan sebagai emulsi minyak dalam air.
2.2.7 Telur Ayam
Menurut Buckle et al (1987), telur utuh mengndung 12 % protein, 10 %
lemak, 1 % karbohidrat, 1 % abu, 75-76 % air dan 213 mg kolesterol. Menurut
Sudaryani (2000) diacu dalam Rahayu (2004), kandungan gizi telur ayam dengan
berat 50 gram terdiri dari 6,3 gram protein, 0,6 gram karbohidrat, 5 gram lemak,
vitamin dan mineral. Selain mengandung protein dan lemak, telur juga
mengandung semua vitamin kecuali vitamin C dan vitamin K. Telur bukan hanya
sebagai sumber vitamin, melainkan juga bahan pangan yang kaya akan sumber
mineral. Kandungan mineral yang lengkap pada telur tidak dapat disamakan oleh
bahan makanan tunggal lainnya. Mineral yang terkandung di dalam telur
diantaranya besi, fosfor, kalsium, tembaga, yodium, magnesium, mangan,
potasium, sodium, seng, klorida dan sulfur.
Penambahan telur dalam pembuatan kerupuk bertujuan untuk
meningkatkan nilai gizi dari kerupuk yang dihasilkan. Kuning telur cenderung
lebih mengelastiskan bahan dibandingkan dengan putih telur, sedangkan putih
telur memberikan struktur yang berongga yang lebih dibanding dengan kuning
telur. Hasil penelitian Purnomo dan Choliq (1987), membuktikan bahwa
penggunaan putih telur dalam pembuatan kerupuk menghasilkan kerupuk dengan
volume pengembangan yang lebih besar dibandingkan dengan penggunaan kuning
telur. Karena putih telur cenderung memberikan struktur yang berongga yang
lebih, sehingga menghasilkan volume pengembangan yang lebih besar daripada
kuning telur
2.2.8 Tepung Terigu
Tepung terigu yang dibutuhkan dalam satu kali proses produksi otak-otak
cumi adalah 2 kg. Tepung terigu adalah tepung/bubuk halus yang berasal dari biji
gandum, Tepung terigu mengandung banyak zat pati, yaitu karbohidrat kompleks
yang tidak larut dalam air. Tepung terigu juga mengandung protein dalam bentuk
gluten, yang berperan dalam menentukan kekenyalan makanan yang terbuat dari
bahan terigu. Menurut Kent (1983), kandungan gizi dalam tepung terigu/100 g
adalah abu 0.66 %, protein 11.3 %, lemak 1.0 %, karbohidrat 71.5%, serat kasar
0.12 %, dan serat makanan 3.15 %. Tujuan dari penambahan dari tepung terigu
pada adonan ini adalah agar adonan menjadi padat dan strukturnya lebih halus
saat diolah.
2.2.9 Daun Pisang
Otak-otak biasanya identik dengan menggunakan daun pisang, yang menjadi
kunci kelezatannya karena bau khasnya yang menyatu dengan bahan-bahan yang
lain saat dipanggang (Padli, 2015)

2.3 Teknologi Pengolahan


Pengolahan otak-otak dilakukan dengan cara pengukusan, pemanggangan dan
penggorengan. Umumnya ikan yang biasa digunakan untuk membuat otak-otak
adalah ikan laut seperti ikan tenggiri. Pembuatan otak-otak tidak jauh berbeda
dengan pembuatan makanan berbahan dasar surimi seperti nugget, bakso, sosis,
empek-empek dan lainnya. Pada proses pengolahan otak-otak ditambahkan
dengan bumbu dan santan sedangkan bakso, sosis, dan empek-empek diolah tanpa
ada campuran santan didalamnya (Sudariastuty, 2011).
1.2.1 Pencucian
Tujuan utama dari pencucian daging ikan adalah untuk menghilangkan
garamgaram organik, protein yang larut dalam air, pigmen-pigmen dan
kontaminan yang berasal dari isi perut. Selain itu, pencucian juga dilakukan untuk
meningkatkan konsentrasi protein miofibril atau aktomiosin ( Suzuki, 1981).
Pencucian menggunakan air es pada suhu di bawah suhu 5 0C, karena apabila
menggunakan air kran dapat merusak tekstur ( akibat denaturasi/kerusakan
protein) dan mempercepat degradasi lemak. Pencucian yang berulang-ulang
dilakukan akan meningkatkan sifat hidrofilik daging ikan. Dengan cara ini, warna
dan bau daging menjadi lebih baik, di samping kandungan aktomiosinnya
meningkat, sehingga secara nyata dapat memperbaiki sifat elastisitas produk yang
dihasilkan. Aktomiosin adalah senyawa protein kompleks yang dihasilkan oleh
otot ikan selama berkontaksi. Senyawa aktomiosin berperan dalam pembentukan
kekenyalan yang redapat dalam daging ikan (Irianto, 1990). Komponen daging
ikan yang berperan dalam pembuatan otak-otak adalah protein, khususnya protein
yang bersifat larut dalam garam, terutama aktin dan miosin yang merupakan
komponen utama dari protein ikan yang larut garam (protein miofibrilar) dan
berperan penting dalam membentuk karakteristik utama otak-otak, yaitu
kemampuan untuk membentuk gel yang kokoh dan tetap elastis pada suhu yang
relatif rendah (sekitar 40oC). Fungsi protein yaitu sebagai bahan pengikat
hancuran daging daging sebagai emilsifier (Nurfianti, 2007).
1.2.2 Penggilingan Daging Ikan
Penggilingan daging merupakan salah satu tahapan yang sangat penting.
Tujuan dari penggilingan daging ikan yaitu untuk menghaluskan partikelnya
sehingga memudahkan protein bereaksi dengan garam atau bahan-bahan
tambahan lainnya. Tetapi hal ini tidak dapat dilakukan terlalu lama untuk
menghindari penurunan kemampuan membentuk gelnya (Anggawati, 2002).
1.2.3 Pencetakan atau Pembungkusan
Sifat elastisitas adonan daging ikan yang didapatkan bervariasi pada saat
pencetakan. Diusahakan agar tidak terdapat udara dalam adonan daging ikan
karena akan memberikan kenampakan yang jelek setelah proses pemanasan
tersebut berlangsung ( Suzuki, 1981).
1.2.4 Pemasakan atau Pengovenan
Pemasakan meliputi kegiatan seperti pembakaran, pemanggangan,
perebusan, penggorengan dan pengukusan. Cara pengaturan suhu dalam
penggunaan energi panas untuk setiap kali kegiatan akan berbeda-beda.

2.4 Reaksi Tiap tahapan dan Perubahan yang Terjadi


a. Pencampuran bahan adalah unit koperasi dimana mengubah bentuk
menjadi seragam dari dua komponen atau lebih. Pencampuran ini
umumnya digunakan untuk menghasilkan karakteristik produk yang
diinginkan menjadi homogen (Fellow, 2000). Ditambahkan Desrosier
(1988), pencampuran menyebabkan lebih banyak ikatan molekuler yang
putus dan adonan bersifat lunak dan lekat.
b. Penggilingan daging ikan untuk menghaluskan partikelnya
sehingga memudahkan protein bereaksi dengan garam atau bahan-bahan
tambahan lainnya. Tetapi hal ini tidak dapat dilakukan terlalu lama untuk
menghindari penurunan kemampuan membentuk gelnya (Anggawati,
2002).
c. Komponen daging ikan yang berperan dalam pembuatan otak-otak
adalah protein, khususnya protein yang bersifat larut dalam garam,
terutama aktin dan miosin yang merupakan komponen utama dari protein
ikan yang larut garam (protein miofibrilar) dan berperan penting dalam
membentuk karakteristik utama otak-otak, yaitu kemampuan untuk
membentuk gel yang kokoh dan tetap elastis pada suhu yang relatif rendah
(sekitar 40oC).
d.
BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
1. Pisau
2. Baskom
3. Talenan
4. Food Processor
5. Sendok
6. Oven
7. Piring
8. Loyang
3.1.2 Bahan
1. Daging ikan
2. Tapioka
3. Telur ayam
4. Bawang daun
5. Santan kelapa kental
6. Bawang putih (haluskan)
7. Bawang merah (haluskan)
8. Merica bubuk
9. Gula pasir
10. Garam halus
11. Daun pisang
12. Tepung Terigu
3.2 Skema Kerja
3.2.1 Perlakuan 1

150 g ikan

Pemfilletan

Penggilingan dan penambahan 7,5 g bawang merah, 7,5 g bawang putih

50 g tapioka Pencampuran

Penambahan 15 ml santan kental, 1 batang irisan daun bawang + ½ butir telur, 3 g gula, 3 g garam dan ¼ sachet merica

Pengulenan

Pmbungkusan daun pisang

Pengovenan

Pendinginan

Pengujian organoleptik dan fisik


3.2.2 Perlakuan 2

150 g ikan

Pemfilletan

Penggilingan dan penambahan 7,5 g bawang merah, 7,5 g bawang putih

25 g tapioka, 25 g tepung terigu


Pencampuran

Penambahan 15 ml santan kental, 1 batang irisan daun bawang + ½ butir telur, 3 g gula, 3 g garam dan ¼ sachet merica

Pengulenan

Pembungkusan daun pisang

Pengovenan

Pendinginan

Pengujian organoleptik dan fisik


3.2.3 Fungsi Perlakuan
Dalam pembuatan otak-otak ikan, langkah pertama yaitu menimbang daging
ikan masing-masing 150 gram. Ikan yang digunakan pada praktikum ini yaitu ikan
tenggiri. Ikan tenggiri memiliki kandungan lemak yang tinggi yaitu 0,2 - 5% dan
protein sekitar 18 - 22% yang sangat baik untuk pertumbuhan. Selain itu, ikan
tenggiri secara fisik memiliki daging yang tebal sehingga cocok untuk pembuatan
otak-otak ikan. Tekstur yang kenyal tetapi lembut pada daging ikan tenggiri , juga
rasanya yang gurih menjadi nilai tambah dalam pemanfaatannya menjadi bahan
baku produk otak-otak. Bahan baku yang digunakan untuk membuat produk otak-
otak ikan tenggiri sangat menetukan kualitas mutu produk yang dihasilkan.
Selanjutnya ikan tenggiri dilakuakn pemfiletan untuk menghilangkan duri, hal ini
dikarenakan dalam pembuatan otak-otak tidak diinginkan keberadaan dari duri.
Setelah itu dilakuan penggilingan atau penghalusan menggunakan food processor.
Pada penglingan ini ditambahkan pula bawang merah dan bawang putih halus,
masing-masing sebanyak 3 gram. Penambahan bawang merah sebagai bahan
pengawet makanan dan aromanya kuat (Wibowo 1991). Penambahan bawang
putih sebagai penambah aroma yang khas guna meningkatkan selera makan.
Bawang putih memiliki zat kimia berupa allicin, scordinin,
allithanin dan selenium. Allicin ini berperan memberi aroma bawang putih dan
bersifat antibakteri (Palungkun dan Budiarti 1992). Setelah itu diambil dari food
processor dan dipindah dalam baskom lalu diberi penambahan tepung.
Penambahan tepung ini terdapat 2 perlakuan, pada perlakuan 1 diberi 50 gram
tapioka sedangkan untuk perlakuan 2 diberi 25 gram tepung terigu dan 25 gram
tapioka.
Pemberian perlakuan yang berbeda ini bertujuan untuk mengetahui
perbedaan warna, tekstur, aroma, rasa, dan kenampakan dari otak-otak yang
dihasilkan. Kemudian dilakukan pengadukan dan diberi penambahan 1 batang
daun bawang, 15 ml santan kental, ½ butir telur, 3 gram gula pasir, 3 gram garam
halus, dan ¼ sachet lada pada tiap perlakuan. Penambahan daun bawang, lada,
gula pasir, dan garam sebagai penyedap dan penambah aroma. Penambahan
santan akan menambah rasa gurih karena kandungan lemaknya yang tinggi.
Sedangkan penambahan telur berfungsi sebagai pengikat bahan-bahan yang
digunakan. Setelah itu diuleni agar semua bahan tercampur rata, kemudian
dilakukan pembungkusan menggunakan daun pisang. Selanjutnya dioven selama
30 menit dengan suhu 1200C. Terakhir dilakukan pengujian fisik dan organoleptik,
uji fisik yang dilakukan yaitu tekstur dan warna menggunakan rheotex dan colour
reader. Sedangkan uji organoleptik yang dilakukan yaitu warna, aroma, rasa,
tekstur dan kenampakan oleh 15 panelis dengan uji skoring menggunakan skor 1 –
5.
BAB 4. HASIL PENGAMATAN DAN HASIL PERHITUNGAN

4.1 Hasil Pengamatan


4.1.1 Pengujian Organoleptik
a. Aroma
Kode
Panelis
583 752
Dewi Setiyowati 4 3
Putri Qori 1 2
Dian Pratiwi 4 4
Dwi Putri Wulandari 3 4
Carolina Hendra 4 3
Eva Victoria 4 4
Vika Nurluthfiyani 3 5
Elvira Dewi 4 3
Yanuar Gusti Triardianto 3 2
Rina Dias Agustin 4 3
Esthi Wahyuningsih 4 3
Nur Fadilah Anggraeni 4 3
Yuvita Lira 4 2
Yayuk Febrianti 4 3
Febri Setiawan 3 2

b. Tekstur
Kode
Panelis
583 752
Dewi Setiyowati 3 2
Putri Qori 3 2
Dian Pratiwi 4 5
Dwi Putri Wulandari 3 4
Carolina Hendra 3 2
Eva Victoria 3 3
Vika Nurluthfiyani 3 5
Elvira Dewi 4 3
Yanuar Gusti Triardianto 2 3
Rina Dias Agustin 3 4
Esthi Wahyuningsih 3 3
Nur Fadilah Anggraeni 3 4
Yuvita Lira 5 3
Yayuk Febrianti 5 4
Febri Setiawan 4 2
c. Kenampakan
Kode
Panelis
583 752
Dewi Setiyowati 3 4
Putri Qori 2 3
Dian Pratiwi 4 4
Dwi Putri Wulandari 3 4
Carolina Hendra 3 3
Eva Victoria 3 2
Vika Nurluthfiyani 4 4
Elvira Dewi 3 3
Yanuar Gusti Triardianto 3 4
Rina Dias Agustin 4 5
Esthi Wahyuningsih 5 4
Nur Fadilah Anggraeni 2 3
Yuvita Lira 4 4
Yayuk Febrianti 3 4
Febri Setiawan 3 3

d. Warna
Kode
Panelis
583 752
Dewi Setiyowati 3 3
Putri Qori 2 2
Dian Pratiwi 4 5
Dwi Putri Wulandari 3 3
Carolina Hendra 3 3
Eva victoria 3 2
Vika Nurluthfiyani 3 2
Elvira Dewi 4 4
Yanuar Gusti Triardianto 3 3
Rina Dias Agustin 4 5
Esthi Wahyuningsih 4 3
Nur Fadilah Anggraeni 3 4
Yuvita Lira 4 4
Yayuk Febrianti 4 3
Febri Setiawan 5 3
e. Rasa
Kode
Panelis
583 752
Dewi Setiyowati 2 4
Putri Qori 3 1
Dian Pratiwi 4 5
Dwi Putri Wulandari 3 4
Carolina Hendra 4 3
Eva Victoria 4 2
Vika Nurluthfiyani 3 5
Elvira Dewi 5 2
Yanuar Gusti Triardianto 3 2
Rina Dias Agustin 3 4
Esthi Wahyuningsih 4 3
Nur Fadilah Anggraeni 3 2
Yuvita Lira 5 3
Yayuk Febrianti 4 3
Febri Setiawan 5 3

4.1.2 Pengujian Fisik


a. Tekstur
Pengulangan Kode
583 752
1 94 gram 63 gram
2 90 gram 70 gram
3 96 gram 88 gram
4 104 gram 91 gram
5 95 gram 93 gram

b. Warna
Pengulangan Kode
583 752
1 44,5 45,5
2 45,9 46,3
3 46,0 45,4
4 50,8 46,1
5 49,7 46,4
4.2 Hasil Perhitungan
4.2.1 Pengujian Organoleptik
a. Aroma
Kode
Panelis
583 752
Dewi Setiyowati 4 3
Putri Qori 1 2
Dian Pratiwi 4 4
Dwi Putri Wulandari 3 4
Carolina Hendra 4 3
Eva Victoria 4 4
Vika Nurluthfiyani 3 5
Elvira Dewi 4 3
Yanuar Gusti Triardianto 3 2
Rina Dias Agustin 4 3
Esthi Wahyuningsih 4 3
Nur Fadilah Anggraeni 4 3
Yuvita Lira 4 2
Yayuk Febrianti 4 3
Febri Setiawan 3 2
Rata-rata 3,53 3,07

b. Tekstur
Kode
Panelis
583 752
Dewi Setiyowati 3 2
Putri Qori 3 2
Dian Pratiwi 4 5
Dwi Putri Wulandari 3 4
Carolina Hendra 3 2
Eva Victoria 3 3
Vika Nurluthfiyani 3 5
Elvira Dewi 4 3
Yanuar Gusti Triardianto 2 3
Rina Dias Agustin 3 4
Esthi Wahyuningsih 3 3
Nur Fadilah Anggraeni 3 4
Yuvita Lira 5 3
Yayuk Febrianti 5 4
Febri Setiawan 4 2
Rata-rata 3,40 3,27
c. Kenampakan
Kode
Panelis
583 752
Dewi Setiyowati 3 4
Putri Qori 2 3
Dian Pratiwi 4 4
Dwi Putri Wulandari 3 4
Carolina Hendra 3 3
Eva Victoria 3 2
Vika Nurluthfiyani 4 4
Elvira Dewi 3 3
Yanuar Gusti Triardianto 3 4
Rina Dias Agustin 4 5
Esthi Wahyuningsih 5 4
Nur Fadilah Anggraeni 2 3
Yuvita Lira 4 4
Yayuk Febrianti 3 4
Febri Setiawan 3 3
Rata-rata 3,27 3,60

d. Warna
Kode
Panelis
583 752
Dewi Setiyowati 3 3
Putri Qori 2 2
Dian Pratiwi 4 5
Dwi Putri Wulandari 3 3
Carolina Hendra 3 3
Eva victoria 3 2
Vika Nurluthfiyani 3 2
Elvira Dewi 4 4
Yanuar Gusti Triardianto 3 3
Rina Dias Agustin 4 5
Esthi Wahyuningsih 4 3
Nur Fadilah Anggraeni 3 4
Yuvita Lira 4 4
Yayuk Febrianti 4 3
Febri Setiawan 5 3
Rata-rata 3,47 3,27
e. Rasa
Kode
Panelis
583 752
Dewi Setiyowati 2 4
Putri Qori 3 1
Dian Pratiwi 4 5
Dwi Putri Wulandari 3 4
Carolina Hendra 4 3
Eva Victoria 4 2
Vika Nurluthfiyani 3 5
Elvira Dewi 5 2
Yanuar Gusti Triardianto 3 2
Rina Dias Agustin 3 4
Esthi Wahyuningsih 4 3
Nur Fadilah Anggraeni 3 2
Yuvita Lira 5 3
Yayuk Febrianti 4 3
Febri Setiawan 5 3
Rata-rata 3,67 3,07

4.2.2 Pengujian Fisik


a. Tekstur
Pengulangan Kode
583 752
1 94 gram 63 gram
2 90 gram 70 gram
3 96 gram 88 gram
4 104 gram 91 gram
5 95 gram 93 gram
Rata-rata 95,8 gram 81 gram

b. Warna
Pengulangan Kode
583 752
1 44,5 45,5
2 45,9 46,3
3 46,0 45,4
4 50,8 46,1
5 49,7 46,4
Rata-rata 47,38 45,94
Keterangan kode:
583: Perlakuan penambahan 50 gram tapioka
752: Perlakuan penambahan 25 gram tapioka dan 25 gram tepung terigu
BAB 5. PEMBAHASAN

5.1 Pengujian Organoleptik


5.1.1 Aroma

Gambar 5.1 Uji Organoleptik Aroma


Pengujian organoleptik ini dilakukan uji sensori oleh 15 panelis dengan uji
skoring dengan skor 1 – 5. Aroma merupakan suatu hal yang menjadi daya tarik
tersendiri dalam menentukan rasa enak dari suatu produk makanan. Industri
pangan menganggap sangat penting untuk melakukan uji terhadap aroma dengan
cepat memberikan produknya disukai atau tidak disukai (Soekarto 1985).
Berdasarkan Gambar 5.1 rata-rata aroma pada sampel penambahan 50 gram
tapioka (583) sebesar 3,53 dan sampel penambahan 25 gram tapioka dan 25 gram
tepung terigu (752) sebesar 3,07. Dari data tersebut sampel 583 lebih disukai oleh
panelis dibandingkan dengan sampel 752. Namun perbedaan formulasi tepung
yang diguanakn tidak mempengaruhi aroma dari otak-otak ikan. Aroma yang
timbul pada otak-otak ikan disebabkan oleh penambahan bumbu-bumbu yang
mengandung senyawa volatil dan terbentuk karena proses pemberian panas
(pengovenan). Bumbu yang dimaksud yaitu beruba bawang merah, bawang putih,
lada dan daun bawang.
Adanya aroma khas dari otak-otak ikan diduga disebabkan oleh kandungan
protein yang terurai menjadi asam amino khususnya asam glutamat akan
menimbulkan rasa dan aroma yang lezat. Winarno (1992), asam glutamat
mempunyai peranan yang sangat penting dalam pengolahan makanan, karena
dapat menimbulkan rasa dan aroma yang lezat. Selain itu adanya penambahan
bumbu seperti bawang putih dan garam. Karena bawang putih dan garam yang
ditambahkan dalam pembuatan otak-otak salah satunya berfungsi untuk
mempertinggi aroma otak-otak.
5.1.2 Tekstur

Gambar 5.2 Uji Organoleptik Tekstur


Pengujian organoleptik ini dilakukan uji sensori oleh 15 panelis dengan
metode uji skoring dengan skor 1 – 5. Sampel yang diberikan yaitu otak-otak
dengan pemberian perlakuan yang berbeda. Perlakuan pertama yiatu dengan
formulasi 50 gram tapioka sedangkan formulasi kedua yaitu 25 gram tapioka dan
25 gram tepung terigu. Tekstur merupakan salah satu parameter penilaian
organoleptik yang juga dipertimbangkan oleh konsumen pada saat memilih
makanan. Kandungan protein, lemak, air, pengeringan dan aktivitas dari
pergerakan air merupakan faktor yang mempengaruhi tekstur (Purnomo, 1995).
Berdasarkan Gambar 5.2 rata-rata tekstur pada sampel penambahan 50 gram
tapioka (583) sebesar 3,4 dan sampel penambahan 25 gram tapioka dan 25 gram
tepung terigu (752) sebesar 3,27. Dari data tersebut sampel 583 lebih disukai oleh
panelis dibandingkan dengan sampel 752. Hal ini dikarenakan sampl dengan
pemberian 50 gram taapioka memiliki tekstur yang lebih kenyal, tekstur otak-otak
yang diharapkan yaitu memiliki tingkat kekenyealan yang cukup tinggi. Sehingga
panelis lebih menyukai sampel 583. Tepung tapioka memiliki kandungan pati
yang lebih tinggi. Pati memegang peranan penting dalam menentukan tekstur
makanan, dimana campuran granula pati dan air bila dipanaskan akan membentuk
gel. Pati yang telah berubah menjadi gel bersifat irreversible dimana molekul-
molekul pati saling melekat membentuk suatu gunpalan sehingga viskositasnya
meningkat (Handershot, 1970). Bahan pengisi dalam pembuatan produk daging
olahan yang umum digunakan adalah tepung tapioka yang memiliki kemampuan
untuk mengikat sejumlah air dan membentuk gel karena memiliki kadar pati yang
tinggi (Soeparno, 1994). Tepung yang berasal dari umbi-umbian dapat dijadikan
sebagai bahan pengisi karena juga memiliki kadar pati yang tinggi. Salah satu
tepung yang berasal dari umbi-umbian yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan
pengisi adalah tapioka.
Menurut Winarno (1984), pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan
dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut
amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan á-(1,4)-D-glukosa,
sedang amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan á-(1,4)-D-glukosa
sebanyak 4 -5 % dari berat total. Menurut hasil analisa Mulyandri (1992) diacu
dalam Susilo (2001), tepung tapioka mengandung 29,01 % (bk) amilosa dan 69,06
% (bk) amilopektin. Rasio antara amilosa dan amilopektin yang menyusun
molekul pati akan mempengaruhi pola gelatinisasi. Menurut Haryadi (1989),
tingginya kadar amilopektin akan memberikan sifat mudah membentuk gel.
Penggunaan sumber pati yang berbeda, akan menghasilkan teksturyang
berbeda. Pati sagu dan tapioka menghasilkan pembengkakan (swelling) yang lebih
tinggi dibandingkan dengan sumber pati lainnya. Pada proses pembuatan otak-
otak, gelatinisasi merupakan proses pembengkakan granula pati yang terjadi saat
pengukusan atau pemanggangan adonan pada pembuatan otak-otak yang
mempengaruhi teksturnya. Dengan adanya proses gelatinisasi ini akan terbentuk
struktur yang elastis pada otak-otak (Lavlinesia 1995).
5.1.3 Kenampakan

Gambar 5.3 Uji Organoleptik Kenampakan


Pengujian organoleptik ini dilakukan dengan cara uji sensori oleh 15 panelis
menggunakan metode uji skoring dengan skor 1 – 5. Sampel yang diberikan yaitu
otak-otak dengan pemberian perlakuan yang berbeda. Perlakuan pertama yiatu
dengan formulasi 50 gram tapioka sedangkan formulasi kedua yaitu 25 gram
tapioka dan 25 gram tepung terigu. Kenampakan merupakan salah parameter yang
paling menentukan menarik atau tidaknya suatu produk pangan.
Berdasarkan Gambar 5.3 rata-rata parameter kenampakan pada sampel
penambahan 50 gram tapioka (583) sebesar 3,27 dan sampel penambahan 25 gram
tapioka dan 25 gram tepung terigu (752) sebesar 3,6. Dari data tersebut sampel
752 lebih disukai oleh panelis dibandingkan dengan sampel 583. Otak-otak yang
diberi penambahan tepung terigu 25 gram dan tapioka 25 gram lebih disukai oleh
panelis daripada otak-otak dengan penambahan 50 gram tapioka. Namun
perbedaan formulasi bahan tidak berpengaruh terhadap kenampakan otak-otak.
Menurut Kartika dkk (1988) uji skoring merupakan uji yang menggunakan
panelis terlatih dan benar-benar tahu mengenai atribut yang dinilai. Tipe pengujian
skoring sering digunakan untuk menilai mutu bahan dan intensitas sifat tertentu
misalnya kemanisan, kekerasan, dan warna. Selain itu, digunakan untuk mencari
korelasi pengukuran subyektif dengan obyektif dalam rangka pengukuran obyektif
(presisi alat). Pada praktikum ini panelis yang menguji sampel adalah panelis
tidak terlatih. Hal ini menyebabkan tingkat kepekaan dari panelis kurang,
sehingga data yang dihasilkan kurang akurat.
Selain itu tapioka merupakan pati yang memiliki warna putih bening,
sehingga otak-otak yang menggunakan penambahan tapioka 50 gram
menghasilkan warna yang lebih putih. Sedangkan otak-otak dengan penambahan
25 gram tapioka dan 25 gram tepung terigu berwarna agak coklat yang disebabkan
oleh reaksi mailard dari gula pereduksi dan asam amino protein. Warna pada
makanan dapat disebabkan oleh beberapa sumber diantaranya adalah adanya
pigmen, pengaruh panas pada gula (karamel), adanya reaksi antara gula dan asam
amino (Maillard), dan adanya pencampuran bahan lain (Winarno, 1997).
Sebagian besar panelis menganggap bahwa kenampakan yang lebih bagus
adalah yang sedikit berwarna kecoklatan, sedangkan yang berwarna putih
dianggap kurang matang. Warna otak-otak yang diberi penambhan 50 gram
tapioka cenderung lebih berwarna putih, sedangkan otak-otak dengan penambahan
camputan tapioka dan tepung terigu cenderung lebih coklat. Sehingga panelis
lebih menyukai sampel otak-otak dengan penambahan 25 gram tapioka dan 25
gram tepung terigu.
5.1.4 Warna

Gambar 5.4 Uji Organoleptik Warna


Pengujian organoleptik ini dilakukan uji sensori oleh 15 panelis dengan
metode uji skoring dengan skor 1 – 5. Sampel yang diberikan yaitu otak-otak
dengan pemberian perlakuan yang berbeda. Perlakuan pertama yiatu dengan
formulasi 50 gram tapioka sedangkan formulasi kedua yaitu 25 gram tapioka dan
25 gram tepung terigu. Mutu bahan pangan pada umumnya tergantung pada
beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain rasa, tekstur, nilai gizi,
mikrobiologis, dan warna. Sebelum faktor-faktor lain yang dipertimbangkan,
secara visual faktor warna akan tampil lebih dahulu (Winarno, 1994). Warna
adalah salah satu faktor yang paling menentukan menarik tidaknya suatu produk
makanan
Berdasarkan Gambar 5.4 rata-rata warna pada sampel penambahan 50 gram
tapioka (583) sebesar 3,47 dan sampel penambahan 25 gram tapioka dan 25 gram
tepung terigu (752) sebesar 3,27. Dari data tersebut sampel 583 lebih disukai oleh
panelis dibandingkan dengan sampel 752. Panelis cenderung lebih menyukai
warna otak-otak yang lebih putih. Menurut Brautlecht (1953) diacu dalam Susilo
(2001), tapioka terdiri dari granula-granula pati yang berwarna putih, mengkilat,
tidak berbau dan tidak mempunyai rasa. Semakin putih warna tepung pati,
ternyata tepung pati akan nampak semakin mengkilat dan terasa licin.
Menurut Tjokroadikusumo dan Subiyanto (1986), tepung tapioka
mempunyai sifat yang sangat mirip dengan amilopektin. Sifat amilopektin yang
dimaksud yaitu, amilopektin menunjukkan penampakan yang sangat jernih
sehingga sangat dsukai karena dapat mempertinggi mutu penamplan produk akhir.
Dalam pembuatan tapioka ditambahkan natrium bisulfit untuk memperbaiki
warna sehingga warna tapioka menjadi putih bersih (Radiyati dan Agusto, 2003)
5.1.5 Rasa

Gambar 5.5 Uji Organoleptik Rasa


Pengujian organoleptik ini dilakukan uji sensori oleh 15 panelis dengan
metode uji skoring dengan skor 1 – 5. Sampel yang diberikan yaitu otak-otak
dengan pemberian perlakuan yang berbeda. Perlakuan pertama yiatu dengan
formulasi 50 gram tapioka sedangkan formulasi kedua yaitu 25 gram tapioka dan
25 gram tepung terigu. Rasa merupakan faktor penentu daya terima konsumen
terhadap produk pangan. Faktor rasa memegang peranan penting dalam pemilihan
produk oleh konsumen (Winarno 1997). Dengan rasa tersebut, konsumen dapat
memutuskan menerima atau menolak produk tersebut. Hasil uji sensori terhadap
rasa otak-otak ikan tengiri diperoleh nilai rata-rata yang berkisar antara 3,67
sampai 3,07.
Berdasarkan Gambar 5.5 rata-rata parameter rasa pada sampel penambahan
50 gram tapioka (583) sebesar 3,67 dan sampel penambahan 25 gram tapioka dan
25 gram tepung terigu (752) sebesar 3,07. Dari data tersebut sampel 583 lebih
disukai oleh panelis dibandingkan dengan sampel 752. Rasa yang ditimbulkan
dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah penambahan bumbu
(garam, bawang putih, bawang merah, merica, gula, dan santan). Panelis lebih
menyukai rasa pada sampel 583 juga dapat disebabkan karena pada sampel otak-
otak tersebut penambahannya berupa tapioka. Tapioka merupakan pati, yang mana
pati memiliki rasa plain, sehingga rasa gurih dari ikan tenggiri dan bumbu-bumbu
lebih muncul. Berbeda dengan otak-otak dengan penambahn 25 gram tapioka dan
25 gram tepung terigu. Tepung terigu tersusun oleh banyak komponen seperti
serat dan protein, sehingga menyebabkan rasa yang muncul dari ikan dan bumbu-
bumbu tertutupi oleh komponen dari tepung terigu. Oleh sebab itu panelis
cenderung lebih menyukai otak-otak dengan penambahan tapioka. Hal ini karena
rasa gurih dari ikan dan bumbu lebih muncul dibanding otak-otak dengan
penambahan tepung terigu.
Rasa gurih yang terdapat pada otak-otak ikan dapat disebabkan oleh
kandungan protein yang terdapat pada ikan tersebut. Sehingga pada saat proses
pengovenan, protein akan terhidrolisis menjadi asam amino dan salah satu asam
amino yaitu asam glutamat dapat menimbulkan rasa yang lezat (Winarno 1992).
Selain itu rasa yang terdapat pada otak-otak dapat disebabkan karena adanya
penambahan bumbu-bumbu seperti bawang putih, gula, garam dan telur yang
dapat meningkatkan citarasa otak-otak ikan.
5.2 Pengujian Fisik
5.2.1 Tekstur

Gambar 5.6 Uji Fisik Tekstur


Pengujian fisik tekstur pada praktikum ini menggunakan alat rheotex dengan
lima kali pengulangan lalu diambil rata-ratnya. Berdasarkan Gambar 5.6 rata-rata
tekstur yang didapat, pada sampel penambahan 50 gram tapioka (583) sebesar
95,8 dan sampel penambahan 25 gram tapioka dan 25 gram tepung terigu (752)
sebesar 81. Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa sampel 583 (penambahan
tapioka 50 gram) memiliki tingkat kekerasan yang lebih besar dibanding. Hal ini
disebabkan karena perbedaan formulasi bahan yang digunakan. Tepung tapioka
memiliki kandungan pati yang lebih tinggi. Pati memegang peranan penting
dalam menentukan tekstur makanan, dimana campuran granula pati dan air bila
dipanaskan akan membentuk gel. Pati yang telah berubah menjadi gel bersifat
irreversible dimana molekul-molekul pati saling melekat membentuk suatu
gunpalan sehingga viskositasnya meningkat (Handershot, 1970). Bahan pengisi
dalam pembuatan produk daging olahan yang umum digunakan adalah tepung
tapioka yang memiliki kemampuan untuk mengikat sejumlah air dan membentuk
gel karena memiliki kadar pati yang tinggi (Soeparno, 1994). Tepung yang berasal
dari umbi-umbian dapat dijadikan sebagai bahan pengisi karena juga memiliki
kadar pati yang tinggi. Salah satu tepung yang berasal dari umbi-umbian yang
dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengisi adalah tapioka.
Terigu mengandung amilosa 25 % dan amilopektin 75 % (Wilson, 1960),
sedangkan tapioka mengandung amilosa 17 % dan amilopektin 83 %.
Pembentukan tekstur yang kenyal ini disebabkan oleh peranan amilopektin yang
mempunyai sifat sangat jernih, pasta dari amilopektin pada suhu normal tidak
mudah menggumpal dan kembali memjadi keras, memiliki daya perekat yang
tinggi (Tjokroadikoesoemo dan Subiyanto, 1986). Penggunaan sumber pati yang
berbeda, akan menghasilkan tekstur yang berbeda. Pati sagu dan tapioka
menghasilkan pembengkakan (swelling) yang lebih tinggi dibandingkan dengan
sumber pati lainnya. Pada proses pembuatan otak-otak, gelatinisasi merupakan
proses pembengkakan granula pati yang terjadi saat pengukusan atau
pemanggangan adonan pada pembuatan otak-otak yang mempengaruhi
teksturnya. Dengan adanya proses gelatinisasi ini akan terbentuk struktur yang
elastis pada otak-otak (Lavlinesia 1995).
5.2.2 Warna

Gambar 5.7 Uji Fisik Warna


Pengujian fisik warna pada praktikum ini menggunakan alat colour reader
dengan lima kali pengulangan lalu diambil rata-ratanya. Pengukuran warna yang
dilihat yaitu nilai L (Ligftness) yang menunjukkan tingkat terangnya suatu warna.
Berdasarkan Gambar 5.7 rata-rata nilai L yang didapat, pada sampel penambahan
50 gram tapioka (583) sebesar 47,38 dan sampel penambahan 25 gram tapioka
dan 25 gram tepung terigu (752) sebesar 45,94. Dari data tersebut dapat dikatakan
bahwa sampel 583 (penambahan tapioka 50 gram) memiliki tingkat kecerahan
yang lebih tinggi diabandingkan dengan sampel 752. Hal ini disebabkan karena
tepung tapioka berwarna putih agak kekuningan karen terbuat dari singkon dan
mempunyai tekstur yang licin. Warna ikan tenggiri juga putih, sehingga
menyebabkan warna otak-otak memiliki kecerahan yang cukup tinggi.
Menurut Tjokroadikusumo dan Subiyanto (1986), tepung tapioka
mempunyai sifat yang sangat mirip dengan amilopektin. Sifat amilopektin yang
dimaksud yaitu, amilopektin menunjukkan penampakan yang sangat jernih
sehingga sangat dsukai karena dapat mempertinggi mutu penamplan produk akhir.
Tepung tapioka dibuat dengan mengekstrak bagian umbi singkong.
Proses ekstraksi umbi kayu relatif mudah, karena kandungan protein dan
lemaknya yang rendah. Jika proses pembuatannya dilakukan dengan baik, pati
yang dihasilkan akan berwarna putih bersih (Moorthy, 2004). Berdasarkan
derajat keputihan, maka semakin putih tepung tapioka mutunya juga semakin
baik.
BAB 6. PENUTUP

6.1 Kesimpulan
Berdasarkan praktikum teknologi pengolahan pangan lokal berbasis hewani
didapatkan beberapa kesimpulkan yaitu:
1. Tekstur otak-otak yang baik (lebih kenyal) ada pada formulasi
penambahan 50 gram tapioka.
2. Warna otak-otak dengan penambahan 50 gram tapioka lebih terang
dibandingkan dengan penambahan 25 gram tepung terigu dan 25 gram
tapioka.
3. Perbedaan formulasi tepung kurang berpengaruh terhadap
parameter aroma, rasa kenampakan.
4. Parameter aroma dan rasa dipengaruhi oleh penambahan bumbu
dan rempah.
6.2 Saran
Sebaiknya praktikan lebih memahami prosedur kerja agar praktikum dapat
berjalan dengan lancar. Selain itu harus lebih paham dengan dasar dari materi
praktikum agar tidak terjadi kesalahan.
DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E dan E. Liviawaty. 2005. Pakan Ikan. Yogyakarta: Kanisius.


Anggawati. A. M. 2002. Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian Pasca Panen
Perikanan. Jakarta: Pusat Riset Pengolahan Produk Dan Sosial
Ekonomi Departemen Kelautan Dan Perikanan.
Badan Standar Nasional. 1992. SNI 01 -2693-1992. Otak-Otak Ikan. Jakarta.
Bailey, M. E. 1998. Maillard Reaction and Meat Flavour Development. New
York: Blackie Academic and Profesional.
Brautlecht, C. A. 1953. Starch, it’s Sources, Production and Uses. New York:
Publishing Corporation.
Buckle, K.A., Edwards, R.A, Fleet, G.H., dan Woofon, M. 1987. Ilmu Pangan. UI
Press. Jakarta.
Desroier, N. W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Penerjemah M.
Muljohardjo. Jakarta: UI Press.
Farrell, K. T. 1990. Spieces, Condiments and Seasoning. 2nd Ed. New York: Van
Nostrand Reinhold.
Fellows, J. P. 2000. Food Processing Technology: Principles and Practise. 2nd
Ed. Woodhead Publ, Lim. England, Cambrige.
Handershot, C. H. 1970. A Literature Review and Research Recommendation on
Cassava (Manihot esculenta,Crantz). Rome: Food and Agricultural
Organization of The Nation.
Hariyadi P. 1989. Mempelajari kinetika gelatinisasi pati sagu. [karya ilmiah].
Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Irianto, B. 1990. Teknologi SurimiSalah Satu Cara Mempelajari Nilai Tambah
Ikanikan yang kurang Dimanfaatkan. Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. 9(2). 35-39. Jakarta.
Karim, Mutemainna., Susilowati, A. Dan Asnidar, 2013. Tingkat Kesukaan
Konsumen Terhadap Otak-otak dengan Bahan Baku Ikan Berbeda.
Jurnal Balik Diwa Sains dan Teknologi Volume 4 No.1 Januari-Juni
2013. Makassar.
Kent, James Albert, 1983, “Riegel’s Handbook of Industrial Chemistry”, 8th
edition, Van Nostrand Reinhold Company Limited, England.
Lavlinesia. 1995. Kajian beberapa faktor pengembangan volumetrik dan
kerenyahan kerupuk ikan [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Moorthy, S.N. 2004. Tropical sources of starch. Di dalam: Ann Charlotte
Eliasson (ed). Starch in Food: Structure, Function, and Application.
CRC Press, Baco Raton, Florida.
Moorthy, S.N. 2004. Tropical sources of starch. Di dalam: Ann Charlotte
Eliasson (ed). Starch in Food: Structure, Function, and Application.
CRC Press, Baco Raton, Florida.
Nurfianti, D. 2007. Pembuatan Kitosan Sebagai Pembentukan Geldan Pengawet
Bakso Ikan Kurisi [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Nursaadah. 2006. Cita Rasa dan Tampilan Modern Puding Santan Tampil
Menawan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Padli, Ulfayanti. 2015. “Profil Penurunan Mutu Otak-Otak Ikan Tenggiri
(Scomberomorus commersonii) pada Berbagai Suhu Penyimpanan”.
Skripsi. Universitas Hasanudin.
Padli, Ulfayanti. 2015. “Profil Penurunan Mutu Otak-Otak Ikan Tenggiri
(Scomberomorus commersonii) pada Berbagai Suhu Penyimpanan.”
Skripsi. Makasar: Universitas Hasanuddin.
Palungkun, R dan A. Budhiarti. 1995. Bawang Putih Dataran Rendah. Jakarta:
Penebar Swadaya.
Palungkun, R dan A. Budiarti. 1992. Bawang Putih Dataran Rendah. Jakarta:
Penebar Swadaya.
Purnomo AH, Choliq A. 1987. Study Tentang Daya Kembang Kerupuk Ikan.
[catatan penelitian]. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 43:45-50.
Purnomo, H. 1995. Aktivitas Air dan Peranannya Dalam Pengawetan Pangan.
Jakarta: UI Presa.

Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil
Pertanian. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging Cetakan ke-2. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Sudariastuty, E. 2011. Pengolahan Ikan Tenggiri. Materi Penyuluhan perikanan.
Jakarta: Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan.
Suprapti, L. 2005. Teknologi pengolahan Pangan Tepung Tapioka dan
Pemanfaatannya. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka.
Susilo H. 2001. Pembuatan kerupuk kerang hijau (Mytilus viridis L.)
menggunakan telur itik sebagai bahan tambahan [skripsi]. Bogor:
Jurusan Teknologi Hasil Perikanan, Institut Pertanian Bogor.
Suzuki, T. 1981. Fish And Krill Protein Processing Technology. London: Applied
Science Publishers LTD.
Tjokroadikoesoemo dan P. Subiyanto. 1986. HVS dan Industri Ubi Kayu Lainnya.
Jakarta: PT Gramedia.
Wibowo, S. 1991. Budidaya Bawang, Bawang Merah, Bawang Putih dan
Bawang Bombay. Jakarta: Penebar Swadaya.
Wilson, GD. 1960. Sausage Products: Factor Effecting Quality Control Apllied.
Science Publisher. Ltd. London.

Winarno FG. 1984. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Winarno, F.G., 1994. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: PT. Gramedia.
Zaitsev et al. 1969. Fish Curing and Processing. Moscow: MIR Publisher.

Anda mungkin juga menyukai