Anda di halaman 1dari 216

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN KONSEP DIRI


HARGA DIRI RENDAH

OLEH

Anak Agung Istri Siska Noviyanti Dewi


209012447

PROGRAM STUDI PROFESI NERS KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI
DENPASAR
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
GANGGUAN KONSEP DIRI : HARGA DIRI RENDAH

A. MASALAH UTAMA
Gangguan konsep diri : Harga Diri Rendah

B. PROSES TERJADINYA MASALAH


1. Pengertian
Harga diri seseorang diperoleh dari diri sendiri dan orang lain.
Gangguan harga diri rendah akan terjadi jika kehilangan kasih sayang, perilaku
orang lain yang mengancam, dan hubungan interpersonal yang buruk. Tingkat
harga diri seseorang berada dalam rentang tinggi sampai rendah. Individu yang
memiliki harga diri tinggi menghadapi lingkungan secara aktif dan mampu
beradaptasi secara efektif untuk berubah serta cenderung merasa aman.
Individu yang memiliki harga diri rendah melihat lingkungan dengan cara
negatif dan menganggap sebagai ancaman (Keliat, 2011).
Harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang diri dan
kemampuan, yang diekspresikan secara langsung maupun tidak langsung,
(Fitria 2012).
Harga diri rendah adalah penilaian tentang pencapaian diri dengan
menganalisa seberapa jauh prilaku sesuai dengan ideal diri. (Prabowo 2014).
Harga diri rendah yaitu individu cendrung untuk menilai dirinya
negatif dan merasa lebih rendah dari orang lain, (Direja 2011).

2. Komponen Konsep Diri


Konsep diri adalah semua pikiran, kepercayaan dan kenyakinan yang
diketahui tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan
dengan orang lain (Fajariyah, 2012). Ciri konsep diri menurut Fajariyah
(2012) terdiri dari konsep diri yang positif, gambaran diri yang tepat dan
positif, ideal diri yang realitis, harga diri yang tinggi, penampilan diri yang
memuaskan, dan identitas yang jelas. Konsep diri terdiri dari citra tubuh (body
image), ideal diri (self-ideal), harga diri (self-esteem), peran (self-role), dan
identitas diri (self-identity) (Suliswati, 2004).
a) Citra tubuh
Citra tubuh adalah sikap individu terhadap tubuhnya baik disadari atau
tidak disadari meliputi persepsi masa lalu atau sekarang mengenai
ukuran dan bentuk, fungsi penampilan dan potensi tubuh. Citra tubuh
sangat dinamis karena secara konstan berubah seiring dengan persepsi
dan pengalaman-pengalaman baru. Citra tubuh harus realitis karena
semakin dapat menerima dan menyukai tubuhnya individu akan lebih
bebas dan merasa aman dari kecemasan. Individu yang menerima
tubuhnya apa adanya biasanya memiliki harga diri tinggi daripada
individu yang tidak menyukai tubuhnya (Suliswati, 2004).
b) Ideal diri
Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaiman ia seharusnya
bertingkah laku berdasarkan standart pribadi. Standart dapat
berhubungan dengan tipe orang yang diinginkan/disukainya atau
sejumlah aspirasi, tujuan, nilai yang ingin diraih. Ideal diri, akan
mewujudkan cita-cita atau penghargaan diri berdasarkan norma-norma
sosial dimasyarakat tempat individu tersebut melahirkan penyesuaian
diri (Suliswati, 2004).
c) Harga diri
Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang
diperoleh dengan menganalisa seberapa sesuai perilaku dirinya dengan
ideal diri. Harga diri yang tinggi adalah perasaan yang berasal dari
penerimaan diri sendiri tanpa syarat, walaupun melakukan kesalahan,
kekalahan, dan kegagalan, tetap merasa sebagai orang yang penting dan
berharga (Stuart,2006).
d) Peran
Peran adalah serangkaian pola sikap perilaku, nilai dan tujuan yang
diharapkan oleh masyarakat dihubungkan dengan fungsi individu
didalam sekelompok sosial dan merupakan cara untuk menguji identitas
dengan memvalidasi pada orang berarti. Setiap orang disibukkan oleh
beberapa peran yeng berhubungan dengan posisi setiap waktu sepanjang
daur kehidupnya. Harga diri yang tinggi merupakan hasil dari peran
yang memenuhi kebutuhan dan cocok dengan ideali diri (Suliswati,
2004).
e) Identitas diri
Prinsip penorganisasian kepribadian yang bertanggung jawab terhadap
kesatuan, kesinambungan, konsistensi, dan keunikan individu. Prinsip tersebut
sama artinya dengan otonomi dan mencakup persepsi seksualitas seseorang.
Pembentukan identitas, dimulai pada masa bayi dan terus berlangsung
sepanjang kehidupan, tetapi merupakan tugas utama pada masa remaja (Stuart,
2006).

3. Tanda dan gejala harga diri rendah


a. Mengkritik diri sendiri.
b. Perasaan tidak mampu.
c. Pandangan hidup yang pesimis
d. Penurunan produktifitas
e. Penolakan terhadap kemampuan diri
f. Terlihat dari kurang memperhatikan perawatan diri
g. Berpakaian tidak rapih.
h. Selera makan kurang
i. Tidak berani menatap lawan bicara.
j. Lebih banyak menunduk.
k. Bicara lambat dengan nada suara lemah. (Direja, 2011)

4. Rentang Respon

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Aktualisasi diri Konsep diri positif Harga diri rendah Kerancuan identitas Depersonalisasi
1
Gambar 1.1 : Rentang respon Harga Diri Rendah (Sumber Keliat 1999 dalam Fitria
2012)

a. Respon Adaptif
Respon adaptif adaptif adalah kemampuan individu dalam menyelesaikan masalah
yang dihadapinya.

1) Aktualisasi diri adalah pernyataan diri tentang konsep diri yang positif dengan
latar belakang pengalaman nyata yang sukses dan dapat diterima.
2) Konsep diri positif adalah apabila individu mempunyai pengalaman yang
positif dalam beraktualisasi diri dan menyadari hal-hal positif maupun yang
negatif dari dirinya.
b. Respon Maladaptif
Respon maladaptif adalah respon yang diberikan individu ketidak dia tidak
mampu lagi menyelesaikan maslah yang dihadapi.

1) Harga diri rendah adalah individu yang cenderung untuk menilai dirinya yang
negatif dan merasa lebih rendah dari orang lain.
2) Kerancuan identitas adalah identitass diri kacau atau tidak jelas sehingga tidak
memberikan kehidupan dalam mencapai tujuan.
3) Depersonalisasi (tidak mengenal diri) yaitu mempunyai kepribadian yang
kurang sehat, tidak mampu berhubungan dengan orang lai n secara intim.
Tidak ada rasa percaya diri atau tidak dapat membina hubungan baik dengan
orang lain (Yosep, 2009).

5. Faktor-faktor
a. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah kronis menurut herman
(2011), adalah penolakan orang tua yang realistis, kegagalan berulang kali,
kurang memounyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang
lain, ideal diri yang tidak realistis. Faktor predisposisi citra tubuh:
1) Kehilangan atau kerusakan bagian tubuh.
2) Perubahan ukuran, bentuk dan penapilan tubuh akibat penyakit.
3) Proses penyakit dan dampaknya terhadap struktur dan fungsi tubuh.
4) Proses pengobatan seperti radiasi dan kemoterapi. Faktor predisposisi
harga diri rendah adalah:
a. Penolakan
b. Kurang penghargaan, pola asuh overptotektif, otoriter, tidak
konsisten, terlalu dituruti, terlalu dituntut.
c. Persaingan antar saudara
d. Kesalahan dan kegagalan berulang
e. Tidak mapu mencapai standar. Fraktor predisposisi gangguan
peran adalah:
a) Ketidak percayaan orang tua
b) Tuntutan peran seks
c) Harapan peran kultural. Faktor predisposisi gangguan identitas
adalah:
1) Ketidak percayaan orang tua
2) Tekanan dari peer group
3) Perubahan struktur sosial (Eko Prabowo, 2014)

b. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah adalah hilangnya
sebagian anggota tubuh, berubahnya penampilan atau bentuk tubuh,
mengalami kegagalan, serta menurunya produktivitas. Harga diri kronis ini
dapat terjadi secara situasional maupun kronik.
1. Trauma : Masalah spesifik dengan konsep diri adalah
situasi yang mebuat individu sulit menyesuaikan diri, khususnya
trauma emosi seperti penganiayan seksual dan phisikologis pada
masa anak-anak atau merasa terancam atau menyaksikan kejadian
yang mengancam kehidupannya.
2. Ketegangan peran : rasa frustasi saat indivisu merasa
tidak mampu melakukan peran yang bertentangan dengan hatinya
atau tidak merasa sesuai dengan melakukan perannya.
Ketengangan peran ini sering dijumpai saat terjadi konflik peran
terjadi saat individu menghadapi dua harapan yang bertentangan
dan tidak dapat dipenuhi. Keraguan peran terjadi bila indivisu
tidak mengetahui harapan peran yang spesifik atau bngung tentang
peran sesuai.
a) Trauma peran perkembangan
b) Perubahan normatif yang berkaitan dengan pertumbuhan
c) Transisi peran situasi
d) Perubahan jumlah anggota keluarga baik bertambah atau
berkurang
e) Transisi sehat sakit
f) Pergeseran kondisi pasien yang menyebabkan kehilangan
bagian tubuh
3. Perilaku
a) Citra tubuh yaitu : menolak menyentuh atau melihat bagian
tubuh tertentu, menolak bercermin, tidak mau mendiskusikan
keterbatasan atau cacat tubuh, menolak usaha rehabilitasi,
usaha pengobatan mandiri yang tidak tepat, dan menyangkal
cacat tubuh.
b) Harga diri rendah di antaranya : mengkritik diri atau orang
lain, produktivitas menurun, gangguan berhubungan,
keteganggan peran, pesimis menghadapi hidup, keluhan fisik,
penolakan kemampuan diri, pandangan hidup bertentangan,
destruktif kepada diri, menarik diri secara sosial,
penyalahgunaan zat, menarik diri dari realitas, khawatir,
merasa diri paling penting, distruktif pada orang lain, merasa
tidak mampu, merasa bersalah, mudah tersinggung/marah,
perasaan negatif terhadap tubuh.
c) Keracunan identitas diantaranya : tidak ada kode moral,
kepribadian yang bertentangan, hubungan interpersonal yang
ekploitatif, perasaa hampa, perasaan mengembang tentang diri,
kehancuran gender, tingkat ansietas tinggi, tidak mampu
empati pada orang lain, masalah estemasi.
d) Depersonalisasi meliputi efektif : kehidupan identitas, perasaan
terpisah dari diri, perasaan tidak realistis, rasa terisolasi yang
kuat, kurang rasa berkesinambungan, tidak mampu mencari
kesenangan, perseptual: halusinasi dengar dan lihat, bingung
tentang seksualitas diri, sulit membedakan diri dari orang lain,
gangguan citra tubuh, dunia seperti mimpi. Kognitif, gangguan
daya ingat, gangguan penilaian, kepribadian ganda (Eko, 2014).

6. Macam-macam Harga Diri Rendah


a. Situasional
Harga diri rendah situasional dalam Wilkinson, Ahern (2009)
didefinisikan sebagai suatu perkembangan persepsi negatif terhadap harga
diri individu sebagai respon terhadap situasi tertentu misalnya akibat
menderita suatu penyakit, kondisi ini dapat disebabkan akibat adanya
gangguan citra tubuh, kegagalan dan penolakan, perasaan kurang
penghargaan, proses kehilangan, dan perubahan pada peran sosial yang
dimiliki.
b. Kronik
Menurut Fitria (2012) menyatakan bahwa gangguan konsep diri:
harga diri rendah kronis biasanya sudah berlangsung sejak lama yang
dirasakan pasien sebelum sakit atau sebelum dirawat. Sedangkan menurut
Nurarif dan Hardhi (2015) harga diri rendah kronis merupakan evaluasi
diri/ perasaan negatif tentang diri sendiri atau kemampuan diri yang
berlangsung lama.

7. Penatalaksanaan
Terapi pada ganguan jiwa skizofrenia dewasa ini sudah
dikembangkan sehingga penderita tidak mengalami diskriminasi bahkan
metodenya lebih manusiawi daripada masa sebelumnya. Terapi yang
dimaksud meliputi :
a) Psikofarmaka
Berbagai jenis obat psikofarmaka yang beredar dipasaran yang
hanya diperoleh dengan resep dokter, dapat dibagi dalam 2 golongan
generasi pertama (typical) dan generasi kedua (atypical). Obat yang
termasuk golongan generasi pertama misalnya chlorpromazine HCL,
Thoridazine HCLAdalah obat penennang untuk klien dengan
gangguan Jiwa, dan Haloperidolobat untuk mengatasi berbagaimasalah
kejiwaan, seperti meredakan gejala skizofrenia, sindrom Tourette,Obat
yang termasuk generasi kedua misalnya: Risperidoneobat yang
digunakan untuk menangani skizofrenia dan gangguan psikosis
lain,serta perilaku agresif dan disruptif yang membahayakan pasien
maupun orang lain. Antipsikotik ini bekerja dengan menstabilkan
senyawa alami otak yang mengendalikan pola pikir, perasaan, dan
perilaku, Olozapine adalah jenis obat antipsikotik yang digunakan untuk
gejala psikosis, psikosis adalah kumpulan gejala gangguan jiwa
dimana seseorang merasa terpisah dari kenyataan yang sebenarnya di
tandai dengan timbulnya delusi dan halusinasi, Clozapine diberikan
kepada penderita skizofrenia dan parkinso, Quentiapine adalah obat
yang digunakan untuk mengobati konsidi jiwa/suasana hati tertentu
(seperti skizofrenia, gangguan bipolar, episode mania tiba-tiba atau
depresi terkait dengan ganggua bipolar).Quetiapne dikenal sebagai
obat anti-psikotik (tipe atipikal). Glanzapineadalah obat yang
digunakan untuk mengobati kondisi jiwa untuk suasana hati
tertentu (seperti skizofrenia, gangguan bipolar).Obat ini juga dapat
digunakan untuk kombinasi ddengan obat lain untuk pengobatan
depresi, obat ini termasuk dalam kelas obat antipsikotik atipikal,
Zolatine untuk gangguan cemas sedang atau berat dan gangguan
cemas yang berhubungan erat dengan depresi, dan Aripiprazole
untuk mengobati gejala kondisi psikotik seperti Skizofrenia dan
gangguan bipolar (Eko, 2014).
b) Psikoterapi
Terapi kerja baik sekali untuk mendorong penderita bergaul lagi
dengan orang lain, penderita lain, perawat dan dokter. Maksudnya
supaya ia tidak mengasingkan diri lagi karena bila ia menarik diri ia dapat
membentuk kebiasaan yang kurang baik. Dianjurkan untuk
mengadakan permainan atau latihan bersam (Eko, 2014).
c) Terapi Kejang Listrik (Electro Convulsive Therapy)
ECT adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang granmall secara
artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui electrode yang
dipasang satu atau dua temples. Therapy kejang listrik diberikan pada
skizofrenia yang tidak mempan dengan terapi neuroleptika oral atau
injeksi, dosis terapi kejang listrik 4-5 joule/detik. Tujuan ECT adalah
untuk menginduksi suatu kejang kronik yang dapat memberi efek
terapi (therapeutik clonic seizure) setidaknya selama 15 10detik.
Kejang yang dimaksud adalah suatu kejang dimana seseorang
kehilangan kesadarannyadan mengalami rejatan (Eko, 2014).
d) Terapi Modalitas
Terapi modalitas atau perilaku merupakan rencana pengobatan untuk
skizofrenia yang ditujukan pada kemampuan dan kekurangan pasien.
Teknik menggunakan latihan keterampilan social untuk
meningkatkan kemampuan social. Kemampuan memenuhi diri
sendiri dan latihan praktis dalam komunikasi interpersonal. Terapi
kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada rencana dan
masalah dalam hubungan kehidupan yang nyata (Eko, 2014).
Terapi aktivitas kelompok dibagi menjadi empat, yaitu terapi
aktivitas kelompok stimulasi kognitif/persepsi, therapy aktivitas
kelompok simulasi, terapi aktivitas kelompok stimulasi realita dan
terapi aktivittas kelompok sosialisasi ( keliat dan Akemat, 2005 ).
Dari empat jenis terapi aktivitas kelompok diatas yang paling relevan
dilakukan pada individu dengan ganguan konsep diri harga diri rendah
adalah terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi.Terapi aktivitas
kelompok (TAK) stimulasi persepsi adalah terapi yang menggunakan
aktivitas sebagai stimulasi dan terkait dengan pengalaman atau
kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok, hasil diskusi kelompok
dapat berupa kesepakatan persepsi atau alternative penyelesaian masalah
(Eko, 2014).

C. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Pengkajian menurut Deden (2013) melalui beberapa faktor, yaitu:
a. Fraktor predisposisi
b. Faktor presipitasi
c. Perilaku
d. Tanda dan gejala harga diri rendah yang dialami
e. Sumber dan mekanisme koping
Masalah keperawatan yang perlu dikaji:
a. Perubahan sensori persepsi:
halusinasi
Data Subjektif: pasien mengatakan sedang mengobrol dengan temannya
Data Objektif: pasien tampak senyum-senyum sendiri, pasien tampak
komat-kait sendiri
b. Isolasi Sosial
Data Subjektif: Merasa ingin sendiri, merasa tidak aman di tempat umum
Data Objektif: menarik diri, pasien tidak mau bicara, pasien menghindar,
dan pasien menunduk tidak ada kontak mata, afek datar, afek sedih.
c. Harga Diri Rendah
Data Subjektif: mengatakan kesepian, mengatakan tidak mempunyai
teman, mengatakan lebih sering dirumah sendiri, dan tidak dapat
berhubungan sosial
Data Objektif: menyendiri, ekspresi murung, dan sulit berlarut dalam
pikiran sendiri.
Data Subjektif
a) Klien mengatakan ingin diakui jati dirinya.
b) Klien mengatakan tidak ada lagi yang peduli dengannya.
c) Klien mengatakan tidak bisa apa-apa.
d) Klien mengatakan dirinya tidak berguna.
e) Klien mengkritik dirinya sendiri.
f) Klien mengatakan enggan berbicara duluan dengan orang lain.

Data Objektif
a) Merusak diri sendiri
b) Menarik diri dari hubungan sosial
c) Tampak mudah tersinggung
d) Suara pelan dan tidak jelas.
e) Kurang energy
f) Kurang spontan
g) Apatis (Acuh terhadap lingkungan)

2. POHON MASALAH

Resiko tinggi prilaku kekerasan


Effect Perubahan persepsi sensori : Halusinasi

Isolasi sosial

Harga Diri Rendah


Core Problem

Causa Koping individu tidak efektif


Gambar 2.1 : Pohon Masalah Harga Diri Rendah (Sumber Keliat 2009 dalam Fitria
2012)
Pohon masalah terdiri dari masalah utama, penyebab dan akibat. Masalah utama
adalah prioritas masalah klien dari beberapa masalah yang dimiliki oleh klien.
Umumnya, masalah utama berkaitan erat dengan alasan masuk atau keluhan utama.
Penyebab adalah salah satu dari beberapa masalah klien yang merupakan penyebab
masalah utama.
Masalah ini dapat pula disebabkan oleh salah satu masalah yang lain, demikian
seterusnya. Akibat adalah adalah salah satu dari beberapa masalah klien yang
merupakan efek atau akibat dari masalah utama.

3. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Gangguan konsep diri : Harga diri rendah berhubungan dengan koping
individu tidak efektif.
4. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
Tgl No. Dx. Perencanaan
Tujuan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Dx Keperawatan
1 Harga Diri TUM :
Rendah. Klien memiliki konsep 1. Setelah 2x interaksi 1. Bina hubungan saling Pembinaan hubungan saling
diri yang positif. klien menunjukkan percaya dengan percaya merupakan dasar
ekspresi wajah menggunakan prinsip terjadinya komunikasi terbuka
TUK 1 : bersahabat, komunikasi terapeutik: sehingga mempermudah dalam
Klien dapat membina menunjukkan rasa  Sapa klien dengan menggali masalah klien.
hubungan saling senang, ada kontak ramah, baik verbal
percaya dengan mata, mau berjabat maupun non verbal.
perawat. tangan, mau  Perkenalkan diri dengan
menyebutkan nama, sopan.
mau menjawab salam,  Tanyakan nama lengkap
klien mau duduk dan nama panggilan
berdampingan dengan kesukaan klien.
perawat, mau  Jelaskan tujuan
mengutarakan masalah pertemuan.
yang dihadapi.  Jujur dan menepati janji.
 Tunjukkan sikap empati
dan menerima klien apa
adanya.
 Beri perhatian dan
perhatikan kebutuhan
dasar klien.
TUK 2 : 2. Setelah …x interaksi 2.1 Diskusikan dengan klien Mendiskusikan aspek positif
Klien dapat klien menyebutkan : tentang: yang dimiliki serta kemampuan
mengidentifikasi aspek  Aspek positif dan  Aspek positif yang yang dimiliki membantu
positif dan kemampuan yang dimiliki klien, keluarga, meningkatkan harga diri
kemampuan yang dimiliki klien. lingkungan. rendah klien
dimiliki.  Aspek positif  Kemampuan yang
keluarga. dimiliki klien
 Aspek positif 2.2 Bersama klien buat daftar
lingkungan klien. tentang :
 Aspek positif klien,
keluarga dan
lingkungan.
 Kemampuan yang
dimiliki klien.
2.3 Beri pujian yang realistis,
hindarkan memberi
penilaian negatif.
TUK 3 : 3. Setelah …x interaksi 3.1 Diskusikan dengan klien Kemampuan merupakan
Klien dapat menilai klien menyebutkan kemampuan yang dapat kecakapan seseorang dalam
kemampuan yang kemampuan yang dilaksanakan. melakukan suatu hal, memilih
dimiliki untuk dapat dilaksanakan. 3.2 Diskusikan kemampuan kemampuan yang dapat
dilaksanakan. yang dapat dilanjutkan dilaksanakan klien dapat
pelaksanaannya. membantu meningkatkan harga
diri klien
TUK 4 : 4. Setelah …x interaksi 4.1 Rencanakan bersama klien Aktivitas direncanakan sesuai
Klien dapat klien, membuat aktivitas yang dapat kemampuan klien agar hasil
merencanakan rencana kegiatan dilakukan setiap hari dari melakukan aktivitas
kegiatan sesuai dengan harian. sesuai kemampuan klien : tersebut sesuai dengan
kemampuan yang  Kegiatan mandiri. kemampuan klien
dimiliki.  Kegiatan dengan bantuan.
4.2 Tingkatkan kegiatan sesuai
kondisi klien.
4.3 Beri contoh cara
pelaksanaan kegiatan yang
dapat klien lakukan.

TUK 5 : 5. Setelah …x interaksi 5.1 Anjurkan klien untuk Menganjurkan klien melakukan
Klien dapat melakukan klien melakukan melaksanakan kegiatan aktivitas merupakan salah satu
kegiatan sesuai kegiatan sesuai jadwal yang telah direncanakan. cara agar klien dapat percaya
rencana yang dibuat. yang dibuat. 5.2 Pantau kegiatan yang kepada dirinya dan dapat
dilaksanakan klien. meningkatkan harga dirinya
5.3 Beri pujian atas usaha yang
dilakukan klien.
5.4 Diskusikan kemungkinan
pelaksanaan kegiatan
setelah pulang.
TUK 6 : 6. Setelah …x interaksi 6.1 Beri pendidikan kesehatan Pendidikan kesehatan
Klien dapat klien memanfaatkan pada keluarga tentang cara merupakan pembelajaran untuk
memanfaatkan sistem sistem pendukung merawat klien dengan meningkatkan kesehatan,
pendukung yang ada. yang ada di keluarga. harga diri rendah. pendidikan pada keluarga dapat
6.2 Bantu keluarga membantu dalam perawatan
memberikan dukungan keluarga dengan harga diri
selama klien dirawat. rendah
6.3 Bantu keluarga
menyiapkan lingkungan di
rumah.
5. Intervensi Berdasarkan SP
Pasien Keluarga
SP 1. SP 1.
1. Mengidentifikasi kemampuan positif yang 1. Mengidentifikasi masalah yang
dimiliki. dirasakan dalam merawat pasien.
a. Mendiskusikan bahwa pasien masih 2. Menjelaskan proses terjadinya HDR.
memiliki sejumlah kemampuan dan 3. Menjelaskan tentang cara merawat
aspek positif seperti kegiatan pasien pasien.
di rumah adanya keluarga dan 4.Memainkan peran dalam merawat pasien
lingkungan terdekat pasien. HDR.
b. Memberi pujian yang realistis dan 5. Menyusun RTL keluarga / jadwal
hindarkan setiap kali bertemu dengan keluarga untuk merawat pasien.
pasien penilaian yang negatif.
2. Menilai kemampuan yang dapat dilakukan
saat ini.
a. Mendiskusikan dengan pasien
kemampuan yang masih digunakan
saat ini.
b. Membantu pasien menyebutkannya
dan memberi penguatan terhadap
kemampuan diri yang diungkapkan
pasien.
c. Memperlihatkan respon yang kondusif
dan menjadi pendengar yang aktif.
3. Meilih kemampuan yang akan dilatih.
a. Mendiskusikan dengan pasien beberapa
aktivitas yang dapat dilakukan dan
dipilih sebagai kegiatan yang akan
pasien lakukan sehari-hari.
b. Membantu pasien menetapkan aktivitas
mana yang dapat pasien lakukan
secara mandiri.
c. Aktivitas yang memerlukan bantuan
minimal dari keluarga.
d. Aktivitas apa saja yang perlu bantuan
penuh dari keluarga atau lingkungan
terdekat pasien.
e. Memberi contoh cara pelaksanaan
aktifitas yang dapat dilakukan pasien.
f. Menyusun bersama pasien aktifitas
atau kegiatan sehari-hari pasien.
4. Menilai kemampuan pertama yang telah
dipilih.
a. Mendiskusikan dengan pasien untuk
menetapkan urutan kegiatan ( yang
sudah dipilih pasien ) yang akan
dilatihkan.
b. Bersama pasien dan keluarga
memperagakan beberapa kegiatan yang
akan dilakukan pasien.
c. Memberikan dukungan atau pujian
yang nyata sesuai kemajuan yang
diperlihatkan pasien.
5. Memasukan dalam jadwal kegiatan pasien.
a. Memberi kesempatan pada pasien
untuk mencoba kegiatan.
b. Memberi pujian atas aktifitas / kegiatan
yang dapat dilakukan pasien setiap
hari.
c. Meningkatkan kegiatan sesuai dengan
toleransi dan perubahan sikap.
d. Menyusun daftar aktivitas yang sudah
dilatihkan bersama pasien dan
keluarga.
e. Memberikan kesempatan
mengungkapkan perasaannya setelah
pelaksanaan kegiatan.Meyakinkan
bahwa keluarga mendukung setiap
aktifitas yang dilakukan pasien.
SP 2. SP 2.
1. Mengevaluasi kegiatan yang lalu ( SP 1 ). 1. Mengevaluasi kemampuan SP 1.
2. Memilih kemampuan kedua yang dapat 2. Melatih keluarga langsung ke pasien.
dilakukan. 3. Menyusun RTL keluarga / jadwal
3. Memasukan dalam jadwal kegiatan pasien. keluarga untuk merawat pasien.
SP 3. SP 3.
1. Mengevaluasi kegiatan yang lalu ( SP 1 1. Mengevaluasi kemampuan keluarga.
dan 2 ). 2. Mengevaluasi kemampuan pasien.
2. Memilih kemampuan ketiga yang dapat 3. RTL keluarga.
dilakukan. a. Follow Up.
3. Memasukan dalam jadwal kegiatan pasien. b. Rujukan.

6. Implementasi
Implementasi dilakukan berdasarkan intervensi yang dilakukan.
7. Evaluasi
Evaluasi adalah proses berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan
keperawatan pada klien. Evaluasi dibagi dua yaitu, evaluasi proses atau
formatif yang dilakukan setiap selesai melakukan tindakan, evaluasi hasil atau
sumatif yang dilakukan dengan membandingkan antara respon klien dan
tujuan khsus serta umum yang telah ditentukan (Direja, 2011).
Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP sebagai
pola pikir:
S: Respon subyektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan. Dapat dilakukan dengan menanyakan langsung kepada
klien tentang tindakan yang telah dilakukan.
O: Respon obyektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilakukan.
Dapat diukur dengan mengobservasi perilaku klien pada saat tindakan
dilakukan, atau menanyakan kembali apa yang telah dilaksanakan atau
memberi umpan balik sesuai dengan hasil observasi.
A: Analisis ulang atas data subyektif dan obyektif untuk menyimpulkan
apakah masalah masih tetap atau muncul masaah baru atau ada data kontra
indikasi dengan masalah yang ada, dapat juga membandingkan hasil
dengan tujuan.
P: Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisis pada respon klien
yang terdiri dari tindak lanjut klien dan perawat.
1. Dapatmenunjukkanpeningkatanhargadiri
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat.
b. Klien dapat mengidentifikasi aspek positif dan kemampuan yang
dimiliki.
c. Klien dapat menilai kemampuan yang dimiliki untuk dilaksanakan.
d. Klien dapat merencanakan kegiatan sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki.
e. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai rencana yang dibuat.
f. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada.

DAFTAR PUSAKA
Carpenito, Lynda Juall. (2010). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. EGC:   Jakarta.
Direja, Ade Herman Surya. 2011. Buku Ajar Asujan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta :
Nuha Medika.
Fajariyah N. 2012. Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Harga Diri Rendah.
Jakarta: Trans Info Media.
Fitria, Nita. 2012. Prinsip dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
strategi pelaksanaan tindakan keperawatan (LP dan SP) untuk tujuh Diagnosa
Keperawatan Jiwa Berat bagi Profesi S1 Keperawatan. Jakarta : Salemba
Medika.
Keliat, Budi Anna. (2009). Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa.. EGC: Jakartaa
Keliat, Budu Anna. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. EGC, Jakarta.
Prabowo, E. 2014. Konsep dan Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta : Nuha
Medika
Stuart dan Sundeen. (2009). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5. EGC: Jakarta.
Towsend. (2009). Buku Saku diagnosa Keperawatan Pada Keperawatan Psikiatri.
Jakarta: EGC
Yosep, Iyus. 2009. Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Gunansa.

LAPORAN PENDAHULUAN
PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI
HALUSINASI

OLEH

Anak Agung Istri Siska Noviyanti Dewi


209012447

PROGRAM STUDI PROFESI NERS KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI
DENPASAR
2020

LAPORAN PENDAHULUAN

GANGGUAN SENSORI PERSEPSI HALUSINASI


A. Kasus (Masalah Utama)
Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi

B. Proses Terjadinya Masalah


1. Definisi
Halusinasi adalah persepsi sensorik yang keliru dan melibatkan panca indera
(Isaacs, 2010).
Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana klien
mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca
indra tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu
persepsi melalui panca indra tanpa stimulus eksteren: persepsi palsu (Maramis,
2010).
Direja (2011), berpendapat bahwa gangguan persepsi sensori halusinasi adalah
salah satu gangguan jiwa dimana klien mengalami perubahan persepsi
sensori,seperti merasakan sensasi palsu seperti suara, penglihatan, pengecapan,
atau penghiduan.
Halusinasi adalah kesan, respon dan pengalaman sensori yang salah (Stuart,
2007).
Halusinasi adalah penerapan tanpa adanya suatu rangsangan (objek) yang jelas
dari luar diri klien terhadap panca indra pada saat klien dalam keadaan sadar atau
bangun (kesan/pengalaman sensori yang salah). (Azizah, 2011).
Gangguan poersepsi sensori halusinasi Adela hilangnya kemampuan manusia
dalam membedakan rangsanagn internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia
luar). Klien memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek
atau rangsangan yang nyata (Kusumawati & Hartono, 2012).
2. Etiologi
Gangguan persepsi sensori halusinasi sering disebabkan karena panik, sterss
berat yang mengancam ego yang lemah, dan isolasi sosial menarik diri
(Townsend, M.C, 2010).
a. Faktor pencetus :
1).    Biologis
Abnormalitas otak yang menyebabkan respon neurobiologi yang
maladptif yang baru mulai dipahami.
2).    Psikologis
Teori psikodinamik untuk terjadinya respon neurobiologik yang
maladaptif belum didukung oleh penelitian ( Stuart dan Sundeen,
2009 ).
3).    Sosio Budaya
Stres yang menumpuk dapat menunjang terhadap awitan Skizoprenia
dan gangguan psikotik lain tapi tidak diyakini sebagai penyebab utama
gangguan ( Stuart dan Sundeen, 2009 ).
b.  Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi penyebab halusinasi adalah :
a).  Faktor Perkembangan
Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendahnya kontrol dan
kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak
kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentan terhadap
stress.
b).  Faktor Sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi akan
merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya.
c).  Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya
stress yang berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuh akan
dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia.
Akibat stress berkepanjangan menyebabkan teraktivasinya
neurotransmitter otak.
d).  Faktor Psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah
terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada
ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi
masa depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari
alam nyata menuju alam hayal.
e).  Faktor Genetik dan Pola Asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang tua
skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi
menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang
sangat berpengaruh pada penyakit ini.
c. Faktor Presipitasi
Menurut Stuart (2007) yang dikutip oleh Jallo (2008), faktor presipitasi
terjadinya gangguan halusinasi adalah :
a).  Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur
proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk
dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif
menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
b).  Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
c).  Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi
stressor.
d). Rentang respon halusinasi
Rentang respon neurobiologist Direj (2011):

Respon Adaptif :
Respon Psikososial:
1. Pikiran logis Respon Maladaptif :
1. Kadang-kadang
2. Persepsi akurat 1. Waham
proses piker
3. Emosi konsisten terganggu 2. Sulit berespon emosi
dengan pengalaman 2. Ilusi
3. Prilaku disorganisasi
3. Emosi berlebihan
4. Perilaku cocok 4. Isolasi sosial
4. Perilaku yang tidak
5. Hubungan sosial biasa 5. Halusinasi
harmonis 5. Menarik diri
Rentang respon neurobiologist dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Respon Adaptif Respon
Adaptif adalah respon yang dapat diterima oleh norma-norma social
budayayang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam batas normal
jika menghadapisuatu masalah akan dapat memecahkan masalah tersebut ,
adapun bagian dari responadaptif meliputi:
a. Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan. 
b. Persepsi Akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan.
c. Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari
pengalamanahli.
d. Perilaku social adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas
kewajaran.
e. Menarik diri adalah percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang
lain.
2. Respon PsikososialRespon psikososial meliputi :
a. Proses pikir terganggu adalah proses pikir yang menimbulkan gangguan.
b. Ilusi adalah miss interpretasi atau penilaian yang salah tentang penerapan y
ang benar-benar terjadi (objek nyata) karena rangsangan panca indera.
c. Emosi berlebihan atau berkurang.
d. Perilaku tidak biasa adalah sikap atau tingkah laku yang melebihi batas
kewajaran.
e. Menarik diri adalah percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang
lain.
3. Respon Maladaptif
Respon Maladaptif adalah respon indivdu dalam menyelesaikan masalah yang
menyimpang dari norma-norma sosial, budaya dan lingkungan adapun respon
maladaptive meliputi:
a. Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan walau
puntidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan kenyataan
social.
b. Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi eksternal
yang tidak realita atau tidak ada.
c. Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari hati
d. Perilaku tidak terorganisir merupakan sesuatu yang tidak teratur
e. Isolasi sosial Adela ipaya menghindari suatu hubungan komunikasi dengan
orang lain karena merasa kehilangan hubungan akrab dan tidak
mempunyai kesempatan untuk berbagi rasa, pikiran, dan kegaglan.

3. Patofisologi
Halusinasi pendengaran paling sering terdapat pada klien Skizoprenia.
Halusinasi terjadi pada klien skizoprenia dan gangguan manik. Halusinasi dapat
timbul pada skizofrenia dan pada psikosa fungsional yang lain, pada sindroma
otak organik, epilepsi (sebagai aura), nerosa histerik, intoksikasi atropin atau
kecubung, zat halusinogenik dan pada deprivasi sensorik. klien yang mendengar
suara – suara misalnya suara Tuhan, iblis atau yang lain. Halusinasi yang dialami
berupa dua suara atau lebih yang mengomentari tingkah laku atau pikiran klien.
Suara– suara yang terdengar dapat berupa perintah untuk bunuh diri atau
membunuh orang lain.
Fase halusinasi ada 4 yaitu (Herman, 2011):
a.    Comforting
Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas sedang, kesepian, rasa
bersalah dan takut serta mencoba untuk berfokus pada pikiran yang
menyenangkan untuk meredakan ansietas. Di sini klien tersenyum atau tertawa
yang tidak sesuai, menggerakkan lidah tanpa suara, pergerakan mata yang
cepat, diam dan asyik.
b.   Condemning
Pada ansietas berat pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien
mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya
dengan sumber yang dipersepsikan. Disini terjadi peningkatan tanda-tanda
sistem saraf otonom akibat ansietas seperti peningkatan tanda-tanda vital
(denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah), asyik dengan pengalaman
sensori dan kehilangan kemampuan untuk membedakan halusinasi dengan
realita.
c.    Controling
Pada ansietas berat, klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap
halusinasi dan menyerah pada halusinasi tersebut. Di sini klien sukar
berhubungan dengan orang lain, berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi
perintah dari orang lain dan berada dalam kondisi yang sangat menegangkan
terutama jika akan berhubungan dengan orang lain.
d.   Consquering
Terjadi pada panik Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien
mengikuti perintah halusinasi. Di sini terjadi perilaku kekerasan, agitasi,
menarik diri, tidak mampu berespon terhadap perintah yang kompleks dan
tidak mampu berespon lebih dari 1 orang. Kondisi klien sangat
membahayakan.

4. Manifestasi Klinis
Pasien dengan halusinasi cenderung menarik diri, sering didapatkan duduk
terpaku dengan pandangan mata pada satu arah tertentu, tersenyum atau berbicara
sendiri, secara tiba-tiba marah atau menyerang orang lain, gelisah, melakukan
gerakan seperti sedang menikmati sesuatu. Juga keterangan dari pasien sendiri
tentang halusinasi yang dialaminya (apa yang dilihat, didengar atau dirasakan).
Berikut ini merupakan gejala klinis berdasarkan halusinasi (Budi Anna Keliat,
2007) :
a.    Tahap 1: halusinasi bersifat tidak menyenangkan
Gejala klinis:
1)      Menyeriangai/tertawa tidak sesuai
2)      Menggerakkan bibir tanpa bicara
3)      Gerakan mata cepat
4)      Bicara lambat
5)      Diam dan pikiran dipenuhi sesuatu yang mengasikkan
b.   Tahap 2: halusinasi bersifat menjijikkan
Gejala klinis:
1)      Cemas
2)      Konsentrasi menurun
3)      Ketidakmampuan membedakan nyata dan tidak nyata
c.    Tahap 3: halusinasi bersifat mengendalikan
Gejala klinis:
1)      Cenderung mengikuti halusinasi
2)      Kesulitan berhubungan dengan orang lain
3)      Perhatian atau konsentrasi menurun dan cepat berubah
4)     Kecemasan berat (berkeringat, gemetar, tidak bisa mengikuti petunjuk).
d.   Tahap 4: halusinasi bersifat menaklukkan
Gejala klinis:
1)      Pasien mengikuti halusinasi
2)      Tidak mampu mengendalikan diri
3)      Tidak mamapu mengikuti perintah nyata
4)      Beresiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan.

5. Klasifikasi / Jenis Halusinasi


a. Halusinasi Visual
Pengelihatan bisa berbentuk seperti orang, binatang, atau tidak berbentuk
sinar kilat, bisa berwarna atau tidak berwarna.
b. Halusinasi Dengar
Bisa berupa suara manusia, hewan, mesin music, ataun kejadian alam
lainnya.
c. Halusinasi Penciuman
Bisa mencium bau khusus dimana orang lain tidak mencium
d. Halusinasi Pengecapan
Bisa mengecap/merasakan sesuatu ada yang enak atau tidak
e. Halusinasi Perabaan
Bisa merasakan suatu perabaan, sentuhan tiupan disinari, dipanasi
f. Halusinasi Kinestetik
Anggota badannya bergerak dalam suatu ruangan atau anggota badannya
bisa merasakan suatu gerakan seperti pada pasien ambulasi
g. Halusinasi Vesceral
Seperti ada rasa – rasa tertentu yang terjadi di dalam organ tubuh
h. Halusinasi Histerik
Timbul pada neurosa histerik karena adanya konflik emosional
i. Halusinasi Hipnogogik
Sensori persepsi yang muncul setelah bangun tidur
j. Halusinasi Hipnopompik
Seperti halusinasi hipnogogik tetapi terjadi tepat sebelum terbangun .
disamping itu adapula pengalaman halusinatorik dalam impian normal.
k. Halusinasi Perintah
Isinya menyuruh klien untuk melakukan sesuatu seperti bunuh diri,
mencabut tanaman, dll.(sumber: Azizah, 2011).
l. Halusinasi Seksual
Halusinasi ini termask halusinasi raba, penderita merasa di raba dan
diperkosa, sering pada skizofrenia dengan waham kebesaran terutama
mengenai organ-organ. (sumber: Azizah, 2011).

6. Tanda dan Gejala


1. Bicara senidir.
2. Senyum sendiri.
3. Tertawa sendiri.
4. Menggerakan bibir tanpa suara.
5. Poergerakan mata yang cepat.
6. Respon verbal yang lambat.
7. Menarik diri dari orang lain.
8. Berusaha untuk mengindari orang lain.
9. Tidak dapat membedakan yang nyata dan tidak nyata.
10. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernafasan, dan tekanan darah.
11. Perhatian dengan lingkungan kurang atau beberapa detik.
12. Berkonsentrasi dengan pengalaman sensori .
13. Sulit berhubungan dengan orang lain.
14. Ekspresi muka tegang.
15. Mudah tersinggung, jengkel dan marah.
16. Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat.
17. Tampak tremor dan berkeringat.
18. Perilaku panik.
19. Agitasi dan kataton.
20. Curiga dan bermusuhan.
21. Bertindak merusak diri, orang lain dan lingkungan.
22. Ketakutan.
23. Tidak dapat mengurus diri.
24. Biasanya terdapat disorientasi waktu, tempat dan orang (Damaiyanti, 2012).
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien halusinasi dengan cara :
a.    Menciptakan lingkungan yang terapeutik
Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dan ketakutan pasien akibat
halusinasi, sebaiknya pada permulaan pendekatan di lakukan secara individual
dan usahakan agar terjadi knntak mata, kalau bisa pasien di sentuh atau di
pegang. Pasien jangan di isolasi baik secara fisik atau emosional. Setiap
perawat masuk ke kamar atau mendekati pasien, bicaralah dengan pasien.
Begitu juga bila akan meninggalkannya hendaknya pasien di beritahu. Pasien
di beritahu tindakan yang akan di lakukan.Di ruangan itu hendaknya di
sediakan sarana yang dapat merangsang perhatian dan mendorong pasien
untuk berhubungan dengan realitas, misalnya jam dinding, gambar atau hiasan
dinding, majalah dan permainan
b.   Melaksanakan program terapi dokter
Sering kali pasien menolak obat yang di berikan sehubungan dengan
rangsangan halusinasi yang di terimanya. Pendekatan sebaiknya secara
persuatif tapi instruktif. Perawat harus mengamati agar obat yang di berikan
betul di telannya, serta reaksi obat yang di berikan.
c.    Menggali permasalahan pasien dan membantu mengatasi masalah yang ada
Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat menggali
masalah pasien yang merupakan penyebab timbulnya halusinasi serta
membantu mengatasi masalah yang ada. Pengumpulan data ini juga dapat
melalui keterangan keluarga pasien atau orang lain yang dekat dengan pasien.
d.   Memberi aktivitas pada pasien
Pasien di ajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik, misalnya
berolah raga, bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan ini dapat membantu
mengarahkan pasien ke kehidupan nyata dan memupuk hubungan dengan
orang lain. Pasien di ajak menyusun jadwal kegiatan dan memilih kegiatan
yang sesuai.
e.    Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan
Keluarga pasien dan petugas lain sebaiknya di beritahu tentang data pasien
agar ada kesatuan pendapat dan kesinambungan dalam proses keperawatan,
misalny dari percakapan dengan pasien di ketahui bila sedang sendirian ia
sering mendengar laki-laki yang mengejek. Tapi bila ada orang lain di
dekatnya suara-suara itu tidak terdengar jelas. Perawat menyarankan agar
pasien jangan menyendiri dan menyibukkan diri dalam permainan atau
aktivitas yang ada. Percakapan ini hendaknya di beritahukan pada keluarga
pasien dan petugaslain agar tidak membiarkan pasien sendirian dan saran yang
di berikan tidak bertentangan.

C. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Proses keperawatan merupakan wahana/ sarana kerjasama dengan klien, yang
umumnya pada tahap awal peeran perawat lebih besar dari pada peran klien,
namun pada proses akhirnya diharapkan peran klien lebih besar dari peran
perawat, sehingga kemandirian klien dapat dicapai. Proses keperawatan bertujuan
untuk memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan kebutuhan dan masalah
klien sehingga mutu pelayanan keperawatan menjadi optimal. Kebutuhan dan
masalah klien  dapat diidentifikasi, diprioritaskan untuk dipenuhi, serta
diselesaikan. Dengan menggunakan proses keperawatan, perawat dapat terhindar
dari tindakan keperawatan yang bersifat rutin, intuisi, dan tidak unik  bagi
individu klien (Direja, 2011) :
1) Pengumpulan Data
a) Identitas klien dan penanggung jawab
Pada identitas mencakup nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan,
status perkawinan, dan hubungan klien dengan penanggung. 
b) Alasan dirawat
Alasan dirawat meliputi: keluhan utama dan riwayat penyakit keluhan
utama berisi tentang sebab klien atau keluarga datang kerumah sakit dan
keluhan klien saat pengkajian. Pada riwayat penyakit terdapat faktor
predisposisi dan faktor presipitasi. Pada faktor predisposisi mencakup
faktor yang mempengaruhi jenis dan sumber yang dapat dibangkitkan oleh
individu untuk mengatasi stress (faktor pencetus/penyebab utama
timbulnya gangguan jiwa). Faktor presipitasi mencakup stimulus yang
dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan, ancaman atau tuntutan dan
memerlukan energy ekstra untuk mengatasinya/faktor yang memberat/
memperparah terjadinya gangguan jiwa (Azizah, 2011).
c) Pemeriksaan fisik difokuskan pada sistem dan fungsi organ tubuh /dengan
cara observasi, auskultasi, palpasi, perkusi, dan hasil pengukuran
(Azizah, 2011).
d) Pengkajian psikososial:
1) Genogram
Genogram dapat dikaji melalui 3 jenis kajian (Azizah, 2011) yaitu :
a) Kajian Adopsi yang membandingkan sifat antara anggota keluarga
biologis/satu keturunan dengan keluarga adopsi.
b) Kajian Kembar yang membandingkan sifat antara anggota keluarga
yang kembar identik secara genetic dengan saudara kandung yang
tidak kembar.
c) Kajian Keluarga yang membandingkan apakah suatu sifat banyak k
e amaan antara keluarga tingkat pertama (seperti orang tua, saudara
kandung) dengan keluarga yang jail.
2) Konsep diri
a) Citra Tubuh
Kumpulan sikap individu yang disadari terhadap tubuhnya termasuk
persepsi masa lalu/sekarang, peran tentang ukuran, fungsi,
penampilan dan potensial diri.
b) Ideal diri
Perspesi individu tentang bagaimana seharusnya ia berprilaku
berdasarkan standar aspirasi, tujuan atau nilai personal tertentu.
c) Harga diri
Penelitian tentang nilai personal yang diperoleh dengan
menganalisa seberapa baik prilaku seseorang sesuai dengan ideal
dirinya. Harga diri tinggi merupakan perasaan yang berakar dalam
menerima dirinya tanpa syarat, meskipun telah melakukan
kesalahan, kekalahan dan kegagalan, ia tetap merasa sebagai orang
yang penting dan berharga.
d) Penampilan peran
Serangkaian prilaku yang di harapkan oleh lingkungan social
berhubngan dengan fungsi individu diberbagai kelompok sosial.
e) Identitas diri
Pengorganisasian prinsip dari kepribadian yang bertanggung jawab
terhadap kesatuan, kesinabungan, konsistensi dan keunikan individu
(Azizah, 2011).
3) Hubungan social
Dalam setiap interaksi dengan klien, perawat harus menyadari luasnya
dunia kehidupan klien, memahami pentingnya kekuatan sosial dan
budaya bagi klien, mengenal keunikan aspek ini dan menghargai
perbedaan klien. Berbagai faktor sosial budaya klien meliputi usia,
suku bangsa, gender, pendidikan, penghasilan dan sistem keyakinan.
4) Spritual
Keberadaan individu yang mengalami penguatan kehidupan dalam
hubungan dengan kekuasaan yang lebih tinggi sesuai nilai individu,
komunitas dan lingkungan yang terpelihara (Azizah, 2011).
e) Status mental
1) Penampilan
Area observasi dalam penampilan umum klien yang merupakan
karakteristik fisik klien yaitu penampilan usia, cara berpakaian,
kebersihan, sikap tubuh, cara  berjalan, ekspresi  wajah, kontak mata,
dilatasi/kontruksi pupil, status gizi/keshatan umum (Azizah, 2011).
2) Pembicaraan
Cara berbicara digambarkan dalam frekuensi (kecepatan, cepat/lambat,
volume (keras/lembut), jumlah (sedikit, membisu, ditekan) dan
karakternya seperti: gugup, kata-kata bersambung serta aksen tidak
wajar (Azizah, 2011).
3) Aktivitas motorik
Aktivitas motorik berkenan dengan gerakan fisik perlu dicatat dalam
hal tingkat aktivitas (letargik, tegang, gelisah, agitasi), jenis (tik,
seringai, tremor) dan isyarat tubuh yang tidak wajar (Azizah, 2011).
4) Afek dan Emosi
Afek adalah nada perasaan yang menyenangkan atau tidak
menyenangkan yang menyertai suatu pikiran dan berlangsung relatif
lama dan dengan sedikit komponen fisiologis/fisik, seperti
kebanggaan, kekecewaan. Sedangkan alam perasaan (emosi) adalah
manifestasi efek yang ditampilkan/diekspresikan keluar disertai banyak
komponen fisiologis dan berlangsung (waktunya) relative lebih
singkat/spontan seperti sedih, ketakutan, putus asa, khawatir atau
gembira berlebihan (Azizah, 2011).
5) Interaksi selama wawancara
Jelaskan keadaan yang ditampilkan klien saat waawancara seperti
bermusuhan, tidak kooperatif, mudah tersinggung, kontak mata kurang
(tidak mau manatap lawan bicara), defensive (selalu berusaha
mempertahankan pendapat dan kebenaran dirinya) atau curiga yang
sering menunjukkan sikap/perasaan tidak  percaya pada orang lain
(Azizah, 2011).
6) Persepsi-Sensorik 
Persepsi adalah daya mengenal barang, kualitas, hubungan, perbedaan
sesuatu, hal tersebut melalui proses mengamati, mengetahui dan
mengartikannya setelah panca indra mendapatkan rangsangan.
a) Isi halusinasi yang dialami klien
Ini dapat dikaji dengan menanyakan suara siapa yang didengar,
berkata apabila halusinasi yang dialami adalah halusinasi
pendengaran, atau bentuk bayangan yang dilihat oleh klien bila
halusinasinya Adela halusinasi penglihatan, bau apa yang tercium
untuk halusinasi  penghidu, rasa apa yang dikecap untuk halusinasi
pengecapan, atau merasakan apa yang diraskan dipermukaan
tubuh bila halusinasi perabaan.
b) Waktu dan Frekuensi Halusinasi
Ini dapat dikaji dengan menanyakan kepada klien kapan
pengalaman halusinasi muncul, berapa kali sehari, seminggu atau
sebulan pengalaman halusinasi itu muncul. Bila memungkinkan
klien diminta menjelaskan kapan persisnya waktu terjadi
halusinasi tersebut. Informasi ini penting untuk
mengidentifikasikan pencetus halusinasi dan menentukan bila
mana klien perlu diperhatikan saat mengalami halusinasi.
c) Situasi Pencetus Halusinasi
Perawat mengidentifikasi situasi yang dialami klien sebelum
mengalami halusinasi. Ini dapat dikaji dengan menanyakan kepada
klien kejadian yang dialami sebelum halusinasi muncul. Selain itu
perawat juga dapat mengobservasi apa yang dialami klien
menjelang muncul halusinasi untuk memvalidasi pernyataan klien.
d) Respon Klien
Untuk menentukan sejauh mana halusinasi telah mempengaruhi
klien, bisa dikaji dengan menanyakan apa yang dilakukan oleh
klien saat mengalami pengalaman halusinasi. Apakah klien
mampu mengontrol stimulasi halusinasi atau sudah tidak berdaya
terhadap stimulasi.

2. Pohon Masalah

Effect Resiko tinggi perilaku kekerasan, Defisit Perawatan Diri

Gangguan persepsi sensori halusinasi


Core Problem

Causa Isolasi sosial

Gangguan konsep diri HDR

a. Masalah Keperawatan Yang Perlu Dikaji


1). Resiko tinggi perilaku kekerasan
a). Perilaku hiperaktif
b). Mudah tersinggung
c). Perilaku menyerang seperti panik
d). Ansietas
2). Gangguan sensori persepsi halusinasi
a). Berbicara, senyum, tertawa sendiri
b). Bertindak seolah-olah dipenuhi oleh sesuatu yang menyenangkan
c). Tidak dapat memusatkan perhatian
d). Kehilangan kemampuan membedakan antara halusinasi dengan realita
3). Isolasi sosial
a). Kesulitan berinteraksi dengan orang lain
b). Menarik diri
c). Kurangnya kontak mata dan komunikasi
3. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan sensori persepsi halusinasi : pendengaran
b. Resiko perilaku kekerasan
c. Isolasi sosial
d. Harga diri rendah
4. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN

Hari/ Perencanaan
No. Diagnosa
Tgl / Intervensi Rasional
Dx Keperawatan Tujuan Kriteria Evaluasi
Jam

1 2 3 4 5 6 7

Gangguan TUM : 1. Setelah …x 1. Bina hubungan saling percaya dengan Pembinaan hubungan saling percaya
Sensori Klien dapat interaksi klien menggunakan prinsip komunikasi merupakan dasar terjadinya komunikasi
Persepi : mengontrol menunjukkan tanda- terapeutik: terbuka sehingga mempermudah dalam
halusinasi halusinasi tanda percaya  Sapa klien dengan ramah, baik menggali masalah klien.
(lihat/dengar/ yang terhadap perawat : verbal maupun non verbal.
penghidu/rab Dialaminya.  Ekspresi wajah  Perkenalkan nama, nama
a/kecap). bersahabat. panggilan, dan tujuan perawat
 Menunjukkan berkenalan.
TUK 1 : rasa senang.  Tanyakan nama lengkap dan nama
Klien dapat  Ada kontak mata. panggilan kesukaan klien.
membina  Mau berjabat  Buat kontrak yang jelas.
hubungan tangan.  Tunjukkan sikap jujur dan
saling percaya  Mau menepati janji setiap kali interaksi.
dengan menyebutkan  Tunjukkan sikap empati dan
perawat. nama. menerima klien apa adanya.
 Mau menjawab  Beri perhatian dan perhatikan
salam. kebutuhan dasar klien.
 Klien mau duduk  Tanyakan perasaan klien dan
berdampingan masalah yang dihadapi klien.
dengan perawat.  Dengarkan dengan penuh perhatian
 Bersedia ekspresi perasaan klien.
mengungkapkan
masalah yang
dihadapi.
TUK 2 : 2. Setelah …x interaksi 2.1 Adakan kontrak sering dan singkat Dengan kontak sering dan
Klien dapat klien menyebutkan : secara bertahap. singkatdiharapkan klien dapat
mengenal  Isi. 2.2 Observasi tingkah laku klien terkait mengurangi halusinasinya.
halusinasinya.  Waktu. dengan halusinasinya (halusinasi

 Frekuensi. lihat/dengar/penghidu / raba/ kecap), Untuk mengetahui jenis halusinasi klien

 Situasi dan jika menemukan klien yang sedang serta dapat untuk mengarahkan klien

kondisi yang halusinasi : didalam mengenal halusinasinya

menimbulkan  Tanyakan apakah klien sampai klien benar-benar menyadari

halusinasi. mengalami sesuatu (halusinasi bahwa dirinya sedang mengalami


lihat/dengar/penghidu/raba/kecap) halusinasi yang sangat memerlukan
. bantuan perawat.
 Jika klien menjawab ya, tanyakan
apa yang sedang dialaminya. Dengan mengetahui isi, waktu, frekuensi
 Katakanbahwa perawat percaya terjadinya halusinasi dan situasi dan
klien mengalami hal tersebut, kondisi yang menimbulkan
namun perawat sendiri tidak halusinasi sehingga nanti dapat
mengalaminya (dengan nada membantu klien dalam mengatasi
bersahabat tanpa menuduh atau halusinasinya.
menghakimi).
 Katakanbahwa ada klien lain
yang mengalami hal yang sama.
 Katakanbahwa perawat akan
membantu klien.
Jika klien tidak sedang berhalusinasi
klarifikasi tentang adanya
pengalaman halusinasi. Diskusikan
dengan klien:
 Isi, waktu, dan frekuensi
terjadinya halusinasi (pagi, siang,
sore, malam, atau sering dan
kadang-kadang).
 Situasi dan kondisi yang
menimbulkan atau tidak
menimbulkan halusinasi.
2. Setelah … x 2.3 Diskusikan dengan klien apa yang Untuk menentukan fase dari halusinasi
interaksi, klien dirasakan jika terjadi halusinasi dan klien terkait dengan perasaan klien
menyatakan perasaan beri kesempatan untuk saat berhalusinasi dan dan tindakan
dan responnya saat mengungkapkan perasaannya. apa yang dapat dilakukan untuk
mengalami halusinasi : 2.4 Diskusikan dengan klien apa yang mengatasi halusinasinya.
 Marah. dilakukan untuk mengatasi masalah
 Takut. tersebut.

 Sedih. 2.5 Diskusikan tentang dampak yang

 Senang. akan dialaminya bila klien


menikmati halusinasinya.
 Cemas.
 Jengkel.
TUK 3 : 3.1 Setelah … x 3.1 Identifikasi bersama klien cara atau Untuk mengetahui kemampuan klien
Klien dapat interaksi klien tindakan yang dilakukan jika terjadi dalam mengontrol halusinasinya
mengontrol menyebutkan halusinasi (tidur, marah, apakah sudah adaptif agar klien tidak
halusinasinya. tindakan yang menyibukkan diri, dll). terus larut dalam halusinasinya.
biasanya dilakukan 3.2 Diskusikan cara yang digunakan klien
untuk :
mengendalikan  Jika cara yang digunakan adaptif,
halusinasinya. beri pujian.
3.2 Setelah … x  Jika cara yang digunakan Dengan memberikan dan
interaksi klien maladaptive, diskusikan kerugian mendemontrasikan cara-cara baru dalam
menyebutkan cara mengotrol halusinasinya diharapkan
baru mengontrol tersebut. nantinya klien mampu untuk mengatasi
halusinasi. 3.3 Diskusikan cara baru untuk sendiri saat halusinasinya muncul
3.3 Setelah … x memutus / mengontrol timbulnya kembali dan mengetahui apa yang harus
interaksi klien halusinasi. dilakukan oleh klien untuk mengontrol
dapat memilih dan  Katakan pada diri sendiri bahwa halusinasinya.
memperagakan cara ini tidak nyata (“saya tidak mau
mengatasi dengar/lihat/penghidu/raba/kecap
halusinasi pada saat halusinasi terjadi).
(dengar,lihat,  Menemui orang lain (perawat/
penghidu, raba, teman/anggota keluarga) untuk
kecap). menceritakan tentang
3.4 Setelah … x halusinasinya.
interaksi klien  Membuat dan melaksanakan
melaksanakan cara jadwal kegiatan sehari-hari yang
yang telah dipilih telah disusun.
untuk  Meminta keluarga/teman/perawat
mengendalikan menyapa jika sedang Dengan melakukan kegiatan terapi
halusinasinya. berhalusinasi. aktivitas kelompok diharapkan klien
3.5 Setelah … x 3.4 Bantu klien memilih cara yang sudah dapat mengungkapkan tentang
interaksi klien dianjurkan dan latih untuk halusinasinya dan mempunyai kesibukan
mengikuti terapi mencobanya. dan mengurangi munculnya halusinasi.
aktivitas kelompok.
3.5 Beri kesempatan untuk melakukan
cara yang sudah dipilih atau dilatih.
3.6 Pantau pelaksanaan yang sudah
dipilih dan dilatih, jika berhasil beri
pujian.
3.7 Anjurkan klien mengikuti terapi
aktivitas kelompok, orientasi realita,
stimulasi persepsi.
TUK 4 : 4.1 Setelah … x 4.1 Buat kontrak dengan keluarga untuk Melalui pendidikan kesehatan terhadap
Klien dapat pertemuan pertemuan. keluarga klien diharapkan nantinya
dukungan dari keluarga, keluarga 4.2 Diskusikan dengan keluarga (pada keluarga dapat mengetahui tentang
keluarga dalam menyatakan setuju saat pertemuan keluarga/ kunjungan halusinasi, tanda dan gejalanya serta
mengontrol untuk mengikuti rumah). cara-cara mengatasi halusinasinya
halusinasinya pertemuan dengan  Pengertian halusinasi. dan pengobatannya sehingga
perawat  Tanda dan gejala halusinasi. keluarga dapat merawat klien dengan
4.2 Setelah … x  Proses terjasinya halusinasi. halusinasi di rumah dalam hal ini
interaksi keluarga  Cara yang dapat dilakukan klien klien dapat dukungan keluarga demi
menyebutkan dan keluarga untuk memutuskan kesembuhan klien.
pengertian, tanda halusinasi.
dan gejala, proses  Obat-obatan halusinasi.
terjadinya
 Cara merawat anggota keluarga
halusinasi, dan
yang halusinasi dirumah (beri
tindakan untuk kegiatan, jangan biarkan sendiri,
mengendalikan makan bersama, bepergian
halusinasi. bersama, memantau obat-obatan
dan cara pemberiannya untuk
mengatasi halusinasi).
 Beri informasi waktu kontrol ke
rumah sakit dan bagaimana cara
mencari bantuan jika halusinasi
tidak dapat diatasi dirumah.
TUK 5 : 5.1 Setelah … x 5.1 Diskusikan dengan klien tentang Diharapkan nantinya klien dapat
Klien dapat interaksi klien manfaat dan kerugian tidak minum merasakan pentingnya obat jiwa bagi
memanfaatkan menyebutkan : obat, nama, warna, dosis, cara, efek kesembuhan klien dalam mengontrol
obat dengan  Manfaat minum terapi, dan efek samping penggunaan perasaannya dan berkeinginan untuk
baik. obat. obat. berobat secara kontinu serta klien
 Kerugian tidak 5.2 Pantau klien saat penggunaan obat. sendiri dapat mengatur sendiri obat-
minum obat. 5.3 Beri pujian jika klien menggunakan obat yang harus diminum disamping
 Nama, warna, obat dengan benar. diperlukan juga peran keluarga
dosis, efek terapi 5.4 Diskusikan akibat berhenti minum sebagai pendamping dalam minum
dan efek samping obat tanpa konsultasi dengan dokter. obat.
obat. 5.5 Anjurkan klien untuk konsultasi
5.2 Setelah … x kepada dokter/ perawat jika terjadi
interaksi klien hal-hal yang tidak diinginkan.
mendemonstrasikan
penggunaan obat
dengan benar.
5.3 Setelah … x
interaksi klien
menyebutkan akibat
berhenti minum
obat tanpa
konsultasi dokter.
5. Intervensi Berdasarkan SP
Pasien Keluarga
SP 1. SP 1.
1. Membantu pasien mengenal 1. Mengidentifikasi masalah keluarga
halusinasi (isi, waktu terjadinya, dalam merawat pasien.
frekuensi, situasi pencetus, 2. Menjelaskan tentang halusinasi.
perasaan saat terjadi halusinasi). a. Pengertian halusinasi.
2. Melatih mengontrol halusinasi b. Jenis halusinasi yang dialami
dengan cara menghardik. pasien.
Tahapan tindakannya meliputi : c. Tanda dan gejala halusinasi.
1. Menjelaskan cara menghardik d. Cara merawat pasien halusinasi
halusinasi. ( cara berkomunikasi, pemberian
2. Memperagakan cara obat, dan pemberian aktivitas
menghardik. kepada pasien ).
3. Meminta pasien memperagakan e. Sumber-sumber pelayanan
ulang. kesehatan yang bisa dijangkau.
4. Memantau penerapan cara ini, f. Bermain peran cara merawat.
beri penguatan perilaku pasien. g. Rencana tindak lanjut keluarga,
5. Memasukan dalam jadwal jadwal keluarga untuk merawat
kegiatan pasien. pasien.
SP 2. SP 2.
1. Mengevaluasi kegiatan yang lalu ( SP
1).
2. Menanyakan program pengobatan.
3. Menjelaskan pentingnya penggunaan
obat pada gangguan jiwa.
4. Menjelaskan akibat bila tidak
digunakan sesuai program.
5. Menjelaskan akibat bila putus obat.
6. Menjelaskan cara mendapatkan obat /
berobat.
7. Menjelaskan pengobatan ( 6B ).
8. Melatih pasien minum obat.
9. Memasukan dalam jadwal harian
pasien.
SP 3. SP 3
1. Mengevaluasi kegiatan yang lalu ( SP 1. Mengevaluasi kemampuan keluarga
1 ). ( SP 1 ).
2. Melatih berbicara / bercakap dengan 2. Melatih keluarga merawat pasien.
orang lain saat halusinasi muncul. 3. RTL keluarga / jadwal keluarga
3. Memasukan dalam jadwal kegiatan untuk merawat pasien.
pasien.
SP 4. SP 4
1. Mengevaluasi kegiatan yang lalu ( SP 1. Mengevaluasi kemampuan keluarga
1,2,3). ( SP1. 2 ).
2. Mengajarkan cara mengontrol dengan 2. Melatih keluarga merawat pasien.
melakukan kegiatan 3. Evaluasi kemampuan keluarga
3. Membuat ke dalam jadwal kegiatan 4. Evaluasi kemampuan pasien
5. RTL keluarga: follow up, rujukan

6. Implementasi
Implementasi dilakukan berdasarkan intervensi yang dilakukan.
7. Evalusasi Keperawatan
Evaluasi adalah proses berkelanjutan untuk menilai efek dari
tindakan keperawatan pada klien. Evaluasi dibagi dua yaitu, evaluasi
proses atau formatif yang dilakukan setiap selesai melakukan tindakan,
evaluasi hasil atau sumatif yang dilakukan dengan membandingkan
antara respon klien dan tujuan khsus serta umum yang telah ditentukan
(Direja, 2011).
Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP
sebagai pola pikir:
S: Respon subyektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan. Dapat dilakukan dengan menanyakan langsung
kepada klien tentang tindakan yang telah dilakukan.
O: Respon obyektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilakukan. Dapat diukur dengan mengobservasi perilaku klien
pada saat tindakan dilakukan, atau menanyakan kembali apa yang
telah dilaksanakan atau memberi umpan balik sesuai dengan hasil
observasi.
A: Analisis ulang atas data subyektif dan obyektif untuk
menyimpulkan apakah masalah masih tetap atau muncul masaah
baru atau ada data kontra indikasi dengan masalah yang ada,
dapat juga membandingkan hasil dengan tujuan.
P: Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisis pada
respon klien yang terdiri dari tindak lanjut klien dan perawat.
Pada klien dengan gangguan persepsi sensori: Halusinasi, evaluasi
keperawatan yang diharapkan sebagai berikut:
1) Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat
2) Klien dapat mengenal halusinasinya
3) Klien dapat mengontrol halusinasinya
4) Klien dapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol
halusinasinya
5) Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik.

DAFTRAR PUSTAKA

Azizah, M.L.2011.Keperawatan Jiwa Aplikasi Praktik


Klinik.Yogyakarta;Graha Ilmu
Carpenito, L.J, 2008. Buku Saku Diagnosa Keperawatan (terjemahan).
Edisi 8, Jakarta: EGC.
Herman, Ade.2011.Buku Ajar Asuhan Keperawatan
Jiwa.Yogyakarta;Medical Book
Surya Direja, Ade Herman. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa.
Yogyakarta : Nuha Medika.

Stuart, G.W and Sundeen.2007.Buku Saku Keperawatan


Jiwa.Jakarta;EGC

Kusumawati Farida, Hartono Yudi. 2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa.


Jakarta : Salemba Medika.

Keliat, B.A. 2007. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Maramis, W.F.2010.Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa.Surabaya;Arilangga

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA KLIEN DENGAN ISOLASI SOSIAL


OLEH

Anak Agung Istri Siska Noviyanti Dewi

209012447

PROGRAM STUDI PROFESI NERS KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI

DENPASAR

2020

LAPORAN PENDAHULUAN

ISOLASI SOSIAL
A. Kasus (Masalah Utama)
Isolasi Sosial

B. Proses Terjadinya Masalah


1. Definisi
Isolasi sosial merupakan upaya menghindari suatu hubungan
komunikasi dengan orang lain karena merasa kehilangan hubungan akrab
dan tidak mempunyai kesempatan untuk berbagi rasa, pikiran dan
kegagalan. Klien mengalami kesulitan dalam berhubungan secara spontan
dengan orang lain yang dimanifestasikan dengan mengisolasi diri tidak
ada perhatian dan tidak sanggup berbagi pengalaman (Balitbang 2007,
dalam Herman 2011)
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu
mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi
dengan orang lain di sekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak
diterima, kesepian dan tidak mampu membina hubungan yang berarti
dengan orang lain (Keliat, 2011).

Isolasi sosial adalah keadaan di mana seseorang individu


mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi
dengan orang lain di sekitarnya (Damaiyanti, 2008)

2. Etiologi
1. Faktor Predisposisi
a. Perkembangan
Sentuhan, perhatian, kehangatan, dari keluarga yang
menyebabkan individu menyendiri, kemampuan berhubungan
dengan klien tidak adekuat yang berakhir dengan menarik diri.
b. Komunikasi dalam keluarga
Klien sering mengalami kecemasan dalam berhubungan dengan
anggota keluarga : sering menjadi kambing hitam, sikap
keluarga yang tidak konsisten (kadang boleh, kadang tidak
boleh). Situasi ini membuat klien enggan berkomunikasi dengan
orang lain.
c. Sosial budaya
Dikota besar, masing-masing individu sibuk memperjuangkan
hidup, sehingga tidak ada waktu bersosialisasi, situasi ini
mendukung perilaku menarik diri.

2. Faktor Presipitasi
a. Stressor sosiokultur
Menurunnya stabilitas unit keluarga. Berpisah dengan orang
yang berarti dalam kehidupannya, missal karena dirawat di
rumah sakit.

b. Stressor psikologik
Ansietas berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan dengan
keterbatasan kemampuan untuk mengatasi. Sehingga
memunculkan stress.

3. Rentang respon

Respon Adaptif Respon Maladaptif

- Solitude - Kesepian - Manipulasi

- Otonomi - Menarik diri - Impulsif

- Kebersamaan - Ketergantungan - Narkisme

- Saling ketergantungan

Gambar 1. Rentang respon Sosial


1. Rentang Respon Adaptif
a. Menyendiri ( Solitute)
Merupakan respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan
seseorang untuk merenungkan apa yang telah dilakukan
dilingkungan sosialnya dan suatu cara mengevaluasi diri untuk
menentukan langkah selanjutnya.

b. Otonomi
Merupakan kemampuan individu untuk menentukan dan
menyampaikan ide-ide, pikiran perasaan dalam hubungan sosial.
c. Kebersamaan
Adalah suatu kondisi dalam hubungan interpersonal dimana individu
tersebut mampu untuk saling memberi dan menerima.

d. Saling ketergantungan
Merupakan kondisi saling tergantung antara individu dengan orang
lain dalam membina hubungan interpersonal.

2. Rentang respon antara adaptif dan maladaptif


a. Kesepian
Merupakan kondisi klien yang sendiri tanpa teman.

b. Menarik diri
Merupakan suatu keadaan dimana seseorang menemukan kesulitan
dalam membina hubungan secara terbuka dengan orang lain.

c. Ketergantungan
Terjadi apabila seseorang gagal mengembangkan rasa percaya diri
atau kemampuannya untuk berfungsi secara sukses.

3. Rentang respon maladaftip


a. Manipulasi
Merupakan gangguan hubungan social yang terdapat pada
individu yang menganggap orang lain sebagai objek, hubungan
terpusat pada pengendalian dan individu berorientasi pada diri
sendiri atau pada tujuan, bukan berorientasi pada orang lain.

b. Impulsif
Yaitu suatu keadaan dimana klien tidak mampu merencanakan
suatu, tidak mampu belajar dari pengalaman, penilaian yang
buruk dan tak dapat diandalkan.

c. Narkisme
Merupakan suatu keadaan dimana harga diri klien rapuh, secara
terus menerus berusaha mendapatkan penghargaan pujian, sikap
egosentris, pencemburu dan marah jika orang tidak mendukung.

4. Proses Terjadinya Masalah


a. Faktor Predisposisi
1) Faktor Perkembangan
Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas
perkembangan yang harus dilalui individu dengan sukses agar
tidak terjadi gangguan dalam hubungan sosial. Apabila tugas ini
tidak terpenuhi, akan mencetuskan seseorang sehingga
mempunyai masalah respon sosial maladaptif. (Damaiyanti,
2012).
2) Faktor Biologis
Faktor genetik dapat berperan dalam respon sosial maladaptif.
3) Faktor Sosial Budaya
Isolasi sosial merupakan faktor utama dalam gangguan
berhubungan. Hal ini diakibatkan oleh norma yang tidak
mendukung pendekatan terhadap orang lain, atau tidak
menghargai anggota masyarakat yang tidak produktif seperti
lansia, orang cacat, dan penderita penyakit kronis.
4) Faktor Komunikasi dalam Keluarga
Pada komunikasi dalam keluarga dapat mengantarkan seseorang
dalam gangguan berhubungan, bila keluarga hanya
menginformasikan hal-hal yang negative dan mendorong anak
mengembangkan harga diri rendah. Seseorang anggota keluarga
menerima pesan yang saling bertentangan dalam waktu
bersamaan, ekspresi emosi yang tinggi dalam keluarga yang
menghambat untuk berhubungan dengan lingkungan diluar
keluarga.
b. Faktor Presipitasi
1) Stressor Sosial Budaya
Stres dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor antara faktor lain
dan faktor keluarga seperti menurunnya stabilitas unit keluarga
dan berpisah dari orang yang berarti dalam kehidupannya,
misalnya karena dirawat di rumah sakit.
2) Stressor Psikologis
Tingkat kecemasan berat yang berkepanjangan terjadi
bersamaan dengan keterbatasan kemampuan untuk
mengatasinya. Tuntutan untuk berpisah dengan orang dekat atau
kegagalan orang lain untuk memenuhi kebutuhan
ketergantungan dapat menimbulkan kecemasan tingkat tinggi.
(Prabowo, 2014)

5. Tanda dan gejala


Tanda-tanda pasien mengalami isolasi sosial, diantaranya :
1. Kurang spontan, apatis, ekspresi sedih, afek tumpul
2. Menghindar dari orang lain
3. Komunikasi kurang atau tidak ada
4. Tidak ada kontak mata
5. Menolak berhubungan
6. Tidak melakukan kegiatan sehari-hari
Batasan karakteristik lainnya seperti :
1. Menyendiri dalam ruangan
2. Tidak berkomunikasi, menarik diri
3. Tidak melakukan kontak mata
4. Meringkuk ditempat tidur dengan punggung menghadap ke pintu
5. Menyatakan secara verbal atau memperlihatkan ketidaknyamanan
dalam situasi-situasi sosial
6. Disfungsi interaksi dengan teman sebaya, keluarga, atau orang lain
7. Terkadang mendekati perawat untuk berinteraksi, namun kemudian
menolak untuk berespon terhadap penerimaan perawat terhadap
dirinya

6. Penatalaksanaan
1. Farmakologi
a. Haloperidol (HPD)
1) Indikasi
Berdaya berat dalam kemampuan, menilai realitas dalam
fungsi internal serta dalam fungsi kehidupan sehari-hari.

2) Mekanisme kerja
Obat anti psikosi dalam memblokade dopamine pada
reseptor pasca sinoptik neuron di otak khususnya system
limbik dan system ekstra piramidal.

3) Efek samping
Sedasi gangguan otonomik, gangguan endokrin.

4) Kontra indikasi
Penyakit hati, penyakit darah, epilepsi, dan kelainan
jantung.

b. Trihexipenidyl (THP)
1) Indikasi
Segala jenis penyakit Parkinson, termasuk pasca
encephalitis dan idiopatik

2) Mekanisme kerja
Sinergis dengan kinidine, obat anti depresi dan anti
kolinergik lainnya.
3) Efek samping
Mulut kering, penglihatan kabur, pusing, mual, muntah,
binggung, takikardi, retensi urine.

4) Kontra indikasi
Hipersensitif terhadap trihexipenidyl, psikosis berat,
psikoneurosis, dan obstruksi saluran cerna.

c. Risperidone
1) Indikasi
Untuk skizofreniaakut dan kronik, keadaan psikotik lain
dengan gejala (halusinasi, delusi, curiga, gangguan emosi)
atau mengurangi gejala afektif berhubungan dengan
skizofrenia.

2) Efek samping
Insomnia, agitasi, cemas, sakit kepala, somnolen, lelah,
takikardi.

3) Kontra indikasi
Hipotensi, penyakit ginjal, lanjut usia, Parkinson, epilepsi.

2. Terapi somatis
Terapi somatis adalah terapi yang diberikan kepada klien
dengan gangguan jiwa dengan tujuan mengubah perilaku yang
maladaptif menjadi perilaku adaptif dengan melakukan tindakan
yang ditujukan pada kondisi fisik klien. Walaupun yang diberikan
perlakuan fisik adalah fisik klien, tetapi target terapi adalah
perlakuan klien. Jenis terapi somatik adalah meliputi pengikatan,
ECT, isolasi, dan fototerapi

a. Pengikatan
Pengikatan adalah terapi menggunakan alat mekanik atau
manual untuk membatasi mobilitas fisik klien yang bertujuan
untuk melindungi cedera fisik pada klien sendiri atau orang lain.
b. Terapi Kejang Listrik/Elektro Convulsive Therapy (ECT)
Adalah bentuk terapi kepada klien dengan menimbulkan kejang
(Grandmal) dengan mengalirkan arus listrik kekuatan rendah (2-
3 joule) melalui electrode yang ditempelkan di bebrapa titik
pada pelipis kiri/kanan (lobus  frontalis) klien.

c. Isolasi
Isolasi adalah bentuk terapi dengan menempatkan klien sendiri
di ruangan tersendiri untuk mengendalikan perilakunya dan
melindungi klien, orang lain, dan lingkungan dari bahaya
potensial yang mungkin terjadi.

d. Fototerapi
Fototerapi adalah terapi yang diberikan dengan memaparkan
klien pada sinar terang 5-10 x lebih terang daripada sinar
ruangan dengan posisi klien duduk, mata terbuka, pada jarak 1,5
meter di depan klien diletakkan lampu setinggi mata.

3. Terapi Modalitas
Terapi modalitas adalah terapi utama dalam keperawatan
jiwa. Tetapi ini diberikan dalam upaya mengubah perilaku klien dari
perilaku yang maladaptif menjadi perilaku adaptif. Jenis-jenis terapi
modalitas antara lain:

a. Aktifitas Kelompok
Terapi Aktifitas Kelompok (TAK) adalah suatu bentuk terapi
yang didasarkan pada pembelajaran hubungan
interpersonal.Fokus terapi aktifitas kelompok adalah membuat
sadar diri (self-awereness), peningkatan hubungan interpersonal,
membuat perubahan, atau ketiganya.

b. Terapi keluarga
Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberi
perawatan langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit) klien.
Perawat membantu keluarga agar mampu melakukan lima tugas
kesehatan yaitu mengenal masalah kesehatan, membuat
keputusan tindakan kesehatan, memberi perawatan pada anggota
keluarga yang sehat, menciptakan lingkungan yang sehat, dan
menggunakan sumber yang ada dalam masyarakat.

c. Terapi Rehabilitasi
Program rehabilitasi dapat digunakan sejalan dengan terapi
modalitas lain atau berdiri sendiri, seperti Terapi okupasi,
rekreasi, gerak, dan musik.

d. Terapi Psikodrama
Psikodrama menggunakan struktur masalah emosi atau
pengalaman klien dalam suatu drama. Drama ini memberi
kesempatan pada klien untuk menyadari perasaan, pikiran, dan
perilakunya yang mempengaruhi orang lain.

e. Terapi Lingkungan
Terapi lingkunagan adalah suatu tindakan penyembuhan
penderita dengan gangguan jiwa melalui manipulasi unsur yang
ada di lingkungan dan berpengaruh terhadap proses
penyembuhan. Upaya terapi harus bersifat komprehensif,
holistik, dan multidisipliner.

7. Akibat Yang Di Timbulkan


Perilaku isolasi sosial : menarik diri dapat berisiko terjadinya
perubahan persepsi sensori halusinasi. Perubahan persepsi sensori
halusinasi adalah persepsi sensori yang salah (misalnya tanpa stimulus
eksternal) atau persepsi sensori yang tidak sesuai dengan
realita/kenyataan seperti melihat bayangan atau mendengarkan suara-
suara yang sebenarnya tidak ada.
Halusinasi adalah pencerapan tanpa adanya rangsang apapun dari
panca indera, di mana orang tersebut sadar dan dalam keadaan terbangun
yang dapat disebabkan oleh psikotik, gangguan fungsional, organik atau
histerik.Halusinasi merupakan pengalaman mempersepsikan yang terjadi
tanpa adanya stimulus sensori eksternal yang meliputi lima perasaan
(pengelihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman, perabaan), akan
tetapi yang paling umum adalah halusinasi pendengaran.

C. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji
1) Data subyektif:
a. Pasien mengatakan malas berinteraksi
b. Pasien mengatakan orang lain tidak mau menerima dirinya.
c. Pasien mengatakan curiga dengan orang lain.
d. Pasien mengatakan mendengar suara-suara/melihat bayangan.
e. Pasien mengatakan orang lain tidak selevel
f. Pasien mengatakan merasa tak berguna.
2) Data obyektif:
a. Pasien tampak menyendiri.
b. Pasien tampak mengurung diri.
c. Pasien tidak mau bercakap-cakap dengan orang lain.
d. Pasien tampak mematung.
e. Pasien tampak mondar mandir tanpa arah.

a. Identitas Klien
Meliputi nama klien, umur, jenis kelamin, status perkawinan,
agama, tanggal MRS (masuk rumah sakit), informan, tanggal
pengkajian, No Rumah Sakit dan alamat klien.
b. Keluhan Utama
Tanyakan pada keluarga/klien hal yang menyebabkan klien dan
keluarga datang ke rumah sakit. Yang telah dilakukan keluarga
untuk mengatasi masalah, dan perkembangan yang dicapai.
c. Faktor Predisposisi
Tanyakan pada klien/keluarga, apakah klien pernah mengalami
gangguan jiwa pada masa lalu, pernah melakukan atau
mengalami penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari
lingkungan, kekerasan dalam keluarga dan tindakan criminal.
Dan pengkajiannya meliputi psikologis, biologis, dan social budaya.
d. Aspek fisik/biologis
Hasil pengukuran tanda- tanda vital (TD, Nadi, Suhu, Pernafasan,
TB, BB) dan keluhan fisik yang dialami oleh klien.
e. Aspek Psikososial
3) Genogram yang menggambarkan tiga generasi
4) Konsep diri
5) Hubungan sosial dengan orang lain yang terdekat dalam
kehidupan, kelompok, yang diikuti dalam masyarakat.
6) Spiritual, mengenai nilai dan keyakinan dan kegiatan ibadah.
f. Status Mental
Nilai klien rapi atau tidak, amati pembicaraan klien, aktivitas
motorik klien, afek klien, interaksi selama wawancara, persepsi,
proses pikir, isi pikir, tingkat kesadaran, memori, tingkat konsentrasi,
dan berhitung.
g. Kebutuhan Persiapan Pulang
1) Kemampuan makan klien dan menyiapkan serta merapikan lat
makan kembali.
2) Kemampuan BAB, BAK, menggunakan dan membersihkan WC
serta membersihkan dan merapikan pakaian.
3) Mandi dan cara berpakaian klien tampak rapi.
4) Istirahat tidur kilien, aktivitas didalam dan diluar rumah.
5) Pantau penggunaan obat dan tanyakan reaksinya setelah
diminum.
h. Mekanisme Koping
Malas beraktivitas, sulit percaya dengan orang lain dan asyik dengan
stimulus internal, menjelaskan suatu perubahan persepsi dengan
mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain.
i. Masalah Psikososial dan Lingkungan
Masalah berkenaan dengan ekonomi, dukungan kelompok,
lingkungan, pendidikan, pekerjaan, perumahan dan pelayanan
kesehatan.
j. Pengetahuan
Didapat dengan wawancara klien dan disimpulkan dalam masalah.
k. Aspek Medik
Diagnose medis yang telah dirumuskan dokter, therapy farmakologi,
psikomotor, okopasional, TAK, rehabilitasi.

2. Pohon Masalah
Risiko tinggi perubahan sensori persepsi : halusinasi

Isolasi sosial : Menari Diri Devisit Perawatan Diri

Mekanisme Koping Tidak Efektif

3. Diagnosa keperawatan
1. Isolasi sosial : menarik diri ( Prioritas )
2. Risiko tinggi perubahan sensori persepsi : halusinasi
3. Gangguan konsep diri : harga diri rendah
4. Rencana Keperawatan

Hari/Tgl Diagnosa Perencanaan


keperawatan
Tujuan Kriteria evaluasi
Intervensi Rasional
Isolasi sosial TUM: Setelah 4 x Setelah 2 x 1 menit pertemuan
15 menit klien klien mampu membina
dapat berinteraksi hubungan saling percaya 1. Bina hubungan saling Hubungan saling percaya
dengan orang lain dengan perawat percaya dengan merupakan langkah awal
TUK 1: klien 1. Klien dapat menggunakan prinsip untuk menentukan
dapat membina komunikasi terapeutik keberhasilan rencana
mengungkapkan perasaan
hubungan saling
percaya (BHSP) dan keberadaannya secara a. Sapa klien dengan selanjutnya
verbal ramah, baik verbal
a. Klien mau menjawab maupun norverbal
salam b. Perkenalkan diri
b. Klien mau berjabat dengan sopan
tangan c. Tanyakan nama
c. Mau menjawab lengkap dan nama
pertanyaan panggilan yang disukai
d. Ada kontak mata pasien
e. Klien mau duduk d. Jelaskan tujuan
berdampingan dengan
pertemuan
perawat
e. Jujur dan tepati janji
f. Tunjukan sikap empati
dan menerima klien
apa adanya
g. Beri perhatian pada
klien dan perhatikan
kebutuhan klien
TUK 2 Klien dapat menyebutkan 1. Berikan kesempatan Dengan mengungkapkan
Klien dapat penyebab isolasi sosial yang kepada klien untuk perasaan, bisa mengetahui
menyebutkan berasal dari: mengungkapkan penyebab isolasi sosial
penyebab isolasi a. Diri sendiri perasaan penyebab
sosial b. Orang lain isolasi sosial atahu tidak
c. Lingkungan mau bergaul.
2. Diskusikan bersama
klien tentang perilaku
menarik diri, tanda dan
gejala.
3. Berikan pujian terhadap
kemampuan klien
mengungkapkan
perasaannya
TUK 3 klien dapat Klien dapat menyebutkan 1. Kaji pengetahuan klien Reinforment dapat
menyebutkan keuntungan berhubungan tentang keuntungan dan meningkatkan harga diri
keuntungan dengan orang lain, misalnya manfaat bergaul dengan
berhubungan banyak teman, tidak sendiri orang lain
dengan orang lain dan bisa diskusi 2. Beri kesempatan kepada
dan kerugian tidak klien untuk
berhubungan mengungkapkan
dengan orang lain perasaannya tentang
keuntungan berhubungan
dengan orang lain
3. Diskusikan bersama
klien tentang manfaat
berhubungan dengan
orang lain
4. Kaji pengetahuan klien
tentang kerugian bila
tidak berhubungan
dengan orang lain
a. Beri kesempatan
klien untuk
mengungkapkan
perasaan tentang
kerugian bila tidak
berhubungan dengan
orang lain
b. Diskusikan bersama
klien tentang
kerugian tidak
berhubungan dengan
orang lain
c. Beri reinforCment
positif terhadap
kemampuan
mengungkapkan
perasaan tentang
kerugian tidak
berhubungan dengan
orang lain
TUK 4 klien dapat Klien dapat menyebutkan 1. Kaji kemampuan klien Mengetahui sejauh mana
melaksanakan kerugian tidak berhubungan membina hubungan pengetahuan klien tentang
hubungan sosial dengan orang lain misalnya dengan orang lain berhubungan dengan orang
secara bertahap sendiri, tidak punya teman dan Dorong dan bantu klien lain.
sepi untuk berhubungan
dengan orang lain
melalui:
a. Klien-perawat
b. Klien-perawat-
perawat lain
c. Klien-perawat-
perawat lain- klien
lain
d. Klien-kelompok
kecil
2. Bantu klien
mengevaluasi manfaat
berhubungan dengan
orang lain
3. Diskusikan jadwal harian
yang dapat dilakukan
bersama klien dalam
mengisi waktu
4. Motivasi klien untuk
mengikuti kegiatan
terapi aktivitas kelompok
sosialisasi
5. Beri reinforcement atas
kegiatan klien dalam
kegiatan ruangan
TUK 5 klien dapat Klien dapat 1. Dorong klien untuk Agar klien lebih percaya diri
mengungkapkan mendemonstrasikan hubungan mengungkapkan untuk berhubungan dengan
perasaannya dengan orang lain perasaannya bila orang lain.
setelah a. klien-perawat berhubungan dengan Mengetahui sejauh mana
berhubungan b. klien-perawat-perawat lain orang lain pengetahuan klien tentang
dengan orang lain c. klien-perawat-perawat lain- 2. Diskusikan dengan klien kerugian bila tidak
klien lain manfaat berhubungan berhubungan dengan orang
d. klien-kelompok kecil dengan orang lain lain
3. Beri reinforCment positif
atas kemampuan klien
mengungkapkan
perasaan manfaat
berhubungan dengan
orang lain
TUK 6 Klien dapat Klien dapat mengungkapkan 1. BHSP dengan keluarga Agar klien lebih percaya diri
memberdayakan perasaan setelah berhubungan a. Salam, perkenalkan dan tahu akibat tidak
sistem pendukung dengan orang lain untuk: diri berhubungan dengan orang
atahu keluarga a. Diri sendiri b. Sampaikan tujuan lain.
atahu keluarga b. Orang lain c. Membuat kontrak
mampu d. Explorasi perasaan Mengetahui sejauh mana
mengembangkan Keluarga dapat: keluarga pengetahuan tentang
kemampuan klien a. Menjelaskan 2. Diskusikan dengan membina hubungan dengan
untuk perasaannya anggota keluarga orang lain.
berhubungan b. Menjelaskan cara tentang:
dengan orang lain. merawat klien menarik a. Perilaku menarik diri Klien mungkin dapat
diri b. Penyebab perilaku mengoobati perasaan tidak
c. Mendemonstrasikan menarik diri nyaman, bimbang karena
cara perawatan klien c. Cara keluarga memulai hubungan dengan
menarik diri menghadapi klien orang lain.
d. Berpartisipasi dalam yang sedang menarik Reinforceiment dapat
perawatan klien diri. meningkatkan kepercayaan
menarik diri. 3. Dorong anggota keluarga diri klien.
untuk memberikan
dukungan kepada klien Dengan dukungan keluarga,
berkomunikasi dengan klien akan merasa
klien berkomunikasi diperhatikan.
dengan orang lain.
4. Anjurkan anggota
keluarga untuk secara
rutin dan bergantian
mengunjungi klien
secara bergantian
minimal 1x seminggu.
5. Beri reinforceiment atas
hal-hal yang telah
dicapai oleh keluarga.
5. Intervensi Berdasarkan SP
Pasien Keluarga

SP 1. SP 1.
1. Mengidentifikasi penyebab. 1. Mengidentifikasi masalah yang
a. Siapa yang satu rumah dengan pasien. dihadapi dalam merawat pasien.
b. Siapa yang dekat dengan pasien. 2. Penjelasan isolasi sosial.
c. Apa sebabnya 3. Cara merawat pasien isolasi sosial.
2. Menanyakan keuntungan dan kerugian 4. Melatih ( simulasi ).
berinteraksi dengan orang lain. 5. RTL keluarga / jadwal keluarga untuk
3. Melatih berkenalan. merawat pasien.
4. Memasukan jadwal kegiatan pasien.

SP 2. SP 2.
1. Mengevaluasi kegiatan yang lalu ( SP 1 1. Mengevaluasi kemampuan SP 1.
). 2. Melatih ( langsung ke pasien ).
2. Melatih berhubungan sosial secara 3. RTL keluarga / jadwal keluarga untuk
bertahap. merawat pasien.
3. Memasukan dalam jadwal kegiatan
pasien.

SP 3. SP 3.
1. Mengevaluasi kegiatan yang lalu ( SP 1 1. Mengevaluasi kemampuan SP 1.
dan SP 2 ). 2. Melatih ( langsung ke pasien ).
2. Melatih cara berkenalan dengan 2 orang 3. RTL keluarga / jadwal keluarga untuk
atau lebih. merawat pasien.
3. Memasukan dalam jadwal kegiatan
pasien.

SP 4.
1. Mengevaluasi kemampuan keluarga.
2. Mengevaluasi kemampuan pasien.
3. Merencanakan tindak lanjut keluarga.
a. Follow Up.
b. Rujukan.

6. Implementasi
Implementasi dilakukan berdasarkan intervensi yang telah dibuat.

7. Evaluasi
Evaluasi adalah proses berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan
keperawatan pada klien. Evaluasi dibagi dua yaitu, evaluasi proses atau
formatif yang dilakukan setiap selesai melakukan tindakan, evaluasi hasil
atau sumatif yang dilakukan dengan membandingkan antara respon klien
dan tujuan khsus serta umum yang telah ditentukan (Direja, 2011).
Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP
sebagai pola pikir:

S: Respon subyektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah


dilaksanakan. Dapat dilakukan dengan menanyakan langsung kepada
klien tentang tindakan yang telah dilakukan.

O: Respon obyektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah


dilakukan. Dapat diukur dengan mengobservasi perilaku klien pada
saat tindakan dilakukan, atau menanyakan kembali apa yang telah
dilaksanakan atau memberi umpan balik sesuai dengan hasil
observasi.

A: Analisis ulang atas data subyektif dan obyektif untuk menyimpulkan


apakah masalah masih tetap atau muncul masaah baru atau ada data
kontra indikasi dengan masalah yang ada, dapat juga membandingkan
hasil dengan tujuan.

P: Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisis pada respon


klien yang terdiri dari tindak lanjut klien dan perawat.
Pada klien dengan gangguan Isolasi sosial, evaluasi keperawatan yang
diharapkan sebagai berikut:
1. Klien dapat berinteraksi dengan orang lain.
c. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
d. Klien mampu menyebutkan penyebab menarik diri.
e. Klien mampu menyebutkan keuntungan berhubungan sosial dan
kerugian menarik diri.
f. Klien dapat melaksanakan hubungan sosial secara bertahap.
g. Klien mampu menjelaskan perasaannya setelah berhubungan sosial.
h. Klien mendapat dukungan keluarga dalam memperluas hubungan
sosial.
i. Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA
Anna, Budi Keliat. 2010. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sosial
Menarik Diri, Jakarta :Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia.

Direja, Ade Herman Surya. 2011. Buku Asuhan Keperawatan Jiwa. Nuha
Medika, Yogyakarta.

Eko Prabowo. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa.


Yogyakarta: Nuha Medika.

Herman, Ade.2011.Buku Ajar Asuhan Keperawatan


Jiwa.Yogyakarta;Medical Book

Mukhripah Damaiyanti & Iskandar. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa.


Bandung: PT Refika Aditama.

Nurjanah, Intansari. 2009. Pedoman Penanganan Pada Gangguan Jiwa.


Yogyakarta : Momedia

Perry, Potter. 2010 .Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC

Rasmun. 2009. Seres Kopino dan Adaptasir Toors dan Pohon Masalah
Keperawatan. Jakarta : CV Sagung Seto.

Stuart, GW. 2010. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5. Jakarta: EGC.

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA KLIEN DENGAN RESIKO BUNUH DIRI


OLEH

Anak Agung Istri Siska Noviyanti Dewi

209012447

PROGRAM STUDI PROFESI NERS KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI

DENPASAR

2020

LAPORAN PENDAHULUAN

RESIKO BUNUH DIRI

A. Kasus (Masalah Utama)


Resiko Bunuh Diri
B. Proses Terjadinya Masalah
1. Definis
Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan oleh
pasien untuk mengakhiri kehidupannya. Menurut Keliat (2009 dalam
Muhajir, 2016) bunuh diri memiliki 4 pengertian antara lain :
a. Bunuh diri adalah membunuh diri sendiri secara intensional
b. Bunuh diri dilakukan dengan intensi
c. Bunuh diri dilakukan oleh diri sendiri kepada diri sendiri
d. Bunuh diri bisa terjadi secara tidak langsung (aktif) atau tidak langsung
(pasif) misalnya dengan tidak meminum obat yang menentukan
kelangsungan hidup atau secara sengaja berada di rel kereta api.
Menurut Miramis (2004), bunuh diri (suicide) adalah segala
perbuatan dengan tujuan untuk membinasakan dirinya sendiri dan yang
dengan sengaja dilakukan oleh seseorang yang tahu akan akibatnya
yang mungkin pada waktu yang singkat.Tanda dan gejala yaitu : sedih,
marah, putus asa, tidak berdaya, memberikan isyarat verbal maupun
non verbal. Menciderai diri adalah tindakan agresif yang merusak diri
sendiri dan dapat mengakhiri kehidupan. Bunuh diri mungkin
merupakan keputusan dari individu untuk memecahkan masalah yang
dihadapi (Captain, 2008).
Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan
oleh pasien untuk mengakhiri kehidupannya (Ade Herman, 2011).
Bunuh diri merupakan perilaku yang harus dihindari. Bunuh diri
adalah suatu upaya yang disadari dan bertujuan untuk mengakhiri
kehidupan, individu secara sadar berhasrat dan berupaya melaksanakan
hasratnya untuk mati (Muhith, 2015).
Sedangkan menurut Farhangdoost (2010 dalam Aulia, N 2016)
bunuh diri adalah ekspresi praktis dimana seseorang dengan sengaja
dan sadar mengakhiri kehidupannya sendiri.

2. Etiologi
Menurut Damaiyanti (2012)
a. Faktor Predisposisi
1) Diagnosis Psikiatri Lebih dari 90% orang dewasa yang
mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri mempunyai riwayat
gangguan jiwa. Tiga gangguan jiwa yang dapat membuat individu
berisiko untuk melakukan tindakan bunuh diri adalah gangguan
efektif, penyalagunaan zat, dan skizofrenia.
2) Sifat kepribadian Tiga tipe keperibadian yang erat hubungannya
dengan besarnya resiko bunuh diri adalah antipati, impulsif, dan
depresi
3) Lingkungan psikososial Pengalaman kehilangan, kehilangan
dukungan sosial, kejadiankejadian negatif dalam hidup, penyakit
kronis, perpisahan dan bahkan perceraian. Kekuatan dukungan
sosial sangat penting dalam menciptakan intervensi yang
terapiutik, dengan terlebih dahulu mengetahui penyebab maslah,
respon seorang dalam menghadapi masalah tersebut, dan lain-
lain.
4) Riwayat keluarga Riwayat keluarga yang pernah melakukan
bunuh diri merupakan faktor penting yang dapat menyebabkan
seseorang melakukan tindakan bunuh diri.
5) Faktor Biokimia Data menunjukkan bahwa pada klien dengan
resiko bunuh diri terjadi peningkatan zat-zat kimia yang terdapat
di dalam otak seperti serotonim, adrenalin, dan dopamine.
Peningkatan zat tersebut dapat dilihat melalui rekaman
gelombang otak Electro Encephalo Graph (EEG)
b. Faktor presipitasi
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stres yang berlebihan
yang dialami oleh individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian
hidup yang memalukan. Faktur lain yang dapat menjadi pencetus
adalah melihat atau membaca melalui medaia mengenai orang yang
melakukan bunuh diri ataupun percobaan bunu diri. Bagi individu
yang emosinya labil, hal tersebut menjadi sangat rentan.
c. Perilaku koping
Klien dengan penyakit kronik atau penyakit yang mengancam
kehidupan dapat melakukan perilaku bunuh diri dan sering kali orang
ini secara sadar memilih untuk melakukan tindakan bunuh diri.
Perilaku bunuh diri berhubungan dengan banyak faktor, baik faktor
sosial maupun budaya. Seseorang yang aktif dalam kegiatan
masyarakat lebih mampu menoleransi stres dan menurunkan angka
bunuh diri.
d. Mekanisme koping
Seorang klien mungkin memakai beberapa variasi mekanisme koping
yang berhubungan dengan perilaku bunuh diri, termasuk denial,
rasionalization, regression dan megical thinking. Mekanisme
pertahanan diri yang ada seharusnya tidak ditentang tanpa
memberikan koping alternatif

3. Jenis Bunuh Diri


MenurutYosep (2010) macam-macam pembagian bunuh diri dan
percobaan bunuh diri yaitu :

a. Bunuh diri Egoistik


Individu tidak mampu berinteraksi dengan masyarakat. Hal ini
disebabkan oleh kondisi kebudayaan atau karena masyrakat yang
menjadikan individu itu seolah-olah tidak berkepribadian.

b. Bunuh diri altruistik


Individu cenderung bunuh diri karena identifikasi yang terlalu kuat
dengan suatu kelompok, individu merasa bahwa kelompok tersebut
sangat mengharapkannya.

c. Bunuh diri anomik


Hal ini terjadi apabila terdapat gangguan keseimbangan integrasi antara
individu dengan masyarakat, sehingga individu tersebut meninggalkan
norma-norma kelakuan yang biasa. Individu kehilangan pegangan dan
tujuan, masyarakat dan kelompoknya tidak dapat memberikan kepuasan
kepadanya karena tidak ada pengaturan dan pengawasan terhadap
kebutuhannya.

4. Psikodinamika bunuh diri


Terdapat hubungan yang erat antara suicidedan depresi. Individu
yang mengalami depresi mencoba melakukan bunuh diri untuk
menghilangkan depresinya. Namun banyak orang yang melakukan bunuh
diri tidak memperlihatkan gejala-gejala klinik mengenai depresi. Helbert
Hendin dalam Maramis (2004) mengemukakan psikodinamika bunuh diri
yaitu :

a. Kematian sebagai pelepasan pembalasan ( Death as retaliotary


abandonment) artinya yaitu suicide meruapakan usaha untuk mengurangi
preokupasi.
b. Kematian sebagai pembunuhan terkedik (ke belakang) ( Death as
retroflexed murder) artinya bagi individu yang mengalami gangguan
emosi hebat, suicide dapat mengganti kemarahan atau kekerasan yang
tidak dapat direpresi.
c. Kematian sebagai penyatuan kembali ( Death as reunion) artinya
kematian memiliki arti yang menyenangkan karena individu bersatu
kembali dengan orang yang telah meninggal.
d. Kematian sebagai hukuman buat diri sendiri ( Death as self punishment)
artinya menghukum diri sendiri karena kegagalan dalam pekerjaan jarang
terjadi pada wanita, akan tetapi jika seorang ibu tidak mampu mencintai
maka keinginan untuk menghukum dirinya dapat terjadi.

5. Tanda dan Gejala Bunuh Diri


Solomon dalam Maramis (2004) membagi besarnya resiko bunuh diri
dengan melihat adanya tanda-tanda tertentu yaitu :
a. Tanda-tandaresikoberat
1) Keinginan mati yang sungguh-sungguh, pernyataan yang berulang-
ulang baha individuingin mati
2) Adanya depresi dengan gejala rasa bersalah dan berdosa terutama
terhadap orang-orang yang sudah meninggal, rasa putus asa, ingin
dihukum berat,rasa cemas yang hebat serta adanya gangguan tidur
yang berat.
3) Adanya psikosa terutama penderita psikosa impulsive serta adanya
perasaan curiga, ketakutan dan panik. Keadaan semakin berbahaya
jika penderita mendengar suara yang memerintahkan untuk
membunuh dirinya.
b. Tanda – tanda bahaya
1)Pernah melakuakn percobaan bunuh diri
2) Penyakit yang menahun, penderita dengan penyakit kronis berat
dapat melakukan bunuh diri karena depresi yang disebabkan
penyakitnya.
3) Ketergantungan obat dan alkohol karena mempunyai efek
melemahkan kontrol dan mengubah dorongan sehingga
memudahkan bunuh diri
4) Hipokondriasis, keluhan fisik yang konstan dan bermacam-
macam tanpa sebab organis dapat menimbukan depresi yang
berbahaya.
5) Kebangkrutan, individu tanpa uang, pekerjaan, teman atau
harapan masa depan mempunyai keluarga dan dudukan sosial
yang tinggi.
6) Catatan bunuh diri, seseorang yang mempunyai riwayat catatan
bunuh diridianggap sebagai tanda bahaya.
Tanda dan gejala menurut Fitria Nita (2009 dalam Muhajir, 2016):
1. Mempunyai ide untuk bunuh diri
2. Mengungkapkan keinginan untuk mati
3. Mengungkanpak rasa bersalah dan keputusan
4. Impulsive
5. Menunjukan perilaku yang mencurigakan (biasanya
menjadi lebih patuh)
6. Memiliki riwayat percobaan bunuh diri
7. Verbal terselubung (berbicara tentang kematian,
menanyakan tentang obat dosis kematian)
8. Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat,
panic, marah, dan mngasingkan diri)
9. Kesehatan mental (secara klini klien terlihat seperti orang
yang depresi, psikosis, dan menyalahgunakan alkohol)
10. Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyakit
kronis atau terminal)
11. Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan,
mengalami kegagalan dalam berkarir)
12. Umur 15-19 tahun atau diatas 45 tahun
13. Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam
perkawinan)
14. Konflik interpersonal
15. Latar belakang keluarga
16. Orientasi seksual
17. Sumber-sumber personal
18. Sumber-sumber sosial
19. Menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil

6. Psikopatologi bunuh diri


Semua prilaku bunuh diri adalah serius apapun tujuannya. Orang yang siap
membunuh diri adalah orang yang merencanakan kematiannya dengan
tindakan kekerasan, mempunyai rencana spesifik dan mempunyai nilai
untuk melakukannya. Perilaku bunuh diri dapat dibagi 4 yaitu :
a. Isyarat bunuh diri
Isyarat bunuh diri ditunjukan dengan berperilaku secara tidak langsung
ingin bunuh diri. Pada kondisi ini pasien mungkin sudah memiliki ide
untuk mengakhiri hidupnya, namun tidak disertai dengan ancaman dan
percobaan bunuh diri.
b. Ancaman bunuh diri
Peningkatan verbal/non verbal bahwa orang tersebut
mempertimbangkan untuk bunuh diri. Ancaman menunjukkan
ambivalensi seseorang tentang kematian, kurangnya respon positif
dapat ditafsirkan seseorang sebagai dukungan untuk melakukan bunuh
diri. Secara aktif pasien telah memikirkan rencana bunuh dirinamun
tidak disertai dengan percobaan bunuh diri.
c. Upaya bunuh diri
Semua tindakan yang diarahkan pada diri yang dilakukan oleh individu
yang dapat mengarah pada kematian jika tidak dicegah. Pada kondisi
ini pasien aktif mencoba unuh diri dengan cara gantung diri, minum
racun, memotong urat nadi, atau menjatuhkan diri dari tempat yang
tinggi.
d. Bunuh diri
Bunuh diri mungkin terjadi setelah tanda peningkatan terlewatkan.
Orang yang melakukan percobaan bunuh diri dan yang tidak langsung
ingin mati mungkin mati jika tanda-tanda tersebut tidak diketahui tepat
pada waktunya.

7. Rentang respon

Peningkatan Berisiko Perilaku Pencenderaan Bunuh

Diri destruktif destruktif diri diri diri

tak langsung

a. Peningkatan diri. Seseorang dapat meningkatkan proteksi atau pertahanan


diri secara wajar terhadap situasional yang membutuhkan pertahanan diri.
b. Beresiko destruktif. Seseorang memiliki kecendrungan atau berisiko
mengalami perilaku destruktif atau menyalahkan diri sendiri terhadap
situasi yang seharusnya dapat mempertahankan diri, seperti seseorang
merasa patah semangt bekerja ketika dirinya dianggap tidak loyal terhadap
pimpinan padahal sudaj melakukan pekerjaan secara optimal.

c. Destruktif diri tak langsung. Seseorang telah mengambil sikap yang


kurang tepat (maladaptif) terhadap situasi yang membutuhkan dirinya
untuk mempertahankan dirinya.

d. Pencederaan diri. Seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau


pencederaan diri akibat hilangnya harapan terhadap situasi yang ada.

e. Bunuh diri. Seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai dengan
nyawanya hilang (Yosep, 2010).

f. Pengobatan

Semua kasus percobaan bunuh diri harus mendapat perhatian yang serius.
Pertolongan pertama dilakukan di rumah sakit, dilakukan pengobatan
terhadap luka ataupun keracunan. Bila luka atau keracunan sudah dapat
diatasi maka dilakukan evaluasi psikiatri. Untuk pasian depresi bisa
diberikan terapi elektrokonvulsi, obat – obatan berupa antidepresan dan
psikoterapi.

8. Progmosa

Faktor yang mempengaruhi prognosa yaitu:


a. Pasien : bila pasien dapar menyesuaikan diri dengan baik dan stress

yang menjadi faktor pencetus untuk percobaan bunuh diri cukup besar

maka prognosanya lebih baik.

b. Lingkungan : bila lingkungan memberi dukungan dan banyak orang

yang memperhatikan penderita serta banyak hal yang dapat memberi

arti dalam kehidupan pasien, maka progonosanya akan lebih baik.

C. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian

a. Identitas klien
Identitas meliputi ruangan rawat, inisial paisen, umur, pekerjaan,
pendidikan, tanggal rawat, tanggal pengkajian, nomer RM, status dan
informasi.
b. Alasan masuk RSJ

Disesuaikan dengan kondisi pasien. Biasanya pasien yang


mengalami resiko bunuh diri masuk RSJ dengan alasan mengungkapkan
perasaan sedih, marah, putus asa, tidak berdaya dan memberikan isyarat
verbal maupun non verbal, mengenai keinginannya untuk bunuh diri.
c. Faktor predisposisi

Pasien dengan resiko bunuh diri mungkin memiliki riwayat


keluarga yang mengalami gangguan jiwa di masa lalu dengan pengobatan
yang kurang berhasil, pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan,
dan lain sebagainya.
d. Fisik

Kaji TTV pasien, TB, keluhan fisik yang mungkin terjadi seperti
tidak nafsu makan, merasa lemas.
e. Psikososial

Gambarkan genogram keluarga pasien, kaji konsep diri pasien


yang terdiri dari citra diri, identitas, peran, idela diri dan harga diri,
ubungan sosial dengan orang terdekat/ masyarakat serta kehidupan
spiritual. Pada pasien dengan resiko bunuh diri dengan penyebabnya
harga diri rendah, pasien akan memperlihatkan konsep diri yang buruk
misal perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah terhdap diri
sendiri, merendahkan martabat dengan menyatakan saya tidak bisa/ saya
tidak mampu/ saya orang bodoh/ tidak tahu apa –apa, menarik diri,
percaya diri kuranf, dan mencederai diri akibat harga diri yang rendah
disertai harapan suram dan akhirnya klien ingin mengakhiri
kehidupannya.
f. Status mental

Perlu dikaji penampilan psien, gaya bicara, aktivitas motorik, alam


perasaa, afek, interaksi selama wawancara, persepsi, proses pikir, isi pikir,
tingkat kesadaran diri. Pada paie dengan resiko bunuh diri mungkin akan
tampak penampilam tidak rapi, gaya bicara lambat, aktivitas motorik lesu,
alam perasaan sedih dan putus asa, interkasi selama wawancara
kurangdan lebih banyak membisu.
g. Kebutuhan pesiapan pulang
Perlu dikaji kesiapan pasien pulang mecakup kebutuhan ADL,
istirahat tidur, penggunaan obat, pemeliharaan kesehatan, aktivitas dalam
rumah dan luar rumah.

h. Mekanisme koping

Pada pasien dengan resiko bunuh diri biasanya memiliki koping


maladaptif yakni dengan berusaha mencederai diri atau orang lain.
i. Masalah psikososial dan lingkungan

Kaji masalah pasien terhadap pelayanan kesehatan yang didapat,


dukungan kelompok lingkunan, pendidikan, perumahan, dan ekonomi.
Mungkin pada pasien resiko bunuh diri akan tampak masalah dengan
dukungan kelompok serta lingkungan dimana pasien tidak percaya diri
dalam berinteraksi dengan orang lain karena selalu mnganggap dirinya
tidak bisa, tidak mampu dan lain sebagainya.
j. Kurang pengetahuan tentang penyakit jiwa/ faktor presipitasi/ koping

penyakit fisik/ obat-obatan.

k. Aspek medik

Berisi diagnosa medik serta terapi medik yang didapatkan oleh pasien.
Masalah keperwatan yang muncul pada pasien dengan resiko bunuh diri
adalah :
1. Resiko bunuh diri

DO : Menyatakan ingin bunuh diri/ mati saja, tak ada gunanya hidup.
DS : Ada isyarat bunuh diri, ada ide bunuh diri, pernah mencoba
bunuh diri.
2. Resiko mencederai diri sendiri, oramg lain dan lingkungan

DS : Mengatakan ingin membakar rumah, mencederai orang lain atau


dirinya sendiri, memberi kata – kata ancaman
DO : Tampak menyerang orang lain/ menyentuh orang lain dengan
cara menakutkan, memecahkan perabot dan lain sebagainya,
memperlihatkan permusuhan
3. Harga diri

DS : Menyatakan putus asa dan tak berdaya, tidak bahagia, tak ada
harapan dan rak berguna, malu.
DO : Nampak sedih, mudah marah, gelisah tidak dapat mengontrol
ipmuls.
Pohon Masalah
Risiko mencederai diri sendiri, orang lain
dan lingkungan.

Risiko bunuh diri

Harga diri rendah


2. Diagnosa Keperawatan

1) Risiko bunuh diri

2) Risiko mencederai diri sendiri orang lain dan lingkungan

3) Harga diri rendah


3. Intervensi

Tgl No Dx Keperawatan Tujuan Kriteria Evaluasi Rencana Tindakan Rasional


Dx

TUM: Setelah diberikan askep 1. BHSP dengan menggunakan Pembinaan hubungan


Klien tidak selama 1x15 menit selama prinsip komunikasi terapiutik: saling percaya
melakukan percobaan 2x pertemuan diharapkan: a. Sapa klien dengan nama baik merupakan dasar
bunuh diri ekspresi wajah bersehabat, verbal maupun non verbal terjadinya komunikasi
TUK 1: menunjukkan rasa senang, b. Perkenalkan diri dengan sopan terbuka sehingga
Klien dapat membina ada kontak mata, mau c. Tanyakan nama lengkap klien mempermudah dalam
hubungan saling berjabat tangan, mau dan nama panggilan yang menggali masalah klien.
percaya menyebutkan nama, mau disukai
menjawab salam, mau d. Jelaskan tujuan pertemuan
duduk berdampingan e. Jujur dan menepati janji
dengan perawat, mau f. Tunjukkan sikap empati dan
mengutarakan masalah yang menerima klien apa adanya
dihadapi. g. Berikan perhatian dan
perhatikan kebutuhan dasar
klien
TUK 2: Setelah diberikan askep 1. Jauhkan klien dari benda-benda Benda-benda yang
Klien dapat selama 1x15 menit selama yang dapat membahayakan (pisau, membahayakan seperti
terlindung dari 1x pertemuan diharapkan: silet, gunting, tali, kaca, dan lain piring, gunting, dll dapat
perilaku bunuh diri Tidak terdapat benda-benda lain). digunakan klien sebagai
tajam disekitar klien, klien alat untuk bunuh diri,
2. Tempatkan klien di ruangan
nyaman dengan ruangannya, menjauhkan klien dari
yang tenang dan selalu terlihat
klien terawasi benda tersebut dapat
oleh perawat.
melindungi klien dari
resiko numuh diri
3. Awasi klien secara ketat setiap
saat.
TUK 3: Setelah diberikan askep 1. Dengarkan keluhan yang Dengan mendengarkan
Klien dapat selama 1x15 menit selama dirasakan. keluhan klien, klien dapat
mengekspresikan 2x pertemuan diharapkan: 2. Bersikap empati untuk merasa tenang, dapat
perasaannya Klien mampu mengatakan meningkatkan ungkapan mengekspresikan
perasaannya atau keraguan, ketakutan dan perasaannya sehingga
keluhannya, keputusasaan. resiko bunuh diriklien
mengungkapkan 3. Beri dorongan untuk menurun
harapannya, mampu mengungkapkan mengapa dan
menceritakan arti bagaimana harapannya
penderitaan, kematian dan 4. Beri waktu dan kesempatan
lain sebagainya, dan untuk menceritakan arti
mengungkapkan keinginan penderitaan, kematian, dan lain
sebagainya
untuk hidup. 5. Beri dukungan pada tindakan
atau ucapan klien yang
menunjukkan keinginan untuk
hidup.
TUK 4: Setelah diberikan askep 1. Bantu untuk memahami bahwa Memahami klien
selama 1x15 menit selama klien dapat mengatasi merupakan salah satu
Klien dapat
2x pertemuan diharapkan: keputusasaannya cara untuk membantu
meningkatkan harga
Klien menyadari bahwa 2. Kaji dan kerahkan sumber klien mengingkatkan
diri
dapat mengatasi sumber internal individu. harga dirinya, membantu
keputusasaannya, menyadari 3. Bantu mengidentifikasi klien dalam mengatasi
kemampuan internal yang sumber sumber harapan keputusannya dan
dimiliki, dan mampu (misal: hubungan antar mampu mengatasi
mengidentifikasi sumber sesama,    keyakinan, hal hal sumber harapan klien
sumber harapan untuk diselesaikan) sehingga keinginan
bunuh diri tidak terjadi

TUK 5: Setelah diberikan askep 1. Ajarkan untuk Dengan


selama 1x15 menit selama mengidentifikasi pengalaman mengidentifikasi
Klien dapat
menggunakan koping 2x pertemuan diharapkan: pengalaman yang pengalaman yang
yang adaptif Klien mampu menyenangkan setiap hari menyenangkan, dan
menyampaikan pengalaman (misal : berjalan-jalan, sesuatu yang
pengalaman yang membaca buku favorit, membuat klien
menyenangkan setiap hari menulis surat dll.) bahagia, klien dapat
dan kemudian 2. Bantu untuk mengenali hal hal menggunakan hal
melaksanakan saat punya yang klien cintai dan yang tersebut sebagai
masalah, klien mengenal klien sayang, dan pentingnya koping adaptif untuk
hal-hal yang dicintai, terhadap kehidupan orang lain, membantu mengatasi
disayangi dan pentingnya mengesampingkan tentang resiko bunuh diri
kehidupan sosial kegagalan dalam kesehatan.
3. Beri dorongan untuk berbagi
keprihatinan pada orang lain
yang mempunyai suatu
masalah dan atau penyakit
yang sama dan telah
mempunyai pengalaman
positif dalam mengatasi
masalah tersebut dengan
koping yang efektif
4. Intervensi Berdasarkan SP

Pasien Keluarga

SP 1 SP 1

1. Mengidentifikasi benda- 1. Mengidentifikasikan masalah


benda yang dapat yang dirasakan keluarga
membahayakan pasien dalam merawat pasien
2. Mengamankan benda yang 2. Menjelaskan pengertian
dapat membahayakan pasien tanda dan gejala risiko bunuh
3. Melakukan kontrak terapi diri yang dialami pasien
4. Mengajarkan cara beserta proses terjadinya
mengendalikan dorongan 3. Menjelaskan cara merawat
bunuh diri pasien bunuh diri
5. Melatih cara mengendalikan
dorongan bunuh diri
SP 2 SP 2

1. Evaluasi kegiatan yang lalu 1. Evaluasi kegiatan yang lalu


(SP 1) (SP 1)
2. Mengidentifikasi aspek 2. Melatih keluarga
positif pasien mempraktikkan cara
3. Mendorong pasien merawat pasien dengan
menghargai diri sendiri resiko bunuh diri
3. Melatih keluarga melakukan
cara merawat langsung
kepada pasien resiko bunuh
diri
SP 3 SP 3
1. Evaluasi kegiatan yang lalu
1. Evaluasi kegiatan yang lalu
(SP 1,2)
(SP 1, 2)
2. Mengidentifikasi pola koping
2. Membantu keluarga
yang dapat diterapkan
3. Menilai pola koping yang membuat jadwal aktivitas
dilakukan dirumah termasuk minum
4. Mengidentifikasi yang obat (perencanaan pulang)
mendorong pasien memilih 3. Menjelaskan kepada keluarga
pola koping yang konstruktif setelah pulang
5. Menganjurkan pasien
menggunakan pola koping
yang kontruktif
SP 4 SP 4

1. Evaluasi kegiatan yang lalu 1. Evaluasi kegiatan harian


( SP 1, 2, 3) yang lalu (SP 1,2,3)
2. Membuat rencana masa 2. Latih langsung ke pasien
depan yang realistis 3. RTL keluarga:
3. Mengidentifikasi cara a. Follow up
mencapai masa depan yang b. Rujukan
realistis
4. Member dorongan
melakukan kegiatan dalam
rangka meraih masa depan
yang realistis

5. Implementasi

Implementasi dilakukan berdasarkan intervensi yang telah dilakukan


6. Evaluasi

Evaluasi adalah proses berkelanjutan untuk menilai efek dari


tindakan keperawatan pada klien. Evaluasi dibagi dua yaitu, evaluasi
proses atau formatif yang dilakukan setiap selesai melakukan
tindakan, evaluasi hasil atau sumatif yang dilakukan dengan
membandingkan antara respon klien dan tujuan khsus serta umum
yang telah ditentukan (Direja, 2011).
Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP
sebagai pola pikir:
S: Respon subyektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan. Dapat dilakukan dengan menanyakan langsung
kepada klien tentang tindakan yang telah dilakukan.
O: Respon obyektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilakukan. Dapat diukur dengan mengobservasi perilaku klien
pada saat tindakan dilakukan, atau menanyakan kembali apa
yang telah dilaksanakan atau memberi umpan balik sesuai
dengan hasil observasi.
A: Analisis ulang atas data subyektif dan obyektif untuk
menyimpulkan apakah masalah masih tetap atau muncul
masaah baru atau ada data kontra indikasi dengan masalah
yang ada, dapat juga membandingkan hasil dengan tujuan.
P: Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisis pada
respon klien yang terdiri dari tindak lanjut klien dan perawat.

Pada klien dengan resiko bunuh diri, evaluasi keperawatan yang


diharapkan:

1. Klien tidak melakukan percobaan bunuh diri

a. Klien dapat membina hubungan saling percaya

b. Klien dapat terlindung dari perilaku bunuh diri

c. Klien dapat mengekspresikan perasaannya

d. Klien dapat meningkatkan harga diri

e. Klien dapat menggunakan koping yang adaptif

DAFTAR PUSTAKA
Aulia, N. (2016). Analisis Hubuungan Faktor Risiko Bunuh Diri Dengan
Ide Bunuh Diri Pada Remaja Di Kota Rengat Kabupaten Indragiri
Hulu Tahun 2016.

Captain. (2008). Psikologi untuk Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku


kedokteran EGC.

Damayanti, M dkk (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika


Aditama

Emy, Ayu. 2016. Gambaran dan Risiko Bunuh Diri Pada Mahasiswa
Baru di Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedoteran
Universitas Udayana.

Maramis. 2004. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Atrlangga University


Press : Surabaya.

Mujahir. 2016. Analisis Praktik Klinik Keperawatan Jiwa Pada Pasien


Resiko Bunuh Diri Dengan Pemberian Terapi Pendekatan Spritual
Terhadap Penurunan Keinginan Bunuh Diri Di Ruang Elang Rsjd
Atma Husada Mahakam Samarinda.

Herman, Ade.2011.Buku Ajar


AsuhanKeperawatanJiwa.Yogyakarta.Medical Book

Keliat, Budi Anna. 2007. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. EGC.


Jakarta.

Yosep, I. 2010. Keperawatan Jiwa. PT Refika Aditama : Bandung.

Stuart, GW. 2002. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5. Jakarta: EGC.

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN PROSES PIKIR


WAHAM

OLEH

Anak Agung Istri Siska


Noviyanti Dewi

209012447

PROGRAM STUDI PROFESI NERS KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI

DENPASAR

2020

LAPORAN PENDAHULUAN

GANGGUAN PROSES PIKIR WAHAM


A. Kasus (Masalah Utama)
Gangguan Proses Pikir: Waham

B. Proses Terjadinya Masalah


1. Pengertian
Waham adalah suatu keyakinan seseorang yang berdasarkan
penilaian realitas yang salah, keyakinan yang tidak konsisten dengan
tingkat intelektual dan latar belakang budaya, ketidakmampuan merespon
stimulus internal dan eksternal melalui proses iteraksi atau informasi
secara akurat (Yosep, 2009).

Gangguan isi pikir adalah ketidakmampuan individu memproses


stimulus internal dan eksternal secara akurat. Gangguannya adalah berupa
waham yaitu keyakinan individu yang tidak dapat divalidasi atau
dibuktikan dengan realitas. Keyakinan individu tersebut tidak sesuai
dengan tingkat intelektual dan latar belakang budayanya, serta tidak dapat
diubah dengan alasan yang logis. Selain itu keyakinan tersebut diucapkan
berulang kali (Kusumawati, 2010).
Waham adalah keyakinan terhadap sesuatu yang salah dan secara
kukuh dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan
bertentangan dengan realita normal (Stuart dan Sundeen, 2010).
Waham adalah suatu keyakinan seseorang yang berdasarkan
penilaian realitas yang salah, keyakinan yang tidak konsisten dengan
tingkat intelektual dan latar belakang budaya, ketidakmampuan merespon
stimulus internal dan ekternal melalui proses interaksi atau informasi
secara akurat (Keliat, 2009).

2. Faktor Predisposisi
Menurut Direja (2011), faktor predisposisi dari gangguan isi pikir,
yaitu:
a. Faktor perkembangan
Hambatan perkembangan akan menganggu hubungan interpersonal
seseorang. Hal ini dapat meningkatkan stres dan ansietas yang berakhir
dengan gangguan persepsi, klien menekan perasaannya sehingga
pematangan fungsi intelektual dan emosi tidak efektif.

b. Faktor sosial budaya


Seseorang yang merasa diasingkan dan kesepian dapat menyebabkan
timbulnya waham.

c. Faktor psikologis
Hubungan yang tidak harmonis, peran ganda atau bertentangan, dapat
menimbulkan ansietas dan berakhir dengan pengingkaran terhadap
kenyataan.
d. Faktor biologis
Waham diyakini terjadi karena adanya atrofi otak, pembesaran vertikel
di otak, atau perubahan pada sel kortikal dan limbic.
e. Faktor genetic

3. Faktor Presipitasi
Menurut Direja (2011) faktor presipitasi dari gangguan isi pikir:
waham, yaitu :

d. Faktor sosial budaya


Waham dapat dipicu karena adanya perpisahan dengan orang yang
berarti atau diasingkan dari kelompok.

e. Faktor biokimia
Dopamine, norepineprin, dan zat halusinogen lainnya diduga dapat
menjadi penyebab waham pada seseorang.

f. Faktor psikologis
Kecemasan yang memandang dan terbatasnya kemampuan untuk
mengatasi masalah sehingga klien mengembangkan koping untuk
menghindari kenyataan yang menyenangkan.
4. Mekanisme Koping
1. Klien : identifikasi koping kekuatan dan kemampuan yang masih
dimiliki klien.
2. Sumber daya dan duungan sosial : pengetahuan keluarga, finansial
keluarga, waktu dan tenaga keluarga yang tersedia, kemampuan
keluarga memberikan asuhan.

5. Proses terjadinya
Menurut Yosep (2009), adapun proses terjadinya waham, yaitu:
c. Fase lack of human need
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhan-kebutuhan klien
baik secara fisik maupun psikis.Secara fisik klien dengan waham
dapat terjadi pada orang-orang dengan status sosial dan ekonomi
sangat terbatas.Biasanya klien sangat miskin dan menderita.
Keinginan ia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mendorongnya
untuk melakuakn kompensasi yang salah. Ada juga klien yang secara
sosial dan ekonomi terpenuhi tetapi kesenjangan antara reality dengan
self ideal sangat tinggi. Misalnya ia seorang sarjana tetapi
menginginkan dipandang sebagai seorang yang dianggap sangat
cerdas, sangat berpengalaman dan diperhitungkan dalam
kelompoknya. Waham terjadi karena sangat pentingnya pengakuan
bahwa ia eksis di dunia ini. Dapat dipengaruhi juga oleh rendahnya
penghargaan saat tumbuh kembang (life span history).
d. Fase lack of self esteem
Tidak adanya pengakuan dari lingkungan dan tingginya
kesenjangan antara self ideal dengan self reality (kenyataan dengan
harapan) serta dorongan kebutuhan yang tidak terpenuhi sedangkan
standar lingkungan sudah melampaui kemampuannya.Misalnya, saat
lingkungan sudah banyak yang kaya, menggunakan teknologi
komunikasi yang canggih, berpendidikan tinggi serta memiliki
kekuasaan yang luas, seseorang tetap memasang self ideal yang
melebihi lingkungan tersebut.Padahal self reality-nya sangat jauh.Dari
aspek pendidikan klien, materi, pengalaman, pengaruh, support
system semuanya sangat rendah.
e. Fase control internal external
Klien mencoba berpikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau
apa-apa yang ia katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan
dan tidak sesuai dengan kenyataan. Tetapi mengahadapi kenyataan
bagi klien adalah sesuatu yang sangat berat, karena kebutuhannya
untuk diakui, kebutuhan untuk dianggap penting dan diterima
lingkungan menjadi prioritas dalam hidupnya, karena kebutuhan
tersebut belum terpenuhi sejak kecil secara optimal.Lingkungan
sekitar klien mencoba memberikan koreksi bahwa sesuatu yang
dikatakan klien itu tidak benar, tetapi hal ini tidak dilakukan secara
adequate karena besarnya toleransi dan keinginan menjaga perasaan.
Lingkungan hanya menjadi pendengar pasif tetapi tidak mau
konfrontatif berkepanjangan dengan alasan pengakuan klien tidak
merugikan orang lain.
f. Fase environment support
Ada beberapa orang yang mempercayai klien dalam
lingkungannya menyebabkan klien merasa didukung, lama kelamaan
klien menganggap sesuatu yang dikatakan tersebut sebagai suatu
kebenaran karena seringnya diulang-ulang. Dari sinilah mulai
terjadinya kerusakan kontrol diri dan tidak berfungsinya norma (Super
ego) yang ditandai dengan tidak ada lagi perasaan dosa saat
berbohong.
g. Fase comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya
serta menganggap bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai
dan mendukungnya. Keyakinan sering diserati halusinasi pada saat
klien menyendiri dari lingkungannya.Selanjutnya klien lebih sering
menyendiri dan menghindari interkasi sosial (isolasi sosial).
h. Fase improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi,
setiap waktu keyakinan yang salah pada klien akan meningkat. Tema
waham yang muncul sering berkaitan dengan traumatik masa lalu atau
kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi (rantai yang
hilang).Waham bersifat menetap dan sulit untuk dikoreksi. Isi waham
dapat menimbulkan ancaman diri dan orang lain. Penting sekali untuk
menggung kayakinan klien dengan cara konfrontatif serta
memperkaya kayakinan religiusnya bahwa apa-apa yang dilakukan
menimbulkan dosa besar serta konsekuensi sosial.

6. Klasifikasi, Jenis dan Sifat Masalah


Proses berpikir meliputi 3 aspek yaitu bentuk pikiran, isi pikiran dan arus
pikiran. Menurut Kaplan, berfikir merupakan aliran gagasan, symbol dan
asosiasi yang diarahkan oleh tujuan, dimulai oleh suatu masalah atau tugas
dan mengarah pada kesimpulan yang berorientasi pada kenyataan.
a. Gangguan Bentuk Pikir
Dalam kategori ini termasuk semua penyimpangan dari pemikiran
rasional, logic dan terarah pada tujuan.
1) Dereisme/ pikiran dereistik
Titik berat pada tidak adanya sangkut paut terjadi antara proses
mental individu dan pengalamannya yang sedang berjalan. Proses
mentalnya tidak sesuai dengan atau tidak mengikuti kenyataan,
logika atau pengalaman.
2) Pikiran otistik
Menandakan bahwa penyebab distorsi arus asosiasi adalah dari
dalam pasien itu sendiri dalam bentuk lamunan, fantasi, waham,
atau halusinasi. Cara berfikir seperti ini hanya akan memuaskan
keinginannya yang tidak terpenuhi tanpa memperdulikan keadaan
seitarnya yang tidak terpenuhi tanpa memperdulikan keadaan
sekitarnya. Hidup dalam alam pikirannya sendiri.
3) Bentuk pikiran non realistic
Bentu pikiran yang sama sekali tidak berdasaran pada kenyataan,
mengambil sesuatu kesimpulan yang aneh dan tidak masuk akal.
b. Gangguan Arus Pikir
Yaitu tentang cara dan lajunya proses asosiasi dalam pemikiran yang
timbul dalam berbagai jenis :
1) Perseverasi : berulang-ulang menceritakan suatu ide, pikiran atau
tema secara berlebihan.
2) Asosiasi longgar : mengatakan hal-hal yang tidak ada
hubungannya satu sama lain, misalnya “saya mau makan semua
orang dapat berjalan-jalan”. Bila ekstrim, maka akan terjadi
inkoherensi.
3) Inkoherensi : gangguan dalam bentuk bicara, sehingga satu
kalimat pun sudah sulit ditangap atau diikuti maksudnya.
4) Kecepatan bicara : untuk mengutarakan pikiran mungkin lambat
sekali atau sangat cepat.
5) Benturan : piiran tiba-tiba berhenti atau berhenti di tengah sebuah
kalimat. Pasien tidak dapat menerangkan mengapa ia berhenti.
6) Logorea : banyak bicara, kata-kata dikeluaran bertubi-tubi tanpa
kontrol, mungkin koherent atau incoherent.
7) Pikiran melayang (flight of ideas) :perubahan yang mendadak lagi
cepat dalam pembicaraan, sehingga satu ide yang belum selesai
diceritakan sudah disusul oleh ide yang lain.
8) Asosiasi bunyi : mengucapkan perkataan yang mempunyai
persamaan bunyi, misalnya pernah disengar “saya mau makan”
diutarakan seakan berontak.
9) Neologisme : membentuk kata-kata baru yang tida dipahami oleh
umum, misalnya : saya radiitu, semua partinum.
10) Irelevansi : isi pikiran atau ucapan yang tidak ada hubungannya
dengan pertanyaan atau dengan hal yang sedang dibicarakan.
11) Pikiran berputar-putar (circumstantiality) : menuju secara tidak
langsung kepada ide pkok dengan menambahan banyak hal yang
remeh-remeh yang majemuk dan tidak relevan.
12) Main-main dengan kata-kata : membuat sejak secara tidak wajar.
13) Afasi : mungkin sensori (tidak atau sukar mengerti biacara orang
lain) atau motorik (tidak dapat atau sukar bicara), sering kedua-
duanya sekaligus dan terjadi kerusakan otak.
c. Gangguan Isi Pikir
Dapat terjadi baik pada isi pikiran nonverbal maupun pada isi pikiran
yang diceritakan misalnya :
1) Kegembiraan yang luar biasa (ecstasy) : dapat timbul secara
mengambang pada orang yang normal selama fase permulaan
narkosa (anastesi umum)
2) Fantasi : isi pikiran tentang suatu keadaan atau kejadian yang
diharapkan/ diinginkan, tetapi dikenal sebagai tidak nyata.
3) Fobia : rasa takut yang irasional terhadap sesuatu benda atau
keadaan yang tidak dapat dihilangkan atau ditekan oleh pasien,
biarpun diketahui bahwa hal itu irasional adanya.
4) Obsesi : Isi pikiran yang kukuh (persisten) timbul, biarpun tidak
dikendalikannya dan diketahui bahwa hal itu tidak wajar atau tidak
mungkin.
5) Preokupasi : Pikiran terpaku hanya pada sebuah ide saja yang
biasanya berhubungan dengan keadaan yang bernada emosional
yang kuat.
6) Pikiran yang tak memadai (Inadequate) : pikiran yang ekstrinsik,
tidak cocok dengan banyak hal, terutama dalam pergaulan dan
pekerjaan seseorang.
7) Pikiran bunuh diri (Suicide thoughts / ideation) : mulai dari
kadang-kadang memikirkan hal bunuh dari sampai terus menerus
memikirkan cara bagaimana ia dapat membunuh dirinya
8) Pikiran hubungan : pembicaraan orang lain, benda-benda, atau
sesuatu kejadian dihubungkan dengan dirinya.
9) Rasa terasing (aleanasi) : perasaan bahwa dirinya sudah menjadi
lain, berbeda asing, umpamanya heran, siapakah dia itu
sebenarnya, rasanya ia berbeda sekali dengan orang lain.
10) Pikiran isolasi sosial (social isolation) : rasa terisolasi, tersekat,
terkunci, terpencil dari masyarakat, rasa ditolak, tidak disukai
orang lain, rasa tidak enak bila berkumpul dengan orang lain, lebih
suka menyendiri.
11) Pikiran rendah diri : Merendahkan, menghinakan dirinya sendiri,
menyalahkan dirinya tentang suatu hal yang pernah atau tidak
pernah dilakukannya.
12) Merasa dirugikan oleh orang lain : menghina atau menyangka ada
orang lain yang telah merugikannya, sedang mengambil
keuntungan dari dirinya, atau sedang mencelakakannya.
13) Merasa dirinya dalam bidang seksual : acuh tak acuh tentang hal
seksual, kegairahan seksual berkurang secara umum
(hiposeksualitas).
14) Rasa salah : sering mengatakan ia telah bersalah; ini bukanlah
waham dosa.
15) Pesimisme : mempunyai pandangan yang suram mengenai banyak
hal pada bidangnya.
16) Sering curiga : mengutarakan ketidakpercayaannya kepada orang
lain; buan waham curiga.
17) Waham : keyakinan tentang sesuatu isi pikiran yang tidak sesuai
dengan kenyataannya atau tidak cocok dengan intelegensi dan latar
belakang kebudayaannya, biarpun dibutikan kemustahilan hal itu.
Menurut Direja (2011) dan Azizah (2011), adapun jenis-
jenis waham, yaitu :

a) Waham Kebesaran
Keyakinan secara berlebihan bahwa dirinya memiliki kekuatan
khusus atau berlebihan yang berbeda dengan orang lain,
diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.

b) Waham Agama
Keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan, diucapkan
berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
c) Waham Curiga
Keyakinan seseorang atau sekelompok orang berusaha
merugikan atau mencederai dirinya, diucapkan berulang-ulang
tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.

d) Waham Somatik
Keyakinan seseorang bahwa tubuh atau bagian tubuhnya
terganggu atau terserang penyakit, diucapkan berulang-ulang
tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.

e) Waham Nihilistik
Keyakinan seseorang bahwa dirinya sudah meninggal dunia,
diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.

f) Waham Dosa
Keyakinan klien terhadap dirinya telah atau selalu salah atau
berbuat dosa atau perbuatannya tidak dapat diampuni lagi.

g) Waham yang bizar terdiri dari:


1) Sisp pikir yaitu keyakinan klien terhadap suatu pikiran
orang lain disisipkan ke dalam pikiran dirinya.
2) Siar pikir/broadcasting yaitu keyakinan klien bahwa ide
dirinya dipakai oleh/disampaikan kepada orang lain
mengetahui apa yang ia pikirkan meskipun ia tidak pernah
secara nyata mengatakan pada orang tersebut.
3) Kontrol pikir/waham pengaruh yaitu keyakinan klien bahwa
pikiran, emosi dan perbuatannya selalu
dikontrol/dipengaruhi oleh kekuatan di luar dirinya yang
aneh.

7. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala pada klien dengan perubahan proses pikir: waham, adalah
sebagai berikut (Nita Fitria, 2010):

1. Menolak makan
2. Tidak ada perhatian pada perawatan diri
3. Ekspresi wajah sedih/gembira/ketakutan
4. Gerakan tidak terkontrol 
5. Mudah tersinggung
6. Isi pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan
7. Tidak bisa membedakan antara kenyataan dan bukan kenyataan
8. Menghindar dari orang lain 
9. Mendominasi pembicaraan
10. Berbicara kasar
11. Menjalankan kegiatan keagamaan secara berlebihan

8. Penatalaksanaan Medis
Terapi pada gangguan jiwa, khususnya skizofrenia dewasa ini sudah
dikembangkan sehingga klien tidak mengalami diskriminasi bahkan
metodenya lebih manusiawi daripada masa sebelumnya. Penatalaksanaan
medis pada gangguan proses pikir yang mengarah pada diagnosa medis
skizofrenia, khususnya dengan gangguan proses pikir: waham, yaitu:
a. Psikofarmakologi
Menurut Hawari (2009), jenis obat psikofarmaka, dibagi dalam 2
golongan yaitu:
1) Golongan generasi pertama (typical)
Obat yang termasuk golongan generasi pertama, misalnya:
Chorpromazine HCL (Largactil, Promactil, Meprosetil),
Trifluoperazine HCL (Stelazine), Thioridazine HCL (Melleril), dan
Haloperidol (Haldol, Govotil, Serenace).
2) Golongan kedua (atypical)
Obat yang termasuk generasi kedua, misalnya: Risperidone
(Risperdal, Rizodal, Noprenia), Olonzapine (Zyprexa), Quentiapine
(Seroquel), dan Clozapine (Clozaril).
b. Psikotherapi
Terapi kejiwaan atau psikoterapi pada klien, baru dapat
diberikan apabila klien dengan terapi psikofarmaka sudah mencapai
tahapan dimana kemampuan menilai realitas sudah kembali pulih dan
pemahaman diri sudah baik.Psikotherapi pada klien dengan gangguan
jiwa adalah berupa terapi aktivitas kelompok (TAK).
c. Terapi somatik
Terapi somatik adalah terapi yang diberikan kepada klien
dengan tujuan mengubah perilaku yang maladaptif menjadi perilaku
yang adaptif dengan melakukan tindakan dalam bentuk perlakuan fisik
(Riyadi dan Purwanto, 2009).Beberapa jenis terapi somatik, yaitu:
1) Restrain
Restrain adalah terapi dengan menggunakan alat-alat mekanik atau
manual untuk membatasi mobilitas fisik klien (Riyadi dan
Purwanto, 2009).
2) Seklusi
Seklusi adalah bentuk terapi dengan mengurung klien dalam
ruangan khusus (Riyadi dan Purwanto, 2009).
3) Foto therapy atau therapi cahaya
Foto terapi atau sinar adalah terapi somatik pilihan. Terapi ini
diberikan dengan memaparkan klien sinar terang (5-20 kali lebih
terang dari sinar ruangan) (Riyadi dan Purwanto, 2009).
4) ECT (Electro Convulsif Therapie)
ECT adalah suatu tindakan terapi dengan menggunakan aliran
listrik dan menimbulkan kejang pada penderita baik tonik maupun
klonik (Riyadi dan Purwanto, 2009).
d. Rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan suatu kelompok atau komunitas dimana
terjadi interaksi antara sesama penderita dan dengan para pelatih
(sosialisasi).

9. Rentang Respon Sosial


Menurut Stuart and Sundeen (2010) waham merupakan salah satu
respon persepsi paling maladaptif dalam rentang respon neurobiologi.
Rentang respon tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Respon Adaptif Respon maladaptif

Pikiran logis Distorsi pikiran Gangguan proses


pikir / delusi / waham

Persepsi akurat Ilusi Halusinasi


Emosi konsisten Reaksi emosi Sulit berespon emosi
dengan pengalaman berlebihan atau kurang
Perilaku sesuai Perilaku aneh atau Perilaku disorganisasi
tidak biasa
Berhubungan sosial Menarik diri Isolasi sosial

Dari rentang respon neurobiologik diatas digambarkan bahwa bila


klien/individu mendapat suatu stressor maka individu akan berespon
menuju respon adaptif maupun respon maladaptif.Bila individu berespon
adaptif, cenderung dapat berpikir logis, persepsi akurat, emosi konsisten
dengan pengalaman, perilaku sesuai dan dapat berhubungan sosial. Bila
individu berespon antara respon adaptif dan maladaptif maka akan
menimbulkan pemikiran kadang – kadang menyimpang, ilusi, reaksi
emosional berlebihan atau berkurang, perilaku ganjil dan menarik diri.
Namun bila individu berespon maladaptif maka cenderung mengalami
kelainan pemikiran/delusi/waham, halusinasi, ketidakmampuan untuk
mengalami emosi, ketidakteraturan dan isolasi sosial.
D. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Masalah Keperawatan dan Data Yang Perlu Dikaji
Masalah keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan
gangguan isi pikir: waham (Fitria, 2009), adalah:
a. Gangguan proses pikir: waham
b. Risiko perilaku kekerasan
c. Isolasi sosial
d. Harga diri rendah kronik
Sedangkan data yang perlu dikaji pada pasien dengan gangguan isi
pikir: waham (Fitria, 2009 dan Yosep, 2009), adalah:

a. Data subyektif
1) Klien mengatakan bahwa dirinya adalah orang yang paling hebat
2) Klien mengatakan bahwa ia memiliki kebesaran atau kekuasaan
khusus.
b. Data obyektif
1) Klien terus berbicara tentang kemampuan yang dimilikinya.
2) Pembicaraan klien cenderung berulang-ulang
3) Isi pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan.

a. Identifikasi klien
Perawat yang merawat klien melakukan perkenalan dan kontrak dengan
klien tentang: Nama klien, panggilan klien, Nama perawat, tujuan,
waktu pertemuan,topik pembicaraan.
b. Keluhan utama / alasan masuk 
Tanyakan pada keluarga / klien hal yang menyebabkan klien dan
keluarga datang ke Rumah Sakit, yang telah dilakukan keluarga untuk
mengatasi masalah dan perkembangan yang dicapai.
c. Tanyakan pada klien / keluarga, apakah klien pernah mengalami
gangguan jiwa pada masa lalu, pernah melakukan, mengalami,
penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari lingkungan, kekerasan
dalam keluarga dan tindakan kriminal. Dapat dilakukan pengkajian
pada keluarga faktor yang mungkin mengakibatkan terjadinya
gangguan:
1) Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi
respon psikologis dari klien. 
2) Biologis
Gangguan perkembangan dan fungsi otak atau SSP, pertumbuhan
dan perkembangan individu pada prenatal, neonatus dan anak-
anak.
3) Sosial Budaya
Seperti kemiskinan, konflik sosial budaya (peperangan, kerusuhan,
kerawanan), kehidupan yang terisolasi serta stress yang
menumpuk.
d. Aspek fisik / biologis
Mengukur dan mengobservasi tanda-tanda vital: TD, nadi, suhu,
pernafasan.Ukur tinggi badan dan berat badan, kalau perlu kaji fungsi
organ kalau ada keluhan.
e. Aspek psikososial
1) Membuat genogram yang memuat paling sedikit tiga generasi
yangdapat menggambarkan hubungan klien dan keluarga, masalah
yangterkait dengan komunikasi, pengambilan keputusan dan pola
asuh.
2) Konsep diri
a) Citra tubuh: mengenai persepsi klien terhadap tubuhnya, bagian
yang disukai dan tidak disukai.
b) Identitas diri: status dan posisi klien sebelum dirawat, kepuasan
klien terhadap status dan posisinya dan kepuasan klien sebagai
laki-laki / perempuan.
c) Peran: tugas yang diemban dalam keluarga / kelompok dan
masyarakat dan kemampuan klien dalam melaksanakan tugas
tersebut.
d) Ideal diri: harapan terhadap tubuh, posisi, status, tugas,
lingkungan dan penyakitnya.
e) Harga diri: hubungan klien dengan orang lain, penilaian dan
penghargaan orang lain terhadap dirinya, biasanya terjadi
pengungkapan kekecewaan terhadap dirinya sebagai wujud
harga diri rendah.
3) Hubungan sosial dengan orang lain yang terdekat dalam
kehidupan, kelompok yang diikuti dalam masyarakat.
4) Spiritual, mengenai nilai dan keyakinan dan kegiatan ibadah.
 
f. Status mental
Nilai penampilan klien rapi atau tidak, amati pembicaraan klien,
aktivitas motorik klien, alam perasaan klien (sedih, takut, khawatir),
afek klien, interaksi selama wawancara, persepsi klien, proses pikir, isi
pikir, tingkat kesadaran, memori, tingkat konsentasi dan berhitung,
kemampuan penilaian dan daya tilik diri. 
g. Proses pikir.Proses pikir dalam berbicara jawaban klien kadang
meloncat-loncat dari satutopik ke topik lainnya, masih ada hubungan
yang tidak logis dan tidak sampaipada tujuan (flight of ideas) kadang-
kadang klien mengulang pembicaraan yangsama (persevere)Masalah
keperawatan : Gangguan Proses Pikir.
h. Isi Pikir Contoh isi pikir klien saat diwawancara:
 Klien mengatakan bahwa dirinya banyak mempunyai pacar, dan
pacarnya orang kaya dan bos batu bara. Masalah keperawatan:
waham kebesaran.
 Klien mengatakan alasan masuk RSJ karena sakit liver. Masalah
keperawatan: waham somatik.
i. Kebutuhan Persiapan Pulang
1) Kemampuan makan klien, klien mampu menyiapkan dan
membersihkanalat makan. 
2) Klien mampu BAB dan BAK, menggunakan dan membersihkan
WC serta membersihkan dan merapikan pakaian. 
3) Mandi klien dengan cara berpakaian, observasi kebersihan tubuh
klien.
4) Istirahat dan tidur klien, aktivitas di dalam dan di luar rumah.
5) Pantau penggunaan obat dan tanyakan reaksi yang dirasakan
setelah minumobat. 
j. Masalah psikososial dan lingkungan
Dari data keluarga atau klien mengenai masalah yang dimiliki klien.
k. Pengetahuan
Data didapatkan melalui wawancara dengan klien kemudian tiap
bagian yang dimiliki klien disimpulkan dalam masalah.
l. Aspek medik 
Terapi yang diterima oleh klien: ECT, terapi antara lain seperti terapi
psikomotor, terapi tingkah laku, terapi keluarga, terapi spiritual, terapi
okupasi, terapi lingkungan. Rehabilitasi sebagai suatu refungsionalisasi
dan perkembangan klien supaya dapat melaksanakan sosialisasi secara
wajar dalam kehidupan bermasyarakat.

2. Pohon Masalah
Menurut Fitria (2009) dan Yosep (2009), pohon masalah pada pasien
dengan waham adalah sebagai berikut:

Effect
Risiko Perilaku Kekerasan

Gangguan proses Pikir: Waham Core Problem


Causa
Isolasi Sosial

Harga Diri Rendah Kronik

3. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan Proses Pikir: Waham
b. Risiko perilaku kekerasan
c. Isolasi sosial
d. Harga diri rendah kronik
4. Intervensi Keperawatan
Tgl No. Dx. Perencanaan
Dx Keperawatan Tujuan Kriteria Hasil Intervensi Rasional

Gangguan Isi TUM :


Pikir : Waham.
1 Klien dapat 1. Setelah 2x interaksi 2. Bina hubungan saling Pembinaan hubungan saling
mengontrol klien: percaya dengan percaya merupakan dasar
wahamnya.  Mau menerima menggunakan prinsip terjadinya komunikasi
kehadiran perawat komunikasi terapeutik: terbuka sehingga
di sampingnya.  Beri salam. mempermudah dalam
 Mengatakan mau  Perkenalkan diri, menggali masalah klien.
menerima bantuan tanyakan nama serta
TUK 1 :
perawat. nama panggilanyang
Klien dapat  Tidak disukai.
membina hubungan menunjukkan  Jelaskan tujuan
saling percaya tanda-tanda interaksi.
dengan perawat. curiga.  Yakinkan klien dalam
 Mengijinkan keadaan aman dan
duduk disamping. perawat siap menolong
dan mendampinginya.
 Yakinkan
bahwakerahasiaan
klien akan tetap
terjaga.
 Tunjukkan sikap
terbuka dan jujur.
 Perhatikan kebutuhan
dasar dan beri bantuan
untuk memenuhinya.

TUK 2: 2. Setelah 2x interaksi 2. Bantu klien untuk Dengan membantu klien


klien: mengungkapkan perasaan mengungkapkan perasaan
Klien dapat
dan pikirannya. dan pikirannya dapat
mengidentifikasi  Klien
membantu
perasaan yang menceritakan  Diskusikan dengan
mengidentifikasiperasaan
muncul secara ide-ide dan klien pengalaman yang
dan pikiran yang berulang
berulang dalam perasaan yang dialami selama ini kali di rasakan klien
pikiran klien. muncul secara termasuk hubungan
berulang dalam dengan orang yang
pikirannya. berarti, lingkungannya
kerja, sekolah,dsb.
 Dengarkan pernyataan
klien dengan empati
tanpa dukungan atau
menentang pernyataan
wahamnya.
 Katakan perawat dapat
memahami apa yang
diceritakan klien.

TUK 3: 3. Setelah 2x interaksi 3. Bantu klien untuk


klien: mengidentifikasi
Klien dapat
kebutuhan yang tidak
mengidentifikasi  Dapat
terpenuhi serta kejadian
stressor atau menyebutkan
yang menjadi faktor
pencetus kejadian- pencetus wahamnya.
wahamnya(triggers kejadian sesuai
3.1 Diskusikan dengan klien
factor). dengan urutan
tentang kejadian-kejadian
waktu serta
traumatik yang
harapan/kebutuh
menimbulkan rasa takut,
an dasar yang
ansietas, maupun perasaan
tidak terpenuhi
tidak dihargai.
seperti : harga
diri, rasa aman, 3.2 Diskusikan
dsb. kebutuhan/harapan yang
 Dapat belum terpenuhi.
menyebutkan
3.3 Diskusikan dengan klien
hubungan antara
cara-cara mengatasi
kejadian
kebutuhan yang tidak
traumatis/kebutu
terpenuhi dan kejadian
han tidak
yang traumatik.
terpenuhi
dengan 3.4 Diskusikan dengan klien
wahamnya. apakah ada halusinasi
yang meningkatkan
pikiran/ perasaan yang
terkait wahamnya.

3.5 Diskusikan dengan klien


antara kejadian-kejadian
tersebut dengan
wahamnya.

TUK 4: 4. Setelah 2x interaksi 4. Bantu klien Dengan membantu klien


klien: menyebutkan mengidentifikasi mengidentifikasi
Klien dapat
perbedaan keyakinanya yang salah keyakinan yang salah
mengidentifikasi
pengalaman nyata tentang situasi yang nyata tentang situais yang nyata
wahamnya.
dengan pengalaman (bila klien sudah siap). dapat membantu klien
wahamnya. mengerti akan wahamnya
 Diskusikan dengan
dan dapat menyebutkan
klien pengalaman
situasi yang nyata dan
wahamnya tanpa
tidak
berargumentasi.
 Katakan kepada klien
akan keraguan
perawat terhadap
pernyataan klien.
 Diskusikan dengan
klien respon perasaan
terhadap wahamnya.
 Diskusikan frekuensi,
intensitas, dan durasi
terjadinya waham.
 Bantu klien
membedakan situasi
nyata dengan situasi
yang dipersepsikan
salah oleh klien.
TUK 5: 5. Setelah 2x interaksi: 5.1 Diskusikan dengan klien Pengalaman yang tidak
klien menjelaskan pengalaman- menguntungkan
Klien dapat
gangguan fungsi pengalaman yang tidak merupakan konsekuensi
mengidentifikasi
hidup sehari-hari menguntungkan atau akibat dari waham
konsekuensi dari
yang diakibatkan ide- sebagai akibat dari yang dialami
wahamnya.
ide/ pikirannya yang wahamnya seperti :
tidak sesuai dengan  Hambatan dalam
kenyataan seperti: berinteraksi dengan
keluarga.
 Hubungan dengan
 Hambatan dalam
keluarga.
berinteraksi dengan
 Hubungan dengan
orang lain.
orang lain.
 Hambatan dalam
 Aktivitas sehari-hari.
melakukan aktivitas
 Pekerjaan.
sehari- hari.
 Sekolah.
 Perubahan dalam
 Prestasi,dsb.
prestasi kerja/ sekolah.
5.2 Ajak klien melihat bahwa
waham tersebut adalah
masalah yang
membutuhkan bantuan
dari orang lain.

5.3 Diskusikan dengan klien


orang / tempat ia minta
bantuan apabila
wahamnya timbul / sulit
dikendalikan.

TUK 6 : 6. Setelah 2xinteraksi 6.1 Diskusikan hobi/ aktivitas Mendiskusikan hobi atau
klien: klien yang disukainya. aktivitas yang disukai
Klien dapat
melakukan aktivitas klien merupakan salah
melakukan teknik 6.2 Anjurkan klien memilih
yang konstruktif satu cara untuk
distraksi sebagai dan melakukan aktivitas
sesuai dengan menghentikan
cara menghentikan yang membutuhkan
minatnya yang dapat terpusatnya pikiran klien
pikiran yang terpusat perhatian dan
mengalihkan fokus kepada wahamnya
pada wahamnya. keterampilan fisik.
klien dari wahamnya.
6.3 Ikutsertakan klien dalam
aktivitas fisik yang
membutuhkan perhatian
sebagai pengisi waktu
luang.

6.4 Libatkan klien dalam


TAK orientasi realita.
6.5 Bicara dengan klien
topik-topik yang nyata.

6.6 Anjurkan klien untuk


bertanggung jawab
secara personal dalam
mempertahankan/
meningkatkan kesehatan
dan pemulihannya.

6.7 Beri penghargaan bagi


setiap upaya klien yang
positif.

TUK 7 : 7.1 Setelah 2x interaksi 7.1 Diskusikan pentingnya Keluarga merupakan orang
keluarga dapat peran serta keluarga terdekat klien dimana
Klien mendapat
menjelaskan sebagai pendukung dukungan dan motivasi
dukungan keluarga.
tentang : untuk mengatasi keluarga dapat
waham. membantu klien untuk
 Pengertian
mengatasi wahamnya
waham. 7.2 Diskusikan potensi
 Tanda dan keluarga untuk
gejala waham. membantu klien
 Penyebab dan mengatsi waham.
akibat waham.
7.3 Jelaskan pada keluarga
 Cara merawat
tentang :
klien waham.
7.2 Setelah ….x  Pengertian waham.
interaksi keluarga  Tanda dan gejala
dapat waham.
mempraktekan  Penyebab dan akibat
cara merawat waham.
klien waham.  Cara merawat klien
waham.
7.4 Latih keluarga cara
merawat klien waham.

7.5 Tanyakan perasaan


keluarga setelah
mencoba cara yang
telah dilatihkan.

7.6 Beri pujian kepada


keluarga atas
keterlibatannya
merawat klien di rumah
sakit.

TUK 8 : 8.1 Setelah 2 x interaksi 8.1Diskusikan dengan klien Obat merupakan terapi
klien tentang manfaat dan farmakologi, manfaat
Klien dapat
menyebutkan : kerugian tidak minum dari obat yang diberikan
memanfaatkan obat
obat, nama, warna, dosis, untuk membantu
dengan baik.  Manfaat minum
cara, efek terapi dan efek menurunkan atau
obat.
samping penggunaan mengatasi waham klien.
 Kerugian tidak
obat.
minum obat.
 Nama, warna, 8.2 Pantau klien saat
dosis, efek penggunaan obat.
terapi dan efek
 Beri pujian jika klien
samping obat.
menggunakan obat
8.2 Setelah 1x interaksi
klien dengan benar.
mendemonstrasikan 8.3 Diskusikan akibat
penggunaan obat berhenti minum obat
dengan benar. tanpa konsultasi dengan
dokter.
8.3 Setelah 1x interaksi
klien menyebutkan  Anjurkan klien untuk
akibat berhenti konsultasi kepada
minum obat tanpa dokter/ perawat jika
konsultasi dokter. terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan.
5. Intervensi Berdasarkan SP

Pasien Keluarga

SP 1. SP 1.

1. Mengorientasikan realita 1. Mengidentifikasi masalah keluarga


dalam merawat pasien.
2. Mendiskusikan kebutuhan yang
tidak terpenuhi 2. Menjelaskan proses terjadinya
waham.
3. Membantu memenuhi kebutuhan
yang tidak terpenuhi 3. Menjelaskan tentang cara merawat
keluarga dengan waham.

SP 2. SP 2.

1. Mengevaluasi kegiatan yang lalu 1. Mengevaluasi kegiatan yang lalu


( SP 1 ). ( SP 1 ).

2. Berdiskusi tentang kemampuan 2. Melatih keluarga cara merawat


yang dimiliki pasien ( langsung ke pasien ).

3. Melatih tentang kemampuan yang 3. Melatih keluarga melakukan cara


dimiliki perawatan pasien dengan waham

SP 3. SP 3.

1. Mengevaluasi kegiatan yang lalu 1. Mengevaluasi kemampuan keluarga


( SP 1 dan 2 ). ( SP 2 ).

2. Berdiskusi tentang kemampuan 2. Membantu keluarga membuat


yang dimiliki jadwal kegiatan harian termasuk
minum obat
3. Melatih tentang kemampuan yang
dimiliki 3. Menjelaskan follow up setelah
pasien pulang

6. Implementasi
Implementasi dilakukan berdasarkan intervensi yang telah dibuat

7. Evaluasi
Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari
tindakan keperawatan pada klien (keliat, dkk 2009). Evaluasi adalah
proses berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan pada
klien. Evaluasi dibagi dua yaitu, evaluasi proses atau formatif yang
dilakukan setiap selesai melakukan tindakan, evaluasi hasil atau sumatif
yang dilakukan dengan membandingkan antara respon klien dan tujuan
khsus serta umum yang telah ditentukan (Direja, 2011).

Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP sebagai


pola pikir:

S: Respon subyektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah


dilaksanakan. Dapat dilakukan dengan menanyakan langsung kepada
klien tentang tindakan yang telah dilakukan.

O: Respon obyektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah


dilakukan. Dapat diukur dengan mengobservasi perilaku klien pada saat
tindakan dilakukan, atau menanyakan kembali apa yang telah
dilaksanakan atau memberi umpan balik sesuai dengan hasil observasi.

A: Analisis ulang atas data subyektif dan obyektif untuk menyimpulkan


apakah masalah masih tetap atau muncul masaah baru atau ada data
kontra indikasi dengan masalah yang ada, dapat juga membandingkan
hasil dengan tujuan.

P: Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisis pada respon


klien yang terdiri dari tindak lanjut klien dan perawat.
Hasil yang ingin dicapai pada klien dengan waham yaitu :
1. Klien dapat mengontrol wahamnya.
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat.

2. Klien dapat mengidentifikasi perasaan yang muncul secara

berulang dalam pikiran klien.

3. Klien dapat mengidentifikasi stressor atau pencetus wahamnya

( triggers factor ).

4. Klien dapat mengidentifikasi wahamnya.

5. Klien dapat mengidentifikasi konsekuensi dari wahamnya.

6. Klien dapat melakukan teknik distraksi sebagai cara menghentikan

pikiran yang terpusat pada wahamnya.

7. Klien mendapat dukungan keluarga.

8. Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik.


DAFTAR PUSTAKA

Azizah, L. M. 2011. Keperawatan Jiwa: Aplikasi Praktik Klinik.


Yogyakarta: Graha Ilmu.

Direja, A.H.S. 2011.Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:


Medikal Book.

Fitria, N. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan


Pendahuluan Dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan
(LP dan SP). Jakarta: Salemba Medika.

Keliat, B.A. 2009. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Riyadi, S. dan Purwanto, T. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:


Graha Ilmu.

Stuart & Sundden. 2010. Principle & Praktice of Psychiatric Nursing, ed.
Ke-5. St Louis: Mosby Year Book.

Townsed, M. C. 2009. Diagnosa Keperawatan Psikiatri, Edisi 3. Jakarta:


EGC.

Yosep, I. 2009. Keperawatan Jiwa. Jakarta: Refika Aditama.


LAPORAN PENDAHULUAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI

OLEH

Anak Agung Istri Siska Noviyanti Dewi

209012447

PROGRAM STUDI PROFESI NERS KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI

DENPASAR

2020
LAPORAN PENDAHULUAN

DEFISIT PERAWATAN DIRI

A. Kasus ( Masalah Utama)


Defisit Perawatan Diri

B. Proses Terjadinya Masalah


1. Pengertian
Deficit perawatan diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang
mengalami kelemahan kemampuan dalam melakukan atau melengkapi
aktivitas perawatan diri secara mandiri seperti mandi (hygiene),
berpakaian atau berhias, makan, dan BAB atau BAK (toileting) (Fitria,
2010).
Deficit perawatan diri menggambarkan suatu keadaan seseorang
yang mengalami gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas
perawatan diri, seperti mandi, berganti pakaian, makan dan toileting
Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam
memenuhi kebutuhannya guna memepertahankan kehidupannya,
kesehatan dan kesejahteraan sesuai dengan kondisi kesehatannya, klien
dinyatakan terganggu keperawatan dirinya jika tidak dapat melakukan
perawatan diri ( Depkes 2010).
2. Etiologi
1. Faktor Predisposisi
Deficit perawatan diri seringkali disebabkan oleh intoleransi
aktivitas, hambatan mobilitas fisik, nyeri, ansietas, atau gangguan kognitif
atau persepsi (misalnya deficit perawatan diri : makan yang berhubungan
dengan disorientasi). Sebagai etiologi, deficit perawatan diri dapat
menyebabkan depresi, ketakutan terhadap ketergantungan dan
ketidakberdayaan (misalnya, ketakutan menjadi ketergantungan total yang
berhubungan dengan deficit perawatan diri akibat kelemahan residual
karena penyakit stroke)
Menurut Tarwoto dan Wartonah (2010) faktor predisposisi deficit
perawatan diri adalah:
a. Perkembangan:
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu.
b. Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri.
c. Kemampuan Realitas turun
Klien dengan dengan gangguan jiwa, dengan kemampuan realitas yang
kurang menyebabkan ketidak pedulian dirinya dan lingkungan
termasuk perawatan diri. Masalah psikologi tersebut contohnya harga
diri rendah : klien tidak mempunyai motivasi untuk merawat diri, body
image: gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi
kebersihan diri, misalnya individu tidak peduli dengan kebersihan
dirinya.
d. Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan dari lingkungannya. Situasi
lingkngan mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatan diri.
Menurut Wilkinson dan Ahern (2012) deficit perawatan diri berhubungan
dengan:
a. Defisit perawatan diri mandi / hygiene berhubungan dengan :
Penurunan motivasi, kendala lingkungan, ketidakmampuan untuk
merasakan bagian tubuh, ketidakmampuan untuk merasakan hubungan
spasial, gangguan musculoskeletal, kerusakan neuromuscular, nyeri,
gangguan persepsi atau kognitif, ansietas hebat, kelemahan dan
kelelahan (NANDA).
Faktor lain yang berhubungan (non NANDA international)
depresi, ketunadayaan perkembangan, intoleran aktivitas, pembatasan
karena pengobatan, gangguan psikologis.
b. Defisit perawatan diri berpakaian / berhias berhubungan dengan :
Penurunan motivasi, ketidaknyamanan, hambatan lingkungan,
keletihan, gangguan musculoskeletal, gangguan neuromuscular, nyeri,
gangguan kognitif atau persepsi, ansietas berat, kelemahan / kelelahan.
c. Defisit perawatan diri makan berhubungan dengan :
Penurunan motivasi, hambatan lingkungan, keletihan, hambatan
mobilitas, hambatan kemampuan berpindah, gangguan
musculoskeletal, gangguan neuromuscular, nyeri, gangguan kognitif
atau persepsi, ansietas berat, kelemahan.
d. Defisit perawatan diri eliminasi (BAB / BAK) berhubungan dengan :
Penurunan motivasi, ketidaknyamanan, kendala lingkungan, keletihan,
gangguan musculoskeletal, gangguan neuromuscular, nyeri, gangguan
kognitif atau persepsi, ansietas berat, kelemahan.
2. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi deficit perawatan diri adalah kurang penurunan
motivasi, gangguan kognitif atau perceptual, cemas, lelah atau lemah yang
dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu
melakukan perawatan diri. Faktor-faktor yang mempengaruhi :
a. Body Image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan
diri misalnya dengan adanya perubahan fisik, individu tidak peduli
dengan kebersihan dirinya.
b. Praktik Sosial
Pada anak-anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka
kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene.
c. Status Sosial Ekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi,
sikat gigi, shampoo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang
untuk menyediakannya.
d. Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan
yang baik dapat meningkatkan kesehatan.
e. Budaya
Disebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh
dimandikan.
f. Kebiasaan seseorang
Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam
perawatan diri seperti penggunaan sabun, shampoo dan lain-lain.
g. Kondisi fisik atau psikis
Pada keadaan tertentu / sakit, kemampuan untuk merawat diri
berkurang dan perlu bantuan untuk melakukannya.

Dampak yang sering timbul pada masalah personal hygiene:


a. Dampak fisik
Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak
terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik.Gangguan fisik
yang terjadi adalah gangguan integritas kulit, gangguan membrane
mukosa mulut, infeksi pada mata dan telinga dan gangguan fisik pada
kuku.
b. Dampak psikososial
Masalah yang berhubungan dengan kebersihan diri / personal hygiene
adalah gangguan kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan dicintai
mencintai, kebutuhan harga diri, aktualisasi diri dan gangguan
interaksi sosial

3. Mekanisme Koping
a. Regresi
Regresi adalah kemunduran akibat stress terhadap perilaku dan
merupakan cirri khas dari suatu taraf perkembangan yang lebih dini
b. Penyangkalan
Penyangkalan merupakan mekanisme koping / pertahanan untuk
mengurangi kesulitan untuk menegakkan diagnosis.
c. Isolasi diri, menarik diri
Bila individu menyangkal kenyataan, maka dia menganggap tidak ada
atau menolak adanya pengalaman yang tidak menyenangkan
(sebenarnya mereka sadari sepenuhnya) dengan maksud untuk
melindungi dirinya sendiri. Penyangkalan kenyataan juga
mengandung unsur penipuan diri.
d. Intelektualisasi
Apabila individu menggunakan teknik intelektualisasi, maka dia
menghadapi situasi yang seharusnya menimbulkan perasaan yang
amat menekan dengan cara analitik, intelektual dan sedikit menjauh
dari persoalan. Dengan kata lain, bila individu menghadapi situasi
yang menjadi masalah, maka situasi itu akan dipelajarinya atau
merasa ingin tahu apa tujuan sebenarnya supaya tidak terlalu terlibat
dengan persoalan tersebut secara emosional. Dengan intelektualisasi,
manusia dapat sedikit mengurangi hal-hal yang pengaruhnya tidak
menyenangkan bagi dirinya, dan memberikan kesempatan pada
dirinya untuk meninjau permasalah secara obyektif.
4. Rentang Respon
Rentang respon meliputi respon adaptif dan maladaptif
a. Respon Adaptif
Respon adaptif merupakan respon yang masih dapat diterima oleh
norma-norma sosial dan kebudayaan secara umum yang berlaku di
masyarakat dan individu dalam menyelesaikan masalahnya, dengan
kata lain respon adaptif adalah respon atau masalah yang masih dapat
ditoleransi atau masih dapat diselesaikan oleh kita sendiri dalam batas
yang normal
b. Respon Maladaptif
Respon maladaptif merupakan respon yang diberikan individu dalam
menyelesaikan masalahnya menyimpang dari norma-norma dan
kebudayaan suatu tempat atau dengan kata lain diluar batas individu
tersebut.

Adaptif Maladaptif
- Pola perawatan - Kadang perawatan diri - Tidak melakukan

diri seimbang kadang tidak perawatan saat stres

Keterangan :

a. Pola perawatan diri seimbang, saat pasien mendapatkan stresor dan


mampu untuk berprilaku adaptif, maka pola perawatan yang dilakukan
pasien seimbang, pasien masih melakukan perawatan diri.
b. Kadang perawatan diri kadang tidak, saat pasien mendapatkan stresor
kadang – kadang pasien tidak memperhatikan perawatan dirinya,
c. Tidak melakukan perawatan diri, pasien mengatakan dia tidak peduli
dan tidak bisa melakukan perawatan saat stresor.
5. Tanda Dan Gejala
Menurut Depkes (2000: 20) Tanda dan gejala klien dengan defisit
perawatan diri adalah:
a. Fisik
1) Badan bau, pakaian kotor
2) Rambut dan kulit kotor
3) Kuku panjang dan kotor
4) Gigi kotor disertai mulut bau
5) Penampilan tidak rapi.
b. Psikologis
1) Malas, tidak ada inisiatif
2)   Menarik diri, isolasi diri
3) Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina.
c. Sosial
1) Interaksi kurang
2) Kegiatan kurang
3) Tidak mampu berperilaku sesuai norma
4) Cara makan tidak teratur
5) BAK dan BAB di sembarang tempat, gosok gigi dan mandi tidak
mampu mandiri
6. Klasifikasi
Menurut Nanda-I (2012), jenis perawatan diri terdiri dari :
a. Defisit perawatan diri : mandi
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan
mandi/beraktivitas perawatan diri untuk diri sendiri
b. Defisit perawatan diri : berpakaian
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
berpakaian dan berhias untuk diri sendiri
c. Defisit perawatan diri : makan
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
makan secara mandiri
d. Defisit perawatan diri : eliminasi
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
eliminasi sendiri
7. Pohon Masalah
Perawatan diri tidak efektif (BAB / BAK / PH / Nutrisi dan cairan )

Defisit Perawatan Diri

Penurunan Motivasi dan kemampuan

C. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Masalah Keperawatan dan Data yang Perlu Dikaji
a. Subjektif
1) Klien mengatakan dirinya malas mandi karena airnya dingin atau
di RS tidak tersedia alat mandi
2) Klien mengatakan dirinya malas berdandan
3) Klien mengatakan ingin disuapi makan
4) Klien mengatakan jarang membersihkan alat kelaminnya setelah
BAK maupun BAB
b. Objektif
1) Ketidakmampuan mandi / membersihkan diri ditandai dengan
rambut kotor, gigi kotor, kulit berdaki, dan berbau, serta kuku
panjang dan kotor
2) Ketidakmampuan berpakaian / berhias ditandai dengan rambut
acak – acakan, pakaian kotor dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai,
tidak bercukur, (laki-laki) atau tidak berdandan (wanita)
3) Ketidakmampuan makan secara mandiri ditandai dengan
ketidakmampuan mengambil makan sendiri, makan berceceran dan
makan tidak pada tempatnya
4) Ketidakmampuan BAB/BAK secara mandiri ditandai dengan
BAB/BAK tidak pada tempatnya, tidak membersihkan diri dengan
baik setelah BAB/BAK

2. Diagnosa Keperawatan
Defisit Perawatan Diri : kebersihan diri, berdandan, makan, BAB/BAK
3. Rencana Tindakan Keperawatan
Tgl No. Dx. Perencanaan
Tujuan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Dx Keperawatan
Defisit TUM :
Perawatan Klien dapat 2. Setelah …x…… interaksi 3. Bina hubungan saling Pembinaan hubungan saling
Diri. melakukan perawatan klien menunjukkan percaya dengan : percaya merupakan dasar
diri secara mandiri. tanda-tanda percaya pada  Beri salam setiap terjadinya komunikasi
perawat : berinteraksi. terbuka sehingga
 Wajah cerah,  Perkenalkan nama, mempermudah dalam
tersenyum. nama panggilan menggali masalah klien.
TUK 1 :
 Mau berkenalan. perawat, dan tujuan
Klien dapat membina
 Ada kontak mata. perawat berinteraksi.
hubungan saling
 Bersedia  Tanyakan dan panggil
percaya.
menceritakan nama kesukaan klien.
perasaan.  Tunjukkan sikap empati,
 Bersedia jujur dan menepati janji
mengungkapkan setiap kali berinteraksi.
masalahnya.  Tanyakan perasaan klien
dan masalah yang
dihadapi klien.
 Buat kontrak interaksi
yang jelas.
 Dengarkan dengan
empati.
 Penuhi kebutuhan dasar
klien.

TUK 2 : 4. Dalam…x interaksi klien 2. Diskusikan dengan klien : Dengan mendiskusikan


Klien mengetahui menyebutkan :  Penyebab klien tidak mengenai perawatan diri
pentingnya perawatan  Penyebab tidak merawat diri. dapat mengetahui penyebab
diri. merawat diri.  Manfaat menjaga klien tidak merawat diri,
 Manfaat menjaga perawatan diri untuk merawat diri merupakan
perawatan diri. keadaan fisik, mental cara untuk mempertahankan
 Tanda-tanda bersih dan sosial. kesehatan dan
dan rapi.  Tanda-tanda kesejahteraan, kesehatan

 Gangguan yang perawatan diri yang mental dan sosial

dialami jika baik.


perawatan diri tidak  Penyakit atau
diperhatikan. gangguan kesehatan
yang bisa dialami oleh
klien bila perawatan
diri tidak adekuat.
TUK 3 : 3.1 Dalam …x interaksi 3.1 Diskusikan frekuensi Menjaga frekeunsi untuk
Klien mengetahui klien menyebutkan menjaga perawatan diri merawat diri dilakukan agar
cara-cara melakukan frekuensi menjaga selama ini. tetap bersih, sehat dan
perawatan diri. perawatan diri :  Mandi. sejahtera. Frekuensi
 Frekuensi mandi.  Gosok gigi. perawatan diri dilakukan 2x
 Frekuensi gosok gigi.  Keramas. sehari

 Frekuensi keramas.  Berpakaian.


 Frekuensi ganti  Berhias.
pakaian.  Gunting kuku.
 Frekuensi berhias.
 Frekuensi gunting
kuku.
3.2 Dalam …x interaksi 3.2 Diskusikan cara praktek
klien menjelaskan cara perawatan diri yang baik
menjaga perawatan dan benar.
diri :  Mandi.
 Cara mandi.  Gosok gigi.
 Cara gosok gigi.  Keramas.
 Cara keramas.  Berpakaian.
 Cara berpakaian.  Berhias.
 Cara berhias.  Gunting kuku.
 Cara gunting kuku.
3.3 Berikan pujian untuk
setiap respon kliken yang
positif.

TUK 4 : 4. Dalam …x interaksi klien 4.1 Bantu klien saat perawatan Membantu klien melakukan
Klien dapat mempraktekan diri : perawatan diri merupakan
melaksanakan perawatan diri dengan  Mandi. indicator membantu klien jika
perawatan diri dengan dibantu oleh perawat :  Gosok gigi. klien tidak mampu.
bantuan perawat.  Mandi.  Keramas.
 Gosok gigi.  Berpakaian.
 Keramas.  Berhias.
 Berpakaian.  Gunting kuku.
 Berhias.
 Gunting kuku. 4.2 Beri pujian setelah klien
selesai melaksanakan
perawatan diri.

TUK 5 : 5. Dalam …x interaksi klien 5.1 Pantau klien dalam Pemantauan perawatan diri
Klien dapat melaksanakan praktek melaksanakan perawatan diri : merupkan cara mengetahui
melaksanakan perawatan diri secara  Mandi. klien melakukan perawatan
perawatan secara mandiri :  Gosok gigi. diri dengan benar atau tidak
mandiri.  Mandi 2x sehari.  Keramas.
 Gosok gigi sehabis  Berpakaian.
makan.  Berhias.
 Keramas 2x  Gunting kuku.
seminggu. 5.2 Beri pujian saat klien
 Ganti pakaian 1x melaksanakan perawatan diri
sehari. secara mandiri.
 Berhias sehabis
mandi.
 Gunting kuku setelah
mulai panjang.
TUK 6 : 6.1 Dalam …x interaksi 6.1 Diskusikan dengan
Klien mendapatkan keluarga menjelaskan keluarga :
dukungan keluarga cara-cara membantu  Penyebab klien tidak
untuk meningkatkan klien dalam memenuhi melaksanakan
perawatan diri. kebutuhan perawatan perawatan diri.
dirinya.  Tindakan yang telah
6.2 Dalam …x interaksi dilakukan klien selama
keluarga menyiapkan di rumah sakit dalam
sarana perawatan diri menjaga perawatan diri
klien : sabun mandi, dan kemajuan yang
pasta gigi, sikat gigi, telah dialami oleh klien.
sampo, handuk, pakaian  Dukungan yang bisa
bersih, sandal dan alat diberikan oleh keluarga
berhias. untuk meningkatkan
6.3 Keluarga mempraktekan kemampuan klien dalam
perawatan diri kepada perawatan diri.
klien. 6.2 Diskusikan dengan
keluarga tentang :
 Sarana yang diperlukan
untuk menjaga
perawatan diri klien.
 Anjurkan kepada
keluarga menyiapkan
sarana tersebut.
6.3 Diskusikan dengan
keluarga hal-hal yang perlu
dilakukan keluarga dalam
perawatan diri :
 Anjurkan keluarga
untuk mempraktekan
perawatan diri (mandi,
gosok gigi, keramas,
ganti baju, berhias dan
gunting kuku).
 Ingatkan klien waktu
mandi, gosok gigi,
keramas, ganti baju,
berhias dan gunting
kuku.
 Bantu jika klien
mengalami hambatan
dalam perawatan diri.
 Berikan pujian atas
keberhasilan klien.
4. Intervensi Berdasarkan SP
Pasien Keluarga
SP 1. SP 1.
1. Mengidentifikasi kebersihan diri, 1. Mengidentifikasi masalah keluarga
berdandan, makan, dan BAB / BAK. dalam merawat pasien dengan
2. Menjelaskan pentingnya kebersihan masalah kebersihan diri, berdandan,
diri. makan, BAB / BAK.
3. Menjelaskan alat dan cara kebersihan 2. Menjelaskan defisit perawatan diri.
diri. 3. Menjelaskan cara merawat kebersihan
4. Memasukan dalam jadwal kegiatan diri, berdandan, makan, BAB / BAK.
pasien. 4. Memainkan peran cara merawat.
5. Rencana tindak lanjut keluarga /
jadwal keluarga untuk merawat
pasien.
SP 2. SP 2.
1. Mengevaluasi kegiatan yang lalu ( SP 1. Mengevaluasi SP 1.
1 ). 2. Latih/simulasi cara untuk merawat
2. Menjelaskan pentingnya berdandan. kebersihan diri dan berdandan
3. Menjelaskan alat dan cara berdandan 3. Latih langsung ke pasien
4. Melatih cara berdandan 4. RTL keluarga
5. Masuk dalam jadwal kegiatan
SP 3. SP 3.
1. Mengevaluasi kegiatan yang lalu ( SP 1. Mengevaluasi kemampuan SP 1,2
1 dan 2 ). 2. Latih langsung ke pasien cara makan,
2. Menjelaskan cara dan alat makan yang BAB/BAK
benar. 3. RTL keluarga / jadwal keluarga untuk
3. Melatih cara makan yang benar merawat pasien.
4. Memasukan dalam jadwal kegiatan
pasien.
SP 4. SP 4.
1. Mengevaluasi kemampuan pasien yang 1. Mengevaluasi kemampuan SP 1,2,3
lalu ( SP 1, 2, dan 3 ). 2. Latih langsung ke pasien
2. Melatih cara BAB dan BAK yang 3. RTL keluarga:
benar. a. Follow Up.
3. Masukan dalam jadwal kegiatan harian b. Rujukan.

5. Implementasi
Implementasi dilakukan berdasarkan intervensi yang telah dibuat.

6. Evaluasi
Evaluasi adalah proses berkelanjutan untuk menilai efek dari
tindakan keperawatan pada klien. Evaluasi dibagi dua yaitu, evaluasi proses
atau formatif yang dilakukan setiap selesai melakukan tindakan, evaluasi
hasil atau sumatif yang dilakukan dengan membandingkan antara respon
klien dan tujuan khsus serta umum yang telah ditentukan Direja, 2011).

Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP sebagai


pola pikir:

S: Respon subyektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah


dilaksanakan. Dapat dilakukan dengan menanyakan langsung kepada klien
tentang tindakan yang telah dilakukan.

O: Respon obyektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah


dilakukan. Dapat diukur dengan mengobservasi perilaku klien pada saat
tindakan dilakukan, atau menanyakan kembali apa yang telah dilaksanakan
atau memberi umpan balik sesuai dengan hasil observasi.

A: Analisis ulang atas data subyektif dan obyektif untuk menyimpulkan


apakah masalah masih tetap atau muncul masaah baru atau ada data kontra
indikasi dengan masalah yang ada, dapat juga membandingkan hasil dengan
tujuan.
P: Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisis pada respon
klien yang terdiri dari tindak lanjut klien dan perawat.

Hasil yang ingin dicapai pada klien dengan defisit perawatan diri yaitu,

1. Klien mampu melakukan perawatan diri secara mandiri


a. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
b. Klien mengetahui pentingnya perawatan diri.
c. Klien mengetahui cara-cara melakukan perawatan diri.
d. Klien dapat melaksanakan perawatan diri dengan bantuan perawat.
e. Klien dapat melaksanakan perawatan secara mandiri.
f. Klien mendapatkan dukungan keluarga untuk meningkatkan
perawatan diri.
DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Keperawatan Jiwa, Dit. Jen Yan. Kes. Dep. Kes R.I. 2010.

Keperawatan Jiwa. Teori dan Tindakan Keperawatan Jiwa

Direja A. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha

Medika.

Fitria, Nita. 2010. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan

dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta :

Salemba Medika

Keliat. Budi Anna. 2006. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa.

Jakarta: EGC.

Tarwoto,Wartonah.2010.Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan.

Jakarta; Salemba Medika


Wilkinson,J.M & Ahem.2012.Buku Saku Diagnosis Keperawatan Diagnosa

NANDA Intervensi NIC Kriteria Hasil NOC Edisi 9.Jakarta;EGC

LAPORAN PENDAHULUAN
PADA KLIEN DENGAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN
OLEH

Anak Agung Istri Siska Noviyanti Dewi


209012447

PROGRAM STUDI PROFESI NERS KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI
DENPASAR
2020
LAPORAN PENDAHULUAN PADA KLIEN DENGAN RESIKO PERILAKU
KEKERASAN

A. Kasus (Masalah Utama)


Resiko Perilaku Kekerasan
B. Proses Terjadinya Masalah
1. Definisi
Menurut Muhith (2015), kekerasan (violence) merupakan suatu bentuk
perilaku agresi (aggressive behavior) yang menyebabkan atau dimaksudkan
untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain, termasuk terhadap
hewan atau benda-benda. Ada perbedaan antara agresi sebagai suatu bentuk
pikiran maupun perasaan dengan agresi sebagai bentuk perilaku. Agresi adalah
suatu respon terhadap kemarahan, kekecewaan, perasaan dendam atau ancaman
yang memancing amarah yang dapat membangkitkan suatu perilaku kekerasan
sebagai suatu cara untuk melawan atau menghukum yang berupa tindakan
menyerang, merusak hingga membunuh. Agresi tidak selalu diekspresikan
berupa tindak kekerasan menyerang orang lain (assault), agresivitas terhadap diri
sendiri (self aggression) serta penyalahgunaan narkoba (drugs abuse) untuk
melupakan persoalan hingga tindakan bunuh diri juga merupakan suatu bentuk
perilaku agresi.
Perilaku kekerasan atau perilaku agresi merupakan suatu bentuk perilaku
yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis.
Berdasarkan definisi ini, maka perilaku kekerasan dapat dibagi dua menjadi
perilaku kekerasan secara verbal dan fisik. Sedangkan marah tidak harus
memiliki tujuan khusus. Marah lebih menunjuk kepada suatu perangkat perasaan
tertentu yang biasanya disebut dengan perasaan marah (Stuart dan Sundeen,
1995). Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap
kecemasan/kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman
(Keliat, 2010).
Perilaku kekerasan adalah salah satu respons marah yang diekspresikan
dengan melakukan ancaman, mencederai orang lain, dan atau merusak
lingkungan. Respons tersebut biasanya muncul akibat adanya stresor. Respons ini
dapat menimbulkan kerugian baik bagi diri sendiri, orang lain, maupun
lingkungan (Keliat,dkk, 2011).

2. Teori Perilaku Agresi


Menurut Muhith (2015) ada beberapa teori mengenai perilaku agresi, yaitu:
a. Instinct theory, mengasumsikan bahwa perilaku agresi merupakan suatu
insting naluriah setiap manusia. Menurut teori tersebut, setiap manusia
memiliki insting kematian (tanatos) yang diekspresikan lewat agresivitas
pada diri sendiri maupun orang lain. Saat ini teori ini telah banyak ditolak.
b. Drive theory, menekankan bahwa dorongan agresivitas manusia dipicu
oleh faktor pencetus eksternal untuk survive dalam mempertahankan
eksistensinya. Menurut teori tersebut, tanpa agresi kita dapat punah atau
dipunahkan orang lain, namun teori ini pun banyak disangkal.
c. Social learning theory, menyatakan bahwa perilaku agresi merupakan hasil
pembelajaran seseorang sejak masa kanak-kanaknya yang kemudian
menjadi pola perilaku (learned behavior). Dalam perkembangan konsep
teori ini mengasumsikan juga bahwa pola respon agresi seseorang
memerlukan stimulus (impuls) berupa kondisi sosial lingkungan (faktor
psikososial) untuk memunculkan perilaku agresi. Namun bentuk stimulus
yang sama tidak selalu memunculkan bentuk perilaku agresi yang sama
pada setiap orang. Dengan kata lain, pola perilakuagresi seseorang
dibentuk oleh faktor pengendalian diri individu tersebut (internal control)
serta berbagai stimulus dari luar (impulses). Saat keseimbangan antara
kemampuan pengendalian diri dan besarnya stimulus terganggu, maka akan
membangkitkan perilaku agresi.
Agresi sendiri dapat dibedakan dalam 3 kategori yaitu:
a. Irritable aggression merupakan tindak kekerasan akibat ekspresi
perasaan marah. Biasanya diinduksi oleh frustasi dan terjadi karena
sirkuit pendek pada proses penerimaan dan memahami informasi
dengan intensitas emosional tinggi (directed against an available
target).
b. Instrumental aggression adalah suatu tindak kekerasan yang dipakai
sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan tertentu (misalnya untuk
mencapai suatu tujuan politik tertentu dilakukan tindak kekerasan yang
dilakukan secara sengaja dan terencana; seperti peristiwa penghancuran
menara kembar WTC di New York, tergolong dalam kekerasan
instrumental).
c. Mass aggression adalah tindakan agresi yang dilakukan oleh massa
akibat kehilangan individualitas dari masing-masing individu. Pada saat
massa berkumpul, selalu terjadi kecenderungan kehilangan
individualitas orang-orang yang membentuk kelompok massa tersebut.
Manakala massa tersebut telah solid, maka bila ada seseorang
memelopori tindak kekerasan, maka secara otomatis semua akan ikut
melakukan kekerasan yang dapat semakin meninggi karena saling
membangkitkan. Pihak yang menginisiasikan tindak kekerasan tersebut
bisa saja melakukan agresi instrumental (sebagai provokator) maupun
agresi permusuhan karena kemarahan tidak terkendali (Keliat, 2010).

3. Rentang Respon Marah


Kemarahan yang ditekan atau pura-pura tidak marah akan mempersulit
diri-sendiri dan mengganggu hubungan interpersonal. Pengungkapan
kemarahan dengan langsung dan konstruktif pada waktu terjadi akan
melegakan individu dan membantu orang lain untuk mengerti perasaan yang
sebenarnya. Oleh karenanya, perawat harus pula mengetahui tentang respon
kemarahan seseorang dan fungsi positif marah. Marah merupakan perasaan
jengkel yang timbul sebagai respon terhadap kecemasan/kebutuhan yang tidak
terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman (Stuart dan Sundeen, 1995).
Secara umum, rentang respon adapatif dan maladaptif merupakan bagian dari
rentang respon sosial, dimana pembagian adalalah sebagai berikut: 
a. Respon adaptif merupakan respon yang masih dapat diterima oleh norma-
norma sosial dan kebudayaan secara umum yang berlaku di masyarakat dan
individu dalam menyelesaikan masalahnya, dengan kata lain respon adaptif
adalah respon atau masalah yang masih dapat di toleransi atau masih dapat
di selesaikan oleh kita sendiri dalam batas yang normal.
b. Respon maladaptif merupakan respon yang diberikan individu dalam
menyelesaikan masalahnya menyimpang dari norma - norma dan
kebudayaan suatu tempat atau dengan kata lain di luar batas individu
tersebut.

Adaptasi Maldaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Amuk


Menurut Stuart& Sundeen (1995) rentang respon marah yaitu:
a. Asertif adalah kemarahan atau rasa tidak setuju yang dinyatakan atau
diungkapkan tanpa menyakiti orang lain akan memberi kelegaan pada
individu dan tidak menimbulkan masalah.
b. Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan karena
tidak reakstis atau hambatan dalam proses pencapaian tujuan.
c. Pasif adalah individu tidak mampu mengungkapkan perasaannya,
pasien tampak pemalu, pendiam sulit diajak bicara karena rendah diri
dan merasa kurang mampu.
d. Agresif adalah perilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan
untuk bertindak dalam bentuk destruktif dan masih terkontrol. Perilaku
yang tampak dapat berupa : muka kusam, bicara kasar, menuntut, kasar
disertai kekerasan.
e. Amuk adalah perasaan marah dan bermusuhan kuat disertai kehilangan
kontrol diri, individu dapat merusak diri sendiri, orang lain dan
lingkungan.

4. Penyebab Risiko Perilaku Kekerasan


Menurut Muhith (2015), penyebab perilaku kekerasan ada dua faktor antara
lain.
a. Faktor Predisposisi
1) Psikologis
Kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang
kemudian dapat timbul agresif, masa kanak-kanak yang tidak
menyenangkan yaitu perasaan ditolak, dihina, dan dianiaya. Sesorang
yang mengalami hambatan dalam mencapai tujuan/keinginan yang
diharapkannya menyebabkan ia menjadi frustasi. Ia merasa terancam
dan cemas. Jika tidak mampu mengendalikan frustasi tersebut maka
dia meluapkannya dengan cara kekerasan.
2) Perilaku
Reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan,
sering mengobservasi kekerasan dirumah atau di luar rumah, semua
aspek ini menstimulasi individu mengadopsi perilaku kekerasan.
3) Sosial budaya
Budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif agresif) dan
kontrol sosial yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan akan
menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan diterima (permisive).
4) Biologis
Ada beberapa penelitian membuktikan bahwa dorngan agresif
mempunyai dasar biologis. Penelitian neurobiologi mendapatkan
bahwa adanya pemberian stimulus elektris ringan pada hipotalamus
(yang berada di tengah sistem limbik) binatang ternyata
menimbulkan perilaku agresif. Perangsangan yang diberikan
terutama pada neukleus periforniks hipotalamus dapat menyebabkan
seekor kucing mengeluarkan cakarnya, mengangkat ekornya,
mendesis, bulunya berdiri, menggeram, matanya terbuka lebar, pupil
berdilatasi, hendak menerkam tikus atau objek yang ada di
sekitarnya. Jadi, terjadi kerusakan fungsi sistem limbik (untuk emosi
dan perilaku), lobus frontal (untuk pemikiran rasional), dan lobus
temporal (untuk interpretasi indera penciuman dan memori).
Neurotransmiter yang sering dikaitkan dengan perilaku agresif:
serotonin, dopamin, norepineprin, asetilkolin, dan asam amino
GABA. Faktor-faktor yang mendukung adalah ; 1) masa kanak-
kanak yang tidak menyenangkan, 2) sering mengalami kegagalan, 3)
kehidupan yang penuh tindakan agresif, dan 4) lingkungan yang tidak
kondusif (bising, padat).
b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat bersumber dari pasien, lingkungan atau
interaksi dengan orang lain. Kondisi pasien seperti kelemahan fisik
(penyakit fisik), keputusasaan, ketidakberdayaan, percaya diri yang
kurang dapat menjadi penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula
dengan situasi lingkungan yang ribut, padat, kritikan yang mengarah pada
penghinaan, kehilangan orang yang dicintai/pekerjaan dan kekerasan
merupakan faktor penyebab yang lain. Interaksi sosial yang provokatif
dan konflik dapat pula memicu perilaku kekerasan.
Hilangnya harga diri juga berpengaruh pada dasarnya manusia itu
mempunyai kebutuhan yang sama untuk dihargai. Jika kebutuhan ini
tidak terpenuhi akibatnya individu tersebut mungkin akan merasa rendah
diri, tidak berani bertindak, lekas tersinggung, lekas marah, dan
sebagainya. Harga diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri
dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri.
Dimana gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif
terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai
keinginan.
Demikian pula dengan situasi lingkungan yang ribut, padat, kritikan
yang mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang dicintai,
pekerjaan dan kekerasan merupakan factor penyebab yang lain. Intraksi
social yang provokatif dan konflik dapat pula memicu tindakan
kekerasan.

5. Proses Terjadinya Perilaku Kekerasan


Agresi seseorang menurut Tomb (2003), mempunyai dasar biologis,
psikososial, dan budaya yang rumit dan tidak menentu. Perilaku kekerasan
berhubungan dengan lesi pada korteks prefrontal (sindrom lobus frontal) dan
stimulasi amigdala dan sistem limbic, dan adanya peningkatakan hormone
andogren dan norepinefrine cairan cerebrospinal dan penurunan serotonin
dalam cairan cerebrospinal (mirip bunuh diri dalam kekerasan) dan GABA
(Gama Amino Butirat Acid). Perilaku kekerasan sukar diprediksi. Setiap
orang dapat bertindak keras tapi ada kelompok tertentu yang memiliki resiko
tinggi: pria berusia 15-25 tahun, atau subgroup dengan budaya kekerasan,
peminum alkohol. Faktor neurotransmiter dari biogenik amin, norepinefrin
dan serotonin merupakan dua neutransmiter yang paling berperan dalam
patofisiologi gangguan mood. Norepinefrin berhubungan yang dinyatakan
oleh penelitian ilmiah dasar antara turunnya regulasi reseptor B-adrenergik
dan respon antidepresan secara klinis memungkinkan indikasi peran sistem
noradrenergik dalam depresi. Bukti-bukti lainnya yang juga melibatkan
presinaptik reseptor adrenergik dalam depresi, sejak reseptor-reseptor tersebut
diaktifkan mengakibatkan penurunan jumlah norepinefrin yang dilepaskan.
Presipnatik reseptor adrenergik juga berlokasi di neuron dilepaskan.
Presipnatik reseptor adrenergik juga berlokasi di neuron serotonergik dan
mengatur jumlah serotonin yang dilepaskan. Dopamin juga sering berhubunga
dengan patofisiologi depresi. Faktor neurokimia lainnya seperti
gammaaminobutyric acid (GABA) dan neuroaktif peptida (vasopressin dan
opiate endogen) telah dilibatkan dalam patofisiologi gangguan mood.
Selain kelompok amin biogenik, ada neurotransmiter lain dari asam
amino. Asam amino dikenal sebagai pembangun blok protein. Dua
neurotransmiter utama dari asam amino ini adalah gamma-aminobutyric acid
(GABA) dan glutamate. GABA adalah asam amino inhibitor (penghambat),
sedang glutamate adalah asam amino eksitator. Kadang cara sederhana untuk
melihat kerja otak adalah dengan melihat keseimbangan dari kedua
neurotransmiter tersebut. Bila oleh karena suatu hal, misalnya subsentivitas
reseptor-reseptor pada membran sel paskasinaptik, neurotransmiter epinefrin,
norepinefrin, serotonin, dopamin menurut kadarnya pada celah sinaptik,
terjadilah sindrom depresi. Demikianlah pula bila terjadi disregulasi
asetilkholin yang menyebabkan menurunya kadar neurotrnasmiter asetilkolin
di celah sinaptil, terjadinya gejala depresi.

6. Tanda dan Gejala Risiko Perilaku Kekerasan


Stuart and Sundeen (1995) mengemukakan bahwa tanda dan gejala
perilaku kekerasan adalah sebagai berikut:
a. Fisik
1) Muka merah dan tegang
2) Mata melotot/ pandangan tajam
3) Tangan mengepal
4) Rahang mengatup
5) Postur tubuh kaku
6) Jalan mondar-mandir
b. Verbal
1) Bicara kasar
2) Suara tinggi, membentak atau berteriak
3) Mengancam secara verbal atau fisik
4) Mengumpat dengan kata-kata kotor
5) Suara keras
c. Perilaku
1) Melempar atau memukul benda/orang lain
2) Menyerang orang lain
3) Melukai diri sendiri/orang lain
4) Merusak lingkungan
5) Amuk/agresif
d. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan
jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,
menyalahkan dan menuntut.
e. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.
f. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain,
menyinggung perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.
g. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
h. Perhatian
Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.

7. Mekanisme Koping
Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme orang lain. Mekanisme
koping klien sehingga dapat membantu klien untuk mengembangkan
mekanisme koping yang konstruktif dalam mengekspresikan marahnya.
Yosep (2011) Mekanisme koping yang umum digunakan adalah mekanisme
pertahanan ego seperti:
a. Displacement
Melepaskan perasaan tertekannya bermusuhan pada objek yang begitu
seperti pada mulanya yang membangkitkan emosi.
b. Proyeksi
Menyalahkan orang lain mengenai keinginan yang tidak baik.
c. Depresi
Menekan perasaan orang lain yang menyakitkan atau konflik ingatan dari
kesadaran yang cenderung memperluas mekanisme ego lainnya.
d. Reaksi formasi
Pembentukan sikap kesadaran dan pola perilaku yang berlawanan dengan
apa yang benar-benar dilakukan orang lain.
8. Penatalaksanaan
a. Terapi Medis
1) Terapi Psikofarmaka
Psikofarmaka adalah terapi menggunakan obat dengan tujuan untuk
mengurangi atau menghilangkan gejala gangguan jiwa. Jenis obat
psikofarmaka adalah:
a) Clorpromazine (CPZ, Largactile)
Indikasi untuk mensupresi gejala-gejala psikosa :agitasi, ansietas,
ketegangan, kebingungan, insomnia, halusinasi, waham, dan
gejala-gejala lain yang biasanya terdapat pada penderita
skizofrenia, mania depresif, gangguan personalitas, psikosa
involution, psikosa masa kecil.
b) Haloperidol (Haldol, Serenace)
Indikasinya yaitu manifestasi dari gangguan psikotik, sindroma
gilles de la toureette pada anak-anak dan dewasa maupun pada
gangguan perilaku berat pada anak-anak. Dosis oral untuk dewasa
1-6 mg sehari yang terbagi 6-15 mg untuk keadaan berat.
Kontraindikasinya depresi sistem saraf pusat atau keadaan koma,
penyakit parkinson, hipersensitif terhadap haloperidol. Efek
samping nya sering mengantuk, kaku, tremor lesu, letih, gelisah.
c) Trihexiphenidyl (TXP, Artane, Tremin)
Indikasi untuk penatalaksanan manifestasi psikosa khususnya
gejala skizofrenia.

b. Terapi Somatik
Terapi somatik adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan tujuan
mengubah perilaku yang maladaptif menjadi perilaku yang adaptif
dengan melakukan tindakan dalam bentuk perlakuan fisik (Riyadi dan
Purwanto, 2009).Beberapa jenis terapi somatik, yaitu:
5) Restrain
Restrain adalah terapi dengan menggunakan alat-alat mekanik atau
manual untuk membatasi mobilitas fisik klien (Riyadi dan Purwanto,
2009).
6) Seklusi
Seklusi adalah bentuk terapi dengan mengurung klien dalam ruangan
khusus (Riyadi dan Purwanto, 2009).
7) Foto therapy atau therapi cahaya
Foto terapi atau sinar adalah terapi somatik pilihan. Terapi ini
diberikan dengan memaparkan klien sinar terang (5-20 kali lebih
terang dari sinar ruangan) (Riyadi dan Purwanto, 2009).
8) ECT (Electro Convulsive Therapy)
ECT adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang granmall secara
artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui elektrode yang
dipasang satu atau dua temples.Therapi kejang listrik diberikan pada
skizofrenia yang tidak mempan denga terapi neuroleptika oral atau
injeksi, dosis terapi kejang listrik 4-5 joule/detik.

c. Tindakan Keperawatan
Penatalaksanaan pada pasien dengan perilaku kekerasanmeliputi
(Videbeck, 2008):
1) Terapi Modalitas
a) Terapi lingkungan
Begitu pentingnya bagi perawat untuk mempertimbangkan
lingkungan bagi semua pasien ketika mencoba mengurangi atau
menghilangkan agresif. Aktivitas atau kelompok yang direncanakan
seperti permainan kartu, menonton dan mendiskusikan sebuah film,
atau diskusi informal memberikan pasien kesempatan untuk
membicarakan peristiwa atau isu ketika pasien tenang. Aktivitas
juga melibatkan pasien dalam proses terapeutik dan meminimalkan
kebosanan.
Penjadwalan interaksi satu-satu dengan pasien menunjukkan
perhatian perawat yang tulus terhadap pasien dan kesiapan untuk
mendengarkan masalah pikiran serta perasaan pasien. Mengetahui
apa yang diharapkan dapat meningkatkan rasa aman pasien
(Videbeck, 2008).
b) Terapi Kelompok
Pada terapi kelompok, pasien berpartisipasi dalam sesi bersama
dalam kelompok individu. Para anggota kelompok bertujuan sama
dan diharapkan memberi kontribusi kepada kelompok untuk
membantu yang lain dan juga mendapat bantuan dari yang lain.
Peraturan kelompok ditetapkan dan harus dipatuhi oleh semua
anggota kelompok. Dengan menjadi anggota kelompok, pasien
dapat mempelajari cara baru memandang masalah atau cara koping
atau menyelesaikan masalah dan juga membantunya mempelajari
keterampilan interpersonal yang penting (Videbeck, 2008).
c) Terapi Keluarga
Terapi keluarga adalah bentuk terapi kelompok yang
mengikutsertakan pasien dan anggota keluarganya. Tujuannya ialah
memahami bagaimana dinamika keluarga memengaruhi
psikopatologi pasien, memobilisasi kekuatan dan sumber fungsional
keluarga, merestrukturisasi gaya perilaku keluarga yang
maladaptive, dan menguatkan perilaku penyelesaian masalah
keluarga (Steinglass dalam Videbeck, 2008).
d) Terapi Individual
Psikoterapi individu adalah metode yang menimbulkan
perubahan pada individu dengan cara mengkaji perasaan, sikap,
cara pikir, dan perilakunya. Terapi ini memiliki hubungan personal
antara ahli terapi danpasien .Tujuan dari terapi individu yaitu
memahami diri dan perilaku mereka sendiri, membuat hubungan
personal, memperbaiki hubungan interpersonal, atau berusaha lepas
dari sakit hati atau ketidakbahagiaan.
Hubungan antara pasien dan ahli terapi terbina melalui tahap
yang sama dengan tahap hubungan perawat-pasien yaitu introduksi,
kerja, dan terminasi. Upaya pengendalian biaya yang ditetapkan
oleh organisasi pemeliharaan kesehatan dan lembaga asuransi lain
mendorong upaya mempercepat pasien ke fase kerja sehingga
memperoleh manfaat maksimal yang mungkin dari terapi
(Videbeck, 2008).
d. Hal-hal yang Dapat dilakukan Apabila Mempunyai Keluarga dengan
Risiko Perilaku Kekerasan
1) Mengadakan kegiatan bermanfaat yang dapat menampung potensi dan
minat bakat anggota keluarga yang mengalami perilaku
kekerasansehingga diharapkan dapat meminimalisir kejadian perilaku
kekerasan.
2) Bekerja sama dengan pihak yang berhubungan dekat dengan pihak-
pihak terkait contohnya badan konseling, RT, atau RW dalam
membantu menyelesaiakan konflik sebelum terjadi tindakan
kekerasan.
3) Mengadakan kontrol khusus dengan perawat /dokter yang dapat
membahas dan melaporkan perkembangan anggota keluarga yang
mengalami risiko pelaku kekerasan terutama dari segi kejiwaan antara
pengajar dengan pihak keluarga terutama orangtua.
e. Peran Keluarga dalam Penanganan Risiko Perilaku Kekerasan
1) Mencegah terjadinya perilaku amuk :
a) Menjalin komunikasi yang harmonis dan efektif antar anggota
keluarga
b) Saling memberi dukungan secara moril apabila ada anggota
keluarga yang berada dalam kesulitan
c) Saling menghargai pendapat dan pola pikir
d) Menjalin keterbukaan
e) Saling memaafkan apabila melakukan kesalahan
f) Menyadari setiap kekurangan diri dan orang lain dan berusaha
memperbaiki kekurangan tersebut
g) Apabila terjadi konflik sebaiknya keluarga memberi kesempatan
pada anggota keluarga untuk mengugkapkan perasaannya untuk
membantu kien dalam menyelesaikan masalah yang konstruktif.
h) Keluarga dapat mengevaluasi sejauh mana keteraturan minum
obat anggota dengan risiko pelaku kekerasan dan mendiskusikan
tentang pentingnya minum obat dalam mempercepat
penyembuhan.
i) Keluarga dapat mengevaluasi jadwal kegiatan harian atas kegiatan
yang telah dilatih di rumah sakit.
j) Keluarga memberi pujian atas keberhasilan pasien untuk
mengendalikan marah.
k) Keluarga memberikan dukungan selama masa pengobatan anggota
keluarga risiko pelaku kekerasan.
l) keluarga menyiapkan lingkungan di rumah agar meminimalisir
kesempatan melakukan perilaku kekerasan
2) Mengontrol Perilaku Kekerasaan dengan mengajarkan pasien :
a) Menarik nafas dalam
b) Memukul-mukul bantal
c) Bila ada sesuatu yang tidak disukai anjurkan pasien mengucapkan
apa yang tidak disukai pasien
d) Melakukan kegiatan keagamaan seperti sembahyang.
e) Mendampingi pasien dalam minum obat secara teratur.
3) Bila pasien dalam Perilaku Kekerasan
Meminta bantuan petugas terkait dan terdekat untuk membantu
membawa pasien ke rumah sakit jiwa terdekat. Sebelum dibawa
usahakan dan utamakan keselamatan diri pasien dan penolong.
C. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Jiwa dengan Risiko Perilaku
Kekerasan
1. Pengkajian
Pengelompokan data pada pengkajian kesehatan jiwa berupa factor
presipitasi, penilaian stressor, suberkoping yang dimiliki klien. Setiap
melakukan pengkajian, tulis tempat klien dirawat dan tanggal dirawat isi
pengkajian meliputi:
a. Identitas klien
Meliputi nama klien, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama,
pekerjaan, pendidikan, tangggal MRS, informan, tangggal pengkajian,
No Rumah klien dan alamat klien.
b. Keluhan utama
Keluhan biasanya berupa menyediri (menghindar dari orang lain)
komunikasi kurang atau tidak ada, berdiam diri dikamar, menolak
interaksi dengan orang lain, tidak melakukan kegiatan sehari – hari,
dependen.
c. Faktor predisposisi
Kehilangan, perpisahan, penolakan orang tua, harapan orang tua yang
tidak realistis, kegagalan / frustasi berulang, tekanan dari kelompok
sebaya; perubahan struktur sosial. Terjadi trauma yang tiba tiba
misalnya harus dioperasi, kecelakaan dicerai suami, putus sekolah,
PHK, perasaan malu karena sesuatu yang terjadi (korban perkosaan,
tituduh kkn, dipenjara tiba – tiba) perlakuan orang lain yang tidak
menghargai klien/ perasaan negatif terhadap diri sendiri yang
berlangsung lama.
d. Pemeriksaan Fisik
1) Rambut: Keadaan kesuburan rambut, keadaan rambut yang mudah
rontok, keadaan rambut yang kusam, keadaan tekstur.
2) Kepala: Adanya botak atau alopesia, ketombe, berkutu, kebersihan.
3) Mata: Periksa kebersihan mata, mata gatal atau mata merah
4) Hidung: Lihat kebersihan hidung, membran mukosa
5) Mulut: Lihat keadaan mukosa mulut, kelembabannya, kebersihan
6) Gigi: Lihat adakah karang gigi, adakah karies, kelengkapan gigi
7) Telinga: Lihat adakah kotoran, adakah lesi, adakah infeksi
8) Kulit: Lihat kebersihan, adakah lesi, warna kulit, teksturnya,
pertumbuhan bulu.
9) Genetalia: Lihat kebersihan, keadaan kulit, keadaan lubang uretra,
keadaan skrotum, testis pada pria, cairan yang dikeluarkan
e. Aspek fisik/biologis
Hasil pengukuran tada vital (TD, Nadi, suhu, Pernapasan, TB, BB) dan
keluhan fisik yang dialami oleh klien.
f. Aspek Psikososial
1) Genogram yang menggambarkan tiga generasi
2) Konsep diri
a) Citra tubuh
Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah
atau tidak menerima perubahan tubuh yang telah terjadi atau
yang akan terjadi. Menolak penjelasan perubahan tubuh,
persepsi negatif tentang tubuh. Preokupasi dengan bagian tubuh
yang hilang, mengungkapkan keputusasaan, mengungkapkan
ketakutan.
b) Identitas diri
Ketidak pastian memandang diri, sukar menetapkan keinginan
dan tidak mampu mengambil keputusan.
c) Peran
Berubah atau berhenti fungsi peran yang disebabkan penyakit,
proses menua, putus sekolah, PHK.
d) Ideal diri
Mengungkapkan keputusasaan karena penyakitnya:
mengungkapkan keinginan yang terlalu tinggi.
e) Harga diri
Perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah terhadap diri
sendiri, gangguan hubungan sosial, merendahkan martabat,
mencederai diri, dan kurang percaya diri.
3) Hubungan social
Peran serta dalam kegiatan kelompok/masyarakat, hambatan dalam
berhubungan dengan orang lain.
4) Spiritual
Nilai dan keyakinan, kegiatan beribadah.
g. Status mental
Kontak mata klien kurang/tidak dapat mepertahankan kontak mata,
kurang dapat memulai pembicaraan, klien suka menyendiri dan kurang
mampu berhubungan dengan orang lain, adanya perasaan keputusasaan
dan kurang berharga dalam hidup.
h. Kebutuhan persiapan pulang
1) Klien mampu menyiapkan dan membersihkan alat makan
2) Klien mampu BAB dan BAK, menggunakan dan membersihkan
WC, membersikan dan merapikan pakaian.
3) Pada observasi mandi dan cara berpakaian klien terlihat rapi
4) Klien dapat melakukan istirahat dan tidur, dapat beraktivitas
didalam dan diluar rumah
5) Klien dapat menjalankan program pengobatan dengan benar.
i. Mekanisme koping
Klien apabila mendapat masalah takut atau tidak mau menceritakannya
pada orang orang lain (lebih sering menggunakan koping menarik diri).
j. Masalah psikososial dan lingkungan
Data dapat melalui wawancara pada klien atau keluarganya. Pada tiap
masalah yang dimilki klien, beri uraian spesifik, singkat dan jelas.
k. Pengetahuan
Data dapat melalui wawancara pada klien atau keluarganya. Pada tiap
item yang dimiliki oleh klien simpulkan dalam masalah.
l. Aspek medik
Terapi yang diterima klien bisa berupa therapy Psikofarmaka, ECT,
Psikomotor, therapy okopasional, TAK, dan rehabilitas.
2. Analisa Data
Data Fokus Masalah Keperawatan
Data Subjetif : Risiko Perilaku Kekerasan
- Pasien mengatakan pernah
melakukan tindak kekerasan
- Pasien mengatakan sering
merasa marah
- Suara keras dan bicara ketus
- Nada suara tinggi

Data Objektif

- Pasien tampak tegang saat


bercerita
- Pembicaraan pasien kasar jika
menceritakan marahnya
- Mata melotot, Pandangan tajam
- Nada suara tinggi
- Tangan mengepal
- Berteriak
- Mudah tersinggung
Data Subjektif Gangguan Persepsi Sensori
- Mendengar suara bisikan atau
melihat bayangan.
- Merasakan sesuatu melalui
indera perabaan, penciuman,
penglihatan, pendengaran.
- Menyatakan kesal.

Data Objektif

- Distorsi sensori.
- Respon tidak sesuai.
- Sikap seolah melihat,
mendengar, mengecap, meraba,
dan mencium sesuatu.
- Menyendiri.
- Melamun.
- Konsentrasi buruk.
- Disorientasi waktu, tempat,
orang, atau situasi.
- Curiga.
- Melihat ke satu arah.
- Mondar-mandir.
- Bicara sendiri.
Data Subjektif Perilaku Kekerasan
- Mengancam
- Mengumpat dengan kata-kata
kasar
- Suara keras
- Bicara ketus

Data Objektif

- Menyerang orang lain


- Melukai diri sendiri atau orang
lain
- Merusak lingkungan
- Perilaku agresif atau amuk
- Mata melotot/pandangan tajam
- Tangan mengepal
- Rahang mengatup
- Wajah memerah
- Postur tubuh kaku

3. Pohon Masalah
Perilaku Kekerasan Effect

Risiko Perilaku Kekerasan Core Problem

Gangguan Persepsi Sensori cause

Daftar Masalah
Menurut Keliat (2014) daftar masalah yang mungkin muncul pada perilaku
kekerasan yaitu :
a. Risiko Perilaku Kekerasan
b. Gangguan persepsi sensori: halusinasi.
c. Perilaku kekerasan

4. Diagnosa Keperawatan
Risiko Perilaku Kekerasan
5. Intervensi

No. Diagnosa Perencanaan


Tgl Intervensi Rasional
Dx Keperawatan Tujuan Kriteria Evaluasi
1 2 3 4 5 6 7
Perilaku 1. Klien dapat 1.1 Klien mau membalas 1. Beri salam /panggil nama klien  Hubungan saling percaya
kekerasan membina salam 2. Sebutkan nama perawat sambil merupakan landasan utama
hubungan 1.2 Klien mau menjabat jabat tangan untuk hubungan selanjutnya
saling percaya tangan 3. Jelaskan maksud hubungan
1.3 Klien mau interaksi
menyebutkan nama 4. Jelaskan tentang kontrak yang
1.4 Klien mau tersenyum akan dibuat
1.5 Klien mau kontak 5. Beri rasa aman dan sikap
mata empati
1.6 Klien mengetahui 6. Lakukan kontak singkat tapi
nama perawat sering
1.7 Menyediakan waktu
untuk kontrak
2. Klien dapat 2.1 Klien dapat 1. Beri kesempatan untuk  Beri kesempatan untuk
mengidentifik mengungkapkan mengungkapkan perasaannya mengungkapkan
asikan perasaanya 2. Bantu klien untuk perasaannya dapat
penyebab 2.2 Klien dapat mengungkapkan jengkel/kesal
perilaku mengungkapkan membantu mengurangi
kekerasan penyebab perasaan stress dan penyebab
jengkel/kesal (dari diri perasaan jengkel/kesal
sendiri, dari dapat diketahui
lingkungan/orang lain)
3. Klien dapat 3.1 Klien dapat 1. Anjurkan klien  Untuk mengetahui hal yang
mengidentifik mengungkapkan mengungkapkan apa yang dialami dan dirasa saat
asikan tanda- perasaan saat dialami saat marah/jengkel jengkel
tanda perilaku marah/jengkel 2. Observasi tanda perilaku  Untuk mengetahui tanda-
kekerasan 3.2 Klien dapat kekerasan pada klien tanda klien jengkel/ kesal
menyimpulkan tanda- 3. Simpulkan bersama klien  Menarik kesimpulan
tanda jengkel/kesal tanda-tanda jengkel/kesal yang bersama klien supaya klien
yang dialami dialami klien mengetahui secara garis
besar tanda-tanda
marah/kesal
4. Klien dapat 4.1 Klien dapat 1. Anjurkan klien untuk  Mengeksplorasi perasaan
mengidentifik mengungkapkan mengungkapkan perilaku klien terhadap perilaku
asi perilaku perilaku kekerasan kekerasan yang biasa kekerasan yang biasa
kekerasan yang biasa dilakukan dilakukan klien dilakukan
yang biasa 4.2 Klien dapat bermain 2. Bantu klien bermain peran  Untuk mengetahui perilaku
dilakukan peran dengan perilaku sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa
kekerasan yang biasa kekerasan yang biasa dilakukan dan dengan
dilakukan dilakukan bantuan perawat bisa
4.3 Klien dapat membedakan perilaku
mengetahui cara yang kontrustif dan destruktif
biasa dapat 3. Bicarakan dengan klien apakah  Dapat membantu klien
menyesuaikan masalah cara yang klien lakukan dapat menemukan cara
atau tidak masalahnya selesai? yang dapat menyelesaikan
masalah
5. Klien dapat Klien dapat menjelaskan 1. Bicarakan akibat / kerugian  Membantu klien untuk
mengidentifik akibat dari cara yang dari cara yang dilakukan menilai perilaku kekerasan
asi akibat digunakan klien klien yang dilakunnya
perilaku  Dengan mengetahui akibat
kekerasan 2. Bersama klien perilaku kekerasan
menyimpulkan cara yang diharapkan klien dapat
digunakan oleh klien merubah perilaku destruktif
yang dilakukannya menjadi
perilaku yang konstruktif
6. Klien dapat 6.1 Klien dapat melakukan 1. Tanyakan pada klien “apakah  Agar klien dapat
mengindentifi cara berespon terhadap ia ingin mempelajari cara mempelajari cara yang lain
kasi cara kemarahan secara baru yang sehat ?” yang konstruktif
kontruktif kontrustif 2. Berikan pujian jika klien  Dengan mengidentifikasi
dalam mengetahui cara lain yang cara yang konstruktif dalam
merespon sehat merespon terhadap
terhadap 3. Diskusikan dengan klien cara kemarahan dapat membantu
kemarahan lain yang sehat klien menemukan cara yang
a. Secara fisik : tarik nafas baik untuk mengurangi
dalam jika sedang kejengkelan sehingga klien
kesal/memukul bantal/kasur tidak stress lagi.
atau olah raga/ pekerjaan  Reinforcement positif dapat
yang memerlukan tenaga. memotivasi klien dalam
b. Secara verbal : katakana meningkatkan harga dirinya
bahwa anda sedang  Berdiskusi dengan klien
kesal/tersinggung/jengkel untuk memilih cara yang
(saya kesal anda berkata lain sesuai dengan
seperti itu ; saya marah kemampuan klien
karena anda tidak memenuhi
keinginan saya)
c. Secara sosial : lakukan dalam
kelompok cara-cara marah
yang sehat ; latihan asentif.
Latihan manajemen perilaku
kekerasan
d. Secara spiritual : anjurkan
klien sembahyang, berdoa/
ibadah lain; meminta pada
Tuhan untuk diberi
kesabaran, mengadu pada
Tuhan kekerasan
/kejengkelan
7. Klien dapat 7.1 Klien dapat 1. Bantu klien memilih cara  Memberi simulasi kepada
mendemonstra mendemonstrasikan yang paling tepat untuk klien klien untuk menilai respon
sikan cara cara mengontrol 2. Bantu klien mengidentifikasi petrilaku kekerasan secara
mengontrol perilaku kekerasan manfaat cara dipilih tepat.
perilaku - Fisik : tarik napas 3. Bantu keluarga klien untuk  Membantu klien dalam
kekerasan dalam, olah raga, menstimulasi cara tersebut membuat keputusan
menyiram tanaman ( roll play) terhadap cara yang telah
- Verbal : 4. Berreinforcement positif atau dipilihnya dengan melihat
mengatakan secara keberhasilan klien manfaatnya.
langsung dengan menstimulasi cara tersebut  Agar klien mengetahui cara
tidak menyakiti 5. Anjurkan klien untuk marah yang kontrustif
- Spiritual : menggunakan cara yang telah  Pujian dapat meningkatkan
sembahyang, dipelajari saat jengkel/marah motifasi harga diri klien
berdoa atau ibadah  Agar klien dapat
lainnya melaksanakan cara yang
telah dipilihnya jika ia
sedang kesal
8. Klien 8.1 Keluarga klien dapat : 1. identifikasi kemampuan  kemampuan keluarga dalam
mendapat - menyebutkan cara keluarga merawat klien dari mengidentifikasi akan
dukungan merawat klien sika apa yang telah dilakukan memungkinkan keluarga
keluarga yang berperilaku keluarga terhadap klien untuk melakukan penilaian
dalam kekerasan selama ini terhadap perilaku kekerasan
mengontrol - mengungkapkan 2. jelaskan peran serta keluarga  meningkatkan pengetahuan
perilaku rasa puas dalam dalam merawat klien keluarga tentang cara
kekerasan merawat klien 3. jelaskan cara-cara merawat merawat klien sehingga
klien keluarga terlibat dalam
- terkai dengan cara perawatan klien
mengontrol perilaku  agar klien dapat merawat
marah secara kontruktif klien dengan perilaku
- sikap tenang, bicara kekerasan
tenang dan jelas  agar keluarga mengetahui
- membantu klien mengenal cara merawat klien melalui
penyebab ia marah demonstrasi yang dilihat
4. bantu keluarga  mengeksplorasi perasaan
mendemontrasikan cara keluarga setelah melakukan
merawat klien demonstrasi
5. bantu keluarga
mengungkapkan perasaannya
setelah melakukan
demontrasi
9. klien dapat 9.1 klien dapat 1. jelaskan jenis-jenis obat yang  Klien dan keluarga dapat
menggunakan menyebutkan obat- diminum klien pada keluarga mengetahui nama-nama
obat-obatan obatan yang diminum 2. diskusikan manfaat minum obat yang diminum oleh
yang diminum serta kegunaannya obat dan kerugian berhenti klien
dan (jenis, waktu dan efek) minum obat tanpa seizing  Klien dan keluarga dapat
kegunaannya 9.2 klien dapat meminum dikter mengetahui kegunaan obat
(jenis, waktu, obat sesuai program 3. jelaskan prisip benar minum yang dikonsumsi klien
dosis dan pengobatan obat (baca nama yang tertera,  Klien dan keluarga
efek) pada botol obat, dosis obat, mengetahui prinsip benar
waktu dan cra minum) agartidak terjadi kesalahan
4. ajarkan klien minta obat dan dalam mengonsumsi obat
minum tepat waktu  Klien dapat memiliki
5. anjurkan klien melaporkan kesadaran pentingnya
pada perawat atau dokter jika minum obat dan bersedia
merasakan efek yang tidak minum obat dengan
menyenangkan kesadaran sendiri
6. beri pujian, jika klien minum  Mengetahui efek samping
obat dengan benar. sedini mungkin sehingga
tindakan dapat dilakukan
sesegera mungkin untuk
menghindari komplikasi
 Reinforcement positif dapat
memotifasi keluarga dan
lien serta dapat
meningkatkan harga diri.
6. Intervensi Berdasarkan SP

Pasien Keluarga
SP 1. SP 1.
1. Mengidentifikasi penyebab, tanda dan 1. Mengidentifikasi masalah yang
gejala serta akibat perilaku kekerasan. dirasakan keluarga dalam merawat pasien.
2. Melatih cara fisik 1 dan 2 : tarik nafas 2. Menjelaskan tentang perilaku
dalam dan memukul bantal kekerasan :
3. Memasukan dalam jadwal harian pasien. a. Penyebab.
b. Akibat.
c. Cara merawat.
3. Melatih cara merawat perilaku kekerasan
4. Latih/ simulasi 2 cara merawat
5. RTL keluarga / jadwal untuk merawat
pasien.
SP 2. SP 2.
1. Mengevaluasi kegiatan yang lalu ( SP 1 ). 1. Mengevaluasi kegiatan yang lalu ( SP
2. Latih patuh obat 1 ).
3. Memasukan dalam jadwal harian pasien. 2. Latih langsung ke pasien
3, RTL keluarga: follow up dan rujukan

SP 3. SP 3.
1. Mengevaluasi kegiatan yang lalu ( SP 1 1. Mengevaluasi SP 1 dan SP 2.
dan SP 2 ). 2. Latih/simulasi 2 cara lain untuk merawat
2. Melatih secara sosial / verbal. 3. Latih langsung ke pasien
3. Memasukan dalam jadwal harian pasien. 4. RTL keluarga / jadwal keluarga untuk
merawat pasien.
SP 4. SP 4.
1. Mengevaluasi kegiatan yang lalu ( SP 1, 2 1. Mengevaluasi SP 1, 2, & 3.
& 3 ). 2. Melatih langsung ke pasien.
2.Melatih secara spiritual. 3. RTL keluarga.
a. Berdoa. a. Follow Up.
b. Sembahyang. b. Rujukan.
3. Memasukan dalam jadwal harian pasien.
7. Implementasi Keperawatan
Implementasi dilakukan berdasarkan intervensi yang telah dibuat.

8. Evaluasi
Evaluasi adalah proses berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan
keperawatan pada klien. Evaluasi dibagi dua yaitu, evaluasi proses atau formatif
yang dilakukan setiap selesai melakukan tindakan, evaluasi hasil atau sumatif yang
dilakukan dengan membandingkan antara respon klien dan tujuan khsus serta umum
yang telah ditentukan (Direja, 2011).
Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP sebagai pola
pikir:
S: Respon subyektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
Dapat dilakukan dengan menanyakan langsung kepada klien tentang tindakan
yang telah dilakukan.
O: Respon obyektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilakukan.
Dapat diukur dengan mengobservasi perilaku klien pada saat tindakan dilakukan,
atau menanyakan kembali apa yang telah dilaksanakan atau memberi umpan balik
sesuai dengan hasil observasi.
A: Analisis ulang atas data subyektif dan obyektif untuk menyimpulkan apakah
masalah masih tetap atau muncul masaah baru atau ada data kontra indikasi
dengan masalah yang ada, dapat juga membandingkan hasil dengan tujuan.
P: Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisis pada respon klien yang
terdiri dari tindak lanjut klien dan perawat.
DAFTAR PUSTAKA

Dermawan, D & Rusdi. 2013. Keperawatan Jiwa: Konsep dan Kerangka Kerja Asuhan
Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Keliat, B. A. 2010. Model Praktek Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta: EGC.
Keliat, Budu Anna. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. EGC, Jakarta

Kusumawati. (2010). Keperawatan Jiwa .Jakarta: Salemba Medika.


Muhith, A. 2015. Pendidikan Keperawatan Jiwa: Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: CV Andi
Offset.
Nurhalimah. 2016. “Modul Bahan Ajar Cetak Keperatawan: Keperawatan Jiwa”. Hlm162-
171. Jakarta: Kemenkes RI.
Riyadi, S. dan Purwanto, T. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Graha Ilmu.
SDKI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik.
Jakarta: DPP PPNI.
Stuart and Sundeen. 1995. Buku Keperawatan (Alih Bahasa) Achir Yani S. Hamid. Edisi 3.
Jakarta: EGC.
Videbeck, Sheila L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Yosep, I. 2007. Keperawatan Jiwa Edisi Revisi. Bandung: PT Refika Aditama.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TN. S
DENGAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN
KEPERAWATAN JIWA

Oleh:
Anak Agung Istri Siska Noviyanti Dewi
209012447

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI
DENPASAR
2020
Kasus :
Seorang laki-laki usia 30 tahun dibawa ke RSJ karena mengamuk, berkata-kata kasar
dan mengancam. Hasil pengkajian, pasien berteriak-teriak, kontak mata tajam, memukul meja
dan sesekali menghembuskan napas panjang. Penampilan pasien juga tampak kotor dan tidak
rapi.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TN. S
DENGAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN
I. PENGKAJIAN
A. IDENTITAS KLIEN
Nama :Tn.S
Tanggal dirawat : 20 Oktober 2020
Umur : 30 tahun
Tanggal pengkajian : 22 Oktober 2020
Alamat : Br. Ubud Kaja
Pendidikan : SMA
Agama : Hindu
Ruangrawat : Nakula
Status : Belum Menikah
Pekerjaan : Wiraswasta
Jeniskelamin : Laki-laki
No RM : 2645777
B. ALASAN MASUK
a. Data Primer
Keluarga mengatakan pasien mengamuk, berkata-kata kasar dan mengancam
b. Data Sekunder
Hasil pengkajian pasien tampak berteriak-teriak, kontak mata pasien tajam,
pasien tampak memukul meja dan sesekali menghembuskan napas panjang,
penampilan pasien tampak kotor dan tidak rapi
C. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG dan FAKTOR PRESIPITAS
Keluarga pasien mengatakan pada awalnya pasien mengamuk di rumah dengan
memukul-mukul meja dan berusaha juga untuk menciderai dan mengancam
adiknya. Saat itu pasien berada di kamar dan kemudian keluar kamar langsung
marah-marah, memukul-mukul meja dan berteriak-teriak dengan kata kasar.
Ayahnya pun menghampiri pasien dan melihat pasien sudah mengamuk dan
hampir melakukan perilaku kekerasan pada adiknya. Saat itu juga pasien langsung
di bawa ke RSJ karena 2 tahun lalu juga sempat terjadi keluhan yang sama dan
dibawa ke RSJ. Pasien saat usia 10 tahun sempat jatuh pada saat bermain bersama
temannya. Saat di RSJ keluarga pasien mengatakan bahwa pasien dibawa ke RSJ
karena marah-marah, mengamuk, memukul-mukul meja, berkata-kata kasar dan
juga mengancam.
D. FAKTOR PREDISPOSISI
1. Pernah mengalami gangguan jiwa di masa lalu?

✘ Ya

Tidak

2. Pengobatan sebelumnya

Berhasil

✘ Kurang berhasil

Tidak berhasil

Jelaskan : Pasien pernah sembuh dan sempat pulang dari RSJ dan ada
perubahan tetapi tidak sepenuhnya.
3. a. Pernah mengalami penyakit fisik (termasuk gangguan tumbuh kembang)

Ya

✘ Tidak

b.Pernah ada riwayat napza

Narkotika

Penyalahgunaan Psikotropika

Zat adaptif : kafein, nikotin, alkohol

Dll

c. Riwayat trauma
Usia Pelaku Korban Saksi

Aniaya fisik

Aniaya seksual

Penolakan

Kekerasan dalam keluarga 28 Pasien Adik Ayah


(Tn. S) pasien pasien

Tindakan criminal
Usaha bunuh diri

4. Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan (peristiwa kegagalan,


kematian, perpisahan)
Tidak ditemukan
Masalah / Diagnosa Keperawatan: Resiko Perilaku Kekerasan

E. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


1. Anggota keluarga yang gangguan jiwa?
Tidak ada
Masalah / Diagnosa Keperawatan: Tidak ditemukan masalah
F. PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal : 22 Oktober 2020
1. Keadaan Umum
Pasien berteriak-teriak, dan kontak mata tajam
2. Tanda vital
TD: 120/80 mmHg
N: 80x/menit
S: 36oC
RR: 12x/menit
3. Ukur
BB: 60kg

Naik

Turun

TB: 165cm
Tidak ada peningkatan maupun penurunan berat badan
4. Keluhan fisik

Nyeri
Ya: PQRST Tidak: tidak ada nyeri

Keluhan lain

✘ Tidak ada keluhan


Masalah / Diagnosa Keperawatan: Tidak ditemukan

G. PENGKAJIAN PSIKOSOSIAL
1. Genogram

Keterangan gambar :
: Laki-laki
: Perempuan

: Meninggal
: Klien
: Tinggal 1 rumah
: Hubungan dekat
Jelaskan:
Dari keterangan Ayah pasien, di keluarga tidak ada yang menderita gangguan
jiwa selain pasien. Pasien 3 bersaudara, 2 laki-laki dan 1 perempuan dan
pasien merupakan anak pertama dan belum menikah. Pasien satu rumah
dengan Ayah, Ibu, dan adik laki-lakinya, untuk adik perempuannya sudah
menikah.
Dalam keluarga, pasien biasa melakukan komunikasi dengan keluarganya
yang lain. Pengambilan keputusan dalam keluarga diambil oleh Ayahnya,
klien di asuh oleh orangtuanya.
Masalah/Diagnosa Keperawatan:
a. Citra tubuh
Pasien mengatakan puas, selalu merasa percaya diri dan menerima seluruh
bentuk dan anggota tubuhnya.
b. Identitas
Pasien tau dan dapat menyebutkan namanya, identitas dirinya dengan baik,
dan pasien mengatakan puas sebagai seorang laki-laki.
c. Peran
Pasien mengatakan puas dengan perannya sebagai seorang anak.
d. Ideal diri
Pasien mengatakan ada harapan untuk sembuh dan berubah menjadi lebih
baik.
e. Hargadiri
Tidak ada hambatan pada harga diri pasien, pasien tidak malu pada saat
diajak bicara atau berkomunikasi.
2. Hubungan sosial
a. Orang yang berarti/ terdekat
Pasien mengatakan sangat dekat dengan Ayah dan Ibunya.
b. Peran serta dalam kegiatan kelompok/masyarakat
Tidak ada
c. Hambatan dalam berhubungan dengan orang lain
Tidak ada hambatan dalam berhubungan dengan orang lain.
3. Spiritual
a. Nilai dan keyakinan
Pasien beragama hindu.
b. Kegiatan ibadah
Pasien mengatakan selalu rutin melakukan persembahyangan.
Masalah /Diagnosa Keperawatan: Tidak ditemukan masalah
H. STATUS MENTAL
1. Penampilan

✘ Tidak Rapi

Penggunaan pakaian tidak sesuai

Cara berpakaian tidak sesuai fungsinya

Jelaskan : Penampilan pasien tampak tidak rapid an kotor


Masalah / Diagnosa Keperawatan: Defisit Perawatan Diri
2. Pembicaraan
□ Cepat
✘ Keras

□ Gagap
□ Apatis
□ Lambat
□ Membisu
□ Tidak mampu memulai pembicaraan
□ Lain-lain….
Jelaskan : pasien berbicara keras sambil berteriak-teriak dan kasar
Masalah / Diagnosa Keperawatan: Resiko Perilaku Kekerasan
3. Aktifitas motorik/ Psikomotor
a. Kelambatan
□ Hipokinesia, hipoaktifitas
□ Katalepsi
□ Sub stupor katatonik
□ Fleksibilitas serea
b. Peningkatan
□ Hiperkinesia, hiperaktifitas □ Command automatism
□Gagap □ Grimace
□ Stereotipi □Otomatisma

✘ Gaduh gelisah katatonik


□ Negativisme
□ Gaduh gelisah katatonik □ Reaksikonversi
□ Mannarism □ Tremor
□ Katapleksi □ Verbigerasi
□ TIK □ Berjalan kaku/rigid
□ Ekhopraxia
□ Kompulsif
Jelaskan : pasien tampak sulit untuk diam, pasien tampak memukul meja, dan
sesekali menghembuskan napas panjang
Masalah / Diagnosa Keperawatan: Resiko Perilaku Kekerasan
4. AfekdanEmosi
Pertanyaan:
a. Bagaimana perasaan anda akhir-akhir ini?
b. Jika tidak ada respon, lanjutkan dengan pertanyaan:
Bagaimana perasaan anda senang apa sedih?
c. Jika pasien tampak sedih, tanyakan : bagaimana sedihnya? Dapatkah anda
menceritakannya?
d. Jika pasien menunjukkan gambaran depresi, lanjutkan dengan pertanyaan :
‐ Bagaimana dengan masa depan mu? Apakah anda benar-benar tidak
punya harapan?
‐ Jika “ya” lanjutkan dengan : bukankah hidup ini berharga?
‐ Lanjutkan dengan pertanyaan : adalah keinginan untuk bunuh diri?
1) Afek
□ Adekuat
□ Tumpul
□ Dangkal/datar
□ Inadekuat

✘ Labil

□ Ambivalensi
Jelaskan : afek pasien masih labil dan tampak gelisah
Masalah / Diagnosa Keperawatan: Resiko Perilaku Kekerasan
2) Emosi
□ Merasa kesepian
□ Apatis

✘ Marah

□ Anhedonia
□ Eforia
□ Cemas (ringan, sedang, berat)
□ Sedih
□ Depresi
□ Keinginan bunuh diri
Jelaskan : pasien tampak marah dengan awalnya pasien mengamuk,
kemudian kontak mata tajam, memukul meja
Masalah / Diagnosa Keperawatan: Resiko Perilaku Kekerasan
5. Interaksi selama wawancara
□ Bermusuhan
□ Tidak kooperatif
□ Mudah tersinggung
□ Kontak mata kurang
□ Defensif
□ Curiga
Masalah / Diagnosa Keperawatan: Tidak ditemukan masalah
6. Persepsi – Sensorik
Pertanyaan pada pasien:
‐ Apakah anda sering mendengar suara saat tidak ada orang atau saat tidak
ada orang yang berbicara?
‐ Atau: Apakah anda mendengar suara orang yang tidak dapat anda lihat?
‐ JikaYa,
‐ Apakah itu benar-benar suara yang datang dari luar kepala anda atau
dalam pikiran anda?
‐ Apa yang dikatakan oleh suara itu?
‐ Berikan contoh apa yang anda dengar hari ini atau kemarin?
Halusinasi
□ Pendengaran □ Histerik
□ Penglihatan □ Hipnogogik
□ Perabaan □ Hipnopompik
□ Pengecapan □ Perintah
□ Penciuman □ Seksual
□ Kinestetik
□ Visceral
Pasien tidak mengalami halusinasi
Ilusi
□ Ada

✘ Tidak ada

Depersonalisasi
□ Ada

✘ Tidak ada

Derealisasi
□ Ada
✘ Tidak ada

Masalah / Diagnosa Keperawatan: Tidak ditemukan masalah


7. Proses Pikir
Pertanyaan :
a. Pernahkah anda percaya bahwa seseorang atau suatu kekuatan di luar anda
memasukan buah pikiran yang bukan milik anda kedalam pikiran anda
atau menyebabkan anda bertindak tidak seperti biasanya?
b. Pernakah and percaya bahwa anda sedang dikirimi pesan khusus melalui
tv, radio atau koran, atau bahwa seseorang yang tidak anda kenal secara
pribadi tertarik pada anda?
c. Pernahkan anda percaya bahwa seseorang sedang membaca pikiran anda
atau bahkan anda bisa membaca atau mendengar apa yang sedang
dipikirkan oleh orang lain?
d. Pernahkan anda percaya bahwa seseorang sedang memata matai anda, atau
seseorang telah berkomplot melawan anda atau menciderai anda?
e. Apakah keluarga atau teman anda pernah menganggap keyakinan anda
aneh atau tidak lazim?

ArusPikir
□ Koheren □ Bicaracepat
□ Inkoheren □ Irrelevansi
□ Sirkumstansial □ Main kata-kata
□ Neologisme □ Blocking
□ Tangensial □ Pengulangan Pembicaraan/perseverasi
□ Logorea □ Afasia
□ Kehilangan asosiasi □ Asosiasibunyi
□ Bicaralambat
□ Flight of idea

Isi Pikir
□ Obsesif □ Pesimisme
□ Ekstasi □ Pikiran magis
□ Fantasi □ Pikiran curiga
□ Alienasi □ Fobia
□ Pikiran bunuh diri □ Waham:
□ Preokupasi □ Agama
□ Pikiran isolasi sosial □ Somatik/hipokondria
□ Ide yang terkait □ Kebesaran
□ Pikiran rendah diri □ Kejar / curiga
□ Sisipikir □ Nihilistik
□ Siarpikir □ Dosa
□ Kontrol pikir
□ Gangguan proses pikir
□ Lain-lain……
Masalah / Diagnosa Keperawatan: Tidak ditemukan masalah
8. Kesadaran
□ Menurun:

✘ Composmentis

□ Spor
□ Apatis / sedasi
□ Subkoma
□ Somnolensia
□ Koma
□ Meninggi
□ Hipnosa
□ Disosiasi
□ Gangguan perhatian
Masalah / Diagnosa Keperawatan: Tidak ditemukan masalah
9. Orientasi
□ Waktu
□ Tempat
□ Orang
Masalah / Diagnosa Keperawatan: Tidak ditemukan masalah
10. Memori

✘ Gangguan daya ingat jangka panjang (> 1 bulan)


□ Gangguan ingat jangka pendek (1 hari – 1 bulan)
□ Gangguan daya ingat saatini (<24 jam)
□ Amnesia
□ Paramnesia
□ Konfabulasi
□ Dejavu
□ Jamaisvu
□ Fause reconnaissance
□ Hiperamnesia
Jelaskan:
Pada saat pengkajian pasien dapat mengingat kenapa bisa diajak ke RSJ,
namanya siapa, darimana asalnya, dan siapa yang mengantar.
Masalah / Diagnosa Keperawatan: Tidak ditemukan masalah
11. Tingkat konsentrasi dan berhitung
□ Mudah beralih
□ Tidak mampu berkonsentrasi
□ Tidak mampu berhitung sederhana
Masalah / Diagnosa Keperawatan: Tidak ditemukan masalah
12. Kemampuan penilaian
□ Gangguan ringan
□ Gangguan bermakna
Masalah / Diagnosa Keperawatan: Tidak ditemukan masalah
13. Daya tilik diri
□ Mengingkari penyakit yang diderita
□ Menyalahkan hal-hal diluar dirinya
Masalah / Diagnosa Keperawatan: Tidak ditemukan masalah
I. KEBUTUHAN PERSIAPAN PULANG
1. Makan

✘ Mandiri

Bantuan minimal

Bantuan total
Jelaskan: Pasien dapat makan dan minum sendiri dengan car yang benar dan
tidak berantakan.
Masalah/DiagnosaKeperawatan : Tidak ditemukan masalah
2. BAB/BAK

✘ Mandiri

Bantuan minimal

Bantuan total

Jelaskan : Pasien dapat BAB/BAK ke kamar mandi tanpa bantuan. .


Masalah/DiagnosaKeperawatan: Tidak ditemukan masalah.
3. Mandi

Mandiri

✘ Bantuan minimal

Bantuan total

Jelaskan : Pasien jarang mau mandi dan malas, sehingga harus dibujuk
oleh perawat agar pasien mau mandi sehingga penampilan pasien sering kotor.
Masalah/DiagnosaKeperawatan: Defisit Perawatan Diri.
4. Sikatgigi

✘ Mandiri

Bantuan minimal

Bantuan total

Jelaskan : Pasien dapat melakukan gosok gigi sendiri.


Masalah/DiagnosaKeperawatan : Tidak ditemukan masalah.
5. Keramas

✘ Mandiri

Bantuan minimal

Bantuan total

Jelaskan : Pasien mampu dan mau keramas tanpa bantuan.


Masalah/DiagnosaKeperawatan : Tidak ditemukan masalah.
6. Berpakaian/Berhias
✘ Mandiri

Bantuan minimal

Bantuan total

Jelaskan : Pasien mampu berpakain tanpa dibantu tetapi pasien sering


menggunakan pakaian sembarangan dan tidak terlalu perduli dengan pakaian
yang digunakan sehingga menyebabkan penapilan pasien tidak rapi.
Masalah/DiagnosaKeperawatan:Defisit Perawatan Diri.
7. IstirahatdanTidur

✘ Tidur Siang, Lama :


Dari pukul 13.00 s/d pukul 13.30 siang

✘ Tidur Malam, Lamanya :


Pasien mulai tidur pukul 22.00 s/d pukul
07.00 pagi
Aktifitas sebelum/sesudah
tidur : s/d
Jelaska :
Masalah/DiagnosaKeperawatan : Tidak ditemukan masalah
8. PenggunaanObat

✘ Bantuan minimal

Bantuan total

Jelaskan :
Bantuan obat minimal untuk membantu pasien mengontrol dorongan
melakukan kekerasan atau perasaan marah dan amukan pasien.
Masalah/DiagnosaKeperawatan : Tidak ditemukan masalah.
9. PemeliharaanKesehatan
Ya Tidak


PerawatanLanjutan

Sisitem pendukung

Terapis

Teman sejawat
Kelompok social
Jelaskan : Agar tercapainya pengobatan yang berhasil.
Masalah/Diagnosa Keperawatan : Tidak ditemukan masalah.
10. Aktifitas dalam rumah
Ya Tidak


Mempersiapkan makanan


Menjaga kerapihan rumah


Mencuci pakaian


Pengaturan keuangan
Jelaskan :
Masalah/Diagnosa Keperawatan : Tidak ditemukan masalah.
11. Aktifitas diluar rumah
Ya Tidak


Belanja


Transportasi


Lain-lain
Jelaskan :
Masalah/Diagnosa Keperawatan : Tidak ditemukan masalah.

J. MEKANISME KOPING
Adaptif Maladaptif

✘ Bicara dengan orang lain Minum alkohol

Mampu menyelesaikan masalah ✘ Reaksi lambat/berlebihan

Bekerja berlebihan
✘ Teknik relaksasi

Aktifitas Konstruktif Menghindar

✘ Menciderai diri
✘ Olah raga Lain-lain

Lain-lain

Jelaskan Sesuai data focus: perilaku adaptif pasien biasanya dapat bicara dengan
orang lain, dan sering menggunakan teknik relaksasi dan juga olahraga. Perilaku
maladaptif pasien biasanya bereaksi berlebihan seperti mengancam, berbicara
teriak-teriak, memukul meja, mengamuk serta menciderai diri.
Masalah/Diagnosa Keperawatan : Resiko Perilaku Kekerasan.

K. MASALAH PSIKOSOSIAL DAN LINGKUNGAN

Masalah dengan lingkungan kelompok, spesifiknya

Masalah berhubungan dengan lingkungan, spesifiknya

Masalah dengan pendidikan, spesifiknya

Masalah dengan pekerjaan, spesifiknya

Masalah dengan perumahan, spesifiknya

Masalah dengan ekonomi, spesifiknya

Masalah dengan pelayanan kesehatan, spesifiknya

Masalah lainnya, spesifiknya

Masalah/Diagnosa Keperawatan : Tidak ditemukan masalah.

L. ASPEK PENGETAHUAN
Apakah klien mempunyai masalah yang berkaitan dengan pengetahuan yang
kurang tentang suatu hal?

Penyakit/gangguan jiwa

Sistem pendukung
Faktor presipitasi

Mekanisme koping

Penyakit fisik

Obat-obatan

Lain-lain

Jelaskan :
Masalah/DiagnosaKeperawatan : Tidak ditemukan masalah.

M. ASPEK MEDIS
Diagnosis medic : -
Terapi medik :-

II. ANALISA DATA


No DATA MASALAH/
DIAGNOSA
KEPERAWATAN

1. DS: Resiko Perilaku


Keluarga mengatakan pasien mengamuk, berkata- Kekerasan
kata kasar dan mengancam
DO:

Pasien tampak berteriak-teriak, kontak mata tajam,


memukul meja dan sesekali menghembuskan napas
panjang, penampilan pasien kotor dan tidak rapi,
pembicaraan keras, emosi marah

2. DS: Defisit Perawatan Diri


Pasien mengatakan bisa makan, BAB/BAK,
berpakaian, gosok gigi, keramas secara mandiri,
tetapi untuk mandi pasien mengatakan terkadang
malas mandi dan harus dibujuk olehperawat,
berpakaian dan berhias pasien tidak peduli dengan
apa yang pasien gunakan dan menggunakannya
dengan sembarangan.
DO:
Penapilan pasien tampak kotor dan tidak rapi.

III. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Resiko Perilaku Kekerasan
Defisit Perawatan Diri
IV. POHON MASALAH
Perilaku Kekerasan Effect

Risiko Perilaku Kekerasan Core Problem

Gangguan Persepsi Sensori Cause


V. INTERVENSI
Inisial Klien : Tn. S
Ruangan : Nakula
No. RM : 2645777
Diagnosa INTERVENSI KEPERAWATAN Rasional

Tujuan Kriteria Evaluasi Tindakan Keperawatan

Resiko TUM : Setelah diberikan tindakan 7. Beri salam /panggil nama klien Hubungan saling
perilaku Klien tidak melakukan keperawatan … x … menit 8. Sebutkan nama perawat sambil percaya merupakan
kekerasan tindakan kekerasan diharapkan: jabat tangan landasan utama untuk
9.3 Klien mau membalas salam 9. Jelaskan maksud hubungan hubungan selanjutnya.
TUK 1 : 9.4 Klien mau menjabat tangan interaksi
Klien dapat membina 9.5 Klien mau menyebutkan 10. Jelaskan tentang kontrak
hubungan saling nama yang akan dibuat
percaya 9.6 Klien mau tersenyum 11. Beri rasa aman dan sikap
9.7 Klien mau kontak mata empati
9.8 Klien mengetahui nama 12. Lakukan kontak singkat tapi
perawat sering
9.9 Menyediakan waktu untuk
kontrak
TUK 2 : Setelah diberikan tindakan 3. Beri kesempatan untuk Beri kesempatan untuk
Klien dapat keperawatan … x … menit mengungkapkan perasaannya mengungkapkan
mengidentifikasikan diharapkan: 4. Bantu klien untuk perasaannya dapat
penyebab perilaku mengungkapkan jengkel/kesal membantu mengurangi
1. Klien dapat
kekerasan stress dan penyebab
mengungkapkan
perasaan jengkel/kesal
perasaanya.
dapat diketahui.
2. Klien dapat
mengungkapkan penyebab
perasaan jengkel/kesal
(dari diri sendiri, dari
lingkungan/orang lain).
TUK 3 : Setelah diberikan tindakan 4. Anjurkan klien mengungkapkan 1. Untuk mengetahui
Klien dapat keperawatan … x … menit apa yang dialami saat hal yang dialami
mengidentifikasikan diharapkan: marah/jengkel dan dirasa saat
tanda-tanda perilaku 5. Observasi tanda perilaku jengkel
1. Klien dapat
kekerasan kekerasan pada klien 2. Untuk mengetahui
mengungkapkan perasaan
Simpulkan bersama klien tanda- tanda-tanda klien
saat marah/jengkel
tanda jengkel/kesal yang dialami jengkel/ kesal
2. Klien dapat
klien 3. Menarik
menyimpulkan tanda-
kesimpulan
tanda jengkel/kesal yang
bersama klien
dialami
supaya klien
mengetahui secara
garis besar tanda-
tanda marah/kesal.
TUK 4 : Setelah diberikan tindakan 4. Anjurkan klien untuk 1. Mengeksplorasi
Klien dapat keperawatan … x … menit mengungkapkan perilaku perasaan klien
mengidentifikasi diharapkan : kekerasan yang biasa dilakukan terhadap perilaku
perilaku kekerasan yang 1. Klien dapat klien kekerasan yang
biasa dilakukan mengungkapkan perilaku 5. Bantu klien bermain peran sesuai biasa dilakukan
kekerasan yang biasa dengan perilaku kekerasan yang 2. Untuk mengetahui
dilakukan biasa dilakukan perilaku kekerasan
2. Klien dapat bermain peran Bicarakan dengan klien apakah yang biasa
dengan perilaku kekerasan cara yang klien lakukan dilakukan dan
yang biasa dilakukan masalahnya selesai? dengan bantuan
3. Klien dapat mengetahui perawat bisa
cara yang biasa dapat membedakan
menyesuaikan masalah atau perilaku kontrustif
tidak dan destruktif
3. Dapat membantu
klien dapat
menemukan cara
yang dapat
menyelesaikan
masalah
TUK 5 : Setelah diberikan tindakan 3. Bicarakan akibat / kerugian 1. Membantu klien
Klien dapat keperawatan … x … menit dari cara yang dilakukan klien untuk menilai
mengidentifikasi akibat diharapkan klien dapat 4. Bersama klien menyimpulkan perilaku kekerasan
menjelaskan akibat dari cara yang
perilaku kekerasan cara yang digunakan oleh klien yang dilakunnya
digunakan klien
2. Dengan mengetahui
akibat perilaku
kekerasan
diharapkan klien
dapat merubah
perilaku destruktif
yang dilakukannya
menjadi perilaku
yang konstruktif
TUK 6 : Setelah diberikan tindakan 4. Tanyakan pada klien “apakah 1. Agar klien dapat
Klien dapat keperawatan … x … menit ia ingin mempelajari cara baru mempelajari cara
mengindentifikasi cara diharapkan klieN dapat yang sehat ?” yang lain yang
kontruktif dalam melakukan cara berespon 5. Berikan pujian jika klien konstruktif
merespon terhadap terhadap kemarahan secara mengetahui cara lain yang 2. Dengan
kemarahan kontrustif sehat mengidentifikasi
6. Diskusikan dengan klien cara cara yang
lain yang sehat konstruktif dalam
e. Secara fisik : tarik nafas dalam merespon terhadap
jika sedang kesal/memukul kemarahan dapat
bantal/kasur atau olah raga/ membantu klien
pekerjaan yang memerlukan menemukan cara
tenaga. yang baik untuk
f. Secara verbal : katakana bahwa mengurangi
anda sedang kejengkelan
kesal/tersinggung/jengkel (saya sehingga klien
kesal anda berkata seperti itu ; tidak stress lagi.
saya marah karena anda tidak 3. Reinforcement
memenuhi keinginan saya) positif dapat
g. Secara sosial : lakukan dalam memotivasi klien
kelompok cara-cara marah dalam
yang sehat ; latihan asentif. meningkatkan
Latihan manajemen perilaku harga dirinya
kekerasan 4. Berdiskusi dengan
Secara spiritual : anjurkan klien untuk
klien sembahyang, berdoa/ memilih cara yang
ibadah lain; meminta pada lain sesuai dengan
Tuhan untuk diberi kesabaran, kemampuan klien/
mengadu pada Tuhan
kekerasan /kejengkelan
TUK 7 : Setelah diberikan tindakan 6. Bantu klien memilih cara yang 1. Memberi simulasi
Klien dapat keperawatan … x … menit paling tepat untuk klien kepada klien untuk
mendemonstrasikan diharapkan klien dapat 7. Bantu klien mengidentifikasi menilai respon
cara mengontrol mendemonstrasikan cara manfaat cara dipilih petrilaku kekerasan
perilaku kekerasan mengontrol perilaku kekerasan 8. Bantu keluarga klien untuk secara tepat.
- Fisik : tarik napas menstimulasi cara tersebut 2. Membantu klien
dalam, olah raga, ( roll play) dalam membuat
menyiram tanaman 9. Berreinforcement positif atau keputusan terhadap
- Verbal : mengatakan keberhasilan klien cara yang telah
secara langsung dengan menstimulasi cara tersebut dipilihnya dengan
tidak menyakiti Anjurkan klien untuk melihat manfaatnya.
- Spiritual : sembahyang, menggunakan cara yang telah 3. Agar klien
berdoa atau ibadah dipelajari saat jengkel/marah mengetahui cara
lainnya marah yang
kontrustif
4. Pujian dapat
meningkatkan
motifasi harga diri
klien
Agar klien dapat
melaksanakan cara
yang telah
dipilihnya jika ia
sedang kesal

TUK 8 : Setelah diberikan tindakan 6. identifikasi kemampuan 1. kemampuan


Klien mendapat keperawatan … x … menit keluarga merawat klien dari keluarga dalam
dukungan keluarga diharapkan Keluarga klien sika apa yang telah dilakukan mengidentifikasi
dalam mengontrol dapat : keluarga terhadap klien selama akan
perilaku kekerasan - menyebutkan cara ini memungkinkan
merawat klien yang 7. jelaskan peran serta keluarga keluarga untuk
berperilaku kekerasan dalam merawat klien melakukan
- mengungkapkan rasa 8. jelaskan cara-cara merawat penilaian terhadap
puas dalam merawat klien perilaku kekerasan
klien - terkai dengan cara 2. meningkatkan
mengontrol perilaku marah pengetahuan
secara kontruktif keluarga tentang
- sikap tenang, bicara tenang cara merawat klien
dan jelas sehingga keluarga
- membantu klien mengenal terlibat dalam
penyebab ia marah perawatan klien
9. bantu keluarga 3. agar klien dapat
mendemontrasikan cara merawat klien
merawat klien dengan perilaku
10. bantu keluarga kekerasan
mengungkapkan perasaannya 4. agar keluarga
setelah melakukan demontrasi mengetahui cara
merawat klien
melalui demonstrasi
yang dilihat
5. mengeksplorasi
perasaan keluarga
setelah melakukan
demonstrasi
TUK 9 : Setelah diberikan tindakan 7. jelaskan jenis-jenis obat yang 1. Klien dan keluarga
klien dapat keperawatan … x … menit diminum klien pada keluarga dapat mengetahui
menggunakan obat- diharapkan : 8. diskusikan manfaat minum nama-nama obat
obatan yang diminum obat dan kerugian berhenti yang diminum oleh
1. Klien klien dapat
dan kegunaannya (jenis, minum obat tanpa seizing klien
menyebutkan obat-obatan
waktu, dosis dan efek) dikter 2. Klien dan keluarga
yang diminum serta
9. jelaskan prisip benar minum dapat mengetahui
kegunaannya (jenis, waktu
obat (baca nama yang tertera, kegunaan obat yang
dan efek)
pada botol obat, dosis obat, dikonsumsi klien
2. Klien dapat meminum
waktu dan cra minum) 3. Klien dan keluarga
obat sesuai program
10. ajarkan klien minta obat dan mengetahui prinsip
pengobatan
minum tepat waktu benar agartidak
11. anjurkan klien melaporkan terjadi kesalahan
pada perawat atau dokter jika dalam
merasakan efek yang tidak mengonsumsi obat
menyenangkan 4. Klien dapat
12. beri pujian, jika klien minum memiliki kesadaran
obat dengan benar. pentingnya minum
obat dan bersedia
minum obat dengan
kesadaran sendiri
5. Mengetahui efek
samping sedini
mungkin sehingga
tindakan dapat
dilakukan sesegera
mungkin untuk
menghindari
komplikasi
6. Reinforcement
positif dapat
memotifasi
keluarga dan lien
serta dapat
meningkatkan harga
diri.
VI. IMPLEMENTASI (SP 1 RPK)
Nama :Tn. S
No. RM : 2645777
Ruangan : Nakula

STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN


SETIAP HARI
A. Proses Keperawatan
1. Kondisi klien
a. Data Subjektif
- Keluarga pasien mengatakan pasien sering mengamuk, berkata kasar
dan suka mengancam.
b. Data Objektif
- Pasien tampak berteriak-teriak, kontak mata pasiem tajam
- Pasien tampak memukul meja, sesekali tampak menghembuskan
napas panjang
- Penampilan pasien tampak kotor dan tidak rapi, nada bicara pasien
keras, tampak emosi marah pada pasien.
2. Diagnose Keperawatan
Risiko Perilaku Kekerasan
3. Tujuan Umum
Klien tidak melakukan tindakan kekerasan
4. Tujuan Khusus
- Klien dapat membina hubungan saling percaya
- Klien dapat mengidentifikasi penyebab, tanda dan gejala, dan akibat
perilaku kekerasan
- Klien dapat mengontrol perilaku kekerasan dengan latihan fisik 1 dan 2
(nafas dalam dan memukul bantal)
5. Tindakan Keperawatan
- Bina hubungan saling percaya
- Bantu klien mengungkapkan penyebab perasaan marahnya, tanda dan
gejala, serta akibat dari RPK
- Diskusikan bersama klien cara mengontrol perilaku kekerasan secara fisik
dengan latih tarik nafas dalam dan memukul bantal
B. Proses Pelaksanaan Tindakan
Orientasi:
1. Salam Terapeutik
“selamat pagi bapak. Perkenalkan nama saya Purnamaningsih. Saya biasa
dipanggil perawat Cincin. Hari ini saya dinas pagi dari pukul 08.00-14.00.
saya yang akan merawat bapak. Kalau boleh tau nama bapak siapa? Dan
bapak senang dipanggil apa? Baiklah mulai sekarang saya akan panggil bapak
D saja ya”.
2. Kontrak
Topik
Baik bapak, tadi kita kan sudah berkenalan, kedatangan saya kemari untuk
merawat bapak, kalau begitu bagaimana jika sekarang kita berbincang-bincang
bapak ya mengenai hal yang membuat bapak sering marah dan cara
mengontrolnya”.
Waktu
“nanti kita berbincang-bincangnya tidak lama kok bapak, hanya 15 menit
saja”.
Tempat
“bapak senangnya kita berbicara dimana? Di kamar, di teras atau di taman?
Bagaimana kalau di taman saja ya bapak. Baiklah bapak, kita akan mengobrol
di taman ya”.
Kerja:
“Bapak ayo sekarang kita mengobrol. Bagaimana keadaan bapak?
“Bapak untuk perilaku kekerasannya apakah bapak tau penyebab timbulnya
perilaku kekerasan?”
“Apakah bapak tau apa tanda dan gejala dari perilaku kekerasan?”
“Apakah bapak tau akibat dari perilaku kekerasa tersebut?”
“Kalau begitu sekarang kita akan belajar cara untuk mengontrol perilaku
kekerasan bapak dengan cara melatih cara fisik 1 dan 2 yaitu dengan tarik
nafas dalam atau relaksasi dan memukul bantal atau tempat tidur. Nah untuk
yang pertama kita akan belajar latihan fisik 1. Jika rasa marah, kesal dan
jengkel bapak datang bapak dapat menggunakan cara latihan fisik 1 yaitu
menarik nafas dalam. Nanti jika rasa marah, kesal dan jengkel bapak datang,
bapak tarik nafas dalam melalui hidung lalu tahan sebentar dan keluarkan
lewat mulut. Baik ayao sekarang kita coba bersama-sama bapak tarik nafas
dalam lewat hidung tahan lalu keluarkan lewat mulut”.
“Wwaaahhh bapak hebat sekali bisa meniru dengan baik”.
“Nah sekarang kita lanjutkan belajar cara mengonrol perilaku kekerasan
dengan melatih cara fisik 2 yaitu memukul bantal/ tempat tidur. Nanti jika rasa
marah, kesal dan jengkel bapak datang, bapak cukup genggam tangan bapak
dan pukul bantal atau kasur untuk melampiaskan ke marahan bapak. Nahh
sekarang mari kita coba bersama bapak, genggam tangannya dan pukul
bantalnya”.
“Waaahhh bapak hebat sekali bisa meniru latihan fisik 1 dan 2 dengan sangat
baik. Untuk kegiatan tadi mari kita masukan ke jadwal kegiatan harian ya
bapak”.
Terminasi:
1. Evaluasi respon klien terhadap tindakan keperawatan
Evaluasi klien (Subjektif)
- “Bagaimana perasaan bapak setelah berbincang-bincang dengan saya
dan belajar cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara latihan
fisik 1 dan 2?”
Evaluasi perawat (Objektif setelah reinforcement)
- “Coba sekarang bapak sebutkan hal apa yang membuat bapak marah,
lalu apa yang bapak rasakan saat itu? , lalu cara apakah yang bapak
lakukan untuk mengontrol perilaku kekerasan yang sudah kita pelajari
tadi”.
- “Waaahhh bagus sekali bapak sudah bisa melakukannya dengan baik”.
2. Tindak lanjut klien (apa yang perlu dilatih oleh klien sesuai hasil tindakan
yang telah dilakukan)
“Kegiatan ini sudah saya masukan ke jadwal kegiatan harian ya bapak”.
“Bapak nanti jika rasa marah. Kesal dan jengkel bapak datang lagi, bapak
lakukanlah cara latihan fisik 1 tarik nafas dalam dan latihan fisik 2 memukul
bantal atau kasur yang tadi saya ajarkan untuk membantu mengontrol rasa
marah bapak.”
“Baik bapak karena waktunya sudah habis sesuai dengan perjanjian tadi dan
bapak sudah dapat melakukan teknik dengan baik, bapak hebat sekali.”
3. Kontrak topik yang akan datang:
Topik:
“Nah bapak, karena tadi saya sudah mengajarkan bapak cara mengontrol rasa
marah bapak dengam cara latihan fisik, besok saya akan mengajarkan bapak
cara mengontrol perilaku kekerasan atau rasa marah bapak dengan meminum
obat yang benar.”

Waktu:
“Untuk waktunya besok karena saya dinas pagi, saya akan mengajarkan bapak
cara mengontrol perilaku kekerasan atau rasa marah bapak dengan meminum
obat yang benar jam 08.00 pagi ya bapak, waktunya 15 menit saja.”

Tempat:
“Untuk tempat latihannya bapak mau diamana? Di ruangan atau di taman
bapak?”
“baik bapak besok kita latihan di taman lagi ya. Kalau begitu saya permisi
dulu selamat pagi selamat beristirahat.”

Anda mungkin juga menyukai