Bahan Bacaan 3 Supervisi Guru Dan Tendik
Bahan Bacaan 3 Supervisi Guru Dan Tendik
SUPERVISI
GURU DAN TENDIK
C. SUPERVISI GURU DAN TENDIK
1. Supervisi Guru
Supervisi kepala sekolah kepada guru dan tenaga kependidikan untuk meningkatkan
kualitas pendidikan secara berkelanjutan di sekolah. Dengan melaksanakan supervisi
secara terprogram dan berkesinambungan akan tercapai layanan proses pembelajaran
bermutu. Pembelajaran yang dipimpin oleh guru yang berkualitas dan didukung oleh
tenaga pendidikan yang baik akan meningkatkan prestasi peserta didik. Guru yang
berkualitas mampu melaksanakan tugas, fungsi, dan peran penting dalam membentuk
generasi bangsa yang mumpuni. Profesi guru perlu dikembangkan secara terus menerus
dan proporsional menurut jabatan fungsional guru melalui Pengembangan Keprofesian
Berkelanjutan (PKB). Agar fungsi dan tugas yang melekat pada jabatan fungsional guru
dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku, maka diperlukan Penilaian Kinerja Guru
(PK Guru) yang menjamin terjadinya proses pembelajaran yang berkualitas di semua
jenjang pendidikan.
Kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran harus memastikan bahwa semua guru
dan tenaga kependidikan mendapat pelayanan supervisi. Setiap guru dan tenaga
kependidikan harus mendapatkan layanan yang sama tanpa membedakan suku, agama,
ras, golongan, jenis kelamin, status sosial ekonomi, dan yang berkebutuhan khusus.
Layanan yang sama tanpa diskriminasi juga harus diberikan kepada para peserta didik
dalam proses pembelajaran dengan memperhatikan undang- undang perlindungan anak.
Undang-undang perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak
agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan
harkat, martabat, kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia,
sejahtera, bahagia, dan bermakna (student wellbeing).
Kepala sekolah akan mampu mewujudkan anak bangsa yang wellbeing harus mampu
melaksanakan tugas pokok dan fungsinya secara optimal. Salah satu tugas kepala
sekolah yaitu supervisi guru dan tenaga kependidikan. Berikut rincian Ekuivalensi Beban
Kerja Kepala Sekolah yang berkaitan dengan tugas supervise guru dan tendik.
Tabel Beban Kerja Kepala Sekolah (Tugas Supervisi Guru dan Tendik)
1. Supervisi Guru
4) Pelaksanaan PK Guru
Pelaksanaan PK Guru terdiri atas 4 (empat) tahapan yaitu persiapan,
pengumpulan fakta dan data, penilaian, dan pelaporan.
a) Persiapan
Tahap persiapan meliputi:
(1) Mempersiapkan dan menetapkan Penilai
(2) Pengenalan Instrumen dan Mekanisme PK Guru,
(3) Perencanaan PK Guru Tahunan
b) Pengumpulan fakta dan data
Pengumpulan fakta dan data untuk PK Guru dapat dilakukan melalui
beberapa cara, yaitu:
(1) Pemantauan Pelaksanaan PK Guru
(2) Pengamatan Pelaksanaan PK Guru
Pengamatan pelaksanaan PK Guru dapat dilakukan melalui tiga cara,
yaitu:
(a) Pengamatan sebelum pelaksanaan PK Guru
(b) Pengamatan selama pelaksanaan PK Guru
(c) Pengamatan setelah pelaksanaan PK Guru
c) Penilaian
Penilaian PK Guru merupakan proses pengukuran terhadap hasil
pelaksanaan PK Guru yang telah dilaksanakan. Penilaian PK Guru
dilaksanakan melalui beberapa tahapan, yaitu:
(1) Mengklasifikasikan fakta dan data sesuai indikator kompetensi;
(2) Membandingkan catatan fakta dan data;
(3) Memberikan skor dan nilai; dan
(4) Meminta persetujuan hasil PK Guru kepada guru yang dinilai.
Keterangan:
Nilai kinerja guru diperoleh dari butir-butir indikator dari setiap kompetensi yang ada di
dalam instrumen. Nilai total maksimal untuk guru kelas dan guru mata pelajaran adalah
56, sedangkan nilai total untuk pembimbing (guru BK) adalah 68.
Nilai total ini selanjutnya dikonversikan ke dalam skala nilai sesuai Peraturan
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No.16
Tahun 2009. Konversi ini dilakukan dengan menggunakan rumus digambarkan
pada gambar 3, sebagai berikut.
Nilai kinerja guru diperoleh dari butir-butir indikator dari setiap kompetensi yang
ada di dalam instrumen. Nilai total maksimal untuk guru kelas dan guru mata
pelajaran adalah 56, sedangkan nilai total untuk pembimbing (guru BK) adalah
68.
Nilai total ini selanjutnya dikonversikan ke dalam skala nilai sesuai Peraturan
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
No.16 Tahun 2009. Konversi ini dilakukan dengan menggunakan rumus
digambarkan sebagai berikut.
Nilai PKG
Nilai PKG (skala 100) = ´ 100
Nilai PKG Tertinggi
Keterangan:
1) Nilai PKG (skala 100) maksudnya nilai PK Guru Kelas/Mata Pelajaran,
Bimbingan dan Konseling/Konselor atau tugas tambahan yang relevan
dengan fungsi sekolah/madrasah dalam skala 0 - 100 menurut Peraturan
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
Nomor 16 Tahun 2009.
2) Nilai PKG adalah nilai PK GURU Kelas/Mata Pelajaran, Bimbingan dan
Konseling/Konselor atau pelaksanaan tugas tambahan yang relevan
dengan fungsi sekolah/madrasah yang diperoleh dalam proses PK Guru
sebelum diubah dalam skala 0 – 100 menurut Peraturan Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16
Tahun 2009.
Berdasarkan hasil konversi nilai PK Guru ke dalam skala nilai sesuai dengan Permeneg
PAN dan RB Nomor 16 tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka
Kreditnya, selanjutnya dapat ditetapkan sebutan dan persentase angka kreditnya
sebagaimana tercantum dalam Tabel 2.
Tabel 2. Konversi Nilai Kinerja Hasil PK Guru ke persentase Angka Kredit
Selanjutnya prosentase sesuai dengan sebutan tersebut dikonversi angka kredit ini
sesuai dengan kebutuhan kenaikan pangkat. Rumus konversi nilai kinerja angka kredit
adalah sebagai berikut:
Catatan:
1) AKK adalah angka kredit kumulatif minimal yang dipersyaratkan untuk kenaikan
pangkat.
2) AKPKB adalah angka kredit PKB yang diwajibkan (subunsur pengembangan diri,
karya ilmiah, dan/atau karya inovatif).
3) AKP adalah angka kredit unsur penunjang sesuain ketentuan PermenegPAN dan
RB Nomor 16 Tahun 2009.
4) JM adalah jumlah jam mengajar (tatap muka) guru di sekolah/madrasah atau
jumlah konseli yang dibimbing oleh guru BK/Konselor per tahun.
5) JWM adalah jumlah jam wajib mengajar (24 – 40 jam tatap muka per minggu) bagi
guru pembelajaran atau jumlah konseli (150 – 250 konseli per tahun) yang
dibimbing oleh guru BK/Konselor.
6) NPK adalah persentase angka kredit sebagai hasil penilaian kinerja.
7) 4 adalah waktu rata-rata kenaikan pangkat reguler, (4 tahun).
8) JM/JWM = 1 bagi guru yang mengajar 24-40 jam tatap muka per minggu atau
membimbing 150 – 250 konseli per tahun.
9) JM/JWM = JM/24 bagi guru yang mengajar kurang dari 24 jam tatap muka per
minggu atau JM/150 bagi guru BK/Konselor yang membimbing kurang dari 150
konseli per tahun.
d) Verifikasi Data
Data hasil penilaian yang telah diperoleh perlu diverifikasi kebenarannya.
Verifikasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan
melakukan wawancara kepada pihak lain yang terkait dengan pekerjaan
tendik yang sedang dinilainya. Wawancara dapat dilakukan tidak secara
formal, suasananya di kondisikan rileks/santai, akan tetapi apa yang
didalami melalui wawancara sudah dipersiapkan dalam suatu lembar
instrumen wawancara yang terstruktur. Kunjungan ke ruangan tendik
bekerja juga sangat perlu dilakukan setelah melakukan penilaian yang
mengkaji dokumen yang ada. Hal ini perlu untuk menghindari terjadinya
hasil penilaian yang salah dan kontradiktif dengan kondisi yang ada di
lapangan. Dalam kasus-kasus pendalaman penilaian indikator tertentu,
penilai dapat melakukan wawancara dengan menetapkan responden
tertentu yang dipertimbangkan dapat memberi informasi yang benar.
Σ TN
Nilai Kinerja (NK) = ----------- X 100
Σ NRT
Keterangan:
NK : Nilai Kinerja
ΣTN : Jumlah Nilai Rata-rata untuk semua kompetensi yang dinilai
sebagai tendik
NRT : Nilai kinerja Tertinggi, misal untuk tendik kepala
perpustakaan (7 x 4 = 28)
Rekap hasil penilaian kinerja kepala perpustakaan diperoleh dari rerata
nilai dari berbagai sumber/360 derajat (Kepsek, guru, peserta didik,
pengawas sekolah serta tendik lainnya). Rerata tersebut dikalikan dengan
persentase kehadiran.
c. Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) dan Penilaian Perilaku Kerja (PPK) PNS
b) Perilaku Kerja
Penilaian perilaku kerja pengawas sekolah yaitu penilaian terhadap perilaku
kerja pengawas sekolah dalam melaksanakan tugas jabatannya di sekolah
binaan atau sekolah lain tempat guru sasaran bertugas. Penilaian ini
dilakukan melalui pengamatan oleh penilai. Penilaian perilaku kerja
meliputi aspek: orientasi pelayanan, integritas, komitmen, disiplin dan
kerjasama. Unsur perilaku kerja yang dinilai harus relevan dan
berhubungan dengan pelaksanaan tugasnya. Nilai prestasi kerja pengawas
sekolah meliputi dua unsur yaitu Sasaran Kerja Pegawai dengan bobot
nilai 60% (enam puluh persen) dan Perilaku Kerja dengan bobot nilai 40%
(empat puluh persen). Komposisi bobot kedua unsur tersebut tertera pada
gambar berikut.
Tahap 2: Segera setelah selesai melakukan evaluasi diri, guru mengikuti proses
Penilaian Kinerja Formatif (lihat Pedoman Penilaian Kinerja). Penilaian
Kinerja ini diperlukan untuk menentukan profil kinerja guru dalam
menetapkan apakah guru akan mengikuti program peningkatan kinerja
untuk mencapai standar kompetensi profesinya atau kegiatan
pengembangan kompetensi lebih lanjut.
Tahap 3: Melalui konsultasi dengan Kepala Sekolah (jika koordinator PKB adalah
guru yang ditugaskan oleh Kepala Sekolah) dan Komite Sekolah, Guru dan
koordinator PKB membuat perencanaan kegiatan PKB. (Format-2) bersifat
sementara (untuk selanjutnya dikoordinasikan dengan Koordinator PKB
Kabupaten/Kota dan Koordinator KKG/ MGMP) yang didasarkan kepada:
a. evaluasi diri yang dilakukan oleh guru;
b. catatan pengamatan berkala yang pernah dilakukan oleh Guru
Pembina (jika ada), Pengawas, dan/atau Kepala Sekolah;
c. penilaian kinerja guru; dan
d. data dari sumber lain yang sudah dikumpulkan oleh koordinator PKB,
termasuk kebutuhan akan pengembangan sumber daya manusia yang
tercermin pada Rencana Pengembangan Sekolah; dan
e. Rencana tersebut dituangkan dalam SKP.
Tahap 5: Guru menerima rencana program PKB yang mencakup kegiatan yang akan
dilakukan di dalam dan/atau luar sekolah, yang telah dibahas dan disepakati
oleh koordinator PKB kabupaten/kota, kepala sekolah (jika koordinator PKB
adalah guru yang ditugaskan oleh Kepala Sekolah), koordinator
KKG/MGMP dan koordinator sekolah berdasarkan hasil konsultasi dengan
Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.
Tahap 6: Guru mengikuti program PKB yang telah direncanakan baik di dalam
dan/atau di luar sekolah. Bagi guru-guru yang telah mendapatkan hasil PK
GURU formatifnya sama atau di atas standar akan mengikuti program PKB
agar memiliki ilmu pengetahuan yang kuat, tuntas dan tidak setengah-
tengah serta memiliki kepribadian yang matang, kuat dan seimbang agar
mampu memberikan layanan pendidikan sesuai dengan perkembangan
masa kini. Sedangkan khusus bagi guru-guru yang mengikuti program PKB
untuk mencapai standar kompetensi profesi (guru-guru yang hasil PK Guru
formatifnya di bawah standar kompetensi yang ditetapkan) harus
mempertimbangkan beberapa hal, yaitu: (i) jenis kompetensi yang perlu
ditingkatkan;
(ii) daya dukung yang tersedia di sekolah; (iii) catatan hasil evaluasi diri,
refleksi diri, dan hasil PK Guru; serta
Tahap 7: Pelaksanaan monitoring dan evaluasi kegiatan PKB oleh Koordinator PKB
Kabupaten/kota bekerja sama dengan Koordinator PKB tingkat sekolah
untuk mengetahui apakah kegiatan PKB yang dilaksanakan dapat mencapai
tujuan yang telah ditetapkan, dilaksanakan sesuai dengan rencana,
mengkaji kelebihan, permasalahan dan hambatan untuk perbaikan kegiatan
PKB di masa mendatang, dan penerapan hasil PKB dalam pelaksanaan
tugas guru, serta evaluasi dampak terhadap upaya peningkatan kualitas
layanan pendidikan di sekolah.
Tahap 8: Setelah mengikuti program PKB, guru guru wajib mengikuti PK Guru sumatif
di akhir tahun ajaran. Hasil PK Guru sumatif akan dikonversi ke perolehan
angka kredit. Gabungan angka kredit PKB dan PKB yang telah diikuti guru
akan diperhitungkan untuk kenaikan pangkat, jabatan, dan fungsional guru,
dan merupakan bahan pertimbangan untuk pemberian tugas tambahan atau
pemberian sangsi pada guru. Angka kredit PK Guru diberikan oleh penilai;
sedangkan angka kredit PKB diberikan oleh koordinator PKB tingkat
sekolah dengan mengacu kepada pedoman pemberian angka kredit untuk
PKB.
Tahap 9: Pada akhir tahun, semua guru dan koordinator PKB tingkat sekolah
melakukan refleksi apakah kegiatan PKB yang diikutinya benar-benar
bermanfaat dalam meningkatkan kompetensinya maupun kemampuan lain
untuk menghasilkan karya ilmiah dan/atau karya inovatif (Format-3) dan
dituangkan dalam SKP.
Mengetahui, Mengetahui
Koordinator PKB Kepala Sekolah
Cara mengisi Format nomor 5 diatas diisi dengan ketentuan sebagai berikut;
1) Butir 1 diisi dengan berbagai kegiatan pengembangan diri yang diikuti guru selama
satu tahun terakhir. Untuk masing-masing kegiatan harus dilengkapi dengan
informasi sebagai berikut:
a) Lama kegiatan ..................(diisi dengan lama pelaksanaan kegiatan yang
diikuti).
b) Tempat kegiatan.................(diisi dengan tempat pelaksanaan kegiatan yang
diikuti).
c) Tujuan kegiatan ................. (diisi dengan tujuan kegiatan yang diikuti).
d) Strategi pelaksanaannya ............. (diisi dengan strategi bagaimana kegiatan ini
dilaksanakan, apakah secara mandiri atau kelompok, di sekolah atau di luar
sekolah (KKG/MGMP), dengan bantuan kepakaran lain (Misalnya dari universitas,
P4TK, penyedia jasa pelatihan/layanan lainnya).
e) Cakupan materi esensial dari kegiatan pengembangan diri tersebut (diisi dengan
materi esensial apa saja yang diberikan dalam kegiatan yang diikuti).
2) Butir 2 diisi dengan pendapat guru tentang kesesuain materi dari berbagai kegiatan
pengembangan diri tersebut terhadap mata pelajaran yang diampu, dan apa
alasannya.
3) Butir 3 diisi dengan pendapat guru dan/atau sekolah tentang manfaat dari berbagai
kegiatan pengembangan diri yang diikuti baik bagi dirinya, peserta didik, maupun
bagi sekolah secara keseluruhan.
4) Butir 4 diisi dengan pendapat guru dan/atau sekolah tentang dampak dari berbagai
kegiatan pengembangan diri yang diikuti terhadap dirinya, peserta didik, maupun
bagi sekolah secara keseluruhan.
5) Butir 5 diisi dengan pendapat guru tentang permasalahan yang dihadapinya dalam
meng-implementasikan hasil berbagai kegiatan pengembangan diri tersebut.
6) Butir 6 diisi dengan pendapat guru tentang upaya yang dilakukannya untuk
mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam mengimplementasikan hasil berbagai
kegiatan pengembangan diri tersebut.
7) Butir 7 diisi dengan pendapat guru tentang upaya yang dilakukannya untuk
mensosialisasikan hasil berbagai kegiatan pengembangan diri tersebut kepada
teman sejawat di dalam dan/atau di luar sekolah.
8) Butir 8 diisi dengan informasi tentang kegiatan atau upaya lain yang diikuti atau
dilakukan guru, tetapi kegiatan lain tersebut tersebut mendukung peningkatan
kompetensi guru atau membantu memperlancar upaya peningkatan kualitas
pembelajaran di sekolah.
PENGANTAR PENDIDIKAN INKLUSIF
DAN PERLINDUNGAN
KESEJAHTERAAN ANAK
(PIPKA)
PENGANTAR PENDIDIKAN INKLUSIF DAN PERLINDUNGAN
KESEJAHTERAAN ANAK
Oleh: Emilia Kristiyanti (Helen Keller Indonesia)
Pendahuluan
Semua anak berhak untuk memperoleh kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk tumbuh
dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial. Dalam hal ini negara memiliki
kewajiban untuk memastikan bahwa hak tersebut dilindungi sehingga kesejahteraan pada anak
dapat tercapai.
Untuk mencapai kesejahteraan anak sesuai dengan yang diinginkan maka pendidikan di keluarga
dan lingkungan memegang peranan yang penting. Pola didik di sekolah dan pola asuh di keluarga
berperan sangat penting dalam mengembangkan potensi akademik dan non-akademik seorang anak.
Keyakinan bahwa pendidikan yang baik merupakan pendidikan yang berfokus pada kurikulum
(curriculum centered) harus segera ditinggalkan dan mulai menerapkan pendidikan inklusif yang
berfokus pada semua anak/peserta didik (children/students centered) tanpa memandang suku,
bahasa, agama, jender, keadaan fisik, keadaan kesehatan, status sosial, dan ekonomi.
Tulisan ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dasar kepada kepala dan pengawas sekolah
mengenai konsep pendidikan inklusif dan perlindungan kesejahteraan anak; sejarah pendidikan
inklusif dan perlindungan kesejahteraan anak; dan penyelenggaraan pendidikan inklusif sebagai
cara terbaik untuk memastikan dilaksanakannya perlindungan kesejahteraan anak.
PDBK PD lainnya
PDBK
PD lainnya dan PD
lainnya
PDB
K
Segregasi Integrasi Inklusif
1
Developing inclusive education systems: how can we move policies forward, Mel Ainscow and Susie Miles,
University of Manchester, UK, p.1 (2009)
Gambar 1. Perbedaan segregasi, integrasi, dan inklusif
Pada sistem pendidikan segregasi, peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK) dipisahkan
dengan peserta didik (PD) lainnya baik lokasi maupun kurikulum yang digunakan. Sistem
pendidikan segregasi di Indonesia di kenal dengan sistem pendidikan khusus atau sistem
pendidikan luar biasa. Pada sistem integrasi, anak/peserta didik berkebutuhan khusus belajar
bersama dengan peserta didik lainnya namun sekolah sedikit atau bahkan sama sekali tidak
dibebankan untuk melakukan adaptasi atau penyesuaian dalam memenuhi kebutuhan
anak/peserta didik yang berkebutuhan khusus. Sebaliknya, anak/peserta didik berkebutuhan
khusus diharapkan dapat beradaptasi dengan sistem pendidikan yang hampir tidak diubah untuk
mengakomodir kebutuhan mereka. Ketidakmampuan anak/peserta didik berkebutuhan khusus
untuk menyesuaikan diri dengan sistim sekolah akan menyebabkan hilangnya kesempatan
mereka untuk memperoleh pendidikan. Praktik di beberapa negara, sistem pendidikan integrasi
diselenggarakan dengan mengumpulkan anak/peserta didik berkebutuhan khususnya dalam hal
ini penyandang disabilitas di kelas tersendiri yang dinamai kelas khusus. Adapun lokasi kelas
khusus tersebut berada di lingkungan sekolah reguler.
Sebaliknya pada sistim pendidikan inklusif, anak/peserta didik berkebutuhan khusus belajar
bersama dengan anak/peserta didik lainnya di kelas yang sama tanpa adanya pembedaan.
Peserta didik menjadi pusat perencanaan pendidikan sehingga apapun yang direncanakan dan
dikerjakan oleh guru dan tenaga kependidikan selalu berdasarkan pada kebutuhan peserta didik.
Pada sistem pendidikan inklusif, guru memastikan bahwa anak/peserta didik berkebutuhan
khusus dapat hadir, diterima oleh guru dan anak/peserta didik lainnya, berpartisipasi aktif dalam
proses pembelajaran di kelas bersama dengan peserta didik lainnya, dan memperoleh
pencapaian yang maksimal sesuai dengan kemampuan anak/peserta didik.
Istilah anak/peserta didik berkebutuhan khusus memiliki cara pandang yang lebih luas dan
positif terhadap peserta didik atau anak/peserta didik yang memiliki kebutuhan yang sangat
beragam.
Berdasarkan sifatnya, kebutuhan khusus dibagi menjadi (1) kebutuhan khusus permanen dan
(2) kebutuhan khusus temporer. Kebutuhan khusus yang permanen adalah kebutuhan yang
terus-menerus ada dan melekat pada anak/peserta didik, misalnya anak/peserta didik dengan
hambatan penglihatan akan kesulitan dalam membaca dan menulis dengan menggunakan huruf
biasa. Namun kebutuhan khususnya akan teratasi pada saat ia menggunakan huruf braille untuk
membaca dan menulis. Sedangkan kebutuhan khusus yang bersifat temporer adalah kebutuhan
khusus yang sifatnya sementara, misalnya anak/peserta didik yang tidak dapat melanjutkan
pendidikannya karena alasan ekonomi. Kebutuhan khusus anak tersebut akan hilang setelah dia
memperoleh bantuan ekonomi. Contoh yang lain, peserta didik baru masuk kelas 1 Sekolah
Dasar yang berkomunikasi dalam bahasa ibunya (contoh bahasa: Sunda, Jawa, Bali atau Madura
dsb) di rumah, akan tetapi ketika belajar di sekolah terutama ketika belajar membaca permulaan,
mengunakan bahasa Indonesia. Keadaan seperti itu dapat menyebabkan munculnya kesulitan
dalam belajar membaca permulaan dalam bahasa Indonesia bagi anak/peserta didik tersebut.
Oleh karena itu ia memerlukan layanan pendidikan yang disesuikan (pendidikan kebutuhan
khusus) sehingga kebutuhan khususnya dapat dihilangkan. Apabila hambatan belajar membaca
akibat alasan di atas tidak mendapatkan intervensi yang tepat maka ada kemungkinan
anak/peserta didik tersebut akan menjadi anak/peserta didik dengan kebutuhan khusus
permanen.
Ditinjau dari penyebabnya, maka kebutuhan khusus dapat dibagi dua bagian, yakni (1)
kebutuhan khusus yang berasal dari diri sendiri dan (2) kebutuhan khusus akibat dari
lingkungan. Salah satu penyebab munculnya kebutuhan khusus dari diri sendiri adalah
disabilitas. Sedangkan kebutuhan khusus yang berasal dari lingkungan misalnya anak
mengalami kesulitan belajar karena tidak dapat konsentrasi dengan baik dan penyebabnya
misalnya suasana tempat belajar yang tidak nyaman.
Di samping itu, kebutuhan khusus juga dapat dibedakan menjadi (1) kebutuhan khusus umum,
(2) kebutuhan khusus individu, dan (3) kebutuhan khusus kekecualian. Kebutuhan khusus
umum adalah kebutuhan khusus yang secara umum dapat terjadi pada siapapun, misalnya
karena sakit tidak bisa belajar dengan baik. Sedangkan kebutuhan khusus individu (pribadi)
adalah kebutuhan yang sangat khas yang dimiliki oleh seorang individu, misalnya seseorang
tidak dapat belajar tanpa sambil mendengarkan musik. Adapun kebutuhan khusus kekecualiaan
adalah kebutuhan khusus yang ada akibat disabilitas, misalnya kebutuhan berkomunikasi
dengan bahasa isyarat bagi anak dengan hambatan pendengaran.
Pendidikan inklusif di suatu negara dibangun oleh 3 (tiga) pilar yang saling mempengaruhi satu
dengan yang lain, yaitu: (1) budaya; (2) kebijakan; (3) praktik.
(2) (3)
(1)
Di Indonesia tanpa kita sadari budaya pendidikan inklusif juga telah ada sejak lama. Semboyan
‘Bhinneka Tunggal Ika’ nyata menunjukkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang menjunjung
nilai-nilai inklusif, berbeda-beda tetapi tetap satu juga. Budaya inklusif yang ada di Indonesia
juga telah didukung oleh perangkat-perangkat kebijakan terkait dengan penyelenggaraan
pendidikan inklusif baik ditingkat nasional maupun lokal (provinsi dan kabupaten/kota).
Namun yang masih menyisakan pekerjaan rumah bersama adalah bagaimana praktik
penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolah dan masyarakat.
Pada tataran penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolah, terdapat 4 prinsip yang harus
selalu diperhatikan sebagai tolok ukur, yaitu (1) kehadiran; (2) pengakuan atau penerimaan; (3)
partisipasi; dan (4) pencapaian akademik dan non-akademik dari semua anak/peserta didik
termasuk anak/peserta didik berkebutuhan khusus. Sekolah belum dapat disebut sebagai
sekolah inklusif apabila ia hanya memasukkan anak/peserta didik berkebutuhan khusus ke
dalam kelas.
1. Pendidikan Inklusif
Pendidikan Untuk Semua/Education for All dicetuskannya melalui deklarasi Pendidikan Untuk
Semua/Education for All di pada konferensi pendidikan di Jomtien, Thailand pada pada tahun
1990. Walaupun belum eksplisit namun istilah pendidikan inklusif telah dimunculkan pada
deklarasi ini. Deklarasi Pendidikan Untuk Semua (PUS) ini berangkat dari kenyataan bahwa di
banyak negara : (1) kesempatan untuk memperoleh pendidikan masih terbatas atau masih
banyak orang yang belum mendapat akses pendidikan, (2) kelompok tertentu yang
terpinggirkan seperti kelompok disabilitas, etnik minoritas, suku terasing dan sebagainya masih
terdiskriminasi dari pendidikan bersama.
Pada kenyataannya, penyelenggaraan hasil konferensi tersebut masih jauh dari yang
diharapkan, khususnya yang terkait dengan kesempatan memperoleh pendidikan bagi para
penyandang disabilitas. Oleh karena itu, pada tanggal 7-10 Juni 1994 di Salamanca, Spanyol,
para praktisi pendidikan khusus menyelenggarakan konferensi pendidikan kebutuhan khusus
(Special Needs Education) yang diikuti oleh 92 negara dan 25 organisasi international yang
menghasilkan Pernyataan Salamanca (Salamanca Statement) yangmenyatakan agar anak
berkebutuhan khusus (children with special needs) mendapat layanan pendidikan yang lebih
baik dan berkualitas. Dalam konferensi ini istilah inclusive education (pendidikan inklusif)
secara formal mulai diperkenalkan.
Indonesia merupakan salah satu negara yang menandatangani kedua deklarasi tersebut, sebagai
konsekuensinya maka pemerintah berkewajiban untuk memastikan bahwa pendidikan inklusif
diselenggarakan di Indonesia. Pada tahun 2004, pemerintah mendeklarasikan Indonesia menuju
Pendidikan Inklusif di Bandung guna memperkuat usaha penyelenggaraan pendidikan inklusif
di Indonesia. Saat ini penyelenggaraan pendidikan inklusif lebih dimantapkan dengan adanya
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional no.70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif Bagi
Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat
2
Undang-Undang no. 4 tahun 1979 bab 1 pasal 1
3
Johnson&Schwartz (1991, h.167)
Istimewa, Undang-Undang no. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas pada pasal 10, dan
Undang-Undang no. 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak pada pasal 51.
2. Perlindungan Kesejahteraan Anak
Pada tahun 1923 seorang aktivis perempuan bernama Eglantyne Jeb mendeklarasikan
pernyataan hak – hak anak yaitu hak akan nama dan kewarganegaraan, hak kebangsaan, hak
persamaan dan non diskriminasi, hak perlindungan, hak pendidikan, hak bermain, hak rekreasi,
hak akan makanan, hak kesehatan dan hak berpartisipasi dalam pembangunan. Pada tahun 1924
deklarasi hak anak diadopsi dan disahkan oleh Majelis Umum Persekutuan Bangsa-Bangsa dan
pada tahun 1948 deklarasi hak asasi manusia diumumkan.
Di Indonesia, undang-undang dasar 1945 telah mengatur kesejahteraan dan perlindungan anak,
dimana dinyatakan bahwa anak terlantar dan fakir miskin dipelihara oleh Negara.
Pada tanggal 25 Agustus 1990, melalui Keppres 36/1990, Indonesia telah meratifikasi Konvensi
Hak Anak (KHA) dan dikuatkan dengan terbitnya Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak yang mengatur tentang hak dan kewajiban anak, serta kewajiban
dan tanggung jawab negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orangtua. Undang-undang
tersebut kemudian disempurnakan dengan munculnya Undang-Undang no. 35 tahun 2014
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Menurut Undang-Undang no. 35 tahun 2014, perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan
Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi: (a) non-diskriminasi; (b)
kepentingan yang terbaik bagi anak; (c) hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan
perkembangan; dan (d) penghargaan terhadap pendapat anak.
Pendidi
kan
inklusif
Referal Evaluasi
Asesmen Review
(formal atau Tahunan
informal)
Gambar 3. Struktur identifikasi dan asesmen digambarkan sebagai berikut (Mc Loughlin &
Lewis,1981):
Setelah sekolah merancang program bagi peserta didik khususnya bagi peserta didik berkebutuhan
khusus berdasarkan kebutuhan anak/peserta didik yang merupakan hasil asesmen, maka sekolah
diharapkan dapat melakukan penyesuaian-penyesuaian di berbagai hal guna menjamin pemenuhan
hak dan partisipasi anak/peserta didik berkebutuhan khusus dalam proses pembelajaran.
Sekolah diharapkan dapat menyediakan “akomodasi yang wajar.” (reasonable accommodation)
bagi anak/peserta didik berkebutuhan khusus terlebih lagi bagi anak/peserta didik penyandang
disabilitas. Secara sederhana dapat diterangkan bahwa “akomodasi yang wajar” adalah
adaptasi/penyesuaian yang dilakukan oleh sekolah sebagai langkah untuk menjamin pemenuhan
hak anak/peserta didik berkebutuhan khusus khususnya anak/peserta didik penyandang disabilitas
agar dapat berpartisipasi dalam pembelajaran. Penyesuaian yang dilakukan tentunya dengan
mempertimbangkan kepentingan anak demi tercapainya pertumbuhan dan perkembangan anak
yang sewajarnya.
Adaptasi atau penyesuaian dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya:
§ Membuat kebijakan sekolah yang disesuaikan sehingga dapat menjamin pemenuhan hak semua
anak/peserta didik tanpa terkecuali (tidak diskriminasi);
§ Membuat lingkungan yang aksesibel sehingga memungkinkan semua anak/peserta didik dapat
bergerak dan berpindah tanpa rintangan dan aman;
§ Melakukan penyesuaian kurikulum berdasarkan kebutuhan anak/peserta didik di dalam kelas;
§ Menyediaan alat bantu dan media pembelajaran yang adaptif seperti misalnya bahasa isyarat
dan running text untuk anak/peserta didik dengan hambatan pendengaran dan buku braille atau
buku digital untuk peserta didik dengan hambatan penglihatan.
Adaptasi dan penyediaan alat bantu dapat dilakukan setelah proses identifikasi dan asesmen selesai
dilaksanakan sehingga bantuan yang disediakan sesuai dengan kebutuhan anak/peserta didik.
Penutup
Pendidikan inklusif dan Perlindungan Kesejahteraan Anak bukanlah suatu hal yang terpisah.
Sebaliknya pendidikan inklusif merupakan salah satu cara terbaik untuk menjamin perlindungan
kesejahteraan anak. Praktik-praktik pendidikan inklusif sangat memperhatikan pemenuhan hak
anak/peserta didik sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang secara wajar pada ranah
kognitif, emosi, dan sosial yang akhirnya potensi akademik dan non-akademik anak/peserta didik
tersebut dapat tergali secara maksimal.
Dengan menerapkan Pendidikan inklusif maka diharapkan sekolah dan masyarakat dapat
memastikan bahwa semua anak/peserta didik dihargai haknya dengan begitu bullying dan kekerasan
terhadap anak/pesert didik dapat dihilangkan. Tujuan akhir dari Pendidikan Inklusif adalah
meningkatnya kualitas layanan pendidikan yang lebih berfokus pada hak dan kebutuhan
anak/peserta didik.
Dapat dikatakan juga bahwa pendidikan inklusif adalah juga merupakan salah satu strategi untuk
mempromosikan masyarakat inklusif, dimana semua anak dan orang dewasa dapat berpartisipasi
dan berkontribusi dalam kehidupan bermasyarakat tanpa melihat adanya perbedaan jender, usia,
kemampuan, etnis, disabilitas, ataupun status kesehatannya akibat HIV. (Stubbs S. Publication
online What is Inclusive Education? Concept Sheet).
Pelaksanaan pendidikan inklusif merupakan komitmen internasional dan nasional yang sejalan
dengan perubahan paradigma dalam dunia pendidikan. Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus
diselenggarakan bukan lagi berdasarkan rasa kasihan atau amal (charity) tetapi lebih kepada hak
(rights) anak/peserta didik yang dilindungi oleh undang-undang. Perlindungan kesejahteraan anak
dapat tercapai apabila Pendidikan Inklusif telah diterapkan dengan baik di semua institusi
penyelenggara pendidikan pada setiap tingkatan.
Dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif anak berkebutuhan khusus termasuk anak penyandang
disabilitas akan memperoleh pelayanan khusus untuk mencapai tingkat pertumbuhan dan
perkembangan sejauh batas kemampuan dan kesanggupan anak yang bersangkutan. Hal ini
tentunya sejalan dengan pasal 7 Undang-Undang no. 4 tahun 1979.
DAFTAR PUSTAKA
MANAGERIAL
Arikunto, Suharsimi, et.al. 2010. Evaluasi Program Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah. 2020. Draft Butir Inti Instrumen Akreditasi
Satuan Pendidikan (IASP)
Cahyono, Yuli dan Priyadi, Joko. 2019. Modul Penyiapan Calon Kepala Sekolah. Monitoring
dan Evaluasi (MPCKS-MON). Jakarta: Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga
Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Hartanto, Setyo, & Sucipto, Taufiq Lilo Adi. 2019. Modul Pelatihan Calon Kepala Sekolah
Pemanfaatn TIK dalam Peningkatan Kualitas Pembelajaran (MPCKS – TIK). Jakarta:
Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan
-------------------------. 2016. Formulir Penilaian Kinerja Kepala Sekolah. Jakarta: Ditjen Guru
dan Tenaga Kependidikan
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 137 Tahun 2014 tentang Standar
Nasional Pendidikan Anak Usia Dini
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 15 Tahun 2018 tentang Pemenuhan
Beban Tugas Guru, Kepala Sekolah, dan Pengawas Sekolah
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 20 Tahun 2016 tentang Standar
Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 21 Tahun 2016 tentang Standar Isi
Pendidikan Dasar dan Menengah
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar
Proses Pendidikan Dasar dan Menengah
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2016 tentang Standar
Penilaian Pendidikan
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 24 Tahun 2016 tentang Standar
Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 6 Tahun 2018 tentang Penugasan
Guru sebagai Kepala Sekolah
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala
Sekolah/Madrasah.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi
dan Kompetensi Guru
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2008 tentang Standar Tenaga
Administrasi Sekolah
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 25 Tahun 2008 tentang Standar Tenaga
Perpustakaan Sekolah/Madrasah
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 26 Tahun 2008 tentang Standar Tenaga
Laboratorium Sekolah/Madrasah
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 27 Tahun 2008 tentang Standar tentang
Standar Kulifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 13 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta:
Kemdiknas
Peraturan Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 34 Tahun 2018 tentang Standar Nasional
Pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan
Rakhim, Rizki Trianto, dkk. 2019. Modul Penguatan Kepala Sekolah Literasi Digital (MPPKS
– DIG). Jakarta: Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan
Sani, Ridwan, dkk.. 2015. Penjamin Mutu Sekolah. Jakarta: Bumi Aksara
Scott, George M. 2001. Prinsip-Prinsip Sistem Informasi Manajemen. Jakarta : Raja Grafindo
Persada
Sutar, dkk. 2019. Modul Pelatihan Kepala Sekolah Pengembangan Rencana Kerja Sekolah
(MPPKS – RKS) Jakarta: Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
PENGEMBANGAN KEWIRAUSAHAAN
Arikunto, Suharsimi. 2009. Evaluasi Program Pendidikan. PT. Bumi Aksara. Jakarta
Gorton, R.A. 1976. School Administration Challenge and Opportunity For Leadership.
Dubuque, Iowa: Wm. C. Brown.
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 1995 tanggal 30 Juni 1995 tentang Gerakan
Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan.
Literature Review. 2015. Entrepreneural School Leadership. Research Center for Learning
and Teaching Newscastle University, UK.
McFarland, D. E. 1979. Management: Foundations & Practices. Edisi Kelima. London: Collier
Macmillan.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala
Sekolah/Madrasah.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 137 Tahun 2014 tentang Pendidikan
Anak Usia Dini.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 34 Tahun 2018 tentang Standar
Nasional Pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 15 Tahun 2018 tentang Pemenuhan
Beban Kerja Guru, Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan
Pendidikan Karakter di Satuan Pendidikan.
Takdir D., Mahmudin., dan Sudirman Z. 2015. Kewirausahaan. Yogyakarta: Wijana Mahadi
Karya.
Thornberry, Neal. 2006. Lead Like an Entrepreneur. United States: The McGraw-Hill
Companies, Inc.
Tim Pengembang Bahan Pembelajaran Diklat Calon Kepala Sekolah. 2017. Modul Latihan
Kepemimpinan. Lembaga Pembangan dan Pemberdayaan Kepala Sekolah.
Tim Pengembang Bahan Pembelajaran Revitalisasi SMK. 2018. Panduan Sekolah Pencetak
Wirausaha. Direktorat Pembinaaan Sekolah Menengah Kejuruan. Direktorat
Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Kementrian Pendidikan Nasional.
Ainscow, Mel. & Miles, Susie. (2009). Developing inclusive education systems: how can we
move policies forward. United Kingdom: University of Manchester.
Choate, S. Joyce. (2013). Pengajaran inklusif yang sukses: cara handal untuk mendeteksi
dan memperbaiki kebutuhan khusus. Jakarta: Helen Keller International.
Damanik, Tolhas. (2016). Akomodasi yang wajar. Jakarta: Helen Keller International.
Glazzard, Jonathan et.al. (2016). Asih Asah Asuh Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah
Dasar. Yogyakarta: PT Kanisius.
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195903241984031-
ZAENAL_ALIMIN/MODUL_1_UNIT_2.pdf
Santosa, Tonny. (2016). Identifikasi dan Asesmen. Jakarta: Helen Keller International
*)
Soal dalam bentuk analisis kasus di bawah ini merupakan sarana latihan bagi peserta Diklat
Penguatan Kepala Sekolah dalam rangka membantu untuk menemukan atau
mengidentifikasi masalah-masalah terkait dengan pembelajaran di sekolah masing-masing
yang menjadi tagihan dari kegiatan Diklat ini.
Rambu-rambu Kasus/Skenario
a. Umum
DATA
MASALAH
NEGATIF POSITIF NETRAL
Masalah utama merupakan simpulan dari berbagai Informasi yang Informasi yang Informasi yang tidak
permasalahan yang muncul yang dapat mempengaruhi merupakan petunjuk merupakan petunjuk relevan dengan
kualitas pembelajaran, tidak dapat diselesaikan dalam keberadaan keberadaan solusi masalah maupun
waktu singkat, harus bekerja sama dengan semua masalah solusinya
pemangku kepentingan, dan memerlukan keterampilan
kepemimpinan yang kuat untuk menyelesaikannya.
b. Khusus
DATA
MASALAH
NEGATIF POSITIF NETRAL
Tidak terpenuhinya Standar 1. Kepala sekolah 1. Nama sekolah
Kompetensi Lulusan 1. Disiplin belajar rendah berjiwa visioner, 2. Akreditasi B
2. Motivasi berprestasi rendah 2. Monitoring dan 3. Letak Geografis
3. Kepedulian siswa terhadap evaluasi kegiatan Sekolah
lingkungan rendah. sekolah rutin
4. Program penguatan pendidikan dilakukan,
karakter tidak dilaksanakan secara 3. Supervisi guru dan
maksimal tendik terprogram
5. Guru kurang kreatif dalam menyajikan dan dilaksanakan
pembelajaran secara rutin,
6. Prestasi akademik dan non akademik 4. Hubungan dengan
rendah dinas pendidikan
7. Penguasaan TIK Guru masih kurang terjalin dengan
8. Penggunaan SIM sekolah tidak baik,
maksimal 5. Dukungan Komite
9. Tidak banyak lulusan yang baik,
melanjutkan ke jenjang berikutnya 6. Dana sekolah
memadai,
7. Letak geografis
sekolah di pusat
kota,
8. Tendik menguasai
TIK dengan baik,
9. Sarana prasarana
sekolah memadai,
10. Jumlah peserta
didik sesuai
dengan daya
tampung kelas
11. prestasi non
akademik bagus
LEMBAR KERJA PESERTA Alokasi Waktu:
MODUL MANAJERIAL menit
Nama Peserta :
Instansi :
Petunjuk
Saudara diminta untuk:
1. Mencermati data, dokumen, dan informasi yang disajikan dalam skenario.
2. Menuliskan Identifikasi Masalah berdasarkan skenario
3. Menentukan Masalah Utama berdasarkan hasil identifikasi masalah
4. Menuliskan Identifikasi Kekuatan Sekolah berdasarkan skenario
5. Merumuskan 3 (tiga) Alternatif solusi mengatasi masalah
6. Memilih 1 (satu) alternatif solusi terbaik dari 3 solusi di atas
7. Menuliskan langkah-langkah solusi terbaik secara logis, sistematis, dan menunjukkan
keluasan wawasan atau keragaman pengalaman yang dapat memberikan dampak positif
terhadap perbaikan kualitas pembelajaran bagi peserta didik untuk mencapai students
wellbeing (kesejahteraan siswa).
1. Skenario
Sekolah X terletak di pusat kota Belimbing. Sekolah ini dipimpin oleh Ibu Susi yang baru 2
(dua) tahun menjabat Kepala Sekolah di sekolah tersebut. Sebelumnya dia adalah Kepala
Sekolah di Sekolah Y. Ibu Susi memiliki jiwa visioner untuk memajukan sekolah. Salah satu
upayanya adalah dengan melakukan supervisi guru dan tendik secara terjadwal. Monitoring
dan evaluasi terprogram dan dilaksanakan secara rutin.
Hasil wawancara
Pada saat wawancara, kepala sekolah menyampaikan informasi sebagai berikut :
1. Hubungan dengan dinas pendidikan baik, sehingga setiap ada kesulitan segera
mendapat bantuan.
2. Beberapa peserta didik masih ada yang sering datang terlambat,
3. Program sekolah selalu mendapat dukungan positif dari komite sekolah,
4. Sebagian besar guru lebih banyak ceramah dan jarang menerapkan metode kreatif
dan inovatif,
5. Akreditasi sekolah B, saat ini berusaha agar dapat meningkat menjadi A,
6. Motivasi siswa dalam berprestasi rendah,
7. Kepedulian siswa terhadap kebersihan sekolah rendah,
8. Program penguatan pendidikan karakter tidak dilaksanakan secara maksimal,
9. Penggunaan SIM sekolah tidak maksimal
10. Tidak banyak lulusan yang melanjutkan ke jenjang berikutnya
Berdasarkan dokumen sekolah dapat dipaparkan informasi sebagai berikut:
Prestasi Akademik 3 (tiga) Tahun Terakhir
Pelaksanaan:
Kelemahan: Monev:
Refleksi:
Tindak Lanjut:
CONTOH BEST PRACTICES
KEPALA SEKOLAH
http://gg.gg/contoh-bestpractices-KS
*)
Link tersebut di atas merupakan contoh Best Practices yang dapat dijadikan sebuah rujukan
dalam berkarya menjadi Kepala Sekolah yang professional.