0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
18 tayangan19 halaman
Dokumen tersebut membahas tentang radiofarmaka untuk diagnosa dan terapi di Indonesia. Radiofarmaka adalah obat yang mengandung radioisotop untuk tujuan diagnostik dan terapi. Diagnosa menggunakan radioisotop dilakukan dengan memberikan radiofarmaka kepada pasien dan mendeteksi radiasinya menggunakan alat seperti kamera gamma. Terapi menggunakan radioisotop memanfaatkan radiasi yang dikeluarkan untuk mengobati penyakit. Asas keamanan pen
Dokumen tersebut membahas tentang radiofarmaka untuk diagnosa dan terapi di Indonesia. Radiofarmaka adalah obat yang mengandung radioisotop untuk tujuan diagnostik dan terapi. Diagnosa menggunakan radioisotop dilakukan dengan memberikan radiofarmaka kepada pasien dan mendeteksi radiasinya menggunakan alat seperti kamera gamma. Terapi menggunakan radioisotop memanfaatkan radiasi yang dikeluarkan untuk mengobati penyakit. Asas keamanan pen
Dokumen tersebut membahas tentang radiofarmaka untuk diagnosa dan terapi di Indonesia. Radiofarmaka adalah obat yang mengandung radioisotop untuk tujuan diagnostik dan terapi. Diagnosa menggunakan radioisotop dilakukan dengan memberikan radiofarmaka kepada pasien dan mendeteksi radiasinya menggunakan alat seperti kamera gamma. Terapi menggunakan radioisotop memanfaatkan radiasi yang dikeluarkan untuk mengobati penyakit. Asas keamanan pen
Penggunaan Radiofarmaka Untuk Diagnosa Dan Terapi Di Indonesia Dan
Asas Keamanan Penggunaan Obat Daftar Isi Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Dengan berkembangnya kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan globalisasi, tuntutan masyarakat terhadap kualitas pelayanan kesehatan juga meningkat. Salah satu cara yang dapat dilakukan yaitu dengan mengutamakan pelayanan yang berkualitas kepada setiap masyarakat. Dengan perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran, pemeriksaan penunjang diagnostik kesehatan telah berkembang pula dengan pesat. Salah satu jenis pemeriksaan penunjang yang cukup pesat perkembangannya adalah Ilmu Kedokteran Nuklir. Teknologi ini memanfaatkan sumber radiasi terbuka yang berasal dari disintegrasi inti radionuklida (radioisotop) buatan untuk tujuan diagnostik melalui pemantauan proses fisiologi dan biokimia, pengobatan dan juga penelitian di bidang kedokteran. Penggunaan jenis senyawa bertanda radionuklida (radiofarmaka) dalam bidang kedokteran Nuklir di Indonesia berkembang secara terus – menerus. Sediaan radiofarmaka tidak berbeda dengan obat parental konvensional dalam persyaratan kemurnian, keamanan dan manfaatnya. Agar sesuai dengan asas keamanan penggunaan obat maka semua produk radiofarmaka maka harus melalui perlakuan kendali mutu yang ketat baik dalam proses pembuatan produksi maupun peredarannya. Radiofarmaka merupakan suatu obat yang biasa digunakan untuk diagnosis ataupun terapi. Perbedaan antara radiofarmaka dengan obat biasa adalah terkandungnya radioisotop. Radioisotop merupakan isotop yang bersifat tidak stabil sehingga akan memancarkan suatu energi radioaktif untuk mencapai bentuk yang stabilnya. Pancaran radioaktif yang ditimbulkan pada setiap jenis radioisotop yang digunakan pada radiofarmaka memiliki karakteristik yang berbeda. Perbedaan pada pancaran radioaktif mempengaruhi tujuan pengaplikasian radiofarmaka. Radioisotop yang memiliki sifat pemancar sinar gamma umum digunakan untuk diagnosis sedangkan yang memancarkan sinar beta umum digunakan untuk terapi. Karakteristik lain yang dilihat, antara lain sifat metal dan non metal radioisotop yang menyebabkan perbedaan metode pembuatan radiofarmaka B. Rumusan Masalah 1. Apakah Radiofarmaka? 2. Bagaimana cara diagnosis dengan Radioisotop? 3. Bagaimana cara terapi dengan Radioisotop? 4. Bagaimana asas keamanan penggunaan obat? C. Tujuan Percobaan 1. Mengetahui keterangan terkait radiofarmaka 2. Mengetahui cara diagnosis dengan radioisotop 3. Mengetahui cara terapi dengan radioisotop 4. Mengetahui asas keamanan penggunaan obat BAB II Tinjauan Pustaka A. Radiofarmaka Radiofarmaka merupakan obat yang dibuat dengan formulasi unik yang mengandung radioisotop yang digunakan dalam bidang kesehatan seperti untuk diagnosis dan terapi (WHO, 2008). Penggunaan radiofarmaka sama halnya dengan penggunaan obat biasa. Rute pemberian radiofarmaka yang umum adalah melalui jalur intravena, tetapi bisa pula diberikan melalui rute pemberian lain seperti melalui oral, subkutan, disuntikan melalui sendi atau bahkan inhalasi. Menurut World Nuclear Assosiation, penggunaan radioisotop di dunia semakin banyak digunakan yang dicirikan dengan hadirnya lebih dari 10.000 rumah sakit yang menyediakan pengobatan melalui radioisotop (World Nuclear Assosiation, 2018). Begitupun di Indonesia, penerapan pengobatan dengan menggunakan radioaktif yang dibuat menjadi sediaan radiofarmaka berkembang dengan cukup pesat. Hal tersebut ditandai tersedianya fasilitas penyedia pengobatan menggunakan nuklir yang jumlahnya semakin meningkat. Selain itu juga, ditandai dengan berkembangnya jenis-jenis radiofarmaka yang tersedia pada saat ini (Rosilawati, dkk., 2017). Adanya perkembangan penggunaan radiofarmaka tidak membuat penggunaan radiofarmaka dilakukan secara bebas. Efek radiasi yang ditimbulkan dapat membahayakan keamanan pasien maupun pihak lain yang berhubungan dengan penggunaan radiofarmaka. Bahaya dari efek radiasi terjadi ketika dosis yang radioisotop yang berikan dalam kadar yang tinggi. Efek radiasi tersebut menyebabkan terbentuknya radikal bebas atau terputusnya ikatan kimia yang menyebabkan terjadinya kerusakan DNA atau jaringan dalam waktu singkat maupun jangka panjang. Oleh karena itu, di Indonesia pembuatan radiofarmaka dilakukan di Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) dan diawasi oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) (Levita dan Mutakin, 2015). Pengaplikasian radiofarmaka juga hanya dilakukan di rumah sakit tertentu yang memiliki fasilitas kedokteran nuklir (Kartamiharja, 2012). Setiap radiofarmaka yang dibuat memiliki kegunaan yang berbeda, namun pada umumnya radiofarmaka diaplikasikan untuk : 1. Diagnosis yang dilakukan pada tubuh dengan memberikan sediaan radiofarmaka secara oral maupun parenteral. 2. Diagnosis yang dilakukan pada spesimen yang dihasilkan oleh tubuh (feses, urin). 3. Terapi penyakit melalui radiasi yang dihasilkan. (Mashjur, 2000). Mekanisme kerja radiofarmaka yang digunakan untuk diagnosis dilihat dari sebaran radiofarmaka tersebut di dalam tubuh. Radiofarmaka yang telah mencapai organ yang spesifik akan mengeluarkan energi emisi. Energi emisi yang dikeluarkan akan terdeteksi oleh suatu alat diagnosis seperti kamera gamma, Positron Emission Tomography (PET), atau Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT) (Levita dan Mutakin, 2015). Dalam membedakan cara mengaplikasikan radiofarmaka dilihat dari radioisotop yang digunakannya. Radioisotop adalah atom yang terdiri dari kombinasi yang tidak stabil antara neutron dan proton. Kombinasi yang tidak stabil antara neutron dan proton bisa terjadi secara alamiah ataupun mengubah atom secara buatan menggunakan reaktor yang disebut dengan siklotron (ANSTO, 2006). Radioisotop yang terjadi secara alamiah memiliki harga yang lebih mahal dikarenakan proses pemurnian yang cukup sulit (Senduk, dkk., 2015). Isotop yang digunakan bersifat tidak stabil sehingga isotop tersebut akan berusaha menuju bentuk yang stabilnya dengan cara memancarkan energi radioaktifnya atau biasa yang dikenal dengan kata peluruhan. Proses peluruhan radioaktif dari setiap jenis radioisotop yang digunakan itu memiliki perbedaan (ANSTO, 2006). Oleh karena itu, setiap jenis radioisotop yang digunakan memiliki karakteristik yang unik yang menjadi pembeda dalam tujuan aplikasi penggunakan radiofarmaka. B. Diagnosis dengan Radioisotop Untuk studi in-vivo, radioisotop direaksikan dengan bahan biologik seperti darah, urin, serta cairan lainnya yang diambil dari tubuh pasien. Sampel bahan biologik tersebut selanjutnya direaksikan dengan suatu senyawa bertanda yang bersifat radioaktif. Senyawa bertanda merupakan senyawa di mana satu atau lebih atom penyusunnya adalah atom radioaktif dari unsur yang sama tanpa mengubah struktur letak atom-atom dalam senyawa tersebut. Senyawa bertanda yang dipakai dalam kedokteran nuklir ini disebut radiofarmaka 6. Pada umumnya, radiofarmaka terdiri dari dua komponen, yaitu radioisotop dan senyawa pembawanya. Radioisotop memungkinkan suatu radiofarmaka dapat dideteksi dan diketahui lokasinya, sedang senyawa pembawa menentukan tempat akumulasi radiofarmaka tersebut. Studi in-vitro dilakukan dengan teknik radioimmunoassay (RIA). Teknik RIA ditemukan pertama kali pada 1960 oleh Yallow dan Berson. Dari penemuan ini, mereka berhasil memenangkan hadiah Nobel bidang kedokteran. Teknik ini sangat peka serta spesifik dan biasanya digunakan untuk mengetahui kandungan zat biologik tertentu dalam tubuh yang jumlahnya sangat kecil. Misalnya, hormon insulin atau tiroksin, enzim, dan lain-lain. Prinsip pemeriksaan RIA adalah kompetisi antara antigen (bahan biologi yang diperiksa) dengan antigen radioaktif dalam memperebutkan antibodi yang jumlahnya sangat terbatas. Saat ini juga dikenal teknik lain yang serupa dengan RIA yang disebut immunoradiometric assay (IRMA). Dalam teknik ini yang ditandai dengan radioaktif bukan antigen, tetapi antibodinya. Dalam studi in-vitro, radioisotop dapat dimasukkan ke dalam tubuh pasien secara inhalasi melalui saluran pernapasan, melalui mulut maupun injeksi. Kepada pasien diberikan radiofarmaka yang sesuai dengan jenis pemeriksaan yang dikehendaki. Berbagai jenis radiofarmaka digunakan untuk mempelajari berbagai jenis organ. Setelah masuk ke dalam tubuh, radiofarmaka akan menuju ke organ tertentu. Karena senyawa tersebut dapat memancarkan radiasi-g, maka keberadaannya di dalam organ tubuh dapat diketahui dengan pemantau radiasi, baik kinetik maupun distribusinya. Pemantau radiasi yang digunakan dalam pemeriksaan ini berupa kamera gamma yang dapat mendeteksi sinar-g dari bagian tubuh pasien yang sedang diperiksa. Kamera gamma merupakan peralatan kedokteran nuklir yang utama 7. Alat ini mampu menghasilkan gambar atau mengukur fungsi dari organ yang sedang dipelajari. Seringkali juga digunakan kamera gamma yang berputar untuk membuat gambar organ tubuh dalam tiga dimensi. Penggunaan komputer yang dirangkai dengan kamera gamma ini dapat membantu dalam interpretasi hasil pemeriksaan. Diagnosis yang menghasilkan gambar ini dikenal dengan teknik pencitraan (imaging studies). Gambar citra yang dihasilkan bisa berupa gambar statik maupun gambar dinamik. Gambar statik memberi informasi kondisi organ pada suatu saat tertentu saja, sedang gambar dinamik memberikan informasi berupa perubahan keadaan pada organ atau bagian tubuh selama kurun waktu tertentu. Studi dinamik mengukur kinerja suatu organ atau sistem tubuh menurut fungsi waktu. Informasi yang diperoleh dengan teknik pencitraan tersebut, di samping berupa gambar (citra) organ atau bagian tubuh maupun seluruh tubuh (whole body imaging), juga dapat berupa kurva-kurva atau angka-angka yang bisa dianalisis lebih lanjut. Dengan menggabungkan hasil pemeriksaan kedokteran nuklir dan hasil pemeriksaan sinar-X serta pemeriksaan lainnya, akan diperoleh hasil analisis yang lengkap mengenai kondisi pasien. Selain dengan teknik pencitraan, diagnosis dengan kedokteran nuklir dapat juga dilakukan dengan teknik pemeriksaan tanpa menghasilkan gambar (non-imaging studies). Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Menghitung aktivitas radioisotop yang terdapat pada organ atau bagian tubuh yang mengakumulasi radioisotop dengan menempatkan pemantau radiasi-g di atas organ atau bagain tubuh yang diperiksa (external counting technique). 2. Menghitung aktivitas radioisotop yang terdapat dalam contoh bahan biologik yang diambil dari tubuh pasien setelah mendapatkan pemberian radiofarmaka tertentu. Perhitungan aktivitas dilakukan menggunakan pencacah radiasi-g berbentuk sumur (sample counting technique). Baik external counting maupun sample counting hanya memberikan informasi berupa kurva maupun angka. Informasi tersebut mencerminkan fungsi organ atau bagian tubuh yang diperiksa. Namun, teknik ini merupakan cara yang akurat untuk mendapatkan data seperti volume darah total serta umur eritrosit. Untuk tujuan diagnosis, pemeriksaan secara kedokteran nuklir dapat dilakukan dengan mudah, murah, serta dihasilkan informasi diagnosis yang akurat 8. Dari diagnosis ini dapat diperoleh informasi tentang fungsi organ tubuh yang diperiksa serta gambaran anatominya. Hal tersebut dimungkinkan karena sejumlah kecil radiasi yang dipancarkan oleh radioisotop sangat mudah dideteksi dengan pemantau radiasi. Jika suatu jenis radioisotop dimasukkan ke dalam tubuh pasien, maka distribusi, laju distribusi, dan konsentrasi radioisotop tersebut sangat mudah dilacak menggunakan pemantau radiasi. Dewasa ini, peranan kedokteran nuklir cukup besar dalam menunjang diagnosis penyakitpenyakit secara cepat, tepat dan seringkali lebih dini. Hampir semua cabang ilmu kedokteran dapat memanfaatkan peranan kedokteran nuklir. Tes diagnostik dengan radioisotop dapat digunakan untuk mengetahui: 1. Baik tidaknya fungsi organ tubuh. 2. Proses penyerapan berbagai senyawa tertentu oleh tubuh. 3. Menentukan lokasi dan ukuran tumor dalam organ tubuh. Radioisotop yang digunakan dalam teknik nuklir kedokteran berumur paro (T1/2) sangat pendek, mulai dari beberapa menit sampai beberapa hari saja. Di samping berwaktu paro pendek, juga berenergi rendah dan diberikan dalam dosis yang kecil saja, mengingat ada efek sampingan dari radiasi yang merugikan terhadap tubuh apabila radioisotop tersebut tinggal terlalu lama di dalam tubuh. Technicium-99m (99m Tc) merupakan salah satu jenis radioisotop yang paling banyak digunakan dalam kedokteran nuklir untuk tujuan diagnosis. Radioisotop yang ditemukan oleh Perrier dan Serge pada 1961 ini dipilih karena mempunyai waktu paro sangat pendek, yaitu enam jam, sehingga dosis radiasi yang diterima pasien sangat rendah. Technicium-99m juga merupakan radioisotop pemancar sinar-g murni dengan energi 140,5 keV 9. Sinar-g yang dipancarkannya sangat mudah dideteksi. Sifat menguntungkan lainnya dari 99m Tc ini adalah dapat berikatan dengan berbagai bahan secara stabil, tidak beracun, murah, dan mudah penyediannya. Hingga kini, ada sebanyak 10 jenis radiofarmaka yang mengandung senyawa 99m Tc telah digunakan untuk kegiatan kedokteran nuklir. Diperkiraan setiap tahunnya paling tidak ada lima juta pasien di seluruh dunia menjalani diagnosis dengan 99m Tc ini. Hampir seluruh organ dalam tubuh manusia dapat didiagnosis dengan teknik nuklir kedokteran, seperti pemeriksaan otak, limpa, hati, jantung, ginjal, tulang, darah, pembuluh darah, paru-paru, saluran pencernaan, kelenjar gondok, dan lain-lain. Teknik nuklir kedokteran juga dapat dipakai untuk memeriksa penyebaran penyakit kanker tulang. Hanya dengan teknik ini penyakit tersebut dapat dideteksi semenjak dini, sedang teknik lainnya baru bisa mendeteksinya bila penyakit tersebut telah lanjut. Teknik nuklir kedokteran juga dapat dipakai untuk mengetahui secara dini ada tidaknya penyakit jantung koroner. Beberapa contoh pemeriksaan kedokteran nuklir antara lain 10: 1. Sken (scanning) otak digunakan untuk memeriksa penyakit-penyakit otak, antara lain infeksi, tumor, dan kelainan vaskular. Dalam pemeriksaan ini, pasien diinjeksi dengan radiofarmaka. Untuk mempelajari sirkulasi darah, diambil gambar dinamik langsung setelah injeksi. Selanjutnya, diambil gambar statik tiga jam setelah injeksi untuk mengetahui adanya proses atau tumor dalam otak. 2. Uji tangkap tiroid dan sken tiroid digunakan untuk memeriksa fungsi tiroid serta kelainan-kelainan morfologi. Uji tangkap tiroid dilakukan dengan cara memberikan sejumlah kecil radiofarmaka kepada pasien secara peroral atau suntikan. Dilakukan deteksi radiasi pada kelenjar tiroid setelah 20 menit atau 24 jam pemberian radiofarmaka. Jumlah radiofarmaka yang ditangkap oleh kelenjar tiroid menunjukkan fungsi kelenjar tersebut. Sken tiroid dilakukan setelah injeksi radiofarmaka, gambar statik diambil dengan kamera gamma. 3. Sken paru-paru seringkali dipakai untuk mendeteksi adanya gumpalan darah dalam paru-paru. Proses pemeriksaan dilakukan dengan menginjeksikan partikel radiofarmaka yang akan terbawa aliran darah ke paru-paru. Pengambilan gambar dilakukan dengan kamera gamma. Pemeriksaan dengan kedokteran nuklir ini seringkali dikombinasikan dengan pemeriksaan menggunakan gas radioaktif yang dilakukan sehari sesudah atau sebelum sken dan disertai pula dengan pemeriksaan sinar-X. 4. Sken jantung digunakan untuk studi penyakit jantung koroner dan mengevaluasi fungsi jantung atau menentukan adanya serangan jantung yang baru saja terjadi. 5. Teknik nuklir dapat pula dipakai untuk sken hati, limpa, sistem empedu, ginjal, dan tulang. Kelainan ataupun penyakit yang ada pada organ-organ tersebut dapat didiagnosis dengan kedokteran nuklir. C. Terapi Dengan Radioisotop Untuk keperluan diagnostik, radioisotop diberikan kepada pasien dengan dosis kecil. Berbeda dengan diagnostik, pada pemakaian untuk keperluan radioterapi metabolik, radioisotop sengaja diberikan dalam dosis besar kepada pasien. Dalam kegiatan terapi ini digunakan radioisotop pemancar partikel dengan energi yang cukup besar agar mampu menghancurkan atau mematikan sasaran yang umumnya berupa sel-sel ganas (kanker) 11. Dengan pemberian dosis yang besar, dapat diperoleh dosis radiasi yang cukup apabila distribusi radioisotop tidak merata pada jaringan yang diterapi. <>Untuk tujuan terapi, pengobatan dengan radiasi baru dilakukan apabila pengobatan cara biasa mengalami kegagalan. Pengobatan ini dilakukan dengan cara memberikan obat radioaktif pada pasien. Radioisotop pemancar campuran partikel dan gamma mempunyai keuntungan tersendiri karena radiasi-g yang dipancarkannya memungkinkan dilakukannya penentuan parameter yang perlu diketahui dalam radioterapi, seperti laju pengambilan radioisotop oleh organ yang diobati, umur paro efektif dari radioisotop, dan lain-lain. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi dalam pemilihan radioisotop untuk tujuan terapi, antara lain jenis dan energi radiasi serta waktu paro dari radioisotop. Dalam praktik saat ini, radioisotop pemancar partikel-b merupakan unsur yang paling banyak digunakan untuk terapi 12. Sifat yang menguntungkan dari partikel-b ini adalah dapat memindahkan seluruh energi yang dibawanya kepada jaringan yang ditempati sejauh beberapa mm saja. Oleh sebab itu, sel kanker pada jaringan yang ditempati radioisotop akan rusak atau mati oleh radiasi, sementara sel-sel normal yang berada di sekitarnya hanya sedikit mengalami kerusakan. Radioisotop yang digunakan juga dipilih yang mempunyai T1/2 relatif panjang, dari beberapa puluh jam sampai beberapa hari. Beberapa radioisotop sudah digunakan secara luas untuk terapi sejak 1930. Radioisotop 131 I telah banyak dipakai untuk pengobatan berbagai gangguan pada kelenjar tiroid, seperti hiperfungsi kelenjar tiroid (hyperthyroidi), tumor tiroid, dan lainlain. Sudah lebih dari sejuta pasien terbukti aman diobati dengan teknik ini 12. Radioisotop 131 I juga telah digunakan untuk pengobatan jenis tumor tertentu, terutama neuroblastoma dan pheochromocytoma. Radioisotop 32P dipakai untuk pengobatan hemangioma (tumor pembuluh darah) dan keganasan pada sel-sel darah merah. Radioisotop 153 Sm EDTMP dipakai untuk terapi paliatif penyebaran tumor ganas pada tulang. Radioisotop lainnya yang juga digunakan untuk radioterapi kanker adalah isotopisotop pemancar partikel- b seperti 186 Re, 115 Cd, 90Y, 169 Eu, dan 166 Dy 13. Penyebaran kanker ganas pada tulang di seluruh dunia mendorong perlunya pengembangan bahan baru untuk meringankan penderita penyakit ini. Diperkirakan setengah dari pasien yang menderita kanker prostat, payudara, dan paru-paru akhirnya berkembang menjadi kanker 89 ganas pada tulang. Penggunaan radiofarmaka EDTMP135Sm dan Sr telah didemonstrasikan secara efektif dapat mengurangi rasa sakit pada tulang. Uji klinik ini telah dilakukan di Amerika, Eropa, Cina, Jepang, dan Australia 8. Metode pengiriman radioisotop menuju bagian tubuh yang akan diterapi dilakukan sama seperti pengiriman radioisotop tersebut untuk diagnosis sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Pada terapi dengan radiofarmaka, radioisotop dalam bentuk senyawa diberikan kepada pasien secara oral maupun suntikan yang kemudian secara selektif terakumulasi dalam kanker di bagian tubuh atau organ tertentu. Jadi, proses terapinya menggunakan radiasi yang dipancarkan radioisotop yang mengendap dalam sel kanker itu sendiri (internal radiation). Senyawa yang dipakai sebagai radiofarmaka harus disesuaikan dengan sifat metabolik dan biologi kanker, sehingga radiofarmaka tersebut dapat membawa radioisotop ke lokasi kanker yang dituju. Selain memanfaatkan radioisotop pemancar partikel-b, saat ini juga diteliti kemungkinan pemanfaatan radioisotop pemancar partikel-a sebagai bahan penanda radiofarmaka yang potensial di masa mendatang. Astatin- 211 (211At) dan 212 Bi merupakan isotop pemancar partikel-a yang cukup menarik perhatian 14. Partikel-a ini dapat dipakai untuk terapi kanker yang paling efektif karena dapat memindahkan seluruh energinya kepada sel jaringan sejauh 10-15 mm saja. Jarak ini kira-kira sama dengan ukuran sel itu sendiri. Belakangan ini, banyak dilakukan penelitian mengenai kemungkinan penggunaan antibodi monoklonal yang ditandai dengan radioisotop. Antibodi monoklonal adalah antibodi yang sangat spesifik terhadap satu jenis antigen (reseptor) saja. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya mengenai komponen penyusun radiofarmaka, penggunaan antibodi monoklonal radioaktif untuk terapi dimungkinkan karena radiasi yang dipancarkan oleh radioisotop dapat dipakai untuk membunuh sel kanker, sedang antibodinya sendiri berfungsi membawa radioisotop agar secara selektif terakumulasi di tingkat seluler di tempat yang dikehendaki saja. Antibodi itu akan mencari antigen sehingga diharapkan akan terjadi irradiasi jaringan tumor secara maksimum tanpa menimbulkan kerusakan yang berarti pada sel-sel normal. D. Asas Keamanan Penggunaan Obat Obat merupakan suatu produk yang diproduksi oleh pabrik obat dengan harus mengikuti cara pembuatan obat yang baik di dalam memproduksinya. Sebelum diedarkan dimasyarakat, pabrik pembuat harus mendaftarkan produknya ke Departemen Kesehatan RI melalui Badan Pemeriksaan Obat dan Makanan (BPOM). Dalam pendaftaran tersebut har us tercantum data obat misalnya tentang: efektivitas, dosis, cara penggunaan, efek samping, stabilitas sediaan dan lain‐lain. Bila data telah lengkap dan memenuhi syarat yang telah ditentuk an, barulah produk akan mendapatkan nomor registrasi. Setelah obat mendapatkan izin edar, obat akan di distrubusikan atau diedarkan dengan cara distribusi obat yang baik. Dengan kata lain obat yang diedarkan tersebut “aman” dalam penggunaannya. Aspek pemantauan keamanan obat secara terus menerus merupakan h al yang sangat pentung dilakukan terhadap semua obat yang diproduksi oleh Industri Farmasi terutama ketika obat tersebut digunakan secara luas oleh masyarakat. Pemerintah melalui lembaga yang berwenang dalam pengaturan dan pengawasan dalam hal ini Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia mempunyai tanggung jawab kepada masyarakat untuk menjamin bahwa semua produk obat yang beredar adalah memenuhi persyaratan ama n, kemanfaatan dan bermutu (Rosilawati, 2017). Hal ini sesuai dengan asas keamanan penggunaan obat yakni memberikan jaminan keamanan dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan obat yang dikonsumsi atau digunakan oleh pasien. Agar obat yang digunakan oleh konsumen sesuai dengan asas keamanan penggunaan obat maka harus dilakukan pengawasan produksi obat dan peredaran obat tersebut. Dalam kaitan dengan pengawasan produksi obat yang bermutu maka Badan POM telah mensyaratkan bahwa obat harus diproduksi menurut Cara Produksi Obat yang Baik. CPOB menyangkut seluruh aspek produksi dan pengendalian mutu dan bertujuan untuk menjamin bahwa obat yang dibuat senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang telah ditentukan sesuai dengan tujuan penggunaannya. Industri Farmasi wajib menerapkan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dalam seluruh aspek dan rangkaian kegiatan pembuatan obat hal ini tertuang dalam Surat Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.00.05.3.0027 tahun 2006 tentang Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik. Industri farmasi yang telah memenuhi persyaratan CPOB akan diberik an sertifikat CPOB yang diperinci untuk setiap bentuk sediaan. Selanjutnya penerapan CPOB ini merupakan salah satu kriteria agar obat memiliki izin edar. Dengan demikian obat harus dibuat mengikuti cara produksi obat yang baik sehingga terpenuhi asas keamanan penggunaan obat (Rosilawati, 2017). Sedangkan penyaluran atau penyerahan sediaan farmasi dari Industri f armasi sampai ke tangan konsumen harus dilaksanakan dengan Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB). Cara distribusi obat yang baik dalam peredaran obat dapat memberikan jaminan keamanan penggunaan obat oleh konsumen. Hal ini tertuang didalam Keputusan Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor: HK. 00.05.3.2522 tahun 2003 tentang penerapan Pedoman Cara Distribusi Obat Yang Baik. Peredaran setiap obat erat kaitannya dengan izin edar dimana sediaan f armasi yang akan diedarkan kedalam dan dikeluarkan dari wilayah Indonesia harus memiliki izin edar seperti telah diatur dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan menyatakan bahwa sediaan farmasi hanya dapat diedarkan setelah mendap at izin edar (Rosilawati, 2017). Pemerintah berwenang mancabut izin edar dan memerintahkan penari kan dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh izin edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau kemanfaatan, dapat disita dan dimusnahkan sesuai dengan ketentuan pertauran perundang-undangan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 tahun 1998 tent ang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan juga menjelaskan bahwa sediaan farmasi hanya dapat diedarkan setelah memperoleh izin edar dari Menteri dan menyatakan izin edar sediaan farmasi diberikan atas dasar permohonan secara tertulis kepada menteri (Rosilawati, 2017). Semua produk obat yang beredar di pasaran Indonesia wajib diregistra si di Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM melalui tahpan evaluasi meliputi aspek keamanan kualitas, dan kemanfaatan yang berkaitan dengan produk tersebut. Untuk itu tentunya diperlukan sistem evaluasi dengan menggunakan perangkat keras, perangkat lunak dan keahlian serta kehandalan Sumber Daya Manusia. Oleh karena itu, semua produk yang telah lolos dievaluasi oleh Badan POM akan mendapatkan ijin edar melalui perolehan nomor registrasi. Izin edar suatu produk sangatlah penting dalam suatu sistem pengawas an obat hal ini dilakukan untuk mencapaipemastian mutu, khasiat dan keamanan obat yang diedarkan di wilayah Indonesia agar sesuai dengan asas keamanan penggunaan obat yakni memberikan jaminan kemanan dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan obat yang dikonsumsi atau digunakan oleh pasien (Rosilawati, 2017). BAB III KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA ANSTO. 2006. Radioisotopes: their role in society today [online]. Available at http://www.ansto.gov.au/__data/assets /pdf_file/0018/3564/Radioisotopes.pdf (verified 26 March 2019). Kartamiharja, A.H.S. 2012. Permasalahan Kedokteran Nuklir [online]. Available at http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2015/06/PERMASAL AHAN-PELAYANANKEDOKTERAN-NUKLIR-.pdf (verified verified 26 March 2019). Levita, J. dan Mutakin. 2015. Radioiodinasi pada Pembuatan Radiofarmaka. Yogyakarta: Deepublish. 4p. Masjhur, J.S. 2000. Aplikasi teknik nuklir dalam kesehatan masa kini. Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia, 1: 29–42. Rosilawati, N.E., Nasution, I., dan Murni, T.W. 2017. Penggunaan radiofarmaka untuk diagnosa dan terapi di Indonesia dan asas keamanan penggunaan obat. SOEPRA Jurnal Hukum Kesehatan, 3: 60–73. Senduk, P., Danes, V.R., dan Rumampuk, R.F. 2015. Penggunaan radioisotop pada deteksi dini penyakit kanker. Jurnal e-biomedik, 3: 620–623. World Health Organization. 2008. Radiopharmaceutical [online]. Available at http://www.who.int/medicines/publica tions/pharmacopoeia/Radgenmono.pdf (verified 26 March 2019). World Nuclear Assosiation. 2018. Radioisotopes in medicine [online]. Available http://www.worldnuclear.org/information-library/nonpower nuclearapplications/radioisotopesresearch/radioisotopes-inmedicine.aspx (verified 26 March 2019).