Anda di halaman 1dari 5

RADIONUKLIDA DIAGNOSTIK

DI susun Oleh :

Nama : Endah Giyah W. (2015210071)

Ester Pantau (2015210074)

Eudya Sintike (2015210075)

Kelas :C

Kelompok : 10

Dosen Pengampu : Dr. Novi Yantih, S.Si, M.Si. Apt.

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS PANCASILA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Radionuklida atau radioisotop adalah isotop dari zat radioaktif. Radionuklida mampu memancarkan
radiasi. Radionuklida dapat terjadi secara alamiah atau sengaja dibuat oleh manusia dalam reaktor
penelitian. Tergolong ke dalam zat radioaktif, unsur tersebut biasanya bersifat labil, berarti
tergolong zat radioaktif adalah isotopnya, karena untuk mencapai kestabilan salah satunya harus
melakukan peluruhan. Peluruhan zat radioaktif untuk menghasilkan unsur yang lebih stabil sambil
memancarkan partikel seperti, partikel alpha α (sama dengan inti He), partikel beta (β), dan partikel
gamma (γ).

Bagi sebagian orang, radioisotop masih memberikan kesan menyeramkan dan bahkan
menakutkan. Namun, sesungguhnya radioisotop telah memberikan kontribusi yang berarti dalam
kehidupan manusia. Mereka memberikan manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung
dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh umat manusia. Sebenarnya radioisotop
bukanlah sesuatu yang menyeramkan bagi kehidupan manusia melainkan sesuatu yang dapat
dimanfaatkan dan berguna bagi kehidupan manusia. Selain di bidang kesehatan, radioisotop juga
dapat dimanfaatkan dalam bidang industri, pertanian, arkeologi, pertambangan, kimia dan
kesenian.

Kedokteran nuklir merupakan salah satu cabang ilmu kedokteran yang dapat dikatakan
relatif masih baru jika dibandingkan dengan disiplin ilmu kedokteran lainnya. Berawal dari
ditemukannya zat radioaktif pada tahun 1896 oleh Henry Becquerel yang secara kebetulan
menemukan sinar nonvisual dari elemen Uranium yang dapat menghitamkan plat foto, manusia
mulai memanfaatkan tenaga nuklir walaupun mula-mulanya hanya digunakan untuk keperluan
militer. Baru setelah dunia dikejutkan oleh ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada
Agustus 1945 yang dapat menelan ratusan ribu korban jiwa, maka para ahli terutama ahli sarjana
kedokteran mengharapkan agar tenaga nuklir dapat dimanfaatkan untuk tujuan damai, diantaranya
dalam bidang kedokteran.

Pada tahun 1946 Badan Tenaga Atom Amerika Serikat mengizinkan menggunakan isotop
yang dibuat direaktornya digunakan untuk tujuan damai. Sejak saat itu pemanfaatan zat radioaktif
untuk tujuan damai meluas dengan pesat termasuk juga dalam bidang kedokteran yang dikenal
dengan kedokteran nuklir.
Dengan menggunakan tracer radioaktif banyak cara pemeriksaan baru ditemukan yang
sebelumnya dengan cara konvensional dianggap tidak mungkin.

Prof. DR. Johan Mansyur memberi batasan kedokteran nuklir sebagai cabang ilmu
kedokteran yang menggunakan sumber radiasi terbuka berasal dari desintegrasi inti radionuklida
buatan untuk mempelajari perubahan fisiologi dan biokimia sehingga dapat digunakan untuk tujuan
diagnostik, terapi dan penelitian kedokteran.

Sedangkan IAEA (International Atomic Energy Agency) dan WHO mendefinisikan


kedokteran nuklir : Nuclear Medicine is difined as medical special wich uses the nuclear properties
of matter to investiges physiology and anatomy diagnosis diseases and threat with unsealed
sources of radionulide.

Secara umum kedokteran nuklir didefinisikan sebagai salah satu cabang ilmu kedokteran yang
memanfaatkan energi nuklir (inti atom untuk keperluan menyelidiki, mendiagnosa dan terapi
penyakit). Berbeda dengan pencitraan dengan pesawat CT-Scan, USG, maupun MRI yang sifatnya
morfologik karena lebih didasarkan pada perubahan atau perbedaan karakter fisik anatomik yang
menimbulkan perubahan atau perbedaan transmisi radiasi atau gelombang ultrasonik ataupun
radiofrekwensi yang melalui organ bagian tubuh yang diperiksa, maka pencitraan kedokteran nuklir
dengan kamera gamma atau kamera PET (positron emission tomography) bersifat fungsional
karena didasarkan pada perubahan biokimiawi-fisiologik yang menimbulkan pola emisi radiasi yang
mencerminkan fungsi organ atau bagian tubuh yang diperiksa.

Kedokteran nuklir dasarnya adalah prinsip perunut untuk mempelajari perubahan fisiologi dan
biokimia pada tingkat seluler bahkan molekuler dan dengan demikian ilmu kedokteran nuklir
banyak bersinggungan dengan ilmu kedokteran molekuler.
BAB II

ISI

2.1 PEMANFAATAN RADIONUKLIDA DI BIDANG KEDOKTERAN

Pemakaian zat radioaktif atau dikenal dengan radioisotop dalam bidang kedokteran untuk maksud
diagnosis, pertama kali diperkenalkan oleh Blumgart dan Yens pada tahun 1972 dengan
menggunakan gas radioaktif Ar-35 untuk mengukur peredaran darah. Kemudian pada tahun 1937,
pemakaian radioisotop untuk pengobatan dilakukan oleh Lawrence dalam pengobatan leukimia.

Di bidang kedokteran teknologi ini telah lama dimanfaatkan. Radioisotop Teknesium-99m


(Tc-99m) merupakan radioisotop primadona yang mendekati ideal untuk mencari jejak di dalam
tubuh. Hal ini dikarenakan radioisotop ini memiliki waktu paruh yang pendek sekitar 6 jam sehingga
intensitas radiasi yang dipancarkannya berkurang secara cepat setelah selesai digunakan.
Radioisotop ini merupakan pemancar gamma murni dari jenis peluruhan electron capture dan tidak
memancarkan radiasi partikel bermuatan sehingga dampak terhadap tubuh sangat kecil. Selain itu,
radioisotop ini mudah diperoleh dalam bentuk carrier free (bebas pengemban) dari radioisotop
molibdenum-99 (Mo-99) dan dapat membentuk ikatan dengan senyawa-senyawa organik.
Radioisotop ini dimasukkan ke dalam tubuh setelah diikatkan dengan senyawa tertentu melalui
reaksi penandaan (labelling). Di dalam tubuh, radioisotop ini akan bergerak bersama-sama dengan
senyawa yang ditumpanginya sesuai dengan dinamika senyawa tersebut di dalam tubuh. Dengan
demikian, keberadaan dan distribusi senyawa tersebut di dalam tubuh yang mencerminkan
beberapa fungsi organ dan metabolisme tubuh dapat dengan mudah diketahui dari hasil
pencitraan. Pencitraan dapat dilakukan menggunakan kamera gamma. Radioisotop ini dapat pula
digunakan untuk mencari jejak terjadinya infeksi bakteri, misalnya bakteri tuberkolose, di dalam
tubuh dengan memanfaatkan terjadinya reaksi spesifik yang disebabkan oleh infeksi bakteri.
Terjadinya reaksi spesifik tersebut dapat diketahui menggunakan senyawa tertentu, misalnya
antibodi, yang bereaksi secara spesifik di tempat terjadinya infeksi. Dengan menyuntikkan oksida
Tc-99, unsur radioaktif ini akan mengalir mengikuti darah. Bagian tubuh yang tidak terdapat tumor
tidak akan menyerap unsur itu, sedangkan bagian tubuh yang terkena tumor akan menyerap unsur
itu. Dengan begitu di daerah yang terdapat tumor, keaktifan radioisotop lebih besar dibandingkan
dengan daerah lain yang sehat. Hal ini menyebabkan daerah yang terdapat tumor mudah dilacak
atau dirunut.
Radioisotop sebagai perunut juga digunakan untuk mencari bagian yang mengalami penyempitan
pada pembuluh darah yang disebut trombosit. Pasien yang akan diperiksa disuntik dengan
radioisotop natrium. Darah akan mengalirkan isolop ini ke selurun bagian tubuh. Bagian yang
mengalami penyempitan darah akan mempunyai jumlah natrium yang berbeda dengan bagian lain
yang sehat. Dengan menggunakan detektor radioaktif dapat diketahui bagian yang terkena
penyempitan.

Radioisotop juga dapat digunakan untuk mempelajari kecepatan penyerapan suatu unsur
oleh kelenjar misalnya kelenjar gondok yang ada dalam tubuh. Unsur yang digunakan adalah
iodium yang bersifat radioaktif sebagai radioisotop.

Anda mungkin juga menyukai