DI susun Oleh :
Kelas :C
Kelompok : 10
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PANCASILA
BAB I
PENDAHULUAN
Radionuklida atau radioisotop adalah isotop dari zat radioaktif. Radionuklida mampu memancarkan
radiasi. Radionuklida dapat terjadi secara alamiah atau sengaja dibuat oleh manusia dalam reaktor
penelitian. Tergolong ke dalam zat radioaktif, unsur tersebut biasanya bersifat labil, berarti
tergolong zat radioaktif adalah isotopnya, karena untuk mencapai kestabilan salah satunya harus
melakukan peluruhan. Peluruhan zat radioaktif untuk menghasilkan unsur yang lebih stabil sambil
memancarkan partikel seperti, partikel alpha α (sama dengan inti He), partikel beta (β), dan partikel
gamma (γ).
Bagi sebagian orang, radioisotop masih memberikan kesan menyeramkan dan bahkan
menakutkan. Namun, sesungguhnya radioisotop telah memberikan kontribusi yang berarti dalam
kehidupan manusia. Mereka memberikan manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung
dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh umat manusia. Sebenarnya radioisotop
bukanlah sesuatu yang menyeramkan bagi kehidupan manusia melainkan sesuatu yang dapat
dimanfaatkan dan berguna bagi kehidupan manusia. Selain di bidang kesehatan, radioisotop juga
dapat dimanfaatkan dalam bidang industri, pertanian, arkeologi, pertambangan, kimia dan
kesenian.
Kedokteran nuklir merupakan salah satu cabang ilmu kedokteran yang dapat dikatakan
relatif masih baru jika dibandingkan dengan disiplin ilmu kedokteran lainnya. Berawal dari
ditemukannya zat radioaktif pada tahun 1896 oleh Henry Becquerel yang secara kebetulan
menemukan sinar nonvisual dari elemen Uranium yang dapat menghitamkan plat foto, manusia
mulai memanfaatkan tenaga nuklir walaupun mula-mulanya hanya digunakan untuk keperluan
militer. Baru setelah dunia dikejutkan oleh ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada
Agustus 1945 yang dapat menelan ratusan ribu korban jiwa, maka para ahli terutama ahli sarjana
kedokteran mengharapkan agar tenaga nuklir dapat dimanfaatkan untuk tujuan damai, diantaranya
dalam bidang kedokteran.
Pada tahun 1946 Badan Tenaga Atom Amerika Serikat mengizinkan menggunakan isotop
yang dibuat direaktornya digunakan untuk tujuan damai. Sejak saat itu pemanfaatan zat radioaktif
untuk tujuan damai meluas dengan pesat termasuk juga dalam bidang kedokteran yang dikenal
dengan kedokteran nuklir.
Dengan menggunakan tracer radioaktif banyak cara pemeriksaan baru ditemukan yang
sebelumnya dengan cara konvensional dianggap tidak mungkin.
Prof. DR. Johan Mansyur memberi batasan kedokteran nuklir sebagai cabang ilmu
kedokteran yang menggunakan sumber radiasi terbuka berasal dari desintegrasi inti radionuklida
buatan untuk mempelajari perubahan fisiologi dan biokimia sehingga dapat digunakan untuk tujuan
diagnostik, terapi dan penelitian kedokteran.
Secara umum kedokteran nuklir didefinisikan sebagai salah satu cabang ilmu kedokteran yang
memanfaatkan energi nuklir (inti atom untuk keperluan menyelidiki, mendiagnosa dan terapi
penyakit). Berbeda dengan pencitraan dengan pesawat CT-Scan, USG, maupun MRI yang sifatnya
morfologik karena lebih didasarkan pada perubahan atau perbedaan karakter fisik anatomik yang
menimbulkan perubahan atau perbedaan transmisi radiasi atau gelombang ultrasonik ataupun
radiofrekwensi yang melalui organ bagian tubuh yang diperiksa, maka pencitraan kedokteran nuklir
dengan kamera gamma atau kamera PET (positron emission tomography) bersifat fungsional
karena didasarkan pada perubahan biokimiawi-fisiologik yang menimbulkan pola emisi radiasi yang
mencerminkan fungsi organ atau bagian tubuh yang diperiksa.
Kedokteran nuklir dasarnya adalah prinsip perunut untuk mempelajari perubahan fisiologi dan
biokimia pada tingkat seluler bahkan molekuler dan dengan demikian ilmu kedokteran nuklir
banyak bersinggungan dengan ilmu kedokteran molekuler.
BAB II
ISI
Pemakaian zat radioaktif atau dikenal dengan radioisotop dalam bidang kedokteran untuk maksud
diagnosis, pertama kali diperkenalkan oleh Blumgart dan Yens pada tahun 1972 dengan
menggunakan gas radioaktif Ar-35 untuk mengukur peredaran darah. Kemudian pada tahun 1937,
pemakaian radioisotop untuk pengobatan dilakukan oleh Lawrence dalam pengobatan leukimia.
Radioisotop juga dapat digunakan untuk mempelajari kecepatan penyerapan suatu unsur
oleh kelenjar misalnya kelenjar gondok yang ada dalam tubuh. Unsur yang digunakan adalah
iodium yang bersifat radioaktif sebagai radioisotop.