Anda di halaman 1dari 32

KEDOKTERAN NUKLIR

Oleh : Yeti Kartikasari, ST,M.Kes


DEFINISI KEDOKTERAN NUKLIR
 Kedokteran nuklir adalah bidang kedokteran yang
memanfaatkan materi radioaktif untuk menegakkan
diagnosis, terapi penyakit serta penelitian.
 menurut WHO adalah ilmu kedokteran yang dalam
kegiatannya menggunakan sumber radiasi terbuka
(“unsealed’) baik untuk tujuan diagnosa, maupun untuk
pengobatan penyakit (terapi), atau dalam penelitian
kedokteran.
 Mnr BATAN adl : cabang dari ilmu kedokteran yang
memanfaatkan radiofarmaka (senyawa kompleks dari
radioisotop sumber terbuka berumur paro relatif pendek
dengan suatu sediaan farmasi yang spesifik untuk organ
tertentu) dan peralatan deteksi nuklir (deteksi sinar
gamma atau betha) yang dilengkapi perangkat lunak
khusus untuk mengetahui fungsi dan atau anatomi organ
tertentu dalam rangka diagnostik suatu kelainan /
penyakit dan atau terapi penyakit.
IN VIVO- IN VITRO
 Kedokteran Nuklir mencakup pemasukan
radioisotop ke dalam tubuh pasien (studi in-vivo)
 dan dapat pula dengan mereaksikannya dengan
bahan biologis seperti darah, cairan lambung,
urine, dan sebagainya, yang berasal dari tubuh
pasien, yang lebih dikenal sebagai studi in-vitro
(dalam tabung percobaan).
4 KEGIATAN DI KN

1. Pemeriksaan radioaktivitas secara eksternal in vivo
setelah pemberian radionuklida secara internal. Pada studi
in-vivo, setelah radioisotop dapat dimasukkan ke tubuh
pasien melalui mulut, suntikan, atau dihirup lewat hidung,
maka informasi yang dapat diperoleh dari pasien dapat
berupa:
- Citra atau gambar dari organ/bagian tubuh pasien yang
diperoleh dengan bantuan
peralatan kamera gamma ataupun kamera positron
(teknik imaging).
- Grafik atau skala yang menunjukkan akumulasi maupun
intensitas radioisotop
- Sampel dari tubuh pasien yang mengandung radioisotope
seperti darah atau urine,
untuk dicacah (teknik non-imaging).
4 KEGIATAN DI KN.....
 2. Pengukuran radioaktivitas secara in vitro
dalam eluat hasil ekskresi setelah pemberian
radionuklida seperti : studi absorpsi vitamin,
studi kandungan air dalam tubuh secar total
(total body water), studi metabolisme dan
aplikasi bidang hematologi,
3. Pemeriksaan in vitro
4. Terapi dengan radioisotop, misalnya
pemberian iodium aktif untuk penyembuhan
panyakit kaker tiroid.
SEJARAH KN
 SEJARAH
Penggunaan isotop radioaktif dalam bidang
kedokteran dimulai tahun 1901
oleh Henri Danlos yang menggunakan Radium
untuk pengobatan penyakit TBC
kulit. Namun yang dianggap sebagai Bapak Ilmu
Kedokteran Nuklir adalah George C De
Havessy yang meletakkan dasar prinsip perunut
dengan menggunakan zat
radioaktif. Waktu itu yang digunakan adalah
radioisotop alam Pb212. Dengan
ditemukannya radioisotop buatan, maka
radioisotop alam tidak lagi digunakan.
SEJARAH KN ......
 Radioisotop buatan yang banyak dipakai pada
masa awal perkembangan kedokteran nuklir
adalah I-131. Pemakaiannya kini telah terdesak
oleh Tc99m, selain karena
sifatnya yang ideal dari segi proteksi radiasi dan
pembentukan citra juga dapat
diperoleh dengan mudah, serta harga relatif
murah. Namun demikian, I131 masih
sangat diperlukan untuk diagnostik dan terapi,
khususnya kanker kelenjar tiroid.
RADIOFARMAKA......

Radiofarmaka merupakan sediaan farmasi dalam


bentuk senyawa kimia yang mengandung radioisotop
yang diberikan pada kegiatan kedokteran nuklir.
Sediaan radiofarmaka pada umumnya terdiri dari 2
komponen yaitu :
1. radioisotop dan
2. bahan pembawa menuju ke organ target.
Pancaran radiasi dari radioisotop pada organ target
itulah yang akan dicacah oleh detector (gamma
kamera) untuk direkostruksi menjadi citra ataupun
grafik intensitas radiasi..
SENYAWA RADIOAKTIF
 Syarat senyawa radioaktif untuk tujuan
diagnosa adalah :
 1. murni satu nuklida saja,

 2 . murni secara radiokimia,

 3 . Pemancar sinar-gamma energi tunggal yang


besarnya berkisar antara 100-400 KeV
 4. stabil dalam bentuk senyawa

 5. Waktu paruh biologis pendek


CONTOH RADIOFARMAKA.....
 . Beberapa contoh sediaan radiofarmaka antara
lain : Brom Sufatein I-131 (BSP), Hipuran I-131,
Radio Iodinated Human Serum Albumin
(RIHSA), Rose Bengal I-131, Tc-99m dalam
bentuk senyawa Natrium Perteknetat, Thalium -
201, Galium-68.
 Beberapa contoh radiofarmaka untuk terapi : I-
131, Bi-212, Y-90, Cu-67, Pd-109. Radiofarmaka
yang banyak dipakai untuk keperluan in-vitro
test adalah I-125.
PRODUKSI RADIOFARMAKA
 Produksi sediaan radiofarmaka dapat
diklasifikasikan menjadi 4 :
1. Radioisotop primer medical yaitu radioisotop
dalam bentuk kimia yang sederhana (biasanya
an-organik). Diproduksi dengan cara
mengiradiasi atom sasaran dalam reaktor nuklir
atau dalam siklotron.
2. Senyawa bertanda medikal yaitu senyawa
yang salah satu atau lebih dari atom atau
gugusnya digantikan dengan atom unsur
radioisotop
PRODUKSI RADIOFARMAKA
 3. Generator radioisotop ; untuk mendapatkan
radioisotop umur pendek pada lokasi yang jauh dari
tempat produksi radioisotop terutama bagi rumah-
sakit yang tidak memiliki fasilitas reaktor nuklir
maka diciptakanlah generator radioisotop.
 Generator radioisotop adalah suatu sistem yang
terdiri dua macam radioisotop yaitu radioisotop induk
dan radioisotop anak yang keduanya membentuk
pasangan kesetimbangan radioaktif.
 Radioisotop induk memiliki waktu paruh yang lebih
panjang daripada waktu paruh radioisotop anak.
Radioisotop anak digunakan untuk keprluan
diagnostik maupun terapi.
PRODUKSI RADIOFARMAKA
 4. Kit Radiofarmaka ; adalah sediaan non-
radioaktif yang terdiri dari beberapa senyawa
kimia yang akan ditandai dengan radioisotop
untuk menjadi sediaan radiofarmaka.
Radioisotop yang paling banyak digunakan
adalah Technitium -99m (Tc-99m)
KELEBIHAN TC-99M
Technitium -99m (Tc-99m) karena punya beberapa
kelebihan, yaitu :
- Waktu Paruh pendek (6,03 jam)
- Memancarkan gamma murni dengan energi 140 kev
- Mempunyai tingkat valensi 1 sampai 7 sehingga
mudah bereaksi dengan senyawa lain.
- Dapat diperoleh dengan cara elusi generator
radioisotop.
Oleh kerena itu sediaan radiofarmaka yang
berkembang sampai saat ini adalah
sediaan radiofarmaka Technitium yang disiapkan
dalam bentuk kit radiofarmaka,
sedangakan Tc-99m dapat diperoleh dengan elusi
generator.
MEKANISME PENEMPATAN RADIOFARMAKA DALAM TUBUH

 1. Active transport :
Secara aktif sel-sel organ tubuh, memindahkan radiofarmaka
dari darah ke dalam organ tertentu, selanjutnya mengikuti
proses metabolisme atau dikeluarkan dari tubuh. Contoh : I-
131 akan ditransfer ke sel-sel thyroid untuk pembuatan T3
dan T4, Tc-99m IDA dan I-131 Rose Bengal oleh sel poligonal
hati ditransfer dari darah kemudian diekskresi ke usus halus,
lewat saluran empedu, I-131 Hippuran diekskresi oleh
tubulus sehingga dapat untuk pemeriksaan ginjal.

 2. Phogocytosis :
Beberapa Radionuklida seperti Tc-99m, In-113m atau Au-198
jika diikat oleh pembawa materi berbentuk”koloid” maka
radiofarmaka ini akab difagosit oleh RES tubuh. Bila
radiofarmaka ini disuntikkan secara Intra Vena maka dapat
memeriksa scanning liver, limpa, dan sumsum tulang, jika
disuntikkan secara subcutan untuk memeriksa kelenjar getah
bening.
MEKANISME PENEMPATAN RADIOFARMAKA DALAM
TUBUH

3. Cell Sequestration (pengasingan sel) :


Sel darah merah yang ditandai Cr-51 dan dipanaskan
50 derajat celcius selama 1 menit, lalu dimasukkan
ke tubuh penderita secara intravena maka akan
diasingkan ke limpa untuk pemeriksaan scanning
limpa.

4. Capillary Blockage (Penghalang Kapiler) :


Bila pembawa materi berbentuk makrokoloid (dengan
ukuran 20-30 mikron) dan disuntikkan secara
intravena maka akan menjadi penghalang kapiler di
paru-paru. Contoh ; Tc-99m MAA untuk scanning
perfusi hati
MEKANISME PENEMPATAN RADIOFARMAKA DALAM
TUBUH

5. Simple or Exchanged Diffusion (pertukaran difus) :


Radiofarmaka tersebut akan saling bertukar tempat
dengan senyawa yang sama dari organ tubuh, contoh ;
Polifosfat bertanda Tc-99m (Tc-99m MDP) akan bertukar
tempat dengan senyawa polifosfat tulang dan dalam
jangka 2-4 jam Tc-99m MDP akan merata dalam tulang,
pemeriksaan untuk mendeteksi lesi otak denagn RIHSA
dan cairan interselluler otak.

6. Compartmental Localization (kompartemental) :


Bila radiofarmaka dapat menggambarkan blood pool
karena keberadaannya yang cukup lama dalam darah
maka ikatan ini dapat dipakai untuk scanning jantung dan
plasenta (ventrikulografi dan placentografi). Contoh ;
RIHSA untuk pemeriksaan plasenta, Cr-51 eritrosit, Tc-
99m Sn eritrosit untuk ventrikulografi jantung.
FAKTOR-FAKTOR YANG PERLU DIPERTIMBANGKAN DALAM MEMILIH
RADIOFARMAKA UNTUK PEMERIKSAAN ADALAH :

 1. Jenis peluruhan radiasi ;


Untuk keperluan pemeriksaan eksternal in vivo, sinar-gamma
dengan energi 100-500 kev sangat ideal. Karena radiasi dengan
energi lebih besar 500 kev akan mampu menembus pelindung dan
sekat-sekat pada kolimator sehingga terjadi penurunan spatial
resolution. Juga dengan energi sangat kecil (lebih kecil 20 kev)
banyak penyerapan foton oleh jaringan sebelum mencapai detektor.
Dengan demikian sinar gamma murni tanpa radiasi partikel yang
dibutuhkan untuk diagnostik kedokteran nuklir.

 2. Waktu Paruh :
meliputi waktu paruh fisik yaitu waktu yang diperlukan zat
radioaktif untuk mencapai kativitas setngah dari aktivitas mula-
mula, waktu paruh biologis yaitu waktu yang dibutuhkan untuk
mengeluarkan setengah radionuklida murni dari suatu organ tubuh
serta waktu paruh efektif yaitu waktu yang diperlukan setengah zat
yang telah dimasukkan ke dalam tubuh.
FAKTOR-FAKTOR YANG PERLU DIPERTIMBANGKAN DALAM MEMILIH
RADIOFARMAKA UNTUK PEMERIKSAAN ADALAH :

 3. Biological Behaviour :
Menyangkut perlakuan organ tubuh terhadap
radiofarmaka tersebut., sehingga penting untuk
menentukan paparan radiasi dari suatu organ atau untuk
mendapatkan hasil interpretasi. Juga dengan mengetahui
biological behaviuor kita dapat memperkirakan eskresi
suatu radiofarmaka.

 4. Aktifitas tertentu (The specific activity) :


Bagian radiofarmaka yang berperan memberikan foton
yang penting untuk pendeteksian. Sebab dalam suatu
materi dapat ditemui bagian yang bersifat non-radioaktif
yang dapat merugikan.

5. Jenis Instrument : Berbagai jenis peralatan kedokteran


nuklir sengaja didesain hanaya untuk radioisotop yang
memiliki enrgi tertentu.
DETEKSI RADIOISOTOP DAPAT DIBAGI
DALAM 5 KATEGORI :


1. Delution, absoption dan excretion sudies : Bila
penderita disuntikkan sejumlah radiofarmaka
yang telah diketahui jumlahnya, maka delution
yang terjadi atau prosentase absorsi atau kapan
dieskresi dapat ditentukan melalui sampel
darah, urin, feses dan lain-lain.

2. Concentration sudies : bila suatu radiofarmaka
diberikan pada seorang pasien kemudian diukur
berapa persen yang ditangkap suatu organ, misal
Thyroid Up-take.
DETEKSI RADIOISOTOP DAPAT DIBAGI
DALAM 5 KATEGORI :
 3. Dinamic function study : Suatu radiofarmaka
dipelajari saat mencapai atau meninggalakan suatu
organ. Misal ; pada pemeriksaan cerebral blood flow,
renogram.

 4. Organ system atau pool Visualization : Setalah


radiofarmaka dimasukkan ke dalam tubuh pasien
maka distribusinya akan tersaji dalam bentuk
gambar. Misalnya pada pemeriksaan scanning otak,
cardiac blood pool , Bone scan.

 5. In vitro test
6. Radiofarmaka dicampur dengan sampel penderita,
misalnya pada pemeriksaan T3 x T4.
2 MACAM GAMBARAN YANG DIPEROLEH DARI HASIL
SCANNING :

1. Hot area, artinya daerah abnormal yang


menunjukkan kenaikan up take (distribusi
yang berlebihan) radiofarmaka. Contoh ;
bone scanning dan brain scanning.

2. Pada keadaan dimana radiofarmaka diikat


oleh organ tubuh yang normal sehingga
pada keadaan abnormal timbul penurunan
aktivitas atau cold area. Contoh : scanning
liver, thyroid.
INSTRUMENTASI KEDOKTERAN NUKLIR

Berikut ini komponen pokok kedokteran nuklir
yaitu :
1. Stationary Probe : Biasanya untuk
pemeriksaan : test konsentrasi pada organ
maupun dinamic test. Data yang diperoleh,
berupa count per unit waktu, atau waktu yang
dibutuhkan untuk sejumlah count tertentu.
2. Well Counter : Prinsip kerja sama dengan
stationary probe yaitu berupa count per waktu
tetapi hanya dikhususkan untuk counting dari
sampel berupa urine, darah feces dan lain-lain
(in vitro test).
INSTRUMENTASI KEDOKTERAN NUKLIR
 3. Scanner : Menghasilkan gambar 2 dimensi dari
distribusi radiofarmaka dalam suatu organ. Dapat
juga untuk menilai pada pemeriksaan-pemeriksaan
concentration, delution, excretion dan absorbtion.
Scanning berupa gerakan maju-mundur melalui
daerah yang diinginkan sehingga menghasilkan
gambar yang tersusun dari garis-garis atau titik-
titik. Ukuran dan jumlah kristal detektor NaI
menentukan hasil dan kecepatan scanner. Semakin
banyak detektor atau semakin besar ukuran
kristalnya hasil semakin baik dan waktu scanning
makin cepat.

 4. Camera : Yaitu alat pencitraan yang dapat


menyajikan gambar tanpa menggerakkan detektor.
INSTRUMENTASI KEDOKTERAN NUKLIR
TEKNIK PENGGAMBARAN DI KN
GAMMA KAMERA
KAMERA GAMMMA
 Alat yang digunakan adalah Kamera Gamma
(Gambar 1) yang dilengkapi dengan detektor
sintilasi (kristal Na! atau Tl), untuk mengubah
foton sinar gamma menjadi kilatan cahaya yang
dilipatgandakan oleh tabung pelipat ganda foto
(photomultiplier).
Gambar 1. Kamera Gamma
KAMERA GAMMA

 Selanjutnya sintilasi diubah menjadi pulsa


elektronik dan terakhir menjadi pulsa-pulsa
tegangan yang tingginya sebanding dengan
energi foton terpancar dari dalam tubuh. Dengan
bantuan komputer, pulsa direkam dan diolah,
kemudian ditampilkan pada layar.
 Pada pertengahan tahun 1970, instrumen
semacam ini dikembangkan lagi dengan teknik
tiga dimensi. Dengan mengubah konfigurasi
detektor serta meningkatkan daya komputasi
secara elektronik, dapat dibuat gambar tiga
dimensi dan distribusi radionuklida dalam
tubuh. Teknik ini dikenal dengan teknik
computed tomography
Perbandingan daya tembus alfa, beta
gamma


 

  

Paper Copper/Perspex Lead/Concrete

Anda mungkin juga menyukai