Anda di halaman 1dari 32

1

MODUL AGAMA ISLAM


VIII
P O L I T I K

Standar Kompetensi
Setelah membaca bab ini mahasiswa diharapkan :
1. Mengerti tentang makna politik baik secara umum maupun menurut Islam.
2. Pengerti tentang politik Islam.
3. Mengerti tentang kontribusi agama dalam kehidupan politik, yaitu syarat seorang pemimpin,
kewajiban seorang pemimpin, hak pemimpin, kewajiban rakyat, hak rakyat, perimbangan
antara kewajiban dan hak pemimpin terhadap rakyat dan sebaliknya, prinsip-prinsip
demokrasi, dan prinsip syura.
4. Sumbangan praktis Islam dalam perpolitikan di negara kesatuan republik Indonesia
5. Mengerti tentang peranan agama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan.

A. Pengertian Politik
Term politik tidak ditemukan dalam bahasa Arab, melainkan berasal dari bahasa
Latin ‘politicus’ atau dari bahasa Yunani ‘politicos’ yang berarti berhubungan dengan warga
negara atau warga kota. ‘Polis’ berarti kota ( Noah, l980: 437). Kata itu terserap ke dalam
bahasa Indonesia menjadi ‘politik’ dalam bahasa Arab adalah as-siyasah
(AlMunawwir,[t.th.]: 724).
Secara etimologis (istilah) dalam pengertian yang amat longgar “politik”
mengandung arti; (1) pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, sistem
pemerintahan, dan dasar-dasar pemerintahan, (2) Semua urusan dan tindakan mengenai
pemerintahan terhadap negara lain, (3) Pengembilan keputusan, (4) Kebijaksanaan, dan (5)
pembagian atau penjatahan nilai-nilai dalam masyarakat (Miriam, l993: 8-9). Deliar Noer
menjelaskan ‘politik’ adalah segala aktifitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan
dan yang bermaksud untuk mempengaruhi, dengan jalan mengubah atau mempertahankan
suatu macam bentuk susunan masyarakat.
Bertolak dari berbagai pengertian dan kandungan yang terdapat dalam kata
‘politik’, jabarannya dalam kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat amat luas.
Pencalonan diri supaya menjadi presiden, anggota DPR, ketua suatu kelompok kesenian,
kelompok diskusi, kelompok pengajian sekalipun merupakan tindakan politik karena di balik
itu semua berkait dengan kekuasaan. Kegiatan kampanye, propaganda untuk memperoleh
kekuasaan tersebut merupakan tindakan pilitik karena secara nyata adalah mempengaruhi
orang lain supaya mengikuti kehendak pelaku kampanye atau propagandis tersebut. Ribuan
buruh suatu pabrik yang melakukan demonstrasi menuntut kenaikan upah kerja adalah
tindakan politik karena mempengaruhi pemilik perusahaan agar mengikuti kehendak para
buruh itu. Para mubaligh yang berceramah di hadapan para jamaahnya, meskipun secara
umum disebut dakwah dapat pula disebut berpolitik, praktisnya isi kongkrit ceramah adalah
ajak-ajak atau mempengaruhi jamaah (audiens) agar berbuat sesuatu yang baik menurut
agama.
Aneka produk perundang-undangan seperti konstitusi, Undang-Undang Dasar,
Peraturan Pemerintah (PP), Surat Keputusan (SK) dari presiden, menteri, gubernur, atau
2

secara umum adalah pemerintah, atau dari badan-badan dan lembaga tertentu juga merupakan
tindakan politik karena isi SK pastilah merencanakan susunan tertentu dalam masyarakat atau
seseorang, yaitu mengangkat atau memberhentikan status dalam struktur tertentu.
Karena istilah politik tidak ditemukan dalam ajaran dasar dalam Islam, tetapi agama
ini mengatur secara umum agar sikap, mental, dan perbuatan harus baik, termasuk di
dalamnya perilaku manusia dalam berpolitik, maka kalau harus dimunculkan istilah politik
Islam, pengertiannya bisa saja persis yang dikemukakan oleh Miriam Budihardjo, Deliar
Noer, atau yang lainnya, kemudian ditambah frasa berdasarkan hukum-hukum Allah yang
terkandung dalam Alquran maupun as-Sunnah sahihah. Wujud kekuasaan politik Islam
diselenggarakan menurut Alquran dan as-Sunnah (Abdul Mu’in Alim: l994: 293). Alquran
dan as-Sunnah sebagai dasar sistem poilitik inilah yang membedakan dengan sistem politik
apapun yang non Islam (sekuler).

B. Sistem Politik Dalam Islam


Jika mengacu kepada sejarah perpolitikan Islam terutama zaman klasik, bahkan
hingga zaman kontemporer ini, sebenarnya tidak ada pembakuan secara umum yang berlaku
di negara-negara yang memproklamirkan diri sebagai negara Islam. Alquran maupun as-
Sunnah tidak memberikan penjelasan yang mnendetail dan rinci mengenai sistem politik.
Sumber asasi di dalam Islam hanya memberi rambu-rambu yang amat global, umpama Allah
berfirman:

Artinya :
“ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya).....(QS. An Nisa’ : 59).
Ayat ini secara implisit menghendaki keberadaan: (1) suatu negara yang ada
pemimpinnya, (2) rakyat yang taat kepada pemimpin, (3) Jika ada pertentangan di antara
kedua belah pihak hendaklah kembali kepada petunjuk Alquran dan as-Sunnah, dan (4) tidak
boleh ada dominasi dari satu pihak kepada pihak yang lain. Jadi pemimpin mengayomi rakyat
dan rakyat taat kepada pemimpin. Lanjutan ayat itu berbunyi

Artinya :
“...jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya“.(QS. An Nisa’ : 59).
Empat poin dalam kandungan ayat ini adalah perwujudan iman. Implikasinya lebih
jauh adalah: (1) Jika para pemimpin tidak mengayomi rakyat, (2) jika rakyat tidak taat
pemimpin atau pemerintah syah, (3) jika ada perpebedaan prinsip antara rakyat dan
pemerintah (pemimpin) yang cara pemecahannya tidak dikembalikan menurut petunjuk
Alquran maupun as-Sunnah, maka mereka itu tidak termasuk orang beriman.
3

Kata ‘iman’ seakar kata dengan amin, artinya aman tidak ada gangguan dan
ancaman. Aplikasinya dalam kehidupan kenegaraan baik pemerintah maupun rakyat harus
bersama-sama menciptakan suasana aman atau kondusif sehingga kehidupan bersama dalam
berbagai bidang seperti: ekonomi, sosial, politik, dan yang lainnya berjalan dengan lancar
aman, tanpa rasa khawatir akan berbagai macam gangguan. Siapapun yang membuat gaduh
atau kacau dalam suatu negara, dia itu bukan orang beriman. ‘al-Amin’ juga berarti kuat dan
setia, artinya sebagai warga negara harus setia terhadap negara secara kuat (nasionalisme)
yaitu cinta kepada negara (hub al-wathan) sebagai bagian integral dari iman. Siapapun warga
negara atau bada apapun dalam suatu negara seperti LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)
yang menjadi antek negara asing) dan menjual dokumen-dokumen penting negaranya adalah
bukan orang-orang beriman. Mereka amat berbahaya kerena pada hakikatnya mereka itu
adalah mesin pengkhianat negara. Sudah sepentasnya jika keberadaan mereka harus dikikis
habis tak bersisa.
Kata ‘iman juga seakar kata dengan ‘amanah’ yang berarti dapat dipercaya.
Kaitannya dengan kenegaraan, baik pemerintah maupun rakyat harus saling dapat
mempercayai maupun dipercayai. Rakyat bersifat anarkhis dan pemerintah yang korup, jelas
masing-masing tidak dapat dipercaya atau mempercayai. Lebih dari itu mereka sebenarnya
tidak beriman. Suatu negara yang pejabatnya korup, mementingkan kekayaan pribadi dengan
cara menggerogoti kekayaan negara secara tidak syah, negara ini disebut al-madinah
alfasiqah, yaitu negeri yang rusak (Harun Nasution, l981 : 33). Sementara itu, jika rakyat
besifat anarkhis dan mamaksakan kehendaknya sendiri sehingga negara itu menjadi
semrawut, para pemimpin hanya sibuk mengurusi demo-demo berkepanjangan sehingga
tidak bisa mengatur negara secara baik, negara ini disebut, al-madinah al-jama’ah. Negara
seperti ini semuanya ingin berkuasa. Al-madinah a-jama’iah adalah salah satu bentuk dari
negeri bodoh (almadinah al-jahilah) , yaitu negara baik pemerintah maupun rakyatnya hanya
berusaha memenuhi kebutuhan jasmani, memperkaya diri, ambisi kekuasaan, dan
mengumbar hawa nafsu (Harun Nasution, l981 : 33). Suatu bangsa yang bentuk negara dan
sistem pemerintahannya bertipologi al-madinah al-jami’ah maupun al-madinah al-jahilah
secara prinsip bangsa itu dapat dikatakan sebagai bangsa yang tidak beriman karena tidak
amanah.
Kata ‘iman’ seakar kata dengan al-amin artinya tenteram, damai dan aman.
Kaitannya dalam kehidupan bernegara, seluruh rakyat maupun yang memangku jabatan
kepemerintahan harus menciptakan ketenteraman, kedamaian, dan keamanan baik dalam
level indfividual, secara batiniah maupun lahiriah, dan dalam level kehidupan bersama.
Provokator dari manapun asalnya apakah dari unsur pemerintah maupun rakyat yang
menyulut pertikaian antar golongan, antar kelompok, antara pemeluk agama, dan antar suku
adalah perbuatan yang tidak bertanggung jawab dan tidak beriman kepada Allah maupun hari
akhir. Kita semua harus mewaspadai para para politikus kotor maupun kelompoknya
sehingga ruang gerak mereka terbatas atau dinetralisir sama sekali.
Kata at-Ta’min juga seakar kata dengan iman dan artinya gadai. Kaitannya dengan
kehidupan negara, setiap warga negara secara prinsip diri mereka masing-masing digadaikan
kepada negara, harus tunduk dan patuh kepada negara. Inilah yang dimaksud bahwa proses
4

terbentuknya suatu negara melalui social contract dan pemegang kekuasaan disebut
pemegang amanah dari rakyat.
Karena begitu longgar petunjuk baik Alquran maupun as-Sunnah, maka aktualisasi
politik dari generasi ke generasi atau antara wilayah satu dengan wilayah lain di dunia Islam
cukup berfariatif dan lebih bersifat temporal menurut selera masing-masing pendiri negara,
umpama dalam dalam menunjuk dan mengangkat kepala negara sebagai yang memerintah.
Nabi Muhammad menjadi kepala negara di Madinah terjadi secara otomatis sebagai akibat
ditaati oleh setiap warga di Madinah dan seluruh jazirah Arab. Abu Bakar as-Siddiq
menggantikan posisi Nabi sebagai pemimpin umat - bukan dalam arti nabi maupun rasul -
dipilih secara kerakyatan (Hasan, l968 : 34). Pengganti Abu Bakar adalah Umar bin Khattab
menjadi khalifah ditunjuk oleh oleh Abu Bakar kemudian disetujui oleh seluruh warganya
(Hasan, l968: 37). Usman bin ‘Affan menggantikan posisi Umar bin Khattab dengan cara
Umar bin Khattab menunjuk enam orang calon, satu diantaranya adalah Usman bin ‘Affan
sendiri, ia memenangkan dalam pemilihan yang kemudian membawanya menjadi khalifah.
Pengganti Usman bin ‘Affan adalah Ali bin Abi Thalib dengan dipilih oleh mayoritas umat
Islam. Ali bin Abi Thalib sebagaimana dua pendahulunya terbunuh dalam insiden politik.
Penggamnti Ali bin Abi Thalib adalah Muawiyah bin Abu Sufyan dengan cara ayang amat
licik, yaitu melalui teknik tahkim (arbitrase) di Daumatul jandal.
Pihak Ali bin Abi Thalib diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari dan pihak Muawiyah
bin Abu Sufyan diwakili oleh Amru bin ‘Aash. Keduanya bersepakat dalam sidang
menurunkan pemimpin masing-masing. Waktu itu Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah,
semerntara Muawiyah hanya sebagai gubernur, bukan level khalifah. Abu Musa diminta
supaya berpidato yang pertama. Isi pidatonya menurunkan pemimpin dari jabatannya masing-
masing, dan aksi ini disetujui oleh seluruh anggota sidang. Sementara itu, Abu Musa al-
Asy’ari adalah seorang ulama yang tawadu’ dan wara’, dan amat kurang berpengalaman
dalam liku-liku politik kotor. Setelah ia turun dari mimbar Amru bin ‘Ash gilirannya naik ke
mimbar untuk berpidato. Isi pidato ada dua hal, (1) menyetujui penurunan Ali bin Abu Thalib
dari jabatan khalifah dan (2) mengangkat Muawiyah bin Abu Sufyan sebagai khalifah dan
langsung disambut sorak gempita dari pendukungnya. Pada saat itu kelompok Ali bin Abu
Thalib merasa - dan memang benar-benar - ditipu oleh kelompok Muawiyah bin Abu Sufyan.
Dengan demikian Muawiyah bin Abu Sufyan menjadi khalifah dengan cara kudeta tak
berdarah, proses sebelumnya juga telah menumpahkan darah begitu banyak prajurit dari
masing-masing pihak. Sejak Muawiyah bin Abu Sufyan mengangkat putra mahkota, maka
sistem politik Islam, terutama bentuk negara menjadi sistem kerajaan atau monarkhi (Hasan,
1968 : 54, 62, 66). Tetapi secara makro jika dibandingkan dengan negara-negara lain seperti
di Barat, dan Cina yang sama-sama berbentuk kerajaan, Negara yang dipimpin oleh
Muawiyah bin Abu Sufyan disebut sebagai negara kerajaan Islam yang secara teknis disebut
daulah atau khilafah (kekhalifahan), yaitu Daulah Bani Umayyah. Kata Umayyah
dinisbahkan dari kakek Muawiyah.
Untuk selanjutnya bentuk pemerintahan semacam itu berlaku di semua wilayah
Islam. Bani Umayyah tumbang digantikan oleh Bani Abbasiyah. Bersamaan dengan ini
kerajaan Bani Umayyah di Andalusia (Spanyol) didirikan oleh ketrurunan dari Muawiyyah
5

bin Abu Sufyan yang selamat dari pembumihangusan Abul Abbas Assafah(pendiri Bani
Abbasiah). Sesudah dua kerajaan raksasa ini tumbang muncullah berbagai kerajaan di dunia
Islam, seperti khilafah Bani Fatimiyah di Mesir(909-ll7l M), Khilafah Bani al-Murabbitun di
Afrika Utara (l056-ll45 M), Khilafah Mamalik di Mesir maupun di Suriah (1250-1516 M),
Khilafah Usmaniah di Turki (l299-l922 M), Khilafah Mughaliah di India (l526-1858 M), dan
masih banyak yang lainnya.
Pada abad l8 di Eropa muncdul konsep dan praktik politik yang disebut
nasionalisme. Melalui agitasi politik imperialisme (penjajahan) Barat ke seluruh wilayah di
dunia, termasuk dan khususnya di dunia Islam pada abad l9, nasionalisme menjadi konsep
politik universal (L.Stodart, l966 : l37). Sekarang ini tidak ada di manapun di dunia yang
tidak menganut paham nasionalisme, dan di sisi lain tidak bisa keluar dari paham
nasionalisme itu. Maka nasionalisme menjadi paham tunggal hingga sekarang ini. Meskipun
demikian, negara-negara yang akarnya kekhalifahan tetap mengelaborasi prinsip-prinsip
ajaran Islam dan nasionalisme yang wujud akhirnya adalah nasionalisme yang dibedakan dari
nasionalisme sekuler. Sekularisme anti atau sekurang-kurangnya memisahkan dari urusan
agama, sementara nasionalisme Islam tidak demikian. Agama menjadi dasar dan sendi-sendi
praktik kenegaraan.
Elaborasi anatara ajaran Islam dan nasionalisme Barat menghasilkan berbagai
bentuk negara Islam sesuai dengan akar sejarahnya dari masing-masing yang membentuk
negara yang bersangkutan. Saudi Arabia, bentuk negaranya kerajaan, tetapi mengaku sebagai
negara Islam. Iran berbentuk republik tetapi juga mengaku sebagai negara Islam. Malaysia
berbentuk serikat tetapi mengaku sebagai negara Islam. OIC (Organization of the Islamic
Conference) merupakan gabungan dari berbagai negara Islam yang bertujuan melenyapkan
pemisahan ras, diskriminasi, dan kolonialisme dalam segala bentuk, juga bergerak di bidang
ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, dan kegiatan vital lainnya (Esposito,IV : 201)
tidak mengusahakan keseragaman bentuk negara. Urusan ini diserahkan kepada negara
masing-masing anggota. Indonesia secara formal mengaku sebagai negara pancasila, bukan
negara Islam, tetapi mayoritas penduduknya beragama Islam dan ikut sebagai anggota
OIC.Oleh karena itu, kebijakan apapun yang mengabaikan kepentingan umat Islam di negeri
tercinta ini pasti menuai badai yang pada akhirnya akan merugikan negara itu sendiri.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada pembakuan sistem dalam
Islam sehingga kepentingan umat Islam dalam membentuk negara menjadi kebebasan
mereka,boleh mengambil bentuk negara kerajaan, republik, negara serikat, atau yang lainnya
selagi prinsip-prinsip Islam tentang kehidupan bersama ditegakkan untuk kemaslahatan dan
kemakmuran bersama (pemerintah dan rakyat).

C. Kontribusi Agama Dalam Kehidupan Berpolitik


1. Syarat Seorang Pemimpin
6

Seorang Pemimpin, utamanya top leader seperti raja, perdana menteri, presiden,
sultan, malik dalam suatu negara (al-madinah al’uzma), gubernur untuk tingkat di bawahnya
yaitu propinsi (al-madinah al-wustha), wali kota atau bupati untuk tingkat di bawah gubernur
al-madinah ash-sughra), camat untuk wilayah yang lebih sempit di bawahnya, Lurah atau
Kepala desa, yang seterusnya ketua RW lalu ketua RT idealnya supaya yang paling luas
ilmunya dan sempurna secara fisik. Alquran mengatakan:

Artinya :
“Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah
mengangkat Thalut menjadi rajamu." mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah
Kami, Padahal Kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang
diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?" Nabi (mereka) berkata: "Sesungguhnya
Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang Luas dan tubuh yang
perkasa." Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah
Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha mengetahui “. ( QS. Al Baqarah : 247 ).
Dalam ayat itu kekayaan seorang calon pemimpin tidak menjadi syarat, melainkan
ilmunya, ilmu memerintah atau ketatanegaraan. Syarat ini tentu amat penting. Dapat
dibayangkan jika pemimpin tidak memiliki konsep yang matang, tepat dan benar untuk
membawa negara ke arah keadilan, kemakmuran, dan ketenteraman bersama yang berlatar
belakang berbagai kepentingan dari berbagai kelompok dan golongan dari suatu negara .
Cepat atau lambat, mungkin yang benar secara cepat negara itu pasti ambruk, kacau, dan
penuh huru-hara di negeri tersebut.

Kandungan pokok kedua dari ayat tersebut adalah seorang pemimpin haruslah sehat
jasmani secara sempurna. Penampilan seorang pemimpin, presiden, perdana mentri, raja atau
yang lain yang sejenis, umpama buta, tuli, pincang kronis, gagap kalau ngomong tentu
kurang menimbulkan simpati orang banyak. Orang seperti itu, mengurus dirinya butuh
bantuan, bagaimana ia bisa mengurus negara ? Kebijakan-kebijakan dalam kenegaraan dari
pemimpin yang cacat tubuh dikhawatirkan terjadi secara emosional, lebih-lebih kalau
penyakitnya sedang akut.
Bisa saja suatu saat di suatu negara mencari putra bangsa yang memiliki prestasi
basthatan fi al-ilm wa al-jism sulit. Secara fisik cacat pun boleh jika memang tidak ada yang
lain dengan syarat ilmu sebagai perangkat mutlak tetap ada pada diri sang pemimpin. Dalam
ayat di atas ada alternatif untuk itu, yaitu kandungan pokok yang ketiga :

Artinya :
“ Allah memerintah kepada siapa yang di kehendaki “ ( QS. Al Baqarah : 247 )
Untuk ini Nabi bersabda:
)‫و لوا ستعمل عليكم عبد يقود كم بكتبا ب هللا فا سمعو له وا طيعوا (رواه مسلم عن جد حسين‬
7

Seandainya ada yang memerintah atas kamu seorang budak tetapi ia yang
kuat/menguasai diantara kamu mengenai kitab Allah hendaklah kamu dengar dan kamu taati
perintahnya. H.R.Muslim dari kakek Husain ( Muslim,II : l30).
Dan Abu Zar mengatakan
‫ ا ن حليلى ا وصا نى ا ن سمع وا طيع وا ن كا ن مجدع‬. . .
Sesungguhnya kekasihku (Nabi) berwasiat kepadaku supaya aku mendengar dan
taat terhadap pemimpin, meskipun ia buntung tangan atau kaki. (H.R. Muslim dari Abu
Zar.Muslim,II : 130).
Syarat seorang pemimpin harus adil dalam semua hal yang berkaitan dengan
pemerintahan. Alquran mengatakan:

Artinya :
“ dan jika kamu memutuskan perkara mereka, Maka putuskanlah (perkara itu)
diantara mereka dengan adil, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil “.
( QS. Al Maidah : 42 ).

Artinya :
“ dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan
batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut
apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu “. ( QS. Al Maidah : 48 ).

Artinya :“Maka berilah keputusan antara Kami dengan adil dan janganlah kamu
menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah Kami ke jalan yang lurus“. (QS. Shad : 22).

Artinya :“ Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa)


di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat,
karena mereka melupakan hari perhitungan “. ( QS. Shad : 26 ).

Pengertian adil secara umum adalah wad’u syaiin fi mahallihi (menempatkan


sesuatu pada tempatnya). Penerapan adil umpama menghukum yang salah dan membela yang
benar dalam suatu perkara delik aduan di pengadilan.
8

Atas dasar syarat-syarat seorang pemimpin sebagai mana dijelaskan oleh Alquran
maupun as-Sunnah di atas harus menjadi dasar pemerintahan negara. Baik uji teoritis maupun
praktis tentu konsep ini merupakan cara terbaik dibanding dengan teori manapuin. Syarat
keadilan yang dikehendaki Islam mencakup lintas ras, sosial, budaya, dan agama sekaligus
tidak menghendaki praktik apartheit, rasialis, dan diskriminasi.
2. Kewajiban seorang pemimpin
Bagi seorang pemimpin, umpama presiden, negara dan dan pemerintahannya
adalah amanah yang dipertanggungjawabkan di hari kiamat. (H.R. Muslim,II : 124).
Maka kewajiban pemimpin adalah mempertanggungjawabkan kepemimpinannya.
Nabi bersabda:
. . . ‫ فا ال مير ا لذ ى على النا س راع عليهم وهو مسؤل عنهم‬. . .
“…Seorang raja (pemimpin) bagi orang banyak adalah pengembala dan dia
dimintai pertanggungjawaban tentang pengembalaannya”. (H.R. Abu Dawud,III :
342); Muslim,II : 125.
Lafal bagi Muslim untuk ‘anhum’ adalah ra’iyyatih.Kata ra’in yang berarti
pengembala, maksudnya adalah pemimpin umat. Kata itu ( ra’in) berasal dari kata
kerja lampau (fi’il madi) ra’a yang berarti mengembala dan arti paraktisnya adalah
pemimpin/pengelola negara. Dari kata itu juga dapat dibentuk kata ra’iyyah yang
berarti gembalaan. Secara praktis gembalaan dalam suatu negara adalah umat atau
orang banyak, dan kata ra’iyyah itu lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
menjadi rakyat. Jadi ra’in berarti pemimpin, dan ra’iyyah berarti rakyat.
Kewajiban pokok bagi seorang pemimpin mengusahakan negara dalam
keadaan aman, tenteram , dan makmur. Allah berfirman :

Artinya :
“ ....Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu
pemakmurnya.... “. ( QS. Hud : 61 ).
Negara yang makmur adalah negara yang secara umum kondusif dan baik.
Allah berfirman:

Artinya :
“ ...bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik
dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun ". ( QS. Saba’ : 15 ).
Jika seorang pemimpin tidak menjalankan amanah dengan baik secara
sengaja, ia dikategorikan sebagai pengkhianat. Salah satu pengkhianatan dalam
pemerintahan adalah korupsi. Koruptor akan menuai siksaannya di akhirat. Barang
yang dikorupsikan akan melilit pada lehernya. Ketika itu ia meminta syafaat kepada
Nabi. Nabi menjawab “Aku tidak bisa menolong (mengasihani kamu). Aku dulu
pernah menyampaikan (al-haq) kepadamu (H.R.Muslim,II : 126-127). Artinya, di
9

dunia Nabi telah memberikan penerangan supaya memerintah dengan baik, jujur, dan
adil, tetapi pemimpin itu tidak mengindahkan penerangan Nabi. Mereka malah
mengkhianatinya.
Kewajiban lain seorang pemimpin (imam, presiden dan yang sejenis )
merupakan benteng terakhir dalam suatu negara. Di dalam kekuasannyalah rakyat itu
wajib berperang mempertahankan negara dari ancaman musuh atau mengajak semua
rakyat untuk bertakwa kepada Allah. Nabi bersabda:
‫ا نما اال ما م جنة يقا تل من ورا ئه ويتفى به فا ن ا مربتقوى هللا عز وجل كا ن له بذا لك ا جر‬
)‫وا ن يا مر بغيره كا ن عليه منه ( رواه مسلم عن ا بى هريرة‬
“Sesungguhnya seorang pemimpin adalah perisai orang-orang di
belakangnya (rakyat) itu berperang atau takwa karena perintahnya. Jika ia
memerintahkan takwa kepada Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung, maka ia
memperoleh pahala karenanya. Jika ia memerintahkan yang selainnya, ia akan
memeperoleh akibatnya”. (H.R. Muslim dari Abi Hurairah (Muslim,II : 132).
Syarat pemimpin yang demikian itu harus memiliki keberanian memutuskan
sesuatu secara cepat dan tepat dalam semua keadaan. Pemimpin tidak bisa
bersembunyi di balik layar kenegaraan atau hanya bersenang-senang melulu
kemudian urusan negara diserahkan kepada para pembantu-pembantunya.
3. Hak Pemimpin
Selagi pemimpin menjalankan kewajibannya secara baik dan tidak mengajak ke
arah kemungkaran, mereka wajib ditaati baik dalam keadaan lapang atau sempit, baik dalam
keadaan normal atau darurat. Nabi meminta janji setia (baiat) yang digambarkan oleh kakek
Ubadah demikian:
‫ با يعنا رسول هللا صلى هللا عليه وسلم على السهع وا لطا عة فى ا لعسر وا ليسر وا لمنشط‬. . .
‫وا لمكره وعلى ا ثره علينا و على ا ن ال ننا رع ا المر اهله وعلى ا ن نفول با لحق ا يمما لنا ال‬
)‫نما ف لو مة ال ئم (رواه مسلم عن جد عبا ده‬
“Kami berbaiat kepada Rasulullah SAW. Untuk mendengar dan taat kepadanya
baik dalam keadaan lapang atau sempit,dalam keadaan yang menyenangkan atau
menjengkelkan, supaya kami mengikuti jejaknya, supaya kami tidak saling menentang suatu
urusan kepada ahlinya, supaya kami senantiasa berkata secara benar di manapun kami
berada, dan supaya kami senantiasa takut kepada Allah selamanya”. (H.R.Muslim dari
kakek Ubadah (Muslim,II : l3l-l32).
4. Kewajiban Rakyat.
Kewajiban rakyat adalah taat kepada pemimpin (pemerintah). Hadis tentang hak
pemimpin di atas sekaligus menjadi kewajiban rakyat. Tetapi ketaatan rakyat kepada
pemimpin hanya terbatas kepada hal-hal yang baik saja. Nabi bersabda:
)‫ ا لما ا لطا عة فى ا لمعروف (رواه مسلم عن على‬. . .
. . . bahwa taat (kepada pemimpin) hanya dalam kebaikan (Muslim,II : l31).
Atau:
‫على ا لمرء ا لمسلم ا لسمع وا لطا عة فما احب وكره اال ا ن يؤ مر بمعصية فا ن ا مربمعصية‬
)‫فال سمع وال طا عة (رواه مسلم عن ابن عمر‬
“Bagi seorang muslim wajib mendengar dan taat (kepada pemimpin) baik terhadap
sesuatu yang menyenangkan atau yang menjengkelkan kecuali jika diperintah untuk
bermaksiat. Jika diperintah maksiat maka tidak perlu mendengarkan atau taat (kepada
pemimpin itu)”. H.R. Muslim dari Ali (Muslim,II : l3l).
10

Jika pemimpin memiliki kebijakan yang kurang menyenangkan hendaklah bersabar,


tidak boleh bughat (menentang) apalagi berdemonstrasi secara anarkhis. Nabi bersabda:
‫من راء من ا ميره شيئا يكر هه فليصبر فا نه من فا رق ا لجما عة شبرا فما ت فميتة جا هلية‬
)‫(رواه مسلم عن ا بن عبا س‬
“Barang siapa melihat sesuatu dari amir (pemimpin) yang tidak menyenangkan
hendaklah ia bersabar. Karena sesungguhnya barang siapa keluar dari jamaahnya
(menentang kebijakan negara) sejengkal saja kemudian ia mati, maka matinya terhitung
jahiliah”. (H.R. Muslim dari Ibnu Abbas (Muslim, II : 131).
Sesuatu yang tidak menyenangkan belum tentu melanggar syariat. Rakyat suatu
negeri pasti terdiri atas banyak kepentingan, satu dengan yang lain sangat mungkin
bertentangan. Pemerintah sering dihadapkan kepada persoalan-persoalan yang bersifat
delimatis. PKL (pedagang kaki lima ) yang mengakibatkan kumuh di suatu area yang demi
kepentingan yang lebih luas harus asri dan bersih, dan menyebabkan arus lalu lintas sempit
dan macet yang menurut ilmu kepemerintahan area itu harus lancar dan bebas hambatan
dalam berlalu lintas dan bermobilisasi, harus ditata ulang yaitu dialihkan ke lokasi lain.
Dalam hal ini PKL semacam ‘dikorbankan’. Dalam keadaan seperti ini rakyat, LSM, atau
komponen lainnya harus tetap bersabar. Jangan malah sok menjadi pahlawan rakyat tertindas
dengan cara meprofokasi rakyat untuk menentang pemerintah. Ancaman Nabi dalam hadis
itu jika mereka (para penentang) kebijakan delimatis jika mati, matinya terhitung jahiliah,
alias non muslim. Senada dengan hadis itu Nabi juga bersabda”
‫من حرج من ا لطا عة وفا رق ا لجما عة ثم ما ت ما ت مبتة جا هلية ومن قتل تحت را ية عمية‬
‫يغضب للعصبة ويقا تل للعصبة فليس من ا متى ومن خرج من ا متى على ا يصرب برها وفا‬
)‫جرها ال يتحا ش من مؤ منها وال يفى بذ ى عهد ها فليس منى (رواه مسلم عن ابى هريرة‬
"barang siapa yang keluar dari ketaatan (kepada iman ) dan memisah dari jamaah
(rakyat dalam kesatuannya) kemudian ia mati, maka ia mati secara jahiliah (non muslim),
dan barang siapa yang berperang di bawah kebutaan pendapatnya maka ia dimurkai karena
menuntut kepentingan kelompoknya. Barang siapa berperang karena kelompoknya, ia bukan
dari golonganku (Nabi). Barang siapa keluar dari umt ku, bagi umatku wajib memerangi
pemutusan hubungan dan kelancangannya. Para wanitanya yang tidak takut dan tidak
menepati janjinya maka mereka (juga) bukan golonganku (Nabi).” (H.R. Muslim dari Abi
Hurairah (Muslim,II : l35).
Hadis di atas ini perlu dicermati dengan hati-hati dan tepat. Orang yang menentang
pemerintahan dengan catatan pemerintah syah dan kebijakannya benar dengan cara mogok
makan atau berdemonstrasi dengan merusak fasilitas negara dan menciptakan opini yang
tidak objekktif dan menghasut orang banyak, tindakan ini sebenarnya konyol. Jika ia
beragama Islam, pengakuannya tidak diterima oleh Nabi dan jika mati digolongkan non
muslim. Berdalih apapun Islam tidak membenarkan mogok makan dan minum yang
membahayakan kesehatannya, apalagi berakibat mati. Jika ia tidak bisa bersabar karena
perilaku pemimpin (bisa berarti presiden, perdana menteri, amir, sultan, dan khalifah) selagi
tidak mengajak kepada rakyat untuk bermaksiat seperti yang ia perbuat, rakyat cukup
membenci dalam hati dan tidak perlu mengacuhkan. Dalam hal ini Nabi bersabda:
“(suatu saat) akan ada seorang penguasa ( yang berperangai jelek). Kami semua
mengetahui (kejelekannya) dan kamu mengingkarinya. Barang siapa mengetahui maka ia
bebas (tak ada urusannya) dan barang siapa mengingkari ia pasti selamat, sementara itu
ada orang yang senang dan mengingkarinya. Sahabat bertanya: Apakah aku tidak boleh
11

memerangi mereka wahai Rasulullah ? jawabnya: Jangan. Kamu cukup membenci dan
mengingkari dalam hatimu saja.” (H.R.Muslim dari Ummu Salamah (Muslim, II : 137).
Seandainya perilaku peminpin itu berperilaku munafik umpama ia menggunakan
idiom-idiom, ikon-ikon atau simbol-simbol agama sementara rakyat tidak lagi mempunyai
wakil untuk memperbaiki keadaan tetaplah konsisten dalam kesabarannya. Nabi bersabda:
‫ فا عتزل تلك ا لفرق كلها ولو ا ن تعض على ا صل شجرة حتى يد ركك ا لموت وا نت‬. . .
)‫على ذ لك (رواه مسلم عن حذ يفة بن ا ليما ن‬
Hendaklah mengingkari dari semua golongan itu meskipun engkau memakan
dangkel pohon dan engkau menemui ajal dalam keadaan demikian .H.R.Muslim dari
Huzaifah bin alYaman. (Muslim, II : 135).
Maksud hadis itu menggambarkan para pemimpin di suatu negeri dalam keadaan
tidak menentu, penuh huru-hara, suasana tidak terkendali, dan kamu - tidak lagi memiliki
kawan seperjuangan atau pemimpin seperjuangan untuk mengembalikan keadaan negara
yang baik dan stabil, dalam keadaan ini harus tetap beriman, tidak boleh menyeberang
agama, meskipun tidak lagi memiliki makanan hingga memakan dangkel pohon, bahkan mati
karenanya.
Berdemonstrasi, atau bahkan memerangi pemimpin - tetapi tidak berdemonstrasi
dengan mogok makan - suatu saat justru dibenarkan dan wajib, yaitu suatu saat suatu negeri
ada dua pemimpin, satu diantaranya harus diperangi, yaitu pemimpin yang sebenarnya tidak
berhak memimpin, karena tidak mungkin dua-duanya benar. Salah satu dari keduanya pasti
salah. Yang pasti salah itulah yang wajib diperangi. Nabi bersabda:
)‫ا ذا بو يع لخليفتين فا قتلوا اال خر منهما (رواه مسلم عن ا بى سيد ا لخذ رى‬
“Jika (kamu) dibaiat untuk dua khalifah maka perangilah salah satu dari
keduanya.” (HR. muslim)
Satunya lagi yang tidak diperangi karena memang berhak untuk memerintah, ia
wajib ditegakkan dan wajib didukung. Jika pemimpin itu pada akhirnya tidak bermoral,
mengacu kepada hadis-hadis shahih tidak ada yang membenarkan untuk menggulingkan
pemimpin. Hadis-hadis tentang kewajiban rakyat yang telah diuraikan itu dapat dijadikan
acuan bagi kesimpulan ini. Umumnya kaum sunni seperti Asy’ari, al-Baqillani, al-Mawardi,
an-Nasafi, at-Taftazani, dan an-Nawawi juga berpendapat demikian. Namun sebagian
Syafi’iyyah, kaum teolog seperti al-Baghdadi, al-Ijji, al-Jurjani, Ibnu Hazm, dan kaum
Mu’tazilah membenarkan pemberhentian pemimpin yang tidak bermoral, khianat, dan tidak
melaksanakan amanahnya (Mumtaz Ahmad, l994 : l03-l04). Dengan dimikian dasar kudeta
hanyalah ijtihadiyah dari ulama saja.
5. Hak Rakyat
Apa yang menjadi hak rakyat adalah apa yang menjadi kewajiban pemerintah,
dengan demikian hak mereka memeperoleh hak hidup secara aman, tenteram, dan
perlindungan dari pemerintah selagi mereka tidak mengganggu stabilitas negara dan
ketertiban umum.

6. Hak dan Kewajiban Berimbang antara Pemerintah dan Rakyat


Secara prinsip hak dan kewajiban antara rakyat dan pemerintah itu berimbang.
Selagi pemerintah itu melaksanakan amanahnya, yaitu mewujudkan pemerintahan yang
12

bersih (tidak korup) dan berwibawa, memperhatikan dan mengusahakan keamanan dan
kemakmuran umum, rakyat dilindungi hak-haknya, rakyat harus patuh terhadap pemerintah.
Nabi bersabda:
)‫ ا سمعوا وا طعوا فا نما عليهم ما حملوا وعليهم ما حملتم (رواه مسلم عن سما ك‬. . .
“…dengarkanlah dan taatlah (olehmu rakyat). Apa yang menjadi (hak dan
kewajiban) mereka (pemerintah) adalah memang hak dan kewajiban mereka, dan apa yang
menjadi hak dan kewajiban mu memang ada padamu.” ( H.R. Muslim, II : l34).
7. Prinsip Demokratis
Yang dimaksud demokratis adalah hak kebebasan bagi rakyat untuk memilih siapa
pemimpin yang dikehendaki atau yang disenangi dan tidak memilih calon pemimpin yang
tidak disenangi. Nabi bersabda:
‫عن رسول هللا صل هللا عليه وسلم خيا را ئمتكم ا لذ تحبو نهم و ويصو لون عليكم و تصلو ن‬
‫عليهم و شرا را ئمتكم ا لذ ى تبغضو نهم و يبغضو نهم و تلعنهم و يلعنكم قيل يا رسول هللا ا فال‬
‫تنا بذ هم با لسيف ؟ فقا ل ال ما ا قا موا فيكم ا لصالة فاء ذا را بنم من وال تكم شيئا نكر هم نه فا‬
)‫كر هوا عمله وال تنز عوا يد ا من طا عته (رواه مسلم عن عوف بن ما لك‬
“Dari Rasulullah SAW. Bersabda: Pilihanmu terhadap pemimpinmu adalah orang
yang kamu senangi dan menjalin persaudaraan denganmu dan kamu juga menjalin
persaudaraan dengan mereka. Jeleknya pemimpinmu adalah orang yang kamu memarahi
mereka dan mereka memarahi kamu, kamu melaknat mereka dan mereka melaknat kamu.
Dikatakan: Wahai Rasulullah ! apakah kami tidak boleh meluruskan mereka dengan pedang
? Jawab beliau : Jangan ! Selagi di antara kamu (bebas) mendirikan salat. Jika kamu
melihat orang yang memimpin kamu berbuat hal yang tidak menyenangkan, maka
membencilah kamu terhadap perbuatan mereka dan janganlah kamu menentangnya”.(H.R.
Muslim dari ‘Auf bin Malik (Muslim,II : l38).
Hadis di atas secara implisit membolehkan adanya kelompok partai. Dari kelompok
partainyalah seseorang mengajukan calon pemimpin. Kelompok lain juga berbuat yang sama.
Calon pemimpin yang akhirnya menjadi pemimpin, kelompok partai manapun harus
menaatinya. Ketaatan yang dimaksud hadis itu begitu ditekankan sehingga kalau kita (rakyat)
melihat oknom pejabat berbuat yang tidak menyenangkan (ditinjau dari syariat), rakyat tidak
boleh memberontak, melainkan cukup tidak menyenanginya atau bersabar selagi kebebasan
beribadah masih tetap berlaku di negara itu.
8. Prinsip Bermusyawarah (syura)
Syura berbeda dari demokrasi, khususnya dari aspek generikanya. Syura memiliki
dimensi teologis karena bersumber dari wahyu ilahi dan suci (sacral) dan demokrasi tidak
memiliki dimensi teologis karena bersumber dari pemikiran manusia dan bersifat
provan.Dalam demokrasi secara konseptual memberikan hak kepemimpinan bagi yang
memperoleh suara terbanyak dan yang selainnya supaya tetap menghormati, dan masih
memberi hak oposisi untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah; sementara itu dalam
syura memberikan hak kepemimpinan kepada yang paling sanggup memikul amanah Allah
dalam bermasyarakat dan bernegara meskipun tidak didukung (baiat) oleh mayoritas, tidak
memberi hak oposisi, semuanya harus taat kepada pemimpin syah.
Meskipun demikian secara praktis antara demokratis dan syura amat seiring dan
sejalan. Dalam memilih seorang pemimpin, wujud syura adalah baiat dan baiat secara praktis
diwujudkan dengan pemungutan suara (Mumtaz, l994 : l04) dan pemungutan suara adalah
13

essensi demokrasi itu sendiri. Selanjutnya baik syura maupun demokrasi dimaksudkan untuk
memecahkan semua persoalan yang menyangkut kepentingan bersama, termasuk di
dalamnya mengenai kehidupan politik. Allah berfirman :

Artinya :“ Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun
bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya “. (QS. Ali Imran : l59).
Di samping mengadung prinsip syura dalam praktik berpolitik, ayat tersebut
memberikan prinsip santun dan lemah lembut, sehingga tidak memberikan peluang praktik-
praktik yang bersifat kasar, mengumpat, menghujat, memfitnah, anarkhis dan destruktif. Jika
ada perbedaan antara kebijakan pemerintah dan rakyat, Alquran menganjurkan selain
bermusyawarah menuju mufakat, supaya kembali kepada petunjuk Alquran maupun as-
Sunnah. Alquran mengatakan:

Artinya :“ ...kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka


kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya) ... “ ( QS. An Nisa : 59 ).
Kalau Alquran telah menjadi hakim terakhir, maka apapun keputusan Alquran
nmaupun as-Sunnah harus dijujung tinggi, dilaksanakan, dan diamalkan oleh semua pihak
yang bertikai. Siapa yang mengkhianati putusan atas dasar petunjuk Alquran maupun as-
Sunnah, wajib diluruskan.

D. Sumbangan Islam dalam Politik di Negara Republik Indonesia


Para pelaku sejarah perintis kemerdekaan dan pendiri negara Republik ini mayoritas
- untuk tidak mengatakan hampir semua - adalah orang Islam. Mereka memasukkan essensi
atau simpul Islam ke dalam dasar-dasar negara. Simpul-simpul Islam itu dapat dijalaskan
sebagai berikut.
1. Pembukaan
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 terdiri atas empat alinea. Ajaran Islam
yang terserap dalam alinea ini adalah rumusan konsep peri keadilan. Adil adalah mempatkan
sesuatu pada tempatnya. (wad’u syaiin fi mahallih) Dengan demikian peri keadilan baik
menurut sumber (Islam) maupun konsep berbangsa dan bernegara melandasi semua
kebijakan yang menyangkut seluruh rakyat Indonesia.
Dalam alinea kedua terdapat kata daulat adil dan makmur. Kesemuanya berasal dari
kata bahasa Arab dan simpul-simpul dalam Islam. “Daulat” berarti kekuasaan, atau
perputaran. Kata daulat termuat dalam Al-Quran satu kali yaitu Surat al-Hasyr/59: 7. kata itu
terserap dalam pembukaan UUD’45 dalam konteks negara yang merdeka dan memiliki
14

pemerintahan sendiri (tidak terjajah oleh bangsa asing). Sementara itu kata makmur berasal
dari kata bahasa Arab ma’mur. Kata ini terdapat dalam Al-Quran satu kali:

Artinya : “ dan demi Baitul Ma' mur “ ( QS. Ath-Thur : 4 ).


Maksud baitul ma’mur adalah Ka’bah. Ka’bah amat ma’mur karena dikunjungi
berjuta-juta manusia setiap tahunnya sejak Islam generasi pertama hingga insya Allah hari
akhir kelak. Dalam surat Hud/11: 61, kita diperintah supaya bumi ini dibuat menjadi
makmur. Kata ma’mur berasal dari kata ‘amara yang berarti umur panjang. Kata itu juga
berarti harta kekayaan yang banyak (Anis, II:626). Negara ma’mur berarti negara yang
rakyatnya berkecukupan.
Dalam alinea ketiga terdapat kata rahmat, Allah, luhur, dan rakyat. Keempat kata
ini berasal dari bahasa Arab dan bersumber dari ajaran Islam. Kata rahmat di dalam
pembukaan UUD’45 dirangkai dengan Allah menjadi rahmat Allah. Dalam Islam rahmat
Allah merupakan salah satu aqidah pokok dalam Islam. Allah berfirman:

Artinya :
“ dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam “. ( QS. Al Anbiya : 107 ).
Atas dasar pengakuan para pendiri negara ini, di samping usaha mereka dengan
penuh nilai-nilai kepahlawanan juga mengaku sebagai rahmat Allah, yang tidak dapat
ditafsirkan kecuali rahmat Allah secara Islam. Sementara itu kata luhur berasal dari bahasa
Arab zuhur yang berarti puncak gunung (Al-Munawwir:889). Pemakaian kata luhur dalam
pembukaan dirangkai dalam ungkapan keinginan luhur yang berarti keinginan amat tinggi.
Dan kata rakyat berasal dari kata ra’iyyah yang berarti gembalaan. Secara praktis
gembalaan dalam suatu negara adalah umat atau orang banyak, dan kata ra’iyyah itu
lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi rakyat. Jadi ra’in berarti
pemimpin, dan ra’iyyah berarti rakyat.
Dalam alinea keempat juga banyak unsur serapan dari Islam. Karena di dalam
alinea ini terdapat rumusan Pancasila, maka penjelasannya dituangkan dalam ruang sendiri
yaitu Pancasila.
2. Pancasila
Rumusan sah Pancasila adalah (1) Ketuhanan Ynag Maha Esa, (2) Kemanusiaan
ynag adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Sila pertama sejalan benar dengan prinsip tauhid baik dalam level teks suci maupun
pemahaman atas teks. Tidak ada antagonisme sejak bunyi wahyu hingga konsep teologisnya.
Allah berfirman:

Artinya : “ Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa “. ( QS. Al Ikhlas : 1 ).


15

artinya secara teologis menegaskan bahwa Allah itu Esa semurni-murninya, dan
tidak ada rumusan lain yang bersifat dualitas, trinitas, atau kompleksitas. Rumusan murni itu
kemudian masuk dalam rumusan sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Inilah sumbangan
Islam yang justru merupakan inti ajarannya ke dalan negara Republik Indonesia tercinta ini.
Dalam sila kedua “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, sumbangna Islam yang
langsung dapat dilihat adalah konsep adil dan beradab. Adil adalah ajaran pokok dalam
Islam, khususnya dalam kehidupan bersama. Kata adil atau kata yang seakar dengannya
disebut dalam Al-Quran sebanyak 28 kali yang jika diringkas hendaklah manusia itu berbuat
adil terhadap Allah, dirinya sendiri, sesama manusia, terhadap tetumbuhan, binatang, maupun
secara umum kapada alam semesta.
“Beradab” berasal dari kata adab. Kata ini berasal dari bahasa Arab dan juga
merupakan ajaran Islam. Adab secara leksikal berarti sopan. Ini berarti hubungan antara yang
satu dengan yang lain, termasuk dalam kehidupan berpolitik dan bernegara haruslah -
siapapun dalam kapasitas apapun - mengambang sifat sopan dan santun. Pemerintah yang
bersifat diktator atau rakyat bersifat anarkhis tidak mempunyai tempat baik dalam Islam
maupun praktik kenegaraan di negara kita ini.
Sila ketiga “Persatuan Indonesia”, seiring benar dengan Al-Quran sebagai berikut:

Artinya :“ manusia itu adalah umat yang satu.... “. ( QS. Al Baqarah : 213 ).
Hakikat manusia yang sebenarnya satu itu masih diperintahkan supaya tidak saling
bercerai berai. Allah berfirman:

Artinya :“ dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai berai .... “ ( QS. Ali Imran : 103 ).
Sila keempat “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan”, merupakan perasan dari sejumlah ajaran Islam. Kata
kerakyatan, hikmat, permusyawaratan, dan perwakilan berasal dari bahasa Arab dan
bersumber dari ajaran Islam. Kata rakyat terambil dari kata ra’iyyyah. Kata ini terambil dari
hadis
. .‫فكلكم راع و مسئول عن رعيته‬
(Kamu semua adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang
kepemimpinannya. H.R. Muslim dari Ibnu Umar (Muslim, II:125)).
Kata permusyawaratan terambil dari kata bahasa Arab musyawarah. Kata ini
terdapat dalam Al-Quran

Artinya :“ ....dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.. . “


( QS. Ali Imran : 159 ).

Artinya :“ ...sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara


mereka....” ( QS. Asy Syura : 38 ).
16

Dan kata perwakilan terambil dari bahasa Arab wakil. Al-Quran menyebut kata
wakila sebanyak 13 kali artinya sesuatu urusan itu diserahkan kepada yang lain untuk
mengurusnya, al-mutawakilun (orang yang menyerahkan urusannya) tiga kali, dan al-
mutawakkilin (orang yang menyerahkan sesuatu urusan) satu kali.
3. DPR (Dewan Perwakilan Rakyat)
Lembaga tinggi negara yaitu DPR terdiri dari bahasa Arab semua. Kata dewan
berarti mahkamah atau pengadilan. Untuk kata perwakilan dan rakyat telah dijelaskan dalam
sub bab sebelum ini. DPR sebagai lembaga dengan demikian bersumber sepenuhnya dari
Islam. Karena itu siapapun yang menjadi anggota DPR, baik berupa personal maupun
kelembagaan haruslah bekerja dalam rangka memikul amanah dari Allah. Tidak boleh ada
oknum DPR apalagi secara kelembagaan memperlihatkan praktik-praktik yang tidak terpuji
dan membebani rakyat.
4. MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat)
Kata majelis berasal dari bahasa Arab majlis dan berarti persidangan. Untuk kata
perwakilan dan rakyat telah dijelaskan di muka. MPR sebagai suatu lembaga dalam Islam
disebut ahlul hall wal ‘aqd, yaitu kumpulan tokoh dan pemimpin masyarakat, dan secara
generik semuanya terambil dari Islam yang kemudian di ketatanegaraan negeri ini menjadi
lembaga tertinggi negara.
5. MA (Mahkamah Agung)
Mahkamah Agung juga merupakan lembaga tinggi negara. Kata “Mahkamah” juga
terambil dari bahasa Arab mahkamah. Kata ini berasal dari kata hakama dan menunjuk
dengan hukum. Berbagai kata turunan dari hakama seperti hakim, mahkamah, hukmun,
hukman, yatahakamu dan masih banyak lagi tercatat 192 kali yang semuanya berhubungan
dengan hukum.
Mahkamah Agung sebagai suatu lembaga tertinggi di bidang hukum ini dengan
demikian dimaksudkan supaya hukum Allah menurut Islam ini berjalan dengan baik dalam
gelar ketatanegaraan. Mahkamah Agung merupakan benteng terdepan sekaligus terakhhir
bagi tegak atau tidaknya hukum di negeri ini. Jika lembaga ini benar-benar mengedepankan
supremasi hukum, tentu tidak banyak penyelewengan dalam negara. Sebaliknya jika
Mahkamah Agung tidak menjadikan dirinya sebagai good govern dan clean govern tentu
negara dalam waktu singkat akan ambruk karena huru-hara dan aneka penyimpangan terjadi
di mana-mana justru, pendahulu dan pemicunya lembaga tinggi negara dalam bidang hukum.
Karena itu sesuai dengan tujuan dibentuk lembaga tinggi dan terhormat dalam bidang hukum
ini hendaklah mengemban amanat Allah, amanat negara, amanat rakyat dengan sebaik-
baiknya.
Uraian sub ini dapat diringkas dan disimpulkan bahwa Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang secara formal disebut negara Pancasila, essensinya adalah negara yang
dibangun atas dasar fondasi Islam.

E. Peranan Agama dalam Mewujudkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa


Agama memberikan penerangan kepada manusia dalam hidup bersama termasuk
dalam bidang politik atau bernegara. Penerangan itu antara lain.
17

1. Perintah untuk bersatu


Islam melalui Al-Quran menganjurkan agar antar kelompok, antar golongan
maupun antar partai saling melakukan ta’aruf (perkenalan). Allah berfirman:

Artinya :
“ Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi
Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal “. ( QS. Al Hujurat : 13 ).
Ayat ini sekaligus menjelaskan paham persamaan (egalitarianisme) untuk semua
manusia atau lintas batas: ras, agama, bahasa, maupun adat istiadat. Allah menegaskan tinggi
rendah martabat seseorang hanya ditentukan oleh takwa, itu saja Allah tidak menenttukan di
mana batas tertinggi maupun terendah takwa. Hanya Allah saja yang mengetahui karena Dia
lah yang menentukan batas-batas itu. Allah justru menjelaskan bahwa kita, manusia adalah
suatu organis (umat) tunggal dan Allah lah satu-satunya yang disembah. Allah berfirman:

Artinya :
“ Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu
dan aku adalah Tuhanmu, Maka sembahlah aku “. ( QS. Al Anbiya : 92 ).

Artinya :“ Sesungguhnya (agama Tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama
yang satu, dan aku adalah Tuhanmu, Maka bertakwalah kepada-Ku“.
(QS.Al Mukminun: 52).
Pemahaman terhadap Al-Quran surat al-Hujarat ayat 13 menunjukkan bahwa
manusia diciptakan bersuku-suku, dan surat al-Mukminun ayat 52 menjelaskan bahwa
manusia adalah umat yang satu. Ini berarti berbagai suku, berbagai golongan, berbagai
kelompok, termasuk di dalamnya kelompok politik atau yang lainnya supaya tetap bersatu.
Pengikat persatuan adalah takwa. Karakter takwa antara lain menjalankan semua perintah
Allah sejauh yang diketahui dan menjauhi larangan-Nya. Jadi, ukurannya gampang kalau
orang itu takwa pasti iman dan senang bersatu dan menjaga persatuan dan kesatuan.

2. Larangan untuk saling curiga


Islam melarang kepada semua orang baik dalam kapasitasnya sebagai individu,
sebagai kelompok sosial, maupun kelompok-kelompok yang lain termasuk kelompok politik
untuk saling curiga, saling melecehkan atau yang semakna dengannya. Allah berfirman:
18

Artinya :
“ Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka
(kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari
keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara
kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa
jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat
lagi Maha Penyayang “. ( QS. Al Hujurat : 12 ).
Dengan demikian, terhadap orang lain atau kelompok lain haruslah saling
mengembangkan husnuzhan (berprasangka baik). Kalau masing-masing kelompok saling
menaruh husnuzhan tentu akan mempererat hubungan mereka sebagaimana yang dimaksud
dalam ayat 13 surat al-Hujarat tersebut.
Kecurigaan dan pelecehan terhadap kelompok lain hanya akan menghasilkan
ketegangan antar individu maupun antar kelompok karena kelompok yang dicurigai jika
mengetahuinya pasti tersinggung hanya dirinya sebagai individu maupun atas nama
kelompok. Kelompok ini tentu membalas mencurigai kepada kelompok pencuriga tersebut.
Akibatnya mudah ditebak, pasti timbul saling mencurigai di antara mereka. Saling curiga
tentu mudah meningkat menjadi disintegrasi bahkan konflik di antara mereka. Sebagai
bangsa akan menjadi lemah jika elemen-elemen di dalamnya saling mencurigai dan bertikai.
Itulah sebabnya Allah melarang umat yang saling bercerai berai. Allah berfirman:

Artinya :“ dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
)
janganlah kamu bercerai berai,.... “ QS. Ali Imran : 103 ).
Perintah untuk bersatu dan larangan untuk bercerai berai disertai juga dengan al-
wa’du wa al-wa’id (janji dan ancaman). Sudah barang tentu janji dan ancaman Allah pasti
terjadi. Rasulullah dibebaskan dari tanggung jawab terhadap umatnya yang bercerai berai.
Demikian firman Allah:

Artinya :
“ Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka
menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka.
Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan
memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat “. ( QS Al An’am : 159 ).
Ayat ini juga menjelaskan bahwa Allah yang mengurus orang-orang yang
memecah-mecah dari keutuhan sebagai suatu umat, dan Allah pula yang akan membalas
kelakuan mereka itu, yaitu siksaan yang amat pedih.
19

Artinya :
“ dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih
sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka Itulah orang-orang yang
mendapat siksa yang berat . “ ( QS. Ali Imran : 105 ).
Sebaliknya orang yang tetap istiqamah dalam kesatuan umat, mereka itulah sebagai
orang yang mempererat petunjuk ilahi dan dapat merasakan kenikmatan bersaudara (bersatu).
Demikian firman Allah:

Artinya :
“ dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah
kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa
Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu
karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang
neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk “. ( QS. Ali Imran : 103 ).
Mencermati perintah Allah agar kita bersatu dan larangan-Nya untuk bercerai berai
itu ternyata akibatnya kembali kepada manusia itu sendiri. “Bersatu kita teguh bercerai kita
runtuh” merupakan kesimpulan padat dari perintah untuk bersatu dan larangan bercerai.

Latihan
1. Istilah politik dikenal dalam Islam, tetapi bukan berarti Islam tidak mengenal politik.
Carilah idiom bahasa Arab yang searti dengan istilah politik. Kemudian bedakan
pengertian antara politik Islam dan politik sekuler.
2. Allah berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu,kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul
(sunahnya). (Q.S. an-Nisa/4:59)”.
3. Ayat tersebut jika dipahami melalui pendekatan ilmu politik, sekurang-kurangnya
mengandung 4 hal berkenaan dengan politik. Sebutkan dan jelaskan masing-
masingnya.

4. Seorang Presiden, Khalifah, Raja, Malik, Amir, Perdana Menteri adalah orang yang
diberi amanah yaitu yang harus dikelola sebaik-baiknya. Kata amanah itu seakar
dengan iman, amin, amanah, dan aminah. Jelaskan arti masing-masing dan berilah
narasi hubungan antara istilah itu dalam kaitannya dengan kehidupan politik.
20

5. Islam tidak memberikan petunjuk yang mendetail dan terperinci. Ini suatu kelebihan
atau kelemahan? Jelaskan pula argumen Saudara.
6. Jelaskan apa saja mengenai kewajiban seorang pemimpin berikut hak-haknya.
7. Jelaskan apa saja yang menjadi hak dan kewajiban rakyat terhadap negaranya.
8. Jelaskan perbedaan dan persamaan antara prinsip demokrasi dan prinsip syuro dalam
Islam.
9. Jelaskan sumbangan Islam sebagaimana tampak dalam alinea 1, 2, 3, dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
10. Jelaskan sumbangan Islam sebagaiman tampak dalam perumusan sah Pancasila.
11. Jelaskan sumbangan Islam sebagaimana tampak dalam format lembaga tinggi negara
MPR dan lembaga tinggi negaralainnya seperti DPR dan MA (Mahkamah Agung).
12. Menurut Islam hakikat umat manusia itu satu, dan kesemuanya supaya taat, patuh,
dan takut kepada Allah. Tulislah dalil sekurang-kurangnya terjemahannya yang
menunjukkan pernyataan ini.
13. Allah menciptakan manusia bersuku-suku, untuk apa maksudnya?
14. Islam memiliki kandungan egalitarianisme. Apa yang dimaksud dengan istilah itu?
Kemudian apa yang membedakan martabat manusia yang satu dengan yang lainnya?

\
DAFTAR PUSTAKA
Almunawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pondok
Pesantren Krapyak. [t.th.].
Anis, Ibrahim (et all.). al-Mu’jam al-Wasith, II. Saudi Arabia: Hasan ‘Ali ‘Aliyyah.
Muhammad Syarqi Amim, [t.th.].
An-Naisaburi, Abi Husain bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi. Sahih Muslim, II. Makkah: Dar
Yahya’ al-Kutub al- Arabiyyah-Indonesia,[t.th].
Al-Azdi, Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’as as-Sijistani, Sunan Abu Dawud .III.[t.tp]:
Mahmud’Ali as-Sair,[t.th].
Budiharjo, Miriam, Dasar- dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1982
Daud Ali,Mohamad. PendidikanAgama Islam.Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
Delian Noer,Pengantar kePemikiran Politik. Jakarta Rajawali 1983.
Esposito, John.Ensiklopedi Oxford:Dunia Islam Moderen, IV. Bandung: Mizan, 2001.
Maududi, Abul A’la. Human Right in Islam, (terj.), Ahmad Nashir Budiman: Hak Asasi
Dalam Islam. Bandung: Pustaka, l985.
Nasution, Harun. Falsafah dan Mistisisme Dalam Islam. Jakarta: UI Press, l981.
Websters, Noah,Webster Twentieth Century Dictionary, USA: William Collins Publishers,
l980.

MODUL AGAMA ISLAM


HUKUM SYAR’I
Standar Kompetensi
Setelah membaca bab ini mahasiswa diharapkan:
21

1. Mengerti hukum syar’i dan pembagiannya


2. Mengerti pembagian dan masing-masing bagian tentang hokum syar’i
3. Memahami penerapan syariat Islam di masa kini, antara lain di negeri kita Republik
Indonesia
4. Mampu menaati hukum yang berlaku
A. Pengertian Hukum Syar’i Dan Pembagiannya
Dalil - Dalil Syara’ Serta Pembagian Hukum Syara’
1. Pengertian Hukum Syar’i
Menurut para ahli ushul fiqh (ushuliyah). yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab
(Sabda) pencipta syariat yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf,
yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai
sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain. Menurut Muhammad
Idris As-Syafi’i (Imam Syafi’i) dalam kitab Al-Risalah menyatakan : Syari’at adalah
peraturan-peraturan yang bersumber dan wahyu ilahi mengenai tingkah laku
manusia.
2. Syari’at Dilihat Dari Segi Ilmu Hukum Norma hukum dasar yang diwahyukan Allah,
yang wajib diikuti oleh orang Islam baik dalam berhubungan dengan Allah maupun
dalam herhubungan dengan sesama manusia dan benda dalam bermasyarakat. Dalam
syari’at Islam atau hukum Islam, muncul ilmu pengetahuan yang dinamakan ilmu.
Ilmu fiqih adalah ilmu yang mempelajari syari’at. Orang yang paham ilmu fiqih
disebut Fakih. Ilmu fiqih yaitu ilmu yang bertugas memahami dan menguraikan
norma- norma dasar yang terdapat dalam Al-Qur’an & Hadis.
3. Perbedaan syari’at Islam dengan fiqih adalah sebagai berikut: a. Syari’at terdapat
dalam A1-Qur’an dan Hadits, sedangkan fiqih terdapat dalam kitab fiqih. b. Syari’at
bersifat fundamental, mempunyai ruang lingkup lebih luas dan fiqih. Fiqih bersifat
instrumental ruang lingkupnya terbatas. c. Syari’at adalah ketetapan Allah dan
ketentuan Rosulnya, karena itu berlaku abadi. Sedang fiqih karya manusia yang dapat
beruhah dan masa ke masa. d. Syari’at hanya satu, sedangkan liqih lebih dan satu,
sehingga timbul aliran-aliran hukum dan madhab - madhab. e. Syariat menujukkan
kesatuan dalam islam, sedangkan fiqih merupakan keragarnan. ( Mukhtar Yahya &
Fathurrohman, 1993 : 121 ). B. Pembagian Dalil – Dalil Syara’. Sebagian kecil dan
golongan ahli Ushul fiqih membedakan pengertian dalil dengan amarah. Golongan
ini mengkhususkan pengertian dalil kepada sesuatu yang dimanfaatkan untuk
menetapkan hukum syar’i-amali secara qath’i, sedangkan amarah dikhususkan
kepada sesuatu yang dimanfaatkan untuk menetapkan hukum syar’i-amali secara
zhanni. Biarpun demikian para ahli Ushul fiqih yang mashur menetapkan bahwa
pengertian dalil itu sudah mencakup kedua pengertian tersebut secara mutlak, haik
secara qath’i maupun secara zhanni. Atas dasara iru!ah lumbur (golongan tersbesar)
ahli Ushul membagi dalil itu kepada dalil qath’i yakni Al-Qur’an dan Hadits
Mutawatir dan dalil zhanni yakni Hadits Ahad dan sebagainya. Bukan membaginya
kepada dalil dan amarah. Dalil-dalil syara’ yang telah disepakati oleh jumhurahli Us-
hul ada 4 macam. Dalil - dalil berturut-turut adalah sehagai berikut: Al-Qur’an, As-
22

Sunnah, Al - ijma’, Al - Qiyas. Sebagai bukti keharusan beristidlal dengan 4 macam


dalil hukurn tersehut di atas ialah firman Allah: Artinya : “ Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya”. ( QS. An Nisa’ : 59 ). Perintah untuk mengikuti Allah dan Rasul-
Nya adalah perintah untuk mengikuti Al-Qur’an dan as-sunnah. Sedangkan perintah
utnuk mentaati orang yang memegang kekuasaan adalah perintah untuk mengikuti
hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan yang dibuat dan disetujui oleh badan-hadan
yang mempunyai kekuasaan rnemhuat undang - undang dan golongan kaum
muslimin. Adapun perintah untuk memulangkan perkara yang dipertengkarkan
kepada Allah dan Rasul-Nya adalah perintah untuk menggunakan analogi (qiyas).
selama tidak ada nash dan ijma’. 1. AL-QUR’AN a. Ta’rif Al-Qur’ an adalah ialah
kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Dalam bahasa Arab
dengan perantara malaikat Jibril. sebagai hujjah (argumentasi) bagi-Nya dalam
mendakwahkan kerasulan-Nya dan sebagai pedoman hidup hagi manusia yang dapat
dipergunakan untuk mencari kebahagian hidup di dunia dan akhirat serta sebagai
media untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan membacanya.
Artinya : “ Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya
Kami benar-benar memeliharanya”. ( QS. Al Hijr : 9 ). b. Keistimewaan Al-Qur’an
Di antara keistimewaan Al-Qun’an ialah hahwa lafal dan ma’nanya berasal dan
Tuhan. Lafalnya yang berbahasa Arab itu dimasukkan oleh Allah ke dalam dada
Nabi Muhammad. kemudian beliau membacanyadan terus menyampaikan kepada
umatnya. c. Kehujjahan AI-Qur’an Tidak ada perselisihan pendapat di antara kaum
muslirnin tentang Al-Qur’an itu berdiri sebagai hujjah (argumentasi) yang kuat bagi
mereka dan bahwa ia serta hukum - hukum yang wajib ditaati itu dan sisi Allah.
Artinya : “ Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk
membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang
serupa dengan Dia, Sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian
yang lain". ( QS. Al Isra’ : 88 ). Tetapi orang-orang kafir melancarkan tuduhan
kepada Nabi Muhrnmad bahwa beliaulah yang membuat Al - Qur’an itu. Kernudian
Allah memerintahkan menentang mereka dalam firman-Nya: Artinya : “ atau
(patutkah) mereka mengatakan "Muhammad membuat-buatnya." Katakanlah:
"(Kalau benar yang kamu katakan itu), Maka cobalah datangkan sebuah surat
seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk
membuatnya) selain Allah, jika kamu orang yang benar." ( QS. Yunus : 38 ). Ketika
mereka ternyata lemah. tidak sanggup membuat sebuah surat yang ma’nanya dengan
Al-qur’an itu, maka Allah rnernerintahkan untuk membuat tantangan kcpada mereka
agar membuat sepuluh surat yang memadai seni dan gaya bahasnya, dalarn firrnan-
Nya: Artinya : “ bahkan mereka mengatakan: "Muhammad telah membuat-buat Al
Quran itu", Katakanlah: "(Kalau demikian), Maka datangkanlah sepuluh surat-surat
23

yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu


sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar ".
( QS. Hud : 13 ). Kemudian setelah Rasulullah berhijrah ke Madinah, Allah
memerintahkan kembali untuk mengadakan tantangan kepada mereka dalam firman-
Nya: Artinya : “ dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami
wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal
Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang
yang benar. ( QS. Al Baqarah : 23 ). Biarpun orang-orang kafir tersebut sudah
berusaha dengan sungguh-sungguh membuat surat-surat Al-Quran untuk
menandinginya, namun sekali-kali hasilnya tidak memadai sedikit pun. Akhirnya
mereka harus mengakui akan kelemahan mereka dan mengakui bahwa Al-Qur’an
adalah di luar kemampuan manusia. lnilah sebagai bukti bahwa A1-Quran itu datang
dan sisi Tuhan. d. Macam-Macam Hukum Dalam Al - Qur’an Hukum-hukum yang
terkandung di dalam Al - Qur’an itu ada 3 macam. 1) hukum-hukum i’tiqadiyah.
Yakni hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban para mukallaf untuk
rnernpercayai Allah, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul - rasul-Nya dan
hari pembalasan. 2) hukum-hukum akhlaq. Yakni tingkah laku yang berhuhungan
dengan kewajiban orang mukallaf untuk menghiasi dirinya dengan sifat-sifat
keutamaan dan menjauhkan dirinya dan sifat-sifat yang tercela 3) hukum-hukum
amaliah. Yakni yang bersangkutan dengan perkataan - perkataan, perbuatan-
perbuatan, perjanjian-perjanjian dan muamalah (kerja sama) sesama manusia. Macam
yang ketiga inilah yang disebut Fiqhul Qur’an dan itulah yang hendak dicapai oleh
Ilmu Ushul Fiqih. e. Dalalah (petunjuk) ayat-ayat Al-Qur’an Nash-nash Al - Quran
itu. itu ditinjau dan segi penunjukannya (dalalahnya) terhadap hukum-hukum terbagi
kepada 2 macam. 1) Qati’iy ud-dalalah 2) Zhanniyud-dalalah . 2. AS-SUNNAH a.
Ta’rif As-sunnah menurut istilah syar’i ialah sabda, perbuatan dan taqrir
(persetujuan) yang berasal dari Rasullah saw. Sesuai dengan tiga hal tersebut di atas
yang disandarkannya kepada Rasullah saw. Maka Sunnah itu dapat dibedakan kepada
3 macam. Yaitu: 1) Sunnah qauliyah (perkataan) 2) Sunnah fi’liyah (perbuatan) 3)
Sunnah taqririyah (persetujuan) b. Kehujjahan As-Sunnah 1) Al - Qur’an Misalnya
firman Allah: Artinya : “Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu
berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".(QS. Ali
Imran: 32) Di dalam surat An Nisa : 80, Allah menjelaskan bahwa taat kepada
Rasulullah saw. adalah sama dengan taat kepada Allah. firman-Nya. Artinya : “
Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan
Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk
menjadi pemelihara bagi mereka “. ( QS. An Nisa’ : 80 ). 2) Kedua, As – Sunnah 3)
Ketiga, Ijma’us sahabat 4) Keempat, Logika/Qiyas. Firman Allah: Artinya :
“keterangan - keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu
Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada merekadan supaya mereka memikirkan“ (QS. An Nahl : 44 ). c. Nisbah
(hubungan) as-Sunnah dengan AI-Qur’an Nisbah (hubungan) as-sunnah dengan Al-
24

Qur’an ditinjau dan segi penggunaan hujjah dan pengambilan hukum-hukum syari’at
adalah hahwa as-Sunnah itu sebagai sumber hukum yang sederajat lebih rendah dan
pada Al-Qur’an. Adapun nisbah as-Sunnah dengan Al-Qur’an dan segi materi hukum
yang terkandung di dalarn ada tiga macam. Yakni: 1) Menguatkan (muakkid) hukum
suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya di dalam Al-Qur’an, misalnya
shalat, dan zakat telah ditetapkan hukumnya di dalam Al-Qur’an: Artinya : “
dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat! …" ( QS. An Nisa’ : 77 ). 2)
Memberikan keterangan (bayan) ayat-ayat al-qur’an. Dalam memberikan penjelasan
ini ada 3 macam. Yakni: a) Memberikan perincian ayat-ayat yang masih mujmal,
misalnya perintah sembahyang di dalarn A1-Qur’an: Artinya : “Maka dirikanlah
shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang
ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman “. ( QS. An Nisa’ : 103 ).
Kemudian Rasulullah saw. Menerangkan waktu-waktu sembahyang, jumlah raka’
atnya, syarat-syaratnya dan rukun-rukunnya, dengan mempraktikkan sembahyang
lalu setelah itu bersabda kepada para sahahat: Bersembahyanglah kamu seperti yang
kamu lakukan lihat bagaimana aku mengerjakan sembahyang. (HR. Bukhari).
Demikian juga dalam kewajiban berzakat. dan pergi haji Allah berfirman secara
global, kemudian Rasulullah saw. Menjelaskan macam-macam dan besarnya harta
yang dizakatkan dan menjelaskan cara-cara menjalankan ibadah haji. b) Membatasi
kemutlakannya (taqyidul-mutlak,), misal nya Al -Qur’ an mernbolehkan kepada
orang yang akan meninggal berwasiat atas harta peninggalannya berapa saja dengan
tidak dibatasi rnaksimalnya. dalam frrnan-Nya: Artinya : “ …sesudah dipenuhi
wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya.. “. ( QS. An Nisa’ :
12 ). Kemudian Rasulullah memberikan batasan maksimal wasiat yang
diperkenankan dalam salah satu wawancaranya dengan Sa’ad bin Abi waqqash yang
meminta agar diperkenankan berwasiat 2/3 harta peniggalannya. Setelah permintaan
wasiat sehesar itu ditolak oleh beliau, minta diperkenankan wasiat 1/2 harta
peninggalannya dan setelah permintaan yang akhir ini ditolak pula, lalu minta
diperkenankan 1/3 hartanya. Rasullah mengizinkan 1/3 ini, katanya: sepertiga itu
adalah banyak dan besar. Sebab jika kumu meninggulkan ahli warisan dalam keadaan
kecukupun adalah Iebih baik daripada jiku kamu meninggalkan mereka dalam
keadaun miskin yang meminta-minia kepada orang banyak. (HR. Bukhari-Muslim).
c) Mentakhshishkan keumumannya (takhshishul-‘am). Misalnya Allah berfirman
secara umum tentang keharaman makan bangkai (binatang yang tiada disembelih
dengan nama Allah) dan darah dalam firman-Nya: Artinya : “ diharamkan bagimu
(memakan) bangkai, darah, daging babi… “ ( QS. Al Maidah : 3 ). Kemudian
Rasulullah saw. Mengkhususkannva dengan memberikan pengecualian kepada
bangkai ikan laut. belalang, hati dan limpa dalam sabdanya: Dihalalkan bagi kamu
dua macam bangkai dan dua macam darah. Dua macam bangkai itu ialah bangkai
ikan air dan belalang. Sedang dua macam darah itu ialah hati dan limpa. (HR. Ibnu
Majah dan al-Hakim). Demikian juga dalam masalah pusaka - mempusakai antara
anak dengan kedua orang tuanya disebutkan secara umurn oleh Allah dalam firman-
25

Nya: Artinya : “ Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)


anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan… ”. ( QS An Nisa’ : 11 ). Dalam ayat tersebut dikatakan secara
umum orang tua yang mewariskan harta peninggalannya kepada anak-anaknya.
Kemudian keumuman itu ditakhshishkan oleh sabda Rasulullah saw: Kami,
khususnya para Nabi, tidak dapat diwarisi. Apa yang kami tinggalkan adalah sebagai
sedekah. (Rw. Bukhari-Muslirn). Perkataan anak dalam ayat tersebut juga dilukiskan
secara umum dengan Iafal “au1adakum” (anak - anakmu). Kemudian anak tersebut
dikhususkan oleh Nabi Muhammad saw. Kepada anak yang dapat mewarisi.
Sedangkan anak yang tidak berhak mempusakai harta orang tuanya, misalnya karena
ia membunuh orang tuanya, dikeluarkan dan pengertian umum itu, mengingat sabda
Rasulullah saw: Tidak ada hak bagi si pembunuh mempusakai harta peninggalan
orang yang dibunuh sedikit pun. (HR. An-Nisa’i). d) Mencipiakan hukum baru yang
tiada terdapat di dalam Al - Qur ‘an. Misalnya beliau menetapkan hukum haramnya
binatang buas yang bertaring kuat dan burung yang berkuku kuat seperti yang
dirwayatkan oleh lbnu Abbas: Rasulullah saw. Melarang memakan setiap binatang
yang bertaring dan golongan binatang buas dan setiap binatang yang berkuku kuat
dan golongan burung. (Rw. Muslim) Dan beliau mengharamkan seorang laki-laki
mengawini wanita yang sepersusuan, karena mengawini wanita yang sesusuan itu
adalah sama dengan mengawini wanita yang tunggal nasab. Sabda beliau: Sungguh
Allah telah mengharamkan sesesorang mengawini wanita karena sepersusuan,
sebagaimana halnya Allah mengharamkan mengawini wanita karena senasab. (Rw.
Bukhari-Muslim) Hukum-hukum yang ditetapkan oleh Rasullah saw. itu adakalnya
atas ilham dari Allah dan adakalanya hasil ijtihad beliau sendiri. Biarpun dari hasil
ijthad sendiri. tetapi karena dasar yang dipergunakan berhjtihad itu adalah jiwa dan
dasar perundang - undangan yang umum dalam Al - Qur’an, maka mustahillah ia
bertentangan dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an. d.
Pembagian Sunnah Sunnah ditinjau dari segi sedikit atau banyaknya orang-orang
yang pada menriwayatkan dari Rasullah saw. dibagi kepada 3 bagian: 1)
SunnahMutawatirah 2) SunnahMasyhurah 3) Sunnah Ahad (Shohih, Hasan Dan
I)ho’iI) e. Perkataan dan Perbuatan Rasulullah saw. yang bukan merupakan syari’at
Sabda, perbuatan dan taqrir rasulullah saw. Adalah syari’at yang harus ditaati oleh
kaurn muslimin selama sabda, perbuatan dan taqrir tersebut keluar dari beliau
Rasulullah dan memang dimaksudkan sebagai undang-undang umurn yang wajib
ditaati. 3. AL - IJMA’ a. Ta’rif Ijma’ menurut istilah ahli ushul fiqih ialah
persepakatan para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa sepeninggal
Rasulullah saw. Terhadap suatu hukurn syar’i mengenai suatu peristiwa. b. Rukun-
Rukun Ijma’ 1) Pada masa terjadinya peristiwa itu harus ada heberapa orang
mujtahid. 2) Seluruh mujtahid kaum muslimin rnenyetujui hukurn syara’ yang telah
mereka putuskan itu dengan tidak memandang negara, kebangsaan dan golongan
mereka. 3) Persepakatan itu hendaknya dilahirkan oleh masing-masing dan mereka
secara tegas terhadap peristiwa itu, baik lewat perkataan maupun perbuatan. 4)
26

Persepakaan itu haruslah merupakan persepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid.
c. Kehujjahan ijma’ Sebagai bukti bahwa ijma’ itu menjadi hujjah adalah sehagai
berikut: 1) Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu ”. ( QS. An Nisa’ : 59 ). 2) Sabda Rasullah
saw.: Umatku tidak sepakat untuk membuat kekeliruan. (HR. lbnu Majah). Dan
sabda beliau yang menejelaskan penghargaan yang baik dari Allah terhadap pendapat
yang baik dari kaum muslimin: Apa yang dipandang baik oleh orang-orang muslim,
di sisi Allah pun dipandang baik juga. (HR. Ahrnad) 4. AL-QIYAS a. Ta’rif Yang
dinamakan Qiyas, menurut para ahli Ushul Fiqih, adalah mempersamakan hukum
suatu peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hukum suatu peristiwa yang sudah
ada nashnya lantaran adanya persamaan illat hukumnya dari kedua peristiwa itu. b.
KehujjahanQiyas Jumhur ulama’ berpendirian bahwa Qiyas itu adalah menjadi
hujjah syari’at (sumber hukum syari’at) bagi hukum-hukum amal perbuatan manusia.
dan berada pada tingkatan keempat dari dalil-dalil syari’at. c. Rukun-Rukun Qiyas
Setiap Qiyas, mempunyai 4 rukun. yakni: 1) Ashal (pokok) 2) Far’u (cabang) 3)
Hukum ashal 4) ‘illat. C. Pembagian Hukum Syara’ Dengan memperhatikan kembali
tarif hakikat hukum menurut Ushuliyun sehagaimana dikemukakan di atas, nyatalah
bahwa elemen - elemen yang terdapat dalam ta’rif itu membedakan hukum kepada
dua macam. Yakni hukum taklifi dan hukum wadh’i. 1. HUKUM TAKLIFI a. Ta’rif
HUKUM TAKLIFI Khitah-khitab tersebut dinamai hukurn taklili karena
mengandung pembebanan (taklif) kepada para mukallaf untuk dikerjakan,
ditinggalkan atau dipilih antara dikerjakan dengan ditinggalkan. Tuntutan untuk
mengerjakan suatu perbuatan atau untuk meninggalkannya adalah jelas sekali sebagai
pemberian beban. Adapun pilihan antara mengerjakan dan meninggalkan satu
perbuatan pada hakikatnya bukanlah merupakan suatu pembebanan, tetapi hanya
alternatif belaka. Para Ushuliyun memasukkannya ke dalam pembebanan (hukum-
taklif) adalah berdasarkan kepada urnumnya (ghalibnya). ( Mukhtar Y. dan
Fathurrohman, 193 : 124 ). b. Pembagian hukum taklifi Hukum taklifi itu ada 5
macam : 1) Ijab, yang dirnaksud ijab ialah khitab syar’i yang menuntut agar
dilakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti. Artinya : “…Maka dirikanlah
shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang
ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman“.(QS. An Nisa’ : 103 ). 2)
Nadb. Nadb ialah khitab syar’i yang menuntut agar dilakukan suatu perbuatan
dengan tuntutan yang tidak harus dikerjakan. 3) Tahrim. Yakni khitab syari yang
menuntut untuk ditinggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tegas,
sebagaimana firman Allah: Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk… “ ( QS. An Nisa’ : 43 ). 4)
Karahah. Ialah khitab syar’i yang menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan
dengan tuntutan yang tidak tegas agar ditinggalkan. 5) Ibahah. Ibahah ialah khitab
syari yang mengandung hak pilihan antara mengerjakan dan meninggalkannya.
Berikut ini dikemukakan perbandingan pembagian hukum taklifi menurut ulama
jumhur dengan Hanafiah. Menurut Jumhur Menurut Hanafiah 1). Ijab 1. Fardhu, bila
27

ditunjuk oleh dalil qath’i 2. Wajib, bila ditunjuk oleh dalail zhanni 2). Nadb
(mandub, sunnat ) 3. Sunnat, bila selalu dikerjakan oleh nabi, kecuali udzur. 4.
Mandub, bila banyak beliau tinggalkan aripada beliau kerjakan. 3). Tahrim ( haram )
5. Haram, bila dilarang oleh qath’i 6. Karabah Tahrim, bila dilarang oleh dalil zhanni.
4). Karahah 7. karahah – tanzil 5). Ibahah ( mubah, jaiz, halal ) 8. Ibahah ( mubah ).
Dengan memperhatikan kembali keterangan sebagaiman dikemukakan di atas, maka
dapatlah kiranya disimpulkan hahwa: a) Perbuatan yang dituntut untuk dikerjakan itu
ada 2 macam yakni : wajib dan mandub. b) Perbuatan yang dituntut untuk
ditinggalkan itu ada 2 macam yakni : haram dan makruh. c) Perbuatan yang
diperkenankan dipilih untuk dikerjakan atau ditinggalkan ada satu macam saja, yakni
mubah. c. Tujuan Umum Syari’at Islam 1) Menegakkan Kemaslahatan Tujuan
syari’at Islam itu dapat dipahami dan diterima oleh akal pikiran manusia, kecuali hal-
hal yang bersifat ta‘abbudi dan sesuatu yang hikamnya tidak dima‘qul (tidak dapat
dipahami). ( Yusuf Al Qardhawi, 1997 : 55 ). Setiap orang yang belajar syari’at
Islam, akan mengatakan hahwa hukum-hukum yang tertuang di dalam syari’at Islam
itu berorientasi memelihara kemaslahatan para mukallaf, menolak kemafsadatan
(kerusakan), dan mewujudkan kemaslahatan bagi mereka. Allah SWT menjadikan
risalah Nabi Muhammad sehagai rahmatan lil alamin, sebagaimana yang tertuang
didalarn firman-nya surah Al-Anbiya ayat 107: Artinya : “ dan Tiadalah Kami
mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam ”. ( QS. Al
Anbiya’ : 107 ). Allah juga menjadikan Al-Qur’an sehagai obat, petunjuk dan rahmat
bagi orang yang mau mengikuti dan beriman kepada-Nya, sebagairnana firman Allah
surah Yunus ayat 57: Artinya : “Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu
pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam
dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman “. ( QS. Yunus : 57 ).
Barangsiapa yang membaca dan mengamati hukum-hukum yang tertuang dalam
syari’at Islam dan memikiran sesuatu yang di ta‘lil (dicari alasan) dalam Al-Qur’an
dan Hadis, maka ia akan menemukan penjelasan bahwa syari’at Islam bertujuan
untuk menegakkan kemaslahatan semua makhluk, terutama dalam bidang-bidang
ibadah. Disyariatkannya ibadah adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia
yang taklifi. Allah butuh kepada ibadah hamba-Nya. ketaatan dan kesyukuran
manusia tidak memberikan manfaat bagi Allah, sebagaimana maksiat hamba tidak
memudharatkan Allah, semua perbuatan manusia itu akan berpulang kepada manusia
itu sendiri. Ketentuan ini tertuang dalam firman Allah An - NamI ayat 40: Artinya :
“dan Barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya Dia bersyukur untuk
(kebaikan) dirinya sendiri dan Barangsiapa yang ingkar, Maka Sesungguhnya
Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia ". ( QS. An Naml : 40 ). Sesungguhnya
hikrnah, rahmat, kebaikan, dan kemurahan Allah itu menuntut manusia untuk
beribadah dengan segala sesuatu yang mengandung kemaslahatan dan kebahagian
buat mereka, baik di dunia maupun di akhirat. Karena itu, dalam kitab Allah (Al-
Qur’an) kita temukan tujuan-tujuan pokok ibadah ritual dalam Islam, seperti dalam
persoalan wudu. Allah SWT berfirman Artinya : “..Allah tidak hendak menyulitkan
28

kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya


bagimu, supaya kamu bersyukur “. ( QS. Al Maidah : 6 ). Mengenai salat, Allah
SWT berfirman dalam surah Al-Ankahut ayat 45 Artinya : “Sesungguhnya shalat itu
mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar” (QS. Al Ankabut : 45 ).
Mengenai hukum yang berkaitan dengan zakat, Allah SWT berfirman dalam surah
At-tauhah ayat 103 : Artinya : “ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan
zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk
mereka... “ ( QS. At Taubah : 103 ). Mengenai puasa, Allah SWT berfirman dalam
surah Al - Baqarah ayat 183 Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar
kamu bertakwa “. ( QS. Al Baqarah : 183 ). Mengenai haji, Allah SWT berfirman
dalam surah Al - Hajj ayat 28 : Artinya : “ supaya mereka menyaksikan berbagai
manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah
ditentukan (Hari Raya Haji dan Tasyrik) “ . ( QS. Al Hajj : 28 ). 2) Memusnahkan
Kemafsadatan Jika syari’at Islam bertujuan memelihara dan mewujudkan
kemaslahatan, maka ia pun mempunyai tujuan untuk menghilangkan dan
memusnahkan kemafsadatan serta mencegahnya. Mereka yang menganggap
kemaslahatan sebagai dalil syara’ yang berdiri sendiri, berpegang pada hadis yang
artinya: “Tidak boleh membinasakan diri dan saling membinasakan.” Maksud kata :
Laa Dharara Wa Laa Dhiraara adalah seseorang tidak boleh menyengsarakan dirinya
sendiri dan tidak pula boleh menyengsarakan orang lain. Jika seseorang itu tidak
membinasakan dirinya sendiri dan orang lain, maka secara otomatis kemaslahatan itu
akan terwujud dan terjaga. Para ulama berpendapat, bahwa hukum asal dalam kata :
Dharara pada hadis tersebut itu menunjukan ‘hararn”. Sebab, kata dharara itu nakirah
dalarn bentuk nafi. Karena itu, kata-kata tersebut mencakup seluruh jenis
kemudharatan. Yakni, seluruh jenis perbuatan yang dapat merugikan dan
mencelakakan. Berbeda dengan kemalahan (kebaikan). Hukum asal kemaslahatan
adalah halal, sesuai dengan firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 29: Artinya : “
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu “. ( QS. Al
Baqarah : 29 ). Sebagaimana yang telah dijelaskan lmam Asy-Syatibi, bahwa
sesungguhnya memelihara kemaslahatan yang menjadi tujuan syari’at Islam itu dapat
ditinjau dari dua aspek : aspek positif dan negatif. Aspek positif, memelihara dan
menegakkan tiang syari’at Islam, sedangkan aspek negatif mengantisipasi dan
menolak kerusakan (mafsadat) baik pada masalah yang belum, sudah, maupun yang
akan terjadi. Karena itu, menolak dan mengantisipasi timbulnya kemafsadatan adalah
wajib guna menegakkan kemaslahatan. Bahkan, memelihara maslahat itu juga
termasuk wajib guna meniadakan kerusakan (mafasadah), seperti yang disinyalir
Imam Asy-Syatibi. Di atas kekuatan dan pondasi itulah segala perintah dan larangan
dalam syari’at Islam itu di tegakkan. Imam Qarrafi berkata “Jika sudah diketahui,
bahwa segala perintah dalam syari’at Islam itu bergantung pada kemaslahatan,
sebagaimana larangan juga bergantung pada mafsadah, maka ketahuilah bahwa
kemaslahatan itu ada di derajat terendah, maka ada hukum sunnah, dan jika derajat
29

yang paling tinggi, maka ada hukum wajib. Begitu juga mafsadah, jika ia ada
diderajat terendah maka ada hukuman makruh. Hukum makruh ini akan naik, sesuai
dengan naiknya mafsadah sehingga ia sampai pada derajat makruh paling tinggi, di
hawah derajat haram. Jika ia ditingkatkan paling tinggi, maka ada hukum haram. 3)
Sikap Syari’at Islam : Antara Kemaslahatan Dan Kemafsadatan Jika antar
kemaslahatan saling bertentangan, atau jika kemaslahatan berlawanan dengan
kemafsadatan, bagaimana sikap syari’at Islam? Maksudnya, suatu perkara itu
terkadang satu sisi memberikan kemaslahatan pada seseorang atau suatu golongan,
pada sisi lain menimbulkan kemafsadatan. Hal ini sering muncul di tengah-tengah
masyarakat. Untuk menyikapi kondisi tersebut, syari’at Islam mengambil jalan taufiq
(mengumpulkan nash - nash yang saling berlawanan). Jika jalan taufiq tersebut tidak
mungkin, maka syari’at Islam menempuh jalan tarjih. d) Peran Agama dalam
Penegakan Hukum Agama sangat perlu bagi penegakan hukum, terutama lagi bagi
Jaksa dan Hakim. Sebab dengan dasar Agama maka ia akan memutuskan suatu
perkara yang seadil-adilnya. Sebuah pepatah arab mengatakan “Qu1il haqqa walau
kaana murran” / katakanlah yang haq (benar) walau pahit rasanya. ( Idris Ramulyo
1981 – 1999 ). Diantara realisme syariat Islam itu adalah ia tidak hanya memberikan
nasihat keagamaan dan bimbingan akhlaq an-sich, tetapi juga ia menetapkan
“Undang-Undang Kriminal”, sebab manusia yang berbuat kriminalitas itu tidak
hanya bisa dicegah dengan nasihat-nasihat saja, melainkan juga perlu hukuman dan
tindakan kekerasan yang sesuai dengan kejahatannya. Mengenai hal tersebut Khaifah
Usman bin Affan mengatakan jika nasihat-nasihat keagamaan itu tidak bisa menekan
atau menghilangkan angka kriminalitas, maka seseorang harus menggunakan
pendekatan kekuasaan. D. Syarat Penerapan Syariat Islam 1. Penerapan Syari’at
islam Di Masa Kini Syari’at Islam relevan untuk diterapkan di zaman sekarang,
bahkan di negeri - negeri non Islam sekalipun. Sebab, ia cocok untuk setiap zaman
dan tempat. Bahkan, ia yang hanya patut untuk zaman sekarang, sementara kondisi
ekonomi, sosial, politk, pemerintah, dan kebudayaan berbeda dengan zaman
penerapan syariat dahulu? Misalnya, di hidang ekonomi, muncul hal-hal yang aktual,
seperti: Bank. Asuransi, dan lain-lain. Bidang sosial kemasyarakatan, merebaknya
kaum buruh dalam percaturan kehidupan dan aliran pandangan sosialis di dalam
percaturan kehidupan dan aliran pandangan sosial di dalam sistem perekonomian.
Tampilnya kaum wanita aktif bekerja di jalan-jalan raya, pabrik - pabrik, dan toko-
toko serta kantor sementara kaum laki-laki banyak pengangguran. Pengaruhnya
sangat besar bagi tatanan keluarga dan kehidupan seluruhnya. Munculnya teknologi
canggih, di banyak negara, ilmu pengetahuan yang telah merebak begitu kuat untuk
memerangi kaum yang buta huruf. Keuntungannya, dapat meningkatnya bangunan
dan semakin mudahnya sarana kehidupan. Bidang politik, muncul sistem perwakilan
sebagai saluran aspirasi rakyat, lahir sistem pembagian kekuasaan. dan sistem-sistem
lainnya. Bidang komunikasi antar Negara, Jarak menjadi begitu dekat seakan-akan
dunia ini satu negara, sementara umat manusia bosan perang dan dakwah pun
mendapat respon posistif baik oleh individu maupun masyarakat. (Yusuf Al
30

Qardhawi 1997 : 285 ) Perubahan dan perkembangan dunia yang begitu mengglobal,
apakah syari’at Islam dapat meresponnya? Apakah hukum-hukum Islam itu cocok
untuk diterapkan pada zaman sekarang? Jawabannya, syari’at Islam adalah kekal
abadi. mampu menghadapi dan merespon problematika kontemporer dan sanggup
untuk mengantisipasinya. Ia mampu mengarahkan dan membimbing kehidupan ini di
atas jalan hidayah Allah. Problem kontemporer tersebut dapat direspon diatasi oleh
syari’at Islam, akan tetapi dengan beberapa syarat yang harus ditempuhnya. Di
antaranya adalah membuka pintu ijtihad bagi mereka yang mampu dan kembali
mengikuti jejak salaf ash-shaleh serta melepaskan diri dari fanatisme mazhab dalam
hal yang berkaitan dengan tasyri’ untuk masyarakat seluruhnya. Pintu ijtihad telah
dibuka oleh Nabi SAW. Tidak ada seorang pun yang berhak untuk menutupnya. A1-
Qur’an maupun hadis tidak kita mengharuskan untuk terikad satu mazhab fiqih
tertentu. Bahkan, pernyataan-pernyataan para Imam Mazhab banyak yang melarang
bertaqlid dalam hal-hal yang diijtihadi mereka, terlebih-lebih dijadikan agama atau
syari’at. Imarn Malik, misalnya. pernah diminta Khalifah Abu Ja’far Al-Mansur
untuk menulis sebuah kitab yang berisi seleksi antara kemurahan lbnu Abbas dan
kekerasan - kekerasan hukum Ibnu Umar r.a. Lalu Imam Malik menulis kitab
Muwaththa’ itu dijadikan kitab undang-undang resmi negara dan diberlakukan
kepada seluruh umat Islam. Imam Malik tidak merestuinya. Dengan kealiman,
kefakihan, kebijakan, dan kewara’annya, beliau berkata kepada khalifah : jangan
anda lakukan, wahai amirul mukminin! Mereka telah banyak mendengar hadis dan
pendapat lain. Biarkanlah mereka mengamalkan sesuai dengan pilihannya. Dalam
riwayat, Imam Malik berkata: Para sahahat Rasulullah SAW tersebar diberbagai
negeri, dan masing-masing penduduk negeri tesebut belajar kepada mereka. Karena
itu, jika mereka kita haruskan untuk mengikuti satu pendapat saja, niscaya akan
timbul fitnah. Mendengar jawaban yang bijak dan Irnam Malik tersebut. Kahliiah
Ahu Ja’far Al-Mansur puas dan mengurungkan niatnya. Imam Malik tidak akan
membenci kita, jika pikiran dan pendapat kita diluar hasil ijtihadnya. Kita tidak akan
dibenci para Imam selain Imam Malik, jika kita pindah kependapat lain yang
menurut kita benar, meski pendapat tersebut menyalahi pendapat mereka. Sebab,
tidak ada dari mereka yang menyatakan bahwa dirinya maksum. Imam Malik pernah
mengatakan : “Setiap orang itu pendapatnya boleh diambil dan boleh dibuang,
kecuali pendapatnya Nabi Muhammad SAW.” beliau juga pernah mengatakan :
“Genersi akhir umat ini tidak akan baik, kecuali dengan faktor-faktor yang membuat
generasi pertama dahulu menjadi baik.” 2. ljtihad Dalam Masalah-Masalah Baru
Hukum ijtihad adalah fardhu kifayah bagi umat Islam urnumnya. khususnya bagi
para ularna untuk melaksanakan ijtihad dalam masalah baru akibat perubahan zaman
dan situasi, dan mengeluarkan hukum yang cocok dengannya dengan berpedoman
pada nash-nash, qiyas, istihsan, istislah, sadduddari’ah, ‘urf yang benar, atau lainnya
yang dinyatakan dalam ushul fiqih dan kaidah-kaidahnya. Sekarang dunia mengalarni
peruhahan dan perkembangan yang luar biasa. Ada yang menyebutnya dengan era
kebangkitan ke dua, yakni, sebuah era di mana manusia mulai disibukkan untuk
31

memerankan kemampuan otaknya melalui media elektronik. Syari’at Islam harus


mampu meresponnya untuk memberikan kepastian hukum pada kejadian dan
masalah baru tersebut. Di sinilah ijtihad mempunyai peran besar. Latihan 1. Jelaskan
apa yang dimaksud dengan As sunnah, dan sebutkan beberapa fungsi Assunnah
terhadap Al-Qur’an 2. Apakah yang dimaksud dengan ljtihad? 3. Apakah tujuan
Hukum Islam? 4. Apakah yang dimaksud dengan Syariat? dimana letak perbedaan
antara Syariat dengan Fiqih.? 5. Jelaskan pengertian A1-Ahkam Al-Khomsah
(Hukum Lima)! 6. Jelaskan landasan dan sumber hukum Islam! 7. Coba Saudara
jelaskan mengapa syariat islam dikatakan lebih mantap daripada hukum Islam? 8.
Didalam hukum islam dilihat asas keadilan, asas kepastian hukum & asas manfaat.
Jelaskan! 9. Bagaimana kedudukan Qiyas dalam hubungannya dengan hukum islam?
10. Jelaskan secara ringkas sumber-sumber hukum islam ? 11. Hukum islam
menganut sistem hukum terbuka & tertutup. Dapatkah Saudara jelaskan mengapa
demikian ? 12. Hukum islam menganut sistem hukum terbuka & tertutup. Dapatkah
Saudara jelaskan mengapa demikian ? 13. Bagaimana peranan agama dalam
penegakan hukum ? 14. Bagaimana cara melakukan ijtihad dalam masalah-masalah
baru? 15. Jelaskan cara penerapan syariat islam dimasa kini? DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam. Jakarta: Rajawali pers, 1982.
Idris Ramulya, Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 1999. Muhkhtar Yahya dan
Fathurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam. Bandung: Al-Ma’arif.
1993. Yusuf Qardhawi, Membumikan Syariat Islam. Surabaya: Aneka Ilmu, 1997

Latihan
1. Istilah politik dikenal dalam Islam, tetapi bukan berarti Islam tidak mengenal politik.
Carilah idiom bahasa Arab yang searti dengan istilah politik. Kemudian bedakan
pengertian antara politik Islam dan politik sekuler.
2. Allah berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu,kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunahnya). (Q.S.
an-Nisa/4:59)”.
3. Ayat tersebut jika dipahami melalui pendekatan ilmu politik, sekurang-kurangnya
mengandung 4 hal berkenaan dengan politik. Sebutkan dan jelaskan masing-masingnya.
4. Seorang Presiden, Khalifah, Raja, Malik, Amir, Perdana Menteri adalah orang yang diberi
amanah yaitu yang harus dikelola sebaik-baiknya. Kata amanah itu seakar dengan iman,
amin, amanah, dan aminah. Jelaskan arti masing-masing dan berilah narasi hubungan
antara istilah itu dalam kaitannya dengan kehidupan politik.
5. Islam tidak memberikan petunjuk yang mendetail dan terperinci. Ini suatu kelebihan atau
kelemahan? Jelaskan pula argumen Saudara.
6. Jelaskan apa saja mengenai kewajiban seorang pemimpin berikut hak-haknya.
32

7. Jelaskan apa saja yang menjadi hak dan kewajiban rakyat terhadap negaranya.
8. Jelaskan perbedaan dan persamaan antara prinsip demokrasi dan prinsip syuro dalam
Islam.
9. Jelaskan sumbangan Islam sebagaimana tampak dalam alinea 1, 2, 3, dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
10. Jelaskan sumbangan Islam sebagaiman tampak dalam perumusan sah Pancasila.
11. Jelaskan sumbangan Islam sebagaimana tampak dalam format lembaga tinggi negara
MPR dan lembaga tinggi negaralainnya seperti DPR dan MA (Mahkamah Agung).
12. Menurut Islam hakikat umat manusia itu satu, dan kesemuanya supaya taat, patuh, dan
takut kepada Allah. Tulislah dalil sekurang-kurangnya terjemahannya yang menunjukkan
pernyataan ini.
13. Allah menciptakan manusia bersuku-suku, untuk apa maksudnya?
14. Islam memiliki kandungan egalitarianisme. Apa yang dimaksud dengan istilah itu?
Kemudian apa yang membedakan martabat manusia yang satu dengan yang lainnya?

DAFTAR PUSTAKA

Almunawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pondok


Pesantren Krapyak. [t.th.].
Anis, Ibrahim (et all.). al-Mu’jam al-Wasith, II. Saudi Arabia: Hasan ‘Ali ‘Aliyyah.
Muhammad Syarqi Amim, [t.th.].
An-Naisaburi, Abi Husain bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi. Sahih Muslim, II. Makkah: Dar
Yahya’ al-Kutub al- Arabiyyah-Indonesia,[t.th].
Al-Azdi, Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’as as-Sijistani, Sunan Abu Dawud .III.[t.tp]:
Mahmud’Ali as-Sair,[t.th].
Budiharjo, Miriam, Dasar- dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1982
Daud Ali,Mohamad. PendidikanAgama Islam.Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
Delian Noer,Pengantar kePemikiran Politik. Jakarta Rajawali 1983.
Esposito, John.Ensiklopedi Oxford:Dunia Islam Moderen, IV. Bandung: Mizan, 2001.
Maududi, Abul A’la. Human Right in Islam, (terj.), Ahmad Nashir Budiman: Hak Asasi
Dalam Islam. Bandung: Pustaka, l985.
Nasution, Harun. Falsafah dan Mistisisme Dalam Islam. Jakarta: UI Press, l981.
Websters, Noah,Webster Twentieth Century Dictionary, USA: William Collins Publishers,
l980.

Anda mungkin juga menyukai