Anda di halaman 1dari 67

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA ANAK DENGAN SLE

DISUSUN OLEH :
KELAS B13B KELOMPOK 14

NI MADE ERA MAHAYANI (203221183)


I GEDE WAHYU PUTRA DINATA (203221184)
PUTU ADHELINA ISWARA DEVI (203221185)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKES WIRA MEDIKA PPNI BALI
2020
LAPORAN PENDAHULUAN ANAK DENGAN THALASEMIA

A. Konsep Dasar SLE

1. Definisi SLE
Lupus merupakan sistemik (SLE) adalah suatu penyakit inflamasi autoimun
pada jaringan penyembuhan yang dapat mencukup ruam kulit, nyeri sendi, dan
keletihan. Penyakit ini lebih sering terjadi pada prempuan dari pada pria
dengan faktor 10:1. Androgen mengurangi gejala SLE dan estrogen
memperburuk keadaan tersebut. Gejala memburuk selama fase luteal siklus
menstruasi, namun tidak dipengaruhi pada derajat yang besar oleh kehamilan
(Dinarti, 2009). Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit vaskuler
kolagen (suatu penyakit autoimun). Ini berarti tubuh manusia menghasilkan
antibody terhadap organ tubuhnya sendiri, yang dapat merusak organ tersebut
dan fungsinya. Lupus dapat menyerang banyak bagian tubuh termasuk sendi,
ginjal, paru-paru seta jantung.
SLE (systemic lupus erythematosus) adalah sejenis rema jaringan yang
bercirikan nyeri sendi (arthralgia), demam, malaise umum dan erythema
dengan pola berbentuk kupu-kupu khas dipipi muka. Darah mengandung
antibody beredar terhadap IgG dan imunokompleks, yakni kompleks antigen-
antibodi-komplemen yang dapat mengendap dan mengakibatkan radang
pembuluh darah (vaskulitis) dan radang ginjal. Sama dengan rematik, SLE
juga merupakan penyakit auroimun, tetapi jauh lebih jarang terjadi dan
terutama timbul pada perempuan. Sebabnya tidak diketahui, penanganannya
dengan kortikosteroida atau secara alternative dengan sediaan enzim (papain
200mg + pangkreatin 100mg + vitamin E 10mg) 2 dd 1 kapsul .
Suatu peradangan kronis jaringan ikat mengenai sendi, ginjal, selaput
serosa permukaan dan dinding pembuluh darah yang belum jelas
penyebabnya. Peradangan kronis ini mengenai perempuan muda dan anak-
anak 90% penderita penyakit SLE adalah prempuan. SLE (Sistemisc Lupus
Erythematosus) adalah penyakti radang multisistem yang sebabnya belum
diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau
kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam
autoantibodi dalam tubuh.

2. Etiologi
a. Faktor genetic memiliki peranan yang sangat penting dalam kerentanan
penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE memiliki kerabat dekat
yang menderita SLE juga.
b. Faktor lingkungan, yakni sinar UV yang mengubah struktur DNA di
daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di
daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit.
c. SLE dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat
yang memiliki gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi
lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan
kesempatan obat untuk berikatan degan protein tubuh. Hal ini direspon
sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks
antibodi antinuclear (ANA) untuk menyaring benda asing tersebut.
d. Infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun
dengan mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga
mengaktivasi sel B limfosit non spesifik yang akan memicu terjadinya
SLE. (Herfindal et al, 2000)

3. Patofisiologi
Kerusakan organ pada SLE didasari oleh reaksi imunologi. Proses diawali
dengan faktor pencetus yang ada dilingkungan, dapat pula infeksi, sinar
ultraviolet atau bahan kimia. Cetusan ini menimbulkan abnormalitas respon
imun didalam tubuh yaitu:
1. Sel T dan B menjadi autoreaktif
2. Pembentukan silokin yang berlebihan
3. Hilangnya regulator control pada sistem imun anatara lain :
a. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen dikompleks imun
maupun sitokin didalam tubuh
b. Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
c. Hilangnya toleransi imun sel T mengenali molekul tubuh sebagai
antigen karena adanya mimikri molekul
Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibody
didalam tubuh yang disebut sebagai autoantibodi. Selanjutnya antibody 2
yang membentuk kompleks imun tersebut terdeposisi pada jaringan / organ
yang akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunnya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetika,
hormonal (sebagaimana terbukti oleh penyakit yang biasannya terjadi selama
usia prodiktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-
obatan tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan
beberapa preparat antikonvulsan.
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara lain: faktor-faktor
genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya
terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar
termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid,
klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan
seperti kecambah alf-alfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa
kimia atau obat-obatan. Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi
diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga
timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan
menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan
siklus tersebut berulang kembali.
Faktor genetik, obat abatan, Sel T supresor
hormonal, sensitivitas, sinar abnormal
Pathway SLE Pathway SLE
ultraviolet

Autoimun

Peningkatan produksi
auto anti bodi

Penumpukan komplek
imun

Kerusakan jaringan
Diseluruh organ

Imflamasi pd
organ

Intergumen
Demam Imflamasi ginjal
Nyeri
Peningkatan histamin
Hipertermi Glomerulonefritis
(D.0078) Nyeri
Kronis Ruam pd kulit (D.0083)
Gangguan Citra Tubuh
Uremia Proteinurea
(D.0129) Gangguan
Integritas Kulit/Jaringan
(D.0074) Gangguan Rasa Gatal-gatal
Nyaman Gangguan Eleminasi (D.0036) Hipervolemia
Urin
Imflamasi pd
organ

Kardio Muskuloskeletal

Perikarditis Artritis

Penurunan suplai O2 (D.0054) Gangguan


ke jaringan Mobilitas Fisik

Hipoksia

Sesak

(D.0005) Pola
Nafas Tdk Efektif
4. Manifestasi Klinis SLE
Gambaran klinis SLE sangat bervariasi, baik dalam keterlibatan organ
pada suatu waktu maupun keparahan manifestasi penyakit pada organ
tersebut. Sebagai tambahan, perjalanan penyakit berbeda antarpasien.
Keparahan dapat bervariasi dari ringan ke sedang sehingga parah atau bahkan
membahayakan hidup. Karena perbedaan multisystem dari manifestasi
kliniksnya, lupus telah menggantikan sifilis sebagai great imitator.
Kebanyakan pasien dengan SLE memiliki penyakit ringan sampai sedang
dengan gejala kronis, diselingi oleh peningkatan aktivitas penyakit secara
perlahan atau tiba-tiba. Pada sebagian kecil pasien dikarakteristikkan dengan
peningkatan aktivitas penyakit dan remisi klinik sempurna. Pada keadaan yang
sangat jarang, pasien mengalami episode aktif SLE singkat diikuti dengan
remisi lambat. Manifestasi klinis secara umum yang sering timbul pada pasien
SLE adalah rasa lelah, malaise, demam, penurunan nafsu makan, dan
penurunan berat badan.
1. Manifestasi Konstitusional
Demam muncul pada sebagian besar pasien dengan SLE aktif, namun
penyebab infeksius tetap harus dipikirkan, terutama pada pasien dengan
terapi imunosupresi. Penurunan berat badan dapat timbul awal penyakit,
dimana peningkatan berat badan, khusus pada pasien yang diterapi dengan
glukokortikoid, dapat menjadi lebih jelas lebih jelas pada tahap
selanjutnya. Kelelahan dan malaise merupakan salah satu gejala yang
paling umum dan seringkali merupakan gejala yang memperberat
penyakit. Penyebab pasti gejala-gejala ini belum jelas. Aktivitas penyakit,
efek samping pengobatan, gangguan neuroendokrinologis, dan faktor
psikogenik terlibat dalam timbulnya gejala konstitusional. Pada kasus ini
dijumpai gejala demam namun gejala ini mungkin juga disebabkan oleh
infeksi pneumonia. Penurunan berat badan juga ditemukan pada pasien.
Sesuai dengan teori yang mengatakan kelelahan dan malaise merupakan
salah satu gejala yang paling umum yang memperberat penyakit, gejala ini
turut ditemukan kasus ini.
2. Manifestasi Mukokutan
Fotosensitivitas dapat dikenali dengan pembentukan ruam, eksaserbasi
ruam yang telah ada sbelumnya, reaksi terhadap sinar matahari yang
berlebihan (exaggerated sunburn), atau gejala sepereti gatal atau
parastesisi setelah terpajan sinar matahari atau sumber cahaya buatan.
Fotosensitivitas sering ditemukan dan dapat terjadi pada semua kelompok
ras dan etnis, walapun belum ada studi mengenai prevalensinya dipopulasi
umum. Ruam berbentuk kupu-kupu yang khas, yaitu ruam kemerahan di
area malar pipi dan persambungan hidung yang membagi lipatan
nasolabial, lebih dikenal sebagai malar rash atau butterfly ras. Ruam ini
dapat ditemukan pada 20-25% pasien. Gejala ini dapat meningkat dan
sangat meradang, bertahan selams berminggu-minggu atau berbulan-
bulan. Gejala ini hilang tanpa jaringan parut. Plak eritematosa dengan
adherent scale dan telangiektasis umumnya terdapat diwajah, leher dan
kulit kepala. Lupus kutis akut dalam bentuk eritema inflamasi yang jelas
dapat dipicu oleh pacaran sinar ultraviolet. Lesi lupus subakut dan kronik
lebih sering ditemukan di kulit yang terpapar sinar matahari dalam waktu
lama (lengan depan, daerah V dileher) tanpa pacaran sinar matahari dalam
waktu dekat. Lesi kulit lainnya termasuk livedo riticularis, eritema
periungual, eritema palmaris, nodulpalmaris, vesikel atau bula, urtikaria
akut atau kronik, panniculitis, purpuravaskulitis, dan ulkus vaskulitis.
Alopesia dapat timbul akibatlesi pada kulit kepala, namun biasanya
muncul pada puncak SLE. Alopesia bersifat reversible, kecuali jika
terdapat lesi discoid kepala. Ulkus oral dan nasal cukup sering terjadi dan
harus dibedakab dari infers virus maupun jamur. Mata dan mulut kering
(sindrom Sicca) dapat disebabkan oleh inflamasi autoimun pada kelenjar
lakrimal dan saliva, yang mungkin tumpang tindih dengan sindrom
sjogren. Umumnya mata dan mulut kering merupakan efek samping
pengobatan. Pada kasus ini ditemukan manifestasi mukokutan. Sesuai
dengan teori, pada pasien ini ditemukan fotosensitivitas, yaitu eksaserbasi
ruam dengan pajanan pada sinar matahari. Pada kasus ini juga ditemukan
ruam berbentuk kupu-kupu (malar rash atau butterfly rash) pada bagian
pipi dan hidung pasien. Alopesia juga ditemukan pada pasien ini yang
mengeluh rambutnya yang sering rontok waktu menyikat rambut.
3. Manifestasi Muskuloskeletal
Artritis SLE biasanya meradang dan mucul bersamaan dengan sinovitis
dan nyeri, bersifat nonerosif dan nondeforming. Manifestasi yang jarang
adalah deformitas jaccoud yang menyerupai artritis rheumatoid namun
berkurang dan tidak terbukti secara radiologis menyebabkan desttruksi
kartilago dan tulang. Kelemahan otot biasanya merupakan akibat terapi
glukokortikoid atau antimalaris, namun myositis dengan peningkatan
enzim otot jarang ditemukan dan biasannya merupakan gejala yang
tumpah tindih. Tenosinovitis dan bursitis jarang ditemukan. Ruput tendon
dapat merupakan komplikasi terapi glukokortikoid. Ostenekrosis
(nekrosisavaskuler) dapat disebabkan oleh penyakit maupun efek
pengobatan gukokortikoid, biasanya terjadi pada kaput femoralis, kaput
hormonal, lempemg tibia dan talus. Artralgia dan myalgia merupakan
gejala lain yang sering ditemukan, dapat disebabakanoleh penyakit, efek
samping pengobatan, glucocorticoid withdrawal syndrome, endokrinopati
dan faktor psikogenik. Pada kasus ini, ditemukan nyeri pada sendi yaitu
nyeri pada sendi jari pada kedua tangan yang tidak disertai dengan
gangguan pergerakkan. Ini sesuai dengan manifetasi muskuloskletal yang
ditemukan pada pasien SLE yaitu non erosive dan non deforming arthritis.
4. Manifestasi Kardiovaskular
Perikarditis meruapakan gejala khas dengan nyeri substernal posisional
dan terkadang dapat ditemukan rub. Ekokardiografi dapat menunjukkan
efusi atau dalam kasus kronik penebalan dan fibrosis pericardium.
Tamponade atau hemodinamik konstriktif jarang ditemukan, namun dapat
diinduksi oleh karbamazepin. Miokarditis jarang terjadi, namun harus
dicurigai pada pasien dengan SLE aktif dan gejala dada tidak khas,
perubahan ECG minimal, aritmia atau perubahan hemodinamik.
Miokarditis dapat mengakibatkan kardiomiopati dilatasi dengan tanda
gagal jantung kiri. Endokarditid trombotik nonifeksi (Libman-sacks)
jarang dan seringkali tidak menimbulkan gejala, namun dapat
menimbulkan disfungsi katup mitral atau katup aorta atau embilisasi.
Arterisklerosis premature dengan angina pektrois dan infark miokardium
merupakan sumber mortalitas dan morbilitas jangka panjang yang paling
serius. Penyakit sendiri, hiperkoagulasi, terapi glukokortikoid kronik,
menopause premature, serta faktor diet dan gaya hidup dapat
menyebabkan arterosklerosis. Fenomena Raynaud, vasospasme yang
diindikasi dingin pada jari.sering ditemukan pada SLE. Penyempitan arteri
ireversibel ditangan dan kaki sering tumpang tindih dengan scleroderma.
Gambaran patologis yang sama pada sirkulasi paru dapat menyebabkan
hipertensi pulmonal, komplikasi yang jarang namun seringkali fatal.
Sebagian besar cedera vascular trombotik pada pasien SLE dimediasi oleh
antibody antifosfolipid (aPL), ditemukan pada sekitar 30% pasien SLE.
aPL dapat menyebabkan thrombosis arteri dan vena spontan pada semua
ukuran pembuluh darah. Keadaan hiperkoagulasi lain, seperti defisiensi
protein C dan protein S, faktor V Leiden dan antitrombin III dapat
menyebabkan terjadinya trombisis, namun defisiensi faktor-faktor ini lebih
dihubungkan dengan terjadinya thrombosis vena dibandingkan trpmbosis
arteri.
5. Manifestasi Paru
Pleurisy sering ditemukan pada SLE nyeri dada khas pleuritik, rub, dan
efusi dengan bukti radiografi dapat ditemukan pada sebagian pasien,
namun sebagian lain mungkin hanya berupa gejala tanpa temuan obyektif.
Infeksi parenkim paru pneumonitis atau alveolitis dan dibuktikan dengan
batuk, hemoptysis, serta infiltrate paru jarang terjadi namun dapat
membahayakan hidup. Perdarahan alveolus difus dapat timbul atau tanpa
pneumonitis akut dan memilik angka mortalitas yang sangat tinggi.
Pneumonitas lupus kronik dengan perubahan fibrotic dan paru mirip
dengan fibrosis paru idiopatik, dengan perjalanan yang progresif dan
prognosis yang buruk. Penyakit paru restriktif juga dapat diakibatkan oleh
perubahan pleuritik jangka panjang, miopati atau fibrosis otot pernapasan,
termasuk diafragma dan bahkan neuropati nervus frenikus. Emboli paru
rekuren disebabkan oleh antibody antifosfilipid harus disingkirkan pada
pasien dengan gejala paru yang tidak dapat dijelaskan.
6. Manifestasi Ginjal
Nefritis lupus muncul pada sebagian pasien dengan SLE. Spektrum
keterlibatan patologis dapat bervariasi dari proliferasi mesangial yang
sama sekali tidak menimbulkan gejala sampai glumerulonefritis
membranoproliferatif difus agresif yang menuju gagal ginjal. Gambaran
klinis ditandai dengan temuan minimalis, termasuk proteinuria ringan dan
hematuria mikroskopik, sindrom nefrotik, dengan proteinuria berat,
hipoalbuminemia, edema perifer, hipertrigliseridemia, dan hiperkoagulasi
atau sindrom nefritik dengan hipertensi, sedimen eritrosit atau Kristal
eritrosit pada sediaan sedimen urin dan penurunan laju filtrasi glomerulus
progresif dengan peningkatan kreatinin serum dan uremia. Pada kasus ini
ditemukan kelainan ginjal yang disuspek nefritis karena ditemukan
kelainan ginjal yang disuspek nefritis karena ditemukan proteinuria
25,00mg/dL dan leucocyte pada urin 25,00 leu/πL
7. Manifestasi Neurologis dan Psikiatrik
Keterlibatan sistem saraf pusat (SSP) terjadi pada 5-15% pasien dan
terkadang merujuk pada SLE neuropsikiartrik atau serebritis lupus. Pasien
dapat memiliki manifestasi obyektif seperti meningitis asepsis atau
meningoensefalitis, kejang, khorea, ataksia, stroke dan myelitis
tramsversa. Pada pasien seperti ini diagnosis dapat didukung oleh temuan
abnormal pada analisis cairan serebrospinal, seperti peningkatan kadar
protein, pleiositosi, dan /atau autoantibodi karakteristik, pada CT scan atau
MRI, dapat ditemukan lesi inflamasi pada substansia alba dan grisea atau
bahkan pada biopsy leptomeningeal dengan bukti inflamasi. Gambaran
alternatis lupus SSP adalah gangguan psikiatrik mayor yaitu psikosis. Pada
kasus ini cairan serebrospinal dan pencitraan menujukkan hasil normal dan
diagnosis banding dari penysakit psikogenik primer dan/atau reaksi obat
sangat sulit untuk ditentukan. Masalah ini adalah gangguan kognitif dan
kepribadian ringan. Sakit kepala sering ditemukan dengan intesitas yang
beragam. Sakit kepala lupus yang berat dan menyerupai migren yang
hanya responsive terhadap glikokortikoid merupakan kasus yang jarang.
Neuropati kranial dan perifer dapat terjadi dan dapat menggambarkan
vaskulitis pembuluh darah kecil atau infark pada pasien ini disuspek lupus
serbri karena penurunankesadaran.
8. Manifestasi Gastrointestinal
Gejala gastrointestinal nonspesifik, termasuk nyeri perut difus dan mual,
kas untuk pasien SLE. Peritonitis steril dengan asites jarang namun
merupakan komplikasi abdomen yang serius. Banyak gejala
gastrointestinal atas berhubungan dengan terapi yaitu NSAID dan atau
gastropati terkait glukokortikoid. Duodenitis dapat menimbulkan gejala.
Pada kasus jarang, vaskulitis usus dapat menimbulkan kegawatan bedah
akut. Terkadang pankreatitis dapat merupakam gejala penyakit atau
merupakan efek pengobatan. Peningkatan enzim hati terkafdang
dihubungkan dengan hepatiris noninfeksi pada SLE, yang tidak dapat
dibedakan dengan hepatitis autoimun melalui gambar histologis.
Peningkatan enzim hati juga dapat disebabkan oleh penggunaan NSAID,
azatrioprin atau metotreksat dan penggunaan jangka panjang
glukokortikoid yang dapst menyebablkan perlemakan hati dengan
peningkatan transaminase ringan.
9. Manifestasi Hematologi
Splenomegali dan limafadenopati difus sering merupakan temuan yang
sering namun nonspesifik pada SLE aktif. Anemia merupakan temuan
khas, dapat disebabkan oleh hemolysis dengan hasil tes coombs positif,
kadar haptoglobin rendah dan kadar laktat dehydrogenase tinggi atau
dengan mielosupresi. Mekanisme tidak langsung mencakup penurunan
sintesis eritropoietin dan mielosupresi uremikum pada pasien nefritis
lupus. Hal ini dapat diperberat dengan perdarahan ringan kronik dan
ketidask cukupan asupan makanan. Leukopenia dan limfopenia sangat
sering terjadi namun jarang mencapai kadar kritis. Studi oleh Ng dkk
menghungkan limfopenia dengan peningkatan risiko terjadinya infeksi
pada pasien SLE. Leukositosis dapat sdisebabkan oleh glukokortikoid.
Trombisitopenia ringan (100000-150000/πL) dapat disebabkan oleh
antibody antifosfolipid. Trombositopenia autoimun berat (kurang dari
50000/πL), disebabkan oleh antibody antiplatelet dapat mempersulit
diagnosis SLE dan awalnya mungkindidiagnosis sebagai purpura
trombositopenik idiopatik. Pada kasus ini ditemukan kelainan atau
manifestasi hematologi sesuai dengan gambaran yang sering ditemukan
pada pasien SLE. Pada kasus ini, ditemukan gejala anemia dengan nilai
haemoglobin yang rendah.
10. Manifestasi Mata
Eksudat dan infarks retina (baan sitoid) relative jarang dan merupakan
temuan nonspesifik. Konjungtivitas dan episkleritis terkadang dapat
ditemukan pada penyakit aktif. Mata kering dapat menunjukan tumpang
tindih dengan sindrom sjogren. Kebutaan singkat atau permanen dapat
disebabkan oleh neuritis optic atau oklusi arteri atau vena retina.

5. Klasifikasi
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid
lupus, systemic lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
1. Discoid Lupus: Dikenal sebagai Cutaneus Lupus, yaitu penyakit lupus
yang menyerang kulit. Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan
ditandai oleh batas eritema yang meninggi, skuama, sumbatan folikuler,
dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah,
lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan
karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian
tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).
2. Systemic Lupus Erythematosus: Adalah penyakit lupus yang
menyerang kebanyakan sistem di dalam tubuh, seperti kulit, sendi,
darah, paru-paru, ginjal, hati otak dan sistem saraf. SLE merupakan
penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh
banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh
adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem
imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003).
Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam
ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat
menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime
pengaktivan komplemen (Epstein, 1998)
3. Lupus yang diinduksi oleh obat: Lupus yang disebabkan oleh induksi
obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen
HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak
terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk
berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing
oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear
(ANA) untuk menyerang benda asing tersebut. Gejala-gejalanya
biasanya menghilang setelah pemakaian obat dihentikan (Herfindal et
al., 2000).

6. Pemeriksaan Penunjang
SLE merupakan suatu penyakit autoimun pada jaringan ikat yang
menujukan berbagai manifestasi,paling sering berupa artitis. Dapat juga
timbul manifestasi dikulit, ginjal dan neorologis. Penyakit ini ditandai dengan
adanya periode aktivitas (ruam) dan remisi. SLE ditegakan atas dasar
gambaran klinis disertai dengan penanda serologis, khususnya beberapa
autoantibodi yang paling sering digunakan adalah antinukelar antibody
(ANA) terapi antibody ini juga dapat ditemukan pada wanita yang tidak
menderita SLE. Antibody yang kurang spesifik adalah antibouble standed
DNA antibody (anti DNA), pengukuran bermanfaat untuk menilai ruam pada
lupus. Anti-Ro, anti-La dan antibody antifosfolipid penting untuk diukur
karena meningkatkan resiko pada kehamilan. Penatalaksanaan SLE harus
dilaksanakan secara multidisiplin. Priode aktifitas penyakit dapat sulit untuk
didiagnosa. Keterlibatan ginjal sering kali disalah artikan dengan pre-
eklamsia, tetapi temuan adanya peningkatan antibody anti DNA serta
penurunan tingkat komplemen membantu mengarahkan pada ruam.
Antibody fosfolipid dapat timbul tanpa SLE tetapi menandakan resiko
keguguran. Temuan pemeriksaan laboratorium:
a. Tes flulorensi untuk menentukan antinuclear antibody (ANA), positif
dengan titer tinggi pada 98% penderita SLE.
b. Pemeriksaan DMA double standed tinggi,spesifik untuk menentukan SLE
c. Bila titel antibobel strandar tinggi, spesifik untuk diagnose SLE
d. Tes sifilis bias positif palsu pada pemeriksaan SLE.
e. Pemeriksaan zat antifosfolipid antigen (seperti antikardolipin antibody)
berhubungan dengan menentukan adanya thrombosis pada pembuluh
arteri, vena atau pada abortus spontan, bayi meninggal dalam kandungan
dan trombositopeni.
Pemeriksaan laboratorium ini diperiksa pada penderita SLE atau lupus
meliputi darah lengkap, laju sedimentasi darah, antibodyantinuklir (ANA),
anti-AND, SLE, CRP, analyses urin, komplemen 3 dan 4 pada pemeriksaan
diagnosis yang dilakukan adalah biopsy.

7. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan
hasil pemeriksaan darah. Gejala yang klasik mencakup demam, keletihan
secara penurunan berat badan dan kemungkinan pula arthritis, pleuritis dan
perikarditis. Tes imunologi diagnostik lainnya yang mungkin tetapi tidak
memastikan diagnostik.
a. Anti ds DNA
1) Batas normal : 70 – 200 iu/mL
2) Negatif :   < 70 iu/mL
3) Positif : > 200 iu/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65-80% penderita denga SLE aktif dan
jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan
spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat
ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik dan lain-lain,
hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi
ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada
penyebaran penyakit terutama Lupus glomerulonetritis. Jumlahnya
mendekati negatif pada penyakit SLE yang tenang.
b. Antinuklear antibodies (ANA)
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimunyang
lain. ANA adalah sekelompok antibody protein yang beraksi menyerang
inti dari suatu sel. ANA cukup sensitif untuk mendektisi adanya SLE, hasil
yang positif terjadi pada 95% penderita SLE tetapi ANA tidak spesifik
untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan kemunculan penyakit
dan keaktifan penyakit tersebut. Setelah pemberian terapi maka penyakit
tidak lagi aktif sehingga jumblah ANA diperkirakan menurun.
Jika hasil test negatif, maka pasien belum tentu negatif terhadap SLE
karena harus dipertimbangkan juga data klinis dan test laboratorium yang
lain, jika hasil test positif maka sebaiknya dilakukan test laboratorium
yang lain tetapi jika hasil test negatif maka sebaiknya dilakukan test
serelogi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut
menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-smith (anti SM).
c. Anti RNP/ antiribonukleo protein.
Pemeriksaan khusus:
1) Biopsi ginjal
2) Biopsi kulit
Pemeriksaan imunofluoresensi direk menunjukan deposit IgG granular
pada dermaepidermal junction, baik pada lesi kulit yang aktif (90%)
maupun pada kulit yang tidak terkena (70%).

8. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan termasuk penatalaksanaan penyakit akut dan kronik :
a. Mencegah penurunana progresif fungsi organ, mengurangi kemungkinan
penyakit akut, meminimalkan penyakit yang berhubungan dengan
kecacatan dan mencegah komplikasi dari terapi yang diberikan.
b. Gunakan obat-obatan antinflamasi nonsteroid (NSAID) dengan
kortikosteroid untuk meminimalkan kebutuhan kortikosteroid.
c. Gunakan krortikosteroid topical untuk manifestasi kutan aktif.
d. Gunakan pemberian bolus IV sebagai alternative untuk penggunaan dosis
oral tinggil tradisional.
e. Atasi manifestasi kutan, mukuloskeletal dan sistemik ringan dengan obat-
obat antimalarial.
f. Preparat imunosupresif (percobaan) diberikan untuk bentuk SLE yang
serius
Obat – obatan yang biasa digunakan pada anak SLE adalah sebagai berikut:
a. Nonsteroid anti inflamatori drugs (NSAIDS):
NSAIDS berguna karena kemampuanya sebagai analgesic,
antipiretik dan inflamasi. Obat ini berguna untuk mengatasi SLE dengan
demam dan arthralgia/arthiritis. Aspirin adalah salah satu yang paling
banyak diteliti kegunaannya. Ibuferon idometasin cukup efektif untuk
mengobati SLE dengan arthiritisdan pleuritis, dalam kombinasi dengan
steroid dan antimanalria. Keterbatasan obat ini adalah efek samping yang
lebih sedikit, diharapkan dapat mengatasi hal ini, saying belum ada
penelitian mengenai efektifitasnya pada SLE. Efek samping dari
NSAIDS adalah reaksi hipersensivitas, gangguan renal, retensi cairan,
meningitis aseptik.
b. Korticosteroid
Cara kerja steroid pada SLE adalah melalui mekanisme
antiinflamasi dan amunosuprefh dari berbagai jenis steroid yang paling
sering digunakan adalah prednison dan multiprednisolon. Pada SLE yang
ringan yang tidak dapat dikontrol oleh NSAID dan antimalaria, diberikan
prednison 2,5 mg sampai 5 mg. Dosis ini ditingkatkan 20% 1 sampai 2
minggu tergantung dari respon klinis. Pada SLE yang akut dan yang
mengancam jiwa langsung diberikan steroid, NSAID dan antimalaria
tidak efektif pada keadaan itu. Manifestasi serius SLE yang membaik
dengan steroid antara lain: vaskulitis, dermatitis berat miocarditis, lupus
pneumonitis, glomerulonefritis, anemia haomolitik, neufropati perifer
dan kasus lupus. Pada SLE aktif dan berat, terdapat beberapa regment
pembenan steroid:
1) Regmen I: daily oral short acting (predmison, prednisolon,
multiprednisolon) dosis: 1-2mg/kgBB/hari dimulai dari dosis terbagi,
lalu diturunkan secara bertahap sesuai dengan perbaikan klinis dan
laboratories. Regimen ini sangat cepat mengontrol penyakit ini, 5-10
hari untuk manifestasi hamatologis atau saraf atau vaskulitis, 3-10
minggu untuk glumerulonefritis
2) Regimen II: methyprednisolon intravena, dosis: 500-1000 mg/hari,
selama 3-5 minggu atau 30 mg/kgBB/hari selama 3 hari. Regimen
mungkin sangat cepat mengontrol penyakit lebih cepat dari pada
terapi oral setiap hari, tetapi efek yang hanyan bersifat sementara,
sehingga tidak digunakan untuk terapi SLE jangka lama
3) Regimen III: Kombinasi regimen 1 dan 2 obat sitoksit ezayhioprine
cyclophos phamide.
4) Setelah kelainan klinis menjadi tenang dosis diturunkan dengan
kecepatan 2,5-5 mg/minggu sampai dicapai maintenance dose.
c. Antimalaria
Efektifitas antimalaria terhadap SLE yang mengenai kulit dan sendi
telah lama diketahui dan obat ini telah dianggap sebagai obat pilihan
pertama untuk cara mengganggu pemoresan antigen dimakrofag dan sel
pengaji antigen yang lain dengan peningkatan pH di dalam
vakuolalisosom. Juga menghamabat dan mengabsorbsi sinar UV,
beberapa penelitian melaporkan bahwa antimalaria dapat menurunkan
kolestrol total, HDL, LDL. Pada penderita SLE yang menerima steroid
maupun yang tidak. Terdapat 3 obat antimalaria yang tersedia,
hidroksikolokulin, dengan dosis 200-400mg/hari, klorokuin dan efek
sampingnya lebih ringan. Efek samping antimalaria yang paling sering
adalah efek pada saluran pencernaan, kembung, mual dan muntah. Efek
samping lain adalah timbulnya ruam, toksisitas retin dan neurologis
d. Methoreksat
Methoreksat adalah antagonis folat yang jika diberikan dalam dosis
untuk penyakit rematik efek imuno supresifinya lebih lemah dari pada
obat alkilating atau zat hioprin. Methorekxate dosis rendah mingguan
7,5-15 mg, efektif sebagai “steroid spring agent” dan dapat diterima baik
oleh penderita, terutama pada manifestasi klinis dan muskluskletal. Efek
samping yang paling sering muncul adalah lekopenia, ulkus oral,
toksisitas gastrointestinal dan hepaktotoksitas. Untuk pemantauan efek
samping diperlukan pemeriksaan darah lengkap, tes fungsi ginjal dan
hepar pada penderita dengan efek samping gastrointestinal, pemberian
asam folat 5mg tiap minggu akan mengurangi efek tersebut.
Penderita SLE tidak dapat sembuh sempurna (sangat jarang didapatkan
remisi yang sempurna). Terapi terdiri dari terapi suportif yaitu diet tinggi
kalori tinggi protein dan pemberian vitamin. Beberapa prinsip dasar tindakan
pencegahan eksaserbasi pada SLE, yaitu:
a. Monitoring teratur
b. Penghematan energi dengan istirahat terjadwal dan tidur cukup
c. Fotoproteksi dengan menghindari kontak sinar matahari atau dengan
pemberian sun screen lotion untuk mengurangi kontak dengan sinar
matahari
d. Atasi infeksi dengan terapi pencegahan pemberian vaksin dan antibiotik
yang adekuat.
e. Rencanakan kehamilan/hindari kehamilan.

9. Kompilkasi
a. Ginjal
Sebagaian besar penderita menunjukan adanya penimbunan protein
didalam sel-sel tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus
(peradangan ginjal yang menetap) pada akhirnya bisa terjadi gagal ginjal
sehingga penderita perlu mengalami dialisis atau pencangkokan ginjal.
b. Sistem saraf
Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Komplikasi yang
paling sering ditemukan adalah dispungsi mental yang sifatnya ringan,
tetapi kelainan bisa terjadi pada bagaian manapun dari otak, korda spinalis,
maupun sistem saraf. Kejang, psikosa, sindroma otak organik dan sekitar
kepala merupakan beberapa kelainan sistem saraf yang bisa terjadi.
c. Penggumplan darah
Kelainan darah ditemukan pada 85% penderita lupus bisa terbentuk
bekuan darah didalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke
dan emboli paru. Jumlah thrombosis berkurang dan tubuh membentuk
antibody yang melawan faktor pembekuan darah yang bisa menyebabkan
perdarahan yang berarti.
d. Kardiovaskuler
Perdangan berbagai bagian jantung seperti pericarditis, endocarditis
maupun miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat
keadaan tersebut.
e. Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura
(penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari keadaan
tersebut timbul nyeri dada dan sesak napas.
f. Otot dan kerangka tubuh
Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan
kebanyakan menderita arthritis. Persendian yang sering terkena adalah
persendian pada jaringan tangan, pergelangan tangan dan lutut. Kematian
jaringan pada tulang panggul dan bahu sering merupakan penyebab dari
nyeri didaerah tersebut.
g. Kulit
Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu ditulang pipi dan pangkal
hidung. Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar
matahari.
B. Konsep Asuhan Keperawatan Dengan SLE
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian pada klien dengan gangguan sistem endokrin (SLE)
dilakukan mulai dari pengumpulan data yang meliputi : biodata, keadaan
umum pasien, tanda-tanda vital, riwayat kesehatan, keluhan utama, sifat
keluhan, riwayat kesehatan masa lalu, pemeriksaan fisik, pola kegiatan
sehari-hari.
a. Identitas
Merupakan identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama,
suku bangsa, alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal
pengkajian dan diagnosa medis. Identitas ini digunakan untuk
membedakan klien satu dengan yang lain. Jenis kelamin, umur dan
alamat dan lingkungan kotor dapat mempercepat atau memperberat
keadaan penyakit infeksi.
b. Keluhan utama
Merupakan kebutuhan yang mendorong penderita untuk masuk RS. Pada
umumnya pasien mengeluh mudah lelah, lemah, nyeri, kaku,
demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup
serta citra diri pasien.
c. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
a) Perlu dikaji yaitu gejala apa yang pernah dialami pasien (misalnya
ruam malar-fotosensitif, ruam discoid-bintik-bintik eritematosa
menimbul, Artralgia/arthritis, demam, kelelahan, nyeri dada
pleuritik, perikarditis, bengkak pada pergelangan kaki, kejang, ulkus
dimulut.
b) Mulai kapan keluhan dirasakan.
c) Faktor yang memperberat atau memperingan serangan.
d) Keluhan-keluhan lain yang menyertai.
2) Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Perlu dikaji tentang riwayat penyakit dahulu, apakah pernah menderita
penyakit ginjal atau manifestasi SLE yang serius, atau penyakit autoimun
yang lain.
3) Riwayat Kesehatan Keluarga
Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami penyakit
yang sama atau penyakit autoimun yang lain.
4) Riwayat Pengobatan
Kaji apakah pasien mendapat terapi dengan Klorpromazin, metildopa,
hidralasin, prokainamid, dan isoniazid, dilantin, penisilamin, dan
kuinidin.
d. Pola Fungsional Gordon
1) Persepsi kesehatan
Menggambarkan persepsi, pemeliharaan dan penanganan kesehatan.
Persepsi terhadap arti kesehatan, dan piñata laksanaan kesehatan,
kemampuan menyusun tujuan, pengetahuan tentang praktik kesehatan.
Komponen:
a) Gambaran kesehatan secara umum dan saat ini,
b) alasan kunjungan dan harapan,
c) gambaran terhadap sakit dan penyebabnya dan penanganan yang
dilakukan:
(1) Kepatuhan terhadap pengobatan
(2) Pencegahan/tindakan dalam menjaga kesehatan
(3) Penggunaan obat resep dan warung
(4) Penggunaan produk atau zat didalam kehidupan sehari-hari dan
frekuensi (misal : rokok, alkohol)
(5) Penggunaan alat keamanan dirumah/sehari-hari, dan faktor resiko
timbulnya penyakit
(6) Gambaran kesehatan keluarga
2) Pola nutrisi/metabolic
Penderita SLE banyak yang kehilangan berat badannya sampai beberapa
kg, penyakit ini disertai adanya rasa mual dan muntah sehingga
mengakibatkan penderita nafsu makannya menurun. Menggambarkan
intake makanan, keseimbangan cairan dan elektrolit, nafsu makan, pola
makan, diet, fluktuasi BB dalam 6 bulan terakhir, kesulitan menelan,
mual / muntah, kebutuhan jumlah zat gizi, masalah / penyembuhan kulit,
makanan kesukaan.
Komponen:
a) Gambaran yang biasa dimakan (pagi, siang, sore, snack)
b) Tipe dan intake cairan
c) Gambaran bagaimana nafsu makan, kesulitan dan keluhan yang
mempengaruhi makan dan nafsu makan
d) Penggunaan obat diet
e) Makanan kesukaan, pantangan, alergi
f) Penggunaan suplemen makanan
g) Gambaran BB, perubahan BB dalam 6-9 bln,
h) Perubahan pada kulit (lesi, kering, membengkak, gatal)
i) Proses penyembuhan luka (cepat-lambat)
j) Adakah faktor resiko terkait ulcer kulit (penurunan sirkulasi, defisit
sensori, penurunan mobilitas)
3) Pola eliminasi
Tidak semua dari penderita SLE mengalami nefritis proliferatif
mesangial, namun, secara klinis penderita ini juga mengalami diare.
Menggambarkan pola fungsi eksresi, kandung kemih dan kulit.
Komponen :
a) Berapa kali miksi dalam sehari, karakteristik urin
b) Adakah masalah dalam proses miksi, adakah penggunaan alat bantu
untuk miksi
c) Gambaran pola BAB, karakteristik
d) Penggunaan alat bantu
e) Bau badan, keringat berlebih, lesi & pruritus
4) Pola perceptual/kognitif
Pada penderita SLE, daya perabaannya akan sedikit terganggu bila pada
jari – jari tangannya terdapat lesi vaskulitik atau lesi semi vaskulitik.
Menggambarkan pola pendengaran, penglihatan, pengecap, taktil,
penciuman, persepsi nyeri, bahasa, memori dan pengambilan keputusan.
Komponen:
a) Kemampuan menulis dan membaca
b) Kemampuan berbahasa
c) Kemampuan belajar
d) kesulitan dalam mendengar
e) Penggunaan alat bantu mendengar/melihat
f) Bagaimana visus
g) Adakah keluhan pusing bagaimana gambarannya
h) Apakah mengalami insensitivitas terhadap dingin, panas,nyeri
i) Apakah merasa nyeri (Skala dan karaketeristik)
5) Pola aktivitas/latihan
Penderita SLE sering mengeluhkan kelelahan yang luar biasa.
Menggambarkan pola aktivitas dan latihan, fungsi pernafasan dan
sirkulasi.
Komponen:
a) Gambaran level aktivitas, kegiatan sehari-hari dan olahraga
b) Aktivitas saat senggang/waktu luang
c) Apakah mengalami kesulitan dalam bernafas, lemah, batuk, nyeri
dada, palpitasi, nyeri pada tungkai, gambaran dalam pemenuhan
ADL : Level Fungsional (0-IV)
d) Kekuatan Otot (1-5)
6) Pola istirahat tidur
Menggambarkan pola tidur-istirahat dan persepsi pada level energi.
Komponen:
a) Berapa lama tidur dimalam hari
b) Jam berapa tidur-Bangun
c) Apakah terasa efektif
d) Adakah kebiasaan sebelum tidur
e) Apakah mengalami kesulitan dalam tidur
7) Pola konsep diri
Dengan adanya lesi kulit yang bersifat irreversibel yang menimbulkan
bekas seperti luka dan warna yang buruk pada kulit penderita SLE akan
membuat penderita merasa malu dengan adanya lesi kulit yang ada.
Menggambarkan sikap terhadap diri dan persepsi terhadap
kemampuan,harga diri,gambaran diri dan perasaan terhadap diri sendiri.
Komponen:
a) Bagaimana menggambarkan diri sendiri
b) Apakah ada kejadian yang akhirnya mengubah gambaran terhadap
diri
c) Apa hal yang paling menjadi pikiran
d) Apakah sering merasa marah, cemas, depresi, takut, bagaimana
gambarannya
8) Pola peran-hubungan
Menggambarkan keefektifan hubungan dan peran dengan keluarga-
lainnya.
Komponen:
a) Bagaimana gambaran pengaturan kehidupan (hidup sendiri/bersama)
b) Apakah mempunyai orang dekat? Bagaimana kualitas hubungan?
Puas?
c) Apakah ada perbedaan peran dalam keluarga, apakah ada saling
keterikatan
d) Bagaimana dalam mengambil keputusan dan penyelesaian konflik
e) Bagaimana keadaan keuangan
f) Apakah mempunyai kegiatan sosial?
9) Pola intoleransi stress
Menggambarkan kemampuan untuk menangani stres dan menggunakan
sistem pendukung.
Komponen:
a) Apakah ada perubahan besar dalam kehidupan dalam bbrp thn
terakhir
b) Dalam menghadapi masalah apa yang dilakukan?efektif?
c) Apakah ada orang lain tempat berbagi?apakah orang tersebut ada
sampai sekarang?
d) Apakah anda selalu santai/tegang setiap saat
e) Adakah penggunaan obat/zat tertentu
10) Pola kesehatan reproduksi
Menggambarkan kepuasan/masalah dalam seksualitas-reproduksi.
Komponen:
a) Apakah kehidupan seksual aktif
b) Apakah menggunakan alat bantu/pelindung
c) Apakah mengalami kesulitan/perubahan dalam pemenuhan
kebutuhan seks
d) Khusus wanita : TMA, gambaran pola haid, usia menarkhe/
menopause riwayat kehamilan, masalah terkait dengan haid
11) Pola nilai kepercayaan/kenyakinan
Menggambarkan spiritualitas, nilai, sistem kepercayaan dan tujuan dalam
hidup.
Komponen:
a) Apakah anda selalu mendapatkan apa yang diinginkan
b) Adakah tujuan,cita-cita,rencana di masa yang akan datang
c) Adakah nilai atau kepercayaan pribadi yang ikut berpengaruh
d) Apakah agama merupakan hal penting dalam hidup? gambarkan
e. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada penyakit ini biasanya didapatkan :
1) Inspeksi
Pengamatan secara seksama setatus kesehatan Klien dari kepala sampai
kaki.
Pada Klien dengan SLE mungkin akan ditemukan antara lain:
a) Ruam wajah dalam pola malar (seperti kupu-kupu) pada daerah pipi
dan hidung.
b) Lesi dan kebiruan di ujung jari akibat buruknya sirkulasi dan
hipoksia kronik
c) Lesi berskuama di kepala, leher dan punggung, pada beberapa
penderita ditemukan eritema atau sikatrik.
d) Luka-luka di selaput lender mulut atau pharing.
e) Dapat terlihat tanda peradangan satu atau lebih persendian yaitu
pembengkakan, warna kemerahan dan rentang gerak yang terbatas.
f) Perdarahan sering terjadi terutama dari mulut atau bercampur urina
(urine kemerahan)
g) Gerakan dinding thorak mungkin tidak simetris atau tampak tanda –
tanda sesak (Napas cuping hidung,Retraksi supra sterna, bahkan
intercostals,apabila terdapat ganguan organ paru)
2) Palpasi
Pemeriksaan dengan meraba klien :
a) Sklerosis, yaitu terjadi pengencangan dan pengerasan kulit jari-jari
tangan
b) Nyeri tekan pada daerah sendi yang meradang
c) Oedem mata dan kaki, mungkin menandakan keterlibatan ginjal dan
hipertensi
3) Perkusi
Pemeriksaan fisik dengan mengetuk bagian tubuh tertentu; untuk
mengetahui Reflek, atau untuk mengetahui kesehatan suatu organ tubuh
misalnya : Perkusi organ dada untuk mengetahui keadaan Paru dan
jantung.
4) Auskultasi
Pemeriksaan fisik dengan cara mendengar, biasanya menggunakan alat
Stetoskop, antara lain untuk mendengar denyut jantung dan Paru-paru.
Selain itu adapun pemeriksaan fisik yang dikaji secara sistematis meliputi:
1) B1 (Breath)
Irama dan kecepatan nafas, kesimetrisan pergerakan nafas, penggunaan
otot nafas tambahan, sesak, suara nafas tambahan (rales, ronchii), nyeri
saat inspirasi, produksi sputum, reaksi alergi. Patut dicurigai terjadi
pleuritis atau efusi pleura.
2) B2 (Blood)
Tanda-tanda vital, apakah ada nyeri dada, suara jantung (S1, S2, S3),
bunyi systolic click (ejeksi click pulmonal dan aorta), bunyi mur-mur.
Friction rub pericardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis
menunjukkan gangguanvaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari
kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan.
3) B3 (Brain)
Mengukur tingkat kesadaran (efek dari hipoksia) Glasgow Coma Scale
secara kuantitatif dan respon otak ; compos mentis sampai koma
(kualitatif), orientasi klien. Sering terjadi depresi dan psikosis, juga
serangan kejang-kejang.
4) B4 (Bladder)
Pengukuran urine tampung (menilai fungsi ginjal), warna urine (menilai
filtrasi glomelorus).
5) B5 (Bowel)
Pola makan, nafsu makan, muntah, diare, berat badan dan tinggi badan,
turgor kulit. Nyeri perut, nyeri tekan, apakah ada hepatomegali,
pembesaran limpa.
6) B6 (Bone)
Nyeri persendian, rentang gerak, oedema persendian, nyeri tekan,
kesimetrisan skeletal.
Selain pemeriksaan fisik diatas, dapat pula dilakukan pemeriksaan
system integument yang meliputi: Ruam eritematous, plak eritematous
pada kulit kepala, muka atau leher. Lesi akut pada kulit yang terdiri atas
ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
f. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis dapat ditemukan dengan melakukan biopsi kulit. Pada
pemeriksaan histologi terlihat adanya infiltrat limfositik periadneksal,
proses degenerasi berupa mencairnya lapisan basal epidermis
penyumbatan folikel, dan hyperkeratosis. Imunofluoresensi langsung
pada kulit yang mempunyai lesi memberikan gambaran pola deposisi
immunoglobulin seperti yang terlihat pada SLE. Pemeriksaan
laboratorium yang penting adalah pemeriksaan serologis terhadap
autoantibodi / antinuklear antibodi / ana yang diproduksi pada penderita
le. Skrining tes ana ini dilakukan dengan teknik imunofluoresen indirek,
dikenal dengan fluorescent antinuclear antibody test (fana).
2. Diagnosa Keperawatan
Menurut PPNI (2017), diagnosa yang muncul pada Juvenile Diabetes
diantaranya:
a. (D.0129) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan efek samping
terapi radiasi
b. (D.0078) Nyeri kronis berhubungan dengan gangguan imunitas
c. (D.0074) Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan gejala penyakit
d. (D.0083) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan fungsi
tubuh
e. (D.0005) Pola napas tidak efektif beruhubungan dengan kecemasan
f. (D.0022) Hipervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme
regulasi
g. (D.0054) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
muskloskletal
h.
3. Intervensi Keperawatan
Rencana keperawatan pada klien dengan penyakit SLE mengacu pada SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia) menurut PPNI
(2019) dan SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia) menurut XPPNI (2018)
yaitu:
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
No Diagnosa
(SLKI) (SIKI)
1. (D.0129) Integritas Kulit dan Jaringan Perawatan Intergritas Kulit
Gangguan Integritas Setelah dilakukan asuhan keperawatan Observasi
Kulit / Jaringan selama 3 x 24 jam integritas kulit dan 1. Identifikasi penyebab gangguan integritas
jaringan meningkat dengan kriteria hasil: kulit (mis. perubahan sirkulasi, perubahan
1. Elastisitas meningkat status nutrisi, penurunan kelembaban,
2. Perfusi jaringan meningkat penurunan mobilitas)
3. Kerusakan jaringan menurun Terapeutik
4. Kerusakan lapisan kulit menurun 1. Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah baring
5. Nyeri menurun 2. Gunakan produk berbahan petrolium atau
6. Perdarahan menurun minyak pada kulit kering
7. Kemerahan menurun
8. Nekrosis menurun
9. Suhu kulit membaik Edukasi
1. Anjurkan menggunkan pelembab (mis.
lotion, serum)
2. Anjurkan minum air yang cukup
3. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
4. Anjurkan meningkatkan asupan buah dan
sayur
Perawatan Luka
Observasi
1. Monitor karakteristik luka (mis. drainase,
warna, ukuran, bau)
2. Monitor tanda – tanda infeksi

Terapeutik
1. Lepaskan balutan dan plester secara
perlahan
2. Bersihkan dengan cairan NaCl atau
pembersih nontoksik sesuai kebutuhan
3. Bersihkan jaringan nekrotik
4. Berikan salep yang sesuai ke kulit / lesi, jika
perlu
5. Pasang balutan sesuai jenis luka
6. Pertahankan teknik steril saat melakukan
perawatan luka
Edukasi
1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi

2. Anjurkan mengkonsumsi makanan tinggi


kalori dan protein
3. Ajarkan prosedur perawatan luka secara
mandiri
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian antibiotik
2. (D.0078) Luaran Utama: Tingkat Nyeri Manajemen Nyeri
Nyeri Kronis Setelah dilakukan asuhan keperawatan Observasi
selama 3 x 24 jam tingkat nyeri menurun 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
dengan kriteria hasil: frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
1. Keluhan nyeri menurun (skala 0 – 1) 2. Identifikasi skala nyeri
2. Meringis menurun 3. Identifikasi faktor yang memperberat dan
3. Gelisah menurun memperingan nyeri
4. Frekuensi nadi membaik (60 – 100
x/menit) Terapeutik
5. Pola napas membaik (16 – 20 x/menit) 1. Berikan teknik nonfarmakologis untuk
6. Tekanan darah membaik mengurangi rasa nyeri
(Tekanan darah sistole (90 -120 2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa
mmHg, tekanan darah diastole (60 – nyeri (mis. suhu ruangan, pencahayaan,
80 mmHg) kebisingan)
Edukasi
1. Anjurkan menggunakan analgetik secara
tepat
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
3. (D.0074) Luaran Utama: Status Kenyamanan Terapi Relaksasi
Gangguan rasa nyaman Setelah dilakukan asuhan keperawatan Observasi
selama 3 x 24 jam status kenyamanan 1. Identifikasi teknik relaksasi yang pernah
meningkat dengan kriteria hasil: efektif digunakan
1. Rileks meningkat 2. Monitor respon terhadap terapi relaksasi
2. Keluhan tidak nyaman menurun Terapeutik
3. Gelisah menurun 1. Ciptakan lingkungan tenang tanpa gangguan
4. Kebisingan menurun dengan pencahayaan dan suhu ruang
5. Keluhan sulit tidur menurun nyaman, jika memungkinkan
6. Merintih menurun 2. Gunakan pakaian longgar
7. Suhu ruangan membaik
8. Pola tidur membaik
Edukasi
1. Jelaskan tujuan, manfaat, batasan, dan jenis
relaksasi yang tersedia (mis. musik, meditasi,
napas dalam, relaksasi otot progresif)
2. Anjurkan mengambil posisi nyaman

3. Anjurkan rileks dan merasakan sensasi


relaksasi
4. (D.0083) Gangguan citra Luaran Utama: Citra Tubuh Promosi Citra Tubuh
tubuh Setelah dilakukan intervensi selama …x Observasi :
24 jam, diharapkan citra tubuh 1) Identifikasi harapan citra tubuh
meningkat, dengan kriteria hasil : berdasarkan tahap perkembangan
- Melihat bagian tubuh meningkat 2) Identifikasi budaya, agama, jenis
- Verbalisasi perasaan negatif kelamin, dan umur terkait citra tubuh
tentang perubahan tubuh 3) Identifikasi perubahan citra tubuh yang
menurun mengakibatkan isolasi social.
- Verbalisasi perubahan gaya hidup 4) Monitor frekuensi pernyataan kritik
menurun terhadap diri sendiri.
Respon non verbal pada perubahan 5) Monitor apakah pasien bisa melihat
tubuh membaik bagian tubuh yang berubah.
Terapeutik :
1) Diskusikan perubahan citra tubuh dan
fungsinya
2) Diskusikan perbedaan penampilan fisik
terhadap harga diri
3) Diskusikan kondisi stres yang
mempengaruhi citra tubuh
4) Diskusikan persepsi pasien dan keluarga
tentang perubahan citra tubuh.
Edukasi :
1) Jelaskan kepada keluarga tentang
perawatan citra tubuh
2) Anjurkan mengungkapkan gambaran diri
terhadap citra tubuh
5. (D.0005) Luaran Utama: Pola Napas Manajemen Jalan Napas Buatan
Pola napas tidak efektif Setelah dilakukan intervensi selama …x Observasi
24 jam, diharapkan pola napas menjadi 1) Monitor posisi selang endotrakeal
membaik, dengan kriteria hasil : (ETT),terutama setelah mengubah posisi
- Tekanan ekspirasi dan inspirasi 2) Monitor tekanan balon ETT setiap 4-8
membaik jam
- Penggunaan otot bantu napas 3) Monitor kulit are stoma trakeostomi
menurun (misalnya kemerahan, drainase
- Pernapasan cuping hidung perdarahan)
menurun Terapeutik
- Frekuensi napas membaik 1) Lakukan penghisapan lendirkurang dari
- Kedalaman napas membaik 15 detikjika diperlukan (bukan secara
rutin)
2) Lakukan perawatan mulut (misalnya
dengan sikat gigi, kasa, pelembab bibir)
3) Lakukan perawatan stoma trakeostomi
Edukasi
1) Menjelaskan kepada pasien atau
keluarga tujuan dan prosedur
pemasangan jalan napas buatan
Kolaborasi
Kolaborasi intubasi ulang jika terbentuk mucous
plug yang tidak dapat melakukan penghisapan
6. (D.0022) Hipervolemia Luaran Utama: Keseimbangan Cairan Manajemen Hipervolemia
Setelah dilakukan intervensi selama …x Observasi :
24 jam, diharapkan keseimbangan cairan 1) Periksa tanda dan gejala hypervolemia
meningkat, dengan kriteria hasil : (mis. Ortopnea, dyspnea,
- Asupan cairan meningkat edema,JVP/CVP meningkat,reflex
- Keluaran urin meningkat hepatojugular positif, suara nafas
- Kelembaban membran mukosa tambahan)
meningkat 2) Identifikasi penyebab hypervolemia
- Edema menurun 3) Monitor status hemodinamik (mis.
- Dehidrasi menurun Frekuensi jantung, tekanan darah, MAP,
- Tekanan darah membaik CVP, PAP, PCWP,CO, CI) jika tersedia
- Denyut nadi radial membaik 4) Monitor intake dan output cairan
- Tekanan arteri rata-rata membaik 5) Monitor tanda hemokonsentrasi (mis.
- Membran mukosa membaik Kadar natrium, BUN, hematocrit, berat
- Mata cekung membaik jenis urine)
- Turgor kulit membaik 6) Monitor tanda peningkatan tekanan
onkotik plasma (mis. Kadar protein dan
albumin meningkat)
7) Monitor kecepatan infus secara ketat
8) Monitor efek samping diuretic (hipotensi
ortortostatik, hypovolemia,hipocalemia,
hiponatremia)
Terapeutik :
1) Timbang berat badan setiap hari pada
waktu yang sama
2) Batasi asupan cairan dan garam
3) Tinggikan kepala tempat tidur 30-400
Edukasi :
1) Anjurkan melapor jika haluaran urin <0,5
mL/kg/jam dalam 6 jam
2) Anjurkan melapor jika BB bertambah >1
kg dalam sehari
3) Ajarkan cara mengukur dan mencatat
asupan dan haluaran cairan
4) Ajarkan cara membatasi cairan
Kolaborasi :
1) Kolaborasi pemberian diuretic
2) Kolaborasi penggantian kehilangan
kalium akibat diuretic
Kolaborasi pemberian continuous renal
replacmen terapi (CRRT) jika perlu
7. (D. 0054) Gangguan Setelah dilakukan asuhan keperawatan Dukungan ambulansi
Mobilitas Fisik selama ... x ... jam diharapkan mobilitas Observasi
fisik klien menigkat kriteria hasil : 1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan
- Penggerakan ekstremitas meningkat fisik lainnya
- Kekuatan otot meningkat 2. Identifikasi toleransi fisik melakukan
- Rentang gerak ROM meningkat ambulasi
- Nyeri menurun 3. Monitor frekuensi jantung dan tekanan
- Kaku sendi menurun darah sebelum ambulasi
Kelemahan fisik menurun 4. Monitor kondisi umum selama
melakukan ambulasi
Terapeutik
1. Fasilitasi ambulasi dengan alat bantu
(mis. Tongkat, kruk)
2. Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik, jika
perlu
3. Libatkan keluarga untuk membantu
pasien dalam meningkatkan ambulasi
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi
2. Anjurkan menlakukan ambulasi
3. Ajarkan ambulasi sederhana yang harus
dilakukan (mis. Berjalan dari tempat
tidur ke kursi roda, berjalan dari tempat
tidur ke kamar mandi, berjalan sesuai
toleransi)
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah fase ketika perawat
mengimplementasikan intervensi keperawatan. Perawat melaksanakan atau
mendelegasikan tindakan keperawatan untuk intervensi yang disusun dalam
tahap perencanaan dan kemudian mengakhiri tahap implementasi dengan
mencatat tindakan keperawatan dan respons klien terhadap tindakan tersebut
(Kozier et al., 2010).
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah fase kelima dan fase terakhir proses keperawatan, dalam
konteks ini aktivitas yang direncanakan, berkelanjutan dan terarah ketika
klien dan professional kesehatan menentukan kemajuan kemajuan klien
menuju pencapaian tujuan/hasil dan keefektifan rencana asuhan keperawatan.
Evaluasi adalah aspek penting proses keperawatan karena kesimpulan yang
ditarik dari evaluasi menentukan apakah evaluasi keperawatan harus diakhiri,
dilanjutkan, atau dirubah (Kozier et al., 2010).
Format yang dapat digunakan untuk evaluasi keperawatan menurut
(Dinarti et al., 2009) yaitu format SOAP yang terdiri dari :
a. Subjective, yaitu pernyataan atau keluhan dari pasien. Pada pasien
apendiktomi dengan nyeri akut diharapkan pasien tidak mengeluh nyeri
atau nyeri berkurang
b. Objektive, yaitu data yang diobservasi oleh perawat atau keluarga. Pada
pasien dengan retensi urin indikator evaluasi menurut Moorhead et al.
(2013)
c. Analisys, yaitu kesimpulan dari objektif dan subjektif (biasaya ditulis
dala bentuk masalah keperawatan). Ketika menentukan apakah tujuan
telah tercapai, perawat dapat menarik satu dari tiga kemungkinan
simpulan :
1) Tujuan tercapai; yaitu, respons klien sama dengan hasil yang
diharapkan
2) Tujuan tercapai sebagian;, yaitu hasil yang diharapkan hanya
sebagian yang berhasil dicapai (4 indikator evaluasi tercapai)
3) Tujuan tidak tercapai
d. Planning, yaitu rencana tindakan yang akan dilakukan berdasarkan
analog.
Hal yang diberikan dari pemberian asuhan keperawatan pada klien
dengan sistemik lupus erythemstosus (SLE) antara lain:
1) Ekspresi wajah pasien tidak lagi meringis
2) Berat badan pasien sudah dalam rentang normal
3) Pasien terlihat sudah bisa melakukan aktivitas sehari hari tanpa bantuan
dari orang lain
4) Pasien mampu memahami penyebab penyakit dan penyebab terjadinya
perubahan pada tubuh
5) Kulit pasien terlihat lebih lembab dan kerusakan integritas kulit bisa
diminimalkan
DAFTAR PUSTAKA

Herdman, T. Heather. (2012). NANDA International Nursing Diagnoses:


Definitions & Classification 2012-2014. UK: Wiley‐Blacwell, A John
Wiley & Sons Ltd

Kasjmir, Yoga dkk. (2011). Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia


Untuk Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik.
Perhimpunan Reumatologi Indonesia

Dinarti, Aryani, R., Nurhaeni, H., & Chairani, R. (2009). Dokumentasi


Keperawatan (Jusirman (Ed.); 1st ed.). Cv. Trans Info Media.

Kozier, B., Erb, G., Berman, A., & Snyder, S. J. (2010). Fundamental
Keperawatan Konsep, Proses, dan Praktik. In Fundamental Keperawatan
Konsep, Proses, dan Praktik (7th ed.). EGC.

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (Eds.). (2013). Nursing
Outcomes Classification (NOC) (5th ed.). Elsevier.

PPNI. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. DPP PPNI.

PPNI. (2018). Standar Intervensi keperawatan Indonesia (I). DPP PPNI.

PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (II). Dewan Pengurus


Pusat PPNI.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN AN. P DENGAN SLE
DI POLI ANAK RSUP SANGLAH
PADA TANGGAL 4 OKTOBER 2020

A. Identitas
1. Anak
a. Nama : An.P
b. Anak yang ke : Kedua
c. Tanggal lahir/umur: 10 Oktober 2006/ 14th
d. Jenis kelamin : Perempuan
e. Agama : Hindu
2. Orang tua
a. Ayah
1) Nama : Tn. T (kandung/tiri)
2) Umur : 42th
3) Pekerjaan : Wiraswasta
4) Pendidikan : SMA
5) Agama : Hindu
6) Alamat : Jln. Tukad Irawadi No.59,Denpasar Selatan
b. Ibu
1) Nama : Ny. S (kandung/tiri)
2) Umur : 41th
3) Pekerjaan : IRT
4) Pendidikan : SMP
5) Agama : Hindu
6) Alamat :Jln. Tukad Irawadi No.59, Denpasar Selatan
B. Genogram

Keterangan :
= Laki-laki
= Perempuan

= Kawin
= Hubungan dengan keluarga
= Tinggal satu rumah
= Pasien yang diidentifikasi

= Laki – laki meninggal

= Perempuan meningal

Deskripsi genogram :
An. P berusia 14 tahun merupakan anak ke dua dari pasangan Tn. T yang
usianya 42 tahun anak ketiga dari empat bersaudara dan Ny. S berusia 41
tahun anak kedua dari tiga bersaudara, kedua orang tua Ny.S sudah
meninggal dunia. An. P tinggal bersama kedua orang tuanya dan kakak
laki-lakinya. Keluarga An. P tidak memiliki riwayat penyakit keturunan
mereka tinggal bersama di Jln. Tukad Irawadi No.59, Denpasar Selatan.
C. Alasan Dirawat
1. Keluhan Utama :
An.P mengeluh nyeri pada sendinya
2. Riwayat Penyakit :
An.P datang ke RS Sanglah pada 3 Oktober 2020 dengan keluhan
nyeri pada sendinya dan sulit untuk bergerak. An.P menderita
penyakit SLE sejak usia 13th dan rajin Kontrol ke RS Sanglah.
Kedua orang tua An.P membawanya ke RS Sanglah untuk Kontrol
dan mendapatkan terapi, saat dating An.P digendong oleh Tn.T
karena An.P tidak bisa berjalan. Saat dikaji An.P mengeluh merasa
sakit dibagian kakinya, nyeri terasa seperti terbakar, nyeri
dirasakan setiap saat dan nyeri terasa seperti menjalar dibagian
kakinya. Skala nyeri 7 (1-10). Nyeri sudah terasa sejak 5bln yang
lalu.
D. Kebutuhan Bio-Psiko-Sosial-Spiritual Dalam Kehidupan Sehari-Hari
1. Bernafas
Klien tidak ada mengalami kesulitan bernafas, dan suara nafas
normal (vesikuler).
2. Makan dan minum
Keadaan sebelum sakit:
An.P mengatakan sebelum sakit bisa makan 3 kali dalam sehari
dan minum 4-6 gelas/hari, Pasien suka makan nasi dengan lauk
ayam dan sayur. Pasien suka jajan diwarung.
Keadaan saat sakit:
An.P mengatakan tidak nafsu makan, makanan habis ¼ porsi sekali
makan. Pasien hanya minum sedikit, frekuensi 3-4 gelas sehari.
Pasien tidak tertarik dengan makanan lain tetapi pasien masih mau
makan buah pisang.
3. Eliminasi (BAB/BAK)
Keadaan sebelum sakit:
An.P mengatakan BAK bisa 6-7 kali dengan konsistensi urine
berwarna kuning cerah, bau yang khas, sedangkan BAB bisa 2 kali
sehari dengan konsistesi lembek, berwarna coklat.
Keadaan saat sakit:
An.P mengatakan BAK dan BABnya tidak ada masalah, sama
seperti kondisi saat tidak sakit.
4. Aktifitas
Keadaan sebelum sakit:
An.P mengatakan sebelum sakit ia sering bermain bersama teman-
temannya, seperti bermain masak-masakan, petak umpet, dll.
Keadaan saat sakit:
An.P mengatakan lebih sering berada dirumah karena sulit berjalan
dan merasa lemas, serta pasien tidak pernah bermain bersama
teman-temannya lagi.
5. Rekreasi
An.P mengatakan, sebelum sakit ia dan keluarganya biasanya pergi
mengunjungi kakek neneknya dikampung seminggu sekali pada
hari libur.
6. Istirahat dan tidur
Keadaan sebelum sakit:
An.P mengatakan tidur malam mulai jam 21.00 WITA, bangun
pagi biasanya jam 06.00 WITA, dan siang pukul 14.00-16.00
WITA
Keadaan saat sakit:
An.P mengatakan semenjak sakit pasien terkadang sulit tidur dan
sering terbangun karena merasa sakit pada kakinya, ± 1 jam pada
siang hari dan di malam hari tidur ± 5 jam.
7. Kebersihan diri
Keadaan sebelum sakit:
An. P mengatakan mandi sendiri di kamar mandi memakai sabun
dan dikeringkan dengan handuk. Gosok gigi sendiri, menggunakan
pasta gigi saat mandi.
Keadaan saat sakit:
Saat pengkajian kondisi pasien bersih karena selalu dibantu ibunya
untuk mandi dan berpakaian, gosok gigi sendiri diatas kasur.
8. Pengaturan suhu tubuh
Saat dikaji suhu tubuh pasien dalam rentang normal 36,3℃
9. Rasa nyaman
An. P mengatakan merasa tidak nyaman karena nyeri dibagian
kakinya dan sulit bergerak
10. Rasa aman
Pasien merasa aman karena kedua orang tuanya dan kakaknya
selalu ada bersamanya dan membantunya.
11. Belajar (anak dan orangtua)
An. P mengatakan belajar dirumah dibantu oleh kedua orang
tuanya karena ia tidak bisa pergi kesekolah lagi, ia tetap
mengumpulkan tugasnya melalui temannya.
12. Prestasi
Orang tua An.P mengatakan anaknya sempat mendapat juara 1 saat
kelas 1-4 di Sekolah Dasar.
13. Hubungan sosial anak
Hubungan sosial pasien dengan orang tuanya sangat baik, dan
pasien paling dekat dengan ibunya dan hubungan pasien dengan
teman sebayanya juga baik. Pasien mudah berinteraksi dengan
teman sebayanya.
14. Melaksanakan ibadah
Keluarga sering mengajak pasien beribadah ke pura dan khususnya
pada hari raya keagamaan. Serta pasien selalu sembahyang
bersama orang tuanya dirumah ketika sore. Saat ini pasien hanya
bisa melakukan Puja Trisandya diatas tempat tidurnya.
E. Penyakit Yang Pernah Diderita
Umur
Jenis Akut/Kronis
No saat Lamanya Pertolongan
Penyakit /Menular/tidak
sakit
1 Kronis/ Tidak Hingga Dibawa ke
SLE 13th
Menular Saat Ini RS

F. Kesehatan Lingkungan
Ny. S mengatakan lingkungan disekitar rumahnya sehat dan nampak
bersih serta jauh dari polusi karena rumah pasien jauh dari jalan raya.
G. Pemeriksaan Fisik
1. Kesan umum
Kebersihan : Baik
Pergerakan : Kurang
Penampilan/postur/bentuk tubuh : Baik dan postur tubuh kecil
Termasuk status gizi : Baik
2. Warna kulit : Sawo matang
3. Suara waktu menangis : Keras
4. Tonus otot : 2/2/2/2
5. Turgor kulit : Menurun
6. Udema : Tidak ada
7. Kepala : Bentuk normal, UUB tertutup, ketombe dan
rambut rontok tidak ada, rambut hitam dan tipis.
8. Mata :Bentuk mata normal, pergerakan mata normal,
pupil dilatasi, konjungtiva pucat, sklera putih.
9. Hidung :Bentuk normal, secret tidak ada, gerakan cuping
hidung ada, kelainan tidak ada
10. Telinga : Bentuk normal, keadaan bersih, pendengaran
normal, serumen tidak ada, kelainan tidak ada.
11. Mulut : Mulut bersih, mukosa bibir pucat, terdapat
sariawan
12. Leher : Bentuk normal, pembesaran kelenjar tyroid tidak
ada
13. Thoraks : Bentuk ada normal simetris, tidak ada penggunaan
otot bantu pernafasan dan tidak ada suara napas tambahan.
14. Jantung : Bunyi detak jantung normal tidak ada pembesaran.
15. Persarafan : Terdapat gangguan pada system saraf
16. Abdomen : Bentuk simetris, bising usus normal
17. Ekstremitas:
Atas : terpasang infus pada ekstremitas kanan, ADL
terbatas, tidak ada edema, tidak ada laserasi.
Bawah : tidak ada edema, tidak ada varises
18. Alat kelamin : Kebersihan cukup, bentuk normal, kelainan tidak
ada.
19. Anus : Bentuk normal, kebersihan cukup, haemoroid tidak
ada
20. Antropometri (ukuran pertumbuhan)
1. BB = 30 kg
2. TB = 135 cm
3. Lingkar kepala = 51cm
4. Lingkar dada = 67cm
5. Lingkar lengan = 26 cm
21. Gejala kardinal :
1. Suhu = 36,3℃
2. Nadi = 80x/mnt
3. Pernafasan = 23x/mnt
4. Tekanan darah = 110/60 mm/Hg
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium
No Jenis Pemeriksaan Hasil Normal Satuan
1 Hemoglobin 10,6 g/dl L: 14-17, P: 12-16 g/dl
2 Leukosit 2,2 103/µL 5,0-10,0 /µL
3 Eritrosit 3,38 106 /µL 4,5 – 5,5 /µL
4 Hematokrit 30,9 % 35-43 %
5 Neutrofil 1,3% 2,0-6,0 %
2. Terapi yang diberikan
a. Siklofosfamid 70 mg/ 12 jam (IV)
b. Metilprednisolon 1 mg/kgBB/hari (IV)
c. Furosemid 3x25mg (PO)
d. Spironolakton 2x25mg (PO)
e. Amlodipin 1x10mg (PO)
f. Prednison 3x10mg (PO)
g. Captopril 2x25 mg (PO)
J. Hasil Observasi
1. Interaksi anak dengan orang tua : Sangat baik
2. Bentuk/arah komunikasi : Terjadi 2 arah
3. Ambivalensi/kontradiksi perilaku : Tidak terdapat kontraindikasi pada
perilaku anak
4. Rasa aman anak : Anak terlihat aman berada didekat
ibunya
K. ANALISA DATA

Tgl/Jam Data Fokus Interpretasi/Penyebab Masalah


Minggu, 4 Ds : An. P mengeluh merasa sakit Faktor genetik, obat-obatan, Nyeri Kronis
Oktober 2020 dibagian kakinya, nyeri terasa seperti hormonal, sensitivitas sinar (D. 0078)
terbakar, nyeri dirasakan setiap saat ultraviolet
dan nyeri terasa seperti menjalar
dibagian kakinya. Skala nyeri 7 (1-10). Sel T supresor abnormal
Nyeri sudah terasa sejak 5bln yang
lalu. Autoimun
Do: Pasien tampak meringis, berbaring
titempat tidur, pasien tampak lemah Peningkatan produksi auto
dan lemas antibody
P : Nyeri terasa karena penyakit pasien
Q : Nyeri terasa seperti terbakar Penumpukan komplek imun
R :Nyeri menjalar diseluruh bagian
kaki Kerusakan jaringan diseluruh
S : Skala nyeri 7 (1-10) organ
T : Terasa setiap saat
Imflamasi pada organ

Nyeri

Nyeri Kronis
Minggu, 4 Ds : pasien mengatakan sulit Faktor genetik, obat-obatan, Gangguan
Oktober 2020 menggerakkan kakinya, pasien hormonal, sensitivitas sinar Mobilitas Fisik
mengatakan merasa nyeri saat bergerak ultraviolet (D. 0054)
Do : pasien tampak lemah dan lemas,
ADL pasien dibantu oleh keluarganya Sel T supresor abnormal
Kekuatan otot pasien: 2/2/2/2
Autoimun

Peningkatan produksi auto


antibody

Penumpukan komplek imun

Kerusakan jaringan diseluruh


organ

Imflamasi pada organ

Muskuloskeletal

Artritis

Gangguan Mobilitas Fisik


L. DIAGNOSA KEPERAWATAN BERDASARKAN PRIORITAS

No Tanggal Diagnosa Keperawatan Tanggal TTD


Muncul Teratasi
1 Minggu 4 (D. 0078) Nyeri kronis berhubungan dengan
Oktober 2020 gangguan imunitas ditandai dengan pasien
mengeluh merasa sakit dibagian kakinya, nyeri
terasa seperti terbakar, nyeri dirasakan setiap
saat dan nyeri terasa seperti menjalar dibagian
kakinya. Skala nyeri 7 (1-10). Nyeri sudah
terasa sejak 5bln yang lalu.
Pasien tampak meringis, berbaring titempat
tidur, pasien tampak lemah dan lemas
2 Minggu, 4 (D.0054) Gangguan mobilitas fisik
Oktober 2020 berhubungan dengan gangguan neuromuskular
di tandai dengan pasien mengatakan sulit
menggerakkan kakinya, pasien mengatakan
merasa nyeri saat bergerak pasien tampak
lemah dan lemas, ADL pasien dibantu oleh
keluarganya. Kekuatan otot pasien: 2/2/2/2
M. RENCANA KEPERAWATAN RENCANA TINDAKAN

No Tanggal Diagnosa Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi Rasional Nama/Ttd


Keperawatan
1 Setelah dilakukan asuhan Manajemen Nyeri Manajemen Nyeri
Observasi
keperawatan selama 3 x Observasi
1. Mengetahui lokasi,
2 24 jam tingkat nyeri 4. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
karakteristik, durasi, frekuensi,
menurun dengan kriteria frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
kualitas, intensitas nyeri pada
hasil: 5. Identifikasi skala nyeri
pasien
7. Keluhan nyeri 6. Identifikasi faktor yang memperberat
2. Mengetahui skala nyeri pasien
menurun (skala 0 – 1) dan memperingan nyeri
3. Mengetahui faktor yang
8. Meringis menurun
memperberat dan
9. Gelisah menurun
memperingan nyeri pasien
10. Frekuensi nadi
membaik (60 – 100 Terapeutik Terapeutik
x/menit) 3. Berikan teknik nonfarmakologis untuk 1. Membantu mengurangi nyeri
11. Pola napas mengurangi rasa nyeri pasien
membaik (16 – 20 4. Kontrol lingkungan yang memperberat 2. Mencegah nyeri bertambah
x/menit) rasa nyeri (mis. suhu ruangan,
12. Tekanan darah pencahayaan, kebisingan)
membaik
(Tekanan darah sistole Edukasi Edukasi
(90 -120 mmHg, tekanan 2. Anjurkan menggunakan analgetik 1. Mengurangi nyeri pasien
darah diastole (60 – 80 secara tepat dengan penggunaan analgetik
mmHg 3. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk 2. Mengurangi nyeri pasien
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu Mengurangi nyeri pasien
Setelah dilakukan asuhan Dukungan ambulansi Dukungan ambulansi
keperawatan selama ... Observasi Observasi
x ...jam diharapkan 1. Identifikasi adanya nyeri atau 1. Mengetahui kondisi pasien
mobilitas fisik klien keluhan fisik lainnya
menigkat kriteria hasil : 2. Identifikasi toleransi fisik 2. Mengetahui kondisi fisik
- Penggerakan melakukan ambulasi pasien dalam melakukan
ekstremitas meningkat ambulansi
- Kekuatan otot 3. Monitor frekuensi jantung dan 5. Memantau tekanan darah
meningkat tekanan darah sebelum ambulasi pasien
- Rentang gerak ROM 4. Monitor kondisi umum selama 6. Memantau kondisi pasien
meningkat melakukan ambulasi dalam melakukan ambulansi
- Nyeri menurun Terapeutik Terapeutik

- Kaku sendi menurun 1. Fasilitasi ambulasi dengan alat 1. Membantu pasien belajar

- Kelemahan fisik bantu (mis. Tongkat, kruk) ambulasi dengan alat


menurun 2. Fasilitasi melakukan mobilisasi 2. Membantu pasien melatih
fisik, jika perlu mobilisasi fisik
3. Libatkan keluarga untuk 3. Peran keluarga sangat penting
membantu pasien dalam dalam penyembuhan pasien
meningkatkan ambulasi
Edukasi Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur 1. Agar pasien mengetahui
ambulasi prosedur ambulansi
2. Anjurkan melakukan ambulasi 2. Supaya kondisi pasien lebih
baik
3. Ajarkan ambulasi sederhana yang 3. Agar mempercepat proses
harus dilakukan (mis. Berjalan dari penyembuhan pasien
tempat tidur ke kursi roda, berjalan
dari tempat tidur ke kamar mandi,
berjalan sesuai toleransi)
N. IMPLEMENTASI

No Tanggal Nomor Jam Implementasi Evaluasi Nama /


Diagnosa TTD
1 04 1 07.40 1. Mengidentifikasi lokasi, karakteristik, Ds : - Perawat
Oktober durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri Do: Pasien tampak meringis, berbaring titempat
2020 tidur, pasien tampak lemah dan lemas
P : Nyeri terasa karena penyakit pasien
Q : Nyeri terasa seperti terbakar
R :Nyeri menjalar diseluruh bagian kaki
S : Skala nyeri 7 (1-10)
T : Terasa setiap saat
2 2 08.00 2. Mengidentifikasi adanya nyeri atau Ds : pasien mengatakan sulit menggerakkan Perawat
keluhan fisik lainnya kakinya,
Do : pasien tampak lemah dan lemas, ADL
pasien dibantu oleh keluarganya
Kekuatan otot pasien: 2/2/2/2
3 1 08.08 3. Memberikan teknik nonfarmakologis Ds : An. P mengeluh merasa nyeri Perawat
untuk mengurangi rasa nyeri Do: Pasien tampak pasien tampak lemah dan
lemas
P : Nyeri terasa karena penyakit pasien
Q : Nyeri terasa seperti terbakar
R :Nyeri menjalar diseluruh bagian kaki
S : Skala nyeri 7 (1-10)
7. Mengidentifikasi toleransi fisik melakukan T : Terasa setiap saat
4 2 08.10 ambulasi Ds : - Perawat
Do : pasien tampak lemah dan lemas, ADL
pasien dibantu oleh keluarganya
8. Monitor frekuensi jantung dan tekanan Kekuatan otot pasien: 2/2/2/2
5 2 08.20 darah sebelum ambulasi Ds : - Perawat
Do : pasien tampak lemah dan lemas, ADL
pasien dibantu oleh keluarganya
9. Identifikasi faktor yang memperberat dan Kekuatan otot pasien: 2/2/2/2
6 1 08.25 memperingan nyeri Ds : - Perawat
Do: Pasien tampak pasien tampak lemah dan
lemas
P : Nyeri terasa karena penyakit pasien
Q : Nyeri terasa seperti terbakar
R :Nyeri menjalar diseluruh bagian kaki
S : Skala nyeri 7 (1-10)
10. Memberikan teknik nonfarmakologis T : Terasa setiap saat
untuk mengurangi rasa nyeri
7 1 08.30 Ds : - Perawat
Do: Pasien tampak pasien tampak lemah dan
lemas
P : Nyeri terasa karena penyakit pasien
Q : Nyeri terasa seperti terbakar
R :Nyeri menjalar diseluruh bagian kaki
11. Memonitor kondisi umum selama S : Skala nyeri 7 (1-10)
melakukan ambulasi T : Terasa setiap saat
8 2 08.35 Ds : pasien mengatakan sulit menggerakkan Perawat
kakinya, pasien mengatakan merasa nyeri saat
bergerak
Do : pasien tampak lemah dan lemas, ADL
12. Memfasilitasi ambulasi dengan alat bantu pasien dibantu oleh keluarganya
(mis. Tongkat, kruk) Kekuatan otot pasien: 2/2/2/2
9 2 08.40 Ds : - Perawat
Do : pasien tampak lemah dan lemas, ADL
13. Mengontrol lingkungan yang memperberat pasien dibantu oleh keluarganya
rasa nyeri (mis. suhu ruangan, Kekuatan otot pasien: 2/2/2/2
10 1 08.45 pencahayaan, kebisingan) Ds : - Perawat
Do: Pasien tampak pasien tampak lemah dan
lemas
P : Nyeri terasa karena penyakit pasien
Q : Nyeri terasa seperti terbakar
R :Nyeri menjalar diseluruh bagian kaki
14. Memfasilitasi melakukan mobilisasi fisik, S : Skala nyeri 7 (1-10)
jika perlu T : Terasa setiap saat
11 2 08.50 Ds : - Perawat
Do : pasien tampak lemah dan lemas, ADL
15. Melibatkan keluarga untuk membantu pasien dibantu oleh keluarganya
pasien dalam meningkatkan ambulasi Kekuatan otot pasien: 2/2/2/2
12 2 08.55 Ds : - Perawat
Do : pasien tampak lemah dan lemas, ADL
16. Ajarkan ambulasi sederhana yang harus pasien dibantu oleh keluarganya
dilakukan (mis. Berjalan dari tempat tidur Kekuatan otot pasien: 2/2/2/2
13 2 09.05 ke kursi roda, berjalan dari tempat tidur ke Ds : - Perawat
kamar mandi, berjalan sesuai toleransi) Do : pasien tampak lemah dan lemas, ADL
17. Mengidentifikasi lokasi, karakteristik, pasien dibantu oleh keluarganya
05 durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri Kekuatan otot pasien: 2/2/2/2
14 Oktober 1 07.40 18. Mengidentifikasi adanya nyeri atau Ds : - Perawat
2020 keluhan fisik lainnya Do: Pasien tampak berbaring ditempat tidur
15 2 08.00 19. Memberikan teknik nonfarmakologis Ds : - Perawat
untuk mengurangi rasa nyeri Do : pasien tampak berbaring di tempat tidur
16 1 08.08 Ds : - Perawat
Do: Pasien tampak pasien tampak lemah dan
lemas
P : Nyeri terasa karena penyakit pasien
Q : Nyeri terasa seperti terbakar
R :Nyeri menjalar diseluruh bagian kaki
20. Mengidentifikasi toleransi fisik melakukan S : Skala nyeri 5 (1-10)
ambulasi T : Terasa setiap saat
17 2 08.10 Ds : - Perawat
Do : pasien tampak lemah dan lemas, ADL
pasien dibantu oleh keluarganya
21. Monitor frekuensi jantung dan tekanan Kekuatan otot pasien:
darah sebelum ambulasi 4444
18 2 08.20 Ds : - Perawat
22. Identifikasi faktor yang memperberat dan Do : pasien tampak lemas,
memperingan nyeri Kekuatan otot pasien: 4 4 4 4
19 1 08.25 Ds : - Perawat
Do: Pasien tampak pasien tampak lemah dan
lemas
P : Nyeri terasa karena penyakit pasien
Q : Nyeri terasa seperti terbakar
R :Nyeri menjalar diseluruh bagian kaki
23. Memberikan teknik nonfarmakologis
S : Skala nyeri 5 (1-10)
untuk mengurangi rasa nyeri
T : Terasa setiap saat
20 1 08.30 Ds : - Perawat
Do: ku mulai membaik
P : Nyeri terasa karena penyakit pasien
Q : Nyeri terasa seperti terbakar
R :Nyeri menjalar diseluruh bagian kaki
24. Memonitor kondisi umum selama
S : Skala nyeri 7 (1-10)
melakukan ambulasi
T : Terasa setiap saat
21 2 08.35 Ds : - Perawat
25. Memfasilitasi ambulasi dengan alat bantu
Do : Kekuatan otot pasien:
(mis. Tongkat, kruk)
4444
22 2 08.40 Ds : - Perawat
26. Mengontrol lingkungan yang memperberat
Do : Kekuatan otot pasien:
rasa nyeri (mis. suhu ruangan,
4444
pencahayaan, kebisingan)
23 1 08.45 Ds : - Perawat
27. Memfasilitasi melakukan mobilisasi fisik,
Do: Pasien tampak pasien mulai membaik
jika perlu
28. Melibatkan keluarga untuk membantu
24 2 08.50 Ds : - Perawat
pasien dalam meningkatkan ambulasi
Do : Pasien tampak pasien mulai membaik
25 2 08.55 29. Mengidentifikasi lokasi, karakteristik, Ds : - Perawat
durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri Do : Pasien tampak mulai membaik
26 2 09.05 30. Mengidentifikasi adanya nyeri atau Ds : - Perawat
06 keluhan fisik lainnya Do : Pasien tampak pasien mulai membaik
27 Oktober 1 07.40 31. Memberikan teknik nonfarmakologis Ds :- Perawat
2020 untuk mengurangi rasa nyeri Do: ku baik
28 2 08.00 Ds : - Perawat
32. Mengidentifikasi toleransi fisik melakukan Do : kau baik, kekuatan
ambulasi otot pasien: 5 5 5 5
29 1 08.08 33. Memonitor frekuensi jantung dan tekanan Ds : - Perawat
darah sebelum ambulasi Do: KU pasien baik
30 2 08.10 34. Memberikan teknik nonfarmakologis Ds : - Perawat
untuk mengurangi rasa nyeri Do : KU pasien baik
31 1 08.20 Ds : An. P, mengatakan nyeri sudah jauh Perawat
35. Mengontrol lingkungan yang memperberat berkurang
rasa nyeri (mis. suhu ruangan, Do: Pasien tampak baik
32 1 08.25 pencahayaan, kebisingan) Ds : An. P mengatakan nyeri sudah jauh Perawat
36. Memfasilitasi melakukan mobilisasi fisik, berkurang
jika perlu Do: Pasien tampak baik
33 2 08.30 Ds :pasien mengatakan bisa menggerakkan Perawat
kakinya
Do : pasien tampak baik, ,kekuatan otot 5 5 5 5
O. EVALUASI

Tgl/Jam No Dx Evaluasi Hasil TTD


06 Oktober 1 S : An. P mengatakan nyeri sudah jauh berkurang Perawat
2020 O: Pasien tampak baik
.08.25 A : Masalah teratasi
P : Pasien pulang hentikan intervensi

08.30 2 S : Pasien mengatakan sudah bisa menggerakkan kakinya Perawat


O : Pasien tampak baik
Kekuatan otot 5 5 5 5
ADL pasien baik
A : Maasalah teratasi
P : Pasien pulang hentikan intervensi

Anda mungkin juga menyukai