OLEH :
NI LUH PUTU WIDYA SARI
219012860
1. Definisi
Di Indonesia, data untuk kasus SLE masih belum ada yang mencakup semua wilayah
Indonesia. Data tahun 2002 terdapat 1,4% kasus dari total seluruh kunjungan pasien di
poliklinik Rematologi Penyakit Dalam di RSUP Cipto Mangunkusumo Jakarta. Sedangkan
untuk RS Hasan Sadikin Bandung, terdapat 10,5 % (291 pasien) dari total pasien yang
berkunjung ke Poliklinik rematologi pada tahun 2010.
3. Etiologi
Penyebab dari SLE belum diketahui dengan pasti. Diduga melibatkan interaksi yang
kompleks dan multifaktorial antara bervariasi genetic dan faktor lingkungan:
a. Faktor genetic
Kejadian SLE yang lebih tinggi pada kembar monozigotik (25%)
dibandingkan dengan kembar dizigotik (3%), peningkatan frekuensi SLE pada
keluarga penderita SLE dibandingkan dengan kontrol sehat dan peningkatan
prevalensi SLE pada kelompok etnik tertentu, menguatkan dugaan bahwa faktor
genetic berperan dalam pathogenesis SLE.
b. Faktor hormonal
SLE merupakan penyakit yang lebih banyak menyerang perempuan.
Serangan pertama kali jarang terjadi pada usia prepubertas dan setelah
menopause.
c. Autoantibodi
Autoantibodi ini ditunjukkan kepada self molekul yang terdapat pada
nucleus, sitoplasma, permukaan sel, dan juga terdapat molekul terlarut seperti
IgG dan faktor koagulasi.
d. Faktor lingkungan
Faktor fisik/kimia
Amin aromatic
Hydrazine
Obat-obatan (prokainamid, hidralazin, klorpromazin, isoniazid,
fenitoin,penisilamin).
Faktor makanan
Konsumsi lemak jenuh yang berlebihan
L- canavanine (kuncup dari elfalfa)
e. Agen infeksi
Retrovirus
DNA bakteri/endotoksin
f. Hormone dan estrogen lingkungan (environmental oestrogen)
Terapi sulih (HRT), pil kontrasepsi oral
Paparan estrogen prenatal
4. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan
beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi
genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel TCD 4+,
induksi serta ekspansi sel B, baik yang memproduksi autoantibodi maupun yang
berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga
termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam
infeksi.
terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein
dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks protein RNA yang disebut
partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka
tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel.Antibodi
yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi.
Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu. Dapat
berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemprosesan
mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ
dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini
keluhan/ gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi,
pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya. Bagian yang penting dalam
Penyakit SLE
sistem imun merupakan peningkatan sistem imun dan produksi auto antibodi
lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi
obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini di respon sebagai benda
SLE adalah tes ANA generic (ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA
pada SLE. Pada penderita SLE ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-
100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit lain
normal.
Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak
pada waktu yang akan datang terutama jika didapatkan gambaran klinis yang
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah
dibandingkan dengan titer yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin
pasien SLE, tes ini jarang dijumpai pada penyakit lain atau orang normal. Tes
anti-Sm relatif spesi ik untuk SLE, dan dapat digunakan untuk diagnosis SLE.
Titer anti-Sm yang tinggi lebih spesifik untuk SLE. Seperti anti-dsDNA, anti-
1) Test ANA merupakan test yang sensitif, namun tidak spesifik untuk
SLE
2) Test ANA dikerjakan hanya jika terdapat kecurigaan terhadap SLE
3) Test Anti dsDNA positif menunjang diagnosis SLE, namun jika
negatif tidak menyingkirkan diagnosis SLE
2008)
1) Anemia hemolitik
2) Leukosit <4.000/mm3
3) Limfosit <1.500/mm3
4) Trombosit <100.000/mm3
c. Pemeriksaan Urine Lengkap
Pada pasien dengan SLE kemungkinan pemeriksaan UL menunjukkan hasil
sebagai berikut:
1) Proteinuria> 0,5 gr/24 jam
2) Hematuria
9. Therapy/tindakan penanganan
a. Medis
Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan
dipakaibersama kortikosteroid, secara topikal untuk kutaneus.
Obat antimalaria untuk gejal kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik
ringan SLE.
Preparat imunosupresan (pengkelat dan analog purion) untuk fungsi
imun.
Kortikosteroid (prednison 1-2 mg/kg/hr s/d 6 bulan postpartum)
(metilprednisolon 1000 mg/24jam dengan pulse steroid th/ selama 3
hari, jika membaik dilakukan tapering off).
AINS (Aspirin 80 mg/hr sampai 2 minggu sebelum TP).
Imunosupresan (Azethiprine 2-3 mg/kg per oral).
Siklofospamid, diberikan pada kasus yang mengancam jiwa 700-1000
mg/m luas permukaan tubuh, bersama dengan steroid selama 3 bulan
setiap 3 minggu.
b. Keperawatan
Diet
Restriksi diet ditentukan oleh terapi yang diberikan. Sebagian besar
pasien memerlukan kortikosteroid, dan saat itu diet yang diperbolehkan
adalah yang mengandung cukup kalsium, rendah lemak, dan rendah
garam. Pasien disarankan berhati-hati dengan suplemen makanan dan
obat tradisional.
Aktivitas
Pasien lupus sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olah raga diperlukan
untuk mempertahankan densitas tulang dan berat badan normal. Tetapi
tidak boleh berlebihan karena lelah dan stress sering dihubungkan
dengan kekambuhan. Pasien disarankan untuk menghindari sinar
matahari, bila terpaksa harus terpapar matahari harus menggunakan
krim pelindung matahari (waterproof sunblock) setiap 2 jam. Lampu
fluorescence juga dapat meningkatkan timbulnya lesi kulit pada pasien
SLE.
10. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang bisa terjadi jika penyakit lupus tidak ditangani dengan
cepat dan tepat :
a. penyakit ginjal
b. penyakit paru-paru
c. penyakit jantung
d. gangguan peredaran darah
e. gangguan saraf dan mental
Banyak dari penderita lupus yang mengalami susah konsentrasi, cepat lupa, sakit
kepala yang sangat parah, khawatir berlebihan, dan selalu gelisah. Hal ini
dikarenakan penyakit lupus lama-kelamaan akan melemahkan kerja saraf dan
menyebabkan stres pada pasien.
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
1) Identitas pasien (nama, No, RM, agama, alamat, suku bangsa, diagnose
medis).
2) Umur : biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun.
3) Jenis Kelamin : Perbandingan penderita penyakit Lupus ini antara
wanita dan pria adalah 9:1, dan 80% dari kasus ini menyerang wanita
dalam usia produktif.
4) Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku,
demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya
hidup serta citra diri pasien.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien biasanya mengeluh mudah lelah, nyeri dan kaku, tetapi
respon tiap orang berbeda terhadap tanda dan gejala SLE
tergantung imunitas masing-masing.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit dahulu walaupun tidak terlalu spesifik
biasanya akan didapatkan adanya keluhan mudah lelah, nyeri,
kaku, anorksia dan penurunan berat badan secara signifikan.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien yang mempunyai keluarga yang pernah terkena penyakit
Lupus ini dicurigai berkecenderungan untuk terkena penyakit ini,
lebih kurang 5-12% lebih besar dibanding orang normal.
5) Pola fungsi Gordon
a. Persepsi – Manajemen Kesehatan
Biasanya klien tidak sadar akan penyakitnya, meski gejala
demam dirasakan klien menganggap hanya demam biasa.
b. Nutrisi – Metabolik
Biasanya, penderita SLE akan banyak kehilangan berat badan
karena kurang nafsu makan serta mual muntah yang dirasakan.
c. Eliminasi
Secara klinis, penderita SLE akan mengalami diare.
d. Aktivitas – Latihan
Penderita SLE biasanya mengeluhkan kelelahan serta nyeri pada
bagian sendinya, sehingga pola aktivitas – latihan klien
terganggu.
e. Istirahat – Tidur
Klien dapat mengalami gangguan dalam tidur karena nyeri sendi
yang dirasakannya.
f. Kognitif – Persepsi
Pada penderita SLE, daya perabaannya akan sedikit terganggu
bila terdapat lesi pada jari – jari tangannya. Pada sistem
neurologis, penderita dapat mengalami depresi dan psikologis.
g. Konsep diri
Dengan adanya lesi kulit yang bersifat irreversible yang
menimbulkan bekas dan warna yang buruk pada kulit, penderita
SLE akan merasa terganggu dan malu.
h. Peran – Hubungan
Penderita SLE tidak mampu melakukan pekerjaan seperti
biasanya selama sakit, namun masih dapat berkomunikasi.
i. Seksual – Reproduksi
Biasanya, penderita SLE tidak mengalami gangguan dalam
aktivitas seksual dan reproduksi.
j. Koping – Stress
Biasanya penderita mengalami depresi dengan penyakitnya dan
juga stress karena nyeri yang dirasakan. Untuk menghadapi
penyakitnya, klien butuh dukungan dari keluarga serta
lingkungannya demi kesembuhan klien.
k. Nilai – Kepercayaan
Biasanya aktivitas ibadah klien terganggu karena keterbatasan
aktivitas karena nyeri yang dirasakan.
6) Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum pasien
GCS normal 15, tingkat kesadaran compossmentis.
b. Kulit
Ruam kupu-kupu (butterfly atau ruam malar), fotosensitivitas,
alopenia, fenomena raynaud, purpura, urtikaria, vasculitis.
c. Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi
pleura. Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi
nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari
tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah
atau sisi lateral tangan.
d. Sistem Muskuloskeletal
Nyeri otot (myalgia),nyeri sendi (atralgia), myositis.
e. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
f. Sistem Renal
Hematuria, proteinuria, cetakan, sindrom nefrotik.
g. Sistem saraf
Psikosis, kejang, sindrom otak organic, myelitis transfersa,
neuropati cranial dan perifer.
2. Diagnosa Keperawatan
a) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisologis (inflamasi)
b) Defisit nutrisi berhubungan dengan kerusakan sintesa zat-zat di tubuh,
ulkus palatum dan lesi dimulut
c) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan peningkatan aktifitas penyakit,
rasa nyeri ,depresi
d) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dan ketergantungan
fisik serta psikologis yang diakibatkan penyakit kronik
e) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier
kulit, penumpukan kompleks imun.
f) Keletihan berhubungan dengan kondisi fisiologis penyakit kronis
3. Rencana Asuhan Keperawatan (Tujuan, Intervensi, dan Rasional)
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
&Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica
Ester,Yasmin asih, Jakarta : EGC.
Sudoyo Aru, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2. Edisi 4. Jakarta: Internal
Publishing.