Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

DENGAN SISTEMIC LUPUS ERITHEMATOSUS (SLE)


DI RUANG PUDAK RSUP SANGLAH DENPASAR

OLEH :
NI LUH PUTU WIDYA SARI
219012860

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI
2022
A. Konsep Dasar Penyakit

1. Definisi

SLE/ LES (Sistemik Lupus Eritematosus) merupakan penyakit rematik autoimun


yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem
dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibody dan kompleks imun,
sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan (Sudoyo Aru & dkk, 2009).
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun bersifat sistemik
yang terkait dengan adanya autoantibodi terhadap komponen inti sel (Buyon, 2008).
Manifestasi SLE dapat beragam melibatkan berbagai organ dan sistem. Manifestasi organ
yang beragam dapat terjadi secara simultan maupun tidak. Gejalanya yang tidak khas
seringkali membuat diagnosis SLE seringkali terlewatkan dari perhatian klinisi.
Penyakit lupus merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat kelainan system
imun yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan sistem tubuh. Mekanisme
sistem kekebalan tubuh tidak dapat membedakan antara jaringan tubuh sendiri dan organism
asing (misalnya bakteri, virus) karena autoantibodi (antibodi yang menyerang jaringan tubuh
sendiri) diproduksi tubuh dalam jumlah besar dan terjadi pengendapan kompleks imun
(antibodi yang terikat pada antigen) di dalam jaringan (Syamsi Dhuha Foundation, 2003,
dalam syafi’I, 2012).
Dari 3 definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Penyakit Sistemik Lupus
Eritematosus merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat kelainan system imun
yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan sistem tubuh. Kelainan ini
disebabkan oleh produksi antibodi dalam jumlah besar sehingga menyebabkan sistem imun
tidak dapat membedakan antara jaringan tubuh sendiri dan organisme asing.
2. Epidemiologi

Penyakit Lupus atau systemic lupus erythematosus (SLE) prevalensinya dalam


populasi tertentu kira-kira satu kasus per 2500 orang, penyakit ini cenderung terjadi pada
perempuan (kira-kira 9:1), yang menyerang satu diantara 700 perempuan usia subur. SLE
lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti ras kulit hitam, China dan Filipina. Penyakit
ini terutama diderita oleh wanita muda dengan puncak kejadian pada usia 15-40 tahun
( selama masa reproduktif) dengan perbandingan wanita dan laki-laki 5: 1.

Di Indonesia, data untuk kasus SLE masih belum ada yang mencakup semua wilayah
Indonesia. Data tahun 2002 terdapat 1,4% kasus dari total seluruh kunjungan pasien di
poliklinik Rematologi Penyakit Dalam di RSUP Cipto Mangunkusumo Jakarta. Sedangkan
untuk RS Hasan Sadikin Bandung, terdapat 10,5 % (291 pasien) dari total pasien yang
berkunjung ke Poliklinik rematologi pada tahun 2010.

3. Etiologi

Penyebab dari SLE belum diketahui dengan pasti. Diduga melibatkan interaksi yang
kompleks dan multifaktorial antara bervariasi genetic dan faktor lingkungan:
a. Faktor genetic
Kejadian SLE yang lebih tinggi pada kembar monozigotik (25%)
dibandingkan dengan kembar dizigotik (3%), peningkatan frekuensi SLE pada
keluarga penderita SLE dibandingkan dengan kontrol sehat dan peningkatan
prevalensi SLE pada kelompok etnik tertentu, menguatkan dugaan bahwa faktor
genetic berperan dalam pathogenesis SLE.
b. Faktor hormonal
SLE merupakan penyakit yang lebih banyak menyerang perempuan.
Serangan pertama kali jarang terjadi pada usia prepubertas dan setelah
menopause.
c. Autoantibodi
Autoantibodi ini ditunjukkan kepada self molekul yang terdapat pada
nucleus, sitoplasma, permukaan sel, dan juga terdapat molekul terlarut seperti
IgG dan faktor koagulasi.
d. Faktor lingkungan
Faktor fisik/kimia
 Amin aromatic
 Hydrazine
 Obat-obatan (prokainamid, hidralazin, klorpromazin, isoniazid,
fenitoin,penisilamin).
Faktor makanan
 Konsumsi lemak jenuh yang berlebihan
 L- canavanine (kuncup dari elfalfa)
e. Agen infeksi
 Retrovirus
 DNA bakteri/endotoksin
f. Hormone dan estrogen lingkungan (environmental oestrogen)
 Terapi sulih (HRT), pil kontrasepsi oral
 Paparan estrogen prenatal
4. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang

menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini

ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana

terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan

lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti

hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat

antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam

penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan. .

Patofiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut : adanya satu atau

beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi

genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel TCD 4+,

mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap sel-antigen.

Sebagai akibatnya munculah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan

induksi serta ekspansi sel B, baik yang memproduksi autoantibodi maupun yang

berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga

termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam

infeksi.

Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang

terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein

histon dan non histon.Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat

dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks protein RNA yang disebut

partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka
tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel.Antibodi

ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan antigennya

yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi.

Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu. Dapat

berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemprosesan

kompleks imun dalam hati, dan penurun

Uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini

memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit

mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ

dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini

menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab

timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya

keluhan/ gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi,

pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya. Bagian yang penting dalam

patofisiologi ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam keadaan

normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resisten.


PATHWAY
Genetik, kuman, virus, lingkungan, hormon,obat-obatan

Gangguan imuno regulasi

Antibodi yang berlebih

Sel T sepresor yang abnormal

Antibodi menyerang organ-organ tubuh (sel dan jaringan)

Penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan

Penyakit SLE

Mencetus penyakit inflamasi pada organ

Muskuloskeletal integumen cardiac respirasi vaskuler hemato saraf Hati

Pembengkaka eritema Pericarditis pleuritis Inflamasi trombosito Gangguan Kerusakan


n sendi pada arteriole penia spektrum sintesa zat
terminalis pada saraf tubuh
Kemerahan Penumpukan Efusi meluas
artritis pada wajah cairan di pleura Gangguan
Lesi papuler proses
selaput Mual
eritematosus pembekuan Proses
pericard muntah
Nyeri pada Kemerahan Penumpuk neurologis
darah
persendian pada seluruh an cairan terganggu
tubuh Penekanan di pleura kemerahan pada
jantung oleh kulit wajah dan perdarahan Defisit
cairan pericard seluruh tubuh depresi nutrisi
Nyeri akut Gangguan Ekspansi
citra tubuh Penurun
Pompa jantung paru tidak
Gangguan an Hb
tidak maksimal maksimal ansietas
integritas
kulit
Nafas Oksigen
Penurunan pendek dan pada sel
curah dangkal berkurang
jantung

Gangguan Badan lemas


pola nafas
Keletihan
5. Klasifikasi
Penyakit lupus dapat di klasifikasikan mrnjadi 3 macam,yaitu:
Discoid lupus,systemic lupus erythematosus,dan lupus yang di induksi oleh obat:
a. Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan di tandai oleh batas eritma yang

meninggi,skuama,sumbatan polikuler,dan telangiektasia. Lesi ini timbul di

kulit kepala,telinga,wajah,lengan,punggung dan dada. Penyakit ini dapat

menimbulkan kecacatan karna lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan

parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap

b. Systemic Lupus Erythematosus


SLE merupakan penyakit radang atau inplamasi multi sistem yang di

sebabkan oleh faktor dan di karakteristisasi oleh adanya gangguan disregulasi

sistem imun merupakan peningkatan sistem imun dan produksi auto antibodi

yang berlebihan. Terbentuknya auto antibodi terhadap dsDNA, berbagai

macam rebonukleoprotein intra seluler, sel-sel darah,dan pospolifit dapat

menyebabkan kerusakan jaringan melalui maknime pengaktifan komplemen.

c. Lupus Yang Di Induksi Oleh Obat


Lupus yang di sebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilasi

lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi

lambat, obat banyak terakomulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan

obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini di respon sebagai benda

asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi anti

nuklear(ANA) untuk menyerang benda asing tersebut


6. Gejala Klinis
Adapun manifestasi klinis dari SLE adalah:
a. Ruam Malar
Eritema menetap, datar atau meninggi pada area malar, cenderung
tidak melibatkan lipatan nasolabial.
b. Ruam discoid
Eritema meninggi dengan penebalan keratotik dan follicular
plugging, parut atropik dapat terjadi pada lesi yang lama.
c. Fotosensitifitas
Ruam kulit sebagai reaksi yang tidak biasa, dinilai berdasarkan
anamnesis atau observasi dokter
d. Ulserasi dimulut atau nasofaring
Ulkus mukosa oral atau nasofaringeal, biasanya tidak nyeri,
berdasarkan observasi dokter.
e. Arthritis
Artritis non erosif melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai
dengan nyeri, bengkak atau efusi sendi
f. Serositis
 Pleuritis : riwayat yang jelas tentang adanya nyeri pleuritik atau
adanya pleural friction rub berdasarkan pemeriksaan dokter atau
bukti lain adanya efusi pleura.
 Perikarditis : terdokumentasi oleh elektrokardiogram, atau adanya
friction rub atau bukti lain adanya efusi pericardium.
g. Gangguan ginjal
 Proteinuria persisten > 500 mg/ hari atau > 3+ pada pemeriksaan
kualitatif.
 Cellular casts : dapat berupa sel darah merah, hemoglobin,
granular, tubular atau campuran.
h. Gangguan neurologic
 Kejang : setelah disingkirkan kemungkinan adanya pengaruh obat
obatan atau gangguan metabolik lain seperti uremia, ketoasidosis
atau ketidakseimbangan elektrolit.
 Psikosis : setelah disingkirkan kemungkinan adanya pengaruh obat
obatan atau gangguan metabolik lain seperti uremia, ketoasidosis
atau ketidakseimbangan elektrolit.
i. Gangguan hematologic
 Anemia hemolitik : disertai dengan retikulositosis.
 Lekupenia : leukosit < 4000/ mm3 total.
 Limfopenia : limfosit < 1500/ mm3 pada dua atau lebih
pemeriksaan.
 Trombositopenia : trombosit < 100.000/mm3 setelah disingkirkan
kemungkinan adanya pengaruh obat obatan.
j. Gangguan immunologic
 Anti-DNA : antibody terhadap native DNA dalam titer yang
abnormal.
 Anti-SM : antibody terhadap antigen sel otot polos.
 Temuan positif adanya antibody antifosfolipid berdasarkan (1)
kadar serum yang abnormal dari antibodi antikardiolipin baik IgG
maupun IgM, (2) temuan positif antikoagulan Lupus berdasarkan
metode pemriksaan standar, (3) hasil false positif tes serologis
sifilis selama 6 bulan dan dikonfirmasi oleh tes imobilisasi
Treponema pallidum atau tes absorbsi antibody treponema.
k. Antibody antinukleus
Kadar ANA yang abnormal berdasarkan imunofluoresen atau tes
lain yang setara pada pemeriksaan sewaktu, setelah menyingkirkan
kemungkinan adanya pengaruh obat-obatan yang dapat
menginduksi sindrom lupus.
Kecurigaan akan penyakit SLE bila dijumpai 2 atau lebih keterlibatan organ
seperti:
1. Jender wanita pada rentang usia produktif.
2. Gejala konstitusional : kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan
penurunan berat badan.
3. Muskoloskeletal : nyeri otot (myalgia),nyeri sendi (atralgia), myositis.
4. Kulit : ruam kupu-kupu (butterfly atau ruam malar), fotosensitivitas,
alopenia, fenomena raynaud, purpura, urtikaria, vasculitis.
5. Paru-paru : pleurisy, hpertensi pulmonal.
6. Jantung : pericarditis, miokarditis, endocarditis.
7. Ginjal : hematuria, proteinuria, cetakan, sindrom nefrotik.
8. Gastrointestinal : mual, muntah, nyeri abdomen.
9. Retikulo-endo organomegali (limfadenopati, splenomegaly, hepatomegaly).
10. Hematologi : anemia, leucopenia, dan trombositopenia.
11. Neuropsikiatri : psikosis, kejang, sindrom otak organic, myelitis transfersa,
neuropati cranial dan perifer.
7. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi : inspeksi kulit dilakukan untuk menemukan ruam eritematosus.
Plak eritematosus pada kulit dengan skuama yang melekat dapat terlihat
pada kulit kepala, muka atau leher. Ispeksi kulit kepala dilakukan untuk
menemukan gejala alopesia, dan inspeksi mulut serta tenggorokan untuk
ulserasi yang mencerminkan gangguan gastrointestinal. Selain itu juga
untuk melihat adanya pembengkakan sendi.
b. Auskultasi : dilakukan pada kardiovaskuler untuk mendengar friction rub
perikardium yang dapat menyertai miokarditis dan efusi pleura. Efusi
pleura serta infiltrasi mencerminkan insufisiensi respiratorius dan
diperlihatkan oleh suara paru yang abnormal.
c. Palpasi : dilakukan palpasi untuk mengetahui adanya nyeri tekan dan
sendi yang teraba hangat.
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Imunologi
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis

SLE adalah tes ANA generic (ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA

dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah

pada SLE. Pada penderita SLE ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-

100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit lain

yang mempunyai gambaran klinis menyerupai SLE misalnya 8 infeksi kronis

(tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed connective tissue disease

(MCTD), artritis rematoid, tiroiditis autoimun), keganasan atau pada orang

normal.

Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak

diperlukan, tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk SLE

seringkali dinamis dan berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA

pada waktu yang akan datang terutama jika didapatkan gambaran klinis yang

mencurigakan. Bila tes ANA dengan menggunakan sel Hep-2 sebagai

substrat; negatif, dengan gambaran klinis tidak sesuai SLE umumnya

diagnosis SLE dapat disingkirkan.

Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah

tes antibody terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm,

nRNP, Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal

sebagai profil ANA/ENA. Antibodi anti-dsDNA merupakan tes spesifik untuk


SLE, jarang didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya hampir 100%.

Titer anti-dsDNA yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis SLE

dibandingkan dengan titer yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin

dapat terjadi pada pasien yang bukan SLE.

Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-dsDNA positif

menunjang diagnosis SLE sementara bila anti ds-DNA negatif tidak

menyingkirkan adanya SLE. Meskipun anti-Sm didapatkan pada 15%-30%

pasien SLE, tes ini jarang dijumpai pada penyakit lain atau orang normal. Tes

anti-Sm relatif spesi ik untuk SLE, dan dapat digunakan untuk diagnosis SLE.

Titer anti-Sm yang tinggi lebih spesifik untuk SLE. Seperti anti-dsDNA, anti-

Sm yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis. Rekomendasi:

1) Test ANA merupakan test yang sensitif, namun tidak spesifik untuk
SLE
2) Test ANA dikerjakan hanya jika terdapat kecurigaan terhadap SLE
3) Test Anti dsDNA positif menunjang diagnosis SLE, namun jika
negatif tidak menyingkirkan diagnosis SLE

Tabel 2. Jenis autoantibodi pada SLE dan makna klinisnya (Buyon,

2008)

Antibodi Frekuensi Makna klinis


Anti Nuclear Antibody 90% Tidak spesifik untuk manifestasi klinis
tertentu; hanya digunakan untuk tujuan
diagnosis
Anti-dsDNA 40-60% Terkait manifestasi klinis nefritis; dapat
memprediksi flare atau peningkatan aktivitas
penyakit.
Anti-RNP 30%-40% Terkait manifestasi klinis Raynaud’s,
musculoskeletal; tidak dapat menilai
aktivitas penyakit.
Anti Ribosomal-P 10%-20% Terkait manifestasi klinis gangguan SSP difus,
psikosis, depresi mayor; tidak dapat menilai
aktivitas penyakit.
Anti-SSA/ Ro 30%–45% Terkait manifestasi klinis kekeringan konjungtiva
dan mukosa mulut, SCLE, lupus neonatal,
fotosensitivitas; tidak dapat menilai aktivitas
penyakit.
Anti-SSB/ La 10%-15% Terkait manifestasi klinis kekeringan konjungtiva
dan mukosa mulut, SCLE, lupus neonatal,
fotosensitivitas; tidak dapat menilai aktivitas
penyakit.
Antiphospholipid 30% Terkait manifestasi klinis gangguan
pembekuan darah; tidak dapat menilai
aktivitas penyakit.

b. Pemeriksaan Darah Lengkap


Pemeriksaan DL bertujuan untuk melihat kadar hemoglobin, trombosit, serta

leukosit dalam darah. Pada pasien dengan SLE kemungkinan pemeriksaan

darah lengkap menunjukkan hasil sebagai berikut:

1) Anemia hemolitik
2) Leukosit <4.000/mm3
3) Limfosit <1.500/mm3
4) Trombosit <100.000/mm3
c. Pemeriksaan Urine Lengkap
Pada pasien dengan SLE kemungkinan pemeriksaan UL menunjukkan hasil
sebagai berikut:
1) Proteinuria> 0,5 gr/24 jam
2) Hematuria
9. Therapy/tindakan penanganan
a. Medis
 Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan
dipakaibersama kortikosteroid, secara topikal untuk kutaneus.             
 Obat antimalaria untuk gejal kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik
ringan SLE.
 Preparat imunosupresan (pengkelat dan analog purion) untuk fungsi
imun.
 Kortikosteroid (prednison 1-2 mg/kg/hr s/d 6 bulan postpartum)
(metilprednisolon 1000 mg/24jam dengan pulse steroid th/ selama 3
hari, jika membaik dilakukan tapering off).
 AINS (Aspirin 80 mg/hr sampai 2 minggu sebelum TP).
 Imunosupresan (Azethiprine 2-3 mg/kg per oral).
 Siklofospamid, diberikan pada kasus yang mengancam jiwa 700-1000
mg/m luas permukaan tubuh, bersama dengan steroid selama 3 bulan
setiap 3 minggu.
b. Keperawatan
 Diet
Restriksi diet ditentukan oleh terapi yang diberikan. Sebagian besar
pasien memerlukan kortikosteroid, dan saat itu diet yang diperbolehkan
adalah yang mengandung cukup kalsium, rendah lemak, dan rendah
garam. Pasien disarankan berhati-hati dengan suplemen makanan dan
obat tradisional.
 Aktivitas
Pasien lupus sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olah raga diperlukan
untuk mempertahankan densitas tulang dan berat badan normal. Tetapi
tidak boleh berlebihan karena lelah dan stress sering dihubungkan
dengan kekambuhan. Pasien disarankan untuk menghindari sinar
matahari, bila terpaksa harus terpapar matahari harus menggunakan
krim pelindung matahari (waterproof sunblock) setiap 2 jam. Lampu
fluorescence juga dapat meningkatkan timbulnya lesi kulit pada pasien
SLE.
10. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang bisa terjadi jika penyakit lupus tidak ditangani dengan
cepat dan tepat :
a. penyakit ginjal
b. penyakit paru-paru
c. penyakit jantung
d. gangguan peredaran darah
e. gangguan saraf dan mental
Banyak dari penderita lupus yang mengalami susah konsentrasi, cepat lupa, sakit
kepala yang sangat parah, khawatir berlebihan, dan selalu gelisah. Hal ini
dikarenakan penyakit lupus lama-kelamaan akan melemahkan kerja saraf dan
menyebabkan stres pada pasien.
B. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian
1) Identitas pasien (nama, No, RM, agama, alamat, suku bangsa, diagnose
medis).
2) Umur : biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun.
3) Jenis Kelamin : Perbandingan penderita penyakit Lupus ini antara
wanita dan pria adalah 9:1, dan 80% dari kasus ini menyerang wanita
dalam usia produktif.
4) Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku,
demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya
hidup serta citra diri pasien.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien biasanya mengeluh mudah lelah, nyeri dan kaku, tetapi
respon tiap orang berbeda terhadap tanda dan gejala SLE
tergantung imunitas masing-masing.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit dahulu walaupun tidak terlalu spesifik
biasanya akan didapatkan adanya keluhan mudah lelah, nyeri,
kaku, anorksia dan penurunan berat badan secara signifikan.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien yang mempunyai keluarga yang pernah terkena penyakit
Lupus ini dicurigai berkecenderungan untuk terkena penyakit ini,
lebih kurang 5-12% lebih besar dibanding orang normal.
5) Pola fungsi Gordon
a. Persepsi – Manajemen Kesehatan
Biasanya klien tidak sadar akan penyakitnya, meski gejala
demam dirasakan klien menganggap hanya demam biasa.
b. Nutrisi – Metabolik
Biasanya, penderita SLE akan banyak kehilangan berat badan
karena kurang nafsu makan serta mual muntah yang dirasakan.
c. Eliminasi
Secara klinis, penderita SLE akan mengalami diare.
d. Aktivitas – Latihan
Penderita SLE biasanya mengeluhkan kelelahan serta nyeri pada
bagian sendinya, sehingga pola aktivitas – latihan klien
terganggu.
e. Istirahat – Tidur
Klien dapat mengalami gangguan dalam tidur karena nyeri sendi
yang dirasakannya.
f. Kognitif – Persepsi
Pada penderita SLE, daya perabaannya akan sedikit terganggu
bila terdapat lesi pada jari – jari tangannya. Pada sistem
neurologis, penderita dapat mengalami depresi dan psikologis.
g. Konsep diri
Dengan adanya lesi kulit yang bersifat irreversible yang
menimbulkan bekas dan warna yang buruk pada kulit, penderita
SLE akan merasa terganggu dan malu.
h. Peran – Hubungan
Penderita SLE tidak mampu melakukan pekerjaan seperti
biasanya selama sakit, namun masih dapat berkomunikasi.
i. Seksual – Reproduksi
Biasanya, penderita SLE tidak mengalami gangguan dalam
aktivitas seksual dan reproduksi.
j. Koping – Stress
Biasanya penderita mengalami depresi dengan penyakitnya dan
juga stress karena nyeri yang dirasakan. Untuk menghadapi
penyakitnya, klien butuh dukungan dari keluarga serta
lingkungannya demi kesembuhan klien.
k. Nilai – Kepercayaan
Biasanya aktivitas ibadah klien terganggu karena keterbatasan
aktivitas karena nyeri yang dirasakan.
6) Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum pasien
GCS normal 15, tingkat kesadaran compossmentis.
b. Kulit
Ruam kupu-kupu (butterfly atau ruam malar), fotosensitivitas,
alopenia, fenomena raynaud, purpura, urtikaria, vasculitis.
c. Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi
pleura. Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi
nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari
tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah
atau sisi lateral tangan.
d. Sistem Muskuloskeletal
Nyeri otot (myalgia),nyeri sendi (atralgia), myositis.
e. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
f. Sistem Renal
Hematuria, proteinuria, cetakan, sindrom nefrotik.
g. Sistem saraf
Psikosis, kejang, sindrom otak organic, myelitis transfersa,
neuropati cranial dan perifer.
2. Diagnosa Keperawatan
a) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisologis (inflamasi)
b) Defisit nutrisi berhubungan dengan kerusakan sintesa zat-zat di tubuh,
ulkus palatum dan lesi dimulut
c) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan peningkatan aktifitas penyakit,
rasa nyeri ,depresi
d) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dan ketergantungan
fisik serta psikologis yang diakibatkan penyakit kronik
e) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier
kulit, penumpukan kompleks imun.
f) Keletihan berhubungan dengan kondisi fisiologis penyakit kronis
3. Rencana Asuhan Keperawatan (Tujuan, Intervensi, dan Rasional)

No Diagnosa Tujuan Intervensi


.
1 Nyeri akut b.d agen SLKI: SIKI :
pencedera fisiologis,
   Setelah dilakukan asuhan Manajemen nyeri
kimiawi, atau fisik keperawatan selama 2 X Observasi
(D.0077) 24 jam diharapkan tingkat - Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
nyeri menurun dengan intensitas nyeri
kriteria hasil : - Identifikasi skala nyeri
 Tingkat Nyeri menurun - Identifikasi respon nyeri nonverbal
- Keluhan nyeri - Identifikasi factor yang memperingan dan memperberat
Menurun nyeri
- Meringis menurun - Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
- Sikap protektif - Identifikasi budaya terhadap respon nyeri
menurun - Identifikasi pengaruh nyeri terhadap kualitas hidup pasien
- Gelisah menurun - Monitor efek samping penggunaan analgetik
- Kesulitan tidur - Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah
menurun diberikan
 Kontrol Nyeri Terapeutik
meningkat - Fasilitasi istirahat tidur
- Melaporkan nyeri - Kontrol lingkungan yang memperberat nyeri ( missal: suhu
terkontrol ruangan, pencahayaan dan kebisingan).
meningkat - Beri tekni non farmakologis untuk meredakan
- Kemampuan nyeri( aromaterapi, terapi pijat, hypnosis, biofeedback,
mengenali onset teknik imajinasi terbimbimbing, teknik tarik napas dalam
nyeri meningkat dan kompres hangat/ dingin)
- Kemampuan Edukasi
mengenali penyebab - Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
nyeri meningkat - Jelaskan strategi meredakan nyeri
- Kemampuan - Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
menggunakan teknik - Anjurkan monitor nyeri secara mandiri
non farmakologis Kolaborasi
meningkat - Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu.
- Keluhan nyeri
menurun SIKI
Manajemen nyeri
Observasi
- Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri
- Identifikasi skala nyeri
- Identifikasi respon nyeri nonverbal
- Identifikasi factor yang memperingan dan memperberat
nyeri
- Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
- Identifikasi budaya terhadap respon nyeri
- Identifikasi pengaruh nyeri terhadap kualitas hidup pasien
- Monitor efek samping penggunaan analgetik
- Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah
diberikan
Terapeutik
- Fasilitasi istirahat tidur
- Kontrol lingkungan yang memperberat nyeri ( missal: suhu
ruangan, pencahayaan dan kebisingan).
- Beri tekni non farmakologis untuk meredakan
nyeri( aromaterapi, terapi pijat, hypnosis, biofeedback,
teknik imajinasi terbimbimbing, teknik tarik napas dalam
dan kompres hangat/ dingin)
Edukasi
- Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
- Jelaskan strategi meredakan nyeri
- Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
- Anjurkan monitor nyeri secara mandiri
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu.

2. Defisit nutrisi Setelah dilakukan asuhan Manajemen Nutrisi


(D.0019) keperawatan selama ... x Observasi
berhubungan dengan 24 jam diharapkan status ‐ Identifikasi status nutrisi
nutrisi meningkat dngan ‐ Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
ulkus palatum dan
kriteria hasil ‐ Identifikasi makanan yang disukai
lesi dimulut 1. Porsi makanan ‐ Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient
yang dihabiskan ‐ Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastrik
meningkat ‐ Monitor asupan makanan
2. Kekuatan otot ‐ Monitor berat badan
pengunyah ‐ Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
membaik Terapeutik
3. Kekuatan otot ‐ Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
menelan membaik ‐ Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis. Piramida
4. Perasaan cepat makanan)
kenyang menurun ‐ Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
5. Sariawan menurun ‐ Berikan makan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
6. Rambut rontok ‐ Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
menurun ‐ Berikan suplemen makanan, jika perlu
7. Frekuensi makan ‐ Hentikan pemberian makan melalui selang nasigastrik jika
membaik asupan oral dapat ditoleransi
Edukasi
‐ Anjurkan posisi duduk, jika mampu
‐ Ajarkan diet yang diprogramkan
Kolaborasi
‐ Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis.
Pereda nyeri, antiemetik), jika perlu
‐ Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah
kalori dan jenis nutrient yang dibutuhkan, jika perlU

3. Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan asuhan Manajemen Energi


(D.0056) keperawatan selama ... x Observasi
berhubungan dengan 24 jam diharapkan - identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan
peningkatan aktifitas
toleransi aktivitas kelelahan
penyakit, rasa nyeri
depresi meningkat dengan kriteria - monitor kelelahan fisik dan emosional
hasil: - monitor pola dan jam tidur
1. Kekuatan tubuh - monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan
bagian atas dan aktivitas
bawah meningkat Terapeutik
2. Kemudahan dalam - sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (mis.
melakukan aktivitas cahaya,suara, kunjungan)
sehari-hari meningkat - lakukan latihan rentang gerak pasif dan atau aktif
3. Keluhan lelah - berikan aktivitas distraksi yang menenangkan
menurun Edukasi
4. Dispnea saat aktivitas - anjurkan tirah baring
dan setelah menurun - anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
5. Aritmia saat aktivitas - anjurkan menghubungi perawat apabila tanda keletihan tidak
dan setelah aktivitas berkurang
menurun - ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan
6. Tekanan darah Kolaborasi
membaik - kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan
7. Frekuensi nafas makanan
membaik

4 Gangguan citra tubuh Setelah dilakukan asuhan Promosi citra tubuh


(D.0083) keperawatan selama ... x Observasi
berhubungan dengan 24 jam diharapkan ‐ Identifikasi harapan citra tubuh berdasarkan tahap
perubahan dan Citra tubuh meningkat perkembangan
ketergantungan fisik dengan kriteria hasil : ‐ Identifikasi budaya, agama, jenis kelami, dan umur terkait
serta psikologis yang 1. Verbalisasi citra tubuh
diakibatkan penyakit perasaan negatif ‐ Identifikasi perubahan citra tubuh yang mengakibatkan
kronik tentang isolasi sosial
perubahan ‐ Monitor frekuensi pernyataan kritik tehadap diri sendiri
tubuh menurun ‐ Monitor apakah pasien bisa melihat bagian tubuh yang
2. Verbalisasi berubah
kekhawatiran Terapeutik
pada ‐ Diskusikan perubahn tubuh dan fungsinya
penolakan ‐ Diskusikan perbedaan penampilan fisik terhadap harga diri
/reaksi orang ‐ Diskusikan akibat perubahan pubertas, kehamilan dan
lain menurun penuwaan
3. Respon ‐ Diskusikan kondisi stres yang mempengaruhi citra tubuh
nonverbal pada (mis.luka, penyakit, pembedahan)
perubahan ‐ Diskusikan cara mengembangkan harapan citra tubuh
tubuh membaik secara realistis
4. Hubungan ‐ Diskusikan persepsi pasien dan keluarga tentang perubahan
sosial membaik citra tubuh
Edukasi
‐ Jelaskan kepad keluarga tentang perawatan perubahan citra
tubuh
‐ Anjurka mengungkapkan gambaran diri terhadap citra
tubuh
‐ Anjurkan menggunakan alat bantu( mis. Pakaian , wig,
kosmetik)
‐ Anjurkan mengikuti kelompok pendukung( mis. Kelompok
sebaya).
‐ Latih fungsi tubuh yang dimiliki
‐ Latih peningkatan penampilan diri (mis. berdandan)
‐ Latih pengungkapan kemampuan diri kepad orang lain
maupun kelompok

5 Gangguan integritas Setelah dilakukan asuhan Perawatan Integritas Kulit


kulit berhubungan keperawatan selama ... x Observasi
dengan perubahan 24 jam diharapkan ‐ Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit (mis.
fungsi barier kulit, Integritas kulit dan Perubahan sirkulasi, perubahan status nutrisi, peneurunan
penumpukan jaringan meningkat kelembaban, suhu lingkungan ekstrem, penurunan
kompleks imun dengan kriteria hasil : mobilitas)
1. Kerusakan Terapeutik
lapisan kulit ‐ Ubah posisi setiap 2 jam jika tirah baring
menurun ‐ Lakukan pemijatan pada area penonjolan tulang, jika perlu
2. Kemerahan ‐ Bersihkan perineal dengan air hangat, terutama selama
menurun periode diare
3. Pigmentasi ‐ Gunakan produk berbahan petrolium  atau minyak pada
abnormal kulit kering
menurun ‐ Gunakan produk berbahan ringan/alami dan hipoalergik
4. Elastisitas pada kulit sensitif
meningkat ‐ Hindari produk berbahan dasar alkohol pada kulit kering
Edukasi
‐ Anjurkan menggunakan pelembab (mis. Lotin, serum)
‐ Anjurkan minum air yang cukup
‐ Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
‐ Anjurkan meningkat asupan buah dan saur
‐ Anjurkan menghindari terpapar suhu ektrime
‐ Anjurkan menggunakan tabir surya SPF minimal 30 saat
berada diluar rumah

6 Keletihan (D.0057) Setelah dilakukan asuhan Edukasi aktivitas/istirahat


berhubungan dengan keperawatan selama ... x Observasi
kondisi fisiologis 24 jam diharapkan ‐ Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi
penyakit kronis Tingkat keletihan Terapeutik
menurun dengan kriteria ‐ Sediakan materi dan media pengaturan aktivitas dan
evaluasi : istirahat
1. Verbalisasi ‐ Jadwalkan pemberian pendidikan kesehatan sesuai
kepulihan kesepakatan
energi ‐ Berikan kesempatan kepada pasien dan keluarga untuk
meningkat bertanya
2. Tenaga Edukasi
meningkat ‐ Jelaskan pentingnya melakukan aktivitas fisik/olahraga
3. Kemampuan secara rutin
melakukan ‐ Anjurkan terlibat dalam aktivitas kelompok, aktivitas
aktivitas rutin bermain atau aktivitas lainnya
meningkat ‐ Anjurkan menyusun jadwal aktivitas dan istirahat
4. Verbalisasi ‐ Ajarkan cara mengidentifikasi kebutuhan istirahat (mis.
lelah menurun kelelahan, sesak nafas saat aktivitas)
5. Gangguan ‐ Ajarkan cara mengidentifikasi target dan jenis aktivitas
konsentrasi sesuai kemampuan
menurun
6. Pola istirahat Manajemen Energi
membaik Observasi
‐ Identifkasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan
kelelahan
‐ Monitor kelelahan fisik dan emosional
‐ Monitor pola dan jam tidur
‐ Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan
aktivitas
Terapeutik
‐ Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (mis.
cahaya, suara, kunjungan)
‐ Lakukan rentang gerak pasif dan/atau aktif
‐ Berikan aktivitas distraksi yang menyenangkan
‐ Fasilitas duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat
berpindah atau berjalan
Edukasi
‐ Anjurkan tirah baring
‐ Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
‐ Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala
kelelahan tidak berkurang
‐ Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan
Kolaborasi
‐ Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan
asupan makanan
DAFTAR PUSTAKA

Persatuan Perawat Nasional Indonesia.2018.Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia


Cetakan 2.Jakarta:DPP PPNI
Persatuan Perawat Nasional Indonesia.2018.Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
Cetakan 2.Jakarta:DPP PPNI
Persatuan Perawat Nasional Indonesia.2018.Standar Luaran Keperawatan Indonesia
Cetakan 2.Jakarta:DPP PPNI

Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
&Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica
Ester,Yasmin asih, Jakarta : EGC.
Sudoyo Aru, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2. Edisi 4. Jakarta: Internal
Publishing.

Anda mungkin juga menyukai