(SLE)
Disusun oleh :
Maryani 2003021
YOGYAKARTA
2021
A. Pengertian SLE
Systemic Lupus Erytematosus (SLE) adalah penyakit autoimun, inflamasi kronis yang
dapat menyerang seluruh sistem organ tubuh, dan manifestasinya hilang-timbul. Istilah
“lupus” dalam bahasa latin berarti serigala, yang digunakan pertama kali di abad
pertengahan untuk menggambarkan lesi kulit erosif yang menyerupai gigitan serigala.
(Aldika Akbar, 2019)
Penyakit Syestemic Lupus Erytematosus adalah suatu penyakit yang menyerang seluruh
organ tubuh mulai dari ujung kaki hingga ujung rambut, yang disebabkan oleh penurunan
kekebalan tubuh manusia, dan lebih dikenal penyakit sebagai autoimun. (Roviati, 2012)
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang ditandai adanya
inflamasi yang tersebar luas, yang dapat mempengaruhi setiap organr sehingga
mengakibatkan kerusakan jaringan. (Nurarif & Kusuma, 2016)
B. Anatomi
Menurut (Syaiffudin,2012: 255) dalam (Safrida, 2020) Sistem imun adalah suatu sistem
kompleks yang memberikan respon imun (humoral dan selular) untuk menghadapi agen
asing seperti bakteri, virus, toksin atau zat lainnya.
Menurut (Syarifuddin, 2019) imunitas adalah suatu kemampuan tubuh dalam melawan
organisme atau toksin yang cenderung merusak jaringan dan organ tubuh.
Komponen sistem imun
1. Organ limfoid
Organ limfoid terdiri dari kelenjar limfe, tonsil, splee, timus dan sumsum tulang.
Kelenjar limfe berukuran 1-25 mm, ditemukan di sepanjang pembuluh limfatik. Di
jaringan limfoid terdapat banyak limfosit yang akan melawan agen perusak seperti
organisme asing atau toksin.
a) Jaringan limfoid di nodus limfe untuk melawan antigen yang menginvasi jaringan
perifer tubuh
b) Jaringan limfoid di tonsil dan adenoid untuk melawan antigen yang masuk
melalui saluran pernafasan
c) Jaringan limfoid di spleen, timus dan sumsum tulang untuk melawan antigen
yang berhasil mencapai sirkulasi darah
d) Jaringan limfoid di dinding saluran cerna untuk melawan antigen yang masuk
melalui usus
2. Makrofag
Dalam jaringan limfoid selain limfosit juga terdapat banyak makrofag. Mekanisme
makrofag dalam melawan antigen yang masuk ke dalam tubuh manusia, yakni
dengan:
a) Organisme yang menginvasi akan difagositosis dan sebgaian akan dicerna
makrofag., kemudian produk antigenik dilepaskan ke sitosol makrofag.. lalu
makrofag mentransfer antigen tersebut ke limfosit dengan cara kontak sel ke sel
sehingga menimbulkan aktivasi klon limfositik yang spesifik.
b) Makrofag menyekresikan interleuin-1, yaitu zat pengaktivasi khusus yang
meningkatkan pertumbuhan dan reproduksi limfosit spesifik.
3. Limfosit
a) Limfosit-B
Limfosit-B membentuk antibodi yang menyerang agen masuk ke dalam tubuh.
b) Limfosit-T
Limfosit-T berperan dalam imunitas yang diperantai sel (imunitas sel-T) untuk
menghancurkan benda asing. Di kelenjar timus, limfosit-T membelah secara
cepat untuk bereaksi melawan berbagai antigen spesifik.
4. Cara kerja sistem imun tubuh
Sistem kekebalan tubuh melindungi dalam tiga cara, yaitu :
a) Membentuk penghalang yang mencegah bakteri dan virus memasuki tubuh
b) Bakteri atau virus yang masuk ke dalam tubuh, sistem kekebalan tubuh
mengenalinya dan membunuh sebelum organisme berbahaya berusaha
memperbanyak diri/berkembang biak
c) Ketika virus atau bakteri berkembang biak dan menyebabkan masalah tubh, maka
sistem kekebalan tubuh bertanggung jawab memerangi dan membunuh
organisme berbahaya
5. Penyakit lupus atau SLE termasuk dalam gangguan autoimun dimana penyakit ini
sistem kekabalan tubuh mengalami kesalahan mengidentifikasi terhadap penyakit dan
mengira bagian tubuh yang sehat sebagai organisme yang buruk penyebab penyakit.
C. Klasifikasi SLE
Menurut (Kesehatan RI, 2017), penyakit lupus dikelompokkan dalam tiga jenis, yaitu :
1. Sistemik Lupus Eritematosus
Pasien dengan lupus diskoid, penyakitnya berkembang menjadi lupus sistemik yang
mempengaruhi organ internal yaitu sendi, paru-paru, ginjal, darah dan jantung. Lupus
ini ditandai dengan periode suar (penyakit ini aktif) dan periode remisi (penyakit tidak
aktif)
2. Lupus Eritematosus Kutaneus
Cutaneus Lupus disebut dengan discoid merupakan penyakit lupus yang terbatas pada
kulit. Biasanya penyakit ini ditandai dengan munculnya ruam pada wajah,leher, dan
kulit kepala tetapi yang tidak memengaruhi organ internal.
3. Drug Induced Lupus (DIL)
DIL atau lupus ini biasanya dipenagruhi oleh obat. Jenis ini disebabkan oleh reaksi
terhadap obat tertentu dan menyebabkan gejala mirip lupus sitemik. Obat yang sering
menimbulkan reaksi lupus adalah obat hipertensi hydralazine dan obat aritmia jantung
procainamide, obat TBC isoniazid, obat jerawat Minocycline, dan sebagainya. Gejala
penyakit ini akan mereda jika pasien berhenti mengkonsumsi obat pemicunya.
D. Etiologi SLE
Penyebab SLE secara spesifik belum diketahui, tetapi ada berbagai faktor dihubungkan
dengan munculnya penyakit ini, meliputi genetik, hormon, faktor lingkungan dan
epigenetic (Bartels, 2013) dan (Wahyuni, 2018)
1. Faktor genetik
Gen STAT4 merupakan faktor resiko genetik terhadap artritis rheumatoid dan SLE
yang dikaitkan dengan kejadian SLE berat. Salah satu komponen penentu jalur-jalur
ini adalah TNFAIP3 yang telah diketahui berperan dalam enam kelainan autoimun
termasuk SLE.
2. Efek epigenetik
Resiko penyakit SLE yang dipengaruhi efek epigenetik adalah metilasi DNA dan
modifikasi histon pasca translasi yang dapat terjadi baik diturunkan atau modifikasi
lingkungan. Epigenetik menggambarkan adanya perubahan warisan dalam ekpresi
gen yang disebabkan mekanisme selain perubahan urutan basa DNA.
3. Faktor lingkungan
Sinar ultraviolet merupakan pemicu SLE yang berasal dari lingkungan. Paparan UV2
dan UVB melalui proses tanning kulit kecantikan dapat mengeksaserbasi penyakit
kulit pada pasien kelainan ini. Akibat terpapar matahari adalah defisiensi vitamin D
yang berkaitan dengan aktivitas penyakit. Faktor lingkungan lainnya adalah merokok,
infeksi , estrogen eksogen, obat-obatan, agen biologis dan pestisida, alkohol dan
vaksinasi.
4. Faktor hormonal
Insiden SLE meningkat setelah pubertas dan menurun setelah menopause. Tingkat
keparahan penyakit meningkat saat hamil dan siklus menstruasi. Faktor-faktor seperti
menarch dini, pemakaian kontrasepsi oral, menopause dini, menopause surgikal, dan
penggunaan hormon pasca menopause berkaitan dengan tingginya penyakit SLE.
(Wahyuni, 2018)
Genetik, kuman/virus,
sinar ultraviolet, obat-
Perfusi perifer tidak efektif Pembentukan lupus obatan tertentu
Risiko Infeksi
Keletihan
Nyeri Pembengkakan
inflamasi efusi
Gangguan
mobilitas fisik
Secara imunologis ditandai dengan penurunan jumlah limfosit T dan leukosit atau
leukopenia. Limfosit tidak hanya memfagosit bakteri yang merusak tubuh tetapi juga
membentuk antibodi untuk melindungi tubuh terhadap infeksi dan mempertahankan
kekebalan tubuh. Pada SLE terdapat kelaianan penyebab apoptosis pada limfosit T
menjadi meningkat yang menimbulkan terstimulasinya limfsit B autoreaktif dan
menyebabkan meningkatnya respon stimulus sitokin dan prostaglandin. Limfosit T
autoreaktif yang salah dalam mengenali antigen yang seharusnya diserang limfosit B
justru akan menyerang sel, jaringan dan organ tubuh yang lain. (Suselo, Balgis, & Indarto,
2016)
H. Penatalaksaan SLE
Menurut (Nurarif & Kusuma, 2016), penatalaksanaan SLE meliputi obat, diet, dan
aktivitas. Alat pemantau pengobatan SLE adalah evaluasi klinis dan laboratorium yang
digunakan untuk menyesuaikan obat dan mengenali serta menganani aktivitas penyakit.
Tujuan pengobatan adalah mengontrol manifestasi penyakit dan mencegah kerusakan
organ serius penyebab kematian.
Obat-obatan yang dibutuhkan, yaitu :
1. Antiinflamasi : non steroid, untuk pengobatana simptomatik artralgia nyeri sendi
2. Antimalaria : diberikan untuk lupus diskoid, pemakaian jangka panjang memerlukan
evaluasi retina setiap 6 bulan
3. Kortikosteroid : untuk (dosis rendah) mengatasi gejala klinis seperti demam,
dermatitis, efusi pleura. Sedangkan untuk (dosis tinggi) untuk mengatasi krisis lupus,
gejala nefritis, SSP, anemia hemolitik
4. Obat imunosupresan diberikan karena keterlibatan SSP, nefritis difus, anemia
hemolitik akut, dan resisten terhadap pemberian kortikosteroid
5. Obat antihipertensi : mengatasi hipertensi pada nefritis lupus yang agresif
6. Diet : pasien memerlukan kortikosteroid maka diperbolehkan diet yang mengandung
cukup kalsium, rendah lemak, dan rendah garam. Pasien diharapkan hati-hati dengan
suplemen makanan dan obat tradisional.
7. Aktivitas: olahraga diperlukan untuk mempertahankan densitas tulang dan berat badan
normal. Tetapi olahraga tidak boleh berlebihan karena bisa lelah dan stress yang
mengakibatkan kekambuhan. Pasien disarankan menghindari sinar matahari, jika
terpaksa bisa menggunakan krim pelindung matahari (sunblock) setiap 2 jam.
8. Kalsium : pasien yang mengalami atritis dan mendapat terapi prednison beresiko
mengalami osteopenia yang memerlukan suplemen kalsium.
9. Penatalaksaan infeksi: lakukan pengobatan segera bila terjadi infeksi bakteri. Kelainan
urin harus segera ditindaklanjuti karena bisa kemungkinan terjadi pielonefritis.
3. Riwayat Bio-Psiko-Sosial
a. Persepsi – manajemen kesehatan
Biasanya klien tidak sadar akan penyakitnya, meski mengalami demam klien merasa
bahwa hanya demam biasa
b. Nutrisi – metabolik
Biasanya klien mengeluh kurang nafsu makan serta mual muntah sehingga berat
badan menurun
c. Eliminasi
Biasanya klien akan mengalami diare
d. Aktivitas – latihan
Pasien biasanya mengeluh nueri pada bagian sendi
e. Istirahat – tidur
Klien dapat mengalami gangguan tidur karena nyeri sendi yang dirasakannya
f. Kognitif – persepsi
Jika adanya lesi pada jari-jari tangan, maka daya perabaan akan terganggu. Pada
sistem neurologis, penderita bisa mengalami depresi dan psikologis.
g. Konsep diri
Adanya lesi yang menimbulkan bekas dan warna yang buruk pada kulit, klien
biasanya merasa terganggu dan malu
h. Peran – hubungan
Klien biasanya tidak mampu melakukan pekerjaan namun masih bisa berkomunikasi
i. Seksual – reproduksi
Klien biasanya tidak terganggu dalam aktivitas seksual dan reproduksi
j. Koping – stress
Biasanya klien mengalami depresi dan stress terhadap penyakitnya. Maka klien
butuh dukungan keluarga serta lingkungan untuk kesembuhan klien.
k. Nilai – kepercayaan
Keterbatasan aktivitas biasanya menganggu aktivitas ibadah klien karena nyeri yang
dirasakan
4. Pemeriksaan Fisik
a. Kepala-Leher
Biasanya klien mengalami lesi pada kulit kepala dan kerontokan, pada bagian muka
terdapat ruam kupu-kupu, adanya lesi pada mukosa mulut, kelenjar tiroid menalami
abnormal (hypeparathyroidisme)
b. Dada
Biasanya klien serig timbul nyeri dada dan sesak nafas, dapat mengalami seranga
bagian paru (pleurisy,pleural effusion,pneumonitis, interstilsiel fibrosis), dapat
mengalami seranga bagian jantung (perikarditis,myokarditis, endokarditis,
vaskulitis)
c. Abdomen
Biasanya klien mengalami hepatomegali/pembesaran hepar, nyeri pada perut.
d. Ekstremitas
Pada penderita SLE dijumpai lesi vaskulitik pada jari-jari tangan dan jari-jari kaki,
dan merasakan nyeri sendi.
e. Integumen
Pada integumen ditemukan bercak di kulit dan bintik merah di kulit.
Aldika Akbar, M. I. (2019). SLE dalam Kehamilan. Surabaya: Airlangga University Press.
Kesehatan RI, K. (2017). Klasifikasi Penyakit LES. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis Jilid 2. Yogyakarta:
Mediaction.
Roviati, E. (2012). Syestemic Lupus Erytematosus (SLE) : Kelainan Autoimun Bawaan yang
Langka dan Mekanisme Biokimiawinya. Scientiae Educatia Volume 1 Edisi 2, 1-15.
Safrida. (2020). Anatomi dan Fisiologi Manusia. Banda Aceh: Syiah Kuala University Press.
Suselo, Y. H., Balgis, & Indarto, D. (2016). MKB. Ekspresi CD3 dan CD26 pada Limfosit T
sebagai Biomarker Potensial Penyakit Systemic Lupus Erythematosus, 140-146.
Syarifuddin. (2019). Imunologi Dasar: Prinsip Dasar Sistem Kekebalan Tubuh. Surabaya:
Cendikia Publisher.
Wahyuni, S. (2018). Kedokteran dan Kesehatan Malikussaleh. Peran Imunitas Humoral pada
Penyakit Systemic Lupus Erytematosus (SLE) , 1-10.
Waluyo, S., & Putra, B. M. (2012). 100 Question & Answers LUPUS. Jakarta: PT Gramedia.