Anda di halaman 1dari 13

SYSTEMIC LUPUS ERYTEMATOSUS

(SLE)

Disusun oleh :

Christina Nastiti Bellawati 2003003

Yohanis Jaga Ngara 2003012

Maryani 2003021

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SARJANA KEPERAWATAN

STIKES BETHESDA YAKKUM

YOGYAKARTA

2021
A. Pengertian SLE
Systemic Lupus Erytematosus (SLE) adalah penyakit autoimun, inflamasi kronis yang
dapat menyerang seluruh sistem organ tubuh, dan manifestasinya hilang-timbul. Istilah
“lupus” dalam bahasa latin berarti serigala, yang digunakan pertama kali di abad
pertengahan untuk menggambarkan lesi kulit erosif yang menyerupai gigitan serigala.
(Aldika Akbar, 2019)

Penyakit Syestemic Lupus Erytematosus adalah suatu penyakit yang menyerang seluruh
organ tubuh mulai dari ujung kaki hingga ujung rambut, yang disebabkan oleh penurunan
kekebalan tubuh manusia, dan lebih dikenal penyakit sebagai autoimun. (Roviati, 2012)

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang ditandai adanya
inflamasi yang tersebar luas, yang dapat mempengaruhi setiap organr sehingga
mengakibatkan kerusakan jaringan. (Nurarif & Kusuma, 2016)

B. Anatomi
Menurut (Syaiffudin,2012: 255) dalam (Safrida, 2020) Sistem imun adalah suatu sistem
kompleks yang memberikan respon imun (humoral dan selular) untuk menghadapi agen
asing seperti bakteri, virus, toksin atau zat lainnya.
Menurut (Syarifuddin, 2019) imunitas adalah suatu kemampuan tubuh dalam melawan
organisme atau toksin yang cenderung merusak jaringan dan organ tubuh.
Komponen sistem imun
1. Organ limfoid
Organ limfoid terdiri dari kelenjar limfe, tonsil, splee, timus dan sumsum tulang.
Kelenjar limfe berukuran 1-25 mm, ditemukan di sepanjang pembuluh limfatik. Di
jaringan limfoid terdapat banyak limfosit yang akan melawan agen perusak seperti
organisme asing atau toksin.
a) Jaringan limfoid di nodus limfe untuk melawan antigen yang menginvasi jaringan
perifer tubuh
b) Jaringan limfoid di tonsil dan adenoid untuk melawan antigen yang masuk
melalui saluran pernafasan
c) Jaringan limfoid di spleen, timus dan sumsum tulang untuk melawan antigen
yang berhasil mencapai sirkulasi darah
d) Jaringan limfoid di dinding saluran cerna untuk melawan antigen yang masuk
melalui usus
2. Makrofag
Dalam jaringan limfoid selain limfosit juga terdapat banyak makrofag. Mekanisme
makrofag dalam melawan antigen yang masuk ke dalam tubuh manusia, yakni
dengan:
a) Organisme yang menginvasi akan difagositosis dan sebgaian akan dicerna
makrofag., kemudian produk antigenik dilepaskan ke sitosol makrofag.. lalu
makrofag mentransfer antigen tersebut ke limfosit dengan cara kontak sel ke sel
sehingga menimbulkan aktivasi klon limfositik yang spesifik.
b) Makrofag menyekresikan interleuin-1, yaitu zat pengaktivasi khusus yang
meningkatkan pertumbuhan dan reproduksi limfosit spesifik.
3. Limfosit
a) Limfosit-B
Limfosit-B membentuk antibodi yang menyerang agen masuk ke dalam tubuh.
b) Limfosit-T
Limfosit-T berperan dalam imunitas yang diperantai sel (imunitas sel-T) untuk
menghancurkan benda asing. Di kelenjar timus, limfosit-T membelah secara
cepat untuk bereaksi melawan berbagai antigen spesifik.
4. Cara kerja sistem imun tubuh
Sistem kekebalan tubuh melindungi dalam tiga cara, yaitu :
a) Membentuk penghalang yang mencegah bakteri dan virus memasuki tubuh
b) Bakteri atau virus yang masuk ke dalam tubuh, sistem kekebalan tubuh
mengenalinya dan membunuh sebelum organisme berbahaya berusaha
memperbanyak diri/berkembang biak
c) Ketika virus atau bakteri berkembang biak dan menyebabkan masalah tubh, maka
sistem kekebalan tubuh bertanggung jawab memerangi dan membunuh
organisme berbahaya
5. Penyakit lupus atau SLE termasuk dalam gangguan autoimun dimana penyakit ini
sistem kekabalan tubuh mengalami kesalahan mengidentifikasi terhadap penyakit dan
mengira bagian tubuh yang sehat sebagai organisme yang buruk penyebab penyakit.
C. Klasifikasi SLE
Menurut (Kesehatan RI, 2017), penyakit lupus dikelompokkan dalam tiga jenis, yaitu :
1. Sistemik Lupus Eritematosus
Pasien dengan lupus diskoid, penyakitnya berkembang menjadi lupus sistemik yang
mempengaruhi organ internal yaitu sendi, paru-paru, ginjal, darah dan jantung. Lupus
ini ditandai dengan periode suar (penyakit ini aktif) dan periode remisi (penyakit tidak
aktif)
2. Lupus Eritematosus Kutaneus
Cutaneus Lupus disebut dengan discoid merupakan penyakit lupus yang terbatas pada
kulit. Biasanya penyakit ini ditandai dengan munculnya ruam pada wajah,leher, dan
kulit kepala tetapi yang tidak memengaruhi organ internal.
3. Drug Induced Lupus (DIL)
DIL atau lupus ini biasanya dipenagruhi oleh obat. Jenis ini disebabkan oleh reaksi
terhadap obat tertentu dan menyebabkan gejala mirip lupus sitemik. Obat yang sering
menimbulkan reaksi lupus adalah obat hipertensi hydralazine dan obat aritmia jantung
procainamide, obat TBC isoniazid, obat jerawat Minocycline, dan sebagainya. Gejala
penyakit ini akan mereda jika pasien berhenti mengkonsumsi obat pemicunya.

D. Etiologi SLE
Penyebab SLE secara spesifik belum diketahui, tetapi ada berbagai faktor dihubungkan
dengan munculnya penyakit ini, meliputi genetik, hormon, faktor lingkungan dan
epigenetic (Bartels, 2013) dan (Wahyuni, 2018)
1. Faktor genetik
Gen STAT4 merupakan faktor resiko genetik terhadap artritis rheumatoid dan SLE
yang dikaitkan dengan kejadian SLE berat. Salah satu komponen penentu jalur-jalur
ini adalah TNFAIP3 yang telah diketahui berperan dalam enam kelainan autoimun
termasuk SLE.
2. Efek epigenetik
Resiko penyakit SLE yang dipengaruhi efek epigenetik adalah metilasi DNA dan
modifikasi histon pasca translasi yang dapat terjadi baik diturunkan atau modifikasi
lingkungan. Epigenetik menggambarkan adanya perubahan warisan dalam ekpresi
gen yang disebabkan mekanisme selain perubahan urutan basa DNA.
3. Faktor lingkungan
Sinar ultraviolet merupakan pemicu SLE yang berasal dari lingkungan. Paparan UV2
dan UVB melalui proses tanning kulit kecantikan dapat mengeksaserbasi penyakit
kulit pada pasien kelainan ini. Akibat terpapar matahari adalah defisiensi vitamin D
yang berkaitan dengan aktivitas penyakit. Faktor lingkungan lainnya adalah merokok,
infeksi , estrogen eksogen, obat-obatan, agen biologis dan pestisida, alkohol dan
vaksinasi.
4. Faktor hormonal
Insiden SLE meningkat setelah pubertas dan menurun setelah menopause. Tingkat
keparahan penyakit meningkat saat hamil dan siklus menstruasi. Faktor-faktor seperti
menarch dini, pemakaian kontrasepsi oral, menopause dini, menopause surgikal, dan
penggunaan hormon pasca menopause berkaitan dengan tingginya penyakit SLE.
(Wahyuni, 2018)

E. Manifestasi klinis SLE


Gejala awal penyakit SLE ditandai gejala klinis yang tidak spesifik, antara lain lemah,
kelelahan yang sangat, lesu berkepanjangan, panas ,demam, mual, nafsu makan menurun,
dan berat badan menurun (Roviati, 2012)

Menurut American College of Rheumatology yang dikutip dalam jurnal (Roviati,


2012),diagnosis SLE harus memenuhi empat dari sebelas kriteria yang ditetapkan, yaitu :
1) Ruam kemerahan pada kedua pipi melalui hidung sehingga seperti ada bentukan kupu-
kupu, istilah medisnya Malar Rash/ Butterfly Rash.
2) Bercak kemerahan berbentuk bulat pada bagian kulit yang ditandai adanya jaringan
parut yang lebih tinggi dari permukaan kulit sekitarnya.
3) Fotosensitive, yaitu timbulnya ruam pada kult oleh karena sengatan sinar matahari.
4) Luka di mulut dan lidah seperti sariawan (oral ulcers)
5) Nyeri pada sendi-sendi. Sendi berwarna kemerahan dan bengkak. Gejala ini dijumpai
pada 90% odapus.
6) Gejala pada paru-paru dan jantung berupa selaput pembungkus berisi cairan.
7) Gangguan pada ginjal yaitu terdapat protein dalam urine.
8) Gangguan pada otak.sistem saraf mulai dari depresi, kejang stroke, dan lai-lain.
9) Kelainan pada sistem darah di mana jumlah sel darah putih dan trombosit berkurang
dan biasanya terjadi anemia.
10) Tes ANA (Antinuclear Antbody) positif.
11) Gangguan sistem kekebalan tubuh.
F. Patofiologi/Patoflowgram SLE (Nurarif & Kusuma, 2016)

Autoimun menyeranng Peningkatan autoimun


organ-organ tubuh (sel, berlebihan
jaringan

Genetik, kuman/virus,
sinar ultraviolet, obat-
Perfusi perifer tidak efektif Pembentukan lupus obatan tertentu

Produksi antibodi secara Pencetus penyakit


terus menerus inflamasi multi organ

Sendi Kulit Otak Hati Paru-paru Darah Ginjal

Terjadi kerusakan sintesa Efusi Pleura Hb menurun Protein urinari,


Suplai oksigen ke otak
Terjadi artritis Ruam kupu-kupu, SLE zat-zat dibutuhkan tubuh sindrom nefrotik
menurun
membram, alopesia, urtikaria (mual, muntah)
Pola nafas tidak Penurunan suplai
dan vaskulitis, ulserasi Retensi urin
Hipoksia efektif oksigen/nutrien
dimulut dan nasofaring
Defisit Nutrisi

Gangguan citra tubuh Leucopenia Anemia,


Kerusakan Integritas Kulit trombositopenia

Risiko Infeksi
Keletihan
Nyeri Pembengkakan
inflamasi efusi

Aktivitas menurun Ansietas


Nyeri akut

Gangguan
mobilitas fisik
Secara imunologis ditandai dengan penurunan jumlah limfosit T dan leukosit atau
leukopenia. Limfosit tidak hanya memfagosit bakteri yang merusak tubuh tetapi juga
membentuk antibodi untuk melindungi tubuh terhadap infeksi dan mempertahankan
kekebalan tubuh. Pada SLE terdapat kelaianan penyebab apoptosis pada limfosit T
menjadi meningkat yang menimbulkan terstimulasinya limfsit B autoreaktif dan
menyebabkan meningkatnya respon stimulus sitokin dan prostaglandin. Limfosit T
autoreaktif yang salah dalam mengenali antigen yang seharusnya diserang limfosit B
justru akan menyerang sel, jaringan dan organ tubuh yang lain. (Suselo, Balgis, & Indarto,
2016)

G. Pemeriksaan Penunjang SLE


Untuk menegakkan diagnosis, maka dilakukan pemeriksaan sebagai berikut: (Waluyo &
Putra, 2012) dan (Kemenkes RI, 2018)
1) Tes darah, berupa tes antibodi, hitung sel darah (blood count,CB), sedimentasi
(sedimentation rate), complement studies, tes kimia darah : penderita lupus dapat
mengalami anemia sehingga dapat diketahui melalui pemeriksaan sel darah lengkap,
selain itu juga dapa mengalami kekurangan sel darah putih atau trombosit.
2) Urinalisis, memeriksa urine 24 jam untuk evaluasi kondisi ginjal : urine pada penderita
lupus dapat mengalami kenaikan kandungan protein da sel darah merah. Kondisi ini
menandakan bahwa lupus menyerang ke ginjal.
3) Biopsi kulit : untuk mengetahui ada tidaknya jaringan abnormal pada kulit
4) Rontgen dada : lupus dapat menyebabkan peradangan pada paru-paru, ditandai dengan
adanya cairan di paru-paru.
5) Ekokardiogram : lupus dapat menyebabkan kerusakan katup dan otot jantung sehingga
dapat diketahui melalui ekokardiogram.
6) Pemeriksaan ANA (antinuclear antibody) : digunaka untuk memeriksa sel antibodi
dalam darah dimana banyak penderita SLE memilikinya.
7) Pemeriksaan imunlogi (anti dsDNA antibody, anti Sm antibody, antiphospholipid
antibody, syphilis, lupus anticoagulant dan Coombs’test) : untuk menentukan
diagnosis SLE
8) Tes komplemen C3 dan C4 : komplemen adalah senyawa dalam darah yang
membentuk sistem kekebalan tubuh. Level komplemen darah akan menurun seiring
aktifnya SLE.

H. Penatalaksaan SLE
Menurut (Nurarif & Kusuma, 2016), penatalaksanaan SLE meliputi obat, diet, dan
aktivitas. Alat pemantau pengobatan SLE adalah evaluasi klinis dan laboratorium yang
digunakan untuk menyesuaikan obat dan mengenali serta menganani aktivitas penyakit.
Tujuan pengobatan adalah mengontrol manifestasi penyakit dan mencegah kerusakan
organ serius penyebab kematian.
Obat-obatan yang dibutuhkan, yaitu :
1. Antiinflamasi : non steroid, untuk pengobatana simptomatik artralgia nyeri sendi
2. Antimalaria : diberikan untuk lupus diskoid, pemakaian jangka panjang memerlukan
evaluasi retina setiap 6 bulan
3. Kortikosteroid : untuk (dosis rendah) mengatasi gejala klinis seperti demam,
dermatitis, efusi pleura. Sedangkan untuk (dosis tinggi) untuk mengatasi krisis lupus,
gejala nefritis, SSP, anemia hemolitik
4. Obat imunosupresan diberikan karena keterlibatan SSP, nefritis difus, anemia
hemolitik akut, dan resisten terhadap pemberian kortikosteroid
5. Obat antihipertensi : mengatasi hipertensi pada nefritis lupus yang agresif
6. Diet : pasien memerlukan kortikosteroid maka diperbolehkan diet yang mengandung
cukup kalsium, rendah lemak, dan rendah garam. Pasien diharapkan hati-hati dengan
suplemen makanan dan obat tradisional.
7. Aktivitas: olahraga diperlukan untuk mempertahankan densitas tulang dan berat badan
normal. Tetapi olahraga tidak boleh berlebihan karena bisa lelah dan stress yang
mengakibatkan kekambuhan. Pasien disarankan menghindari sinar matahari, jika
terpaksa bisa menggunakan krim pelindung matahari (sunblock) setiap 2 jam.
8. Kalsium : pasien yang mengalami atritis dan mendapat terapi prednison beresiko
mengalami osteopenia yang memerlukan suplemen kalsium.
9. Penatalaksaan infeksi: lakukan pengobatan segera bila terjadi infeksi bakteri. Kelainan
urin harus segera ditindaklanjuti karena bisa kemungkinan terjadi pielonefritis.

I. Discharge Planning SLE


Menurut (Nurarif & Kusuma, 2016), discharge planning pada pasien SLE, adalah :
1. Pelajari cara pengendalian gejala penyakit dan penanganannya
2. Lindungi kulit yang sehat terhadap kemungkinan maserasi
3. Jaga dengan cermat terhadap resiko terjadinya cedera termal akibat penggunaan
kompres hangat yang terlalu panas
4. Gunakan kosmetik dan preparat tabir surya
5. Istirahat yang cukup

J. Konsep Asuhan Keperawatan SLE


1. Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin (lebih banyak pada wanita), umur, alamat, pendidikan,
pekerjaan, suku bangsa, no register, tanggal masuk rumah sakit.
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Biasanya klien dengan SLE mengeluh mudah lelah, lemah, nyeri, kaku,
demam/panas, anoreksia dan efek gejala yaitu perubahan gaya hidup dan citra diri
pasien.
b. Riwayat penyakit sekarang
Pasien biasanya mengeluh mudah lelah, lemah, nyeri, kaku tetapi setiap respon
orang berbeda-beda tergantung imunitas masing-masing.
c. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit dahulu tidak spesifik tetapi akan adanya keluhan mudah lelah,
lemah, nyeri, kaku, anoreksia dan berat badan menurun
d. Riwayat kesehatan keluarga
Pasien yang mempunyai keluarga yang pernah terkena penyakit SLE dicurigai
cenderung untuk terkena penyakit ini.

3. Riwayat Bio-Psiko-Sosial
a. Persepsi – manajemen kesehatan
Biasanya klien tidak sadar akan penyakitnya, meski mengalami demam klien merasa
bahwa hanya demam biasa
b. Nutrisi – metabolik
Biasanya klien mengeluh kurang nafsu makan serta mual muntah sehingga berat
badan menurun
c. Eliminasi
Biasanya klien akan mengalami diare
d. Aktivitas – latihan
Pasien biasanya mengeluh nueri pada bagian sendi
e. Istirahat – tidur
Klien dapat mengalami gangguan tidur karena nyeri sendi yang dirasakannya
f. Kognitif – persepsi
Jika adanya lesi pada jari-jari tangan, maka daya perabaan akan terganggu. Pada
sistem neurologis, penderita bisa mengalami depresi dan psikologis.
g. Konsep diri
Adanya lesi yang menimbulkan bekas dan warna yang buruk pada kulit, klien
biasanya merasa terganggu dan malu
h. Peran – hubungan
Klien biasanya tidak mampu melakukan pekerjaan namun masih bisa berkomunikasi
i. Seksual – reproduksi
Klien biasanya tidak terganggu dalam aktivitas seksual dan reproduksi
j. Koping – stress
Biasanya klien mengalami depresi dan stress terhadap penyakitnya. Maka klien
butuh dukungan keluarga serta lingkungan untuk kesembuhan klien.
k. Nilai – kepercayaan
Keterbatasan aktivitas biasanya menganggu aktivitas ibadah klien karena nyeri yang
dirasakan

4. Pemeriksaan Fisik
a. Kepala-Leher
Biasanya klien mengalami lesi pada kulit kepala dan kerontokan, pada bagian muka
terdapat ruam kupu-kupu, adanya lesi pada mukosa mulut, kelenjar tiroid menalami
abnormal (hypeparathyroidisme)
b. Dada
Biasanya klien serig timbul nyeri dada dan sesak nafas, dapat mengalami seranga
bagian paru (pleurisy,pleural effusion,pneumonitis, interstilsiel fibrosis), dapat
mengalami seranga bagian jantung (perikarditis,myokarditis, endokarditis,
vaskulitis)
c. Abdomen
Biasanya klien mengalami hepatomegali/pembesaran hepar, nyeri pada perut.
d. Ekstremitas
Pada penderita SLE dijumpai lesi vaskulitik pada jari-jari tangan dan jari-jari kaki,
dan merasakan nyeri sendi.
e. Integumen
Pada integumen ditemukan bercak di kulit dan bintik merah di kulit.

5. Diagnosa Keperawatan (SDKI, 2017)


a. Nyeri akut b.d inflamasi dan kerusakan jaringan
b. Keletihan b.d peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi
c. Gangguan integritas kulit b.d penurunan rentang gerak, kelemahan otot, rasa nyeri
saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik
d. Gangguan mobilitas fisik b.d perubahan dan ketergantungan serta psikologis yang
diakibatkan penyakit kronik
e. Gangguan citra tubuh b.d perubahan pada struktur kulit (proses penyakit SLE)
6. Intervensi keperawatan (SIKI, 2018)

Diagnosa Keperawatan Tujuan Dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan


Nyeri akut b.d inflamasi dan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Identifikasi nyeri termasuk lokasi, karakteristik,
kerusakan jaringan selama 3x24 jam, maka tingkat nyeri menurun onset/durasi, frekuensi, kualitas dan faktor pencetus
dengan kriteria hasil : 2. Observasi tanda nonverbal ketidaknyamanan
a. Keluhan nyeri menurun 3. Berikan tindakan yang memberikan kenyamanan
b. Meringis menurun seperti kompres panas/dingin, masase, rubah posisi
c. Frekuensi nadi menurun istirahat, aktivitas mengalihkan perhatian
4. Edukasi pasien dan keluarga untuk implementasi
manajemen nyeri nonfamaklogi
5. Kolaborasi dengan dokter pemberian antiinflamasi,
analgesik
Keletihan b.d peningkatan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Identifikasi status fisik pasien untuk keletihan
aktivitas penyakit, rasa nyeri, selama 2x24 jam, maka tingkat keletihan dengan memperhatikan umur dan perkembangan
depresi membaik dengan kriteria hasil : 2. Monitor asupan nutrisi untuk mendukung sumber
energi yang adekuat
a. Kemampuan melakukan aktivitas rutin
3. Tentukan aktivitas yang boleh dilakukan dan
meningkat
seberapa berat aktivitasnya
b. Verbalisasi lelah menurun
4. Dorong pasien untuk beristirahat sesuai jadwal
c. Pola istirahat membaik
5. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang peningkatan
asupan energi
Gangguan integritas kulit b.d Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit, mis.
penurunan rentang gerak, selama 2x24 jam, integritas kulit meningkat penurunan status nutrisi, penurunan kelembaban,
kelemahan otot, rasa nyeri saat dengan kriteria hasil: suhu lingkungan ekstrem, penurunan mobilitas.
2. Ubah posisi tiap 2 jam tirah baring
bergerak, keterbatasan daya a. Elastisitas meningkat
3. Gunakan produk berbahan ringan/alami dan
tahan fisik b. Kemerahan menurun
hipoalergik pada kulit sensitif
c. Tekstur membaik
4. Anjurkan minum air yang cukup dan asupan nutrisi
(buah dan sayur)
5. Anjurkan menggunakan tabir surya SPF minimal 30
saat berada di luar rumah
Gangguan mobilitas fisik b.d Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
perubahan dan ketergantungan selama 2x24 jam, mobilitas fisik menngkat 2. Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi
serta psikologis yang dengan kriteria hasil : 3. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu
4. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam
diakibatkan penyakit kronik a. Pergerakan ekstremitas meningkat
meningkatkan pergerakan
b. Kekuatan otot meningkat
5. Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
c. Gerakan terbatas menurn
6. Anjurkan kepada pasien melakukan mobilisasi
sederhana, mis. duduk ditempat tidur, duduk di sisi
tempat tidur, pindah dari tempat tidur ke kursi.
Gangguan citra tubuh b.d Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Monitor frekuensi pasien tentang kritik terhadap
perubahan pada struktur kulit selama 2x24 jam, citra tubuh meningkat dirinya
(proses penyakit SLE) dengan kriteria hasil: 2. Identifikasi kelompok dukungan untuk pasien
3. Gunakan anticipatori guidance untuk menyiapkan
a. Melihat bagian tubuh membaik
pasien untuk perubahan yang dapat diprediksi pada
b. Verbalisasi perasaan negatif tentang
tubuhnya.
perubahan tubuh menurun
4. Edukasi pada pasien tentang penyebab penyakit dan
c. Hubungan sosial membaik
penyebab terjadinya perubahan pada tubuh
5. Tentukan harapan pasien tentang citra tubuhnya
berdasarkan tingkat perkembangan

7. Evaluasi Keperawatan SLE


a. Skala nyeri normal dan nyeri berkurang
b. Aktivitas sehari-hari teratur sesuai kebutuhan dan disesuaikan dengan kondisi klien
c. Klien dapat melakukan imobilisasi dalam memenuhi kegiatan sehari-harinya
d. Integritas kulit kembali normal (elastis, halus dan bersih)
e. Klien mengerti dan menerima terhadap penyakitnya
DAFTAR PUSTAKA

Aldika Akbar, M. I. (2019). SLE dalam Kehamilan. Surabaya: Airlangga University Press.

Bartels, C. M. (2013). Systemic Lupus Erythemtosus (SLE).

Kemenkes RI, P. (2018). Diagnosis Lupus. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik


Indonesia.

Kesehatan RI, K. (2017). Klasifikasi Penyakit LES. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis Jilid 2. Yogyakarta:
Mediaction.

Roviati, E. (2012). Syestemic Lupus Erytematosus (SLE) : Kelainan Autoimun Bawaan yang
Langka dan Mekanisme Biokimiawinya. Scientiae Educatia Volume 1 Edisi 2, 1-15.

Safrida. (2020). Anatomi dan Fisiologi Manusia. Banda Aceh: Syiah Kuala University Press.

SDKI. (2017). Standar Diagnosis Kperawatan Indonesia. Jakarta: PPNI.

SIKI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta: 2018.

Suselo, Y. H., Balgis, & Indarto, D. (2016). MKB. Ekspresi CD3 dan CD26 pada Limfosit T
sebagai Biomarker Potensial Penyakit Systemic Lupus Erythematosus, 140-146.

Syarifuddin. (2019). Imunologi Dasar: Prinsip Dasar Sistem Kekebalan Tubuh. Surabaya:
Cendikia Publisher.

Wahyuni, S. (2018). Kedokteran dan Kesehatan Malikussaleh. Peran Imunitas Humoral pada
Penyakit Systemic Lupus Erytematosus (SLE) , 1-10.

Waluyo, S., & Putra, B. M. (2012). 100 Question & Answers LUPUS. Jakarta: PT Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai