Anda di halaman 1dari 7

TAZKIYATUN NAFS

Kita akan membahas Tazkiyatun Nafs, sesuatu yang sangat mendasar dan penting. Karena
esensi ibadah kita sesungguhnya di situ. Jangan sampai kita melakukan ibadah, melakukan
banyak ketaatan, tapi jiwa kita tidak tersentuh. Hanya sekedar seperti robot, hanya sekedar
mekanis, hanya sekedar caranya begitu. Tapi kita lupa bahwa sesungguhnya ini adalah bab di
mana tazkiyatun nafs adalah sesuatu yang sangat penting yang kita bisa kerjakan di sini. Apa
itu? Membersihkan jiwa. Dan puasa atau Ramadhan itu sangat sangat dekat dengan hal ini.

Ada lima tingkat tazkiyatun nafs yang kita bisa lakukan. Yang pertama, mu’ahadah, artinya
membuat komitmen, memperbaiki perjanjian. Perjanjian yang paling pertama Allah tetapkan
kepada kita adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya Rabb. Sebagaimana Allah sudah
jelaskan itu dalam surah Al-A’raf ayat 172, ketika Allah berfirman kepada para jiwa yang
jiwa itu belum dilahirkan ke dunia Allah sudah angkat perjanjian dari diri kita, “Alastu
birobbikum qooluu balaa syahidna”. Bukankah aku ini Tuhanmu? Lalu kita akan mengatakan
betul. Semua orang di dalam hatinya mengatakan bahwa Allah itu Tuhan. Semua orang baik
sukarela atau terpaksa pasti tahu ketika disebut siapa Tuhanmu, mereka akan mengatakan
Allah. Ini janji. Dan kitapun lahir. Kemudian Allah juga menetapkan atas kita fitrah
sebagaimana firman Allah dalam surah Ar-Rum ayat 30, “Maka hadapkanlah wajahmu
dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus;
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” Kita ini sudah janji pada Allah. Janji untuk
apa? Janji untuk dalam kondisi taat. Janji untuk dalam kondisi tunduk patuh pada Allah.
Menjauhi diri kita dari dosa dan maksiat. Tapi seringkali perjanjian itu kita langgar. Maka
dalam Ramadhan, kita ingat lagi, bahwa janji hidup kita itu siapa? Allah. Allah yang melihat
kita. Maka orang itu tidak butuh apa-apa dari shaum, sesungguhnya Allah pun begitu. Shaum
itu bukan sesuatu yang bisa dilihat. Kalau sholat orang bisa melihatnya, saat takbir, ada
rukuknya, ada sujudnya. Tapi shaum ini bener-bener sendiri. Shaum ini benar-benar harus
hati-hati. Shaum ini benar-benar dalam kondisi hanya untuk-Ku. Shaum itu kata Allah, “Ini
ibadah untuk-Ku.” Tidak ada yang peduli kita puasa atau tidak. Allah tidak peduli. Lemasnya
kita Allah tidak butuh. Diamnya kita Allah tidak butuh, kita bangun sahur dan segala macam,
karena ini kebutuhan kita. Maka sesungguhnya kita dikembalikan pada sesuatu yang paling
asasi. Orang tidak butuh beramal untuk dilihat orang lain, shaum pun begitu. Ini hanya untuk
Allah. Maka, ini tazkiyatun nafs yang pertama kali harus kita masukkan dalam hati, bahwa
puasa ini, ibadah saya ini, amalan yang saya kerjakan ini, adalah bentuk dari pelaksanaan
mu’ahadah. Jadi kita komitmen kepada Allah.

Jadi kita butuh sekarang Ramadhan yang hening. Kita tidak pamer dari puasa kita. Kita sahur
pun orang tidak mengerti kita sahur. Apakah buka? Tidak ada yang tahu. Apa badan kita
lemas? Tidak ada yang peduli. Maka itu rahasia Allah di hadits qudsi, “Puasa itu untuk-Ku.
Aku sendiri yang akan mengganjar pahalanya.” Maka tahun ini semarak tarawih kita
dikembalikan ke hakikatnya. Hakikatnya apa? Menghidupkan malam dengan mesra.
Menangis kepada Allah. Takut dan syahdu kepada Allah dalam hening, rahasia bilik-bilik
kita. Tetangga kita tidak perlu tahu. Bahkan mungkin kita tahajud suami kita tidak tahu.
Mungkin kita bermesra-mesra dengan Allah, tidak ada yang tahu. Yang tahu hanya kita. Ini
sesungguhnya rahasia di dalam bilik-bilik rumah kita, bahwa Allah ingin mengembalikan sisi
asasi hati. Supaya tautan kita, kedekatan kita kepada Allah benar-benar urusan kita dengan
Allah. Kita tegakkan di rumah kita sendiri. Kita beralih dari sunnah, para sahabat dulu
tarawih di masjid, kita kembali ke rumah. Maka kita butuh tazkiyatun nafs. Kita butuh benar-
benar ruhaniyah kita dihidupkan di sini. Kita tidak ingin memamerkan ibadah kita, kita hanya
taat kepada Allah. Kita membiarkan sesama kita menikmati apa yang sedang kita lakukan.
Sekedar saja, akhlak mulia, manfaat. Tapi dalam hati kita harus tetap riang gembira. Bahwa
ini Ramadhan kita, jangan ada yang sedih. Kembali lagi, kita teruskan lagi ini bab apa? Bab
untuk taat kepada Allah. Babnya yang mana bab taat kepada Allah? Dikembalikan lagi ini
bagian dari cara kita tazkiyatun nafs. Yang pertama tadi, mu’ahadah. Lalu yang kedua,
muraqabah. Justru Ramadhan seperti ini kita betul-betul merasa bahwa Allah itu sedang
ngajarin kita untuk muraqabah lebih banyak. Apa muraqabah? Muraqabah itu kondisi kita
taat kepada Allah, dengan cara semakin dekat kepada Allah. Sebagaimana hadits tentang
ihsan, “An ta’budallah kaannaka tarohu, fa in lam takun tarohu, fainnahu yaroka.”
“Sesungguhnya kamu beribadah seakan-akan kamu melihat Allah, kalau kamu tidak melihat
Allah sesungguhnya Allah melihat kamu.” Nah, Ramadhan itu cara kita untuk merasa kita
diawasi Allah. Siapa sih kita? Kalaupun sekarang kita merasa kelaparan, kita masuk ke dalam
rumah, kita minum. Apa ada yang tahu? Tidak ada . Tapi babnya bukan itu. Babnya karena
kita tahu kita sedang diawasi Allah. Sehingga mau tidak mau kita harus muraqabah. Bab
berikutnya setelah muraqabah ada yang namanya muhasabah. Apakah muhasabah?
“Haasibuu anfusakum qobla an tuhaasabu.” “Hendaklah kalian menghisab diri kalian
sebelum dihisab Allah.” Maka hisab yang paling ringan itu hisab yang kita terima karena kita
sudah menghisab diri kita sendiri. Dihitung, kira-kira di Ramadhan ini apa yang kira-kira
membatalkan puasa? Apa yang kira-kira mengurangi pahal kita? Apakah kita berghibah?
Apakah kita marah? Apakah kita mengeluh? Apakah kita masih sombong? Apakah kita
masih berniat riya? Semua itu bab-bab di mana musahabah bisa kita kerjakan. Alhamdulillah
hari ini sudah tidak begitu. Tapi bagaimana ya kok saya masih memikirkan sesuatu yang
Allah itu tidak ridho? Nah ini kan bab-bab muhasabah. Makanya evaluasi, kita mengevaluasi
siapa yang .. kita. Ini juga bagian dari kita mensucikan jiwa. Jadi yang pertama tadi ada
mu’ahadah, lalu muraqabah (mawas diri, diawasi Allah, merasa dekat dengan Allah), yang
ketiga muhasabah (evaluasi dalam mencapai amalan).

Sedikit mengulang lagi dari mu’ahadah, ada beberapa yang ingin saya tambahkan. Yang
pertama itu mu’ahadah itu mengingat perjanjian, diambil dari An-nahl ayat 91, “Dan tepatilah
perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji.” Maka bagaimana caranya kita mu’ahadah?
Hendaklah kita seorang mukmin berkhalwat. Berkhalwat itu artinya menyendiri. Antara dia
dan Allah, untuk mengisolasi diri. Katakan pada diri sendiri, “Wahai jiwaku sesungguhnya
kamu telah berjanji pada Rabbmu setiap hari disaat kamu berdiri dan membaca, “Iyyaka
na’budu wa iyyaka nasta’in.” Ini janji, yang kita ulang-ulang setidaknya sehari 17 kali.
“Hanya kepada Engkau kami beribadah ya Allah, dan hanya kepada Engkau kami mohon
pertolongan.” Maka ini munajat. Kita berikrar kepada Allah, berjanji kepada Allah. Apa janji
kita? Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Maka, dalam munajat ini kita telah berikrar, tidak
akan berhamba selain kepada Allah. Tidak akan meminta pertolongan selain kepada Allah.
Jangan sampai janji yang sudah kita ucapkan ini dengan serta-merta kita hilangkan. Jangan
sampai janji yang sudah kita ikraran ini kita coret. Karna hati-hati yang dengan janji. Kita
seringkali berjanji tapi seringkali juga kita ingkari. Lidah kita tidak bertulang, sehingga
gampang sekali bagi kita untuk mengingkari janji. Na’udzubillah min dzalik. Ini janji kepada
Allah. Lalu yang kedua muraqabah, merasakan kesertaan Allah. Landasan muraqabah ada di
surah Asy-Syuara’ ayat 218-219. Siapa itu Allah? “Allah itu melihat kamu ketika kamu
berdiri untuk shalat. Dan melihat pula perubahan gerak badan di antara orang-orang yang
sujud.” Maka dalam hadits dikatakan ketika Nabi Muhammad SAW ditanya tentang ihsan,
“Sesungguhnya kamu beribadah seakan-akan kamu melihat Allah, kalau kamu tidak melihat
Allah sesungguhnya Allah melihat kamu.” Maa syaa Allah, ini muraqabah. Maka muraqabah
itu merasakan keagungan Allah, di setiap waktu dan keadaan. Merasa bersama dengan Allah,
baik sepi maupun ramai. Sebagaimana dalam Al-Mujadilah ayat 7, “Kalau kamu berbisik-
bisik berdua, Allah yang ketiga. Kalian berbisik-bisik bertiga, Allah yang keempat. Kalian
bisik-bisik empat orang, Allah yang kelima. Dan tidak ada yang lebih banyak dari itu, atau
lebih sedikit dari itu, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada.”
Maka bagaimana cara kita bermuraqabah? Hendaklah seorang mukmin memeriksa dirinya,
apakah setiap gerak dalam melaksanakan amal dimaksudkan untuk kepentingan pribadi atau
sekedar mencari popularitas? Karena dorongan ridho Allah, menghendaki pahala Allah. Jika
benar-benar karena ridho Allah, ia akan benar-benar melaksanakan kendatipun hawa
nafsunya tidak setuju dan ingin meninggalkan. Kita membantu orang lain, apa manfaatnya?
Tidak dipanggil, tidak jadi populer, tidak dimasukkan ke koran, tidak ada di media online.
Tapi kita tahu ini Allah yang menghendaki. Seperti itulah hakikat ikhlas. Jadi muraqabah
dalam melaksanakan ketaatan itu ikhlas kepada Allah. Muraqabah dalam kemaksiatan itu
taubat, kita menyesal kita meninggalkan, kita memohon ampun kepada Allah supaya Allah
ridho. Muraqabah dalam hal yang mubah adalah menjaga adab terhadap Allah. Bersyukur
atas nikmat Allah. Sementara muraqabah dalam musibah adalah dengan ridho kepada
ketentuan Allah, memohon pertolongan-Nya dengan penuh kesadaran. Karena Allah tidak
mungkin mencederai janji. Sementara dasar muhasabah ada di surah Al-Hasyr ayat 18, “Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Jadi
muhasabah itu mengingat-ingat, menghisab diri. Apakah tujuan amal ini? Untuk mendapat
ridho Allah. Apakah amal ini kena dengan sifat riya? Apakah sifat ini memenuhi hak-hak
Allah, hak-hak manusia? Karena setiap mukmin hendaknya memperbaiki niat. Pernah ada
kejadian dalam sirah nabawiyah, ketika perang tabuk, perang yang sangat berat. Kata
Rasulullah SAW, “Ada di antara kalian yang tertinggal di Madinah, tidak ikut berperang, tapi
dia mendapat pahala yang sama dengan kalian.” Kenapa? Karena niatnya kuat banget. Ingin
sekali berperang bersama Rasulullah SAW dan para sahabat, tapi tidak bisa berangkat. Bukan
karena apa-apa. Tidak bisa berangkat karena tidak punya prasarana, Tidak ada dananya.
Tidak ada kendaraan. Sehingga saudara-saudaranya berangkat, dia tidak. Tapi Rasulullah
mengatakan, “Ia mendapat pahala yang sama dengan kalian yang pergi berjihad.” Maa syaa
Allah. Padahal pergi berjihad itu luar biasa, capeknya luar biasa, totohan nyawanya. Tapi ini
karena orang punya niat yang kuat, terhalang oleh kendala. Maka ia tetap mendapat
pahalanya. Semoga kitapun begitu. Kita niat untuk i’tikaf di masjid, niat untuk sholat syuruq,
niat untuk tarawih di masjid. Tapi karena kita terhalang oleh musibah seperti ini. Ternyata
Allah memang menghendaki kebaikan untuk diri kita.

Berikutnya setelah kita mu’ahadah, muraqabah, muhasabah, ada poin penting dalam
tazkiyatun nafs yang disebut mu’aqabah. Mu’aqabah adalah memberikan sanksi bagi diri
sendiri. Apa dasarnya dalam Alquran? Surah Al-Baqarah ayat 179, “Dan dalam qishaash itu
ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu
bertakwa.” Apakah sanksi itu? Sanksi yang kita rancang untuk kita lakukan apabila kita
melanggar perjanjian, kita tidak muraqabah kepada Allah, ketika dalam muhasabah ternyata
lebih banyak kemaksiatan yang kita kerjakan daripada ketaatan. Jadi ketika kita melakukan
kesalahan dalam diri kita (kita tidak berhak untuk mencari-cari kesalahan orang lain), tidak
pantas untuk membiarkannya atau memaklumi, atau memaafkan. “Alah, biasa, sayakan masih
manusia, bukan malaikat. Jadi wajar saya melakukan kesalahan.” Kalau kita terus
berpendapat seperti ini, lama-lama kita tidak akan bisa tazkiyatun nafs. Karena kita bahkan
mengundang kesalahan-kesalahan berikutnya. Maka kita jangan membiarkan diri kita dalam
kesalahan. Karena akan mudah terlanggar kesalahan yang lain. Jadi tolong berikan sanksi,
tapi tidak boleh sanksi yang haram. Ini peringatan bagi diri kita sendiri supaya kita tidak
menyalahi ikrar. Dan juga dorongan untuk kita lebih bertakwa, bimbingan menuju hidup
yang lebih mulia. Sanksi harus dengan sesuatu yang mubah, tidak boleh dengan sanksi yang
haram. Apa sanksi yang haram? Seperti membakar salah satu anggota tubuh, mandi di tempat
terbuka pada musim dingin, mogok makan, mogok minum. Karena itu akan membahayakan
diri sebagaimana maqashid syari’ah, menjaga diri menjaga nyawa itu juga sesuatu yang
penting kita kerjakan. Misalnya, karena tidak shalat rawatib, akan berjemur di bawah
matahari yang terik dengan kondisi Ramadhan. Ini membahayakan diri sendiri. “Dan
belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu
sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berbuat baik. (Q.S Al-baqarah: 195)”. Salah satu contoh menjatuhkan
sanksi, suatu saat Umar bin Khattab r.a pergi ke kebunnya. Ketika pulang didapatinya orang-
orang sudah selesai shalat asar. Dirinya pergi ke kebun. Saking asiknya di kebun, dia tidak
mendengarkan adzan. Saat pulang, ternyata shalatnya sudah selesai. Akhirnya dia memberi
sanksi pada dirinya dengan menjadikan kebunnya untuk shadaqah untuk orang-orang miskin.
Menanggapi hal ini, Ayyas berkata, “Padahal beliau hanya ketinggalan shalat berjamaah.”
Berapa kali kita sering ketinggalan? Shalat telat waktunya, shalat tidak khusyuk, shalat
dengan tenaga sisa. Setelah melakukan banyak hal, baru ingat shalat. Ini adalah salah satu
bentuk mu’aqabah atau bentuk menunaikan sanksi yang pernah dilakukan oleh Umar. Umar
juga pernah memberi sanksi pada dirinya sendiri ketika beliau telah shalat maghrib, setelah
itu beliau memerdekakan dua orang budak.

Maka alhamdulillah, Allah mempertemukan kita dengan Ramadhan. Karena Ramdhan belum
tentu kita akan ketemu lagi tahun depan. Allah masih menghendaki kita bersama Ramadhan.
Maka sekarang kita harus mulai data amal-amal apa yang dulu tidak pernah kita lakukan,
tidak bisa lakukan. Yang jelas membaca Alquran. Karena Ramadhan itu syahrul quran.
“Syahru romadhoonal ladzii unzila fiihil quran hudal linnasi wa bayyinaatin minal hudaa wal
furqon.” Jadi Ramadhan itu bulan turunnya Alquran, maka identik dengan Quran. Kalau bisa
khatam sekali, dua kali, tiga kali, lakukan. Karena satu huruf itu ganjarannya satu kebaikan
kata Nabi Muhammad SAW. “Bukan berarti alif lam mim satu huruf. Tapi alif satu huruf,
lam satu huruf, mim satu huruf.” Maka di antara ribuan bacaan Quran ketika kita baca di saat
Ramadhan Allah melipatgandakannya, lagi lagi dan lagi. Termasuk misalnya ibadah sunnah.
Ketika kita melakukan di bulan Ramadhan seakan-akan kita mengerjakan ibadah wajib.
Ibadah wajib Allah tingkatkan 70 kali. Jelas kita tidak akan mungkin bisa ibadah 70 kali.
Kuat shalat isya’ 4 rakaat 70 kali? Tidak ada yang kuat. Tapi Allah mencintai kita dengan
cara yang seperti itu. Maka cari sekarang, ibadah-ibadah unggulan, apa yang belum pernah
kita kerjakan. Yang sederhana, contohnya seperti membaca Alquran. Yang sudah lancar
harus khatam di Ramadhan. Jangan sampai ada alasan tidak khatam. Tahun kemarin bisa
khatam sekali, dua kali sekarang. Kalau keberatan, satu setengah, dicoba dulu. Berikutnya
bab menjaga wudhu. Karena keutamaan menjaga wudhu itu bab yang luar biasa. Dalam Al-
baqarah ayat 222, “Innallaaha yuhibbut tawwabiina wa yuhibbul mutathohhiriin.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang senantiasa
bersuci.” Maka Nabi bersabda, “Apabila seorang mukmin bertaqwa kepada Allah, apabila
seorang hamba berwudhu lalu berkumur-kumur maka dosa-dosa keluar dari mulutnya. Ketika
membersihkan hidung maka dosa-dosa keluar dari hidungnya. Ketika ia membasuh muka
maka dosa-dosa keluar dari wajahnya hingga di bawah kelopak matanya.” Memang berat
menjaga wudhu. Maka Bilal pernah berdialog, diajak ngobrol sama Rasulullah, “Bilal,
sandalmu sudah kedengaran langkahnya. Apa yang engkau kerjakan?” Ternyata Bilal setiap
kali batal wudhu dia memperbaiki wudhunya. Dalam riwayat lain setiap kali dia batal wudhu,
dia memperbaiki wudhunya, dia melakukan shalat sunnah syukur wudhu. Shalat sunnah
syukur wudhu adalah shalat sunnah dua rakaat setelah wudhu. Setelah itu, bab shalat malam.
Alhamdulillah karena sekarang di rumah bisa shalat malam berjamaah. Dan jangan lupa nanti
ada bagian materi atau harta. Karena Rasulullah setiap kali bulan Ramadhan beliau berinfaq.
Bahkan infaqnya jauh lebih cepat dibanding angin yang bertiup seakan-akan semua orang
dapat infaqnya Nabi Muhammad SAW. Karena zakat, shadaqoh itu adalah cara Allah
membersihkan jiwa kita, membersihkan hati kita, membersihkan harta kita seperti di surah
At-Taubah ayat 103. Setelah shodaqoh, berdoa, Allah janjikan pembersihan, penyucian, lalu
Allah akan mendatangkan ketenangan bagi mereka. “Sedekah itu tidak mengurangi harta”
(H.R. Muslim). Maka Malaikat pun berdoa juga kepada para dermawan, tiap pagi ada orang
yang bershodaqoh maka malaikat mendoakannya sampai malam. Kalau malam orang
bershodaqoh maka malaikat mendoakannya sampai pagi. Dan pahala shodaqoh itu berlipat
ganda. Seperti dalam Al-baqarah ayat 291, “Perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya
di jalan Allah sama seperti sebiji benih yang tumbuh memunculkan tujuh tangkai, tiap-tiap
tangkai mengandung 100 biji. Dan ingatlah Allah akan melipatgandakan pahala bagi siapa
yang Allah kehendaki. Dan Allah Maha Luas lagi meliputi ilmu seluruh pengetahuannya.”
Maka apabila ada musibah yang mendahului, shodaqoh. Bersegeralah shodaqoh sebab
musibah tidak pernah bisa mendahului shodaqoh. Shodaqoh juga menyembuhkan penyakit,
shodaqoh juga merupakan kepedulian sosial. Kaum dhuafa itu jasanya lebih banyak kepada
kita. Dari Mush’ab bin Sa’ad ia berkata bahwa Sa’ad r.a saat ia memiliki jasa atas selainnya,
lalu Nabi Muhammad SAW bersabda, “Kamu ditolong dan diberi rezeki karena orang-orang
yang lemah dari kalian.” (H.R. Bukhari). Jadi doanya yang lemah bisa jadi pelindung dari apa
yang sedang kita kerjakan.
Berikutnya, poin kelima dari tazkiyatun nafs adalah mujahadah. Mujahadah artinya
optimalisasi. Bersungguh-sungguh, jihad, mengerahkan seluruh kemampuan untuk
melakukan apa yang Allah mau. Dasar mujahadah ada di dalam surah Al-ankabut ayat 69.
Apabila seorang mukmin terseret dalam kemalasan sampai cinta dunia, tidak lagi
melaksanakan amal sunnah, tidak ada lagi ketaatan yang tepat pada waktunya, maka ia harus
memaksakan dirinya melakukan amal-amal sunnah lebih banyak dari sebelumnya. Dalam hal
ini harus tegas, harus serius, harus penuh semangat, sehingga akhirnya ketaatan merupakan
kebiasaan yang muli bagi dirinya. Menjadi sikap yang melekat pada dirinya. Maka cukuplah
Rasulullah menjadi qudwah, teladan yang patut diteladani sebagaimana diriwayatkan oleh
Aisyah r.a: Rasulullah SAW melaksanakan shalat malam hingga kedua tumitnya bengkak.
Ketika Aisyah bertanya, “Kenapa engkau melakukan itu? Bukankah engkau sudah diampuni
dosanya oleh Allah?” Rasulullah menjawab, “Bukankah sepantasnya aku menjadi hamba
yang bersyukur.” (H.R Bukhari dan Muslim). Apabila Rasulullah SAW memasuki 10 hari
terakhir di Bulan Ramadhan, beliau menghidupkan malam dengan ibadah. Membangunkan
keluarganya, bersungguh-sungguh dan mengencangkan ikat pinggang. Jadi ini mujahadah, 10
har terkahir bulan Ramadhan, beliau benar-benar menjadikan dirinya sebagai bagian dari cara
beliau untuk taat kepada Allah. Dari Abu Hurairah beliau berkata, Rasulullah bersabda:
Sesungguhnya Allah berfirman, “Tidaklah seorang hamba mendekat kepadaku dengan
sesuatu yang lebih kusukai selain dari amalan-amalan wajib. Dan seorang hambaku
senantiasa mendekat kepadaku dengan melakukan amalan-amalan sunnah sehingga aku
mencintainya. Apabila aku telah mencintainya, maka akulah yang menjadi pendengarannya
dan sebagai tangan yang digunakannya untuk memegang, kaki yang dia pakai untuk berjalan.
Dan Apabila dia memohon kepadaku pasti kukabulkan. Dan jika berlindung kepadaku pasti
kulindungi.” Imam Muslim meriwayatkan dari Rabi’ah bin Ka’ab, ia berkata: suatu malam
saya bersama Rasulllah SAW, lalu menyiapkan air wudhu dan kebutuhahnnya. Kemudian
Rasulullah SAW bersabda, “Mintalah kepadaku.” Akupun menjawab, “Aku meminta
kepadamu agar memberi petunjuk tentang sebab-sebab aku bisa menemanimu di surga.”
Beliau menjawab, “Ada lagi selain itu?” “Itu saja cukup Ya Rasulullah,” jawabku. Maka
Rasulullah bersabda, “Jika demikian, bantulah aku untuk mewujudkan permintaanmu dengan
memperbanyak sujud (dalam sholat).”

Contoh lain, pernah dilakukan oleh salah satu sahabat yang bernama Abu Talhah. Suatu saat
Abu Talhah shalat, di depannya lewat seekor burung, lalu beliau melihatnya dan lalai dari
shalatanya sehingga beliau lupa sudah berapa rakaat beliau shalat. Seringkali kita mengalami
kejadian seperti ini. Karena kejadian tersebut beliau mensedekahkan kebunnya untuk
kepentingan orang-orang miskin sebagai sanksi atas kelalaian dan ketidak khusyukannya.
Sekali tidak khusyuk, langsung shodaqoh sebidang kebun untuk orang miskin. Pernah juga
ada salah satu ulama yang bernama Tamim Ad-Dari r.a, tidur semalam suntuk sampai tidak
sholat tahajud. Maka beliau menghukum dirinya sholat tahajud sepanjang waktu. Atas
kelalaiannya. Itu bentuk-bentuk dari mu’aqabah atau pemberian sanksi untuk diri kita sendiri.

Maka jelas Ramadhan harus identik dengan Quran. Karena ini amalan khas Ramadhan,
tilawah Alquran. Kalau kita betah dalam tilawah, cinta kita pada Alquran. Kadang-kadang
ada orang dipaksa, ya dipaksa. Kalau tidak dipaksa, dia tidak bisa tilawah. Tapi ada orang
yang karena kebiasaannya. Berapa bentuk paksaan berubah menajdi kebiasaan. Kita akan
merasa aneh jika tidak tilawah sehari saja. Ada yang menjadi kebutuhan. Yang keempat
tahapnya, kalau sudah menjadi nikmat. Tilawah sudah menjadi candu. Orang tidak tilawah
rasanya berat. Itu ibadah-ibadah unggulan di bulan Ramadhan, pertama tilawah Alquran,
kedua qiyamul lail. “Barang siapa khawatir tidak dapat bangun malam dia shalat witir di awal
malam. Dan barang siapa optimis dapat bangun malam ia hendaklah shalat witir di akhir
malam. Karena sesungguhnya shalat di akhir malam itu disaksikan oleh malaikat.”
Berikutnya, shalat berjamaah. Fiqih Ramadhan dibaca lagi. Semoga kita bisa sampai disitu.
Semoga Ramadhan kita meskipun suasananya berbeda dengan Ramadhan-Ramadhan
sebelumnya, tapi Allah menjaga kita dengan selalu taat, selalu tenang, selalu yakin akan
pertolongan Allah, dan benar-benar menjadikan diri kita menjadi pribadi yang lebih baik.
“Yaa ayyuhalladzii kutiba ‘alaykumush shiyaam, kamaa kutiba ‘alal ladziina min qoblikum
la’allakum tattaquun.” Tanda lulusnya kita adalah ketaatan kita kepada Allah.

Silahkan kalau ada yang mau didiskusikan.

Anda mungkin juga menyukai