net/publication/320063865
CITATIONS READS
2 8,174
4 authors, including:
Subagyo Pramumijoyo
Universitas Gadjah Mada
68 PUBLICATIONS 195 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
stimation of S-wave Velocity Structure for Sedimentary Layered Media Using Microtremor Array Measurements in Palu City, Indonesia View project
All content following this page was uploaded by Ikfi Maasyi Hanif on 27 September 2017.
ABSTRAK
Aktivitas vulkanisme di Pulau Jawa yang dimulai sejak Eosen Akhir dan masih berlangsung hingga
sekarang memiliki produk yang dapat dijumpai sebagai batuan beku dan piroklastik yang tersebar
hampir di seluruh Pulau Jawa, salah satunya di Pegunungan Kulon Progo. Batuan beku di Kulon
Progo hadir sebagai intrusi dan lava dengan hubungan yang saling potong. Studi ini bertujuan untuk
mengidentifikasi jenis batuan beku yang terdapat di daerah Semono dan sekitarnya serta mengetahui
petrogenesanya. Metode yang digunakan dalam studi ini yaitu pemetaan geologi dengan luas 4x5 km2,
pengambilan sampel, dan pengamatan sayatan tipis. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa di daerah
studi terdapat tiga jenis batuan beku, yaitu andesit piroksen, andesit porfiri hornblenda, dan dasit.
Andesit piroksen memiliki tekstur afanitik, ukuran kristal sekitar 1 mm, tidak menunjukkan adanya
tekstur aliran, serta tersusun oleh plagioklas, kuarsa, augit, hipersten, dan hornblenda. Andesit porfiri
hornblenda memiliki tekstur porfiroafanitik, ukuran kristal fenokris mencapai 9 mm dan massa dasar
sekitar 1 mm, komposisi fenokris berupa hornblenda, massa dasar berupa plagioklas, kuarsa, dan
piroksen. Dasit memiliki tekstur porfiroafanitik dengan komposisi berupa plagioklas, kuarsa, piroksen,
dan gelasan. Berdasarkan data petrografi dan hubungan saling potong di lapangan, diketahui bahwa
batuan andesit piroksen terbentuk terlebih dahulu sebagai intrusi dangkal, selanjutnya terbentuk
andesit porfiri hornblenda sebagai intrusi yang lebih dalam dan menerobos andesit piroksen. Dasit
terbentuk paling akhir sebagai lava yang mengalir di atas andesit piroksen. Ketiga batuan ini diduga
berasal dari Gunung Api Idjo yang terletak berdekatan dengan lokasi studi. Dari mineral penyusunnya,
diketahui terjadi perubahan komposisi magma Gunung Idjo yang menjadi semakin asam.
Kata kunci: batuan beku, Semono, sayatan tipis, gunung api
1. Pendahuluan
1.1. Latar belakang
Secara tatanan tektonik, Pulau Jawa berada pada zona subduksi yang merupakan batas
pertemuan antara lempeng Eurasia di utara dan lempeng Indo-Australia di Selatan (Katili,
1975; Hamilton, 1979). Zona subduksi di Pulau Jawa ditandai dengan kehadiran palung laut
dan busur gunung api yang memanjang dari barat ke timur sepanjang 1700 km (Katili, 1975;
Hamilton, 1979) (Gambar 1). Sepanjang sejarahnya, Pulau Jawa telah mengalami beberapa
kali aktivitas vulkanisme yang ikut serta membangun Pulau ini. Aktivitas vulkanisme pertama
kali terjadi di Kenozoik Awal akibat adanya subduksi lempeng samudera Indo-Australia di
bawah ujung tenggara lempeng benua Eurasia (Katili, 1975; Hamilton 1979). Sejarah aktivitas
vulkanisme yang panjang ini terekam sebagai batuan beku dan piroklastik yang tersebar
hampir di seluruh Pulau Jawa, salah satunya dapat dijumpai di Pegunungan Kulon Progo.
Batuan beku di Pegunungan Kulon Progo merupakan produk dari gunung api purba yang
terdapat di Kulon Progo, yaitu Gunung Menoreh di utara, Gunung Gadjah di tengah, dan
Gunung Idjo di selatan (van Bemmelen, 1949), produk gunung api ini oleh van Bemmelen
(1949) disebut sebagai Formasi Andesit Tua. Batuan beku tersebut hadir baik sebagai intrusi
maupun aliran lava yang saling memotong, sehingga mempelajari genesa dan asal batuan
1203
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
1204
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
adalah Formasi Sentolo. Formasi ini tersusun oleh batugamping dan batupasir napalan dengan
ketebalan mencapai 950 m. Berdasarkan analisis fosil foraminifera planktonik,
Pringgoprawiro (1969) mengatakan umur dari Formasi Sentolo adalah Miosen Akhir-Pliosen,
sedangkan Rahardjo dkk. (1995) mengatakan bahwa umur dari formasi ini adalah Miosen
Tengah-Pliosen.
Widagdo dkk. (2016) mengatakan bahwa sebaran batuan di Pegunungan Kulon Progo
dikontrol oleh struktur tubuh gunung api dan struktur geologi sekunder yang bekerja. Struktur
tubuh gunung api mengontrol sebaran batuan vulkanik menjadi batuan gunung api Gadjah,
Idjo, dan Menoreh. Struktur geologi yang mengontrol sebaran batuan di Pegunungan Kulon
Progo adalah sesar turun berarah barat laut-tenggara, sesar naik berarah barat daya-timur laut,
dan sesar geser dengan arah utara timur laut (Gambar 4).
2. Metode Penelitan
Untuk mencapai tujuan yang telah disebutkan di atas secara efektif, maka metode
penelitian yang dipilih adalah pemetaan geologi dengan skala 1:25.000. Pemetaan geologi
dilakukan dengan skala yang cukup detail untuk membagi batuan menjadi beberapa satuan
batuan, mengetahui persebaran batuan secara lateral di permukaan serta untuk mengetahui
hubungan antarbatuan di lapangan. Metode pemetaan yang dipilih adalah pemetaan dengan
cara sistematik (systematic mapping) dengan titik pengamatan berjumlah 122 titik amat
(Gambar 5). Pengambilan sampel setangan dilakukan untuk masing-masing titik amat
sedangkan pengambilan sampel untuk analisis sayatan tipis dilakukan sebanyak 1-3 sampel
untuk masing-masing satuan batuan beku. Sampel yang dipilih untuk analisis sayatan tipis
adalah sampel dengan kondisi terbaik yang dianggap paling mewakili satuan batuan beku
tersebut. Tahapan yang dilakukan selama penelitian di antaranya tahap persiapan, tahap
pengambilan data lapangan, tahap pengamatan sayatan tipis, dan tahap analisis. Tahap
persiapan meliputi studi pustaka dari literatur dan publikasi yang telah ada sebelumnya, studi
geologi regional, pengumpulan data sekunder berupa peta dan citra satelit, serta pembuatan
peta geologi dan geomorfologi tentatif. Tahap pengambilan data lapangan meliputi obseravasi
geomorfologi, litologi, struktur geologi, serta pengambilan sampel batuan. Tahap pengamatan
sayatan tipis meliputi pengamatan sampel batuan terpilih dengan menggunakan mikroskop
polarisasi untuk mengetahui komposisi detail mineral penyusun batuan dan menamakan
batuan menggunakan penamaan petrografi. Tahap analisis meliputi analisis dari berbagai
kompilasi data baik data lapangan maupun data sayatan tipis, hasil analisis dari berbagai
kompilasi data inilah yang digunakan untuk menginterpretasi petrogenesa batuan beku di
daerah penelitian.
3. Pemaparan Data dan Analisis
3.1. Geologi Lokasi Penelitian
Kondisi geologi lokasi penelitian digambarkan dalam peta geologi dan sayatan geologi
(Gambar 6), lintasan yang ditempuh serta lokasi pengambilan sampel sayatan tipis
ditunjukkan pada peta lintasan (Gambar 5). Secara tatanan stratigrafi, lokasi penelitian
mencakup Formasi Andesit Tua, intrusi andesit, dan aliran lava dasit. Di lokasi penelitian
dijumpai 5 jenis batuan, yaitu breksi andesit, breksi andesit tufan, dan 3 jenis batuan beku
yang berbeda. Batuan beku yang dijumpai adalah dua tipe andesit yang berbeda dan dasit.
Strukur geologi yang berkembang di lokasi penelitian adalah sesar geser dekstral Semagung,
sesar geser desktral Kalirejo, sesar geser sinistral Somongari, sesar geser dekstral Soko Agung,
dan sesar turun Kali Rejo.
1205
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
1206
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
tersusun oleh mineral plagioklas tipe andesin (Gambar 11). Dikarenakan kelimpahan mineral
hornblenda yang signifikan maka andesit tipe kedua diberi nama andesit porfiri hornblenda
(Gambar 11).
Dasit memiliki tekstur porfiroafanitik dengan ukuran kristal fenokris (0,5-5) mm,
sedangkan massa dasar < 0,5 mm, derajat kristalinitas holokristalin, bentuk kristal subhedral
(plagioklas dan hornblenda) dan euhedral (kuarsa), tekstur umum inekuigranular, dan
memiliki tekstur khusus trasitik. Dasit di lokasi penelitian menunjukkan struktur aliran.
Batuan ini tersusun atas kuarsa 33%, plagioklas (mulai terubah menjadi kalsit) 67%. Di lokasi
lain juga dijumpai dasit dengan komposisi mineral plagioklas 33%, hornblenda 27%, kuarsa
15%, dan mineral opak 5% (Gambar 12).
4. Hasil dan Pembahasan
Dari observasi lapangan, diketahui bahwa terdapat tiga jenis batuan beku yang berbeda di
lokasi penelitian, selanjutnya dari pengamatan sayatan tipis komposisi mineral penyusun
batuan dapat diketahui dengan detail sehingga dapat diperoleh penamaan petrografis batuan.
Pengamatan sayatan tipis juga dilakukan untuk membantu interpretasi petrogenesa batuan
beku tersebut. Andesit tipe pertama atau andesit piroksen merupakan batuan beku yang
tesebar paling luas di lokasi penelitian, pengamatan sayatan tipis menunjukkan bahwa andesit
piroksen memiliki tekstur afanitik-porfiroafanitik dengan komposisi labradorit dan piroksen
(hipersten) yang cukup melimpah. Tidak dijumpai adanya tekstur aliran mengindikasikan
bahwa batuan batuan tidak terbentuk sebagai lava. Andesit piroksen diinterpretasikan
terbentuk sebagai intrusi dangkal di mana pada awalnya terjadi terjadi pendinginan lambat
yang membentuk mineral labradorit kemudian pendinginan berlangsung cepat membentuk
mineral andesin. Bukti lain menunjukkan bahwa andesit piroksen terbentuk sebagai intrusi
yaitu dijumpainya retas-retas andesit piroksen yang menerobos breksi andesit. Batuan andesit
tipe kedua atau andesit porfiri hornblenda memiliki tekstur porfiroafanitik dengan kristal
hornblenda yang berukuran besar. Batuan ini tersusun oleh mineral plagioklas tipe labradorit
serta hornblenda yang melimpah. Tidak dijumpai adanya tekstur aliran dalam pangamatan
sayatan tipis. Andesit porfiri hornblenda diinterpretasikan terbentuk sebagai intrusi yang
terbentuk pada kedalaman yang lebih besar dibanding andesit piroksen. Dasit memiliki tekstur
porfiroafanitik dengan fenokris berupa plagioklas. Dijumpai tekstur aliran dalam pengamatan
sayatan tipis. Di lapangan, dasit dijumpai menumpang di atas andesit piroksen, sehingga
diinterpretasikan dasit terbentuk sebagai aliran lava yang mengalir di atas andesit piroksen.
Berdasarkan kenampakan batuan di lapangan, geometri dan hubungan antar batuan, serta
pengamatan sayatan tipis diinterpretasikan bahwa petrogenesa batuan beku di daerah Semono
dimulai dengan pembentukan batuan andesit piroksen sebagai intrusi dangkal, selanjutnya
terbentuk andesit porfiri hornblenda sebagai intrusi yang lebih dalam, lalu terbentuk dasit
sebagai aliran lava yang mengalir di atas andesit piroksen (Gambar 13).
Pengamatan sayatan tipis menunjukkan adanya perbedaan komposisi mineral di antara
ketiga jenis batuan di lokasi penelitian. Andesit piroksen yang terbentuk pertama kali
memiliki kelimpahan mineral piroksen yang cukup signifikan, andesit porfiri hornblenda
memiliki kelimpahan mineral hornblenda yang cukup signifikan, lalu dasit tersusun oleh
mineral seperti kuarsa dan plagioklas-Na yang cukup melimpah. Adanya perubahan
komposisi dari batuan yang relatif lebih tua menuju batuan yang relatif lebih muda
menunjukkan terjadi perubahan komposisi magma dari Gunung Idjo yang menjadi semakin
asam (Gambar 13).
5. Kesimpulan
1207
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan bahwa di lokasi
penelitian dijumpai tiga jenis batuan beku, yaitu andesit piroksen, andesit porfiri hornblenda,
dan dasit. Dari pengamatan lapangan dan sayatan tipis diinterpretasikan bahawa andesit
piroksen terbentuk pertama kali sebagai intrusi dangkal, selanjutnya terbentuk andesit
hornblenda sebagai intrusi yang lebih dalam, lalu terakhir terbentuk dasit sebagai aliran lava.
Adanya perubahan komposisi batuan beku mengindikasikan terjadinya perubahan komposisi
magma Gunung Idjo menjadi semakin asam.
Ucapan Terima Kasih
Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan selama pelaksanaan Pemetaan Geologi
Mandiri Teknik Geologi UGM yang dilaksanakan pada bulan Juli 2016. Penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada kelompok 6 Pemetaan Geologi Mandiri yang
beranggotakan Rahajeng Ardinni Noor, Fikry Marlin, Raden Roro Diny Novia Putri, dan I
Gusti Ngurah Kusuma Wijaya yang sudah ikut membantu selama proses pengambilan data di
lapangan. Rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada warga Dusun Somongari yang
sudah membantu selama kegiatan di lapangan, kepada Rofiq Nur Arif yang sudah menemani
penulis selama beberapa hari dalam pengambilan data di lapangan, serta kepada Aldaka
Wiguna yang sudah memberikan data tambahan dalam penelitian ini.
Daftar Pustaka
Hammilton, W. (1979). Tectonics of the Indonesian Region. Washington, United States
Government Printing Office.
Harjanto, A. (2011). Vulkanostratigrafi di Daerah Kulonprogo dan Sekitarnya, Daerah
Istimewa Yogyakarta. Jurnal Ilmiah MTG, 4(2).
Hartono, H. M. S. (1969). Globigerina marls and their Planktonik Foraminifera from the
Eocene of Nanggulan, Central Jawa. Foraminiferal Res. Contrib., 20, 152-159.
Katili, J. A. (1975). Volcanism and Plate Tectonics in the Indonesian Island Arcs.
Tectonophysics, 26, 165-188.
Pringgoprawiro, H. (1969). On the Age of the Sentolo Formation Based on Planctonic
Foraminifera. Bandung Inst.Technology, Dept. Geol. Contr., (64), 5-21.
Pringgoprawiro, H. dan Riyanto, B. (1988). Formasi Andesit Tua suatu Revisi. Bandung
Inst.Technologi, Dept.Geol.Contr., 1-29.
Rahardjo, W., Sukandarrumidi, dan Rosidi, H. M. D. (1995). Peta Geologi Lembar
Yogyakarta, Jawa. Skala 1:100.000. Bandung, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi.
Soeria-Atmadja, R., Maury, R. C., Bellon, H., Pringgoprawiro, H., dan Priadi, B. (1994).
Tertiary Magmatic Belts in Java. Journal of Southeast Asian Earth Science, 9(1/2), 13-
27.
Van Bemmelen, R. W. (1949). The Geology of Indonesia Vol. IA: General Geology of
Indonesia and Adjacent Archipelagoes. The Hague, Government Printing Office.
Widagdo, A., Pramumijoyo, S., Harijoko, A., dan Setiawan, A. (2016). Kajian Pendahuluan
Kontrol Struktur Geologi terhadap Sebaran Batuan-Batuan di Daerah Pegunungan
Kulonprogo-Yogyakarta. Dalam: Proceeding Seminar Nasional Kebumian Ke-9, 6-7
Oktober. Yogyakarta, pp. 9-20.
1208
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
Gambar 1. [A] Tatanan tektonik Pulau Jawa. [B] Sayatan melintang Pulau Jawa dari utara ke selatan
(Katili, 1975).
1209
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
Gambar 3. Pembagian fisiografi Pulau Jawa oleh van Bemmelen (1949, dengan modifikasi), lokasi
penelitian termasuk ke dalam Pegunungan Kulon Progo (kotak merah).
Gambar 4. Sebaran struktur geologi yang terdapat di Pegunungan Kulon Progo yang ikut
mempengaruhi persebaran batuan di Kulon Progo (Widagdo dkk., 2016).
1210
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
1211
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
A B
C D
Gambar 7. [A dan B] Kenampakan andesit tipe pertama yang dijumpai di dasar sungai di lokasi
penelitian. [C dan D] Kenampakan andesit tipe pertama yang sudah mengalami alterasi,
tampak batuan mengalami perubahan warna menjadi lebih kebiruan, batuan melimpah
dengan mineral kalsit dan sulfida.
A B
Gambar 8. [A] Kenampakan singkapan andesit tipe kedua di lokasi penelitan. [B] Kenampakan
contoh setangan andesit tipe kedua, mineral berwarna hitam adalah hornblenda.
1212
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
A B
Gambar 9. [A dan B] Kenampakan singkapan dasit di lapangan. Dasit menumpang di atas andesit tipe
pertama.
Gambar 10. Kenampakan sayatan tipis andesit tipe pertama (andesit piroksen), [A] pengamatan PPL
[B] pengamatan XPL.
1213
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
Gambar 11. Kenampakan sayatan tipis andesit tipe kedua (andesit porfiri hornblenda), [A]
pengamatan PPL [B] pengamatan XPL.
1214
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
Gambar 12. Kenampakan sayatan tipis dasit, [A] pengamatan PPL [B] pengamatan XPL.
Gambar 13. Ilustrasi yang menggambarkan petrogenesa batuan beku di lokasi penelitian.
1215