Anda di halaman 1dari 5

BAPEKAN

Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan) berdiri pada awal 1959 dengan ketua
Sultan Hamengku Buwono IX dan anggota Samadikoen, Semaun, Arnold Mononutu, dan
Letkol Sudirgo. Tugasnya mengawasi, meneliti, dan mengajukan usul kepada presiden
berkaitan dengan kegiatan aparatur negara. Lingkup tugas Bapekan mencakup aparat sipil
maupun militer dalam badan-badan usaha milik negara, yayasan, perusahaan, dan lembaga
negara.

Bapekan menerima segala macam pengaduan dari masyarakat terkait kinerja atau dugaan
korupsi aparatur negara. Mereka bisa mengirimkan pengaduannya ke alamat pos Bapekan,
Tromol No. 8 Jakarta. Melalui alamat pos itu, Bapekan menerima beragam aduan mulai dari
serdadu hingga sastrawan.

Di Jawa Timur, kerjasama Bapekan dengan Gubernur Soewondo Ranoewidjojo amat efektif.
Koordinasi keduanya berhasil membongkar praktik korupsi di jajaran pemerintahan hingga
tingkat kecamatan. Di Jakarta, Bapekan antara lain berhasil membongkar korupsi di Jawatan
Bea Cukai sejak 1950-1960 senilai Rp40 juta.

Namun, pendirian Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) oleh Jenderal Nasution
mengurangi ruang gerak Bapekan, keduanya bahkan hampir berkonflik. Riwayat Bapekan
tamat saat menangani dugaan-dugaan korupsi terkat pembangunan sarana olahraga untuk
Asian Games 1962. Belum sempat menyelesaikan penyelidikan atas dugaan korupsi itu,
pada 5 Mei 1962 presiden membubarkan Bapekan dengan alasan tidak diperlukan lagi.

Paran

Banyaknya korupsi yang dilakukan militer selepas nasionalisasi perusahaan-perusahaan


Belanda membuat sejumlah perwira Angkatan Darat jengah. Upaya pemberantasan oleh
Jenderal AH Nasution (menteri keamanan nasional sekaligus KSAD) gagal karena hanya
bermodalkan UU Keadaan Darurat Perang.

Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Nasution mengusulkan kepada Presiden Sukarno
perlunya pembentukan sebuah lembaga untuk membenahi birokrasi dan memberantas
korupsi. Presiden setuju dan menunjuk Nasution untuk mengonsepnya. Maka, lahirlah
Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) pada 1959. AH Nasution duduk sebagai
pimpinannya serta dibantu oleh Muhammad Yamin dan Roeslan Abdulgani. Salah satu tugas
Paran, mendata kekayaan para pejabat negara. Dari laporan kekayaan itu Paran mengetahui
banyaknya salah urus dan korupsi. Temuan-temuan itu lalu diteruskan ke kejaksaan,
pengadilan, atau kepolisian. Meski tak diketahui berapa jumlah pasti korupsi yang dibongkar
Paran, kinerja badan tersebut cukup memuaskan.

Namun, langkah Paran mendapat banyak rintangan. Banyak pejabat membangkang dengan
tak melaporkan kekayaan. Tak sedikit dari mereka yang langsung menyerahkan daftar
kekayaan kepada presiden. Dalih mereka, mereka bawahan presiden. “Siapa yang bisa
melawan Presiden Sukarno?” kata mantan anggota Paran Priyatna Abdurrasyid
kepada Historia.
Paran akhirnya mengalami mengalami deadlock saat posisi AH Nasution sebagai pimpinan
AD digantikan oleh Ahmad Yani pada 1962. Sejak itu Paran semakin terkucil.

Operasi Budhi

Sebagai respons terhadap radiogram KSAD Nasution tentang perintah kepada Kodam untuk
membentuk dan melaksanakan program Paran, Pangdam Siliwangi Mayjen Ibrahim Adjie
langsung membentuk Panitia Pelaksana Pendaftaran Kekayaan Para Perwira Tinggi dan
Menengah. Program terbatas itu diberi nama Operasi Budhi.

Selain menelusuri kekayaan para perwiranya, Siliwangi juga menarik perwira-perwiranya


yang gagal menjalankan jabatan-jabatan sipil. “Adjie tak mau berkompromi dalam soal ini,”
tulis Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945-1967. “Operasi Budhi bukan
semata untuk meningkatkan efisiensi administrasi, tapi juga memberikan jawaban yang
memadai atas tuduhan korupsi yang dilancarkan PKI terhadap para perwira Siliwangi.”

Keberhasilan Operasi Budhi lalu diambil-oper Nasution dan dijadikan program nasional oleh
Paran, yang kala sedang lesu. Melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya
pemberantasan korupsi kembali digeber dengan membentuk Operasi Budhi. Nasution
menjadi komandannya, dibantu Ketua Mahkamah Agung Wiryono Prodjodikusumo.

Operasi Budhi bergerak menyasar perusahaan-perusahaan plat merah serta lembaga-


lembaga negara lainnya yang dianggap rawan korupsi. Selain berhasil memejahijaukan
banyak pejabat sipil maupun militer, dengan ganjaran paling maksimal pemecatan dan
pemenjaraan. Dalam kurun tiga bulan sejak dijalankan, Operasi Budhi menyelamatkan sekira
Rp.11 milyar uang negara. Jumlah itu setara dengan 3000 lebih sedan Mercedes Benz. “Dulu
Mercedes 3,5 juta lho harganya,” kata mantan anggota Operasi Budhi Mohamad Achadi
(menteri Transmigrasi dan Koperasi di Kabinet Dwikora I) kepada Historia.

Namun, ketika Operasi Budhi hendak memeriksa Pertamina, Dirut Pertamina Ibnu Sutowo
dan para anggota direksinya menolak. Mereka beralasan pelaksanaan operasi belum
dilengkapi surat tugas. Operasi Budhi juga tersendat karena banyak pejabat atau perwira
yang berlindung di balik kuasa Sukarno –dengan membisikkan bahwa Nasution dengan
Operasi Budhi-nya sedang menggalang kekuatan untuk melawan presiden– atau Ahmad
Yani. Akhirnya Operasi Budhi dibubarkan pada Mei 1964.

Kotrar

Sebagai ganti dari pembubaran Paran/Operasi Budhi, Presiden Sukarno membentuk


Komando Tertinggi Retooling Aparatur (Kotrar) pada 1964. Presiden menunjuk Soebandrio
sebagai ketuanya dan Letjen Ahmad Yani sebagai kepala staf.

Namun, alih-alih bekerja cepat sesuai tujuan pendiriannya, Kotrar justru menjadi kendaraan
politik Soebandrio. Perbaikan administrasi pemerintahan dan pemberantasan korupsi
hampir tak tersentuh. Kotrar mengalami stagnasi hingga jatuhnya Presiden Sukarno.

TPK
Dalam pidato kenegaraannya pada 16 Agustus 1967, Presiden Soeharto menegaskan
komitmen pemerintahannya dalam pemberantasan korupsi yang selama itu terbengkalai.
Sebagai wujudnya, dia kemudian membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK). Tim ini
diketuai Jaksa Agung Sugih Arto. Anggotanya tak hanya orang-orang Kejaksaan, tapi ada
yang dari kepolisian, militer, pers, dan lain-lain.

Kasus terbesar yang ditangani TPK adalah dugaan korupsi di Pertamina, yang melibatkan
pucuk pimpinan perusahaan plat merah itu. Menurut mantan anggota Operasi Budhi yang
juga menjadi anggota TPK Priyatna Abdurrasyid, yang sempat memeriksa Ibnu Sutowo dan
Haji Taher, hambatan pemeriksaan Pertamina amat besar. Teror kerap menghampiri
anggota pemeriksa. Suatu hari, Priyatna dicaci-maki oleh asisten pribadi Presiden Soeharto
yang mengatakan padanya bahwa presiden marah karena menilai Priyatna lancang
memeriksa Pertamina. “Ancaman fisik pun pernah saya dapatkan. Suatu hari seorang
pejabat teras Pertamina yang saya kenal datang ke kantor saya. Di kamar kerja saya, dia
membanting pistol di atas meja saya. Ditantang begitu, darah saya naik,” ujar Priyatna
kepada Historia.

Intervensi penguasa membuat TPK gagal. Hingga tiga tahun berjalan, pengusutan terhadap
perusahaan-perusahaan negara atau institusi negara yang ditengarai menjadi sarang korupsi
seperti Bulog, Pertamina, dan Departemen Kehutanan, tidak tuntas. Masyarakat pun
mempertanyakan keseriusan pemerintah memberantas korupsi. Mahasiswa lalu
berdemonstrasi. “Ini merupakan gerakan anti korupsi paling besar dalam 25 tahun sejarah
Republik Indonesia.,” tulis Akhiar Salmi dalam “Kebijakan Politik dalam Pemberantasan
Korupsi Dari Masa ke Masa”, dimuat di Korupsi Yang Memiskinkan. Presiden akhirnya
membubarkan TPK.

Komisi Empat

Selain membubarkan TPK, Presiden Soeharto merespon protes mahasiswa dengan


membentuk Komisi Empat, 31 Januari 1970. Presiden menunjuk Moh. Hatta sebagai
penasehat komisi itu dan mantan Perdana Menteri Wilopo sebagai ketua. Tiga tokoh senior
yang dianggap bersih dan berwibawa, Prof Johannes (mantan rektor UGM), I.J. Kasimo
(Partai Katolik), dan A. Tjokroaminoto (PSII), dipercaya menjadi anggotanya.

Mayoritas kasus-kasus yang ditangani Komisi Empat merupakan kasus-kasus korupsi yang
terbengkalai penanganannya, seperti dugaan korupsi di Pertamina. “Komisi Empat
mengemukakan bahwa PN Pertamina tidak berpegang teguh pada pasal 33 UUD 1945.
Komisi Empat juga menunjukkan beberapa penyelewengan yang dilakukan oleh PN
Pertamina. Di antara “kelalaian” PN Pertamina yang utama ialah kelemahannya dalam
mengadakan budget control,” tulis JB Sudarmanto dalam Politik Bermartabat: Biografi IJ
Kasimo.

Temuan paling fenomenal Komisi Empat adalah kasus Presiden Direktur Pertamina Ibnu
Sutowo. Dia dicurigai memanfaatkan sebagian pendapatan perusahaan untuk tujuan politik
dan pribadi. Namun, hasil temuan itu tak mendapat respon pemerintah. “Ibnu Sutowo tidak
pernah dinyatakan merugikan keuangan negara atau melanggar hukum pidana; kasusnya
hanya dinyatakan (sebagai) hasil ‘salah manajemen’ atau salah urus,” tulis Sudarmanto.
Alih-alih memperdalam penyelidikan, tanpa alasan jelas pemerintah malah membubarkan
Komisi Empat pada 16 Juli 1970.

KPKPN

Meski singkat, pemerintahan Presiden BJ Habibie berusaha menangani pemberantasan


korupsi dengan serius melalui pembentukan Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara.
KPKPN dibentuk berdasarkan Undang-Undang No 28/1999 tentang Penyelenggaraan
Negara. “Fungsi utama KPKPN adalah mengeluarkan formulir kekayaan yang harus diisi oleh
pejabat publik,” tulis Simon Butt dalam Corruption and Law in Indonesia.

Dinahkodai Jusuf Syakir, KPKPN beranggotakan 35 orang dari beragam latar belakang
profesi. Mereka menyasar semua pejabat publik, mulai anggota MPR/DPR hingga perwira
militer. “Khusus untuk pemeriksaan kekayaan anggota KPKPN sendiri akan dikerjakan oleh
auditor independen,” kata Jusuf, dimuat Panji Masyarakat, 2001.

Untuk menyiasati kekurangan man power dan kekuatan yang dimilikinya, KPKPN membuat


pernyataan publik di media massa mengenai nama-nama pejabat yang tidak atau belum
melaporkan kekayaannya. “KPKPN menjadi salah satu lembaga anti korupsi yang lebih
efektif. Melalui publikasi tahunan pengumuman kekayaan (pejabat –red.), KPKPN berhasil
mengembangkan satu embrio budaya tanggung jawab terkait kekayaan dan konflik
kepentingan,” tulis buku Indonesia: Selected Issues. Meski sempat tak jelas nasibnya pada
masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, KPKPN akhirnya melebur ke dalam Komisi
Pemberantasan Korupsi.

TGPTPK

Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi


(TGPTPK), dengan ketuanya Hakim Agung Andi Andojo. Badan ini dibentuk dengan Keppres
No. 19/2000. “Tim ini bertugas untuk berburu para koruptor yang diduga bersembunyi di
luar Indonesia,” tulis Diana Ria dalam KPK in Action.

Namun, legalitas tim ini dipermasalahkan karena dasar pembentukannya berbenturan


dengan UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mahkamah
Konstitusi akhirnya membubarkan lembaga tersebut.

KPK

KPK didirikan berdasarkan UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Taufiequrachman Ruki didapuk menjadi ketua KPK pertama. Sejak
kepemimpinannya hingga pimpinan sekarang, KPK terus bergerak cepat membongkar kasus-
kasus korupsi hingga ke pemerintah daerah.

Sepak terjang KPK mendapat perlawanan, mulai serangan personal hingga institusional.
Terakhir, penyidik senior KPK Novel Baswedan menjadi korban penyiraman air keras
lantaran sedang mengusut korupsi besar KTP elektronik yang menyebut banyak anggota
DPR.

Anda mungkin juga menyukai