Anda di halaman 1dari 6

KORUPSI PADA MASA ORDE BARU

Disusun oleh:

Kelompok 3

1. Hadi Galih Hanisyam (142012018060)


2. Isti Fitria Sari (142012018061)
3. Laila Oktari (142012018062)
4. Leny Susanti (142012018063)
5. M. Apriansyah (142012018064)
6. Marissa Nur Azizah (142012018065)

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU
T.A. 2019/2020
Korupsi pada Era Orde Baru

Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus


1967, Pj Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu
memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di
Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi
korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian
dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.

Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas


korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa
memprotes keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog,
Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap
sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang
dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite
Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa
seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas
mereka yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog,
CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya
“macan ompong” karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina
tak direspon pemerintah.

Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah


Opstib (Operasi Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi.
Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib
terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara
Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara
pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam
memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada
Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya
waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa bekas sama sekali.

Korupsi kembali menjadi momok setelah berderet para kepala derah dan
anggota DRPD ketangkap-tangan sedang melakukan tindak korupsi dan
gratifikasi. Komisi Pemberantasan Korupsi telah melakukan Operasi Tangkap
Tangan (OTT) sebanyak 17 kasus sepanjang tahun 2016, dan hingga September
2017, sebanyak lima kepala daerah terjaring OTT.

Upaya OTT KPK membuktikan korupsi telah menjadi bahaya laten. Korupsi
telah merajalela sejak masa silam hingga kini. Lantas bagaimana penangan
korupsi di masa lalu? Simak lima kasus korupsi besar di masa Orde Baru.

Lima kasus korupsi besar di masa Orde Baru.

1. Kasus Coopa
31 Januari 1970, Soeharto membentuk Tim Empat, diketuai Wilopo, untuk
memberantas korupsi di pemerintahannya. Gebrakan Tim Empat sangat
menggemparkan, karena berhasil mengungkap skandal korupsi melibatkan
seorang jendral dikenal dekat dengan Cendana.
Sang jendral memiliki kedekatan denga sang presiden lantaran berurusan
dengan Coopa, perusahaan pemasok pupuk untuk program pertanian
pemerintah “Bimas Gotong Royong”.
Lalu pada 11 Maret 1970, Soeharto mengadakan pertemuan dengan
Komisi Empat di Istana Merdeka, salahsatu agendanya membahas masalah
penyelewengan Bimas Coopa.
Kejaksaan Agung menahan Arief Husni atau Ong Seng Keng, pemilik
Coopa, pada Agustus 1970.
Selain Coopa, Arif Husni juga merangkap direktur Bank Ramayana,
tempat Probosutedjo, adik Soeharto, ikut duduk dalam jajaran pemegang
saham di bank itu.
Korupsi dalam program swasembada pangan nasional ini merugikan
keuangan negara US$ 711.000.
Diduga, Arief tidak bekerja sendiri. Di belakanganya tersiar kabar, seorang
jendral cum ketua tim Penerbitan Keuangan Negara ikut bermain.
2. Kasus Badan Urusan Logistik
Posisinya sebagai lembaga langsung di bawah presiden menjadikan Bulog
bisa menikmati dana non bujeter di luar anggaran pendapatan dan belanja
negara (APBN).
Kewenangan itu membuat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) sulit menjamah alur keuangan Bulog.
Prakteknya, Bulog tidak pernah membeli langsung bahan pangan dari
petani melainkan dari para pedagang perantara dan operasi pasar juga
dilakukan melalui perantara.
Perantara arus utama pada kaitan pembelian dengan Bulog, tak lain Go
Swie Kie atau Dasuki Angka Subroto.
Dasuki Angka Subroto memulai bisnis utamanya sebagai importir beras
dan kacang kedelai untuk Bulog, sehingga dijuliki 'Bulog Swasta'.
Kepala Bulog kala itu, Achmad Tirtosudiro, meyatakan operasi Bulog
terhambat oleh ketidakberesan administrasi sehingga dana senilai Rp 1,3
miliar (atau senilai US$ 800000 kala itu) mengendap.
Imbasnya, Acmad Tirtosudiro diberhentikan dari jabatan Kepala Bulog
atas dugaan korupsi, pada Juni 1973. Dia justru beralih tempat kerja, menjadi
Duta Besar RI di Republik Federasi Jerman atau Jerman Barat.

3. Kasus Pertamina
Di bawah kuasa penuh Ibnu Sutowo, Pertamina dikelola secara tertutup.
Ketika Slamet Bratanata, Menteri Pertambangan mencoba mengatur
Pertamina seperti mempersyaratkan kontrak dengan tender terbuka, justru
Bratanata terpental. Direktorat Minyak dan Gas kemudian dialihkan dari
Kementrian Pertambangan, menjadi langsung berada di bawah Soeharto.
Bratanata pun diberhentikan tahun 1967.
Meski BUMN, prakteknya Pertamina di bawah Ibnu Sutowo
bertanggungjawab bukan kepada Menteri Pertambangan tetapi kepada
militer.
Neraca tidak pernah diumumkan dan laba tidak pernah diwartakan.
Walaupun pajak berhasil disetor ke pemerintah naik dari 15% menjadi 50%
pada tahun 1973, sesungguhnya tidak mencerminkan besarnya laba
Pertamina. Pengelolaan serba rahasia tersebut diyakini Pertamina menjadi
sumber keuangan TNI paling besar.
Tanpa akuntabilitas pengelolaan dan transparasi, Pertamina kemudian
terpuruk. Tahun 1975, Pertamina tidak mampu membayar kembali (default)
sejumlah hutang luar negeri jangka pendek mencapai US$ 1,5 miliar.
Tahun 1976 kembali terungkap Pertamina gagal membayar hutang jatuh
tempo mencapai US$ 10 miliar, sehingga Ibnu Sutowo tergusur dari
kursinya.

4. Kasus Bapindo
Eddy Tanzil mengajukan permohonan kredit bagi proyek Golden Key
Petrokimia kepada Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo). Guna
memudahkan pinjaman, dia mendapat surat referensi Ketua Dewan
Pertimbangan Agung, Sudomo.
Surat tersebut digunakan Eddy Tanzil untuk mengubah fasilitas usance
L/C menjadi red clause L/C.
Dalam kegiatan bisnis, Letter of Credit atau kerap disebut L/C. L/C
memiliki fungsi jaminan pembayaran, instrumen kredit dan pedoman jika
terjadi permasalahan.
Berdasarkan jangka tempo pembayaran, L/C dibagi dua; usance L/C dan
sight L/C. Dan untuk pembayaran di muka, dikenal ada dua macam; red
clause dan advance payment. Red clause berarti pembayaran di muka kepada
eksportir diberikan oleh negotiating bank. Kredit diajukan Eddy Tanzil itu
pun dicairkan oleh Bapindo seluruhnya pada akhir 1991.
Dalam perjalanannya, proses pembangunan pabrik Golden Key tidak
berjalan dengan semestinya. Dari usaha nakal itu, negara dirugikan sebesar
1,3 trilyun. PN Jakarta Pusat telah memvonis bersalah Eddy Tanzil selama 20
tahun penjara, pidana denda 30 juta; membayar uang pengganti 500 milyar;
dan mengganti uang negara 1,3 T. Namun Eddy Tanzil berhasil kabur, hingga
hari ini.
5. Korupsi Soeharto
Mantan Presiden Soeharto ditempatkan sebagai Presiden terkorup sedunia
berdasarkan temuan Transparency International 2004 dengan total perkiraan
korupsi sebesar 15-25 miliar dolar AS.
Dana tersebut digunakan untuk membiayai tujuh yayasan milik Soeharto;
Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma
Bhakti Sosial, Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti, Yayasan Amal Bhakti
Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, dan
Yayasan Trikora.
Berdasarkan putusan Mahkamah Agung No 2896 K/Pdt/2009 tanggal 28
Oktober 2010, memutuskan Yayasan Supersemar dihukum mengganti
kerugian negara sebesar 315.002.183 US dolar dan Rp.139.229.178 atau
sekitar Rp 3,07 triliun.
Namun, hingga kini putusan tersebut belum dieksekusi lantaran aset
Yayasan Supersemar tidak mencukupi untuk membayar ganti rugi.(*)
Achmad Sentot

Anda mungkin juga menyukai