Anda di halaman 1dari 37

URGENSI PENERAPAN INTERCONNECTED FRAMEWORK UNTUK

OPTIMALISASI MODEL PEMBIAYAAN PUBLIK PRIVATE


PARTNERSHIP SEBAGAI UPAYA PERCEPATAN PENYEDIAAN
INFRASTRUKTUR PUBLIK

Lomba Karya Tulis Ilmiah


Airlangga Law Competition 2018
NAMA KELOMPOK

Disusun Oleh:
Glinggang Hima Pradana (16/397630/HK/20952)
Nikolaus Baptista Ruma (17/414346/HK/21382)

UNIVERSITAS GADJAH MADA


YOGYAKARTA
2018

i
ii
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb., Salam sejahtera untuk kita semua.


Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
berkat dan karunianya sehingga kami bisa menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah
dengan judul “Urgensi Penerapan Interconnected Framework Untuk Optimalisasi
Model Pembiayaan Public Private Partnership Sebagai Upaya Percepatan
Penyediaan Infrastruktur Publik” guna mengikuti Airlangga Law Competition
2018. Terima kasih kami ucapkan pula kepada segenap pihak yang telah
membantu kami dalam mengumpulkan data, membuat tulisan, hingga
menyelesaikannya.
Pada dasarnya Penulis membuat Karya Tulis Ilmiah ini karena dari sudut
pandang kami, banyak permasalahan yang timbul terkait pemanfaatan model
pembiayaan Public Private Partnership untuk upaya percepatan penyediaan
infrastruktur publik. Hal tersebut berimplikasi pada adanya fenomena kesenjangan
antarwilayah yang terjadi di Indonesia. Pemakaian model pembiayaan Public
Private Partnership dapat menjadi solusi dalam pembangunan infrastruktur publik
di tengah keterbatasan dana yang dimiliki Pemerintah sekaligus mengentaskan
kesenjangan antarwilayah di Indonesia. Selain itu, perlu adanya pengembangan
model pembiayaan melalui peningkatan sinergisitas Pemerintah Pusat dan Daerah
dalam penyediaan infrastruktur public dan optimalisasi peran Pemda dalam
menerapkan model pembiayaan Public Private Partnership untuk penyediaan
infrastruktur di daerah. Penulis berharap pembuatan Karya Tulis Ilmiah ini dapat
memberikan sumbangan pemikiran mekanisme kerja yang bersifat interconnected
antara Pemerintah Pusat dan Daerah agar dapat bersinergi dalam upaya percepatan
penyediaan infrastruktur publik.
Penulis menyadari bahwa dalam Karya Tulis Ilmiah ini masih terdapat
banyak kekurangan. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi terciptanya sebuah Karya Tulis Ilmiah yang benar dan baik.
Akhirnya, semoga Karya Tulis Ilmiah ini dapat memberikan manfaat dan ikut
memberikan solusi atas permasalahan kesenjangan antarwilayah di Indonesia.
Yogyakarta, 14 Maret 2018

iii
Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.........................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................................ii
KATA PENGANTAR....................................................................................................iii
DAFTAR ISI...................................................................................................................iv
RINGKASAN..................................................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.....................................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................................4
C. Tujuan Penulisan.................................................................................4
D. Manfaat Penulisan...............................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum atas Kesenjangan Antarwilayah...............................5
B. Tinjauan Umum atas Pola Hubungan Pemerintah Pusat
dan Daerah...........................................................................................6
C. Tinjauan Umum atas Public Private Partnership...............................6
BAB III METODE PENULISAN
A. Jenis Penelitian....................................................................................9
B. Metode Penelitian................................................................................9
C. Jenis Data.............................................................................................9
D. Teknik Analisis Data.........................................................................10
E. Pengolahan Data................................................................................10
F. Analisis Sintesis.................................................................................10
BAB IV PEMBAHASAN
A. Mekanisme Public Private Partership Sebagai Model
Pembiayaan dalam Percepatan Penyediaan Infrastruktur
Publik.......................................................................................11
B. Penerapan Konsep Interconnected Framework Untuk
Optimalisasi Model Pembiayaan Public Private Partnership
Sebagai Upaya Percepatan Pembangunan Infrastruktur

iv
Publik...................................................................................................x
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................................20
B. Saran..................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................vii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP......................................................................................xii
LAMPIRAN...................................................................................................................xv

v
RINGKASAN

Perencanaan pembangunan oleh Pemerintah dalam Rencana Pembangunan


Jangka Menengah Nasional (RPJMN), menjadi konsekuensi logis Indonesia
sebagai negara kesejahteraan (walfare state) sebagaimana termaktub dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD NRI 1945). Pembangunan yang diselenggarakan secara secara adil dan
merata pada hakikatnya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang
kompleks. Hal tersebut perlu diimbangi dengan penyediaan infrastruktur publik
yang optimal. Sayangnya, hingga saat ini, dalam penyediaan infrastruktur publik,
ada begitu banyak masalah yang harus dibenahi, dimana salah satunya adalah
sumber pembiayaan yang menjadi kendala utama bagi Pemerintah maupun
Pemerintah Daerah dalam upaya pemerataan pembangunan di Indonesia.
Sumber pembiayaan konvensional melalui APBN yang saat ini digunakan
sebagai sumber pembiayaan proyek penyediaan infrastruktur publik, memiliki
banyak kelemahan dan mengakibatkan upaya penyediaan infrastruktur publik
selama ini masih belum optimal. Pemakaian APBN sebagai sumber pembiayaan
konvensional yang memiliki keterbatasan dana alokasi untuk infrastruktur,
menjadi hambatan bagi upaya Pemerintah dalam penyediaan infrastruktur publik
untuk mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah di Indonesia.
Penulis berpendapat bahwa untuk menyelesaikan permasalahan yang ada
dibutuhkan penanganan secara menyeluruh dan berkelanjutan. Maka dari itu,
perlu adanya pendekatan solutif untuk masalah model pembiayaan penyediaan
infrastrukur publik. Sebagai jawaban, RPJMN memberikan solusi dengan
berfokus pada penggunaan Public Private Partnership (PPP) sebagai model
pembiayaan penyediaan infrastruktur publik. Dilihat dari terminologinya, PPP
merupakan kerjasama antara Pemerintah dengan Badan Usaha, baik
BUMN/BUMD maupun swasta. Model pembiayaan ini memberikan ruang bagi
BUMN/BUMN maupun swasta untuk berinvestasi dalam upaya penyediaan
infrastruktur publik.
Walaupun PPP menjadi solusi yang efektif untuk mengatasi keterbatasan
dana dalam upaya pemerintah menyediakan infrastruktur publik, tetapi PPP justru
menimbulkan kesenjangan antar wilayah di Indonesia karena kurangnya
pemerataan pembangunan. Melihat hal tersebut, Penulis mengusung konsep
Interconnected Framework yang mewadahi koordinasi Pemerintah dan
Pemerintah Daerah dalam melaksanakan PPP sebagai upaya penyediaan
infrastruktur publik yang tetap menjamin adanya pemerataan untuk mengentas
kensenjangan pembangunan antar wilayah.
Berdasarkan konsepsi tersebut, Penulis menawarkan PPP Center sebagai
lembaga dalam mekanisme koordinasi yang sinergis antar Pemerintah dan
Pemerintah Daerah sebagai leading sector yang bertugas mengawasi dan
mengoptimalkan pelaksanaan PPP dalam upaya Pemerintah menyediakan
infrastruktur publik. Terakhir, Penulis juga mengusung mekanisme pelaporan
berjangka dan standarsasi PPP Assessment yang akan mengoptimalkan peran PPP
Center dalam bingkai Interconnected Framework, sehingga dapat
mengoptimalkan upaya Pemerintah dalam menyediakan infrastruktur publik
dalam mengatasi kesenjangan antar wilayah di Indonesia.

vi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemerataan pembangunan adalah salah satu misi pembangunan nasional


sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 (RPJP).1
Kemudian misi a quo dijabarkan ke dalam dimensi pembangunan antarwilayah
dalam Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional 2015-2019 (RPJMN).2 Adapun ruang lingkup
pembangunan antarwilayah meliputi; desa, pinggiran, luar jawa dan kawasan
timur.3 Fokus pembangunan antarwilayah menjadi penting mengingat sejak tahun
1982 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di kawasan timur Indonesia
hanya berperan 20 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), sangat
timpang apabila dibandingkan dengan wilayah barat (Sumatra, Jawa dan Bali)
yang menyumbang 80 persen PDB.4
Penyediaan infrastruktur5 kemudian menjadi fokus agenda prioritas
nasional dalam RPJMN. Hal tersebut merupakan wujud upaya Pemerintah dalam
mengurangi kesenjangan pembangunan. Berdasarkan studi empiris yang
dilakukan Calderon dan Serven, penyediaan infrastruktur yang memadai,
berkorelasi positif dengan pemerataan pembangunan.6 Menurut World Bank,
ketersediaan infrasturktur akan meningkatkan petumbuhan ekonomi, daya saing
nasional dan kesejahteraan masyarakat.7 Akan tetapi, pembiayaan infrastruktur
1
Vide Lampiran Bab III tentang Visi Misi Pembangunan Nasional Tahun 2005-2025, Undang-Undang
Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025.
2
Bappenas, 2014, Buku I Lampiran Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Rencana
Pembangunan Menengah Nasional, hlm 5-04.
3
Ibid..
4
Ibid, hlm 2-15.
5
Penyediaan Infrastruktur adalah kegiatan yang meliputi pekerjaan konstruksi untuk membangun atau
meningkatkan kemampuan infrastruktur dan/atau kegiatan pengelolaan infrastruktur dan/atau pemeliharaan
infrastruktur dalam rangka meningkatkan kemanfaatan infrastruktur. Vide Pasal 1 poin 5 Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam
Penyediaan Infrastruktur.
6
Andreas Wibowo, “Perkembangan Terkini Dalam Pembiayaan Infrastruktur yang Melibatkan Partisipasi
Badan Usaha, Disampaikan dalam Konferensi Nasional Teknik Sipil X pada tanggal 2-27 Oktober 2016 di
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, hlm 1.
7
World Bank, 1994, World Development Report: Infrastructure for Development, Oxford University Press,
kemudian menjadi permasalahan utama. Data Bappenas menunjukan besarnya
pembiayaan infrastruktur mencapai angka Rp 5.452 Triliun. 8 Angka tersebut tentu
sangat besar mengingat Pemerintah hanya mampu menyediakan dana Rp 1.131
Triliun, dengan menyisakan financial gap sebesar Rp 4.321 Triliun.9
Sebagai solusi, RPJMN mengutamakan model pembiayaan Publik Private
Partnership atau Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha, yang selanjutnya
disebut PPP,10 untuk menutupi kekurangan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN).11 Penerapan PPP pertama kali di Indonesia ditengarai oleh krisis
ekonomi tahun 1998, kemudian PPP digunakan untuk membangkitkan
perekonomian dan penyediaan infrastruktur di Indonesia.12 PPP terbukti
mempunyai signifikansi besar terhadap pembiayaan dan percepatan pembangunan
infrastruktur. 13 Sebagai contoh, sejak diterapkannya PPP di Korea Selatan pada
tahun 1990-an terdapat pengurangan beban anggaran Pemerintah dalam
pembangunan infrastruktur rata-rata 10,7% per tahun.14
Pada sekitar tahun 2004, Pemerintah Indonesia mulai merubah arah
kebijakan infrastruktur transportasi dengan membuka diri untuk bekerjasama
dengan swasta.15 Proses keterbukaan Pemerintah tersebut ditandai dengan
diubahnya semua undang-undang mengenai transportasi dalam kurun waktu lima
tahun.16 Berdasarkan fakta a quo, Pemerintah menyadari urgensi pengutamaan

Washington, D.C.
8
Sebagaimana peruntukan mencapai target dalam RPJMN periode 2014-2019.
9
Berdasar data Bappenas, Wisudanto, “Struktur Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur di Indonesia
Penunjang Pertumbuhan Ekonomi”, disampaikan dalam Simposium I Jaringan Perguruan Tinggi untuk
Pembangunan Infrastruktur Indonesia, 2016, hlm. 2.
10
Juga disebut Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU). Vide Peraturan Presiden Nomor 38
Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha.
11
Bappenas, Op.cit, Hlm 6-104.
12
Payung hukum pertama PPP adalah Keputusan Presiden No 7 Tahun 1998 tentang Kerjasama Pemerintah
dan Badan Usaha Swasta dalam Pembangunan dan atau Pengelolaan Infrastruktur.
13
Vide Poin Menimbang Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama
Pemerintah dengan Badan Usaha.
14
Dilihat dari tolok ukur perkembangan sejak tahun 1960 Korea Selatan tergolong salah satu negara miskin
dengan GDP per-kapita US$80, GDP per kapitanya lebih dari US$ 20.000. Sejak tahun 1995 hingga kini,
investasi swasta melalui skema PPP terus meningkat (Hyeok Jeong, 2017, Korea’s Growth Experience and
Long-Ter Growth Model dalam Policy Research Working Paper 8240, World Bank Group: Development
Research Group, hlm. 24).
15
Kementerian Perhubungan, Beberapa Fakta dan Pemikiran Tentang Pembiayaan Inovatif di Sektor
Transportas, Disampaikan pada Konsinyering Penyempurnaan Naskah Teknokratik RPJMN III, 08 Mei
2014.
16
Undang-undang yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian,
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Umum, Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan Undang-
Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan.

2
model pembiayaan PPP yang kemudian diterapkan dalam RPJMN 2015-2019.17
Pentingnya sumber dana diluar APBN, kemudian menjadi alasan utama penerapan
PPP sebagai model pembiayaan alternatif dalam penyediaan transportasi.18
Namun dalam pelaksanaannya, penerapan PPP di Indonesia belum ideal.
Permasalahan utamanya adalah ketidaksiapan Pemerintah maupun Pemerintah
Daerah (Pemda) yang seringkali gagal merencanakan dan mempersiapkan PPP.19
Tahap perencanaan dan persiapan tersebut menjadi krusial, karena menentukan
keberlangsungan suatu proyek. Dalam hal ini apabila Penanggung Jawab Proyek
Kerjasama (PJPK)20 tidak matang dalam mempersiapkan dan merencanakan
PPP,21 tentu akan berdampak pada gagalnya transaksi PPP. Menurut data, angka
kegagalan pelaksanaan PPP dari tahun ke tahun sangat tinggi. Berdasarkan
laporan World Bank Tahun 2008, teridentifikasi nilai proyek PPP yang gagal
mencapai USD 4.376 juta.22 Sedangkan Tahun 2014, dari 5 proyek strategis yang
ditawarkan melalui PPP hanya 20% yang berjalan, dengan nilai kegagalan USD
3.965 juta.23
Atas dasar permasalahan diatas, besar urgensinya untuk mengkaji ulang
kelembagaan pelaksana PPP. Tidak optimalnya kelembagaan PPP dalam hal ini
menyebabkan Pemda masih sangat bergantung pada dana alokasi APBN untuk
memenuhi kebutuhan infrastruktur daerah. Terbukti Pemerintah seringkali
mengambil-alih proyek pembangunan infrastruktur di daerah melalui Komite
Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP).24 Kegagalan pelaksanaan
PPP di daerah membuat pembangunan masih berjalan secara sentralistik, yang
mana bertentangan dengan paradigma pembangunan antarwilayah. Sebagai upaya
korektif, perlu adanya komparasi dengan kelembagaan PPP di Korea Selatan yang
terbukti sukses, dimana PPP Korea Selatan telah mempunyai kelembagaan yang

17
Bappenas, Loc.cit.
18
Kementerian Perhubungan, Loc.cit.
19
Vide Pasal 20 dan 21 Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan
Badan Usaha.
20
PJPK adalah perwakilan Pemerintah yang menjadi penyedia infrastruktur suatu proyek PPP, Vide Pasal 1
poin 3 Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha.
21
Danang Parikesit, Arah Baru Reformasi Bidang Transportasi, Yogyakarta, Disampaikan 13 Januari 2009.
22
Ibid.
23
Agust Supriadi, CNN Indonesia, Gagalnya Proyek Infrastruktur Kerjasama Pemerintah Swasta,
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20141007161843-78-5638/gagalnya-proyek-infrastruktur-
kerjasama-Pemerintah-swasta, Diakses pada 12 Maret 2018 pukul 23.45.
24
Dewi Aminatuz Zuhriyah, 2017, Pembangunan Infrastruktur: Masalah Klasik Masih Menghambat,
http://finansial.bisnis.com/read/20170919/9/pembangunan-infrastruktur//, Diakses pada 15 Maret 2018.

3
mengedepankan hubungan koordinasi dan bukan sekadar hubungan struktural
saja.
B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana penerapan model pembiayaan Publik Private Partnership
saat ini untuk percepatan penyediaan infratruktur publik?
2. Bagaimana penerapan Interconnected Framework untuk optimalisasi
model pembiayaan Publik Private Partnership?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan permasalahan diatas, adapun tujuan dari penulisan adalah
sebagai berikut:
1. Untuk menganalisis peran Pemerintah dalam model pembiayaan
Publik Private Partnership.
2. Untuk optimalisasi model pembiayaan Publik Private Partnership
3. Untuk merekomendasikan kepada Pemerintah mengenai mekanisme
kerja Interconnected Framework

D. Manfaat Penulisan
Manfaat yang ingin Penulis peroleh melalui karya tulis ini, antara lain:
1. Manfaat Teoritis
a. Penulisan ini sebagai salah satu sarana bagi Penulis untuk
mempelajari aspek-aspek ilmu hukum, terutama dalam bidang
penyediaan infrastrktur publik, yang termasuk kajian hukum
terkait infrastukrur di Indonesia.
b. Hasil penulisan ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih bagi
ilmu pengetahuan di bidang hukum pada umumnya.
2. Manfaat Praktis
a. Melalui karya tulis ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
kemampuan Penulis di bidang hukum sebagai bekal untuk
berkontribusi sebagai praktisi atau akademisi.
b. Melalui karya tulis ini, Penulis berharap dapat memberikan
sumbangsih pikiran berupa konsep implementatif dalam rangka
c. mempercepat pengadaan infrastruktur di Indonesia

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum atas Kesenjangan Antar Wilayah

Menurut Undang-Undang Penataan Ruang, wilayah didefinisikan sebagai


ruang dalam kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan
sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional.25
Sedangkan kesenjangan merujuk kepada adanya ketimpangan sebagai jurang
pemisah.26 Berdasarkan kedua pengertian tersebut, maka kesenjangan
antarwilayah dapat diterjemahkan kepada adanya ketimpangan suatu daerah
dengan daerah lainnya, misal Pulau Jawa dan Pulau Papua ataupun kawasan
perkotaan dengan kawasan pedesaan/pinggiran. Selain definisi tersebut, menurut
World Bank, kesenjangan (disparitas) antar wilayah adalah perbedaan tingkat
PDB per kapita yang dapat diakibatkan oleh pertumbuhan yang berbeda antar
wilayah tersebut.27
Menurut Williamson, kesenjangan terjadi karena adanya ketidakmerataan
dalam alokasi investasi antarwilayah yang berpengaruh dalam memicu dan
memacu ketidakseimbangan dalam pertumbuhan antarwilayah.28 Selain itu,
menurut Arief S., ketimpangan pembangunan dan hasil-hasil pembangunan
menggambarkan masih besarnya kemiskinan dan kerentanan di Indonesia. 29
Keberpihakan Pemerintah beserta aparatnya pada entitas kelompok masyarakat
atau wilayah tertentu dalam penyelenggaraan pembangunan merupakan substansi
dari kesenjangan di negara ini.30 Setiap negara tentu mempunyai wilayah yang
maju secara ekonomi dan ada pula yang tertinggal, maka dari itu perlu adanya
pembangunan wilayah secara adil dan merata untuk mengurangi kesenjangan

25
Vide Pasal 1 ayat (17) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan
Ruang.
26
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
27
World Bank, 1994, World Development Report: Infrastructure for Development. Washington, D.C
28
Williamson O.E., 1975, Markets and hierarchies: analysis and antitrust implications. New York: Free
Press, hlm. 286.
29
Arief S., 1997, Indonesia: Pertumbuhan Ekonomi, Disparitas Pendapatan dan Kesenjangan Kemiskinan
Massal, Jakarta: SrituaArief Associates (SAA).
30
Loekman Soetrisno, Substansi Permasalahan Kemiskinan dan Kesenjangan (dalam Amien Rais, 1999,
Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia, Yogyakarta: Aditya Media, hlm. 22)
antar wilayah yang ada.31

B. Tinjauan Umum Atas Public Private Partnership

Publik Private Partnership (PPP) atau yang lazim dikenal dengan Kerja
Sama Pemerintah Badan Usaha (KPBU) adalah salah satu model pembiayaan
penyediaan infrastruktur yang memiliki definisi sebagai kerjasama antara
Pemerintah dan Badan Usaha dalam penyediaan Infrastruktur untuk kepentingan
umum dengan mengacu pada spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh
Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah/Badan Usaha Milik Negara/Badan
Usaha Milik Daerah, yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya
Badan Usaha dengan memperlihatkan pembagian risiko diantara para pihak.32
Kerjasama tersebut meliputi desain, konstruksi, pembangunan
infrastruktur, peningkatan kapasitas, rehabilitasi, operasional, sampai kepada
pemeliharaan infrastruktur dalam rangka meningkatkan kuantitas dan kualitas
pelayanan publik.33 PPP/KPBU digunakan oleh Pemerintah sebagai alternatif
sumber pembiayaan diluar dana APBN yakni melalui pengerahan dana swasta
untuk penyediaan infrastruktur secara berkelajutan dengan karakteristik (a). Layak
secara keuangan, (b). Memberikan dampak ekonomi tinggi, (c). Memerlukan
dukungan dan jaminan Pemerintah yang minimum.34
Pihak yang terlibat dalam PPP/KPBU, yakni (a). Pemerintah/Pemda selaku
regulator, (b). Perbankan/Konsorsium selaku penyandang dana, dan (c). Pihak
Swasta/BUMN/BUMD selaku badan usaha pelaksana yang bertanggung jawab
atas pelaksanaan suatu proyek mulai dari desain, konstruksi, operasional, sampai
pemeliharaan infrastuktur.35 Pengadaan badan usaha pelaksana dilakukan melalui
sistem pelelangan maupun penunjukkan langsung oleh Pemerintah.36
31
Pengertian Pembangunan wilayah yang merata mengarah kepada pengembangan potensi wilayah secara
menyeluruh sesuai kapasitas dan potensi yang dimiliki masing-masing daerah tersebut. (Vide Sjafrizal, 1997,
Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional Wilayah Indonesia, PRISMA, No. 3, Tahun XXVI: 27-
38).
32
Vide Pasal 1 ayat (6) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama
Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.
33
Bappenas, 2009, Percepatan Pembangunan Infrastruktur.
34
Kementrian Keuangan Republik Indonesia, disampaikan dalam Plenary Session: A New Way, A New
Opportunity pada Indonesia PPP Day 2017, Jakarta, 29 November 2017.
35
Direktorat Kerjasama Pemerintah Swasta dan Rancang Bangun (KPSRB) Kementerian PPN/BAPPENAS,
Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), <http://kpsrb.bappenas.go.id/data/filekpbu/ tentang
%20KPBU%20(INDO).pdf>, diakes pada tanggal 13 Maret 2018.
36
Vide Pasal 38 ayat (1) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama
Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.

6
Dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa jenis skema PPP/KPBU dalam
membiayai penyediaan infrastruktur, seperti (a). KPBU Penjaminan Pemerintah,
dimana para investor akan mendapatkan jaminan political risk dari Pemerintah,
(b). KPBU dengan pengembalian investasi melalui tarif, dimana pemenang
konsorsium akan diberikan jaminan tarif beli dari Pemerintah ke swasta sehingga
akan ada kepastian pendapatan bagi para investor melalui Viability Gap Fund
sebagai dukungan Pemerintah, (c). KPBU dengan pengembalian melalui
availability payment/ketersediaan layanan, dimana swasta akan menerima
pembayaran jasa dari Pemerintah berdasarkan avaibility for services. Maka dari
itu, swasta sebagai pemenang proyek harus mengerjakan proyek infrastruktur
sampai selesai untuk kemudian dilakukan pemeliharaan, dan (d). KPBU dengan
pengembalian melalui dukungan sebagian konstruksi, dimana Pemerintah
memberikan dukungan kepada swasta bukan dalam bentuk uang melainkan
dukungan konstruksi.37
Jenis infrastruktur yang dapat disediakan melalui skema KPBU adalah
trasnportasi, konservasi energi, jalan, fasilitas perkotaan, sumber daya air dan
irigasi, fasilitas pendidikan, air minum, fasilitas sarana dan prasarana olahraga dan
kesenian, sistem pengelolaan air limbah terpusat dan setempat, kawasan,
pariwisata, sistem pengelolaan persampahan, lembaga pemasyarakatan,
telekomunikasi dan informatika, kesehatan, ketenagalisrikan, perumahan rakyat,
serta minyak dan gas bumi dan energi terbarukan.38

37
Suheriadi, 4 Skema KPBU Jadi Opsi Pembiayaan Infrastruktur, < http://infobanknews.com/4-skema-kpbu-
jadi-opsi-pembiayaan-infrastruktur/3/> , diakses pada 14 Maret 2018 pukul 05.06 WIB.
38
Vide Pasal 5 ayat (2) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama
Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.

7
8
BAB III
METODE PENULISAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam karya tulis ilmiah ini


adalah yuridis normatif. Penelitian yang menggunakan kajian
normatif adalah penelitian yang sumber datanya berasal dari berbagai
norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan,
putusan pengadilan, serta norma-norma hukum yang ada di dalam
masyarakat.39 Penelitian hukum ini menggunakan beberapa
pendekatan yang lazim digunakan dalam sebuah penelitian hukum
(legal research), antara lain pendekatan peraturan perundang-
undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual
approach).40
B. Jenis Data

Jenis data dalam penelitian ini berupa data sekunder dari


bahan hukum primer, sekunder maupun tersier yang berhubungan
dengan model pembiayaan PPP. Hal ini menjadi konsekuensi metode
penelitian yang digunakan dalam karya tulis yang merupakan metode
kualitatif non-intreraktif. Penelitian non-interaktif (non-interactive
inquiry) disebut juga penelitian analitis, mengadakan pengkajian
berdasarkan analisis dokumen, Peneliti menghimpun,
mengidentifikasi, menganalisis, dan mengadakan sintesis data, untuk
kemudian memberikan interpretasi terhadap konsep, kebijakan, dan
peristiwa yang secara langsung ataupun tidak langsung dapat
diamati.41

C. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah tindak lanjut dari proses pengolahan data

39
Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 105.
40
Johnny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang,
hlm. 300.
41
Ibid, hlm. 12.
yang ada. Dalam menganalisis data, diperlukan ketelitian dan
pencurahan daya pikir secara optimal.42 Analisis yang dilakukan oleh
Penulis adalah analisis dengan pendekatan kualitatif,43 karena tipe
dan tujuan serta sifat data yang terkumpul dalam penelitian sulit
diukur dengan angka. Prinsip pokok teknik analisis data kualitatif
ialah mengolah dan menganalisis data-data yang terkumpul menjadi
data yang sistematik, teratur, terstruktur dan mempunyai makna.44
Selain itu, ciri-ciri yang menonjol dalam data yang telah
dikumpulkan adalah data sekunder dari sumber hukum primer,
sekunder maupun tersier45 yang tepat untuk dianalisis dengan
pendekatan kualitatif
D. Pengolahan Data

Pengolahan data pada hakikatnya adalah kegiatan untuk


mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis.
Dalam pengolahan data yang Penulis lakukan,46 Penulis
mengkualifikasikan data dari berbagai regulasi dan kebijakan yang
PPP dan mereduksi data yang tidak diperlukan, Kemudian penyajian
data, yang merupakan kegiatan penyusunan sekumpulan informasi,
sehingga memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan.
Terakhir, Penulis melakukan penarikan kesimpulan sebagai hasil dari
analisis yang dapat digunakan untuk mengambil tindakan. Penarikan
kesimpulan didapat Penulis setelah mengkaji masalah yang ada
terkait dengan kondisi PPP yang kemudian dikaitkan instrument
hukum yang sudah dipersiapkan Pemerintah Indonesia saat ini.
E. Analisis Sintetis

Analisis dan sintestis merupakan sebuah cara pemahaman

42
Bambang Waluyo, 1991, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 77.
43
Ibid.
44
Ariesto Hadi Sutopo dan Adrianus Arief, 2010, Terampil Mengolah Data Kualitatif Dengan NVIVO,
Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 27.
45
Dalam analisis kualitatif, data yang terkumpul tidak berupa angka-angka yang dapat dilakukan pengukuran,
hubungan antara variabel tidak jelas dan sampel lebih bersifat non probabilitas. (Bambang Waluyo, Op.Cit.,
hlm. 78).
46
Miles M.B. dkk, 2014, Qualitative Data Analysis: An Expanded Sourcebook Edition 3, Sage Publikation
Asia-Pacific Pte. Ltd., Singapore, hlm. 13.

12
7
dalam interpretasi atau hermeunetika hukum. Hermeneutika dapat
berarti ilmu penafsiran atau ilmu untuk mengetahui maksud yang
8
terkandung dalam kata-kata ungkapan penulis. Hal ini dilakukan
untuk mencari pasal-pasal mana dari inventarisasi undang-undang
9
yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Dalam penelitian
ini, setelah Penulis mendapatkan inventarisasi hukum model
pembiayaan PPP.

BAB IV
PEMBAHASAN

A. Mekanisme Public Private Partnership sebagai Model Pembiayaan


dalam Percepatan Penyediaan Infrastruktur Publik

Dalam RPJMN, Model pembiayaan PPP adalah innovative


financing yang berfungsi sebagai alternatif pembiayaan diluar
APBN.47 Hal tersebut merupakan upaya Pemerintah dalam
melaksanakan amanat RPJP untuk mencapai pemerataan
pembangunan. Adanya Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
(SPPN) 48
menjadi konsekuensi logis Indonesia sebagai negara
kesejahteraan sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-
Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI 1945).49
Implementasi SPPN sangat penting untuk dapat menyelaraskan visi
dan misi pembangunan dalam RPJP dan RPJMN dengan seluruh
strategi, program dan kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah maupun
Pemda.50 Muatan dalam RPJP merupakan perencanaan secara umum
(inabstrakto)51 sehingga konsekuensinya, ketentuan yang terdapat

47
Ibid.
48
Vide Menimbang dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional.
49
Muchsan, 2000, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha
Negara di Indonesia Cetakan ke-3, Liberty, Yogyakarta, Hlm 8.
50
Vide Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional.
51
Soehino, 1998, Asas-Asas Hukum Tata Usaha Negara, Liberty, Yogyakarta , Hlm 161.

13
didalam RPJP harus terpenuhi secara substantif (directory).52
Pemda turut menjadi aktor penting untuk menyokong
kesuksesan penyelenggaraan PPP. Sebab paradigma pembangunan
yang dibangun dalam Rencana Kerja Pemerintah 2018 (RKP 2018)
tidak lagi sentralistik.53 Harus ada partisipasi aktif dari Pemda terhadap
perencanaan pembangunan infrastruktur nasional. Sejak ditetapkannya
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan
Daerah, kewenangan daerah bertambah dengan adanya otonomi
daerah dan desentralisasi.54 Namun Pemda masih kesulitan untuk
mencukupi kebutuhan infrastruktur daerah. Hal tersebut dikarenakan
Pemda masih banyak bergantung pada dana perimbangan dan
pendapatan asli daerah.55
Diawal penerapannya PPP menjadi sebuah dilema, karena PPP dianggap
sebagai upaya privatisasi karena menjadikan Pemerintah terikat perjanjian
kerjasama dengan swasta.56 Namun, berdasarkan Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan
Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur (Perpres KPBU) ditegaskan PPP berbeda
dengan privatisasi.57 Pertama apabila ditinjau dari kepemilikan dan/atau
kemanfaatan proyek infrastruktur masyarakat umum akan memperoleh
kemanfaatan. Sebagai catatan, dalam hal ini swasta hanya sebagai Badan Usaha
Pelaksana (BUP)58 yang dijalankan bersama Pemerintah sebagai Penanggung
Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) dengan prinsip kemitraan. 59 Kedua adalah
pembagian resiko, dalam hal ini Pemerintah juga berada dalam posisi yang

52
Jimly Asshidiqie, 2010, Perihal Undang-Undang,Rajawali Press, Jakarta, Hlm 20.
53
Kementerian PPN/Bappenas, 2017, Rakortek Pusat dan Daerah Fokus Bahas Prioritas Nasional, <https: //
www.bappenas.go.id/id/berita-dan-siaran-pers/rakortek-pusat-dan-daerah-fokus-bahas-prioritas-nasional/>,
diakses pada tanggal 4 April 2018, pukul 16.00
54
Ibid..
55
Vide Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah.
56
Riyant Nugroho, “PPP As A Policy Dilemma”, Jurnal Administrasi dan Organisasi, Volume 18, Nomor 3
Tahun 2011, Hlm 180.
57
Kandi, 2015, Kelembagaan dalam Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) dalam Majalah
Sustained Partnership, Jakarta: Direktorat KPSRB Bappenas, hlm. 5.
58
Vide Pasal 1 angka 8 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama
Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.
59
Vide Pasal 4 huruf b Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama
Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.

14
menguntungkan karena Pemerintah hanya menanggung resiko politik,60 sementara
swasta menanggung resiko pembangunan dan pengelolaan proyek.61
Hematnya dalam konstruksi hukum PPP di Indonesia, Pemerintah
mempunyai posisi tawar yang dominan.62 Pemerintah seharusnya mempunyai
akses yang mudah terhadap PPP sehingga dapat melakukan percepatan
penyediaan infrastruktur. Sebab fokus pemerintah dalam RPJMN berbeda-beda
setiap periodenya bergantung pada situasi politik. Oleh karena itu kebijakan
dalam penyediaan infrastruktur harus mampu untuk mencapai tujuan
pembangunan (doelmatigheid).63

1. Kelembagaan dalam Private Public Partnership


Bagan IV.2 Kelembagaan Dalam Pelaksanaan Tahapan PPP/KPBU
Koordinasi Pembentukan

Kementerian/Lembaga/Daerah

Menteri/Kepala
Lembaga/Kepala Daerah
(PJPK)

Simpul
KPBU
Tim KPBU Panitia Pengadaan

Sumber: Direktorat KPSRB Kementerian PPN/Bappenas


Berdasarkan skema koordinasi a quo, PJPK yang merupakan ketua/
kepala/ menteri dari lembaga yang telah dijelaskan sebelumnya, membentuk
Simpul Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (Simpul KPBU).64 Simpul
KPBU merupakan unit kerja di daerah maupun pusat yang mengurusi segala

60
Resiko politis ditanggung Pemerintah apabila penyediaan infrastruktur gagal apabila terjadi perubahan
kebijakan dan keputusan politis lainnya.
61
Amal Ihsan, 2017, Pemerintah Tawari Swasta Aneka Pendanaan Kreatif Proyek Infrastruktur,
<https://katadata.co.id/telaah/2017/08/23/Pemerintah-tawari-swasta-aneka-pendanaan-kreatif-proyek-
infrastruktur>, diakses pada 15 Maret 2018.
62
Zainal Asikin, “Perjanjian Kerjasama Antara Pemerintah dengan Swasta Dalam Penyediaan Infrastruktur
Publik”, Mimbar Hukum, Vol 25 Nomor 1 Tahun 2013, Hlm 60.
63
Ibid, Hlm 166.
64
Vide Pasal 44 ayat (1) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama
Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.

15
kegiatan KPBU yang melekat pada lembaga induknya.65 Adapun tugas pokok dan
fungsi (tupoksi) Simpul KPBU, yakni melakukan perumusan kebijakan dan/atau
sinkronisasi dan/atau koordinasi dan/atau pengawasan, dan/atau evaluasi terhadap
kegiatan KPBU.66 Tupoksi Simpul KPBU, memperlihatkan adanya dominasi kuat
Simpul KPBU dalam PPP, mulai dari tahap awal perencanaan penyediaan sampai
kepada tahap evaluasi pembangunan infrastruktur publik.67
Selanjutnya, PJPK juga membentuk Tim KPBU dan Badan Pengadaan
sebagai pelaksana in charge dalam suatu KPBU.68 Tim KPBU memiliki tupoksi
yaitu;69 (1) Melakukan kegiatan penyiapan kajian awal Prastudi Kelayakan dan
kajian akhir Prastudi Kelayakan; (2) Memastikan kegiatan tahap penyiapan dan
transaksi KPBU setelah penetapan Badan Usaha Pelaksana hingga diperolehnya
Pemenuhan Pembiayaan (financial close); (3) Menyampaikan pelaporan kepada
PJPK secara berkala melalui Simpul KPBU; dan (4). Melakukan kordinasi dengan
Simpul KPBU dalam pelaksanaan tugasnya.
Sedangkan, Badan Pengadaan memiliki mempunyai peran dan tanggung
jawab sebagai berikut;70 (1) Mempersiapkan melaksanakan proses Pengadaan
Badan Usaha setelah menyelesaikan Dokumen Prastudi Kelayakan dan (2)
Penetapan pemenang, serta finalisasi pengadaan dengan ditandatanganinya
perjanjian KPBU. Namun kelembagaan PPP masih belum optimal sebagaimana
dalam konsepsi idealnya. Pada praktiknya belum semua
Kementerian/Lembaga/Pemda membentuk Simpul KPBU. Penerapan Simpul
KPBU pada Pemerintah Kota Bandung dan Pemerintah Provinsi Jakarta terbukti
memberikan akses Pemda terhadap PPP. Sehingga pelaksanaan PPP di daerah
terutama.

2. Tahapan dalam Private Public Partnership


65
Ibid.
66
Vide Pasal 44 ayat (2) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama
Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.
67
Direktorat KPSRB, 2016, Toolkit Penyusunan KPBU, Jakarta: Kementrian PPN/Bappenas, hlm. 8
68
Vide Anak Lampiran VI Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 4 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama
Pemerintah dengan Badan Usaha.
69
Vide Anak Lampiran VI Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 4 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama
Pemerintah dengan Badan Usaha.
70
Vide Anak Lampiran VI Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 4 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama
Pemerintah dengan Badan Usaha.

16
Tabel IV.1 Tahap-Tahap dalam PPP

Tahap 1: Tahap 2: Tahap 3:


Perencanaan Proyek Penyiapan Proyek Transaksi Proyek Kerja Sama
Kerja Sama Kerja Sama
• Penyusunan Penjajakan Minat Pasar (iMarket
Penyiapan Kajian KPBU;
rencana dan anggaran Sounding);
Pengajuan Dukungan
dana KPBU; Penetapan lokasi KPBU;
• Identifikasi dan Pemerintah;
Pengadaaan Badan Usaha Pelaksana
Penyusunan Usulan Pengajuan Jaminan
KPBU;
rencana KPBU; Pemerintah; dan
Penandatanganan perjanjian KPBU;
• Penanggaran dana Pengajuan Penetapan
Pemenuhan pembiayaan (Financial
tahap perencanaan lokasi.
close)
• Pengambilan
Keputusan lanjut/tidak
lanjut rencana KPBU;
• Penyusunan Daftar
Rencana KPBU; dan

17
Sumber: Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Jaminan Risiko
Kementerian Keuangan
Tahap-tahapan dalam PPP diatas merupakan skema PPP jenis solcited atau
dengan pengadaan lelang BUP.71 Adapun PPP dapat juga diadakan dengan skema
unsolcited atau dengan skema badan usaha mengajukan diri untuk menjadi BUP. 72
Fokus Penulis dalam tulisan ini adalah pada,tahap perencanaan dan persiapan PPP
yang selalu ada dalam setiap skema PPP, baik solcited maupun unsolcited.
Berkaca pada data dan fakta sebelumnya, PJPK yang dapat diemban menteri,
kepala lembaga negara, kepala daerah dan kepala BUMN/BUMD belum
menunjukan upaya serius dalam perencaaan dan persiapan yang matang dalam
skema PPP.
Proses Feasibility Studies atau uji kelayakan kemudian menjadi vital
dalam persiapan PPP. Kesiapan dokumen Feasibilities Studies dalam proyek PPP
mempengaruhi daya tarik investor.73 Namun dalam menentukan feasibilities
studies tidak ada penilaian atau standarisasi yang pakem. Dampaknya banyak
praktek di daerah yang tidak membuat dokumen tersebut dengan matang dan
proyek tersebut tidak dipandang mempunyai prospek yang baik oleh investor.
Terbukti dalam tataran implementatif seringkali PJPK sebagai perwakilan
Pemerintah74 dalam posisi yang lemah, sehingga kepentingan publik yang
diembannya justru berada dalam posisi tawar yang rendah.

Kelembagaan dan tahap persiapan PPP mempunyai


permasalahan yang dapat menghambat keberlangsungan PPP. Maka
perlu dilakukan langkah-langkah komprehensif guna memacu
keikutsertaan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur, terutama di
daerah yang menjadi fokus pembangunan antarwilayah. Sejalan
dengan tujuan PPP, diperlukan penguatan kelembagaan dalam
koordinasi, pelaksanaan dan regionalisasi pembangunan

71
Vide Anak Lampiran 1 Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional Nomor 4 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pev laksanaan Kerjasama Pemerintah
dengan Badan Usaha.
72
73
Danang Parikesit, “Pembiayaan Kerjasama Pemerintah Swasta dalam Penyediaan Infrastruktur
Transportasi”, Disampaikan pada video conference Lingkar Inspirasi Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI)
Belanda, 19 April 2015.
74
Kewenangan PJPK berlandaskan diskresi

18
infrastruktur.75 Terutama kebijakan-kebijakan pembangunan daerah
sebagai peraturan pelaksana76 dapat terintegrasi dengan peraturan
perundang-undangan terkait PPP.

B. Penerapan Interconnected Framework Sebagai Optimalisasi Model


Pembiayaan Public Private Partnership

Pada sub-bab sebelumnya, telah dijabarkan mengenai mekanisme dan


permasalahan kelembagaan PPP dalam melaksanakan. Berakar dari permasalahan
a quo, besar urgensinya untuk mengoptimalisasi kelembagaan PPP. Sebagai
solusi, Penulis menawarkan sebuah konsep bernama Interconnected Framework.
Sederhananya, Interconnected Framework adalah konsep koordinasi dan
kerjasama terintegrasi antara kelembagaan PPP pusat dengan daerah dalam skema
kelembagaan PPP. Konsep ini sebagai upaya korektif terhadap kelembagaan PPP,
agar dapat mencapai konsepsi ideal yaitu pembangunan infrastruktur publik secara
adil dan merata di seluruh wilayah Indonesia.77

Secara harfiah, Interconnected Framework mempunyai makna,


yakni Interconnected yang berarti saling berhubungan satu sama
lain.78 Kemudian Framework yang berarti struktur kerja.79 Dalam
konsep ini pun memuat berbagai prinsip yang melekat pada unsur
Framework, dimana unsur tersebut dalam pelaksanaannya melalui
koordinasi yang saling berhubungan (interconnected), saling
memengaruhi (interplay), saling bertimbal balik (reciprocity), saling
mendukung (have a mutual support for each other), dan mempunyai
konektifitas yang tinggi satu sama lain.80
Unsur tersebut yang kemudian menjadi fokus utama dalam
konsep koordinasi antara Pemerintah dan Pemda dalam kelembagaan
PPP sebagai bentuk penguatan koordinasi sistem dalam upaya
percepatan penyediaan infrastruktur publik di daerah. Konsepsi
75
Bappenas, Op.cit. Hlm 7-16.
76
Bagir Manan, 2004, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum UII, Yogyakarta, Hlm 32.
77
Andreas Wibowo, Loc.Cit.
78
Peter Salim, 2006, The Contemporary English-Indonesian Dictionary, Jakarta: Media Pustaka, hlm. 1146.
79
Ibid., hlm. 876.
80
Jacobson. C., and Choi, S. O., 2008, “Success factors: public works and public private partnership.” Dalam
International Journal of Publc Sector Management, 21(6), hlm. 637-657.

19
tersebut Penulis usung atas dasar keberhasilan PPP di Korea Selatan
yang memakai PPP Review Comittee dan Public Private Investment
Management dalam skema kelembagaannya.81 Permasalahannya di
Indonesia, antara kelembagaan KPBU Pusat dengan Daerah hanya
mempunyai hubungan struktural dan bukan dalam hubungan
koordinasi yang sinergis. Adapun konsep tersebut dapat dijabarkan
sebagai berikut;

1. Pembentukan Public Private Partnership Center

Dalam hal ini, yang menjadi perhatian utama adalah


ketidakefektifan Simpul KPBU Daerah. Sebagai unit kerja PPP yang
dapat berkedudukan dipusat maupun daerah, idealnya Simpul KPBU
dapat menjadi pusat koordinasi dan evaluasi keberlangsungan PPP di
daerah. Namun, Simpul KPBU sendiri pada prakteknya baru terbentuk
di beberapa kementerian.82 Hal tersebut diperparah dengan keberadaan
Simpul KPBU daerah yang masih sangat minim. Praktis, hanya daerah
dengan tingkat pembangunan infrastruktur yang tinggi yang akan
menyadari pentingnya pembentukan unit kerja khusus PPP.83
Ketiadaan fungsi koordinasi dan evaluasi tersebut yang membuat PPP
di daerah tidak berjalan dengan optimal.
Sejatinya terdapat urgensi besar agar Pemerintah hadir dalam
rangka mewujudkan konektifitas dalam kerangka kerja PPP. Dalam
mendukung hal tersebut, Penulis mengusulkan agar dibentuknya
Public Private Partnership Center (PPPC). Kehadiran PPPC sebagai
gate keeper perencanaan dan pelaksanaan proyek PPP telah sesuai
dengan arah kebijakan dan strategi nasional untuk penguatan proses
pengambilan keputusan kebijakan PPP Pusat maupun Daerah.84

81
Direktorat KPSRB Kementerian PPN/Bappenas, Op.Cit., hlm. 22.
82
Kementerian Koordinator Perekonomian, 2017, “Perwujudan Indonesia Sentris dan Pembangunan
Kewilyahan Secara Merata dalam Bahan Paparan Konferensi Pers 3 Tahun Pemerintahan Jokowi JK, slide
V.
83
Kebanyakan adalah Pemda yang tergolong mapan,seperti Pemerintah Kota Bandung dan Pemerintah
Provinsi Jakarta.
84
Vide Buku I Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Periode 2015-2019 halaman 6-105.

20
Walaupun saat ini terdapat Kantor Bersama PPP, tetapi
keberadaanya belum bisa memenuhi kebutuhan yang ada, terutama
terkait dengan koordinasi kelembagaan, sebab unit-unit kerja di dalam
Kantor Bersama memiliki fungsi yang berbeda dimana hal tersebut
akan memicu ego sektoral.85 Hal itu akan menyisakan gap yang sangat
besar, khususnya koordinasi antara Pemerintah dan Pemda dalam
merencanakan dan melaksanakan proyek PPP.
Namun, diharapkan kelemahan Kantor Bersama saat ini dapat
dihilangkan dengan adanya keberadaan PPPC melalui tugas pokok dan
fungsi (Tupoksi) nya, yakni melakukan pendampingan dan
memfasilitasi penanganan permasalahan dalam penyelenggaraan PPP,
tetapi tupoksi tersebut kemudian ditunjang oleh tupoksi lain, yakni
sebagai pusat pengembangan sistem informasi penyelenggaraan
KPBU, terutama terkait mitigasi risiko yang akan melibatkan semua
pemangku kepentingan dalam KPBU, serta mengadakan kegiatan
pendidikan dan pelatihan (training) bagi aparatur pemerintah terkait
penyelenggaraan infrastruktur melalui skema PPP.

2. Mekanisme Pelaporan Berjenjang

Penulis mengusung adanya pelaporan berjenjang yang akan


dilaksanakan oleh PPPC sebagai sistem kontrol yang berpegang pada
Interconnected Framework. Pelaporan berjenjang sendiri merupakan
implementasi dari tugas pokok PPPC sebagai sistem pusat informasi
terkait penyelenggaraan PPP, baik di Pusat maupun di Daerah.
Mekanisme ini nantinya akan diwadahi PPPC dalam sebuah forum
yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam PPP, baik di
tingkat pusat maupun daerah. Pelaporan berjenjang ini nantinya juga
akan mempermudah pengawasan kelembagaan dan pengadaan proyek
infrastruktur dengan skema PPP, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Dalam kondisi saat ini, keberadaan Kantor Bersama PPP juga dinilai
belum efektif dalam menjaga koordinasi yang baik di tingkat pusat,

85
Kandi, Op.Cit., hlm. 9.

21
terlebih di tingkat daerah.86 Hal tersebut dikarenakan masih belum
jelasnya alur pelaporan penyelanggaraan PPP oleh para pihak yang
terlibat dalam proses pengadaan infrastruktur publik.87
Kehadiran mekanisme pelaporan berjenjang ini juga nantinya
akan berkorelasi positif pada koordinasi kelembagaan PPP yang
sinergis, baik di tingkat pusat, pusat-daerah, maupun pada tingkat
daerah itu sendiri. Sebab pada pelaporan berjenjang ini, Pemerintah
dalam forum khusus yang diwadahi PPPC tetap akan meminta
pasrtisipasi aktif dari Pemda dalam proses perencanaan, persiapan,
sampai pada proses pelaksanaan PPP dalam pengadaan infrastruktur
public. Diharapkan gap antara Pemerintah dan Pemda akan hilang dan
daerah memiliki kemandirian dalam mengelola pelaksanaan PPP yang
dibantu PPPC dalam mengadakan infrastruktur publik di daerah.

3. Standarisasi Public Private Partnership Assessment

Dalam perencanaan dan persiapan PPP besar urgensinya untuk


menetapkan standarisasi penilaian yang pakem terhadap proyek PPP.
Suatu proyek PPP harus dinyatakan layak secara ekonomi maupun
finansial.88 Dalam hal ini, gagasan yang Penulis usung adalah
assessment atau penilaian yang bertingkat seperti yang sudah
diterapkan di Korea Selatan. PPP assesment yang diterapkan di Korea
Selatan sudah sangat terstruktur dan mengandalkan koordinasi pusat
dan daerah. Dalam koordinasinya Pemerintah melakukan evaluasi
secara berkala terhadap dokumen-dokumen perencanaan dan persiapan
PPP. Tingkat pertama adalah feasibility studies atau kajian kelayakan.
Feasibility studies menjadi penting guna menjamin kelayakan dari
infrastruktur yang sedang diinisiasi.

86
Menteri PPN/Kepala Bappenas, “Sinkronisasi Perencanaan Pusat dan Daerah Dalam Mendukung Sasaran
Pembangunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2018”, disampaikan dalam Rapat Koordinasi Teknis Pusat
dan Daerah di Batam, 22 Februari 2017.
87
Ibid..
88
Indonesia Infrastructure Guarantee Fund Institute, 2015, Model Asesmen Kualitatif Value for Money Bagi
Penyelenggaraan Infrastruktur Publik, Jakarta: Indonesia Infrastructure Guarantee Fund Institute.

22
Kemudian mekanisme assessment yang kedua adalah kajian
value for money. Value for Money (VfM) adalah konsep pengelolaan
PPP sektor publik yang berdasar pada ekonomi, efisien, dan
efektifitas.89 Berikut tabel pelaksanaan PPP assessment:

Disetujui

Tidak
Disetujui

Tahap Assessment

Inisiasi
Proyek

Feasible
Studies

Value for
Money Test

Proyek
STOP Public Private
Pemerintah
Partnership

Dalam Perpres KPBU, analisis VfM sudah digunakan untuk


mengidentifikasi proyek PPP. Namun operasionalisasi VfM untuk
konteks Indonesia masih dirasa belum jelas dan pemahamannya pun
masih beragam.90 Pentingnya standarisasi assesment PPP sejalan
dengan pendekatan money follow program dalam RKP 2018.

89
Mardiasmo, 2009, Akuntansi Sektor Publik, Yogyakarta, Andi Yogyakarta, Hlm 13.
90
Andre Wibowo, Op.Cit, Hlm 7.

23
Kepastian pelaksanaan program menjadi fokus, berimplikasi pada
persamaan parameter assessment Infrastruktur.
Dalam pelaksanaannya, kedua assessment dilaksanakan dalam
secara berjenjang. Pertama proyek yang diinisiasikan wajib membuat
kajian terkait kelayakkan suatu proyek tersebut (feasibility studies).
Tahap ini akan menentukan lanjut atau tidaknya proyek infrastruktur.
Apabila tidak memenuhi kriteria kelayakan maka pengerjaan proyek
batal. Kemudian setelah dinyatakan layak, proyek akan dikaji secara
value for money. Dalam kajian VfM ditentukan apakah proyek
dikerjakan menggunakan dana pemerintah atau dengan PPP. Kajian
VfM yang sudah diterapkan di Korea Selatan dilakukan dengan
pendekatan kualitatif dan kuantitatif.91 Pendekatan kualitatif dilakukan
untuk menentukan apakah proyek infrastruktur layak secara untuk
dikerjakan melalui PPP. Sedangkan Pendekatan kuantitatif dilakukan
untuk menentukan apakah skema PPP memberikan VfM yang lebih.

91
Ibid, Hlm 8.

24
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan atas rumusan masalah di atas, Penulis
mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Keikutsertaan Indonesia dalam Open Sky Policy yang dinilai masih
prematur, berimpilkasi terhadap ketidaksiapan infratruktur fisik dan
instrumen hukum terkait tata kelola ruang udara nasional sebagai langkah
mengantisipasi liberalisasi penerbangan yang akan mengancam kedaulatan
negara atas ruang udara.
2. Instrumen hukum, seperti regulasi, kebijakan, dan kelembagaan yang ada
dinilai belum siap dan mampu untuk menghadapi Open Sky Policy
ditengah upaya untuk menegakkan kedaulatan negara di ruang udara
melalui optimalisasi tata kelola ruang udara nasional. Belum adanya
payung hukum yang jelas, spesifik, dan komprehensif terkait tata kelola
ruang udara dan masih kurang koordinasinya lembaga negara yang
berfokus pada pengelolaan tata ruang udara nasional menjadi alasan kunci
dari ketidaksiapan instrumen hukum Indonesia mengantisipasi arus
libealisasi penerbangan Open Sky Policy.
3. Interdependent Airspace Governance sebagai sebuah sistem kerja
pengelolaan ruang udara nasional yang terintegrasi memiliki keunggulan
yang mendukung
kedaulatan negara atas ruang udara nasional dengan mekanisme kesatuan
koordinasi yang sinergis antar lembaga negara yang berfokus pada
pengelolaan tata ruang udara nasional sebagai upaya efektif dan efisien
menanggulangi ketidaksiapan infrastruktur fisik dan instrumen hukum
terkait tata kelola ruang udara nasional sebagai langkah mengantisipasi
liberalisasi penerbangan yang akan mengancam kedaulatan negara atas
ruang udara.
B. Saran
Berdasarkan permasalahan yang ada, pada bagian ini Penulis
merekomendasikan saran konkrit sebagai berikut:
1. Perlunya legislasi atas Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Ruang
Udara Nasional (RUU PRUN) sebagai payung hukum yang memberikan
legitimasi dan jaminan hukum atas tugas dan kewenangan Pemerintah
dalam mengatur dan mengelola ruang udara nasional demi tegaknya
kedaulatan negara atas ruang udara nasional.
2. Perlunya dibentuk sebuah badan koordinasi nasional dalam rangka
mewujudkan kedaulatan ruang udara nasional. Badan ini berkedudukan di
pusat dan tiap-tiap provinsi, bertugas melakukan pemetaan, pengelolaan,
pengawasan, dan kontrol terhadap ruang udara nasional dengan berpegang
pada sistem kerja Interdependent Airspace Governance.
3. Perlunya penerapan mekanisme Interdependent Airspace Governance
dalam Badan Koordinasi Tata Kelola Ruang Udara Nasional yang akan
dibentuk sebagai upaya mewujudkan kedaulatan negara atas ruang udara
nasional.

20
DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Abdurrasjid, Priyatna, 2011, Mata Rantai Pembangunan Ilmu Teknologi dan


Hukum Kedirgantaraan Nasional Indonesia, Fikahati Aneska, Jakarta.

Ali, Zainuddin, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Amiruddin dan Asikin, Zainal, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.

Asshiddiqie, Jimly, 2005, Konstitusi & Konstitualisme Indonesia, Sekretariat


Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
Jakarta.

Echols, J.M., dan Shadily, Hasan, 2007, Kamus Inggris Indonesia – An English
Indonesian Dictionary, PT. Gramedia, Jakarta.

Hamdi, Asep S., 2014, Metode Penelitian Kuantitatif Aplikasi dalam Pendidikan,
Deepublish, Yogyakarta.

Ibrahim, Johny, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,


Bayumedia Publishing, Malang.

Kurnia, Mahendra P., 2011, Hukum Kewilayahan Indonesia: Harmonisasi Hukum


Pengembangan Kawasan Perbatasan NKRI Berbasis Teknologi
Geospasial, Universitas Brawijaya Pres, Malang.

Kusumaatmaja, Mochtar, 2003, Konsepsi Hukum Negara Nusantara pada


Konferensi Hukum Laut III, Bandung, Pusat Studi Wawasan Nusantara.

Kusumaningrum, Adi, 2012, Prinsip Cabotage Dalam Industri Penerbangan


Indonesia Di Era Asian Single Aviation Market 2015, Universitas
Brawijaya Press, Malang.

Martono, K., 2007, Pengantar Hukum Udara, Nasional, dan Internasional, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.

Martono, K., dan Sudiro, Ahmad, 2012, Hukum Udara Nasional dan
Internasional Publik, Jakarta Rajawali Press, Jakarta.

Marzuki, Mahmud P., 2005, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta.

M.B., Miles, etal., 2014, Qualitative Data Analysis: An Expanded Sourcebook


Edition 3, SAGE Publikation Asia-Pacific Pte.Ltd:, Singapore

Oxford University, 2002, The Oxford English Minidictionary, Fifth Edition,


Oxford University Press, New York.
Pramono, Agus., 2011, Dasar-Dasar Hukum Udara dan Ruang Angkasa, Ghalia
Indonesia Jakarta.

Siagian, Sondang P., 2014, Adiministrasi Pembangungan, Gunung Agung,


Jakarta.

Soehino, 1998, Ilmu Negara, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta.

Soekanto, Soerjono, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia


Press, Jakarta.

Starke, J.G., 2007, Pengantar Hukum Internasional (Terjemahan Bambang Iriana


Djajaatmadja), Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.

Sutopo, A.H., dan Adrianus, Arief, 2010, Terampil Mengolah Data Kualitatif
Dengan NVIVO, Prenada Media Group, Jakarta.

Waluyo, Bambang, 1991, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika,


Jakarta.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan


United Nations Convention on the Law of the Sea /Konvensi Perserikatan
Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1985 Nomor 76, Tambahan Lembaraan Negara Republik Indonesia
Nomor 3319).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan


Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956).

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2012 tentang


Perusahaan Umum (Perum) Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi
Penerbangan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012
Nomor 176).

Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2005 Tentang Protocol On The Authentic


Quinquelingual Text Of The Convention On The International Civil
Aviation, Chicago 1944 ( Protokol Tentang Naskah Asli Bahasa Kelima
Dari Konvensi Penerbangan Sipil Internasional, Chicago 1944) (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 8).
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2015 tentang
Kementerian Agraria Dan Tata Ruang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 18.

C. ARTIKEL DAN JURNAL

Adam L. Schless, “Opened Skies: Loosening the Protectionist Grips on


International Civil Aviation” dalam Emory International Law Review,
Volume. 8, 43, Januari, 1994.

CSE Aviation, 2015, “CSE Aviation Forum: ASEAN Open Sky 2015: Sebuah
Kesempatan sekaligus Ancaman Bagi Industri Penerbangan Indonesia”,
Jakarta.

Devi Fajria, 2015, “Gagasan Asean Open Skies Di Indonesia Dan Kaitannya
Dengan Kedaulatan Ruang udara Indonesia”, Universitas Riau Press, Riau.

Dinas Hukum TNI AU, 2014, “Optimalisasi Pengaturan / Pengelolaan Ruang


Udara Nasional Untuk Pertahanan Dan Keamanan Negara”, Pustaka Tata
Ruang dan Pertahanan, Jakarta.

Ferdi, 2015, “Implikasi Yuridis Dari Ratifikasi Piagam Asean Terhadap


Perdagangan Jasa Penerbangan Di Indonesia Dalam Rangka Menuju Asean
Economic Community Tahun 2015”, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 5,
Februari, 2016.

F.M. Parapat, dan Sunardi, “Pemekaran Wawasan Nusantara Sebagai Doktrin


Dasar Nasional”, dalam Wawasan Nusantara, Surya Indah, Jakarta.

Kementerian Perhubungan, 2012, Majalah Kementerian Perhubungan. “Pasar


Penerbangan Bergeser dari Atlantik ke Asia Pasifik”,Transmedia, Edisi 5.

Magna, Kuntana, dkk., “Tafsir Mahkamah Konstitusi Atas Pasal 33 Undang-


Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Putusan MK Mengenai
Judicial Review Undang-Undang No. 7 Tahun 2004, Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2001, dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002)”,
Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 1, Februari 2010.
Oki Pramana Putra, 2012, “Upaya Indonesia Dalam Menghadapi Implementasi
Asean Open Sky Tahun 2015”, Universitas Riau Press, Riau.

Wahyono S.K. “Wawasan Nusantara Sebuah Konsepsi Geopolitik” dalam


Wawasan Nusantara, Surya Indah, Jakarta.

D. KARANGAN/ESAI

Purwanto, Harry, “Implikasi ASEAN Open Sky Policy terhadap Kedaulatan


Negara di Ruang Udara”, 2016, Yogyakarta.
E. INTERNET

Badan Informasi Geografi, “Badan Informasi Geografi Serahkan Peta NKRI


Kepada Kemenkokesra”, Badan Informasi Geografi,
http://www.bakosurtanal.go.id/berita-surta/show/big-serahkan-peta-nkri-
kepada-kemenkokesra, diakses pada tanggal 20 September 2017 pukul
17.23 WIB.

CSE Aviation, “ASEAN Open Sky siapakah Indonesia?”,


http://tabloidaviasi.com/liputan-utama/asean-open-sky-siapakahindonesia,
diakses tanggal 3 Mei 2013 pada 20.31 WIB.

Hakim, Chappy, “Quo Vadis Kedaulatan Udara Indoenesia”,


http://www.artileri.org/2012/12/kedaulatan-udara-indonesia-di-mata-
chappy-hakim.html, diakses tanggal 2 September 2017 pukul 16.54 WIB.

Kementerian Perhubungan, “Pemerintah Dorong Garuda Sambut Tawaran


FAA”, http://m.dephub.go.id/read/berita/direktorat-jenderalperhubungan-
udara/Pemerintah-dorong-garuda-sambut-tawaran-faa-160, diakses tangga
10 November 2013.

LAPAN, Tugas Pokok LAPAN,


https://www.lapan.go.id/index.php/subblog/pages/2013/5/Tugas-Pokok-dan-
Fungsi, diakses tanggal 28 September 2017 pukul 19.14.

Nova, Maria, 2010, ‘Singapura dan Kerja Sama Open Sky di ASEAN”,
hhtp://www.lontar.ui.ac.id/file, diakses tanggal 1 Mei 2013 pukul 15.46
WIB.

Sena, Afen, “Prinsip Prinsip Dalam Kedaulatan Atas Ruang Udara Nasional”,
http://angkasasena.blogspot.co.id/2008/06/prinsip-prinsip-dalam-
kedaulatan-atas.html, diakses tanggal 20 September 2017 pukul 14.30 WIB.

Setiadi, Wicipto, “Pemetaan Pengaturan Pengelolaan Ruang Udara Di Indonesia”,


https://id.scribd.com/presentation/222795252/Pemetaan-Pengaturan-
Pengelolaan-Ruang-Udara-di-Indonesia, diakses tanggal 20 September 2017
pukul 11.30 WIB.

Soesilo, Fadli, “System Transportasi Udara di Indonesia : Kondisi Terkini,


Tantangan, dan Peluang dimasa Depan”,
http://komputasi.inn.bppt.go.id/semiloka06/Fadli_Soesilo.pdf, diakses pada
20 September 2017, pukul 15.17 WIB.

Supancana, “Kilas Balik, Urgensi Dan Proses Penyusunan Naskah Akademis Dan
Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Ruang Udara Nasional (RUU-
PRUN)”, https://id.scribd.com/presentation/236684960/Kilas-Balik-
Urgensi-dan-Proses-Penyusunan-Naskah-Akademis-dan-Rancangan-
Undang-Undang-Pengelolaan-Ruang-Udara-Nasional-RUU-PRUN, diakses
tanggal 19 September 2017 pukul 15.20 WIB.

TNI Angkatan Udara, Tugas Pokok dan Fungsi KOHUDNAS,


http://www.kohanudnas.mil.id/publik/content?
id=48&menu=KOHANUDNAS-Tugas-KOHANUDNAS, diakses tanggal
28 September 2017 pukul 19.13.

United States Departement of State, “Open Skies Agreement”,


https://www.state.gov/e/eb/rls/othr/2006/22281.html, diakses pada 23
September 2017 pukul 19.30.

Yudha, Akbar, ASEAN Open Sky Ancam Kedaulatan Indonesia,


http://www.beritasatu.com/politik/86826-asean-open-skyancam-kedaulatan-
udara-indonesia.html, diakses tanggal 23 Agustus 2013 pukul 15.23 WIB.

E. LAIN-LAIN:

Laporan Kongres Kedirgantaraan Nasional Kedua, Jakarta, 22-24 Desember 2003.

Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa Nomor 37/92.

Naskah Lemhanas, (1982), Buku I Wawasan Nusantara Undang-Undang Nomor 2


Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Hankamneg.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Ketua Tim

1. Nama Lengkap : Glinggang Hima Pradana


2. Tempat dan Tanggal Lahir : Surakarta, 11 Juni 1998
3. Nomor Ponsel : 081223368536
4. E-mail : glingganghima26@gmail.com
5. Alamat Rumah : Perumahan Tiara Amarta Jatimulya,
Kricak, Kota Yogyakarta, D.I.Yogyakarta.
6. Karya Ilmiah yang Pernah Dibuat :
a. Rekonseptualisasi Peran Tim Pengawas Aliran Kepercayaan dan Aliran
Keagamaan Dalam Masyarakat Melalui Intergovernmental Institutions
Partnership Sebagai Rekognisi Nilai Toleransi Kebebasan Beragama
7. Penghargaan :
a. Juara III Karya Tulis Ilmiah Diponegoro Law Fair 2017
b. Mahasiswa Berprestasi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Anggota Tim

1. Nama Lengkap : Nikolaus Baptisa Ruma


2. Tempat dan Tanggal Lahir : Jakarta, 6 Desember 1998
3. Nomor Ponsel : 081282547875
4. E-mail : niko_baptist@yahoo.com
5. Alamat Rumah : Jl. Buhu No. 114, Karanggayam,
Depok, Sleman, Yogyakarta
6. Karya Ilmiah yang Pernah Dibuat :
a. Urgensi Penerapan Interdependent Airspace Governance Untuk
Optimalisasi Tata Kelola Ruang Udara Nasional Sebagai Antisipasi Open
Sky Policy.
7. Penghargaan :
a. Juara I Kompetisi Karya Tulis Mahasiswa Pekan Hukum Nasional 2017.
b. Mahasiswa Berprestasi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Anda mungkin juga menyukai