Disusun Oleh:
Glinggang Hima Pradana (16/397630/HK/20952)
Nikolaus Baptista Ruma (17/414346/HK/21382)
i
ii
KATA PENGANTAR
iii
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.........................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................................ii
KATA PENGANTAR....................................................................................................iii
DAFTAR ISI...................................................................................................................iv
RINGKASAN..................................................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.....................................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................................4
C. Tujuan Penulisan.................................................................................4
D. Manfaat Penulisan...............................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum atas Kesenjangan Antarwilayah...............................5
B. Tinjauan Umum atas Pola Hubungan Pemerintah Pusat
dan Daerah...........................................................................................6
C. Tinjauan Umum atas Public Private Partnership...............................6
BAB III METODE PENULISAN
A. Jenis Penelitian....................................................................................9
B. Metode Penelitian................................................................................9
C. Jenis Data.............................................................................................9
D. Teknik Analisis Data.........................................................................10
E. Pengolahan Data................................................................................10
F. Analisis Sintesis.................................................................................10
BAB IV PEMBAHASAN
A. Mekanisme Public Private Partership Sebagai Model
Pembiayaan dalam Percepatan Penyediaan Infrastruktur
Publik.......................................................................................11
B. Penerapan Konsep Interconnected Framework Untuk
Optimalisasi Model Pembiayaan Public Private Partnership
Sebagai Upaya Percepatan Pembangunan Infrastruktur
iv
Publik...................................................................................................x
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................................20
B. Saran..................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................vii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP......................................................................................xii
LAMPIRAN...................................................................................................................xv
v
RINGKASAN
vi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Washington, D.C.
8
Sebagaimana peruntukan mencapai target dalam RPJMN periode 2014-2019.
9
Berdasar data Bappenas, Wisudanto, “Struktur Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur di Indonesia
Penunjang Pertumbuhan Ekonomi”, disampaikan dalam Simposium I Jaringan Perguruan Tinggi untuk
Pembangunan Infrastruktur Indonesia, 2016, hlm. 2.
10
Juga disebut Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU). Vide Peraturan Presiden Nomor 38
Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha.
11
Bappenas, Op.cit, Hlm 6-104.
12
Payung hukum pertama PPP adalah Keputusan Presiden No 7 Tahun 1998 tentang Kerjasama Pemerintah
dan Badan Usaha Swasta dalam Pembangunan dan atau Pengelolaan Infrastruktur.
13
Vide Poin Menimbang Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama
Pemerintah dengan Badan Usaha.
14
Dilihat dari tolok ukur perkembangan sejak tahun 1960 Korea Selatan tergolong salah satu negara miskin
dengan GDP per-kapita US$80, GDP per kapitanya lebih dari US$ 20.000. Sejak tahun 1995 hingga kini,
investasi swasta melalui skema PPP terus meningkat (Hyeok Jeong, 2017, Korea’s Growth Experience and
Long-Ter Growth Model dalam Policy Research Working Paper 8240, World Bank Group: Development
Research Group, hlm. 24).
15
Kementerian Perhubungan, Beberapa Fakta dan Pemikiran Tentang Pembiayaan Inovatif di Sektor
Transportas, Disampaikan pada Konsinyering Penyempurnaan Naskah Teknokratik RPJMN III, 08 Mei
2014.
16
Undang-undang yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian,
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Umum, Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan Undang-
Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan.
2
model pembiayaan PPP yang kemudian diterapkan dalam RPJMN 2015-2019.17
Pentingnya sumber dana diluar APBN, kemudian menjadi alasan utama penerapan
PPP sebagai model pembiayaan alternatif dalam penyediaan transportasi.18
Namun dalam pelaksanaannya, penerapan PPP di Indonesia belum ideal.
Permasalahan utamanya adalah ketidaksiapan Pemerintah maupun Pemerintah
Daerah (Pemda) yang seringkali gagal merencanakan dan mempersiapkan PPP.19
Tahap perencanaan dan persiapan tersebut menjadi krusial, karena menentukan
keberlangsungan suatu proyek. Dalam hal ini apabila Penanggung Jawab Proyek
Kerjasama (PJPK)20 tidak matang dalam mempersiapkan dan merencanakan
PPP,21 tentu akan berdampak pada gagalnya transaksi PPP. Menurut data, angka
kegagalan pelaksanaan PPP dari tahun ke tahun sangat tinggi. Berdasarkan
laporan World Bank Tahun 2008, teridentifikasi nilai proyek PPP yang gagal
mencapai USD 4.376 juta.22 Sedangkan Tahun 2014, dari 5 proyek strategis yang
ditawarkan melalui PPP hanya 20% yang berjalan, dengan nilai kegagalan USD
3.965 juta.23
Atas dasar permasalahan diatas, besar urgensinya untuk mengkaji ulang
kelembagaan pelaksana PPP. Tidak optimalnya kelembagaan PPP dalam hal ini
menyebabkan Pemda masih sangat bergantung pada dana alokasi APBN untuk
memenuhi kebutuhan infrastruktur daerah. Terbukti Pemerintah seringkali
mengambil-alih proyek pembangunan infrastruktur di daerah melalui Komite
Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP).24 Kegagalan pelaksanaan
PPP di daerah membuat pembangunan masih berjalan secara sentralistik, yang
mana bertentangan dengan paradigma pembangunan antarwilayah. Sebagai upaya
korektif, perlu adanya komparasi dengan kelembagaan PPP di Korea Selatan yang
terbukti sukses, dimana PPP Korea Selatan telah mempunyai kelembagaan yang
17
Bappenas, Loc.cit.
18
Kementerian Perhubungan, Loc.cit.
19
Vide Pasal 20 dan 21 Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan
Badan Usaha.
20
PJPK adalah perwakilan Pemerintah yang menjadi penyedia infrastruktur suatu proyek PPP, Vide Pasal 1
poin 3 Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha.
21
Danang Parikesit, Arah Baru Reformasi Bidang Transportasi, Yogyakarta, Disampaikan 13 Januari 2009.
22
Ibid.
23
Agust Supriadi, CNN Indonesia, Gagalnya Proyek Infrastruktur Kerjasama Pemerintah Swasta,
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20141007161843-78-5638/gagalnya-proyek-infrastruktur-
kerjasama-Pemerintah-swasta, Diakses pada 12 Maret 2018 pukul 23.45.
24
Dewi Aminatuz Zuhriyah, 2017, Pembangunan Infrastruktur: Masalah Klasik Masih Menghambat,
http://finansial.bisnis.com/read/20170919/9/pembangunan-infrastruktur//, Diakses pada 15 Maret 2018.
3
mengedepankan hubungan koordinasi dan bukan sekadar hubungan struktural
saja.
B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana penerapan model pembiayaan Publik Private Partnership
saat ini untuk percepatan penyediaan infratruktur publik?
2. Bagaimana penerapan Interconnected Framework untuk optimalisasi
model pembiayaan Publik Private Partnership?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan permasalahan diatas, adapun tujuan dari penulisan adalah
sebagai berikut:
1. Untuk menganalisis peran Pemerintah dalam model pembiayaan
Publik Private Partnership.
2. Untuk optimalisasi model pembiayaan Publik Private Partnership
3. Untuk merekomendasikan kepada Pemerintah mengenai mekanisme
kerja Interconnected Framework
D. Manfaat Penulisan
Manfaat yang ingin Penulis peroleh melalui karya tulis ini, antara lain:
1. Manfaat Teoritis
a. Penulisan ini sebagai salah satu sarana bagi Penulis untuk
mempelajari aspek-aspek ilmu hukum, terutama dalam bidang
penyediaan infrastrktur publik, yang termasuk kajian hukum
terkait infrastukrur di Indonesia.
b. Hasil penulisan ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih bagi
ilmu pengetahuan di bidang hukum pada umumnya.
2. Manfaat Praktis
a. Melalui karya tulis ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
kemampuan Penulis di bidang hukum sebagai bekal untuk
berkontribusi sebagai praktisi atau akademisi.
b. Melalui karya tulis ini, Penulis berharap dapat memberikan
sumbangsih pikiran berupa konsep implementatif dalam rangka
c. mempercepat pengadaan infrastruktur di Indonesia
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
25
Vide Pasal 1 ayat (17) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan
Ruang.
26
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
27
World Bank, 1994, World Development Report: Infrastructure for Development. Washington, D.C
28
Williamson O.E., 1975, Markets and hierarchies: analysis and antitrust implications. New York: Free
Press, hlm. 286.
29
Arief S., 1997, Indonesia: Pertumbuhan Ekonomi, Disparitas Pendapatan dan Kesenjangan Kemiskinan
Massal, Jakarta: SrituaArief Associates (SAA).
30
Loekman Soetrisno, Substansi Permasalahan Kemiskinan dan Kesenjangan (dalam Amien Rais, 1999,
Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia, Yogyakarta: Aditya Media, hlm. 22)
antar wilayah yang ada.31
Publik Private Partnership (PPP) atau yang lazim dikenal dengan Kerja
Sama Pemerintah Badan Usaha (KPBU) adalah salah satu model pembiayaan
penyediaan infrastruktur yang memiliki definisi sebagai kerjasama antara
Pemerintah dan Badan Usaha dalam penyediaan Infrastruktur untuk kepentingan
umum dengan mengacu pada spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh
Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah/Badan Usaha Milik Negara/Badan
Usaha Milik Daerah, yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya
Badan Usaha dengan memperlihatkan pembagian risiko diantara para pihak.32
Kerjasama tersebut meliputi desain, konstruksi, pembangunan
infrastruktur, peningkatan kapasitas, rehabilitasi, operasional, sampai kepada
pemeliharaan infrastruktur dalam rangka meningkatkan kuantitas dan kualitas
pelayanan publik.33 PPP/KPBU digunakan oleh Pemerintah sebagai alternatif
sumber pembiayaan diluar dana APBN yakni melalui pengerahan dana swasta
untuk penyediaan infrastruktur secara berkelajutan dengan karakteristik (a). Layak
secara keuangan, (b). Memberikan dampak ekonomi tinggi, (c). Memerlukan
dukungan dan jaminan Pemerintah yang minimum.34
Pihak yang terlibat dalam PPP/KPBU, yakni (a). Pemerintah/Pemda selaku
regulator, (b). Perbankan/Konsorsium selaku penyandang dana, dan (c). Pihak
Swasta/BUMN/BUMD selaku badan usaha pelaksana yang bertanggung jawab
atas pelaksanaan suatu proyek mulai dari desain, konstruksi, operasional, sampai
pemeliharaan infrastuktur.35 Pengadaan badan usaha pelaksana dilakukan melalui
sistem pelelangan maupun penunjukkan langsung oleh Pemerintah.36
31
Pengertian Pembangunan wilayah yang merata mengarah kepada pengembangan potensi wilayah secara
menyeluruh sesuai kapasitas dan potensi yang dimiliki masing-masing daerah tersebut. (Vide Sjafrizal, 1997,
Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional Wilayah Indonesia, PRISMA, No. 3, Tahun XXVI: 27-
38).
32
Vide Pasal 1 ayat (6) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama
Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.
33
Bappenas, 2009, Percepatan Pembangunan Infrastruktur.
34
Kementrian Keuangan Republik Indonesia, disampaikan dalam Plenary Session: A New Way, A New
Opportunity pada Indonesia PPP Day 2017, Jakarta, 29 November 2017.
35
Direktorat Kerjasama Pemerintah Swasta dan Rancang Bangun (KPSRB) Kementerian PPN/BAPPENAS,
Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), <http://kpsrb.bappenas.go.id/data/filekpbu/ tentang
%20KPBU%20(INDO).pdf>, diakes pada tanggal 13 Maret 2018.
36
Vide Pasal 38 ayat (1) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama
Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.
6
Dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa jenis skema PPP/KPBU dalam
membiayai penyediaan infrastruktur, seperti (a). KPBU Penjaminan Pemerintah,
dimana para investor akan mendapatkan jaminan political risk dari Pemerintah,
(b). KPBU dengan pengembalian investasi melalui tarif, dimana pemenang
konsorsium akan diberikan jaminan tarif beli dari Pemerintah ke swasta sehingga
akan ada kepastian pendapatan bagi para investor melalui Viability Gap Fund
sebagai dukungan Pemerintah, (c). KPBU dengan pengembalian melalui
availability payment/ketersediaan layanan, dimana swasta akan menerima
pembayaran jasa dari Pemerintah berdasarkan avaibility for services. Maka dari
itu, swasta sebagai pemenang proyek harus mengerjakan proyek infrastruktur
sampai selesai untuk kemudian dilakukan pemeliharaan, dan (d). KPBU dengan
pengembalian melalui dukungan sebagian konstruksi, dimana Pemerintah
memberikan dukungan kepada swasta bukan dalam bentuk uang melainkan
dukungan konstruksi.37
Jenis infrastruktur yang dapat disediakan melalui skema KPBU adalah
trasnportasi, konservasi energi, jalan, fasilitas perkotaan, sumber daya air dan
irigasi, fasilitas pendidikan, air minum, fasilitas sarana dan prasarana olahraga dan
kesenian, sistem pengelolaan air limbah terpusat dan setempat, kawasan,
pariwisata, sistem pengelolaan persampahan, lembaga pemasyarakatan,
telekomunikasi dan informatika, kesehatan, ketenagalisrikan, perumahan rakyat,
serta minyak dan gas bumi dan energi terbarukan.38
37
Suheriadi, 4 Skema KPBU Jadi Opsi Pembiayaan Infrastruktur, < http://infobanknews.com/4-skema-kpbu-
jadi-opsi-pembiayaan-infrastruktur/3/> , diakses pada 14 Maret 2018 pukul 05.06 WIB.
38
Vide Pasal 5 ayat (2) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama
Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.
7
8
BAB III
METODE PENULISAN
A. Jenis Penelitian
39
Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 105.
40
Johnny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang,
hlm. 300.
41
Ibid, hlm. 12.
yang ada. Dalam menganalisis data, diperlukan ketelitian dan
pencurahan daya pikir secara optimal.42 Analisis yang dilakukan oleh
Penulis adalah analisis dengan pendekatan kualitatif,43 karena tipe
dan tujuan serta sifat data yang terkumpul dalam penelitian sulit
diukur dengan angka. Prinsip pokok teknik analisis data kualitatif
ialah mengolah dan menganalisis data-data yang terkumpul menjadi
data yang sistematik, teratur, terstruktur dan mempunyai makna.44
Selain itu, ciri-ciri yang menonjol dalam data yang telah
dikumpulkan adalah data sekunder dari sumber hukum primer,
sekunder maupun tersier45 yang tepat untuk dianalisis dengan
pendekatan kualitatif
D. Pengolahan Data
42
Bambang Waluyo, 1991, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 77.
43
Ibid.
44
Ariesto Hadi Sutopo dan Adrianus Arief, 2010, Terampil Mengolah Data Kualitatif Dengan NVIVO,
Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 27.
45
Dalam analisis kualitatif, data yang terkumpul tidak berupa angka-angka yang dapat dilakukan pengukuran,
hubungan antara variabel tidak jelas dan sampel lebih bersifat non probabilitas. (Bambang Waluyo, Op.Cit.,
hlm. 78).
46
Miles M.B. dkk, 2014, Qualitative Data Analysis: An Expanded Sourcebook Edition 3, Sage Publikation
Asia-Pacific Pte. Ltd., Singapore, hlm. 13.
12
7
dalam interpretasi atau hermeunetika hukum. Hermeneutika dapat
berarti ilmu penafsiran atau ilmu untuk mengetahui maksud yang
8
terkandung dalam kata-kata ungkapan penulis. Hal ini dilakukan
untuk mencari pasal-pasal mana dari inventarisasi undang-undang
9
yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Dalam penelitian
ini, setelah Penulis mendapatkan inventarisasi hukum model
pembiayaan PPP.
BAB IV
PEMBAHASAN
47
Ibid.
48
Vide Menimbang dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional.
49
Muchsan, 2000, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha
Negara di Indonesia Cetakan ke-3, Liberty, Yogyakarta, Hlm 8.
50
Vide Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional.
51
Soehino, 1998, Asas-Asas Hukum Tata Usaha Negara, Liberty, Yogyakarta , Hlm 161.
13
didalam RPJP harus terpenuhi secara substantif (directory).52
Pemda turut menjadi aktor penting untuk menyokong
kesuksesan penyelenggaraan PPP. Sebab paradigma pembangunan
yang dibangun dalam Rencana Kerja Pemerintah 2018 (RKP 2018)
tidak lagi sentralistik.53 Harus ada partisipasi aktif dari Pemda terhadap
perencanaan pembangunan infrastruktur nasional. Sejak ditetapkannya
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan
Daerah, kewenangan daerah bertambah dengan adanya otonomi
daerah dan desentralisasi.54 Namun Pemda masih kesulitan untuk
mencukupi kebutuhan infrastruktur daerah. Hal tersebut dikarenakan
Pemda masih banyak bergantung pada dana perimbangan dan
pendapatan asli daerah.55
Diawal penerapannya PPP menjadi sebuah dilema, karena PPP dianggap
sebagai upaya privatisasi karena menjadikan Pemerintah terikat perjanjian
kerjasama dengan swasta.56 Namun, berdasarkan Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan
Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur (Perpres KPBU) ditegaskan PPP berbeda
dengan privatisasi.57 Pertama apabila ditinjau dari kepemilikan dan/atau
kemanfaatan proyek infrastruktur masyarakat umum akan memperoleh
kemanfaatan. Sebagai catatan, dalam hal ini swasta hanya sebagai Badan Usaha
Pelaksana (BUP)58 yang dijalankan bersama Pemerintah sebagai Penanggung
Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) dengan prinsip kemitraan. 59 Kedua adalah
pembagian resiko, dalam hal ini Pemerintah juga berada dalam posisi yang
52
Jimly Asshidiqie, 2010, Perihal Undang-Undang,Rajawali Press, Jakarta, Hlm 20.
53
Kementerian PPN/Bappenas, 2017, Rakortek Pusat dan Daerah Fokus Bahas Prioritas Nasional, <https: //
www.bappenas.go.id/id/berita-dan-siaran-pers/rakortek-pusat-dan-daerah-fokus-bahas-prioritas-nasional/>,
diakses pada tanggal 4 April 2018, pukul 16.00
54
Ibid..
55
Vide Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah.
56
Riyant Nugroho, “PPP As A Policy Dilemma”, Jurnal Administrasi dan Organisasi, Volume 18, Nomor 3
Tahun 2011, Hlm 180.
57
Kandi, 2015, Kelembagaan dalam Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) dalam Majalah
Sustained Partnership, Jakarta: Direktorat KPSRB Bappenas, hlm. 5.
58
Vide Pasal 1 angka 8 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama
Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.
59
Vide Pasal 4 huruf b Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama
Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.
14
menguntungkan karena Pemerintah hanya menanggung resiko politik,60 sementara
swasta menanggung resiko pembangunan dan pengelolaan proyek.61
Hematnya dalam konstruksi hukum PPP di Indonesia, Pemerintah
mempunyai posisi tawar yang dominan.62 Pemerintah seharusnya mempunyai
akses yang mudah terhadap PPP sehingga dapat melakukan percepatan
penyediaan infrastruktur. Sebab fokus pemerintah dalam RPJMN berbeda-beda
setiap periodenya bergantung pada situasi politik. Oleh karena itu kebijakan
dalam penyediaan infrastruktur harus mampu untuk mencapai tujuan
pembangunan (doelmatigheid).63
Kementerian/Lembaga/Daerah
Menteri/Kepala
Lembaga/Kepala Daerah
(PJPK)
Simpul
KPBU
Tim KPBU Panitia Pengadaan
60
Resiko politis ditanggung Pemerintah apabila penyediaan infrastruktur gagal apabila terjadi perubahan
kebijakan dan keputusan politis lainnya.
61
Amal Ihsan, 2017, Pemerintah Tawari Swasta Aneka Pendanaan Kreatif Proyek Infrastruktur,
<https://katadata.co.id/telaah/2017/08/23/Pemerintah-tawari-swasta-aneka-pendanaan-kreatif-proyek-
infrastruktur>, diakses pada 15 Maret 2018.
62
Zainal Asikin, “Perjanjian Kerjasama Antara Pemerintah dengan Swasta Dalam Penyediaan Infrastruktur
Publik”, Mimbar Hukum, Vol 25 Nomor 1 Tahun 2013, Hlm 60.
63
Ibid, Hlm 166.
64
Vide Pasal 44 ayat (1) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama
Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.
15
kegiatan KPBU yang melekat pada lembaga induknya.65 Adapun tugas pokok dan
fungsi (tupoksi) Simpul KPBU, yakni melakukan perumusan kebijakan dan/atau
sinkronisasi dan/atau koordinasi dan/atau pengawasan, dan/atau evaluasi terhadap
kegiatan KPBU.66 Tupoksi Simpul KPBU, memperlihatkan adanya dominasi kuat
Simpul KPBU dalam PPP, mulai dari tahap awal perencanaan penyediaan sampai
kepada tahap evaluasi pembangunan infrastruktur publik.67
Selanjutnya, PJPK juga membentuk Tim KPBU dan Badan Pengadaan
sebagai pelaksana in charge dalam suatu KPBU.68 Tim KPBU memiliki tupoksi
yaitu;69 (1) Melakukan kegiatan penyiapan kajian awal Prastudi Kelayakan dan
kajian akhir Prastudi Kelayakan; (2) Memastikan kegiatan tahap penyiapan dan
transaksi KPBU setelah penetapan Badan Usaha Pelaksana hingga diperolehnya
Pemenuhan Pembiayaan (financial close); (3) Menyampaikan pelaporan kepada
PJPK secara berkala melalui Simpul KPBU; dan (4). Melakukan kordinasi dengan
Simpul KPBU dalam pelaksanaan tugasnya.
Sedangkan, Badan Pengadaan memiliki mempunyai peran dan tanggung
jawab sebagai berikut;70 (1) Mempersiapkan melaksanakan proses Pengadaan
Badan Usaha setelah menyelesaikan Dokumen Prastudi Kelayakan dan (2)
Penetapan pemenang, serta finalisasi pengadaan dengan ditandatanganinya
perjanjian KPBU. Namun kelembagaan PPP masih belum optimal sebagaimana
dalam konsepsi idealnya. Pada praktiknya belum semua
Kementerian/Lembaga/Pemda membentuk Simpul KPBU. Penerapan Simpul
KPBU pada Pemerintah Kota Bandung dan Pemerintah Provinsi Jakarta terbukti
memberikan akses Pemda terhadap PPP. Sehingga pelaksanaan PPP di daerah
terutama.
16
Tabel IV.1 Tahap-Tahap dalam PPP
17
Sumber: Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Jaminan Risiko
Kementerian Keuangan
Tahap-tahapan dalam PPP diatas merupakan skema PPP jenis solcited atau
dengan pengadaan lelang BUP.71 Adapun PPP dapat juga diadakan dengan skema
unsolcited atau dengan skema badan usaha mengajukan diri untuk menjadi BUP. 72
Fokus Penulis dalam tulisan ini adalah pada,tahap perencanaan dan persiapan PPP
yang selalu ada dalam setiap skema PPP, baik solcited maupun unsolcited.
Berkaca pada data dan fakta sebelumnya, PJPK yang dapat diemban menteri,
kepala lembaga negara, kepala daerah dan kepala BUMN/BUMD belum
menunjukan upaya serius dalam perencaaan dan persiapan yang matang dalam
skema PPP.
Proses Feasibility Studies atau uji kelayakan kemudian menjadi vital
dalam persiapan PPP. Kesiapan dokumen Feasibilities Studies dalam proyek PPP
mempengaruhi daya tarik investor.73 Namun dalam menentukan feasibilities
studies tidak ada penilaian atau standarisasi yang pakem. Dampaknya banyak
praktek di daerah yang tidak membuat dokumen tersebut dengan matang dan
proyek tersebut tidak dipandang mempunyai prospek yang baik oleh investor.
Terbukti dalam tataran implementatif seringkali PJPK sebagai perwakilan
Pemerintah74 dalam posisi yang lemah, sehingga kepentingan publik yang
diembannya justru berada dalam posisi tawar yang rendah.
71
Vide Anak Lampiran 1 Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional Nomor 4 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pev laksanaan Kerjasama Pemerintah
dengan Badan Usaha.
72
73
Danang Parikesit, “Pembiayaan Kerjasama Pemerintah Swasta dalam Penyediaan Infrastruktur
Transportasi”, Disampaikan pada video conference Lingkar Inspirasi Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI)
Belanda, 19 April 2015.
74
Kewenangan PJPK berlandaskan diskresi
18
infrastruktur.75 Terutama kebijakan-kebijakan pembangunan daerah
sebagai peraturan pelaksana76 dapat terintegrasi dengan peraturan
perundang-undangan terkait PPP.
19
tersebut Penulis usung atas dasar keberhasilan PPP di Korea Selatan
yang memakai PPP Review Comittee dan Public Private Investment
Management dalam skema kelembagaannya.81 Permasalahannya di
Indonesia, antara kelembagaan KPBU Pusat dengan Daerah hanya
mempunyai hubungan struktural dan bukan dalam hubungan
koordinasi yang sinergis. Adapun konsep tersebut dapat dijabarkan
sebagai berikut;
81
Direktorat KPSRB Kementerian PPN/Bappenas, Op.Cit., hlm. 22.
82
Kementerian Koordinator Perekonomian, 2017, “Perwujudan Indonesia Sentris dan Pembangunan
Kewilyahan Secara Merata dalam Bahan Paparan Konferensi Pers 3 Tahun Pemerintahan Jokowi JK, slide
V.
83
Kebanyakan adalah Pemda yang tergolong mapan,seperti Pemerintah Kota Bandung dan Pemerintah
Provinsi Jakarta.
84
Vide Buku I Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Periode 2015-2019 halaman 6-105.
20
Walaupun saat ini terdapat Kantor Bersama PPP, tetapi
keberadaanya belum bisa memenuhi kebutuhan yang ada, terutama
terkait dengan koordinasi kelembagaan, sebab unit-unit kerja di dalam
Kantor Bersama memiliki fungsi yang berbeda dimana hal tersebut
akan memicu ego sektoral.85 Hal itu akan menyisakan gap yang sangat
besar, khususnya koordinasi antara Pemerintah dan Pemda dalam
merencanakan dan melaksanakan proyek PPP.
Namun, diharapkan kelemahan Kantor Bersama saat ini dapat
dihilangkan dengan adanya keberadaan PPPC melalui tugas pokok dan
fungsi (Tupoksi) nya, yakni melakukan pendampingan dan
memfasilitasi penanganan permasalahan dalam penyelenggaraan PPP,
tetapi tupoksi tersebut kemudian ditunjang oleh tupoksi lain, yakni
sebagai pusat pengembangan sistem informasi penyelenggaraan
KPBU, terutama terkait mitigasi risiko yang akan melibatkan semua
pemangku kepentingan dalam KPBU, serta mengadakan kegiatan
pendidikan dan pelatihan (training) bagi aparatur pemerintah terkait
penyelenggaraan infrastruktur melalui skema PPP.
85
Kandi, Op.Cit., hlm. 9.
21
terlebih di tingkat daerah.86 Hal tersebut dikarenakan masih belum
jelasnya alur pelaporan penyelanggaraan PPP oleh para pihak yang
terlibat dalam proses pengadaan infrastruktur publik.87
Kehadiran mekanisme pelaporan berjenjang ini juga nantinya
akan berkorelasi positif pada koordinasi kelembagaan PPP yang
sinergis, baik di tingkat pusat, pusat-daerah, maupun pada tingkat
daerah itu sendiri. Sebab pada pelaporan berjenjang ini, Pemerintah
dalam forum khusus yang diwadahi PPPC tetap akan meminta
pasrtisipasi aktif dari Pemda dalam proses perencanaan, persiapan,
sampai pada proses pelaksanaan PPP dalam pengadaan infrastruktur
public. Diharapkan gap antara Pemerintah dan Pemda akan hilang dan
daerah memiliki kemandirian dalam mengelola pelaksanaan PPP yang
dibantu PPPC dalam mengadakan infrastruktur publik di daerah.
86
Menteri PPN/Kepala Bappenas, “Sinkronisasi Perencanaan Pusat dan Daerah Dalam Mendukung Sasaran
Pembangunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2018”, disampaikan dalam Rapat Koordinasi Teknis Pusat
dan Daerah di Batam, 22 Februari 2017.
87
Ibid..
88
Indonesia Infrastructure Guarantee Fund Institute, 2015, Model Asesmen Kualitatif Value for Money Bagi
Penyelenggaraan Infrastruktur Publik, Jakarta: Indonesia Infrastructure Guarantee Fund Institute.
22
Kemudian mekanisme assessment yang kedua adalah kajian
value for money. Value for Money (VfM) adalah konsep pengelolaan
PPP sektor publik yang berdasar pada ekonomi, efisien, dan
efektifitas.89 Berikut tabel pelaksanaan PPP assessment:
Disetujui
Tidak
Disetujui
Tahap Assessment
Inisiasi
Proyek
Feasible
Studies
Value for
Money Test
Proyek
STOP Public Private
Pemerintah
Partnership
89
Mardiasmo, 2009, Akuntansi Sektor Publik, Yogyakarta, Andi Yogyakarta, Hlm 13.
90
Andre Wibowo, Op.Cit, Hlm 7.
23
Kepastian pelaksanaan program menjadi fokus, berimplikasi pada
persamaan parameter assessment Infrastruktur.
Dalam pelaksanaannya, kedua assessment dilaksanakan dalam
secara berjenjang. Pertama proyek yang diinisiasikan wajib membuat
kajian terkait kelayakkan suatu proyek tersebut (feasibility studies).
Tahap ini akan menentukan lanjut atau tidaknya proyek infrastruktur.
Apabila tidak memenuhi kriteria kelayakan maka pengerjaan proyek
batal. Kemudian setelah dinyatakan layak, proyek akan dikaji secara
value for money. Dalam kajian VfM ditentukan apakah proyek
dikerjakan menggunakan dana pemerintah atau dengan PPP. Kajian
VfM yang sudah diterapkan di Korea Selatan dilakukan dengan
pendekatan kualitatif dan kuantitatif.91 Pendekatan kualitatif dilakukan
untuk menentukan apakah proyek infrastruktur layak secara untuk
dikerjakan melalui PPP. Sedangkan Pendekatan kuantitatif dilakukan
untuk menentukan apakah skema PPP memberikan VfM yang lebih.
91
Ibid, Hlm 8.
24
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan atas rumusan masalah di atas, Penulis
mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Keikutsertaan Indonesia dalam Open Sky Policy yang dinilai masih
prematur, berimpilkasi terhadap ketidaksiapan infratruktur fisik dan
instrumen hukum terkait tata kelola ruang udara nasional sebagai langkah
mengantisipasi liberalisasi penerbangan yang akan mengancam kedaulatan
negara atas ruang udara.
2. Instrumen hukum, seperti regulasi, kebijakan, dan kelembagaan yang ada
dinilai belum siap dan mampu untuk menghadapi Open Sky Policy
ditengah upaya untuk menegakkan kedaulatan negara di ruang udara
melalui optimalisasi tata kelola ruang udara nasional. Belum adanya
payung hukum yang jelas, spesifik, dan komprehensif terkait tata kelola
ruang udara dan masih kurang koordinasinya lembaga negara yang
berfokus pada pengelolaan tata ruang udara nasional menjadi alasan kunci
dari ketidaksiapan instrumen hukum Indonesia mengantisipasi arus
libealisasi penerbangan Open Sky Policy.
3. Interdependent Airspace Governance sebagai sebuah sistem kerja
pengelolaan ruang udara nasional yang terintegrasi memiliki keunggulan
yang mendukung
kedaulatan negara atas ruang udara nasional dengan mekanisme kesatuan
koordinasi yang sinergis antar lembaga negara yang berfokus pada
pengelolaan tata ruang udara nasional sebagai upaya efektif dan efisien
menanggulangi ketidaksiapan infrastruktur fisik dan instrumen hukum
terkait tata kelola ruang udara nasional sebagai langkah mengantisipasi
liberalisasi penerbangan yang akan mengancam kedaulatan negara atas
ruang udara.
B. Saran
Berdasarkan permasalahan yang ada, pada bagian ini Penulis
merekomendasikan saran konkrit sebagai berikut:
1. Perlunya legislasi atas Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Ruang
Udara Nasional (RUU PRUN) sebagai payung hukum yang memberikan
legitimasi dan jaminan hukum atas tugas dan kewenangan Pemerintah
dalam mengatur dan mengelola ruang udara nasional demi tegaknya
kedaulatan negara atas ruang udara nasional.
2. Perlunya dibentuk sebuah badan koordinasi nasional dalam rangka
mewujudkan kedaulatan ruang udara nasional. Badan ini berkedudukan di
pusat dan tiap-tiap provinsi, bertugas melakukan pemetaan, pengelolaan,
pengawasan, dan kontrol terhadap ruang udara nasional dengan berpegang
pada sistem kerja Interdependent Airspace Governance.
3. Perlunya penerapan mekanisme Interdependent Airspace Governance
dalam Badan Koordinasi Tata Kelola Ruang Udara Nasional yang akan
dibentuk sebagai upaya mewujudkan kedaulatan negara atas ruang udara
nasional.
20
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Amiruddin dan Asikin, Zainal, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Echols, J.M., dan Shadily, Hasan, 2007, Kamus Inggris Indonesia – An English
Indonesian Dictionary, PT. Gramedia, Jakarta.
Hamdi, Asep S., 2014, Metode Penelitian Kuantitatif Aplikasi dalam Pendidikan,
Deepublish, Yogyakarta.
Martono, K., 2007, Pengantar Hukum Udara, Nasional, dan Internasional, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Martono, K., dan Sudiro, Ahmad, 2012, Hukum Udara Nasional dan
Internasional Publik, Jakarta Rajawali Press, Jakarta.
Sutopo, A.H., dan Adrianus, Arief, 2010, Terampil Mengolah Data Kualitatif
Dengan NVIVO, Prenada Media Group, Jakarta.
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
CSE Aviation, 2015, “CSE Aviation Forum: ASEAN Open Sky 2015: Sebuah
Kesempatan sekaligus Ancaman Bagi Industri Penerbangan Indonesia”,
Jakarta.
Devi Fajria, 2015, “Gagasan Asean Open Skies Di Indonesia Dan Kaitannya
Dengan Kedaulatan Ruang udara Indonesia”, Universitas Riau Press, Riau.
D. KARANGAN/ESAI
Nova, Maria, 2010, ‘Singapura dan Kerja Sama Open Sky di ASEAN”,
hhtp://www.lontar.ui.ac.id/file, diakses tanggal 1 Mei 2013 pukul 15.46
WIB.
Sena, Afen, “Prinsip Prinsip Dalam Kedaulatan Atas Ruang Udara Nasional”,
http://angkasasena.blogspot.co.id/2008/06/prinsip-prinsip-dalam-
kedaulatan-atas.html, diakses tanggal 20 September 2017 pukul 14.30 WIB.
Supancana, “Kilas Balik, Urgensi Dan Proses Penyusunan Naskah Akademis Dan
Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Ruang Udara Nasional (RUU-
PRUN)”, https://id.scribd.com/presentation/236684960/Kilas-Balik-
Urgensi-dan-Proses-Penyusunan-Naskah-Akademis-dan-Rancangan-
Undang-Undang-Pengelolaan-Ruang-Udara-Nasional-RUU-PRUN, diakses
tanggal 19 September 2017 pukul 15.20 WIB.
E. LAIN-LAIN:
Ketua Tim