Anda di halaman 1dari 53

COLLABORATIVE GOVERNANCE PADA PROGRAM

CO WORKING SPACE DI KECAMATAN GEDEBAGE

KOTA BANDUNG

Disusun untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah : Collaborative Governance
Dosen Pengampu : Aswin Palls S. Sos., M.AP

DISUSUN OLEH :

ANGELI PUTRI REVIANTI


202010118

KELAS A

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


JURUSAN ADMINISTRASI PUBLIK
UNIVERSITAS PASUNDAN
2022
ABSTRAK

Mewujudkan Co Working Space pada hakikatnya bukan hanya berbicara tentang


bangunan fisik. Lebih jauh, diperlukan ekosistem yang mampu menghidupkan
dan menjaga nyawa dari Co Working Space yang berujung pada kemandirian,
keberlanjutan, dan dampak dari yang dihadirkan dari working Space. Oleh
karenanya Keterlibatan Masyarakat di setiap wilayah diperlukan dalam proses
aktivasi aktivasi Co Working Space di setiap wilayah kecamatan sebagai bagian
dari upaya untuk membangun, menjalankan, dan menjaga ekosistem yang
inklusif dan positif. Proses kolaborasi ini mampu dikatakan berjalan baik ketika
semua aktor terlibat dengan melihat melalui dimensi tata kelolal kolaboratif.
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Gedebage yang saat ini sudah mendapat
20 kali pendampingan dan pelatihan untuk program Co Working Space ini yang
bermula dari 2021. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan
menganalisis proses kolaboratif yang terjadi didalam program Co Working
Space di Kota Bandung. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode
penelitian kualitatif dengan pendekatan deskripsi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa proses kolaborasi yang terjalin pada program Co Working Space ini
sudah cukup maksimal dengan melihat setiap aktornya ikut serta dan
menjalankan perannya masing-masing. Meskipun ada beberapa hal teknis yang
perlu diperbaiki terkait dana yang belum dialokasikan untuk program ini
sehingga diharapkan pemerintah mampu memberikan apa yang masyarakat
butuhkan untuk menunjang program ini.

Kata kunci : Collaborative Governance, Creative Economy, Co Working


Space,
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang

telah melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan makalah ini dengan judul “Collaborative Governance Pada

Program Co Working Space Di Kecamatan Gedebage Kota Bandung”, sebagai

salah satu syarat untuk memenuhi tugas mata kuliah Collaborative Governance

Program Jurusan Administrasi Publik.

Penulis menyadari bahwa makalah ini tidak mungkin terselesaikan tanpa

adanya dukungan, bantuan, bimbingan, dan nasehat dari berbagai pihak selama

penyusunan makalah ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih

setulus-tulusnya kepada:

1. Kedua orang tua penulis yang sealu memberikan kasih sayang, doa, nasehat,

serta atas kesabarannya yang luar biasa. Penulis sangat mencintainya dan

berharap menjadi anak yang bisa dibanggakan.

2. Bapak Aswin Palls S. Sos., M.AP selaku Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Jurusan Administrasi Publik

3. Teman teman satu kelompok penulis yang telah bekerja sama mengerjakan dan

menyelesaikan makalah ini.

4. Pihak-pihak lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah

memberikan sedikit atau banyak andil dan doa kepada penulis dalam

menyelesaikan penulisan makalah ini. Penulis ucapkan banyak terima kasih

ii
Akhir kata penulis menyadari bahwa tidak ada yang sempurna, penulis

masih melakukan kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu,

penulis meminta maaf yang sedalam-dalamnya atas kesalahan yang dilakukan

penulis.

Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan

dapat dijadikan referensi demi pengembangan ke arah yang lebih baik. Kebenaran

datangnya dari Allah dan kesalahan datangnya dari diri penulis. Semoga Allah

SWT senantiasa melimpahkan Rahmat dan Ridho-Nya kepada kita semua.

Bandung, Oktober 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

ABSTRAK ............................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 6
2.1 Penelitian Terdahulu ............................................................................... 6
2.2 Kajian Pustaka ........................................................................................ 7
2.2.1 Konsep Administrasi .................................................................... 7
2.2.3 Konsep Organisasi ........................................................................ 9
2.2.4 Konsep Collaborative Governance ............................................ 11
2.3 Kerangka Berpikir................................................................................ 16
2.4 Proposisi............................................................................................... 17
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 18
3.1 Metode Penelitian ................................................................................. 18
3.2 Lokasi Penelitian................................................................................... 19
3.3 Sumber Data ......................................................................................... 19
3.4 Teknik Pengumpulan Data.................................................................... 19
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................... 21
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian..................................................... 21
4.1.1 Gambaran Umum Kota Bandung ................................................ 21
4.1.2 Gambaran Umum Kecamatan Gedebage .................................... 23
4.1.3 Gambaran Umum Tentang Co Working Space ........................... 24
4.2 Proses Collaborative Governance dalam program Co Working Space 28
BAB V PENUTUP .............................................................................................. 39
5.1 Kesimpulan ........................................................................................... 39
5.2 Saran ..................................................................................................... 40
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 42
LAMPIRAN ......................................................................................................... 44

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejak munculnya Program Masyarakat Ekonomi ASEAN pada tahun

2015, Indonesia menjadi salah satu negara yang berkembang pesat di bidang

ekonomi. Ekonomi Kreatif di Indonesia berkontribusi 7.38 persen dari total

ekonomi nasional Indonesia (Bekraf, 2017).

Ekonomi Kreatif adalah salah satu sektor yang diharapkan dapat

menjadi kekuatan ekonomi yang untuk masa depan mengingat sumber daya

alam yang semakin menurun. Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) merupakan

badan non kementrian Indonesia yang berfokus pada kegiatan Ekonomi Kreatif

di Indonesia. Bekraf memiliki enam belas subsektor yang bertujuan untuk

mengembangkan industri kreatif di Indonesia (Bekraf, 2017).

Menurut hasil riset Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) dan Badan

Pusat Statistik (BPS) tahun 2016 pertumbuhan ekonomi nasional sebesar

922,59 miliar rupiah atau sebesar 7,44 % terhadap Produk Domestik Bruto

(PDB) nasional bersumber dari sektor ekonomi kreatif. Namun hasil tersebut

belum memenuhi target di mana capaian PDB industri kreatif sesungguhnya

diharapkan mencapai sekitar 5,21 % tetapi baru tercapai 4,95% serta capaian

sasaran pembangunan ekonomi kreatif yang tertuang dalam Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019 dengan target 12 %

baru terealisasi 7,44 % tahun 2016. Melalui Peraturan Presiden Republik

Indonesia Nomor 142 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Pengembangan

1
Ekonomi Kreatif Nasional tahun 2018-2025 dengan harapan terwujudnya

kerangka strategis jangka panjang pengembangan ekonomi kreatif nasional

yang terintegrasi dan kolaboratif antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Daerah.

Sejak saat itu, banyak muncul start-up kreatif dan penggiat komunitas-

komunitas kreatif sebagai fenomena baru dalam berbisnis pada jaman

sekarang. Kemunculan start-up kreatif dan penggiat komuntias kreatif di

Indonesia yang terus bertambah menjadikan beberapa kota besar di Indonesia

menyediakan sarana yang dapat digunakan untuk berkolaborasi bagi para

start-up kreatif dan komunitas penggiat kreatif. Berkembangnya komunitas

kreatif dan pembangunan kota yang cukup pesat menjadikan banyak kota-

kota besar maupun berkembang yang ada di Indonesia menciptakan sarana

dalam mengembangkan kreativitas dan inovasi pemudanya.

Seperti salah satu daerah di Indonesia yang bertempat di Provinsi Jawa

Barat, yaitu Kota Bandung. Kota Bandung telah dikenal sebagai Kota Kreatif

karena banyak terdapat pelaku ekonomi kreatif yang berkembang diseluruh

sektor produksi seperti kuliner, destinasi wisata, musik, fashion, dll yang

memiliki value added amat tinggi sehingga mampu berdaya saing di pasar lokal

maupun mancanegara. Status Kota Bandung yang dikenal Kota Kreatif juga

dipertegas dengan dinobatkanya Kota Bandung pada tahun 2015 oleh UNESCO

sebagai anggota UNESCO Creative Cities Network dengan predikat kota kedua

terdaftar dari 47 kota dari 33 negara di dunia.

2
Berangkat dari hal tersebut Pemerintah Kota Bandung menciptakan

yang disebut dengan Patrakomala. Patrakomala adalah sebuah portal informasi

dan pemetaan badan usaha ekonomi kreatif di Kota Bandung yang diluncurkan

oleh Bidang Ekonomi Kreatif Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Ekraf

Disbudpar) Kota Bandung. Patrakomala menghimpun informasi dan data dari

seluruh pelaku ekonomi kreatif di tujuh belas subsektor industri kreatif Kota

Bandung, lalu memetakannya menjadi pusat informasi yang mudah diakses

bagi segala pihak yang terlibat, baik investor, pemangku kepentingan, maupun

khalayak umum. Patrakomala juga menyajikan berita-berita terkini seputar

kegiatan dan seluk beluk industri kreatif di Kota Bandung.

Salah satu program yang terdapat di dalam Patrakomala ini adalah

Program Pengembangan Pusat Pemberdayaan Ekonomi dan Kreativitas

Masyarakat (Ruang Kerja Bersama atau Co-Working Space) yang disebut

sebagai wadah berkumpulnya para pelaku ekonomi kreatif untuk sebagai

saluran diskusi untuk merancang, menentukan ide gagasan dalam upaya

mengembangkan bisnisnya yang disesuaikan dengan potensi dari setiap

kecamatan di Kota Bandung secara strategis untuk mendorong kemajuan

ekonomi kreatif berbasis kerakyatan.

Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 3 Tahun 2019 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Menengan Daerah Kota Bandung (RPJMD) 2018-2023,

merupakan media untuk mengimplementasikan janji kepala daerah terpilih

yang telah disampaikan pada saat kampanye kepada seluruh masyarakat. Salah

satu janji dari kepala daerah terpilih adalah Pengembangan Pusat Pemberdayaan

3
Ekonomi dan Kreativitas Masyarakat (Co Working Space atau Ruang Kerja

Bersama) di 30 Kecamatan yang telah tertuang dalam RPJMD Kota Bandung

tahun 2018-2023 Nomor 16 tentang.

Hadirnya program pembangunan co-working space sebagai pusat

pengembangan ekonomi kreatif di setiap wilayah kecamatan di Kota Bandung

dapat menjadi wadah networking atau kolaborasi untuk menjalin hubungan

lintas sektor antara pemerintah sebagai sektor publik, dunia usaha sebagai

sektor privat serta berbagai elemen komunitas masyarakat yang berjejaring

secara kolektif membentuk pola kemitraan sebagai kombinasi struktur dalam

tubuh sektor publik dalam bentuk kerja sama antar lembaga lintas sektor dalam

kerangka sinergitas berbagai stakeholders dunia usaha dan ekonomi kreatif.

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan secara deskriptif terkait

bagaimana Collaborative Governance dalam program Co Working Space di

Kecamatan Gedebage Kota Bandung serta faktor apa saja yang mempengaruhi

hambatan yang muncul dalam proses kolaborasi saat mengimplementasikan

program.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan apa yang ada di dalam latar belakang permasalahan

diatas, maka rumusan masalah dalam rencana penelitian ini yaitu :

Bagaimana proses Collaborative Governance yang terjadi di dalam

program Co Working Space di Kecamatan Gedebage Kota Bandung?

4
1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan penelitian diatas. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui sejauhmana proses Collaborative Governance yang terjadi di

dalam program Co Working Space di Kecamatan Gedebage Kota Bandung.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai Collaborative Governance dalam program Co

working Space telah diteliti beberapa peneliti terdahulu, berikut penelitian

terdahulu yang dijadikan rujukan untuk memahami Collaborative Governance

dalam program Co working Space :

1. Penelitian yang berjudul Collaborative Governance dalam pengembangan

pusat pemberdayaan ekonomi dan kreativitas masyarakat di Kota Bandung

yang dilakukan oleh Ferdyansyah Wicaksono dan R Hari Bustomi Tahun

2020. Tujuan penelitian ini untuk menjelaskan implementasi kolaboratif

kebijakan yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam

mencapai tujuan, terutama terkait dengan pemberdayaan masyarakat

melalui pengembangan fasilitas ekonomi dan kreativitas inklusif. Melalui

tata kelola kolaboratif, itu hadir sebagai forum untuk saling interaksi antara

para pelaku kebijakan dalam membangun komitmen dan kerja sama

melalui peran mereka sehingga tujuan positif masing-masing pihak

tercapai.

Dalam hal ini, itu ditekankan melalui pola "ABCGM" yang

menghubungkan pemerintah, sektor swasta, universitas, media, dan

masyarakat sebagai fondasi dalam membangun sinergi sehingga pola ini

memberikan kondisi yang menggambarkan peran masing-masing antara

6
aktor dan otoritas mereka dan bahkan rintangan dan bahkan aktor dalam

membangun kolaborasi.

Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif melalui

teknik pengumpulan data observasi, wawancara dan dokumentasi. Artikel

ini menyimpulkan bahwa antar-institusi yang terlibat dalam

mengimplementasikan kebijakan perlu disertai dengan komitmen sebagai

proses berkelanjutan membangun kepercayaan sehingga tindakan

kolaboratif mampu mengakomodasi kepentingan dan tujuan semua pihak

dan secara inklusif dirasakan oleh semua pihak.

2.2 Kajian Pustaka

2.2.1 Konsep Administrasi

Konsep administrasi dapat dipahami sebagai sebuah proses

pengorganisasian secara sistematis tugas dan kegiatan dari berbagai

tingkatan dan jenis pekerjaan dalam organisasi (Purwaningdyah &

Wahyudi, 2014).

Ahmad (2015:34), mengemukakan bahwa administrasi adalah

proses kerjasama antar dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan yang

telah ditetapkan secara rasional atas dasar pertimbangan lingkungan.

Herbert A. Simon dalam Thoha (1983) "administration can be

defined as the activities of group cooperating to accomplish common goals"

(administrasi diartikan sebagai kegiatan dari sekelompok orang-orang yang

bekerja sama dalam mencapai tujuan bersama).

7
Menurut Luther Gulick dalam Syafiie, Tandjung, dan Modeong

(1999) "administration has to do with getting things done, with the

accomplishment of defined objectives" (administrasi merupakan

penyelesaian hal apa yang hendak dikerjakan, dengan upaya pencapaian

tujuan-tujuan yang telah ditetapkan).

Administrasi menurut Stephen P. Robbins (dalam Sjamsuddin,

2016;9) administrasi adalah keselurah proses dari aktivitas – aktivitas

pencapaian tujuan secara efesien dengan melalui orang lain.

Menurut Sondang P. Siagian (dalam Zulkifli & Moris, 2009;11)

administrasi adalah keseluruhan proses kerjasama antara dua orang atau

lebih yang didasarkan oleh rasionalitas tertentu dalam rangka pencapaian

tujuan yang telah ditentukan sebelumnya dengan memanfaatkan sarana dan

prasarana tertentu secara berdaya guna dan berhasil guna.

Menurut J.E Walters (dalam Sjamsudin, 2016;19) administrasi

adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengelolaan, penaksiran, dan

pengawasan suatu perusahaan.

Menurut Dwight Waldo (dalam Mashur, 2016;14) administrasi

adalah suatu daya upaya manusia yang kooperatif yang mempunyai tingkat

rasionalitas yang tinggi.

Menurut Leonard D. White (dalam Sjamsuddin, 2016;8)

administrasi adalah suatu proses yang umum ada pada setiap usaha

kelompok – kelompok, baik pemerintahan maupun swasta baik sipil

maupun militer, baik dalam ukuran besar maupun kecil.

8
Berdasarkan pengertian di atas, maka penulis dapat mengambil

kesimpulan bahwa administrasi adalah serangkaian proses kerjasama, yang

dibangun atas dasar pencapaian tujuan tertentu, dimana tujuan tersebut

adalah hasil kesepakatan bersama yang ingin dicapai secara bersama pula.

Untuk mencapai tujuan tersebut maka diperlukan pendayagunaan semua

sumber daya yang ada sebaik-baiknya, seperti orang-orang, keuangan,

material, metode, mesin-mesin, dan sebagainya.

2.2.3 Konsep Organisasi

Istilah organisasi dapat pula diartikan sebagai suatu perkumpulan

atau perhimpunan yang terdiri dari dua orang atau lebih punya komitmen

bersama dan ikatan formal mencapai tujuan organisasi, dan di dalam

perhimpunannya terdapat hubungan antar anggota dan kelompok antara

pemimpin dan anggota yang dipimpin atau bawahan (Beach and Reinhartz,

2004; Bush and Middlewood, 2005).

Ada begitu banyak ahli yang memberikan pendapat mereka tentang

organisasi. Salah satunya adalah menurut Robbins (dalam Sjamsuddin,

2016;19) organisasi adalah kesatuan (entity) sosial yang dikoordinasikan

secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang

bekerja atas dasar yang relatif terus menerus untuk mencapai suatu tujuan

bersama atau sekelompok tujuan.

9
Menurut Zulkifli (2009:34-35) konsep organisasi adalah sebagai

wadah pelaksanaan kerjasama sejumlah personil, dan juga mencakup

rangkaian aktivitas pembagian tugas, penunjukan staf, pendelegasian

wewenang, dam tanggungjawab dalam rangka upaya pencapaian tujuan

organisasi.

Organisasi menurut Sondang P. Siagian (2016;18) adalah setiap

bentuk persekutuan antara dua orang atau lebih yang bekerjasama secara

fomal terikat dalam rangkaian pencapaian suatu tujuan yang telah

ditentukan dalam ikatan nama terdapat seorang/beberapa orang yang disebut

bawahan.

Menurut Willian G. Scott (dalam Kartono, 2014;7) organisasi formal

merupakan system kegiatan – kegiatan terkoordinasi dari sekelompok orang

yang bekerja secara bersama–sama di bawah kewenangan dan

kepemimpinan.

Menurut Thoha (200;204) organisasi merupakan kumpulan dari

orang – orang yang bekerjasama untuk mencapai tijuan tertentu. Tujuan ini

bersifat umum, artinya suatu tujuan yang semua orang didalamnya sepakat

baik terpaksa ataupun sadar untuk mencapainya. Adapun tujuan yang

bersifat khusus itu merupakan tujuan individu masing – masing

Dari definisi di atas, dapat dinyatakan betapa pentingnya organisasi

sebagai alat administrasi dan manajemen dalam melaksanakan segala

kebijakan/keputusan yang dibuat pada tingkatan administratif maupun

manajerial. Dalam hubungan ini, hakiki organisasi dapat ditinjau dari dua

10
sudut pandang. Pertama, organisasi dipandang sebagai wadah, tempat di

mana kegiatan administrasi dan manajemen dilaksanakan. Kedua, sebagai

proses yang berusaha menyoroti interaksi (hubungan) antara orang-orang

yang terlibat di dalam organisasi itu.Jadi penulis menyimpulkan bahwa

organisasi adalah wadah atau tempat terselenggaranya proses administrasi

yang didalamnya terdapat pola aktivitas kerjasama antara individu ataupun

kelompok yang dilakukan secara teratur untuk mencapai tujuan tertentu.

2.2.4 Konsep Collaborative Governance

Collaborative Governance merupakan langkah tatanan

pemerintahan yang didalamnya terdapat keterlibatan semua pihak antara

government, civil society, dan private sector dalam penyelenggaraan

pemerintahan dengan kerangka egalitarianisme dan demokrasi yang

melahirkan tata pemerintahan yang mengedepakan kepentingan

masyarakat. Keterlibatan pihak swasta dan masyarakat dalam pembuatan

maupun pelaksanaan kebijakan publik dibutuhkan untuk mewujudkan good

governance.

Menurut Dwiyanto dalam kerjasaman kolaboratif terjadi

penyampaian visi, tujuan, strategi dan aktivitas antara pihak, mereka

masing-masing tetapi memiliki otoritas untuk mengambil keputusan secara

independen dan memiliki wewenang dalam mengelola organisasinya

walaupun mereka patuh dan tunduk atas kesepakatan bersama.

11
Agranoff dan McGuire dalam uraian Chang (2009:76-77)

mendefinisikan secara khusus Collaborative Governance telah

menempatkan banyak penekanan pada kolaborasi sukarela dan hubungan

horisontal antara partisipan multi sektoral, karena tuntutan dari klien sering

melampaui kapasitas dan peran organisasi publik tunggal, dan

membutuhkan interaksi di antara berbagai organisasi yang terkait dan

terlibat dalam kegiatan publik. Berbeda halnya dengan definisi

Collaborative Governance yang dijelaskan Lemos & Agrawal (2006:297)

mendefenisikan Collaborative Governance tidak hanya berbatas pada

stakeholders yang terdiri dari pemerintah dan bukan pemerintah tetapi juga

terbentuk atas adanya multipartner governance yang meliputi berbagai

sektor baik sector privat maupun swasta, masyarakat dan komunitas sipil

dan terbangun atas sinergi peran stakeholder dan penyusunan rencana yang

bersifat hybrid seperti halnya kerjasama publik-privatsosial.

Collaborative Governance merupakan bentuk baru dari governance

yang muncul sebagai strategi baru dalam memerintah dengan mengikut

sertakan stakeholders seperti aktor swastsa atau privat dan aktor pemerintah

tetap menjadi aktor final dalam pengambilan keputusan (Ansell, 2007).

Lebih lanjut dijelaskan oleh (Ansell dan Gash, 2007) mendefinisikan

Collaborative Governance adalah sebuah pengaturan yang mengatur satu

atau lebih lembaga publik secara langsung terlibat dengan pemangku

kepentingan non publik dalam proses pengambilan keputusan kolektif

bersifat formal, berorientasi konsensus, dan musyawarah yang bertujuan

12
untuk membuat atau mengimplementasikan kebijakan publik atau

mengelolah program atau asset publik.

Proses Collaborative Governance idealnya dilakukan bersama

semuan stakeholders yang ada dalam pengambilan keputusan. Seperti yang

dikatakan oleh (Emerson, 2001) mengatakan bahwa proses dan struktur

pengambilan keputusan kebijakan publik dan managemen yang melibatkan

orang- orang secara konstruktif pada batas- batas lembaga publik, tingkat

pemerintah, dan masyarakat, swasta dan sipil untuk melaksanakan

kepentingan umum yang tidak bisa dilakukan satu pihak.

Bentuk model pemerintahan kolaboratif menurut (Ansell dan Gash,

2007) memiliki manfaat yang dapat digunakan bagi pembuatan kebijakan

dan 16 praktis. Model kolaborasi ini akan memberikan penjelasan terhadap

langkahlangkah pemerintah melakukan kolaborasi dengan stakeholder yang

ada, tentang bagaimana pemerintah memperoleh sebuah kebijakan.

Berdasar pada pengertian para ahli diatas memberi gambaran

bahwa Collaborative Governance adalah sebuah proses yang memiliki

suatu peraturan tertentu yang dilaksanakan bersama serta berinteraksi untuk

saling menguntungkan antar stakeholders yang terlibat. Kolaborasi juga

dapat muncul dari hubungan saling ketergantungan yang terlibat antar

stakeholders dalam mengatasi isu-isu yang bersumber dari publik. Melalui

perspektif Collaborative Governance tersebut, tujuan-tujuan positif yang

dikehendaki oleh masing-masing stakeholders akan dapat tercapai.

13
Selanjutnya menurut Ansell and Gash (2007:228) menjelaskan

terdapat 5 (lima) indikator dari proses terbentuknya Collaborative

Governance yang terjalin oleh pemerinrtah, swasta dan masyarakat, antara

lain:

1. Face to face dialogue (dialog tatap muka)

Pada tahap dialog tatap muka para stakeholders yang terlibat

diharapkan dapat membangun sebuah kepercayaan, rasa saling

menghormati, pemahaman Bersama, dan komitmen terhadap prosrs

dari sebuah kolaborasi akan yang direncenakan dan dilaksankan (Ansell

and Gash, 2007:558). Adanya dialog tatap muka merupakan tahapan

awal yang sangat penting dalam sebuah kolaborasi tanpa adanya dialog

tatap muka pada awal proses kolaborasi ditakutkan akan dapat

memunculkan sebuah gejolak dalam proses berjalannya suatu

kolaborasi.

2. Trust Building (membangun kepercayaan)

Kepercayaan adalah suatu hal yang sangat penting dalam sebuah

kolaborasi, karena dalam sebuah kolaborasi bukan hanya terkait tawar-

menawar, namun juga menyangkut tentang pembangunan sebuah

kepercayaan pada masing-masing stakeholders yang terlibat.

Kepercayaan tidak akan langsung hadir begitu saja, namun

membutuhkan waktu yang cukup lama, karena kepercayaan akan sangat

berguna dalam jangka panjang pada proses kolaborasi.

14
3. Commitment to The Process (komitmen terhadap proses)

Tahapan terhadap proses mengembangakan sebuah keyakinan

bahwa perundingan adalah sebuah cara terbaik dalam mendapatkan

sebuah kebijakan yang diinginkan dalam pemecahan suatu persoalan

yang dihadapi. Komitmen dalam prakteknya membutuhkan suatu

tahapan yang jelas, adil dan transparan dari masing-masing aktor yang

terlibat.

4. Shared Understanding (saling memahami)

Stakeholders dalam sebuah proses kolaboratif pada suatu titik

tertentu membutuhkan pengembangan terhadap suatu proses pada

pemahaman bersama dari apa yang dicapai secara kolektif. Pemahaman

bersama juga didefinisikan sebagai proses penyamaan pemahaman

terkait suatu pengetahuan yang diperlukan dalam mengatasi suatu

persoalan yang dihadapi.

5. Intermediate Outcome (hasil akhir yang dicapai)

Pada tahap ini diharapkan dapat muncul sebuah kesepakatan

terhadap hasil akhir yang ingin dicapai dalam sutu kolaborasi,

perencangan dan penyetusan sebuah hasil akhir diharapkan dapat

membangun rasa kepercayaan serta komitmen untuk dapat

menjalankan tupoksi pada masing-masing stakeholders guna

menyelesaikan persoalan yang sedang dihadapi.

15
2.3 Kerangka Berpikir

Kerangka pikir merupakan alur penelitian yang akan dilakukan yang

mana di dalamnya terdapat konsep yang memiliki keterkaitan dengan teori –

teori dan indikator – indikator yang relevan yang akan dipakai dalam

menganalisis dan memecahkan masalah dalam penelitian yang peneliti

lakukan terhadap Collaborative Governance Pada Program Co Working

Space Di Kecamatan Gedebage Kota Bandung.

Adapun dalam Penelitian ini, peneliti menggunakan salah satu teori

Collaborative Governance menurut Ansell and Gash (2007:550) yang

menggunakan lima dimensi proses Collaborative Governance, yaitu Face to

Face Dialogue (dialog tatap muka), Trust Building (membangun

kepercayaan), Commitment to Process (komtmen terhadap proses), Share

Understanding (kesepahaman bersama), Intermediate Outcomes (hasil

sementara) untuk menggambarkan tata kelola kolaboratif pada program Co

Working Space di Kecamatan Gedebage Kota Bandung.

Teori Collaborative Governance dari Ansell and Gash (2007:550)

dipilih karena dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui dan

menganalisis bagaimana proses Collaborative Governance dalam

pelaksanaan Program Co Working Space di Kecamatan Gedebage Kota

Bandung. Penelitian ini penting dilakukan karena diharapkan hasil dari

penelitian ini dapat memberikan gambaran, masukan, dan rekomendasi

kepada stakeholder yang terlibat untuk lebih meningkatkan peran masing-

masing dalam pelaksanaan.

16
Collaborative Governance dalam menjalankan program
Co Working Space yang dilakukan oleh Disbudpar,
Pemerintah Kecamatan, Akademisi, Pihak Swasta, Media, dan
Masyarakat

Indikator Bentuk Collaborative


Governance :
1. Dialog tatap muka
2. Membangun kepercayaan
3. Komitmen terhadap proses
4. Kesepahaman bersama
5. Hasil sementara

Hasil dari proses Collaborative Governance dalam


menjalankan program Co Working Space di
Kecamatan Gedebage Kota Bandung

2.4 Proposisi

Berdasarkan uraian konsep dan teori yang telah peneliti uraikan pada

kerangka pemikiran, maka peneliti merumuskan bahwa terdapat lima

indikator dari terbentuknya Collaborative Governance yang terjalin oleh

pemerintah, akademisi , pihak swasta, media dan masyarakat yaitu face to

face dialog (dialog tatap muka), trust building (membangun kepercayaan),

commitment to the process (komitmen terhadap proses), shared

understanding (saling memahami), dan Intermediate outcome (hasil akhir

yang dicapai).

17
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Ditinjau dari jenis datanya pendekatan penelitian yang digunakan

dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Adapun yang dimaksud

dengan penelitian kualitatif yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami

fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik, dan

dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks

khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah

(Moleong, 2007:6).

Selain itu, Sugiyono (2020: 9-10) juga mengemukakan penelitatian

kualitatif sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat

postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek alamiah, dimana

peneliti adalah sebagai instrumen kunci.

Adapun jenis pendekatan penelitian ini adalah deskriptif. Penelitian

deskriptif yaitu penelitian yang berusaha untuk menuturkan pemecahan

masalah yang ada sekarang berdasarkan data-data.

Jenis penelitian deskriptif kualitatif yang digunakan pada penelitian ini

dimaksudkan untuk memperoleh informasi mengenai Collaborative

Governance Pada Program Co Working Space Di Kecamatan Gedebage Kota

Bandung, secara mendalam dan komprehensif. Selain itu, dengan pendekatan

kualitatif diharapkan dapat diungkapkan situasi dan permasalahan yang

dihadapi dalam kegiatan partisipasi orang tua ini.

18
3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada salah satu Co Working Space di

Kecamatan Gedebage, Kota Bandung. Adapun pemilihan lokasi ini karena

kebetulan lokasi tempat tinggal peneliti ada di daerah tersebut, sehingga dapat

mempermudah dalam melakukan penelitian.

3.3 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini dijaring dari sumber data primer dan

data sekunder dengan proposisi sesuai dengan tujuan penelitian ini.

1. Data Primer, adalah sumber data utama yang digunakan untuk menjaring

berbagai data dan informasi yang terkait dengan fokus yang dikaji hal ini

dilakukan melalui metode wawancara dan observasi.

2. Data Sekunder, adalah sumber data pendukung yang diperlukan untuk

melengkapi data primer yang dikumpulkan. Hal ini dilakukan sebagai

upaya penyesuaian dengan kebutuhan data lapangan yang terkait dengan

objek yang dikaji. Data sekunder terutama diperoleh melalui dokumentasi.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

1. Observasi

Dengan melalui teknik ini penulis mengadakan pengamatan

pelaksanaan Kualitas Pelayanan Publik yang terjadi di Unit Pengelola

Sampah Tingkat Regional di TPA Sarimukti Kabupaten Bandung Barat

yang akan dilakukan penelitian.

19
2. Wawancara

Teknik ini dimaksudkan dengan mengadakan wawancara mendalam

(indepth interview) secara langsung terhadap informan yang dianggap

dapat memberikan keterangan-keterangan yang lebih lengkap serta

mampu membahas dengan tuntas tentang permasalahan yang berkaitan

dengan erat dengan penelitian ini.

3. Dokumentasi

Teknik yang digunakan peneliti untuk mengetahui secara konseptual

tentang permasalahan-permasalahan yang sedang diteliti dengan

membaca literature khususnya yang berhubungan dengan Kualitas

Pelayanan Publik.

20
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

4.1.1 Gambaran Umum Kota Bandung

Kota Bandung terletak di wilayah Jawa Barat dan merupakan

Ibukota Provinsi Jawa Barat.Kota Bandung secara geografis terletak di

antara 107o 36’ Bujur Timur dan 6o 55’ Lintang Selatan. Lokasi Kota

Bandung cukup strategis, dilihat dari segi komunikasi, dan perekonomian.

Hal tersebut dikarenakan Kota Bandung terletak pada pertemuan poros

jalan yaitu barat – timur yang memudahkan hubungan dengan Ibukota

Negara sedangkan utara – selatan yang memudahkan lalu lintas ke daerah

perkebunan (Subang dan Pangalengan). Batasbatas wilayah dari Kota

Bandung yaitu:

● Sebelah Utara: Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat.

● Sebelah Barat: Jalan Terusan Pasteur, Kecamatan Cimahi Utara,

Cimahi Selatan, dan Kota Cimahi.

● Sebelah Timur : Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung.

● Sebelah Selatan : Kecamatan Dayeuh Kolot, Bojongsoang,

Kabupaten Bandung.

21
Kota Bandung memiliki luas wilayah sebesar 167,31 km2 atau

kurang lebih sebesar 16.729,50 Ha. Menurut Perda Kota Bandung Nomor

06 Tahun 2007 tentang Pemekaran dan Pembentukan Wilayah Kerja

Kecamatan dan Kelurahan di Lingkungan Pemerintah Kota Bandung

terdiri dari 30 Kecamatan dan 151 Kelurahan. Adapun luas wilayah

keseluruhan kecamatan yang terdapat pada Kota Bandung yaitu sebagai

berikut.

No. Kecamatan Luas Wilayah


(km2)
1. Bandung Kulon 6,46
2. Babakan Ciparay 7,45
3. Bojongloa Kaler 3,03
4. Bojongloa Kidul 6,26
5. Astanaanyar 2,89
6. Regol 4,3
7. Lengkong 5,9
8. Bandung Kidul 6,06

22
No. Kecamatan Luas Wilayah
(km2)
9. Buah Batu 7,93
10. Rancasari 7,33
11. Gedebage 9,58
12. Cibiru 6,32
13. Panyileukan 5,1
14. Ujung Berung 6,4
15. Cinambo 3,68
16. Arcamanik 5,87
17. Antapani 3,79
18. Mandalajati 6,67
19. Kiaracondong 6,12
20. Batununggal 5,03
21. Sumur Bandung 3,4
22. Andir 3,71
23. Cicendo 6,86
24. Bandung Wetan 3,39
25. Cibeunying Kidul 5,25
26. Cibeunying Kaler 4,5
27. Coblong 7,35
28. Sukajadi 4,3
29. Sukasari 6,27
30. Cidadap 6,11
Jumlah 167,31

4.1.2 Gambaran Umum Kecamatan Gedebage

Gedebage adalah sebuah kecamatan di Kota Bandung, Provinsi

Jawa Barat, Indonesia. Kecamatan ini dibentuk dari pemekaran Kec.

Rancasari. Dengan wilayah seluas 9,78 kilometer persegi, Kecamatan

23
Gedebage menjadi kecamatan terluas di Kota Bandung. Jumlah penduduk

-+ 28.569. Batas Wilayah :

▪ Utara - Kecamatan Cinambo,

▪ Timur - Kecamatan Panyileukan,

▪ Barat - Kecamatan Rancasari, S

▪ elatan - Kabupaten Bandung

Secara geografis Kecamatan Gedebage memiliki bentuk wilayah

datar atau berombak sebesar 85% dari total keseluruhan wilayah. Ditinjau

dari sudut ketinggian tanah Kecamatan Gedebage berada pada ketinggian

750 m di atas permukaan air laut.

Ada empat kelurahan di kecamatan ini, yakni Rancabolang,

Rancanumpang, Cisaranten Kidul, dan Cimincrang. Dari keempatnya,

Cisaranten Kidul memiliki wilayah paling luas, mencapai 4,26 kilometer

persegi atau 43,5 persen dari total luas Kecamatan Gedebage. Secara

topografi, wilayah Gedebage berada di ketinggian 666-669 meter di atas

permukaan laut. Kawasan ini tergolong ke dalam salah satu kawasan

paling rendah di Kota Bandung sehingga secara alamiah menjadi tempat

parkir air.

4.1.3 Gambaran Umum Tentang Co Working Space

Co Working Space di kota Bandung adalah program yang

menghadirkan ruang bagi seluruh lapisan masyarakat untuk menjadi pusat

kolaborasi masyarakat yang berdampak bagi peningkatan kreativitas

24
warga. Co Working Space dibangun dengan konsep social business hub

dengan menitikberatkan pada pembentukan kelompok ekonomi dan kreatif

berbasis teknologi yang dikembangkan dengan platform bisnis sosial

sehingga dapat mengembangkan ekosistem ekonomi kreatif di 17 sub

sektor.

Secara fungsi aktivasi Co Working Space diharapkan menjadi

sarana aktivitas masyarakat di kota Bandung sebagai sarana penyediaan

dan peningkatan akses dan penguasaan teknologi bagi para penggunanya

tujuan terselenggaranya aktivasi ini sebagai wadah bagi warga untuk

saling berinteraksi, saling belajar, saling berbagi dan saling menguatkan

dalam proses kemajuan diri pribadi dan wilayah, menumbuhkan kesadaran

dan semangat kolaborasi, meningkatkan kapasitas para pelaku ekonomi

kreatif dalam proses membangun dan menjalankan produktivitas Co

Working Space.

Mewujudkan Co Working Space pada hakikatnya bukan hanya

berbicara tentang bangunan fisik. Lebih jauh, diperlukan ekosistem yang

mampu menghidupkan dan menjaga nyawa dari Co Working Space yang

berujung pada kemandirian, keberlanjutan, dan dampak dari yang

dihadirkan dari working Space. Oleh karenanya Keterlibatan Masyarakat

di setiap wilayah diperlukan dalam proses aktivasi aktivasi Co Working

Space di setiap wilayah kecamatan sebagai bagian dari upaya untuk

membangun, menjalankan, dan menjaga ekosistem yang inklusif dan

positif.

25
Pengurus Co Working Space diharapkan terdiri dari individu-

individu yang memiliki integritas yang baik, yang memiliki motivasi dasar

bukan sekedar untuk untuk eksistensi atau kepentingan pribadi melainkan

berorientasi pada kemajuan bersama. Seberapa besar dampak dan manfaat

yang dihadirkan dengan adanya Co Working Space bagi warga di tiap

kecamatan tergantung pada masing-masing pengurusnya. Oleh karenanya

pengurus memegang peranan penting utamanya terkait kepekaan untuk

menangkap potensi, kebutuhan hingga tantangan di tiap wilayah serta

menghadirkan program atau kegiatan.

Penguasaan keterampilan yang dibutuhkan dalam mendukung

kinerja pengurus untuk berkontribusi sesuai dengan bagiannya. Dalam

prakteknya penguasaan teknis yang dimaksud dapat dipelajari, dilatih dan

diperbaiki seiring berjalannya program dan kegiatan Co Working Space di

tiap kecamatan. Beberapa contoh keterampilan teknis yang dimaksud

diantaranya: manajemen kerja, pencatatan keuangan, penguasaan media

sosial, keterampilan berkomunikasi dan lain sebagainya.

Adapun usulan susunan pengurus yang dibutuhkan dalam

menumbuhkan dan menjaga jalannya ekosistem pada program aktivasi Co

Working Space terdiri dari Pengawas yang diisi oleh Camat wilayah

setempat, Pembina yang diisi oleh Kasi Ekbang kecamatan wilayah

setempat, Kadisbupar Kota Bandung kemudian di bawahnya terdiri dari

Ketua/Koordinator Sekretaris; Bendahara; Seksi Humas; Seksi SDM;

Seksi Perencanaan Program

26
Dalam perjalanannya, pengurus Co Working Space di tiap

kecamatan akan bergerak sebagai satu kesatuan tim. Oleh karenanya perlu

dipastikan sinergitas antar individu di dalamnya, mengingat sebagai

sebuah tim, tentu kepengurusan akan dihadapkan pada latar belakang

individu yang berbeda sehingga memungkinkan munculnya dinamika

dalam perjalanannya. Secara umum, fase dinamika yang ada pada proses

pembentukan sebuah tim bisa digambarkan dalam: forming > storming >

norming > performing > champion.

Dalam rangka meminimalisir resiko tidak berjalannya fungsi

kepengurusan sebagai sebuah tim maka diperlukan upaya untuk saling

memahami tujuan bersama, kelebihan dan kekurangan tiap individu,

peranan dan tanggung jawab masing-masing, hingga ke nilai-nilai yang

disepakati.

Co Working Space Gedebage adalah Komunitas/Perkumpulan para

Pelaku Ekonomi Kreatif yang dibentuk berdasarkan kebutuhan untuk

membangun Ekosistem yang terintegrasi sesama Pelaku Ekonomi Kreatif

untuk meningkatkan level usaha para anggotanya. Komunitas ini

beranggotakan para UMKM, Internet Marketer, Startup Lingkungan dan

Industri Kreatif Lainnya menciptakan ekosistem keberlanjutan usaha

melalui ruang kerja bersama UMKM Kecamatan Gedebage, kami

membantu dan mengelola pemasaran para anggota gedebage yang masih

konvensional untuk bisa beradaptasi dengan kondisi serba online

27
4.2 Proses Collaborative Governance dalam Program Co Working Space di

Kecamatan Gedebage Kota Bandung

Pada bab ini penulis ingin menjabarkan analisis dari hasil penelitian

yang telah dilakukan sehingga menemukan hasil temuan dilapangan berupa

data yang terkait proses Collaborative Governance di Kecamata Gedebage

Kota Bandung. Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan Teori

Collaboratuve Governance sebagai instrumen untuk menganalisis suatu

hubungan kerjasama antar stakeholders yaitu pemerintah (Dinas Budaya dan

Pariwisata Kota Bandung), Swasta (seperti para pendamping, akademisi), dan

Masyarakat (seperti para pelaku usaha, dan lain-lain).

Untuk mempermudah penulis dalam menganalisis, disini penulis

menggunakan Collaborative Governance model dari Ansell & Gash (2008)

untuk mendeskripsikan tata kelola kolaboratif (Collaborative Governance).

Dengan mengacu pada model Ansell & Gash (2008: 549-550), penelitian ini

menggunakan lima dimensi proses Collaborative Governance, yaitu Face to

Face Dialogue (dialog tatap muka), Trust Building (membangun kepercayaan),

Commitment to Process (komtmen terhadap proses), Share Understanding

(kesepahaman bersama), Intermediate Outcomes (hasil sementara) untuk

menggambarkan tata kelola kolaboratif pada program Co Working Space di

Kecamatan Gedebage Kota Bandung.

28
Proses kolaboratif ini merupakan variable yang penting, dimana

proses kolaboratif diawali dengan dialog tatap muka yang berkaitan dengan

kepercayaan yang baik, setelah melakukan dialog tatap muka dengan baik

maka akan terbangun suatu kepercayaan yang nantinya akan berpengaruh

terhadap komitmen dalam proses kolaborasi, setelah komitmen para

stakeholders tinggi akan terjadi suatu pemahaman bersama dalam

perumusan masalah, identifikasi nilai-nilai, dan misi yang jelas. Setelah

para stakeholders memiliki kesamaan dan kesepahaman, maka akan

menentukan rencana strategis untuk menjalankan kolaborasi. berpengaruh

terhadap komitmen dalam proses kolaborasi, setelah komitmen para

stakeholders tinggi akan terjadi suatu pemahaman bersama dalam

perumusan masalah, identifikasi nilai-nilai, dan misi yang jelas. Setelah

para stakeholders memiliki kesamaan dan kesepahaman, maka akan

menentukan rencana strategis untuk menjalankan kolaborasi.

a. Face To Face Dialogue (Dialog Tatap Muka)

Proses dalam Collaborative Governance menurut Ansell and Gash

(2007) diawali dari proses dialog tatap muka antar stakeholder. Proses ini

bertujuan untuk mencapai konsensus atau kesepakatan bersama. Semua

tata kelola kolaboratif dibangun berdasarkan dialog tatap muka antar

pemangku kepentingan.

Menurut Sufianti (2013:135) dialog tatap muka memiliki arti para

institusi yang terlibat dalam dialog mampu berbicara mewakili

kepentingan kelompoknya, saling menghormati, dan berbicara dengan

29
akurat. Keterlibatan dalam dialog tatap muka bertujuan untuk membahas

materi kerjasama tujuan, konsep serta beberapa hal lainnya yang berkaitan

dengan program Co Working Space.

Berikut hasil wawancara penulis dengan ketua Co Working Space

Kecamatan Gedebage mengenai dialog tatap muka :

“Sebelumnya dari Kasi Ekbang (Kepala seksi Ekonomi


Pembangunan) di kecamatan mendapatkan surat dari Disbudpar
untuk mengadakan program CWS (Co Working Space) dan
Disbudpar sendiri kebetulan banyak mengundang para pelaku
usaha UMKM. Jadi sebenarnya program CWS ini ada bukan dari
kebutuhan, tapi CWS ini merupakan program baru yang dibuat
Disbudpar. CWS ini juga sebetulnya merupakan janji politik dari
walikota yg menginginkan adanya ruang bersama untuk para
pelaku ekraf. Awal mula akan diadakan nya CWS ini juga dengan
adanya dialog tatap muka langsung/sosialisasi yang dilakukan.”
(Hasil wawancara Ketua CWS Kecamatan Gedebage 26 Desember
2022)

Sebagai kesimpulan wawancara dengan Ketua CWS Kec.

Gedebage mengenai dialog tatap muka dalam proses kolaborasi

penyediaan Co Working Space melalui Collaborative Governance, pada

tahap pertama proses kolaborasi terdapat dialog tatap muka yang

dilaksanakan langsung oleh Dinas budaya dan Pariwisata untuk

mensosialisasikan program Co Working Space ini kepada para pelaku

usaha.

Adapun setelah diadakannya sosialisasi terkait program CWS ini

kepada para pelaku usaha, CWS di Kecamatan Gedebage juga sudah

menjalankan sekitar 20 kali pertemuan yang sudah dilakukan di tahun

2022 ini. Untuk pertemuan tersebut biasanya dilakukan sebulan sekali baik

itu dengan cara berkumpul langsung dengan para aktor terkait atau pun

30
dilakukan dengan daring via zoom jika memang para anggota tiak bisa

berkumpul langsung. Jadi dalam pengembanan program CWS ini dialog

tatap muka sudah sering dilakukan untuk memantau sejauhmana program

CWS telah dilaksanakan. Berikut hasil wawancara terkait dengan

pertemuan yang sering dlakukan :

“Setiap bulan pasti diadakan pertemuan. Seperti pada masa covid


pertemuan dilakukan melalui zoom dan masih dilakukan sampai
saat ini apabila tidak sempat untuk berkumpul langsung. Selalu
setiap ada hal yg ingin disampaikan dilakukan pertemuan atau
zoom. Dan terdapat notulen yang selalu mencatat hasil dr
pertemuan yg dilakukan.” (Hasil wawancara Ketua CWS
Kecamatan Gedebage 26 Desember 2022)

b. Trust Building (Membangun Kepercayaan)

Selepas melakukan dialog tatap muka, tahap selanjutnya adalah

pelaku kolaborasi membangun kepercayaan satu sama lain melalui

partisipasi aktif sebagai syarat awal proses governance dapat berlangsung.

Menurut Gitsham dan Page (2014:19) sebagai bagian dari proses

kolaborasi, antar institusi perlu membuat hubungan yang kuat dan saling

percaya diantara para peserta. Hal ini didasari oleh adanya visi bersama

diantara para stakeholder yang memungkinkan setiap komponen akan

melakukan partisipasi.

De save dalam Sudarmo (2011:113) mengungkapkan kepercayaan

diantara aktor merupakan salah satu faktor penting penentu keberhasilan.

Kepercayaan dapat berupa informasi-informasi atau usaha dari stakeholder

lainnya untuk mencapai tujuan dari adanya Collaborative Governance.

31
Berikut hasil wawancara penulis dengan ketua Co Working Space

Kecamatan Gedebage mengenai cara membangun kepercayaan :

“Pertama untuk para pelaku di CWS kecamatan Gedebage adalah


diutamakan untuk menyatukan peran pengurus supaya memiliki
kesatuan dan kompak. Jika hal tersebut sudah bisa dilakukan
kedepannya juga akan mempermudah jalannya program karena
sudah ada keterikatan antra satu dan lainnya dan lebih mudah
untuk memecahkan masalah. Untuk pemerintah sendiri juga sangat
memperhatikan sekali jalannya program CWS ini, disaat ada
pelatihan yg dilakukan, Bu Etik selalu datang dan hadir sampai
acara selesai. Dan untuk menyelaraskan semuanya mereka selalu
melakukan koordinasi dengan pihak kecamatan, dan apabila ada
sesuatu yang ingin dibicarakan selalu disampaikan baik itu kepada
kepala camatnya ataupun kepada Kasi Ekbang nya. Untuk
Disbudpar sendiri juga turut tidak lepas tangan terhadap jalannya
program, karena ternyata selalu diadakan pertemuan antara ketua
CWS perkecamatan di luar pertemuan pelatihan dengan tujuan
untuk memantau sejauhmana jalannya program CWS ini.
Disbudpar juga turut memberikan fasilitas seperti komputer dan
ruang yngg bisa digunakan oleh para pelaku usaha.” (Hasil
wawancara Ketua CWS Kecamatan Gedebage 26 Desember 2022)

Bentuk upaya membangun kepercayaan antar pemangku

kepentingan dalam Program Co Working Space di Kecamatan Gedebage

yang pertama adalah dengan mengutamakan peran pengurus disana agar

memiliki kesatuan dan selalu kompak agar program CWS ini dapat

berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Pemerintah juga turut serta untuk

bisa ikut berpartisipasi untuk ikut dalam program pelatihan yang diadakan.

Dengan diadakannya 20 kali pertemuan seperti yang sudah

disebutkan, sebenarnya sudah dapat membangun rasa saling percaya antar

aktor karena dengan seringnya para pemangku kepentingan bertemu untuk

saling bekerjasama maka dapat menumbuhkan rasa kepercayaan antar

aktor yang terlibat.

32
Kemudian mereka juga memiliki grup untuk berdiskusi terkait

program CWS ini yang dimana apabila ada permasalahan, disukusi atau

info bisa langsung ditanyakan ke grup yang ada. Grup tersebut juga

didalamnya berisi para pelaku usaha, akademisi, pendamping dan

pemerintah pun ikut dalam grup tersebut. Hal tersebut juga dapat menjadi

salah satu cara membangun kepercayaan antar pemangku kepentingan

kolaborasi dan membangun komitmen di antara para pemangku

kepentingan untuk menyatukan visi dan misi yang sama dalam hal ini

untuk keberlanjutan program Co Working Space di Kecamatan Gedebage.

Berikut hasil wawancaraya :

“Terdapat ruang khusus seperti grup untuk dapat membahas


jalannya program cws ini. Dan kebetulan setiap hari grup tersebut
selalu ramai dengan pembahasan terkait jalannya program.” (Hasil
wawancara Ketua CWS Kecamatan Gedebage 26 Desember 2022)

c. Commitment to Process (Komitmen terhadap Proses)

Margeum dalam Ansell and Gash (2007) juga mengungkapkan

bahwa komitmen anggota dalam Collaborative Governance adalah faktor

penting yang memfasilitasi dari jalannya kolaborasi. Ketika komitmen dari

aktor lemah, baik pada tingkat atas maupun bawah, maka dapat dipandang

sebagai masalah khusus yang dapat menghambat jalannya dari

Collaborative Governance.

Berikut hasil wawancara penulis dengan ketua Co Working Space

Kecamatan Gedebage mengenai komitmen terhadap proses :

33
“Peran pemerintah kecamatan yaitu Bapak camat bersama seksi
Ekbang sangat membantu sekali dalam hal sarana, ruangan untuk
pelatihan, ruang untuk CWS nya sendiri sebagai tempat
berkumpul. Pemerintah juga membantu untuk pemberian materi
yang dilakukan oleh TLE terkait program dari modul - modul,
papan nama yang dibikinkan. Kemudian untuk masyarakat yang
terdapat di dalam program ini adalah kebanyakan para pelaku
ekonomi kreatif. CWS ini istilahnya sebagai tempat berkumpul
atau ruang bekerjasama. Respon yang diberikan masyarakat juga
bagus dan positif. Untuk anggota CWS sendiri tidak semuanya
pelaku UMKM ada pelaku lain dari 17 subsektor, dan anak muda.”
(Hasil wawancara Ketua CWS Kecamatan Gedebage 26 Desember
2022)

Pelaksanaan Collaborative Governance pada program CWS di

Kecamatan Gedebage, merujuk pada para stakeholders yang terlibat

menunjukkan komitmen masing-masing untuk menjalankan Collaborative

Governance ini. Para stakeholders terutama para pendamping, pengurus

dan pemerintah memiliki perannya masing - masing terhadap jalannya

program CWS ini. Seperti pemerintah yang memberikan sarana dan

prasarana, materi - materi yang diberikan oleh TLE. Untuk masyarakat

sendiri memberikan respon yang bagus dan antusias dalam mengikuti

jalannya program CWS di Kecamatan Gedebage ini.

Selain itu, dalam kolaborasi ini komitmen terhadap proses juga

dapat dilihat melalui upaya para akademisi/pendamping dalam program

CWS ini, mereka selalu memberikan pelatihan secara terus menerus

kepada para pelaku ekraf agar mereka semua bisa paham dan mengerti.

Komitmen yang tumbuh jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya, karena

34
intensitas pertemuan, komunikasi dan kepercayaan yang tumbuh dari

masing-masing stakeholder.

Berikut hasil wawancara lainnya yang peneliti dapatkan dari

ketua CWS Kecamatan Gedebage :

“Untuk aktor pendamping memiliki peran yang sangat penting,


karena disamping mensupport para pelaku UMKM / ekraf mereka
juga turut mendampingi anggota yang masih belum paham terkait
produknya. Kemudian diadakannya kegiatan di luar yang sifatnya
bisa memajukan pelaku usaha yang nantinya di share kepada para
pelaku melalui grup yang telah dibuat. Program CWS ini
sebenarnya sudah habis untuk sekarang tetapi pendampingnya
masih tetap dilakukan, baik itu pendamping 2021 maupun 2022
masih tetap berkontribusi dan aktif dalam grup pengurus dan selalu
membantu jika ada hal-hal yang sifatnya perlu para pendamping
komentari. Mengenai program pelatihan ini sebenarnya ada
pelatihan yang sifatnya dari Disbudpar yang menyelenggarakan
lewat TLE (akademisi), ada juga pelatihan yang diselenggarakan
oleh CWS kecamatan sendiri. TLE lebih banyak mengajarkan
tentang teori saja, sedangkan dari kecamatan sendiri kebanyakan
melakukan pelatihan praktek. Mungkin saya sendiri sebagai ketua
yang utama itu adalah untuk mengkondisikan dan mengkoordinir
teman - teman untuk bisa kompak dan menjadi satu. Membuat para
pengurus bisa lebih kompak, karena dengan kekompakannnya itu
bisa menjalankan program yang telah ditentukan dan apa yang
diharapkan dapat berjalan” (Hasil wawancara Ketua CWS
Kecamatan Gedebage 26 Desember 2022)

Jadi bisa dikatakan untuk pendampingan di kecamatan Gedebage

ini setelah program CWS sudah habis, mereka tidak lepas tangan. Mereka

masih terus membantu para pelaku usaha yang terkait. Salah satu faktornya

karena kedekatan antara pendamping tersebut dengan para anggota dan

pengurus sehingga dari pihak pendamping sendiri tidak keberatan untuk

memberikan masukan walaupun sudah diluar masa pendampingan. Para

35
pengurus juga sudah cukup matang karena sudah hampir 2 tahun program

CWS ini dijalankan. Itulah salah satu hal yg menyebabkan CWS di

kecamatan Gedebage ini berhasil dan mendapatkan pendampingan

kembali di tahun 2022.

d. Share Understanding (Kesepahaman Bersama)

Kolaborasi dalam program Co Working Space harus memiliki

tujuan yang jelas. Menurut Glasbergen dan Dressen dalam Ansell dan

Gash (2007:560) shared understanding dapat diartikan dengan adanya

tujuan yang jelas dari kolaborasi tersebut. Ansell and Gash (2007)

mengungkapkan pemahaman bersama adalah mengenai beberapa hal yang

seharusnya dipahami oleh semua stakeholder dalam proses kolaboratif

terkait dengan persamaan visi, misi bersama, tujuan yang jelas dan arah

strategis dari program.

Berikut hasil wawancara penulis dengan ketua Co Working Space

Kecamatan Gedebage :

“Anggota CWS di Kecamatan Gedebage ini kebanyakan pelaku


UMKM dan sebisa mungkin mendorong agar mereka para pelaku
UMKM ini bisa maju. Makannya dengan adanya pelatihan seperti
digital marketing, manajemen dan beberapa pelatihan lain yang
diselenggarakan untuk meningkatkan kualitas UMKM,
penjualannya dan pengetahuannya juga. Dalam mengikuti program
CWS ini juga tidak dilakukan pendaftaran anggota, tetapi siapa saja
bebas untuk bisa mengikuti program ini asal sudah dilakukan
pelatihan terlebih dahulu. Dan kebanyakan anggota CWS ini
adalah orang - orang yg sudah ikut pelatihan dari TLE tadi. karena
tujuan pelatihan disini adalah agar mereka bisa lebih maju lagi
usahanya seperti misal yang tadinya konvensional bisa menjadi

36
digital.” (Hasil wawancara Ketua CWS Kecamatan Gedebage 26
Desember 2022)

Proses shared understanding telah berjalan sesuai dengan yang

diharapkan, dimana masing-masing stakeholders sudah memiliki

pemahaman yang sama atau selaras. Bentuk upaya membangun

kesepahaman dalam program ini adalah melalui sosialisasi, pelatihan,

pendampingan pada wilayah Kecamatan. Co Working Space di kota

Bandung adalah program yang menghadirkan ruang bagi seluruh lapisan

masyarakat untuk menjadi pusat kolaborasi masyarakat yang berdampak

bagi peningkatan kreativitas warga.

Secara fungsi aktivasi Co Working Space diharapkan menjadi

sarana aktivitas masyarakat di kota Bandung sebagai sarana penyediaan

dan peningkatan akses dan penguasaan teknologi bagi para penggunanya.

Tujuan terselenggaranya aktivasi ini sebagai wadah bagi warga untuk

saling berinteraksi, saling belajar, saling berbagi dan saling menguatkan

dalam proses kemajuan diri pribadi dan wilayah, menumbuhkan kesadaran

dan semangat kolaborasi, meningkatkan kapasitas para pelaku ekonomi

kreatif dalam proses membangun dan menjalankan produktivitas Co

Working Space

Berjalannya proses share understanding ini tidak akan pernah

lepas dari peran pada proses face to face dialogue yang dilaksanakan oleh

para stakeholders. Dengan dialog tatap muka yang berjalan dengan baik

akan mampu mengantisipasi kesalahpahaman yang berujung pada

perbedaan persepsi.

37
e. Intermediate outcomes (Hasil Sementara)

Pada proses kolaborasi terdapat hasil keluaran atau output yang

merupakan hasil dari proses yang tercapai tujuan dan manfaat

kolaborasinya serta adanya kemenangan kecil dari kolaborasi.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan adalah :

“Setelah adanya pemberian materi dan juga pelatihan yang


dilakukan belum semuanya para anggota pelaku UMKM ini
mempunyai produk, adapun beberapa produk yg sudah baik
akibat bantuan atau ajaran dari adanya pelatihan dan
pendampingan dalam program CWS.” (Hasil wawancara Ketua
CWS Kecamatan Gedebage 26 Desember 2022)

Sebagai kesimpulan dari wawancara tersebut bahwasannya dalam

program Co Working Space ini belum semua para pelaku usaha atau

anggota di dalamnya mampu untuk mempunyai produk yang baik. Ada

beberapa dari mereka yang belum berhasil dan masih terus berusaha dan

belajar dalam pelatihan dan pendampingan agar produk yang dihasilkan

menjadi lebih baik lagi dan dapat diperjual belikan.

Meskipun hasil sementara telah diperoleh, bukan berarti ini

menjadi keberhasilan utama. Karena tujuan yang hendak diperoleh dari

Program Co Working Space disini adalah dapat Memberikan hasil atau

output dari pelaku UMKM tersebut. Dari 17 subsektor perlu diketahui

berapa jumlah yang mampu berkembang dan berani melakukan produksi

setelah mendapat pendampingan dari CWS ini.

38
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan mengenai

Collaborative Governance pada Pengembangan Pusat Pemberdayaan Ekonomi

dan Kreativitas Masyarakat melalui aktivasi Co Working Space di Kecamatan

Gedebage kota Bandung yang dilakukan antara Disbudpar Kota Bandung,

Pemerintah Kecamatan Gedebage, The Local Enablers UNPAD, Para

Pendamping, dan pelaku usaha ekonomi kreatif sudah dikatakan optimal. Hal

ini dibuktikan dengan :

1. Face To Face Dialogue (Dialog Tatap Muka) mengenai hal tersebut dalam

proses kolaborasi penyediaan Co Working Space melalui Collaborative

Governance, pada tahap pertama proses kolaborasi terdapat dialog tatap

muka yang dilaksanakan langsung oleh Dinas Budaya dan Pariwisata..

2. Trust Building (Membangun Kepercayaan) bentuk upaya membangun

kepercayaan antar pemangku kepentingan dalam Program Co Working

Space di Kecamatan Gedebage yang pertama adalah dengan

mengutamakan peran pengurus disana agar memiliki kesatuan dan selalu

kompak agar program CWS ini dapat berjalan sesuai dengan yang

diharapkan.

3. Commitment to Process (Komitmen terhadap Proses) dilihat dari program

ini para stakeholders yang terlibat menunjukkan komitmen masing-masing

untuk menjalankan Collaborative Governance ini. Para stakeholders

39
terutama para pendamping, pengurus dan pemerintah memiliki perannya

masing - masing terhadap jalannya program CWS ini.

4. Share Understanding (Kesepahaman Bersama) proses shared

understanding telah berjalan sesuai dengan yang diharapkan, dimana

masing-masing stakeholders sudah memiliki pemahaman yang sama atau

selaras. Bentuk upaya membangun kesepahaman dalam program ini adalah

melalui sosialisasi, pelatihan, pendampingan pada wilayah Kecamatan.

5. Intermediate outcomes (Hasil Sementara) dalam program Co Working

Space ini belum semua para pelaku usaha atau anggota di dalamnya mampu

untuk mempunyai produk yang baik. Ada beberapa dari mereka yang

belum berhasil dan masih terus berusaha dan belajar dalam pelatihan dan

pendampingan agar produk yang dihasilkan menjadi lebih baik lagi dan

dapat diperjual belikan.

5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis memberikan saran yang

diharapkan dapat menjadi alternatif untuk program Co Working Space melalui

Collaborative Governance Sarannya adalah pemerintah diharapkannya dapat

memberikan dana bantuan untuk menunjang pendampingan dan juga

kelancaran program Co Working Space di Kecamatan Gedebage ini, sehingga

para pelaku ekonomi kreatif tetap semangat, meskipun mereka bisa

menghasilkan dana sendiri tetapi dengan adanya dorongan bantuan berupa

dana tambahan dapat mempengaruhi kinerja sehingga lebih cepat dalam

menghasilkan output

40
Saran lainnya adalah mungkin lebih ditingkatkan lagi untuk sosialisasi,

ajakan dan promosi terkait program Co Working Space di Kecamatan

Gedebage ini. Karena mungkin untuk saat ini masih sedikit masyarakat yang

mengetahui terkait adanya program Co Working Space ini. Kebanyakan dari

mereka justru belum mengetahuinya dan masih asing dengan programnya.

Maka dari itu baik itu pemerintah, akademisi, privat sektor harus bisa lebih

mensosialisasikan kembali agar program ini dapat dikenal oleh banyak orang.

Saran lainnya apabila hambatannya terdapat di dalam waktu, maka

sebisa mungkin stakeholder terkait mengembalikan fungsi grup WhatsApp

sebagai upaya pungutan suara untuk menentukan waktu yang pas agar semua

pelaku usaha bisa berkumpul langsung. Dengan adanya sistem seperti itu dapat

dilihat siapa saja peserta yang bisa atau tidak, dan dapat diambil waktu yang

sesuai agar semua peserta sanggup hadir.

41
DAFTAR PUSTAKA

A. Mustanir., M. Razak., E. Koisin et al. 2022. Pengantar Ilmu Administrasi


Publik. Media Sains Indonesia.

Ansell dan Gash. 2007. Collaborative Governance in Theory and Practice, Journal

Ansell, c. and Alison G. 2007. Collaborative Governance in theory and practive.


Journal of public administration research and theory. Universitas of
California: Barkeley

Arifin, S., & Utami, D. (2018). Collaborative Governance Dalam Program Rintisan
Desa Inklusif Di Desa Sendangadi Kecamatan Mlati. E-Juarnal Fisip UNY,
7(3), 315–332.

Arrozaaq, D. L. C. (2016). Collaborative Governance (Studi Tentang Kolaborasi


Antar Stakeholders Dalam Pengembangan Kawasan Minapolitan di
Kabupaten Sidoarjo). Kebijakan Dan Manajemen Publik, 3, 1–13

Donahue, J. D. & Zeckhauser, R. J. 2011. Collaborative Governance: Private Roles


For Public Goals in Turbulent Times. Princeton, New Jersey: Princeton
University Press.

Emerson, K., & Nabatchi, T. (2015). Collaborative Governance regimes.


Georgetown University Press.

Handayaningrat. (2002). Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen.


Jakarta: Haji Mas Agung

Imanto, Y., Sungkari, H., & Prijotomo, J. (n.d.). A Creative Industry Innovation
Ecosystem and Architecture as Infrastructure to Develop Creative Cities.

Indradi, Sjamsiar Sjamsudin. 2016. Dasar – Dasar Dan Teori Administrasi Publik.
Malang: Inatrans Pulishing

Islamy, La Ode Syaiful H. 2018. Collaborative Governance Konsep dan Aplikasi.


Sleman: Deepublish

Jeffrey, C. R., Utomo, H. S., & Irawan, B. (2021). Kontribusi Ruangku Co Working
Space Dalam Mengembangkan Sektor Ekonomi Kreatif Bagi Para Pemuda
Di Kota Samarinda. Jurnal Administrative …, 9(2), 1–13.

Keban, T. Y. (2004). Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik, Konsep, Teori


dan Isu. Yogyakarta: Gave Media

Mindarti, Lely Indah. 2016. Aneka Pendekatan dan Teori Dasar Administrasi
Publik. Universitas Brawijaya Press.

42
Mufiz, A. (2016). Pengantar ilmu administrasi negara. Jakarta: Graha Ilmu, 63.

Muhammad. (2019). Pengantar Ilmu Administrasi Negara. Unimal Press.

Mahyudin, dkk. 2021. Teori Organisasi. Yayasan Kita Menulis.

Nasrulhaq, N. (2020). Nilai Dasar Collaborative Governance Dalam Studi


Kebijakan Publik. Kolaborasi : Jurnal Administrasi Publik, 6(3), 395–402

Pasolong, D. H. (2014). gabungan Teori Administrasi. In Paper Knowledge .


Toward a Media History of Documents.

Pasolong, Harbani. 2013. Teori Administrasi Publik. Bandung: Alfabeta.

Pratama, I. D., Salahudin, & Roziqin, A. (2021). Tata Kelola Kolaboratif Ruang
Terbuka Hijau: Sebuah Kajian Pustaka Terstruktur (Systematic Literature
Review). Jurnal Komunikasi Pembangunan,

Revida, Erika., dkk. 2020. Teori Administrasi Publik. Yayasan Kita Menulis

Rahman, Mariati. 2017. Ilmu Administrasi. Makassar : CV sah Media

Syafiie, Inu Kencana. 2003. Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia.


Bandung: Bumi Aksara

Siagian, Sondang P. 2012. Teori Pengembangan Organisasi. Jakarta : PT. Bumi


Aksara Siagian,

Sondang P. 2016. Administrasi Pembangunan. Konsep, Dimensi, Dan Strateginya.


Jakarta : PT. Bumi Aksara

Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:


Alfabeta, CV

Thoha, M. (2017). Ilmu administrasi publik kontemporer. Jakarta: Prenadamedia


Group

Wicaksono, F., & Bustomi, H. (2016). Collaborative Governance Dalam


Pengembangan Pusat Pemberdayaan Ekonomi Dan Kreativitas Masyarakat
Di Kota Bandung.

43
LAMPIRAN

44
45
46
47
48

Anda mungkin juga menyukai