Adverse Event
Adverse Event
Banyak kalangan LSM mencurigai adanya sesuatu yang tak beres yang menyebabkan gugatan
pasien lewat jalur hokum selalu kandas di pengadilan. Mereka menuding sebagai penyebabnya
adalah karena tidak adilnya keputusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (yang anggotanya
terdiri dari para dokter) serta keberpihakan saksi ahli (yang notabene diambil dari teman
sejawatnya sendiri). Padahal dari amatan saya secara sepintas, justru kualitas dari gugatan itu
sendirilah yang kabur (obscure libel) karena tidak didukung oleh logika medis dan logika hukum
yang benar sehingga amat wajar apabila keputusan pengadilan hampir selalu memenangkan
dokter atau rumah sakit. Saya katakan demikian karena tampaknya mereka telah
menggeneralisasi setiap adverse event sebagai malpraktek. Mestinya setiap adverse
event dianalisis lebih dahulu secara cermat (mengingat tidak semua adverse events identik
dengan malpraktek) dan sesudah itu barulah dipilah-pilah apakah benar merupakan kasus
malpraktek atau sekedar missadventure.
Contoh kasus paling gamblang yang menggambarkan kekurangcermatan pihak pasien dalam
menuntut dan menggugat adalah kasus dilaporkannya dokter ke polisi disertai pengajuan gugatan
ganti rugi ke pengadilan hanya karena bayi yang ditolong kelahirannya dengan vacuum
extractie 3 tahun yang lampau, sekarang menderita komplikasi kelumpuhan otot leher. Juga
kasus dilaporkannya dokter ke polisi karena terjadinya Steven Johnson Syndrome akibat obat
(yang seringkali mustahil dapat diramalkan sebelumnya oleh dokter).
Dari penelitian yang dilakukan oleh Institute of Medicine diperoleh gambaran bahwa sekitar 2,9
% sampai 3,7 % dari pasien rawat inap mengalami adverse event, berupa:
Suatu fakta yang tidak boleh diingkari bahwa pelaksanaan layanan kesehatan di rumah sakit
merupakan pekerjaan yang sulit, rumit dan komplek serta memerlukan bantuan teknologi
(metode, alat dan obat-obatan). Maka dalam kaitannya dengan upaya keselamatan pasien, The
National Patient Safety Foundation menyimpulkan sebagai berikut:
Hal-hal tersebut diatas seyogyanya difahami lebih dahulu oleh pasien serta pengacaranya
sebelum memutuskan menggugat, disamping perlu pula memahami logika hokum sebagaimana
disebutkan di bawah ini, yaitu:
1. Hubungan terapetik antara pasien dan rumah sakit merupakan hubungan kontraktual dan
oleh karenanya semua asas dalam berkontrak berlaku, utamanya asas utmost of good
faith (iktikad baik).
2. Perikatan yang timbul sebagai konsekuensi hubungan terapetik merupakan jenis
perikatan dimana dokter atau rumah sakit hanya dibebani kewajiban oleh hokum untuk
memberikan upaya yang benar (inspanning atau effort), bukan hasil (resultaat atau result).
3. Adverse event yang terjadi tidak secara otomatis merupakan bukti adanya malpraktek.
4. Kesalahan diagnosis tidak dapat dikatakan sebagai malpraktek sepanjang dokter, dalam
membuat diagnosis telah memenuhi ketentuan dan prosedur.
Perlu dipahami oleh masyarakat bahwa bagian dari pekerjaan dokter yang paling sulit adalah
menegakkan diagnosis, sementara peralatan diagnostik (yang paling canggih sekalipun) hanyalah
bersifat mengurangi angka kesalahan saja. Maka tidaklah aneh jika kesalahan diagnosis di
Amerika tetap tinggi (sekitar 17 %). Satu hal yang paling penting untuk dipertimbangkan
adalah, apakah kesalahan diagnosis itu terjadi karena kecerobohan dalam melakukan prosedur
diagnosis atau tidak.
5. Dokter dapat dituntut pidana apabila tindakannya memenuhi rumusan pidana beserta
unsur-unsurnya (mens rea dan actus reus).
6. Tanggungjawab pidana (criminal responsibility) selalu bersifat individual dan personal
serta tidak dapat dialihkan kepada pihak lain (baik individu maupun korporasi).
7. Dokter juga boleh digugat jika pasien menderita kerugian akibat ingkar janji atau karena
tindakann melawan hokum (onrechtmatige-daad).
8. Tanggunggugat (civil liability) atas terjadinya malpraktek yang dilakukan oleh dokter
adakalanya dapat dialihkan ke pihak lain berdasarkan doktrin tanggung-renteng (doctrine of
vicarious liability).