Anda di halaman 1dari 4

RESUME KULIAH FILSAFAT

PRAKTIK HUKUM KEDOKTERAN


Nama/NPM/Prodi : Sylviana Kuswandi/2206096832/IKA
Narasumber : Prof. dr. Budi Sampurna, DFM., S.H., SpFM(K), SpKP
Hari/Tanggal/Jam : Senin/31 Oktober 2022/Pukul 10.00-11.50 WIB

Sengketa di rumah sakit terdiri dari internal dan eksternal. Internal contohnya
ketenagakejaaan, kontrak mitra tenaga kesehatan dan lainnya, sedangkan eksternal misalnya
kerjasama antar rumah sakit, kerjasama rumah sakit dengan mitra, rumah sakit dengan
pasien, dan lainnya.
Masalah hukum rumah sakit-pasien antara lain (1) ketidakpuasan layanan misalnya
administrasi, akomodasi, sikap-perilaku, kenyamanan, pelecehan, kekerasan; (2) pelanggaran
hak pasien, misalnya privasi, informasi, rahasia, keputusan atau persetujuan; dan (3)
malpraktik/kelalaian medis (mediko-legal).
Contoh masalah hukum (1) Pasien memberikan somasi kepada rumah sakit karena tidak
memberitahukan perkiraan biaya pelayanan kesehatan yang sangat besar; (2) Istri pertama
pasien melaporkan rumah sakit ke polisi karena tidak diizinkan menjenguk suaminya,
padahal istri kedua diperbolehkan untuk menjenguk suaminya; (3) Keluarga pasien
menggugat rumah sakit karena membiarkan pasien menunggu selama 3 hari di luar ICU.
Padahal, terdapat 3 pasien yang masuk ICU tetapi tidak dalam urutan tunggu ICU.
Hak pasien diatur dalam world Medical Association (WMA) mengenai hak mendapat
kualitas pelayanan yang baik, hak untuk menentukan pilihan, hak untuk mengetahui
informasi, hak kerahasiaan, hak mendapat edukasi Kesehatan. Hak pasien dalam UU No 44
tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Pasal 32 antara lain mendapatkan pelayanan yang
manusiawi, adil, dan jujur.
Dugaan malpraktik umumnya dapat digolongkan dalam (1) melakukan sesuatu tindakan
medis tanpa persetujuan, (2) melakukan yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak
melakukan yang seharusnya dilakukan (kesalahan atau kelalaian), (3) melakukan
pembohongan, penyesatan, fraud, keterangan palsu, aborsi, atau pidana lain; dan (4)
melakukan wanprestasi.
Terdapat 4 komponen yang umumnya terjadi saat kelalaian medik, yaitu (1) adanya
kewajiban untuk melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu pada waktu atau
keadaan tertentu; (2) adanya pelanggaran atas kewajiban tersebut (3) adanya cedera atau
kerugian pada pihak pasien; dan (4) adanya hubungan kasual antara pelanggaran kewajiban
dengan cedera atau kejadian.
Pasal 58 ayat (1) UU No 36 tahun 2009 bahwa Setiap orang berhak menuntut ganti
rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang
menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang
diterimanya. Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi
tenaga Kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa pada saat emergency.
Pasal 45 No. 44/2009 (1) Rumah Sakit tidak bertanggung jawab secara hukum apabila 
pasien dan/atau keluarganya menolak atau menghentikan pengobatan yang dapat berakibat
kematian pasien setelah adanya penjelasan medis yang komprehensif; dan (2) Rumah Sakit
tidak bertanggung jawab secara hukum apabila  pasien dan/atau keluarganya menolak atau
menghentikan pengobatan yang dapat berakibat kematian pasien setelah adanya penjelasan
medis yang komprehensif.
Berdasarkan Pasal 46 UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yang menentukan
bahwa rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang
ditimbulkan atas kelalaian tenaga kesehatan di rumah sakit. Tanggung jawab institusi rumah
sakit masih belum jelas pelaksanannya, apakah sebagai pelaksanaan “respondeat superior”
vs “corporate liability”.
Apabila seorang dokter merupakan pegawai rumah sakit terdaftar dalam UU
ketenagakerjaan, maka termasuk dalam tanggung jawab institusi. Apabila dokter bukan
pegawai rumah sakit, terikat KUHPerdata misalnya perjanjian kerja atau mitra sehingga tidak
di bawah kendali rumah sakit, tetapi apabila memenuhi clinical privilege, dan lainnya, maka
dokter tersebut termasuk dalam tanggung jawab institusi.
Pembuktian adalah membandingkan alat bukti sah tentang “apa yang dikerjakan” (DAS
SEIN) dengan “apa yang seharusnya dikerjakan” (DAS SOLLEN). Membandingkan yang
diperoleh dari rekam medis, catatan, kesaksian, petujuk (barang bukti) dengan standar atau
kesaksian ahli atau pedoman. Pembuktian kelalaian (kumulatif) dengan cara melihat adakah
kewajiban pelaku untuk “harus melakukan sesuatu” atau “tidak melakukan sesuatu”, adakah
pelanggaran terhadap kewajiban tersebut, adakah cedera yang dialami pasien.
Pembuktian kewajiban mengenai adanya kewajiban profesi (kode etik, disiplin profesi,
dan aturan seperti standar, pedoman, dan lainnya), kewajiban hukum, kewajiban akibat
kontrak terapeutik, dan kewajiban akibat pembagian tugas sesuai bidang keprofesian.
Misalnya kasus tertinggalnya kasa pada tubuh pasien, harus jelas mengenai siapa yang
seharusnya mengambil kassa tersebut. Misalnya tugas tersebut dilakukan oleh perawat.
Karena perawat adalah suatu profesi, maka pertanyaan mengenai apakah harus dilakukan
supervisi tindakan tersebut oleh dokter?
Pembuktian pelanggaran kewajiban memiliki isu (1) sering terdapat lebih dari satu
kewajiban yang dapat bertentangan; (2) sering terdapat lebih dari satu standar/ pedoman atau
common practice; dan (3) sering terdapat situasi yang diakibatkan pelanggaran yang terpaksa
misalnya yang dapat dibernarkan (kedaruratan walaupun tidak sesuai kompetensi), atau yang
dapat dimanfaatkan (misalnya keterbatasan sumber daya saat pandemic Covid-19, seringkali
dokter membutuhkan waktu 1-2 menit untuk memakai APD sebelum melakukan tindakan
darurat pada pasien.
Pembuktian ketugian atau kecederaan meliputi kerugian material (kerugian akibat
hilangnya kesempatan, biaya saat dan setelah penggugatan) dan kerugian immaterial
(kerugian yang sifatnya umum, tidak dapat dihitung, tetapi dapat ditebak). Kerugian
immaterial misalnya sakit dan atau penderitaan, kehilangan kesenangan atau kenikmatan
(amenities). Pembuktian hubungan kasusal seringkali sulit karena biasanya pada pasien yang
cedera atau mati, tidak dilakukan autopsi.
Hubungan kasual tidak bisa menggunakan strict liability karena bukan produk,
dikecualikan pada product liability misalnya obat, dan alat kesehatan. Misalnya obat tertentu
yang menyebabkan gagal ginjal akut akibat kandungan bahan pelarut, maka tidak bisa
menuntut dokter atau rumah sakit yang memberikan. Pabrik atau distributor obat tersebut
yang dapat dituntut, setelah melakukan penelitian terperinci bahwa kandungan senyawa
tersebut yang mengakibatkan pasien mengalami gagal ginjal akut. Setelah penghentikan
distribusi obat tersebut, ternyata kasus tersebut berkurang, maka dapat dikatakan hubungan
causal directness hampir dapat dikatakan hal ini benar.
Tilikan dari foreseeability menguji apakah kejadian tersebut sebagai akibat dari risiko
yang foreseeable (dapat dibayangkan sebelumnya) atau tidak. Misalnya ada pasien yang
pernah mengalami reaksi alergi golongan ampicillin, maka dapat dibayangkan bahwa obat
derivate golongan ampicillin dapat menyebabkan alergi kembali, Berbeda dengan pasien
yang belum pernah mendapatkan obat tersebut, maka sulit dibayangkan apakah pasien
mengalami alergi obat tertentu atau tidak. Apabila terdapat lebih dari satu yang dapat
mengakibatkan cedera, umumnya tanggung jawab masing-masing dibagi secara proporsional
(proportionate liability).
Saksi ahli diharapkan memberikan keterangan sebab-akibat pada kasus. Saksi ahli harus
memiliki keahlian yang sesuai dan mencukupi, melakukan praktik dan tahu tentang prosedur
yang benar, dan bersikap netral dan diakui netral serta tidak ada konflik kepentingan. Cara
menunjuk ahli melalui organisasi profesi atau institusi Pendidikan profesi. Sebaiknya
dilakukan diskusi tersebut apakah saksi ahli ini memberatkan kita atau tidak. Bila terdapat
perbedaan, hadirkan ahli ketiga atau cross-exam.
Perkembangan hukum Kesehatan RI tidak menawarkan paradigma baru ataupun tata
cara penyelesauan yang “lex specialis” (no fault based vs fault bases?). Mediasi dilakukan di
antara kedua belah pihak. Indonesia tidak memiliki peradilan profesi, tidak ada imunitas
pidana, tidak ada plafon ganti rugi, dan tidak ada batas atas success-fee (di luar negeri
dibatasi 10-20% yang diberikan kepada advokat).
Penyelesaian sengketa lain dapat dilakukan dengan litigasi (peradilan perdata), dan non
litigasi misalnya arcitrasi, konsiliasi (konsiliator memfasilitasi diskusi dan dapat menwarkan
opsi penyelesaian), mediasi (mediator tidak memberikan opsi, diserahkan pada kedua belah
pihak), fasilitasi, dan negosisasi (apabila tidak ada pihak ketiga, diskusi dilakukan secara
mandiri). ADR atau damai lebih dipilih karena lebih cepat, murah, dan lebih sederhana. ADR
lebih bersifat “sahabat” karena ada “win-win solution”, dan lebih mementingkan kepentingan
daripada salah-benar.
Kasus hitam sebaiknya diselesaikan secara non litigasi, kasus putih sebaiknya
diselesaikan secara litigasi, sedangkan kasus kelabu (antara hitam dan putih) maka sebaiknya
dinilai dahulu apakah defensible untuk maju ke pengadilan, atau keterjangkauan (misalnya
tuntutan yang diajukan snagat besar).
Tuntutan pidana sering dilayangkan kepada dokter karena penuntut melimpahkan kasus
ke jaksa penuntut umum, namun hal ini sulit dibuktikan karena pembuktian tuntutan pidana
adalah “beyond reasonable doubt” sehingga sedikit sekali kasus pidana yang berhasil sampai
pengadilan.
Bentuk bantuan hukum antara lain (1) rumah sakit memiliki prosedur penangananan
kejadian potensi kasus; (2) rumah sakit menyediakan forum untuk pembahasan dari sisi
teknis medis dan sisi medicolegal; (3) rumah sakit berada pada satu pihak dengan SDM
Kesehatan rumah sakit, memberi akses kepada SDM Kesehatan atas seluruh informasi dan
dokumen yang dibutuhkan; (4) bila perlu menyediakan penasihat hukum; (5) memberikan
penayoman, konsultasi psikologis; (6) memperbaiki SOP atau PPK bila diperlukan; (7)
menyiapkan dana khusus apabila ada sengketa; dan (8) membayar premi uuntuk asuransi
indemnity.

Anda mungkin juga menyukai