Anda di halaman 1dari 4

Nama : Stevanus Colonel Randy

NIM : 1751039

Medication Error

Medication error adalah suatu kesalahan dalam proses pengobatan yang


masih berada dalam pengawasan dan tanggung jawab profesi kesehatan, pasien
atau konsumen, dan seharusnya dapat dicegah (Cohen, 1991, Basse & Myers,
1998). Dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 disebutkan bahwa pengertian medication error adalah
kejadian yang merugikan pasien, akibat pemakaian obat selama dalam penanganan
tenaga kesehatan, yang sebetulnya dapat dicegah. Kejadian medication error dibagi
dalam 4 fase, yaitu fase prescribing, fase transcribing, fase dispensing dan
fase administration oleh pasien.

Medication error pada fase prescribing adalah error yang terjadi pada fase
penulisan resep. Fase ini meliputi: obat yang diresepkan tidak tepat indikasi, tidak
tepat pasien atau kontraindikasi, tidak tepat obat atau ada obat yang tidak ada
indikasinya, tidak tepat dosis dan aturan pakai. Pada fase transcribing, error terjadi
pada saat pembacaan resep untuk proses dispensing. Error pada
fase dispensing terjadi pada saat penyiapan hingga penyerahan resep oleh petugas
apotek. Sedangkan error pada fase administration adalah error yang terjadi pada
proses penggunaan obat. Fase ini dapat melibatkan petugas apotek dan pasien atau
keluarganya.

Menurut Cohen (1991) dari fase-fase medication error di atas, dapat dikemukakan
bahwa faktor penyebabnya dapat berupa: 1) Komunikasi yang buruk, baik secara
tertulis (dalam resep) maupun secara lisan (antar pasien, dokter dan apoteker). 2)
Sistem distribusi obat yang kurang mendukung (sistem komputerisasi, sistem
penyimpanan obat, dan lain sebagainya). 3) Sumber daya manusia (kurang
pengetahuan, pekerjaan yang berlebihan). 4) Edukasi kepada pasien kurang. 5)
Peran pasien dan keluarganya kurang.

Mal Praktek

Malpraktek mempakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu
berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti salah sedangkan “praktek”
mempunyai arti pelaksanaan atau tindakan, sehingga malpraktek berarti
pelaksanaan atau tindakan yang salah. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi
kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang
salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.
Sedangkan definisi malpraktek profesi kesehatan adalah kelalaian dari
seorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu
pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan
terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama.
Malpraktek juga dapat diartikan sebagai tidak terpenuhinya perwujudan hak-hak
masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang baik, yang biasa terjadi dan
dilakukan oleh oknum yang tidak mau mematuhi aturan yang ada karena tidak
memberlakukan prinsip-prinsip transparansi atau keterbukaan,dalam arti, harus
menceritakan secarajelas tentang pelayanan yang diberikan kepada konsumen, baik
pelayanan kesehatan maupun pelayanan jasa lainnya yang diberikan.
Dalam memberikan pelayanan wajib bagi pemberi jasa untuk
menginformasikan kepada konsumen secara lengkap dan komprehensif semaksimal
mungkin. Namun, penyalahartian malpraktek biasanya terjadi karena ketidaksamaan
persepsi tentang malpraktek.Guwandi (1994) mendefinisikan malpraktik sebagai
kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk menerapkan tingkat keterampilan
dan pengetahuannya di dalam memberikan pelayanah pengobatan dan perawatan
terhadap seorang pasien yang lazim diterapkan dalam mengobati dan merawat
orang sakit atau terluka di lingkungan wilayah yang sama.
Ellis dan Hartley (1998) mengungkapkan bahwa malpraktik merupakan
batasan yang spesifik dari kelalaian (negligence) yang ditujukan pada seseorang
yang telah terlatih atau berpendidikan yang menunjukkan kinerjanya sesuai bidang
tugas/pekerjaannya.
Ada dua istilah yang sering dibiearakan secara bersamaan dalam kaitannya
dengan malpraktik yaitu kelalaian dan malpratik itu sendiri. Kelalaian adalah
melakukan sesuatu dibawah standar yang ditetapkan oleh aturan/hukum guna,
melindungi orang lain yang bertentangan dengan tindakan-tindakan yaag tidak
beralasan dan berisiko melakukan kesalahan (Keeton, 1984 dalam Leahy dan
Kizilay, 1998).

KTD

Adverse Event atau Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) merupakan suatu kejadian
yang mengakibatkan cedera yang tidak diharapkan pada pasien karena suatu
tindakan (commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil
(omission), dan bukan karena “underlying disease” atau kondisi pasien.
Kesalahan tersebut bisa terjadi dalam tahap diagnostic seperti kesalahan atau
keterlambatan diagnose, tidak menerapkan pemeriksaan yang sesuai,
menggunakan cara pemeriksaan yang sudah tidak dipakai atau tidak bertindak atas
hasil pemeriksaan atau observasi; tahap pengobatan seperti kesalahan pada
prosedur pengobatan, pelaksanaan terapi, metode penggunaan obat, dan
keterlambatan merespon hasil pemeriksaan asuhan yang tidak layak; tahap
preventive seperti tidak memberikan terapi provilaktik serta monitor dan follow up
yang tidak adekuat; atau pada hal teknis yang lain seperti kegagalan berkomunikasi,
kegagalan alat atau system yang lain.
Near Miss

Near miss juga dikenal dengan berbagai nama seperti incident, close shaves, close
calls, near hits, dsb. Bagi banyak organisasi, istilah near miss tidak hanya
disalahpahami, tetapi juga diremehkan berkaitan dengan potensi untuk menjadi
kemungkinan cedera di tempat kerja.

Beberapa ahli menyebutkan berbagai macam pengertian tentang near miss,


diantaranya near miss incident itu adalah :

 "Kejadian yang tidak diinginkan, dalam keadaan yang sedikit berbeda, bisa
mengakibatkan bahaya cedera pada manusia, kerusakan properti, atau
kerugian sumber daya yang tidak diinginkan. " (ASSE)
 Suatu incident yang tidak menyebabkan cidera, penyakit, atau kematian
(OHSAS 18001)
 Suatu peristiwa yang tidak diinginkan, yang, dalam keadaan yang sedikit
berbeda, dapat mengakibatkan kerugian bagi orang-orang, atau kerusakan
properti, atau gangguan Bisnis, atau kombinasi dari tiga. (Tidak ada kerugian
besar yang dialami)

Sebuah near miss, walau sebenarnya tidak menyebabkan kerugian, namun tetap
harus dilaporkan. Pelaporan dan pengontrolan penyebab near miss memiliki banyak
manfaat. Studi dari efek samping, seperti kecelakaan, menunjukkan bahwa near
miss terjadi lebih sering daripada kecelakaan dan sering menjadi petunjuk awal
kecelakaan. Dalam banyak kasus kecelakaan, kejadian near miss dengan proses
yang sama telah terjadi berkali-kali sebelum kecelakaan yang sebenarnya terjadi.
Dengan kata lain, penyebab dari near miss dan accident itu sama, yang
membedakan hanyalah faktor keberuntungan (luck factor), atau lebih tepatnya “any
other circumstances”.

Kejadian Sentinel

Standar akreditasi RS 2012 PMKP.6 EP.1 / JCI QPS.6 ME.1 mensyaratkan agar
pemimpin rumah sakit menetapkan definisi kejadian sentinel yang meliputi paling
sedikit A sampai D yang dimuat dimaksud dan Tujuan. Salah satu yang dapat kita
jadikan referensi adalah definisi dari JOIN COMMISSION INTERNATIONAL (JCI)
tentang sentinel event, yaitu : “Suatu kejadian tak diharpkan yang menyebabkan
kematian atau cedera fisik atau psikologis serius, atau resiko daripadanya.
Termasuk didalamnya (tetapi tidak terbatas pada): kematian yang tidak dapat
diantisipasi dan tidak berhubungan dengan penyebab alami dari penyakit pasien
atau kondisi medis dasar pasien (contoh: bunuh diri); kehilangan permanenen yang
besar dari fungsi yang tidak berhubungan dengan penyakit dasar pasien;
pembedahan yang salah lokasi, salah prosedur, salah pasien; penculikan bayi atau
yang dibawa pulang oleh orang tua yang salah”.

Memahami kejadian sentinel ini begitu penting, agar kita dapat melakukan tindakan
pencegahan sebelum terjadi; atau mengambil pelajaran dan melakukan tindakan
perbaikan, agar kejadian serupa tidak terulang di kemudian hari.

Namun, hal itu masih sukar diwujudkan. Mengapa? Karena kejadian sentinel sering
bermuara pada tuntutan hukum. Ditambah lagi dengan lembaga profesi yang
memeriksa dokter yang terlibat belum menggunakan pendekatan yang melihat posisi
dokter di dalam sistem secara keseluruhan. Akhirnya kesimpulannya akan selalu
salah satu diantara dua pilihan, yaitu ‘bersalah’ atau ‘tidak bersalah’. Inilah yang kita
sebut sebagai Blame Culture. Akibatnya sudah bisa diduga. Maka terjadilah siklus
klasik ‘The Vulnerable System Syndrome’ dari REASON. Jika seseorang disalahkan,
maka akan terjadi mekanisme pertahanan diri berupa penyangkalan. Selanjutnya
semua fakta tentang kejadian tersebut akan disembunyikan agar tidak ada bukti.
Akibatnya, semua akan terlihat ‘sempurna’,’sesuai prosedur’ dan kita tidak akan
pernah dapat belajar dari kejadian tersebut.

Anda mungkin juga menyukai