Anda di halaman 1dari 2

KISAH SILAT JAWISOGO

Cerita Rakyat Masyarakat Desa Tambak Kalisogo


Disadur oleh Fahim Ridho Irawan

Dahulu kala desa Tambak Kalisogo


adalah hutan belantara, tidak ada manusia
yang menghuninya. Hutan dengan tumbuhan
yang masih sangat alami, tanpa adanya kerusakan akibat ulah manusia. Daratan Tambak
Kalisogo terbentuk endapan paris sungai brantas yang membanjiri hutan di wilayah itu,
menyelimuti hutan seluas 10km Persegi. Dengan timbulnya daratan pasir dan tanah yang subur
bagi tumbuhnya pepohonan, tanaman pangan dan buah-buahan.

Adipati Arya Damar, dulu adalah senopati di Kerajaan Majapahit seorang perambah
hutan yang hebat. Tanpa alas kaki, ia bisa berjalan jauh bahkan tidak tertusuk duri. Maka
mulailah ia membabat hutan Kalisogo untuk dijadikan lahan pertanian dan lahan permukiman.
Menarik banyak orang untuk singgah dan bergabung di hutan tersebut, ikut membabat hutan dan
membangun rumah untuk tempat tinggal. Berdirilah gubuk-gubuk kecil yang kemudian menjadi
sebuah perdesaan. Desa tersebut dinamakan desa Tambak Kalisogo yang dipimpin oleh tokoh
adat bernama Raden Surya Agung. Tambak yang artinya air, Kali yang artinya sungai, dan
Sogo yang artinya pohon.

Dulu banyak masyarakat dari desa bangil pergi ke desa Bluru untuk bekerja. Masyarakat
tersebut pergi ke desa Bluru dengan berjalan kaki karena saat itu belum banyak yang memiliki
kendaraan yang bisa digunakan sebagai alat transportasi. Karena jauhnya jarak dari desa Bangil
ke desa Bluru, masyarakat itu sering berhenti dan beristirahat di sebuah hutan yang sekarang
menjadi desa Tambak Kalisogo.

Belanda tiba di lndonesia. Mereka tertarik dengan kekayaan tanah Kalisogo yang sangat
melimpah. Para penjajah Belanda itu memanfaatkan hasil kekayaan hutan untuk membuat
rumah, kereta kuda, meja, kursi, dan dikirim untuk memenuhi kebutuhan di Belanda. Awalnya
mereka membeli akhirnya ingin menguasai hasil bumi dan masyarakat yang tinggal di sana.
Mereka merampok hasil bumi dan mewajibkan masyarakat Kalisogo membayar upeti.
Musyaewarah masyarakat adat Kalisogo memutuskan tidak mau membayar upeti atau pajak hasil
bumi mereka. Penjajah Belanda sangat geram dan tidak terima.
Terjadilah peperangan terhadap masyarakat desa
Tambak Kalisogo. Peperangan ini pun oleh masyarakat
setempat dikenal dengan nama Silat Jawisogo: silat yang
berarti perang, dan jawisogo" yang berarti kekuatan luhur
masyarakat desa Tambak Kalisogo, dipimpin oleh tokoh-
tokoh adat atau yang lebih dikenal sebagai pepadu-
pepadu Silat jawisogo. Tokoh tersebut yang bernama
Raden Surya Agung sebagai pimpinan masyarakat, Mbah Soepomo sebagai penasehat perang,
dan Kang Mas Adipati Reksa sebagai panglima perang yang mendampingi Raden Surya.
Mereka inilah tokoh-tokoh pemimpin di desa Tambak Kalisogo yang memerangi penjajah
Belanda.

Dalam Silat Jawisogo ini, pepadu-pepadu tersebut hanya bersenjatakan alat sederhana
yaitu parang, bambu, dan juga keris. Sedangkan para penjajah Belanda memiliki alat perang
yang berupa senapan canggih. Tetapi masyarakat desa Tambak Kalisogo tidak dapat dikalahan
oleh para penjajah Belanda dan semua pepadu-pepadu serta tokoh-tokoh desa Tambak Kalisogo
yang ada disekitarnya memliki ilmu luhur yang dipelajari oleh nenek moyangnya terdahulu.
Akhirnya penjajah belanda itupun menyerah.

Anda mungkin juga menyukai