Anda di halaman 1dari 12

BAB I

SINOPSIS

Pendidikan merupakan salah satu aspek esensial dan termasuk bidang prioritas dalam
pemerintah di banyak negara. Sumber daya, lingkungan, dan tenaga pendidik merupakan
elemen penting dalam keberlangsungan sebuah pendidikan. Untuk mendukung kecukupan
layanan pendidikan dan sumber daya tersebut, maka dibutuhkan anggaran yang cukup serta
pengelolaan anggaran yang tepat. Kegagalan dalam mengalokasikan dan mengelola anggaran
yang cukup akan berdampak pada kutersediaan dan kualitas layanan pendidikan.

Dalam suatu negara, pengalokasian anggaran untuk pendidikan baik negeri maupun
swasta tergantung pada kebijakan pendidikan yang diberlakukan di negara tersebut. Beberapa
negara menerapkan kebijakan pengelolaan keuangan secara sentralisasi, dan beberapa
memberikan pelimpahan wewenang kepada daerah ataupun sekolah untuk melakukan
perencanaan dan pengelolaan anggaran pendidikan yang diberikan secara desentralisasi,
meskipun pada dasarnya, pendidikan sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara. Pada
pengganggaran berbasis sekolah atau daerah, proses penyediaan, pemisahan dan penggunaan
anggaran dilakukan berdasarkan sekolah tersebut. Dalam hal ini, kepala sekolah memiliki
peran yang lebih efektif. Pengelolaan anggaran yang tepat sangat penting baik dalam sistem
penganggaran sentralisasi maupun sistem penganggaran berbasis sekolah.

Penetapan anggaran yang dialokasikan untuk sekolah dan proses pengelolaan


anggaran secara langsung berkaitan dengan penghapusan ketimpangan antar sekolah atau
atau justru mempertajam ketimpangan. Oleh karena itu, distribusi anggaran yang akan
dialokasikan ke sekolah menjadi sangat penting. Untuk meminimalisir ketimpangan antar
sekolah, maka tiga pendekatan pemerataan dasar telah diidentifikasi di berbagai negara:
penyetaraan basis pajak untuk mendukung pendidikan (misalnya di Inggris, Australia dan
Jerman Barat), pemerataan pengeluaran per siswa atau per kapita (misalnya di AS dan
Kanada) dan pemerataan input fisik, terutama layanan pengajaran (misalnya di Belanda,
Swedia dan Norwegia) (J.R.Hough, 1993). Meskipun demikian, hal tersebut tidak cukup
untuk menjamin pemerataannya karena sekolah merupakan institusi multivariate yang
anggarannya juga dipengaruhi oleh kondisi social ekonomi keluarga, dukungan pemerintah
daerah serta hal lainnya termasuk kesenjangan sosial (Kim et al., 2020).
Di Turki,

Dalam jurnal Advices on Budget Models for Equality in High Schools: The Case of
Turkey, Ece Özdoğan Özbal dan Kasım Karakütük menyoroti tentang adanya ketimpangan
dalam anggaran pendidikan sekolah di berbagai kota daerah di Turki. Sekolah di Turki baik
negeri maupun swasta mendapatkan anggaran pembiayaan yang disediakan oleh Kementerian
pendidikan Nasional. Dalam hal anggaran pendidikan, anggaran untuk pendidikan
prasekolah, pendidikan dasar, dan menengah dianggap sebagai anggaran umum; anggaran
pendidikan tinggi, sebagai anggaran khusus. Anggaran yang dialokasikan untuk sekolah
menengah umum di Turki, khususnya, tidak mencakup gaji guru. Semua proses terkait
pengangkatan guru dan pembayaran gaji guru dilakukan secara terpusat oleh Kementerian
Pendidikan Nasional. Anggaran yang dialokasikan langsung ke sekolah menengah negeri
dibelanjakan untuk biaya barang, biaya pelayanan, biaya pemeliharaan dan perbaikan, belanja
modal dan biaya lainnya. Selain anggaran yang dialokasikan oleh negara, sekolah menengah
memiliki sumber pendapatan tambahan. Sumber yang paling mencolok dan hampir satu-
satunya adalah dana asosiasi orang tua sekolah. Asosiasi sekolah-orang tua adalah salah satu
sumber anggaran terpenting untuk sekolah menengah di mana pendapatan sewa sekolah
menengah, sumbangan, dan kontribusi orang tua dikumpulkan. Anggaran yang dialokasikan
oleh negara untuk sekolah menengah dan anggaran asosiasi orang tua sekolah digunakan di
bawah pengawasan kepala sekolah menengah. Pendapatan asosiasi sekolah-orang tua
merupakan salah satu faktor utama perbedaan anggaran antar sekolah. Dapat dikatakan
bahwa ketimpangan anggaran sekolah di Turki berasal dari sumber selain anggaran yang
disediakan oleh negara.

Dalam penelitiannya, Ece Özdoğan Özbal dan Kasım Karakütük melibatkan 1.180
kepala sekolah dari total 2232 kepala sekolah menengah Atas Anatolia di Turki. Untuk
memperoleh informasi yang lebih mendalam tentang usulan model, dievaluasi pendapat dari
60 anggota sekolah (kepala sekolah, guru, siswa, orang tua, anggota asosiasi orang tua siswa)
yang dipilih dengan teknik purposive sampling.

Dari hasil penelitian, terkait rasio anggaran tambahan terhadap total anggaran selain
anggaran yang diberikan kepada sekolah menengah oleh negara, diperoleh bahwa 8,5% SMA
sampel atau sebanyak 100 sekolah menengah atas yang kepala sekolahnya mempertahankan
pendidikan hanya melalui anggaran pemerintah tanpa tambahan penghasilan, yang berarti
tidak ada sumbangan keuangan lingkungan untuk sekolah menengah kecuali sumbangan
negara. Hal ini akan berakibat pada kemampuan sekolah untuk dapat memenuhi kebutuhan
terkait pengembangan kualitas pendidikan karena anggaran mungkin hanya cukup untuk
memenuhi kebutuhan belanja wajib.

Meskipun demikian, hal lain yang didapatkan dari hasil penelitian terkait rasio
anggaran tambahan terhadap total anggaran selain anggaran yang diberikan kepada sekolah
menengah oleh negara adalah bahwa sebanyak 2% atau sejumlah 24 SMA mendapatkan lebih
dari 80% dari total anggaran mereka dari sumber eksternal. Ini berarti bahwa lebih dari 80%
pendapatan sekolah menengah tersebut terdiri dari sumber daya lingkungan, bukan hanya
megandalkan sumbangan dari negara. Dengan kondisi semacam ini, maka ketimpangan
anggaran sekolah semakin terlihat jelas antara sekolah yang hanya mengandalkan sumbahan
negara dan sekolah yang juga memperoleh anggaran dari sumber lain, bukan hanya anggaran
negara. Kondisi ini akan berakibat pada ketimpangan yang lebih jauh terkait layanan yang
dapat diberikan oleh sekolah. (Kiral & Gidis, 2019) sebelumnya telah menganalisis bahwa
sekolah dengan bantuan sumber dana dari Asosiasi Sekolah-Orang tua dapat mengunakan
anggarannya tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan belanja wajib, namun juga dapat
memberikan gaji tambahan kepada pegawai, biaya teknologi informasi (IT), perawatan dan
perbaikan, pembelian barang-barang dan layanan serta biaya lain-lain yang mendukung
kegiatan sekolah.

Bahkan, dalam penelitian lain disebutkan bahwa dana yang disediakan oleh negara
dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional hanya bisa menutupi 13% dari pengeluaran
sekolah menengah. Sebagian besar sekolah menengah tidak dapat membayar pengeluaran
mereka kecuali mereka menemukan sumber pendapatan lain selain dana yang disediakan oleh
negara dan akibatnya, mengalami masalah karena anggaran yang tidak mencukupi. Sekolah
mengalami kesulitan terbesar dalam membayar pembelian bahan dan biaya layanan
(ÖZDOĞAN-ÖZBAL, 2017).

Lebih jauh, Ece Özdoğan Özbal dan Kasım Karakütük melakukan analisis terhadap
sekolah yang mendapat sumber dana di luar sumbangan negara dan ditemukan bahwa
terdapat perbedaan yang signifikan antara rasio anggaran tambahan terhadap total anggaran
sekolah menengah atas di tingkat bawah, menengah, dan tinggi. Rasio sumber anggaran
tambahan terhadap total anggaran untuk Sekolah Menengah Atas di wilayah sosial ekonomi
tinggi lebih tinggi daripada rasio Sekolah Menengah Atas di tingkat sosial ekonomi bawah
dan menengah, rasio di SMA di wilayah social ekonomi tingkat menengah lebih tinggi dari
rasio Sekolah Menengah Atas di tingkat sosial ekonomi bawah. Dari hal tersebut,
disimpulkan bahwa seiring dengan peningkatan tingkat sosial ekonomi sekolah, jumlah
pendapatan yang diperoleh oleh asosiasi orang tua sekolah meningkat. Keberadaan sekolah di
kawasan sosial ekonomi tinggi terkait dengan profil orang tua yang berpenghasilan tinggi.

Saat dikaitkan dengan hasil belajar siswa, terdapat hubungan positif antara prestasi
siswa dengan lingkungan sosial ekonomi sekolah. Ketimpangan dalam hal anggaran sekolah
khususnya pada sekolah negeri di Turki berdampak pada hasil belajar dan masa depan siswa
(Kiral & Gidis, 2019), (Erdogdu & Erdogdu, 2014). Sekolah dengan asosiasi orang tua-
sekolah pada status social ekonomi yang memiliki anggaran yang cukup dapat menghabiskan
lebih banyak anggaran untuk pendidikan tiap siswanya, sedangkan beberapa sekolah masih
berhadapan dengan masalah keuangan dan bahkan tidak dapat mencukupi kebutuhan dasar
untuk pendidikan siswanya.

Terlepas dari besar kecilnya anggaran yang dimiliki oleh sekolah, hal yang lebih
penting adalah bagaimana kepala sekolah dan manajemen sekolah mengelola anggaran
tersebut secara efektif dan efisien guna memberikan serta senantiasa meningkatkan layanan
pendidikan sekolah untuk pencapaian visi sekolah dan tujuan bersama. Keterlibatan,
dukungan dan partisipasi lingkungan juga menjadi aspek penting yang perlu dipertimbangkan
baik dalam perencanaan maupun pengeluaran anggaran.

BAB II

PEMBAHASAN

Kondisi ketimpangan anggaran pendidikan di pendidikan dasar terutama di Sekolah


Menengah Atas menjadi masalah yang terjadi di banyak negara. Kondisi serupa dengan yang
terjadi di Turki, juga dialami beberapa negara terutama di negara berkembang seperti ……
(….). Khususnya di Indonesia, ketimpangan pendidikan masih sangat tinggi.

Selain mengestimasi kesenjangan mutu, kajian ini juga hendak menggambarkan


kesetaraan akses. Kesetaraan akses ini, dilihat dari kaitan antara latar belakang keluarga siswa
dengan kemampuan literasinya. Latar belakang keluarga diukur menggunakan indeks SES
PISA. Adanya kaitan positif antara SES dan tingkat literasi menunjukkan bahwa siswa yang
berasal dari golongan sosial ekonomi tinggi memiliki peluang menunjukkan capaian yang
lebih besar dibanding rekannya dari keluarga dengan golongan sosial ekonomi lebih rendah.
Kaitan yang kuat antara SES dan tingkat literasi menandakan adanya ketidakadilan dalam
akses pendidikan. (Aditomo & Felicia, 2018)

Adanya desentralisasi, perubahan manajemen berbasis pusat menjadi manajemen


berbasis daerah, mendorong membawa dampak terhadap pengelolaan manajemen pendidikan
yang harus disesuaikan dengan jiwa otonomi. Oleh karena hal tersebut, manajemen
pendidikan pusat berubah menjadi manajemen berbasis sekolah (MBS). Penerapan MBS
dilatarbelakangi karena sekolah dirasa paling memahami permasalahan yang dihadapi atau
terjadi di sekolah, serta manajemen berbasis pusat memiliki banyak kekurangan diantaranya
sistem birokratik yang panjang. Dengan MBS, sekolah dan masyarakat tidak perlu lagi
menunggu perintah dari pusat untuk mengembangkan visi dan program pendidikan sesuai
dengan kondisi setempat dan melaksanakannya secara mandiri. Sehingga penerapan MBS ini
memberikan beberapa dampak atau pengaruh terhadap sekolah diantaranya menumbuhkan
rasa tanggung jawab yang tinggi bagi warga sekolah, menumbuhkan sifat keterbukaan dan
partisipatif, serta dengan dukungan biaya operasional yang memadai dapat menunjang
terlaksananya program yang disusun oleh sekolah dan masyarakat (Hamid, 2018).

Dampak dari adanya otonomi dan MBS tidak hanya terbatas pada manajemen
pengelolaan pendidikan namun juga pembiayaan pendidikan. Adapun pembiayaan publik
untuk pendidikan dasar di Indonesia dibagi menjadi empat kategori besar (Joshi, 2018),

1. Investasi langsung: yang mencakup investasi modal satu kali seperti infrastruktur,
termasuk tanah dan aset tetap lainnya) serta investasi berkelanjutan dalam sumber daya
seperti gaji dan insentif untuk guru, dll.
2. Subsidi: yang mencakup keringanan atau tarif bersubsidi untuk fungsi pemerintah non-
pendidikan (misalnya listrik)
3. Bantuan (Bantuan Siswa Miskin): meliputi beasiswa dan bantuan sosial lainnya kepada
anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah, dan
4. Hibah: termasuk dukungan pemerintah kepada sekolah terhadap berbagai biaya
operasional (Bantuan Operasional Sekolah / BOS)

Pembiayaan pendidikan bergantung pada pengelolaan lembaga pendidikan, namun


alokasi anggaran yang digunakan harus sesuai dengan standar pembiayaan nasional.
Pendidikan di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan kebijakan pendidikan yang mengatur
sistem pendidikan nasional, serta alokasi 20% dana pendidikan yang diperoleh dari APBN
dan APBD. Sebagai konsekuensi dari otonomi daerah di Era Reformasi, provinsi memiliki
kewenangan dalam kebijakan di jenjang pendidikan SMA/SMK, sedangkan jenjang SD dan
SMP menjadi kewenangan kabupaten/kota. Namun, tidak semua daerah (provinsi dan
kabupaten/kota) telah mengalokasikan dua puluh persen anggaran daerahnya untuk
pendidikan (ombudsman.go.id, 2019). (Alfian, 2019). Pengalokasian anggaran daerah untuk
pendidikan ini tentunya disesuaikan dengan kemampuan finansial daerah, dan alhasil
anggaran yang diterima sekolah pada tiap daerah bervarasi. Alokasi dana pendidikan yang
tidak memadai pada beberapa daerah sering menimbukan permasalahan. Masalah terkait
pendidikan yang paling penting di tingkat kabupaten adalah: (1) kurangnya infrastruktur (area
olah raga, laboratorium, perpustakaan, komputer dan sebagainya); (2) kekurangan guru; (3)
kekurangan sekolah; (4) kualitas guru yang rendah, (5) kurangnya tempat tinggal guru di
pedesaan; (6) ketidakpedulian orang tua terhadap sekolah; (7) kekurangan personel; (8)
mereka tidak memiliki anggaran pendidikan; (9) tidak adanya sekolah menengah kejuruan;
dan (10) mobilitas kerja guru terlalu tinggi. Sebagian besar masalah ini disebabkan oleh
kurangnya dana (Erdem et al., 2011)

Salah satu program yang merupakan hasil alokasi anggaran pendidikan adalah dana
BOS (Biaya Operasional Sekolah) yang bertujuan untuk menutupi harga buku dan biaya
lainnya. Program lain adalah penegakan sekolah gratis, hal ini juga harus dilaksanakan
dengan ketentuan kebijakan pendidikan, walaupun gratis bukan berarti memiliki kualitas
pendidikan yang rendah (Saputra, 2018). Program Bantuan Operasional Sekolah atau disebut
dengan BOS adalah program intervensi permintaan yang secara tidak langsung diberikan oleh
pemerintah Indonesia kepada siswa melalui sekolah, dimulai pada bulan Juli 2005.

BOS terbagi menjadi 3 jenis yaitu BOS reguler, Afirmasi, dan Kinerja. Tiap jenis
dana BOS memiliki tujuan dan peruntukan yang berbeda. Bantuan Operasional Sekolah
(BOS) Reguler yang diberikan kepada sekolah adalah program Pemerintah Pusat untuk
penyediaan pendanaan biaya operasional bagi Sekolah yang bersumber dari dana alokasi
khusus nonfisik. Dana BOS Reguler bertujuan untuk membantu biaya operasional Sekolah
dan meningkatkan aksesibilitas dan mutu pembelajaran bagi peserta didik. Dana BOS reguler
ini diberikan kepada sekolah yang besaranya dihitung berdasarkan jumlah peserta didik yang
memiliki Nomor Induk Siswa Nasional (NISN) pada Dapodik. (Peraturan Menteri
Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2020 Tentang Petunjuk
Teknis Bantuan Operasional Sekolah Reguler, 2020). Program BOS secara khusus dibentuk
untuk menghilangkan biaya sekolah, biaya buku dan biaya lain yang harus disumbangkan
oleh orang tua siswa ke sekolah. Dengan keharusan untuk membayar biaya ini, Keluarga
miskin cenderung kesulitan menyekolahkan anaknya. Oleh karena itu, melalui program ini,
masyarakat miskin dapat menyekolahkan anaknya. (Samosir, 2008). Pendistribusian dana
BOS reguler ini mengacu pada sistem pengalokasian dana Flat Grand Model, dimana
pengalokasian dana dihitung berdasarkan jumlah siswa. Akibatnya, tiap sekolah akan
memperoleh jumlah dana yang berbeda sesuai jumlah peserta didik yang dimiliki. Sekolah
dengan jumlah peminat yang relatif sedikit maka akan mendapatkan dana BOS reguler yang
relatif rendah. Hal ini menjadi salah satu faktor kesenjangan sekolah.

Untuk mengatasi kesenjangan dana BOS reguler yang diterima oleh sekolah
dikarenakan perbedaan jumlah peserta didik, maka pemerintah memberikan layanan program
BOS Afirmasi. Dana BOS Afirmasi adalah program pemerintah pusat yang dialokasikan
bagi satuan pendidikan dasar dan menengah yang berada di Daerah Khusus dan bertujuan
untuk membantu kegiatan operasional sekolah dan mendukung kegiatan pembelajaran yang
belum tercukupi oleh Dana BOS Reguler, sedangkan BOS Kinerja diberikan sebagai bentuk
penghargaan atas kinerja baik dalam menyelenggarakan layanan pendidikan di Daerah
Khusus yang ditetapkan oleh Kementerian. Daerah khusus dalam hal ini berarti daerah yang
terpencil atau terbelakang; daerah dengan kondisi masyarakat adat yang terpencil; daerah
perbatasan dengan negara lain; daerah yang mengalami bencana alam, bencana sosial, atau
daerah yang berada dalam keadaan darurat lain. Sesuai dengan petujuk teknis BOS Afirmasi
dan Bos Kinerja, dana BOS Afirmasi ini diprioritaskan bagi sekolah dengan proporsi siswa
dari keluarga yang tingkat ekonominya tergolong miskin yang lebih banyak, sekolah dengan
jumlah penerimaan dana BOS Reguler yang relative rendah, dan sekolah yang memiliki guru
PNS atau guru tetap yayasan yang masih relatif sedikit. Besaran alokasi dana BOS Afirmasi
ataupun Kinerja yang telah ditetapkan adalah Rp. 60.000.000,- untuk setiap sekolah
(Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2020
Tentang Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Sekolah Afirmasi Dan Bantuan Operasional
Sekolah Kinerja, 2020). Dengan dana ini, diharapkan dapat mengurangi adanya kesenjangan
dana pemerintah yang diterima oleh sekolah di berbagai daerah. Program pemerintah ini
sejalan dengan apa yang telah dilakukan pemerintah Mississippi, Amerika Serikat dengan
melakukan program pendanaan berlevel menyesuaikan tingkat yayasan di setiap kabupaten
dengan kondisi lokal seperti biaya hidup, pertumbuhan atau penyusutan pendaftaran, ukuran,
kemiskinan siswa, dan keadaan khusus lainnya. (Augenblick et al., 2014).
Keberhasilan dan efektifitas program pendanaan pemerintah seperti program BOS
baik BOS reguler, afirmasi maupun kinerja tidak terlepas dari bagaimana pengelolaan dan
pemanfaatannya pada tiap daerah, provinsi dan kabupaten maupun di sekolah penerima dana
itu sendiri. Tingkat keberhasilan dan efektifitas itu akan berbeda-beda untuk tiap daerah dan
sekolah. Untuk wilayah Jawa Tengah misalnya, alokasi dana BOS sangat ditentukan oleh
kebutuhan untuk biaya pembinaan dan biaya pengelolaan dari masing-masing kabupaten /
kota. Sedangkan kabupaten / kota yang memiliki indeks pembangunan manusia yang baik
seharusnya sudah mengurangi bantuan operasional sekolah karena ide dasar penganggaran
bantuan operasional sekolah adalah untuk mengurangi disparitas sumber daya manusia dan
untuk memenuhi kebutuhan pendidikan dasar setiap kota / kabupaten, khususnya kelompok
miskin atau tertinggal, sehingga memperoleh pendidikan wajib belajar yang memadai dan
berkualitas. Sehingga alokasi dana BOS di Jawa Tengah sangat ditentukan oleh kebutuhan
biaya pembinaan, biaya pengelolaan dan indeks pembangunan manusia masing-masing
kabupaten / kota.(Wasono et al., 2019). Realokasi anggaran pendidikan pusat yang
dialokasikan untuk daerah-daerah miskin perlu dipertimbangkan sebagai salah satu solusi,
karena sebagian daerah terlalu miskin untuk menaikkan anggarannya sendiri. Ketidakjelasan
pembagian peran antara kabupaten dan pemerintah pusat meninggalkan beberapa wilayah
abu-abu dan ini menjadi salah satu hambatan dalam sistem desentralisasi. Khususnya dengan
anggaran pendidikan, kabupaten diberi kewenangan untuk membelanjakan anggaran tetapi
sebagian besar belanja kabupaten tidak mencerminkan keleluasaan yang diberikan kepada
mereka di dalam sistem. (Samosir, 2008)

Kepala sekolah sebagai penanggung jawab pengelolaan dana BOS yang diberikan ke
sekolah memiliki peran yang sangat penting untuk efektifitas program BOS. Dukungan
kepala sekolah berpengaruh langsung terhadap keandalan laporan keuangan dalam
pengelolaan BOS. Beberapa sekolah di beberapa daerah di Indonesia telah memanfaatkan
dana BOS sesuai dengan petunjuk teknis dan berdampak efektif tidak hanya untuk
pemerataan dana pendidikan namun juga untuk meningkatkan kualitas baik layanan
pendidikan sekolah maupun prestasi siswa (Bakti, 2020; Masyitah, 2019; Muryati, 2016; Sari
& Tanaka, 2019). Namun, tidak sedikit pula sekolah yang menghadapi beberapa kendala
dalam pengelolaan dan pelaporan pertanggungjawaban dana BOS. Beberapa penelitian
sebelumnya mengungkapkan rendahnya kapasitas kepala sekolah untuk melaksanakan
desentralisasi, terutama dalam pengelolaan keuangan sekolah (Syafi'i dan Welch et al., 2008;
Bandur 2012a; Chen 2011; Kristiansen dan Pratikno 2006; Yeom 2002). Oleh karena itu,
untuk meningkatkan kualitas laporan keuangan BOS, pemerintah perlu meningkatkan
kapasitas kepala sekolah serta petugas-petugas yang terlibat pelaksanaan BOS melalui
pelatihan dan bimbingan teknis dan bila perlu dilakukan rekrutmen baru tenaga administrasi
BOS disekolah. (Regina, 2014; Widagdoa & Nugroho, 2019).

Ketimpangan dana BOS reguler yang diterima sekolah sebagai akibat dari kekurangan
jumlah siswa terjadi di beberapa daerah di Indonesia, yang tidak termasuk pada daerah
khusus yang dapat mengajukan dana BOS Afirmasi dan Kinerja, sehingga menciptakan
masalah kesenjangan pendidikan di daerah. (SUMBER). Kebijakan baru dari pemerintah
yang salah satu tujuannya adalah untuk mengatasi masalah ketimpangan jumlah siswa adalah
kebijakan sistem PPDB Zonasi. Kebijakan PPDB Zonasi mulai diterapkan tahun ….. Sistem
zonasi PPDB dimaksudkan untuk menghilangkan kastanisasi sekolah favorit, sehingga semua
sekolah mendapatkan hak dan kesempatan yang sama untuk menarik jumlah siswa dengan
input prestasi yang beragam. Paradigma zonasi ini juga memberikan ruang bagi siswa yang
berasal dari keluarga harapan yang sebelumnya tidak mendapatkan hak untuk sama-sama
bersaing mendapatkan pendidikan yang diharapkan (Alfian, 2019). Sistem ini meniscayakan
rotasi atau redistribusi dan peningkatan kemampuan teknis para guru, penyediaan dan
peningkatan sarana-prasarana dan infrastruktur pendidikan yang memadai. Dengan
keseimbangan yang terjadi antar sekolah, maka perbaikan dan penyediaan dana bagi sekolah
akan dapat dirasakan secara merata oleh semua sekolah, dan diharapkan dapat memberikan
output yang lebih baik bagi pendidikan. Dengan basis zonasi juga, pemetakan masalah-
masalah pendidikan bisa lebih rinci, tepat sasaran, dan berkeadilan (Alfian, 2019).

Diharapkan dengan berbagai kebijakan yang diambil pemerintah, sistem pendidikan di


Indonesia akan semakin baik dan seluruh warga negara dapat memperoleh haknya untuk
mendapatkan pendidikan yang layak dan bermutu sesuai yang diamanatkan Undang-Undang
Dasar RI dan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
Hubungannya dengan Asosiasi Sekolah-orang tua, yang terjadi di Indonesia, partisipasi
masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan khususnya di sekolah dasar tidak hanya
sekedar memberikan sumbangan dalam bentuk dana/tenaga/pikiran/sarana, namun juga dapat
berupa memberikan masukan dan pertimbangan terhadap program sekolah, mendukung dan
terlibat serta mengawasi atau mengevaluasi program sekolah, serta juga dengan membentuk
komite sekolah maupun paguyuban. (Baharuddin & Bumbungan, 2018)

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem


Pendidikan Nasional disebutkan bahwa Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap
keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan
DAFTAR PUSTAKA

Aditomo, A., & Felicia, N. (2018). Ketimpangan Mutu dan Akses Pendidikan di Indonesia.
KilasPendidikan, 17(August).
Alfian, M. A. (2019). Politik Zonasi Dalam Praktik Pendidikan Di Indonesia * Suatu Telaah
Awal Zoning Politics In Educational Practices In Indonesia * A Preliminary Study.
POLITICON: Jurnal Ilmu Politik, 1(2), 118–134.
Augenblick, J. G., Myers, J. L., & Anderson, A. B. (2014). Adequacy in Funding. The Future
of Children, 7(3), 63–78.
Baharuddin, & Bumbungan, B. (2018). Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan
Pendidikan Di Sekolah Dasar (Sebuah Studi Komparatif Indonesia Dan Jepang).
Prosiding Seminar Nasional, 04, 37–47.
Bakti, S. (2020). Efektivitas Pendayagunaan BIaya Bantuan Operasional Sekolah Dalam
Anggaran Kualitas Pendidikan Sekolah Dasar Swasta dan Negeri. EduTech: Jurnal Ilmu
Pendidikan Dan Ilmu Sosial, 6(1), 78–86. https://doi.org/10.30596/edutech.v6i1.4398
Erdem, M., Aydin, I., & Tasdan, M. (2011). Educational Problems and Solutions in Turkey :
The Views of District Governors. 39(2), 242–256.
https://doi.org/10.1177/1741143210390059
Erdogdu, E., & Erdogdu, F. (2014). The impact of access to ICT, student background and
school/home environment on academic success of students in Turkey: An international
comparative analysis. Computers & Education.
https://doi.org/10.1016/j.compedu.2014.10.023
Hamid, H. (2018). Manajemen Berbasis Sekolah. Al-Khwarizmi: Jurnal Pendidikan
Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, 1(1), 87–96.
https://doi.org/10.24256/jpmipa.v1i1.86
J.R.Hough. (1993). Financial Management in education.
Joshi, R. (2018). Public Financing for Low-cost Private Schools. In Center for Indonesian
Policy Studies. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2020
tentang Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Sekolah Reguler, 1 (2020).
jdih.kemdikbud.go.id
Kim, D. W., Yu, J. S., & Hassan, M. K. (2020). The influence of religion and social
inequality on financial inclusion. Singapore Economic Review, 65(1), 193–216.
https://doi.org/10.1142/S0217590817460031
Kiral, B., & Gidis, Y. (2019). The Evaluation of School-Parent Association Activities
According to the Views of the Teachers i. 7(3), 874–884.
https://doi.org/10.13189/ujer.2019.070329
Masyitah. (2019). Akuntabilitas Pengelolaan Dana Bantuan Operasional Sekolah ( Bos ).
Meraja Journal, 2(41), 185–201.
Muryati, I. (2016). Pengelolaan Dana Bos Pada Sd Negeri Di Upt Pelayanan Pendidikan
Kecamatan Moyudan Kabupaten Sleman. Jurnal Akuntabilitas Manajemen Pendidikan,
4(2), 237. https://doi.org/10.21831/amp.v4i2.10802
ÖZDOĞAN-ÖZBAL, E. (2017). A Comparative Analysis of Budget Management in General
High Schools. Eğitim Bilimleri Araştırmaları Dergisi, 7(2), 133–151.
Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2020
Tentang Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Sekolah Afirmasi Dan Bantuan
Operasional Sekolah Kinerja. (2020).
Regina, B. (2014). Implementasi Kebijakan Bantuan Operasional Sekolah Di Kota Malang
(Studi Di Dinas Pendidikan Kota Malang). None, 3(1), 61–66.
Samosir, M. (2008). The Effects of Decentralization on Education in Indonesia : Education
for All ? Masters Thesis, July.
Saputra, A. (2018). Allocation of Education Budget in Indonesia. I(2), 142–148.
Sari, N. P., & Tanaka, R. (2019). The Effect of School Operational Assistance Program on
Investment in Education by Households: Evidence from Indonesia. Economics and
Finance in Indonesia, 65(2), 149. https://doi.org/10.47291/efi.v65i2.637
Wasono, R., Karim, A., Darsyah, M. Y., & Suwardi. (2019). Budgeting school operational
assistance in Central Java using three spatial process modelling. Journal of Physics:
Conference Series, 1217(1). https://doi.org/10.1088/1742-6596/1217/1/012112
Widagdoa, P. A. K., & Nugroho, D. P. (2019). Determinants of Reliability of Financial
Statements of School Operational Grants in Indonesian: The Mediating Role of
Contextual Variables. MANAGEMENT & ACCOUNTING REVIEW, 18(2).

Anda mungkin juga menyukai