Anda di halaman 1dari 4

Muatan Isu Kritis dalam Standar Nasional Pendidikan

Seiring dengan disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan, terjadilah perubahan sistem pendidikan nasional untuk mencapai standar
minimum yang telah di- tentukan pemerintah. Di samping itu, terjadi penolakan Standar
Nasional Pendidikan.

Adapun beberapa alasan yang menyebabkan belum layaknya Standar Nasional Pendidikan
diterapkan secara nasional adalah sebagai berikut.

1. Pertumbuhan Ekonomi yang Tidak Merata di Setiap Daerah Kenyataan menunjukkan


bahwa pertumbuhan ekonomi berandil besar dalam perkembangan aspek kehidupan lain,
tidak terkecuali pendidikan. Murip Yahya (2009: 80) menyatakan bahwa pada dasarnya
otonon daerah memberikan peluang kepada pengelola pendidikan untuk me
ngembangkan lembaga pendidikan, antara lain:
a. merumuskan tujuan institusi yang mengacu pada tujuan nasional;
b. merumuskan dan mengembangkan kurikulum sesuai dengan tujuan dan
kebutuhan masyarakat suatu daerah;
c. menciptakan situasi belajar dan mengajar yang mendukung pe laksanaan dan
pengembangan kurikulum yang telah ditetapkan;
d. mengembangkan sistem evaluasi yang tepat dan akurat, baik dari prestasi siswa
maupun penyelenggaraannya.

2. Sarana Fisik yang kurang memadai masih banyak sekolah dan perguruan tinggi yang
keadaan gedungnya tidak layak kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah.
koleksi buku perpustakaannya kurang lengkap, penggunaan teknologi informasi yang
kurang memadai, dan sebagainya. Balitbang Depdiknas (2003) memaparkan data untuk
tingkat SD yang terdiri atas 146.052 lembaga dan menampung 25.918.898 siswa serta
memiliki 865.258 ruang kelas, hanya 364.440 atau 42,12% berkondisi baik sedangkan
299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan, dan se banyak 201.237 atau 23,26%
mengalami kerusakan berat. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTS, SMA, MA, dan
SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama. Sebagai contoh adalah pendidikan di
Papua yang sangat jauh ter tinggal dibandingkan dengan Pulau Jawa. Pengadaan sarana
dan prasarana di Papua tidak sesuai kebutuhan sehingga peningkatan mutu pendidikan di
sana sangat lambat. Seharusnya pemerintah lebih memerhatikan daerah tertinggal (desa)
daripada mengurusi pendidikan di daerah maju (kota) yang lebih dapat dipantau. Hal ini
akan lebih memudahkan pemerintah dalam menyukseskan program pemerataan
pendidikan yang berpaku pada Standar Nasional Pendidikan (SNP)

3. Pendidikan Tidak Bebas Nilai Menurut Sukamo (2005), kebijakan pendidikan akhir-akhir
ini lebih banyak ditandai oleh upaya penyesuaian struktural yang bentuk penye suaian
strukturalnya sering bersumber pada pilihan aliran aliran politik pendidikan dan pilihan
teknokratis yang mungkin Orientasi pendidikan yang dipilih secara formal adalah sepem
yang termaktub dalam UUD "mencerdaskan bangsa dan mengembangkan potensi
manusia Indonesia seutuhnya dan seluruhnya (UU 20/2003 Sisdiknas). Sekalipun
demikian, perwujudan Mendiknas secara retorik dan kebijakan Depdiknas atas orientasi
itu tampaknya menekankan politik eklektis (antara neo-konservatisme dan progresif
humanistik dan sedikit orientasi radical education), kendati mencoba menghapus
kenangan "sekolah pembangunan yang pernah dimunculkan pada zaman Orde Baru
Mendiknas mencoba mengakomodasi pertentangan orientasi politik pendidikan sehingga
lebih bersifat eklektis-politis, mengambil elemen elemen yang layak dipilih secara politis
sehingga dapat disejajarkan dengan kebijakan politik yang sangat populer pada era
reformasi, yaitu tentang otonomi daerah.
Selanjutnya, Sukarno (2005) menyatakan bahwa dilihat dari tantang an besar yang
terbentang di atas, tampaknya Depdiknas masih terlalu disibukkan pada pemecahan
masalah yang berhubungan dengan structural adjustment sehingga seakan-akan belum
sempat mempersiapkan kerangka pendidikan yang tepat dan mempersiapkan gurunya
secara baik untuk menyongsong masalah di atas, yaitu mengembangkan pembelajaran
yang humanis-demokratis serta membangun lembaga partisipasi publik.

4. Paradigma Perubahan
Kekhawatiran menonjol yang berkaitan dengan upaya peningkatan mutu, antara lain
menyangkut lemahnya perbaikan mutu guru dan maten didik serta metode pembelajaran
(yang masih tradisional, khususnya unt tujuan demokratisasi dan lemahnya sistem
evaluasi dan orientasi efisien eksternal, khususnya relevansinya dengan kebutuhan
demokratisas masyarakat dan pengembangan dunia usaha. Rencana perbaikan
kesejahteraan guru (sesuai UU Guru), sertifikasi tenaga kependidikan, dan akreditasi
lembaga pendidikan adalah langkah maju Akan tetap, belum diketahui apakah ketiga
rencana tersebut lebih membantu atau sebaliknya memojokkan sekolah/madrasah yang
lemah terutama swasta, di samping apakah akan lebih mendesakkan tolok ukur
lingkungan sekolah yang demokratis dan pemahaman/kemampuan guru untuk
mengembangkan kesetaraan, toleransi, terutama solidaritas melalu proses belajar.
Pertanyaan ini penting karena mewabahnya lingkungan pendidikan eksklusif, bias kelas
ekonomi, dan kurang pluralistis.
Dengan membandingkan kendala (kekhawatiran) terhadap upaya pe merataan dan
kendala (kekhawatiran) terhadap upaya peningkatan mutu di atas, jelas bahwa
penanganan trade-off antara keduanya merupakan masalah yang krusial. Kendati dalam
desain pemerintah, keduanya diharapkan akan berjalan seiring (merata dan meningkat
mutunya), secara umum terdapat prognosis bahwa lemahnya kemampuan pendanaan
untuk pemerataan peningkatan mutu dan manajemen oleh pemerintah, realitas politik
daerah dan per saingan antar (otonomi) sekolah/madrasah memperebutkan akses politik
dan daya masyarakatnyalah yang lebih menentukan pemerataan vis a vis peningkatan
mutu pendidikan kita
Dinamika yang sekarang terlihat adalah ketika pemerintah sedikit saja melepas bagian
tubuh pendidikan ke daerah dan pasar, bagian itu direbut (otonomi) sekolah yang lebih
kuat dan dijadikan komoditas yang sah. Hal ini memperlebar kesenjangan yang ada dan
pendidikan "bermutu akan lebih dinikmati kelompok mampu, kecuali pemerintah
meningkatkan kemampuan (terutama dana) dan komitmennya untuk meredam hal
tersebut.

5. Lemahnya Mental Masyarakat

Firza Imam Putra (2009) menyatakan bahwa lebih dari 1,1 juta anak memilih berhenti
belajar di sekolah selama tahun 2007 Artinya, setiap menit ada 4 anak putus sekolah di
Indonesia. Salah satu faktor yang memengaruhi tingginya angka putus sekolah itu adalah
dorongan orangtua dari keluarga tidak mampu. Dengan kondisi demikian, anak kemudian
dikondisikan untuk mencari uang dan menambah penghasilan keluarga.
Masalah besar lainnya adalah kontroversi diadakannya Ujian Nasional (UN) (Erin Driani,
2009). Senada dengan hal itu, M. Yunana Yusuf (2007), menyatakan bahwa untuk tahun
pelajaran 2006/2007, peserta UN diper- kirakan berjumlah 4.701.000 orang, dengan
perincian peserta SMP/MTs dan SMPLB 2.501.300 orang, dan peserta
SMA/MA/SMALB dan SMK 2.200.700 orang. Sementara luas kawasan
penyelenggaraannya meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Oleh karena itu, penyelenggaraan UN merupakan satu pekerjaan raksasa dengan
menghabiskan dana Rp244 miliar yang didekonsentrasikan ke dinas provinsi,
kabupaten/kota, serta sekolah/madrasah penyelenggara UN.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.

a. Solusi sistemis dapat diterapkan, yaitu solusi dengan mengubah sistem sosial yang

berkaitan dengan sistem pendidikan.

b. Standar pendidikan nasional harus diterapkan bebas nilai, bukan dengan memuat muatan

politik praktis melalui pemberian nang yang jelas dan pada elemen pendidikan yang

tepat.

c. Solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan pada upaya-upaya praktis untuk

meningkatkan kualitas sistem pendidikan.

d. Standar nasional pendidikan harus diterapkan secara total dan benar sesuai konsep, harus

melalui strategi advokasi yang tajam, dan komitmen stakeholder secara menyeluruh.

Anda mungkin juga menyukai