Anda di halaman 1dari 9

RINGKASAN

LATAR BELAKANG MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH


(MBS)

Oleh Kelompok 3 :
Made Ary Aditia

1411031061

No. 02

I Komang Juliana Wirawan

1411031070

No. 06

I Gede Septanaya

1411031079

No. 10

Made Kharisma Pramana

1411031081

No. 12

I Made Ardita

1411031093

No. 20

Kelas B Semester V

JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2016

LATAR BELAKANG MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH


A.

Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah


MBS memiliki banyak pengertian, bergantung dari sudut pandang orang

yang mengartikannya. Nurkholis (2003:1) misalnya, menjelaskan bahwa


Manajemen Berbasis Sekolah terdiri dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis dan
sekolah.
Secara umum manajemen dapat diartikan sebagai proses mengolah sumber
daya secara efektif untuk mencapai tujuan. Ditinjau dari aspek pendidikan,
manajemen dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan
pengelolaan proses pendidikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, baik
tujuan jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Kedua kata berbasis
memiliki kata dasar basis atau dasar. Ketiga, kata sekolah merujuk kepada
lembaga tempat berlangsungnya proses belajar mengajar. Bertolak dari ketiga
istilah itu, maka istilah manajemen berbasis sekolah dapat diartikan sebagai segala
sesuatu yang berkenaan dengan pengelolaan sumber sumber daya yang berdasar
pada sekolah itu sendiri dalam proses pembelajaran untuk mencapai suatu tujuam
yang telah ditetapkan.
Adapun pengertian MBS menurut para ahli adalah sebagai berikut:
1.

Seperti halnya Nurkholis, Slamet PH (2001) Mendefinisikan MBS


dengan bertolak dari kata manajemen, berbasis dan sekolah. Menurut
Selamet manajemen berarti koordinasi dan penyerasian sumber daya
melalui sejumlah input manajemen unruk mencapai tujuan atau
memenuhi kebutuhan pelanggan berbasis berarti berdasarkan pada
atau berfokuskan pada. Sedangkan sekolah merupakan organisasi
terbawah dalan jajaran Departemen Pendidikan Nasionak (Depdiknas)
yang bertugas memberikan bekal kemampuan dasar kepada peserta
didik atas dasar ketentuan-ketentuan yang bersifat legalistik (makro,
meso, mikro) dan profesionalistik ( kualifikasi, untuk sumber daya
manusia).

2.

Wohlsteeter dan Mohrman (1996) menyatakan bahwa MBS berarti


pendekatan politis untuk mendisain ulang organisasi sekolah dengan

memberikan kewenangan da kekuasaan kepada partisipan sekolah di


tingkat lokal guna memajukan sekolahnya.
3.

Myers dan Stonehill (1993) mengemukakan bahwa MBS merupakan


strategi untuk memperbaiki pendidikan dengan mentansfer otoritas
pengambilan keputusan secara signifikan dari pemeritah pusat dan
daerah ke sekolah-sekolah secara individual.

4.

Ogawa dan Kranz (1990:290) memandang MBS secara kontekstua


sebagai erubahan formal dari struktur tata pelayanan pendidikan
(governance)

yaitu

pada

distribusu

kewenangan

pengambilan

keputusan sebagai bentuk desentralisasi yang mengidentifikasi


sekolah sebagai unit utama untuk meningkatkan partisipasi dan
dukungan.
5.

Kubick dan Katheleen (1988: 2) menyatakan bahwa MBS merupakan


suatu sistem administrasi dimana sekolah merupakan satuan yang
utama dalam pengambilan keputusan bidang pendidiikan.

Dalam buku Petunjuk Program MBS, kerja sama Pemmerintah Indonesia


dengan UNESCO dan Unicef, dinyatakan bahwa MBS dapt dipandang sebagai
sesuatu pendekatan pengelolaan sekolah dalam rangka desentralisasi pendidikan
yang memberikan kewenangan yang lebih luas kepada sekolah untuk mengambil
keputusan mengenai pengelolaan sumber daya pendidikan sekolah (manusia,
keuangan, material, metode, teknologi, wewenang dan waktu yang didukung
dengan partisipasi yang tinggi dari warga sekolah, orang tua dan masyarakat serta
sesuai dengan rangka kebijakan pendidikan nasional dalam ranga meningkatkan
mutu pendidikan (Direktorat TK dan SD, 2005: 6).
B.

Sejarah Munculnya MBS


Latar belakang munculnya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) tidak

terlepas dari kinerja pendidikan di suatu negara berdasarkan sistem pendidikan


yang sudah ada. Seperti halnya di Hongkong, kehadiran MBS sebagai bukti
kurang baiknya sistem pendidikan saat itu. Antara tahun 1960-an hingga 1970-an
berbagai inovasi dilakukan melalui pengenalan kurikulum baru dan pendekatan
metode mengajar baru dalam rangka menignkatkan kualitas pendidikan, namun

hasilnya tidak memuaskan. Demikian pula dibeberapa negara seperti Kanada,


Amerika Serikat, Australia, Inggris, Prancis, Selandia Baru, dan Indonesia.
Berbagai inovasi telah dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas
pendidikan terutama difokuskan dalam lingkup kelas, seperti perbaikan
kurikulum, metode pengajaran, profesionalisme guru, dan sistem evaluasi namun
tetap saja belum membuahkan hasil maksimal. Hingga ahirnya, muncul sistem
manajemen modern pada tahun 1980-an dan terbukti berhasil diterapkan pada
sektor industri serta organisasi komersial.
Keberhasilan aplikasi manajemen modern tersebut kemudian diadopsi bagi
dunia

pendidikan.

Masyarakat

mulai

menyadari

bahwa

pentingnya

pengorganisasian sekolah secara holistik atau tidak sebatas yang menyangkut


pengajaran di kelas saja. Maka dari itu perlu reformasi sistem secara struktural
dan gaya manajemen sekolah.
Mulailah muncul gerakan-gerakan reformasi seperti gerakan sekolah efektif
(effective school) yang mencari dan mempromosikan karakteristik sekolahsekolah efektif. Ada juga gerakan sekolah mandiri (self-budgeting school). Yang
menekankan otonomi penggunaan sumber dana sekolah. Ada yang memfokuskan
pada desentralisasi otoritas dari kantor pendidikan pusat kepada aktivitas-aktivitas
yang dipusatkan di sekolah seperti pengembangan kurikulum berbasis sekolah,
staf berbasis sekolah, dan bimbingan siswa berbasis sekolah. Ciri MBS adalah
adanya kerja sama seara partisipatif dalam mengambil keputusan sekolah secara
bersama-sama antara sekolah dan masyarakat.
Di Kanada, kemunculan MBS didasarkan sebagai upaya mengangkat peran
bawahan (sekolah dan masyarakat) untuk menyeimbangkan kekuasaan. Sekolah
dan masyarakat pada masa itu tidak diikutsertakan dalam setiap pengambilan
keputusan sekolah. Keputusan menjadi tugas mutlak birokrasi pendidikan pusat
atau pemerintah daerah. Inilah yang menjadi alasan terjadinya ketimpangan dalam
penyediaan layanan pendidikan karena semua berasal dari pusat.
Dengan demikian, dalam perspektif administratif, MBS (Kanada) terdapat
tiga sudut pandang : (1) dasar kemunculan karena adanya ketimpangan bahawan
dengan atasan; (2) dalam konteks sosial, MBS menjadi alternatif baru bagi sistem
yang sentralistis; (3) keterkaitan sekolah dengan lingkungan sosial, MBS menjadi

strategi administratif dalam menyesuaikan sekolah dengan situasi dan kondisi


lingkungan sosial.
Di

Amerika

Serikat,

MBS

muncul

karena

masyarakat

mulai

mempertanyakan relevansi dan korelasi hasil pendidikan dengan tuntutan


kebutuhan masyarakat. Sistem pendidikan sebelumnya dianggap tidak mampu
menyiapkan siswa khususnya dalam kompetisi dunia global. MBS dalam hal ini
kemudian dipercayai untuk memperbaiki manajemen sekolah. Oleh karena itu,
Reynolds (1997) menyarankan perlunya rekonstruksi sekolah yang mencakup
empat hal: bagaimana memandang siswa dalam pembelajaran, bagaimana
mendefinisikan program pengajaran dan pelayanan yang diberikan, megorganisasi
hingga menyampaikan program dan pelayanan, serta bagaimana mengelola
sekolah.
Di Indonesia, latar belakang munculnya MBS lambatnya kesadaran para
pengambil kebijakan pendidikan di Indonesia. Di negara-negara maju MBS sudah
diterapkan tahun 1980-an, sementara Indonesia baru 30 tahun kemudian. Hal ini
tidak terlepas dari sistem perintahan yang otoriter selama orde baru. Segala
kebijakan pendidikan di atur di pusat, mulai dari kurikulum, anggaran,
pengangkatan guru, metode pengajaran, buku, alat peraga hingga jenis upacara
yang harus diadakan di sekolah.
Selama bertahun-tahun reformasi pendidikan di Indonesia sesungguhnya
belum berubah sepenuhnya. MBS di Indonesia belum sepenuhnya memenuhi
syarat dan tahap-tahap yang benar. Dengan demikian munculnya MBS
dikarenakan beberapa alasan. Pertama, terjadinya ketimpangan kekuasaan dan
kewenangan yang terlalu sentralistis. Kedua, kinerja pendidikan kian menurun di
banyak negara. Ketiga, adanya desakan dari para pemerhati pendidikan kepada
birokrat pusat agar dilakukan restrukturisasi pengelolaan pendidikan.1
C.

Motif Penerapan MBS


Motif diterapkannya MBS tentunya tidak terlepas dari sejarah munculnya

MBS disuatu Negara. Menurut Bank Dunia dalam QIA for the web/knowledge
nugget yang ditulis oleh Edge (2000), terdapat delapan motif diterapkannya MBS
1

Nurkolis. 2003. Manajemen Berbasis Sekolah: Teori, Model, dan Aplikasi. Cetakan Pertama.
Jakarta: PT. Grasindo.

yaitu ekonomi, profesional, politik, efisiensi administrasi, financial, prestasi


siswa, akuntabilitas, dan efektivitas sekolah.
King dan Kozler (1998) menjelaskan mengapa manajemen lokal secara
ekonomi lebih kreatif. Secara politis, MBS sebagaimana bentuk reformasi
desentralisasi lainnya digunakan untuk mendorong adanya partisipasi demokratis
dan kestabilan politik, dimana pemerintah pusat memberikan kesempatan
mendesentralisasikan beberapa aspek pengambilan keputusan di bidang
pendidikan untuk mendorong keleluasaan yang lebih besar kepada daerah.
Pendapat serupa juga diungkapkan Gagne (2003:2) bahwa reformasi pendidikan
termasuk MBS pada dasarnya karena faktor politik dimana terjadi proses
rekrontruksi birokrasi dalam sistem pendidikan disekolah.
Motif professional menggambarkan bahwa para professional sekolah
mempunyai pengalaman dan keahlian untuk membuat keputusan pendidikan yang
paling tepat untuk sekolah dan siswanya. Selain itu para professional juga terlibat
dalam manajemen sekolah dan juga mampu member motivasi dan komitmen yang
lebih pada pembelajaran sekolah.
Manajemen berbasis sekolah dapat juga digunakan sebagai alat untuk
meningkatkan sumber pendanaan sekolah secara lokal. Dengan asumsi memberi
harapan kepada orang tua dan menerima keterlibatannya dalam pengambilan
keputusan di tingkat sekolah.
Meningkatkan

prestasi

siswa

merupakan

motif

utama

untuk

memperkenalkan MBS. Jika MBS motif dari implementasi MBS, maka yang
diperlukan adalah bagaimana mengubah proses pembelajaran. Menurut laporan
Bank Dunia (2004), pentingnya MBS adalah untuk meningkatkan akuntabilitas
kepala sekolah dan guru terhadap siswa, orang tua serta mengizinkan pengambil
keputusan lokal untuk kebijakan pendidikan yang tepat, yang disesuaikan dengan
kebutuhan lokal.
Sekolah efektif merupakan salah satu motif diterapkannya MBS. Winkler
Gershberg (1999) berhipotesis bahwa sekolah efektif di pengaruhi implementasi
MBS dimana MBS mendorong kearah peningkatan karakteristik. Kunsi sekolah
efektif mencakup kepemimpinan guru-guru yang terampil dan berkomitmen,
berfokus pada peningkatan mutu pembelajaran dan adanya rasa tanggung jawab

terhadap hasil. Di Indonesia menurut Departemen Pendidikan Nasional, terdapat


empat motof penerapan MPMBS. Pertama sekolah lebih mengetahui kekuatan,
kelemahan peluang ancaman bagi sekolah itu sendiri. Kedua

sekolah lebih

mengetahui kebutuhan sekolahnya sehingga pengambilan kepuutusan cocok


dengan kebutuhan sekolah. Ketiga

keterlibatan semua warga sekolah dapat

menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat. Keempat akuntabilitas


sekolah tentang mutu pendidikan amsing-masing kepada pemerintah, orang tua
siswa, dan masyarakat mendorong sekolah lebih inovatif dengan mendukung
orang tua, masyarakat dan pemerintah.
D.

Tujuan dan Manfaat MBS


Tujuan MBS bermuara pada peningkatan mutu pendidikan , efisiensi,

pengelolaan, relevansi pendidikan baik menyangkut mutu pembelajaran, sumber


daya manusia, kurikulum yang dikembangkan, serta pelayanan pendidikan.
Dalam konteks pengambilan keputusan, tujuan MBS mempunyai makna
bahwa pengambilan keputusan yang diambil di Sekolah terhadap pendidikan
menjadi lebih berkualitas, karena kewenangan dalam pengambilan keputusan
tersebut dilakukan oleh orang-orang yang mengenal tentang sumber daya yang
ada di sekolah dan kebutuhan siswa kedepannya.
Perencanaan sekolah dapat dikembangkan dengan baik karena tujuan MBS
adalah memberikan kewenangan kepada sekolah untuk menyusun perencanaan
sesuai dengan kondisi riil sekolah dan mengacu pada kepentingan semua
pemangku kepentingan kependidikan.
Menurut Slamet PH (2001), MBS bertujuan untuk memberdayakan sekolah,
terutama sumber daya manusia (kepala sekolah, guru, karyawan, siswa, orang tua,
siswa, dan masyarakat sekitarnya) melalui pemberian kewenangan, fleksibilitas,
dan sumber daya lain untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi sekolah
bersangkutan.
MBS di Indonesia menggunakan model MPMBS (Depdiknas,2001:5)
bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian
kewenangan (otonomi) kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan
pengambilan keputusan secara partisipatif dalam kerangka meningkatkan kualitas
pendidikan. Terdapat empat tujuan MBS tersebut, yaitu:

Pertama meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif


sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia. Kedua,
partisipatif yakni meningkatkan kepedulian sekolah dan masyarakat dalam
penyelenggaraan dan pengambilan keputusan Ketiga, akuntabilitas, meningkatkan
pertanggung jawaban sekolah kepada orang tua, masyarakat dan pemerintah
tentang mutu sekolah. Keempat meningkatkan kompetisi yang sehat antarsekoah
tentang pendidikan yang akan di capai.
Selanjutnya menurut Nurkholis (2003:25), penerapan mBS mempunyai
bebrapa manfaat dan keuntungan. Pertama, secara formal MBS dapat memahami
keahlian dan kemampuan orang yang berkerja disekolah.Kedua, dapat
meningkatkan moral guru.Ketiga, keputusan yang diambil sekolah memiliki
akuntabilitas. Hal ini terjadi karena konstituen sekolah memiliki andil yang sangat
kuat dalam pengambilan keputusan.Keempat, menyesuaikan sumber keuangan
terhadap tujuan intruksional.Kelima, mendorong munculnya pemimpin baru
disekolah.
Selanjutnya menurut Myers dan Stonehill (1993:2), mengemukakan bahwa
MBS adalah: (1) Memperkenalkan orang-orang yang kompeten, (2) komunitas
sekolah dapat terlibat dalam mengambil keputusan, (3) memfokuskan
akuntabilitas pada keputusan, (4) mengarah pada kreatifitas dalam mendesain
program, (5) mengatur sumber daya untuk mendukung tujuan sekolah, (6)
mengarahkan pada penganggaran yang realistic, (7) meningkatkan moril para
guru.
Selanjutnya, Kubick & Kathelin (1988:2) mengungkapkan bahwa kelompok
kerja the American Association of School Administrators, the National
Association of Elementary School Principals, and the National Association of
Secondary School Principals (1998) mengidentifikasi Sembilan manfaat dari
MBS. Pertama, secara formal MBS dapat mengenali keahlian dan kompetensi
orang-orang yang bekerja di sekolah dalam rangka membuat keputusan untuk
meningkatkan pembelajaran. Kedua, melibatkan guru, staf sekolah, dan
masyarakat dalam pengambilan keputusan. Ketiga, meningkatkan moral guru.
Keempat memfokuskan pada akuntabilitas pengambilan keputusan. Kelima,
membawa keuangan dan sumber daya pembelajaran dalam mengembangkan

tujuan pembelajaran di setiap sekolah. Keenam, memelihara dan merangsang


pemimpin baru di semua tingkatan. Ketujuh, meningkatkan kualitas dan kuantitas
komunikasi. Kedelapan, masing-masing sekolah lebih fleksibel dalam mendesain
program menuju kreativitas yang lebih besar dan dalam memenuhi kebutuhan
para siswanya; kesembilan, penganggaran menjadi nyata dan lebih realistik. Situs
program Managing Basic Education (MBE) mengungkapkan bahwa manfaat
MBS bagi sekolah adalah menciptakan rasa tanggung jawab melalui administrasi
sekolah yang lebih terbuka.2

Syaifuddin, M. dkk. 2007. Manajemen Berbasis Sekolah: Bahan Ajar Cetak. Jakarta: Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Anda mungkin juga menyukai