IRFANDI
1743041011
2019
Motif Penerapan MBS
Seperti yang Anda ketahui pada Subunit 1 tentang sejarah MBS, maka motif
diterapkannya MBS tentunya tidak terlepas dari sejarah munculnya MBS di suatu
negara. Menurut Bank Dunia dalam Q/A for the web/knowledge nugget yang
ditulis oleh Edge (2000), terdapat delapan motif diterapkannya MBS yaitu motif
ekonomi, profesional, politik, efisiensi administrasi, finansial, prestasi siswa,
akuntabilitas, dan efektivitas sekolah.
King dan Kozler (1988) menjelaskan mengapa manajemen lokal secara ekonomi
lebih efektif. Mereka mencatat bahwa orang-orang yang mempunyai keuntungan
dan kerugian serta mempunyai informasi terbaik tentang apa yang sesungguhnya
terjadi di sekolah adalah orang yang mampu membuat keputusan yang tepat
tentang bagaimana sekolah seharusnya menggunakan sumber daya dan bagaimana
siswa seharusnya belajar.
Sekolah efektif merupakan salah satu motif diterapkannya MBS. Winkler &
Gershberg (1999) berhipotesis bahwa beberapa komponen kunci sekolah efektif
boleh jadi dipengaruhi oleh implementasi MBS, yang pada akhirnya dapat
meningkatkan komponen-komponen itu untuk perbaikan pembelajaran. Mereka
menyelidiki bagaimana MBS mendorong ke arah peningkatan karakteristik kunci
tentang sekolah efektif yang mencakup kepemimpinan yang kuat, guru-guru yang
terampil dan berkomitmen, berfokus pada peningkatan mutu pembelajaran, dan
adanya rasa tanggung jawab terhadap hasil.
Kalau mencermati motif yang telah digambarkan di atas, pada hakikatnya inti
penerapan MBS bermuara pada peningkatan kualitas pendidikan. Nurkolis
(2003:23) mengemukakan bahwa motif diterapkannya MBS adalah untuk
meningkatkan mutu pendidikan secara umum, baik itu menyangkut kualitas
pembelajaran, kurikulum, sumber daya manusia maupun tenaga kependidikan
lainnya, dan pelayanan pendidikan.
Kalau Anda simak pengertian, sejarah, dan motif penerapan MBS pada
pembahasan sebelumnya, semuanya menunjukkan bahwa tujuan MBS bermuara
pada peningkatan mutu pendidikan, efisiensi pengelolaan, relevansi pendidikan
baik menyangkut mutu pembelajaran, sumber daya manusia, kurikulum yang
dikembangkan, serta tata pelayanan pendidikan.
Tanggung jawab atas hasil pendidikan, dengan demikian, ada pada pundak
pengambil kebijakan (pusat kekuasaan), yang akhirnya menjadi sangat berat.
Padahal, kenyataannya pusat otoritas tidak dapat mengendalikan semua yang
terjadi di sekolah yang kondisi dan konteksnya sangat beragam. MBS dengan
desentralisasi kewenangan kepada sekolah bukan hanya memberikan kewenangan
untuk mengambil keputusan yang lebih luas (daripada sebelumnya), tetapi juga
sekaligus membebankan pertanggungjawaban oleh sekolah atas segala yang
dikerjakan dan hasil kerjanya. Akuntabilitas pendidikan dan hasilnya (baik
administratif-finansial maupun tingkat kualitas yang dicapai) diberikan bukan
hanya kepada satu pihak dalam hal ini pusat/birokrasi, tetapi kepada berbagai
pihak yang berkepentingan, termasuk di dalamnya orang tua, komite sekolah
(masyarakat), dan pengguna lulusan, selain kepada guru-guru dan warga sekolah.
Akuntabilitas kepada berbagai pihak ini pada gilirannya akan meningkatkan
kepedulian yang kuat (komitmen) pihak-pihak terkait tersebut atas apa yang
terjadi di sekolah, terutama dalam hal mutu, keadilan, efektivitas, efisiensi,
transparansi, dan sebagainya yang merupakan unsur-unsur yang dituntut oleh
konsep akuntabilitas pendidikan.
Ketiga, keputusan yang diambil sekolah memiliki akuntabilitas. Hal ini terjadi
karena konstituen sekolah memiliki andil yang cukup dalam setiap pengambilan
keputusan. Akhirnya, mereka dapat menerima konsekuensi atas keputusan yang
diambil dan memiliki komitmen untuk mencapai tujuan yang ditetapkan bersama.
Keempat, menyesuaikan sumber keuangan terhadap tujuan instruksional yang
dikembangkan di sekolah. Keputusan yang diambil pada tingkat sekolah akan
lebih rasional karena mereka tahu kekuatannya sendiri, terutama kekuatan
keuangannya.