PJK adalah penyempitan atau tersumbatnya pembuluh darah arteri jantung yang
disebut pembuluh darah koroner. Sebagaimana halnya organ tubuh lain, jantung pun
memerlukan zat makanan dan oksigen agar dapat memompa darah ke seluruh tubuh.
Pasokan zat makanan dan darah ini harus selalu lancar karena jantung bekerja keras tanpa
henti. Pembuluh darah koroner lah yang memiliki tugas untuk memasok darah ke jantung [1].
Di Indonesia penyakit ini adalah pembunuh nomor satu dan jumlah kejadiannya
terus meningkat dari tahun ke tahun. Data statistik menunjukkan bahwa pada tahun 1992
persentase penderita PJK di Indonesia adalah 16,5%, dan pada tahun 2000 melonjak
menjadi 26,4% [2].
Meski menjadi pembunuh utama, tetapi masih sedikit sekali orang yang tahu
tentang PJK ini. Terutama tentang faktor risiko yang menyebabkan terjadinya penyakit
tersebut. Dalam ilmu epidemiologi, jika faktor risiko suatu penyakit telah diketahui maka
akan lebih mudah untuk melakukan tindakan pencegahan. Karena bagaimanapun mencegah
lebih baik dari mengobati [2].
Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya PJK sehingga upaya pencegahan
harus bersifat multifaktorial juga. Pencegahan harus diusahakan sedapat mungkin dengan
cara mengendalikan faktor-faktor risiko PJK den merupakan hal yang cukup penting pada
penanganan PJK. Oleh sebab itu mengenal faktor-faktor risiko sangat penting dalam usaha
pencegahan PJK.
1
BAB II
PENYAKIT JANTUNG KORONER
c. Infark Miokardium
Segera setelah penyumbatan koroner akut, aliran darah berhneti di dalam pembuluh-
pembuluh koroner di luar penyumbatan tersebtu, kecuali untuk sejumlah kecil aliran
kolateral pembuluh-pembuluh sekitar. Daerah otot yang sama sekali tidak mempunyai
aliran darah atau alirannya sedemikian kecil sehingga tidak dapat mempertahankan fungsi
otot jantung dikatakan mengalami infark. Seluruh proses itu disebut suatu infark
miokardium [3].
Otot jantung memerlukan kira-kira 1,3 ml oksigen per 100 gram jaringan otot per
100 gram jaringan otot per menit hanya untuk mempertahankan kehidupannya saja. Oleh
karena itu, bila masih ada 10 sampai 15 persen saja dari aliran darah koroner waktu istirahat
normal, otot tersebut tidak akan mati. Tetapi, di bagia tengah dari suatu infark yang besar,
aliran darah biasanya lebih sedikit sehingga ototnya benar-benar mati [3].
b. Tradisional
Berikut resep tradisional racikan dari Prof. H.M. Hembing Wijayakusuma [5]:
1. 1-3 buah mengkudu/pace/noni yang matang di cuci dan dipotong-potong, kemudian
diblender dengan air secukupnya dan direbus hingga mendidih. Tambahkan madu
secukupnya, lalu diminum.
2. 2-3 buah mengkudu/pace/noni yang matang dicuci bersih dan dipotong-potong + 10
butir angco, dibuang bijinya. Semua bahan diblender dengan air secukupnya,
tambahkan 10 gram bubuk umbi daun dewa (thien chi). Aduk rata, lalu diminum.
3. 2 buah mengkudu/pace/noni yang matang, dicuci dan dipotong-potong + 30 gram
daun dewa direbus dengan 600 cc air hingga tersisa 300 cc. Saring, tambahkan
madu secukupnya. Aduk rata lalu diminum.
Pilih salah satu resep dan lakukan secara teratur. Resep tersebut untuk membantu
proses penyembuhan [5].
H. Pemantauan Penyakit Jantung Koroner dengan Telemetry
Ada kalanya pasien dengan PJK/ACS saat dirawat di rumah sakit cukup
memerlukan perawatan di ruang stabil, seperti di ruang rawat medikal/surgikal tanpa harus
dirawat secara intensif di CCU. Disini ada satu alat yang digunakan untuk memonitor irama
jantung/sinus rytme dan gambaran rekaman EKG jantung pasien yang dikenal dengan nama
telemetry [10].
Alat ini berukuran sebesar ponsel umumnya diletakkan di dada pasien, dan dapat
dimasukkan saku dengan tali pengikat yang dikaitkan dengan elektroda (5 – 6 kabel).
Telemetry dilekatkan melalui kabel , dengan tempat sama seperti saat meletakkan patch
alat monitor jantung. Sehingga meskipun pasien selalu dianjurkan untuk bedrest/tirah
baring bagi penderita PJK/ACS, namun dengan telemetry pasien tidak selalu memerlukan
cardiac monitor yang statis [10].
Sehingga jika pasien tersebut ingin ke toilet ataupun melakukan latihan/exercise,
pasien dapat selalu termonitor kondisi jantungnya dengan monitor dari ruang
telemetry/CCU. Telemetry bersifat portable dan tidak menyakitkan pasien. Namun apabila
pasien ingin mandi atau melakukan prosedur khusus (CT, X-ray, Echocardiogram, dsb),
maka telemetry perlu dilepas, karena terdapat rangkaian elektrik dan hantaran gelombang
suara yang dapat mengganggu pasien [10].
Telemetry merupakan alat komunikasi wireless (gelombang suara) yang merubah
gelombang suara kedalam bentuk data. Prinsip dasar telemetry adalah menangkap
parameter dalam frekuensi gelombang, yang kemudian dirubah kedalam data. Setelah itu
data ini dapat ditransfer ke media lain, seperti telepon, jaringan komputer atau melalui serat
optic [10].
Alat ini dalam bidang kesehatan dikenal dengan istilah Bio telemetry atau The
Wireless Medical Telemetry Service (WMTS), yang umum dimonitor dari ruang CCU
(Coronary Care Unit). Telemtery digunakan pada pasien di ruang medikal/penyakit dalam
atau surgikal/bedah , untuk merekam abnormalitas irama/denyut jantung. Pasien dipasang
telemetry (dengan 5 – 6 kabel patch), yang dapat langsung merekam dan
mengintreprestasikan data irama jantung pasien. Alat ini sangat berguna untuk diagnosis
awal kondisi patologi jantung oleh dokter dan membantu perawat melihat kondisi penyakit
pasien jantung koroner akut atau kritis [10].