Anda di halaman 1dari 139

'1:574.

4
'-JD
p
l)
, I' ; ' -, I , y

1 'o r r .. I I
. ~-( I

PEDOMAN
PENGELOLAAN
EKOSISTEM
MANGROVE
DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN
DIREKTORAT JENDERAL PESISIR DAN PULAU·PULAU KECIL
DIREKTORAT BINA PESISIR

PEDOMAN
ENGELOLAAN
EKOSISTEM
MANGROVE
PEDOMAN
·PENGELOLAAN
EKOSISTEM
MANGROVE

Penyusun
Tim Penyusun Pedoman Umum Oirektorat Bina Pesisir

design & layout


aw. masry

DEPARTEMEN IELAUTAN DAN PERIKANAN


DIREKTORAT JENDERAL PESISIR DAN PULAU·PULAU KECIL
DIREKTORAT BINA PESISIR
Jl. Medan Merdeka Timur No. 16, Telp. 021 ·3519070 ext. 1048
Fax. 021 -3522059, Jakarta

DAFTARISI
BAGIAN 1: PEDOMAN PENGELOLAAN

I. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan 3
1.3 Sasaran 3
1.4 Ruang Lingkup 3

II. PERISTILAHAN UMUM 5

III TINJAUAN UMUM EKOSISTEM MANGROVE 9


3.1. Batasan Ekosistem Mangrove 9
3.1.1. Jenis-jenis vegetasi ekosistem mangrove 9
3.1.2. Zonasi vegetasi ekosistem mangrove 11
3.1.3. Definisi tingkat kelestarian mangrove 12
3.1.4. Kriteria tingkat kerusakan ekosistem mangrove 12
3.2. Fungsi dan Manfaat 13
3.2.1. Perlindungan pantai dan penyangga ekosistem di sekitamya 13
• 3.2.2. Pelestarian keanekaragaman hayati 14
3.2.3. Perikanan 16
3.2.4. Ekowisata 20
3.2.5. Manfaat lainnya 20
3.3. Keterkaitan Ekosistem Mangrove dengan
Ekosistem Pesisir Lainnya 22
3.4. Kondisi Ekosistem Mangrove Indonesia 24
3.4.1. Luas dan sebaran 24
3.4.2. Kerusakan dan faktor penyebab 26
3.4.3. Dampak kerusakan ekosistem mangrove 28
3.4.4. Kegiatan rehabilitasi 29

IV KEBIJAKAN PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE 41


4.1. Prinsip Dasar 31
4.2. Kebijakan Dasar 32
4.3. Pendekatan 32
4.4. Piagam Mangrove 34

V PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE 35


5.1 Siklus Pengelolaan 36
5.1.1 Perencanaan 37
5.1.2 Pelaksanaan awal dalam pengelolaan ekosistem mangrove 42
5.1.3 Persetujuan dan pendanaan 44
5.1.4 Pelaksanaan rencana pengelolaan (Tahap implementasi) 47
5.1.5 Monitoring dan Evaluasi 49
5.2 Pemanfaatan 51
5.2.1 Perikanan 51
5.2.2 Perlindungan Pantai 54
5.2.3 Pariwisata 56
5.3 Konversi 58
5.4 Pelestarian Keanekaragaman Hayati 60
5.5 Rehabilitasi 60
5.6 Hukum Kelembagaan 67
5.6.1 Peran pemerintah daerah untuk mengeluarkan Perda
dan menegakkan aturan 67
5.6.2 Kasus mudahnya memberikan perijinan untuk konversi 69
5.6.3 Perbaikan sistem perijinan 69

Pedoman Pengelolaan Ekosistem Mangrove


5.7 Mekanisme Koordinasi 69
5.8 Pusat Informasi sebagai Pusat Publikasi, Dokumentasi,
dan Outreach 71

VI PELIBATAN MASYARAKAT 73
VII PENUTUP 79

BAGIAN II: PEDOMAN PEMETAAN EKOSISTEM MANGROVE


PENDAHULUAN 83
1.1 La tar Belakang 83
1.2 Maksud dan Tujuan 84
1.3 Ruang Lingkup 84
II KLASIFIKASI SEBARAN MANGROVE 85
III METODA PEMETAAN 87
3.1 Perala tan yang Diperlukan 87
3.2 Data yang diperlukan 88
3.3 Metode Pengumpulan Data Primer 96
3.4 Survei Lapang Detil untuk Pemetaaan Kerapatan Mangrove 99
3.5 Reinterpretasi Citra Inderaja 100
3.6 Penyusunan Basis Data 100
3.7 Analisis Data 104
3.8 Penyajian Hasil 108

BAGIAN III:
MODEL REHABILITASI EKOSISTEM MANGROVE
DIPANTAIUTARAJAWA

A LATAR BELAKANG 107


B RUANG LINGKUP 107
c PELAKSANAAN REHABILITASI MANGROVE 108.
1 Persia pan 108
2 Pelaksanaan 109
3 Paska Kegiatan 115
D HASIL MONITORING 122
E HAL-HAL YANG PERLU DICERMATI 122
Pedoman Pengelolaan Ekosistem Mangrove
DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN
DIREKTUR JENDERAL PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
Jl. Medan Merdeka Timur No. 16-lantai 9, Telp. 021 -3519070 ext. 8916, Fax. 021 ·3522560, 3520357 Jakarta

KEPUTUSAN

DIREKTUR JENDERAL PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

NOMOR: SK 65/P3K/X/2004

TENTANG

PEDOMAN PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE

DIREKTUR JENDERAL PES ISIR DAN PULAU-PULAU KECIL,

Menimbang : a. ba hwa ekosistem mangrove ya ng berfungsi sebaga i sumber pl asma


nu fta h, tem pa t pemijahan, pengasuhan dan tempat larva biota
perairan serta sekali gus juga berfungsi untuk melindungi kawasan
pesisir dari kerusa kan dan pencema ran, telah mengalami tekanan
yang lu ar bi asa sehingga menga lami d egradasi yang sistema tis;
b. bahwa d ipe rlu kan langkah lanjut dan u paya pengelolaan ekosistem
mangrove ya ng berkelanjutan untuk menjamin kelesta rian ekosistem
mangrove guna mendukung pelestarian lingkungan pesisir, kegiatan
perikanan yan g berkelanjutan, perlindungan pantai, wisata baha ri dan
keperluan ekonomi lainnya;
c. bahwa sehubungan dengan hal di atas, dipandang perlu menetapkan
ped oman pengelolaan ekosistem mangrove dalam bentu k Keputusan
Direktur Jende ral Pesisir da n Pulau -pulau Kecil.
Mengingat 1. Undang-Unda ng Dasa r 1945, Pasa l33 aya t 3
2. Und ang-Und ang No. 5 tahun 1960, Ketentuan-Ketentuan Pokok
Agraria
3. Und ang-Undang No.9 ta hun 1985, ten tang Perikanan
4. Und ang-Und ang Nd. 5 tahun 1990, tentang Konservasi Sum berdaya
A lam Hayati dan Ekosistemnya
5. Und ang-Und ang No. 9 tahun 1990, ten tang Pari wisa ta
6. Und an g-Und ang No. 24 tahun 1992, ten tang Penataan Ruang
7. U nd a n g-U nd a n g No. 5 ta hun 1994, te nt a n g Ko n ve n s i
Keanekaragaman Hayati
8. Und ang-Und ang No. 6 tahun 1994, tentang Konvensi Perubahan
lklim
9. Unda ng-Und ang No. 23 tah un 1997, ten tang Pengelolaan Lingkungan
Hid up
10. Und ang-Undang No. 22 tahun 1999, ten tang Pemerintahan Daerah
11. Undang-Undang No. 41 tahun 1999, tentang Kehutanan
12. Undang-Undang No. 25 tahun 2000, tentang Propenas (Program
Pembangunan Nasional)
13. Undang-Undang No.7 tahun 2004, ten tang Pengelolaan Sumberdaya
Air
14. Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1985, tentang Perlindungan
Hut an
15. Peraturan Pemerintah No. 15 tahun 1990, ten tang Perikanan
16. Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1990, ten tang Pemantauan Polusi
Air
17. Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1991, ten tang Rawa-rawa
18. Peratu ran Pemerintah No. 35 tahun 1991, ten tang Sungai
19. Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1994, tentang Pengusahaan
PariwisataAlam
20. Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 1997, ten tang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional
21. Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 1998, tentang Kawasan Suaka
Alam dan Kawasan Pelestarian A lam
22. Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999, tentang Analisa Mengenai
Dampak Lingkungan
23. Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000, tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom
24. Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 2002, tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan
Penggunaan Kawasan Hutan

MEMUTUSKAN:
Menetapkan KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PESISIR DAN PULAU-
PULAU KECIL TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN
EKOSISTEM MANGROVE
PERTAMA Memberlakukan Pedoman Pengelolaan Ekosistem Mangrove
sebagaimana tercantum dalam Lamp iran Keputusan ini.
KEDUA Pedoman sebagaimana dimaksud pada diktum PERTAMA
digunakan sebagai acuan bagi pemerintah dan pemerintah daerah
serta masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove.
KETIGA Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
/~~i:A ur:;' Tanggal : 80KTOBER2004
..,..")-- + EKTURJENDERALPESISIRDANPULAU-PULAUKECIL,
I •" -

I
\,
\ ~.
WIDI A. PRATIKTO
1
1
1
1
1

SAMBUTAN
DIREKTUR JENDERAL
PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

Pedoman pengelolaan ekosistem mangrove disusun sebagai landasan


dan arahan bagi para pihak dalam pengelolaan ekosistem mangrove
secara terpadu dan berbasis masyarakat guna mempertahankan
keberadaan dan meningkatkan manfaat serta fungsi kelestarian
ekosistem mangrove untuk mendukung pelestarian lingkungan pesisir,
kegiatan perikanan yang berkelanjutan, perlindungan pantai, wisata
bahari, dan keperluan ekonomi lainnya.
Pedoman pengelolaan ekosistem mangrove sangat diperlukan untuk
memberikan acuan bagi para stakeholders dalam melakukan pengelolaan
ekosistem mangrove. Sehingga penyusunan pedoman ini sangat
penting dan oleh karenanya substansinya harus dapat memberikan
informasi kepada seluruh lapisan masyarakat tentang bagaimana
pengelolaan ekosistem mangrove yang baik di wilayah Indonesia.
Agar memberikan hasil yang optimal sesuai dengan tujuan pengelolaan
ekosistem mangrove maka tentu saja peran sinergis dari seluruh
stakeholders sangat penting. Kepada para stakeholders saya menyarankan
mengikuti substansi pedoman ini dengan cermat dan efektif, sehingga

Sambutan
dapat segera memulai merealisasikan perannya masing-masing agar
sasaran pengelolaan ekosistem mangrove dapat terwujud dan
permasalahan kerusakan ekosistem mangrove dapat teratasi dengan
segera. Selanjutnya saya sangat menghargai upaya semua pihak yang
telah berhasil menyelesaikan pedoman ini, sehingga Pedoman
Pengelolaan Ekosistem Mangrove ini dapat segera terwujud dan
semoga membawa manfaat bagi kita semua.

Widi A. Pra tikto

PedomanPengelolaanEkos1stemMangrove
i
i
i
1
1

PRAKATA

Ekosistem mangrove memiliki peran yang sangat penting bagi


lingkungan pesisir, baik dari segi fisik, ekologis, dan sosial ekonominya.
Oleh karena nilai sosial ekonominya, maka ekosistem mangrove ban yak
dimanfaatkan dan dikonversi untuk berbagai keperluan pembangunan
seperti budidaya perikanan, pemukiman, daerah industri,
perhubungan, wisata bahari, dan sebagainya. Namun disisi lain, sering
kita menemui ekosistem mangrove yang mengalami kerusakan
memprihatinkan. Kerusakan ini disebabkan oleh semakin tingginya
tingkat eksploitasi, lemahnya koordinasi dan sinkronisasi program
antar sektor, lemahnya penegakan hukum, dan rendahnya kesadaran
masyarakat terhadap fungsi ekosistem mangrove. Kerusakan tersebut
telah menimbulkan kerugian bagi lingkungan maupun masyarakat.
Dalam rangka menjamin kelestarian ekosistem mangrove guna
mendukung pelestarian lingkungan pesisir, kegiatan perikanan yang
berkelanjutan, perlindungan pantai, wisata bahari, dan keperluan
ekonomi lainnya, maka dipandang perlu untuk menyusun Pedoman
Umum Pengelolaan Ekosistem Mangrove sebagai pedoman semua
pihak terkait dalam melakukan pengelolaan ekosistem mangrove secara
berkelanjutan dan berbasis masyarakat.
Kemudian tujuan disusunnya pedum ini untuk memberikan arahan
bagi para pihak dalam pengelolaan ekosistem mangrove secara terpadu
dan berbasis masyarakat guna mempertahankan keberadaan dan
meningkatkan manfaat serta fungsi kelestarian ekosistem mangrove
untuk mendukung pelestarian lingkungan pesisir, kegiatan perikanan
yang berkelanjutan, perlindungan pantai, wisata bahari, dan keperluan
ekonomi lainnya. Kemudian sasaran umum yang diharapkan adalah
terlaksananya perumusan kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove
secara berkelanjutan dan berbasis masyarakat serta tetap lestari.
Kita semua berharap bahwa hasil dari pemanfaatan ekosistem
mangrove dengan mengacu pada pola pemanfaatan yang telah disusun
dalam pedoman ini dapat memberikan kontribusi ekonomi yang lebih
baik bagi masyarakat sekitar. Semoga buku ini dapat dimanfaatkan
dengan sebaik-baiknya oleh para pihak pengelola ekosistem mangrove.

Jakarta, September 2004


Direktur Bin a Pesisir
DirektoratJenderal P3K, DKP

PedomanPengelolaanEkos1stemMangrove
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. La tar Belakang


Negara Indonesia memiliki
ekosistem mangrove terluas di
dunia. Namun demikian, data luas
mangrove di Indonesia sangat
bervariasi . Menurut data Ditjen
RLPS, Departemen Kehutanan tahun
1999luas potensial ekosistem mangrove
Indonesia yang perhitungannya
didasarkan pada sebaran sistem lahan
potensial untuk ditumbuhi mangrove adalah
seluas 9,2 juta Ha, luasan tersebut terdiri atas
kawasan hutan (3,7 juta Ha) dan non kawasan hutan (5,5
juta Ha). Sedangkan menurut data INTAG (1993) luas hutan
mangrove sebesar 3.393.620 Ha, dan menurut RePPPRoT (1989) luas
hutan mangrove 3.523.600 Ha.
Gambar 1.1 .
Kondisi ekosistem mangrove yang masih terjaga denga11 baik dan les tari.
m
Ekosistem ini memiliki fungsi fisik, ekologis, dan sosial ekonomi yang
sangat penting bagi ekosistem pesisir dan !aut maupun masyarakat di
sekitarnya. Secara fisik, tegakan mangrove dapat menahan hempasan
ombak atau angin saat terjadi badai, sehingga mampu menjaga dan
melindungi keberadaan pantai, perumahan serta bangunan fisik
lainnya. Sedangkan secara ekologis, ekosistem mangrove berfungsi
sebagai sumber plasma nutfah; tempat pemijahan, pengasuhan, dan
mencari makan bagi berbagai biota perairan seperti ikan, udang, dan
kepiting. Selain daripada itu, ekosistem mangrove juga banyak
dimanfaatkan dan atau dikonversi untuk berbagai keperluan
pembangunan, seperti wisata bahari, budidaya perikanan, kehutanan,
pemukiman, perhubungan dan sebagainya.
Disisi lain, pemanfaatan yang berlebihan telah mengakibatkan
ekosistem mangrove mengalami kerusakan yang memprihatinkan. Hal
tersebut disebabkan oleh semakin tingginya tingkat eksploitasi,
lemahnya koordinasi dan sinkronisasi program antar sektor, lemahnya
penegakan hukum, dan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap
fungsi ekosistem mangrove. Kerusakan tersebut telah memberikan
dampak merugikan bagi lingkungan maupun masyarakat, antara lain
ditunjukkan dengan semakin menurunnya tangkapan ikan,
terganggunya kegiatan budidaya, kesulitan air tawar karena intrusi air
laut, meningkatnya erosi pantai, terjadinya kerusakan kawasan
permukiman oleh an gin, badai, dan lain sebagainya.
Dalam rangka menjamin kelestarian ekosistem mangrove guna
mendukung pelestarian lingkungan pesisir, kegiatan perikanan yang
berkelanjutan, perlindungan pantai, wisata bahari, dan keperluan
ekonomi lainnya, maka dipandang perlu untuk menyusun Pedoman
Umum Pengelolaan Ekosistem Mangrove sebagai pedoman semua
pihak terkait dalam melakukan pengelolaan ekosistem mangrove secara
berkelanjutan dan berbasis masyarakat.

Pedoman Pengelolaan Ekosistem Mangrove


m
1.2. Tujuan
Tujuan disusunnya Pedoman ini adalah untuk
memberikan arahan bagi para pihak (instansi
Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha,
LSM, dan Masyarakat) dalam pengelolaan
ekosistem mangrove secara terpadu dan berbasis
masyarakat guna mempertahankan keberadaan
dan meningkatkan manfaat serta fungsi
kelestarian ekosistem mangrove untuk
mendukung pelestarian lingkungan pesisir,
kegiatan perikanan yang berkelanjutan,
perlindungan pantai, wisata bahari, dan
keperluan ekonomi lainnya.
1.3. Sasaran
Sasaran Pedoman ini adalah: (i)
terlaksananya perumusan
kebijakan pengelolaan ekosistem
mangrove berkelanjutan oleh para
pihak, (ii) terwujudnya pengelolaan
ekosistem mangrove secara terpadu
dan berbasis masyarakat, (iii)
terwujudnya peningkatan manfaat serta
fungsi kelestarian ekosistem mangrove untuk
mendukung pelestarian lingkungan pesisir,
kegiatan perikanan yang berkelanjutan,
perlindungan pantai, wisata bahari, dan keperluan
ekonomi lainnya.
1.4. Ruang Lingkup
Pedoman umum ini mencakup arahan
pengelolaan ekosistem mangrove yang meliputi
kegiatan perencanaan, pelestarian, pemanfaatan,
rehabilitasi, konversi, monitoring, evaluasi dan
pelaporan serta mekanisme koordinasi maupun
pelibatan masyarakat.
Bag1an I - Pedoman PerlQelolaan
'
BAB II
PERISTILAHAN UMUM

Abrasi
adalah erosi pad a material masif, seperti batu a tau karang.
Degradasi
adalah kerusakan, penurunan kualitas atau penurunan daya dukung
lingkungan akibat dari aktivitas/ kegiatan manusia (antropogenics)
a tau pun alami.
Ekosistem
adalah suatu kompleks komunitas tumbuhan, binatang dan jasad
renik yang dinamis dan lingkungan non hayati/abiotik-nya yang
berinteraksi sebagai unit fungsional.
Erosi
adalah pengurangan daratan a tau mundurnya garis pantai.
Estuari
adalah daerah litoral yang agak tertutup (teluk) di pantai, tempat
sungai bermuara dan air tawar dari sungai bercampur dengan air asin
Bag1ani - PedomanPengelolaan
m
dari !aut, biasanya berkaitan dengan pertemuan perairan sungai
dengan perairan !aut.
Kawasan
adalah suatu daerah yang memiliki karakteristik fisik, biologi, sosial,
ekonomi dan budaya yang dibentuk oleh kriteria tertentu untuk
mengidentifikasinya.
Kawasan pesisir
adalah wilayah pesisir tertentu yang ditunjuk dan a tau ditetapkan oleh
pemerintah berdasarkan kriteria tertentu, seperti karakteristik fisik,
biologi, sosial danekonomi untuk dipertahankan keberadaannya .
Mangrove
adalah komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh
beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan
berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur atau
berpasir, seperti pohon api-api (Avicennia spp.), bakau (Rhizophora
spp).
Pasang surut
adalah gerakan naik turunnya muka air !aut akibat gaya tarik benda-
benda angkasa terutama bumi dan bulan. Selain itu juga merupakan
gaya ekstemal utama yang membangkitkan arus dan faktor yang
penting di dalam proses siltasi.
Pegelolaan Pesisir Terpadu
adalah suatu proses pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan jasa
lingkungan yang mengintegrasikan antara kegiatan pemerintah,
dunia usaha dan masyarakat, perencanaan horisontal dan vertikal,
kelestarian ekosistem darat dan !aut, sains dan manajemen, sehingga
pengelolaan sumberdaya tersebut berkelanjutan dan dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitamya.
Permintakatan (zonasi)
adalah salah satu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang, untuk
menetapkan batas-batas fungsional suatu peruntukan (kawasan
pemanfaatan/budidaya dan kawasan lindung) sesuai dengan potensi

Pedoman Pengelolaan Ekosrstem Mangrove


sumberdaya, daya dukung dan proses-proses ekologis yang
berlangsung sebagai satu kesatuan dalam sistem terse but.
Rencana Pengelolaan
adalah suatu kegiatan normatif yang boleh a tau tidak boleh dilakukan
di suatu zona, dimulai dari pengumpulan data dan informasi yang
sistematik yang digunakan untuk pengembangan strategi ke bentuk
aksi yang spesifik untuk menghasilkan keluaran yang diharapkan.
Salinitas
adalah derajat konsentrasi garam yang terlarut dalam air. Ditentukan
dengan cara pengukuran densitas larutan dengan salinometer, dengan
car a titrasi a tau pengukuran konduktifitas elektrik larutan.
Sempadan pantai
adalah daerah sepanjang pantai yang diperuntukan bagi pengamanan
dan pelestarianekosistem pantai.
Sumberdaya pesisir
adalah sumberdaya alam, sumberdaya buatan dan jasa-jasa
lingkungan yang terdapat di wilayah pesisir. Sumberdaya alam terdiri
atas sumberdaya hayati dan non-hayati. Sumberdaya hayati antara
lain ikan, rum put laut, padang lamun, hutan mangrove dan terumbu
karang, biota perairan; sedangkan sumberdaya non-hayati terdiri dari
lahan pesisir, permukaan air, sumberdaya di air dan di dasar laut
seperti min yak dan gas, pasir, timah dan minerallainnya.
Wilayah pesisir (coastal zone)
adalah wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling
berinteraksi.
Wilayah laut
adalah ruang laut yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap
unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek administrasi dan/a tau aspek fungsional.

Bagiani - PedomanPengelolaan
PedomanPengelolaanEkosistemMangrove
BAB Ill
TINJAUAN UMUM
EKOSISTEM MANGROVE

3.1. Batasan Ekosistem Mangrove


Ekosistem mangrove merupakan suatu ekosistem peralihan antara
darat dan laut. Terdapat di daerah tropik atau sub tropik disepanjang
pantai yang terlindung dan di muara sungai yang merupakan
komunitas tumbuhan pantai yang didominasi oleh beberapa jenis
pohon mangrove. Tumbuhan ini mampu tumbuh dan berkembang pada
daerah pasang surut sesuai dengan toleransinya terhadap salinitas, lama
penggenangan, substrat dan morfologi pantainya. Mangrove dapat
dijumpai pada daerah sepanjang muara sungai a tau daerah yang banyak
dipengaruhi oleh faktor aliran sungai (fluvio-marine) dan daerah yang
biasanya lebih didominasi faktor laut (marino-fluvial).
3.1.l.Jenis-jenis vegetasi ekosistem mangrove
Vegetasi ekosistem mangrove umurnnya terdiri dari jenis-jenis yang selalu
hijau (evergreen plant) dari beberapa famili. Vegetasi yang terdapat pada
ekosistem mangrove dapat meliputi beberapa jenis tanaman seperti api-
api (Avicennia spp), bakau (Rhizophora spp), cengal (Ceriops spp), tancang
(Bruguiera spp), nyirih (Xylocarpus spp), dan pedada (Sonneratia spp).
Bag1an I - Pedoman Pengelolaan
m

a. Rltizopora apiwlata b. RJrizopora stylosa c. Avice11ia spp.

Gambar 3.1. Co11toh jenis Pegetasi ma11grot1e

lllrdlun lkllot Btrdoun


llerlcristoiG•.., Kokuningan

• Bardaun Tebal

Tidolllllrn• Notu Ceriops deca"dra


ExcotearUiagallocha Ceriops tagal
Htrlfltra littoral is
Xylot.:arpus grantltu m


Bruguiera spp •
lllrd100 Tobol d111
Btrbintik di baQi111 Bowoh

Atricennia spp.


Rhizophor• 'liP·


Sonnnt~titl tpp.

Gambar3.2
Skema beberapa je11is ma11grove.
A). Excoecaria agallocha; 8). Ceriops tagal; C). Bruguiera spp; 0). Avicet~11ia spp; da11 E) . Rhizoplwrn spp.

Pedoman Pengelotaan Ekoststem Mang1ove


Gambar 3.3. Daernlr depan dari zmrasi mangrove yn11g dinwali oleh Avicenia spp.

3.1.2. Zonasi vegetasi ekosistem mangrove


Pada umumnya tipe dan zonasi di Indonesia tidak terlalu berbeda antara
satu tempat dengan tempat lainnya. Sebagai contoh diambil zonasi
mangrove dari Tanjung Bungin, Sumatera Selatan (Gambar 3.4). Dari
arah !aut berturut-turut Avicennia alba, Rhizopora apiculata, Bruguiera
parvijlora, Bruguiera gymnorhiza, Nypa fruticans, Xylocarpus granatum,
Excoecaria agallocha, Pandanu sfurentus, Bruguiera cylindrica .

..-- - ' - - -• - -
2- .~ 4 ..!-.__,6'---. _---'--•>--- - - - " - - - - -+-----"--<t-----"10' - -

500 1.500 2.000 2.500

Ga mbar3.4.
Zonnsi lwtan mnngrovedi Tanjuug Brmgin (Srmratern Sela tau ). Dari kiri kekarran: 1. Avicetmiaafba;2. Rhizophoraapiculata;
3. Bruguiera parvijlora; 4. Bruguiera gymnorhiza; 5. Nypa frutica ns; 6. Xylocnrpus granatum; 7. Excoecaria aga/locha; 8.
Pandauusfureutus; 9. Bmguiera cyfiudrica. (Sumber: Nmr tji, 1987).

Bag1an I - Pedoman Pengelolaan


m
3.1.3. Definisi tingkat kelestarian mangrove
Pemanfaatan hutan manrove untuk memenuhi keperluan man usia telah
menyebabkan menurunnya kualitas dan fungsi hutan mangrove. Sudah
saatnya masyarakat sadar dan turut menjaga kelestarian ekosistem
mangrove ini. Ekosistem mangrove dikatakan lestari jika fungsi ekologi
dan sosial ekonominya dapat berjalan dengan baik. Fungsi ekologi
meliputi kemampuan daya dukung ekosistem mangrove terhadap
lingkungan sekitarnya, dan dikatakan baik jika: (i) tutu pan area
pohon tinggi, (ii) siklus energi berjalan dengan baik, dan
(iii) keseimbangan lingkungan terjaga. Kemudian untuk
fungsi sosial ekonomi, dikatakan baik jika ekosistem
mangrove masih dapat dimanfaatkan secara lestari
oleh masyarat sekitar. Pemanfaatan mangrove perlu
mendapat perhatian khusus, karena jika dieksplotasi
berlebihan akan mengakibatkan kerusakan.
Gambar3.5.
Salah satu kawasrm mangrove di Muara Sungai Aijkwa, Propinsi
Papua yang memifiki fillgkat kelestarin11 yang masih lmik.

3.1.4. Kriteria tingkat kerusakan ekosistem mangrove


Tingkat kerusakan ekosistem mangrove dapat dibagi dalam tiga kondisi
yaitu rusak berat, rusak sedang, dan tidak rusak. Kondisi mangrove yang
rusak berat ditandai dengan (i) habisnya hutan mangrove dalam satu
wilayah, (ii) rusaknya keseimbangan ekologi, (iii) intrusi air !aut yang
tinggi, dan (iv) menurunnya kualitas tanah. Untuk rusak sedang, (i) masih
tersisa sedikit hutan mangrove dalam satu wilayah, (ii) keseimbangan
ekologi dalam tingkatan sedang, (iii) intrusi yang terjadi tidak terlalu
parah. Dan untuk ekosistem mangrove yang tidak rusak, kondisi
mangrove masih terjaga dengan baik dan lestari, biasanya merupakan
wilayah konservasi yang dijaga kondisinya oleh masyarakat sekitar.

Gamba r 3.6. Gambar 3.7.


Contoh salah sa tu Pengubahan
ekosistem mangrove ekosistem
ym1g berubah Jrmgsi mangrove
meujadi tempat menjndi
pembuangan prasarana jala11.
sampah Kondis i in i Kondisi seperfi ini
dapa t dika taka11 dapaf dikatakan
berkriteria rusak berkriteria rusak
sedrmg. berat.

Pedoman Pengelolaan EKos1stem Mang10ve


m

Gambar3.8.
Ma11grove murla
i11i llfl 11 fil1ya nka11
dapat berj1mgsi
sebngai peliudrmg
nlnmi dnri erosi
pn 11 tai/abrasi

3.2. Fungsi dan Manfaat


Ekosistem mangrove yang seringkali dianggap sebagai daerah yang
kurang bermanfaat, kerap diubah untuk peruntukan lain. Namun
sebenarnya ban yak nilai dan manfaat dari ekosistem mangrove tersebut.
Nilai dan manfaat ekosistem mangrove adalah sebagai berikut:
3.2.1. Perlindungan pantai dan penyangga ekosistem di sekitarnya
Mangrove berfungsi sebagai pelindung pantai mengingat sistem
perakarannya yang dapat meredam ombak, arus, serta menahan
sedimen . Dalam beberapa kasus, penggunaan vegetasi mangrove untuk
penahan erosi lebih murah dan memberikan dampak ikutan yang
menguntungkan dalam hal meningkatkan kualitas perairan di
sekitarnya, dimana hal ini tidak bisa diperoleh dari penggunaan
struktur bangunan keras. Mangrove dapat juga berfungsi untuk
melindungi pantai dari hempasan badai dan angin.
Kemudian pemanfaatan lainnya adalah pemanfaatan mangrove sebagai
pengendali pencemaran karena mangrove memiliki sifat mengendapkan
polutan yang melaluinya. Sebagai contoh adalah penggunaan mangrove
untuk mengendapkan limbah tailing di Teluk Bintuni- Papua Selatan yang
berasal dari sisa pertambangan emas di daerah hulu.
Peran lainnya adalah pemanfaatan mangrove untuk menahan intrusi air
!aut, fungsi ini sama dengan fungsi hutan yaitu menyimpan airtanah.
Kemampuan ini telah terbukti dari lahan yang mangrovenya terjaga
dengan baik, kondisi airtanah tidak terintrusi air !aut. Sebaliknya, pada
laban mangrove yang telah dikonversi untuk keperluan lain, kondisi
airtanah telah mengalami intrusi oleh air !aut.
Bag1ani - PedomanPengelolaan
m
3.2.2. Pelestarian keanekaragaman hayati
Ekosistem mangrove memiliki kenekaragaman hayati yang cukup
tinggi mengingat merupakan perpaduan antara ekosistem darat dan
ekosistem !aut. Flora mangrove terdiri atas pohon epifit, Iiana, alga,
bakteri, dan fungi. Jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan di hutan
mngrove Indonesia sekitar 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9
jenis Iiana, 29 jenis epifit, dan 2 jenis parasit (Soemodihardjo et al, 1993).
Spesies pohon mangrove yang terdapat di Pulau Jawa dan Bali 27
spesies, 30 spesies di Sumatera, 11 spesies di Kalimantan, 20 spesies di
Sulawesi, 28 spesies di Maluku, dan 21 spesies di Papua .
Fauna mangrove hampir mewakili semua phylum, meliputi protozoa
sederhana sampai burung, reptilia dan mamalia. Secara garis besar
fauna mangrove dapat dibedakan atas fauna darat, fauna air tawar dan
fauna !aut. Hewan vertebrata darat yang hidup di hutan mangrove
terdiri dari mamalia, burung, reptil dan amfibi. Sedang untuk
invertebrata adalah jenis serangga dan laba-laba. Jenis-jenis spesies akan
berbeda pada setiap daerah karena dipengaruhi faktor lingkungan,
iklim, siklus makanan, dan lain-lain.
Fauna air tawar pada ekosistem mangrove termasuk ke dalam
kelompok vertebrata dengan jumlah spesies yang tebatas. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan Cann (1978) diketahui bahwa di mangrove
terdapat jenis kura-kura air tawar dan buaya air tawar. Fauna laut
didominasi oleh Mollusca (didominasi oleh Bivalvia dan Gastropoda) dan
Crustncen (didominasi oleh Brachyura). Berdasarkan habitatnya, fauna
!aut di mangrove terdiri atas dua tipe yaitu infauna yang hidup di kolom
air, terutama berbagai jenis ikan dan udang, dan epifauna yang
menempati substrat baik yang keras maupun yang lunak, terutama
kepiting, kerang dan berbagai jenis invertebrata lainnya.

Pedoman Pengelolaan Ekos1stem Mangrove


m

Gambar3.9.
Berbagm j('lll:' fat'''''
yang hid11p di dat·rah
ekosis tem mn11grovt'
(da ri kiri ke kn11nn)
(a) ba11gau hi tam;
(b) kepiling bakau;
(c) ikan belanak (Genu.s
Periopllt!ralmus);
(d) Ga.stropoda;
(e) Buaya nwara
(Crocodilus porosus);
if! Biawak (Vara11us
salvator).

Bag1an I - Pedoman Pengelolaan


m
Semua kenekaragaman hayati yang dimiliki oleh ekosistem mangrove
tersebut perlu dipertahankan sebagai sumber plasma nutfah. Selain itu,
keanekaragaman hayati tersebut perlu dijaga untuk keseimbangan
siklus energi, karena jika salah satu tingkatan rantai makanan
mengalami gangguan maka akan menyebabkan ketidakstabilan pada
tingkatan diatas dan dibawahnya, bahkan bisa menimbulkan
penurunan jumlah spesies. Kemudian manfaat dari terjaganya
keanekaragaman hayati hutan mangrove adalah untuk jasa lingkungan
dan sumber kekayaan genetik. Kekayaan genetik dan plasma nutfah
yang dimiliki nantinya dapat dimanfatkan sebagai wahana penelitian
yang berguna untuk kesejahteraan manusia seperti bidang medis,
kosmetika, pang an, dan sebagainya.
Dari segi ekologis, ekosistem mangrove perlu dijaga karena merupakan
daerah yang subur. Hal ini disebabkan perpaduan an tara air asin dengan
air tawar, dapat diistilahkan sebagai "semangkok sop" yang memiliki
rasa lezat sehingga ban yak diminati oleh berbagai spesies.
3.2.3. Perikanan
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa ekosistem mangrove
memiliki manfaat yang salah satunya sebagai penunjang kegiatan
perikanan baik perikanan tangkap maupun budidaya. Sedangkan
fungsinya antara lain yaitu (i) sebagai kawasan pemijahan, daerah
asuhan, dan mencari makan bagi ikan, udang, dan kerang-kerangan; (ii)
perlindungan dan pelestarian habitat perikanan; (iii) mengendalikan
dan menjaga keseimbangan rantai makanan di pesisir.
Secara khusus, ekosistem mangrove sangat penting bagi kegiatan
perikanan mengingat bahwa (i) berbagai organisme taut menjadikan
ekosistem mangrove sebagai habitat; (ii) ekosistem mangrove
menyediakan tempat perlindungan dan habitat aman bagi larva dan
juvenile ikan, serta sumber makanan dari serasah daun mangrove yang
membusuk; (iii) ekosistem mangrove menyediakan tempat bagi
pemijahan, peri ode pelagic, dan rekruitmen spesies ikan dan udang; (iv)
ekosistem mangrove menjadi tempat berlindung bagi organisme yang
bersifat plankton yang terdorong oleh arus ke pantai; (v) ekosistem
mangrove membentuk hubungan yang penting dalam siklus hidup
berbagai biota penting terumbu karang termasuk ikan-ikan komersial
Pedoman Pengelolaan Ekos1s1em Mangrove
m
tinggi. Ikan seperti belanak dan bandemg yang merupakan sumber
protein berkualitas tinggi yang penting di Asia Tenggara menggunakan
ekosistem mangrove estuarin sebagai habitat dan sumber makanannya.
Dengan melihat gambaran siklus hidup spesies-spesies tersebut, maka
dapat diketahui perlunya menjaga kelestarian ekosistem mangrove dan
ekosistem terkait seperti padang lamun dan terumbu karang.

HERBIVORA
BAKTERI
FUNGI

KARNIVORA
KECIL

KARNIVORA
BESAR
Gambar 3.10.
Hubungan
Maflgrove dan
Biota Perair(m

Bag1an 1- Pedoman Pengelolaan


CD
1). Perikanan Tangkap
Data 1977 menunjukkan, bahwa sekitar 3% dari hasil tangkapan !aut
Indonesia berasal dari jenis spesies yang bergantung pada ekosistem
mangrove, seperti Penaeus monodon, P. mergueiensis, Metapenaeus spp.,
kepiting mangrove, dan Scylla serrata. Peranan ekosistem mangrove bagi
penyedia produk tangkapan hasil !aut adalah sebagai daerah
pemijahan, nursery ground, dan penyedia sumber pakan.
Mangrove juga mendukung perikanan artisanal. Penduduk yang
tinggal di dalam a tau di de kat hutan mangrove menangkap ikan, udang
kepiting dan moluska setiap hari di areal muara. Tidak ada yang pasti
mengenai jumlah hasil tangkapan walaupun jenis yang umumnya di
tangkap adalah belanak (Mugil dussumieri), kakap putih (Lntes cnlcnrifer),
belut tambak (Ophichthus microcephalus), sembilang (Plotosus cnnius),
mujair (Oreochromis mossambica), dan bandeng (Chnnos chnnos), kerang
(Anadnr spp.), tiram (Crassostrea commercia/is), dan berbagai jenis udang.
Kesemua produksi diatas telah menyediakan sumber protein dan
pendapatan yang berharga bagi penduduk setempat.
Hasil penelitian Martosubroto dan Naamin (1979) menunjukkan
terdapat hubungan yang signifikan antara luasan kawasan mangrove
dengan produksi perikanan budidaya. Gambar 3.11 dibawah ini
menunjukkan bahwa dengan semakin meningkatnya luasan kawasan
mangrove maka produksi perikanan budidaya juga turut meningkat
dengan membentuk persamaan Y = 0,06 + 0,15 X.

luasan Mangrove (Hal


""""
Mwtnulntedll,..,.,.tl8711
1111*!18851

Gambar 3.11 Hubullgnn an tara jumfah tnngknpm1 udang denganluasn11 mangrove

Pedoman Pengelolaan Ekos1stem Mangrove


Gambar 3.12.
Hns il tangkapa n nelayan sestmgg ul111ya
rlipengarulr i o/eh keberadaan mangrove
2). Perikanan Budidaya
Pemanfaatan lahan mangrove untuk budidaya juga harus tetap
memperhatikan kelestarian ekosistem mangrove. Hal ini disebabkan
karena lahan mangrove bermanfaat untuk penyedia pakan alami dan
sumber benih bagi lahan tambak yang ada di sekitarnya. Selain itu
mangrove dapat berfungsi sebagai penyaring dan mengendapkan
limbah yang berasal dari kawasan budidaya.
Mengingat perikanan budidaya memberikan sumbangan bagi
perekonomian nasional yang tidak kecil dan menyadari arti pentingnya
kawasan mangrove, maka pengembangan tambak di daerah mangrove
membutuhkan pertimbangan yang komprehensif dan penuh kehati-
hatian serta pemilihan lokasi yang paling sesuai. Sehingga pemanfaatan
lahan tambak nantinya dapat menghasilkan panen yang optimal,
sekaligus meminimumkan kuantitas pembukaan lahan mangrove yang
sia-sia. Jadi yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah pemilihan
lokasi dan konversi areal mangrove yang akan dilakukan.
Salah satu cara untuk memadukan dua kepentingan yaitu
pengembangan lahan perikanan budidaya dengan pelestarian
mangrove adalah dalam bentuk silvofishery. Dengan teknik ini maka
kegiatan budidaya dapat dipadukan dengan konservasi mangrove.
Tambak tradisional yang telah ada dapat juga diterapkan silvofishery
namun perlu diikuti beberapa langkah penyesuaian lainnya.
Bag1ani - PedomanPengelolaan
m

Gambar 3.13. Gnmbnr3.1.J.


PeiWIWIIlnll lllnllgrm't' dmsn11 tek11 ik sy l"uc~fisllt'nJ di A!aufaot 11/illl_'\l"l'i'l' "'t'l 1tl,'\lll t'kt'it'l'tlfll dt ,\lallsn'i't'
art'nl tambak f llftmnol!tlll (t"u/o 1.\lfC-{ ICAI Baf1.

3.2.4. Ekowisata
Ekosistem mangrove yang terjaga baik, mempunya i potensi pariwisata
yang bisa dikembangkan. Kegiatan ekowisata seca ra langsung memiliki
manfaat pelestarian alam dan lingkungannya sekaligus meningkatkan
kondisi sosial ekonomi ma sya rakat sekitarnya . Manfaat ini akan
tercapai manakala direncanakan d engan baik dan sesuai da ya dukung
lingkungannya. Hal ini tercapai menginga t pada kegiatan ekowisata
terdapat upaya mempertahankan keaslian komponen biolog i dan fisik
dalam ekosistem mangrove yang menjadi d aya tarik utama kegiatan
ekowisata pad a ekosistem mangrove.
Selain itu, kegiatan ekowisata ini sekaligus memberikan informasi
lingkungan yang diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan
kesadaran masyarakat dalam mencintai alam. Selain itu, kawasan
mangrove yang tumbuh dengan baik dapat menjadi tempat penelitian,
kunjungan siswa sekolah, dan kegiatan ilmiah lainnya. Kawasan ini
akan merupakan literatur a lam yang bisa langsung dilihat.
3.2.5. Manfaat lainnya
Selain manfaat tersebut diatas, kayu dari pohon mangrove dapat menjadi
bahan baku industri chip (bahan baku kertas). Dalam skala kebutuhan
rumah tangga, kayu ban yak dimanfaatkan sebagai kayu bakar, baik untuk
keperluan sendiri atau dijual ke pasar. Oleh karena masyarakat sekitar
yang merasakan langsung manfaat dari ekosistem mangrove ini terutama
Pedoman Pengelolaan Ekos1stem Mangrove
m
dari sisi ekonomi, maka mereka harus dilibatkan dalam menentukan arah
pengelolaannya. Pelibatan masyarakat dapat diwujudkan seperti dalam
kegiatan pemeliharaan, penanaman, produksi, dan pasca produksi. Perlu
dibentuk kelompok-kelompok masyarakat pengelola hutan yang
nantinya akan mendapatkan pelatihan tentang pemanfaatan mangrove
untuk budidaya kehutanan. Dari segi kelembagaan juga harus
diperhatikan, pihak-pihak mana yang akan terlibat. Para stakehokder perlu
dipertemukan untuk membahas pengelolaan kawasanhutan.
Selain pemanfaatan kayunya, hutan mangrove dapat dimanfaatkan
sebagai bahan baku obat, makanan, minuman, bahan bangunan, dan
lain-lain. Beberapa jenis mangrove mengandung bahan aktif yang dapat
menyembuhkan berbagai penyakit seperti Rhizopora sp dapat digunakan
sebagai homeostasi dan anti septik, penghentian pendarahan, obat
diare, dan pelangsing tubuh, serta masih banyak bahan baku obat dari
jenis mangrove lainnya. Selain itu mangrove berpotensi memproduksi
madu yang berasal dari pengumpulan lebah-lebah liar. Potensi ini dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk usaha beternak lebah yang
akan mendatangkan keuntungan ekonomis. Kemudian, pemanfaatan
kayu mangrove sebagai bahan bangunan telah lama dikenal. Rhizopora
spp dan Ceriops tagal ban yak dimanfaatkan sebagai tiang pancang.

3.3. Keterkaitan Ekosistem Mangrove dengan Ekosistem Pesisir


Lainnya
Mangrove, terumbu karang, dan padang lamun (sea grass) merupakan
tiga ekosistem penting di pesisir. Ketiganya saling berinteraksi dan
membentuk suatu kesatuan ekosistem yang erat (Gambar 3.15).
Interaksi tersebut dapat bersifat fisik, biologi, maupun kimia. Secara
fisik, ketiga ekosistem terse but berinteraksi dalam hal peredaman energi
gelombang yang menuju ke pantai. Dan struktur komunitas mangrove
serta padang lamun akan berkembang dengan baik manakala terdapat
struktur penghalang ombak di depannya, yang dalam hal ini adalah
terumbu karang. Sedangkan kemampuan mangrove dan padang lamun
dalam hal memerangkap sediment (sediment trap) dan menjaga
kestabilan sedimen menguntungkan bagi terumbu karang, karena
sedimen yang terbawa pada permukaan karang akan menyebabkan
gangguan fotosintesa.
Bag1an 1- Pedoman Pengelolaan
m

Gambar 3.15.
Ekosistem mangrove dan
hubungmmya dengan ekosistem
pesisir lainnya.

Secara kimiawi, ketiga ekosistem tersebut berinteraksi dalam hal


penggunaan bahan nutrien (N0 3 dan PO,) yang sangat esensial bagi
kehidupan produsen primer di perairan. Berdasarkan kebutuhan
absolute akan nitrogen, maka kebutuhan masing-masing dapat
diurutkan sebagai berikut, mangrove > padang lamun > terumbu
karang. Kehidupan komunitas mangrove mempunyai korelasi positif
dengan input nutrient yang tinggi, padang lamun sebaliknya
mempunyai kemampuan toleransi terhadap kelebihan nutrient
dibandingkan dengan terumbu karang yang lebih bersifat oligotrophic
yang tidak bisa mentoleransi adanya kelebihan nutrient dalam perairan.
Secara biologi, terjadi interaksi ketiga habitat tersebut dalam
menyediakan ruang dan media hidup bagi oragnisme !aut. Organisme
laut dalam berbagai tingkatan hidupnya bermigrasi dari dan ke masing-
masing habitat, tipe migrasinya dapat dikelompokkan antara lain (1)
migrasi sementara untuk mencari makan, dan (2) migrasi tahapan hid up
(larvae, post larva, juvenile, dewasa).
Sebagai contoh, ikan kerapu yang merupakan salah satu jenis spesies
ekonomis menggantungkan siklus hidupnya pada ekosistem mangrove,
terumbu karang, dan padang lamun. Induk kerapu akan melepaskan
telurnya di kawasan terumbu karang, dan pada tahap postlarva
PedomanPengelolaanEkos1stemMangrove
m
Bag1an I - Pedoman Pengelolaan
m
berpindah ke kawasan padang lamun untuk mencari makan dan
berlindung. Saat sudah mencapai ukuran panjang ± 7 em bermigrasi ke
kawasan mangrove dan mencari makan di kawasan padang lamun pad a
malam harinya. Saat mencapai usia dewasa mereka kembali ke kawasan
terumbu karang, dan melakukan aktivitas reproduksi kembali. Udang,
rajungan, dan lobster merupakan contoh lain dari organisme penting
perikanan yang berpindah-pindah antar habitat pesisir selama siklus
hidupnya.
3.4. Kondisi Ekosistem Mangrove Indonesia
Indonesia yang memiliki iklim tropis dengan curah hujan yang tinggi,
ditambah perairan yang relatif tenang, merupakan tempat yang ideal
bagi tumbuh berkembangnya mangrove. Oleh sebab itu, mangrove yang
tumbuh di Indonesia memiliki luasan terluas di dunia dan kaya akan
jenis.
3.4.1. Luas dan sebaran
Ekosistem mangrove tersebar hampir diseluruh provinsi di Indonesia
(Gambar 3.16) dengan luasan yang sangat bervariasi tergantung pada
instansi atau lembaga yang melakukan kegiatan survei. Salah satu
penyebab beragamnya angka taksiran luas hutan mangrove adalah
adanya perbedaan penafsiran batas terdalam/lebar formasi mintakat
(zonasi) mangrove. Selain itu luasan mangrove juga terus mengalami
perubahan baik yang disebabkan oleh perbedaan data maupun
disebabkan oleh berkurangnya luasan di a lam karen a konversi.
Beranjak dari perkiraan luas hutan mangrove Indonesia pada tahun
1993 yaitu 3.765.250 Ha, totalluas areal hutan mangrove berkurang 1,3%
dalam kurun waktu 1982-1983. Berdasarkan basil perhitungan
Kusmana (1995) diketahui bahwa dalam kurun waktu an tara tahun 1982
-1993 luas hutan mangrove turun sebesar 11,3% a tau 1% pertahun .
Sedangkan apabila dilihat dari data perkiraan laju perubahan luas hutan
mangrove per provinsi berkurangnya areal hutan mangrove bervariasi
an tara 5,4% sampai 97,6% (Tabel3.1).

PedomanPengelolaanEkos1stemMangrove
Tabel 3.1 . Luas dan pen yebaran hutan mang rove di setiap Prov insi di lndones ia

Sumut 60.000 60.000 98.340 86.800 30.700 71.674,63 9.268,61 +63,9 ·27,1 + 19.4577

I!
5
Sumbar
Riau
Jambi
276.000
65.000
0
470.000
50.000
0 4.850
221.050
13.450
\ 3.000
' 239.900
18.00
1.800
184.400
4.050
4.586,26 9.251 ,99
551.747.79 603.373,68
36.703,50 226.645,51
tak hingga
-19,90942
·79,30769
·5.4
+1 49,6
+ 172,9
Tak hingga
+99,9086
-43,53308
Sumsel 195.000* 110.000* 363.430* 240.700 * 231.025* 587.879.71 459.016,80 +86,37 +61,8 +201.477
Babel 0 0 0 0 0 129.3147.42 29.205,23 tak hingga tak hingga Tak hingga
Bengkulu 0 20.000 520 2.100 52.000 10.468,62 35.565,66 tak hingga + 1.913,2 Tak hingga
tl lampung 17.000 3.000 49.440 31.800 11 .000 10.762,07 7.607,91 + 190,824 -78,2 ·36,69371
10 Jabar & DKI 28.608** 5.700** 8.200 ** 8.200** 55.000 .. 33.453,71 94.843,55 ·71 ,33669 +308,0 +16,9383
11 Ban ten 0 0 0 0 0 1.139,31 27.999,14 tak hingga tak hingga Tak hingga
12 Jateng 13.576 1.000 18.700 18.700 13.570 18.931,67 76.406,35 +37,7431 + 1,2 +39,4495
13 Jatim 7.750 500 6.900 6.900 500 42,22 97.669,98 ·10,96774 ·99.4 ·99.45523
14 Bali 1.950 500 800 500 5.500 7.034,07 18.519.74 ·58,97436 +779,3 +260,722
15 NTB 3.678 0 0 6.700 4.500 3.757,29 16.476,97 ·100 tak hingga +2,15579
16 NTT 1.830 21.500 10.780 20.700 20.700 24.731 ,81 106.926,57 +489,071 + 129.4 +1251.47
17 Kalbar 40.000 60.000 194.300 205.400 40.000 86.918,03 252.907,00 +385.75 ·55,3 +117,295
18 Kalteng 10.000 20.000 48.740 28.700 20.000 474.999,90 1.750.586,90 +387.4 +874,6 +4650
19 Kalsel 66.650 90.000 120.780 112.300 66.650 76.166,91 132.453,36 +81 ,2153 ·36,9 +14,2789
20 Kaltim 266.800 750.000 775.640 667.800 266.800 116.431,65 643.506,18 +190,72 ·85,0 ·56,35995
~ 21 Sulteng 0 0 37.640 42.000 17.000 6.106,05 112.210,29 tak hingga ·83,8 Tak hingga
~
I 22 Sultra 29.000 25.000 70.840 100.900 29.000 28.600,1 6 59.886,18 + 144,276 ·59,6 ·1,378759
23 Sulut 4.833 10.000 38.150 27.300 4.833 21.846.78 26.732,97 +689,365 -42.7 +352,034
f
;I]
24 Sulsel 66.000 55.000 104.030 67.200 34.000 64.601.79 443.591 ,31 +57,6212 ·37,9 ·2,1185
.g 25 Maluku 100.000 46.500 148.710 212.200 100.000 148.710,00 0,00 +48.71 0,0 +48.71
§:
~ 26 Papua 2.943.000 1.382.000 1.326.990 1.583.300 1.382.000 1.326.999,00 0 ·54,9103 0,0 ·54,90999 l EI
Keterangan: • data ketika wilayah propinsi belum dimekarkan
• • luas mangrove OKI Jakarta sangat kecil, sehingga digabung dengan wilayah Jawa Barat
m
3.4.2. Kerusakan dan Faktor Penyebab
Dampak dari aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove
menyebabkan luasan hutan mangrove berkurang drastis. Luas
ekosistem mangrove di Indonesia turun dari 5,21 juta hektar antara
tahun 1982-1987, menjadi 3,24 hektar, dan makin menyusut menjadi 2,5
juta hektar pad a tahun 1993 (Widigdo, 2000). Angka tersebut tidak sama
dengan peneliti lainnya. Khazali (1999), menyebutkan angka 3,5 juta
hektar, sedangkan Lawrence (1998), menyebut kisaran antara 3,24-3,73
juta hektar. Namun tetap saja sama, yaitu mangrove Indonesia sedang
mengalami degradasi secara sistematis dari banyak kepentingan
manusia. Data lain menunjukkan bahwa lebih dari 50% potensi
mangrove Indonesia mengalami kerusakan.
Seperti telah disebutkan, ekosistem mangrove potensial mendapat
tekanan dari kegiatan manusia dan pembangunan, terlebih lagi pesisir
merupakan wilayah dengan tingkat aktivitas perekonomian tinggi. Oleh
sebab itu tekanan untuk mengkonversi kawasan mangrove untuk
budidaya perairan, infrastruktur pantai pelabuhan, industri, pusat
perdagangan dan perumahan, pemanfaatan kayu hutan, pertanian, dan
perikanan juga sangat tinggi. Selain itu, ancaman luar dapat juga merusak
ekosistem seperti tidak teratumya management DAS (contohnya di
Segara Anakan) menyebabkan masuknya sedimen dari daerah hulu, dan
meningkatnya pencemaran dari industri dan rumah tangga. Akan tetapi
penyebab utama yang paling besar adalah konversi mangrove menjadi
kawasan budidaya yang tidak terkendali, dan penebangan mangrove
untuk bahan baku industri kayu, ditambah munculnya anggapan
masyarakat bahwa hutan mangrove merupakan sumberdaya yang
kurang berguna dan sebaiknya dikonversi untuk keperluan lain.
Dibawah ini dijelaskan faktor-faktor yang menyebabkan kerusakan
mangrove yang telah dikelompokkan ke dalam tata ruang,
kelembagaan, dan pelibatan masyarakat.
3.4.2.1. Alokasi pemanfaatan ruang yang kurang mengindahkan
integritas ekosistem mangrove
Tata Ruang Wilayah membagi ekosistem mangrove menjadi dua
kawasan yaitu Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya. Kawasan

Pedoman Pengelolaan Ek~s1stem Mangrove


m
lindung adalah merupakan kawasan yang harus dipertahankan
keberadaannya guna memaksimalkan fungsi lindungnya. Sedangkan
kawasan budidaya merupakan kawasan yang dapat dikonversi
peruntukkannya untuk keperluan lain (Kawasan Areal Penggunaan
Lain/APL) dan kawasan yang dapat dimanfaatkan untuk dipanen hasil
kayunya (Kawasan Hutan Produksi Tetap maupun Biasa). Penetapan
tersebut tentu saja membawa konsekuensi bahwa terdapat kawasan
mangrove yang dapat dikonversi dan terdapat pula kawasan yang harus
dilindungi. Selama ini pemisahan kawasan yang dapat dikonversi dan
tidak dapat dikonversi hanya memperhatikan aspek potensi tegakan
dan kurang mengindahkan integritas ekosistem mangrove sebagai satu
kesatuanekosistem yang unik dan tidak dapat dibagi-bagi.
3.4.2.2. Pelanggaran terhadap mekanisme perizinan dalam pengelolaan
ekosistem mangrove
Pemanfaatan ekosistem mangrove untuk berbagai jenis penggunaan
lahan telah diatur dan harus melalui mekanisme perijinan yang berlaku.
Namun demikian, praktek-praktek pemanfaatan ekosistem mangrove
untuk penggunaan lainnya secara ilegal sangat intensif dan ekstensif
terjadi sebagai akibat kurangnya penegakan hukum dan orientasi
keuntungan jangka pendek investasi yang tidak mengindahkan
keberlanjutan fungsi ekosistem mangrove.
Hal ini terjadi sebagai akibat langsung kurangnya konsistensi dan
komitmen instansi terkait Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam
pengelolaan ekosistem mangrove. Di samping itu, pada beberapa kasus
berbagai bentuk pelanggaran terjadi karena tidak diberlakukannya
mekanisme insentif dan disinsentif yang menarik dalam
pengelolaannya.
3.4.2.3. Kurangnya keterpaduan pengelolaan sumberdaya
Sebagai sumberdaya yang memiliki potensi ekonomi tinggi, ekosistem
mangrove menjadi salah satu kawasan andalan untuk berbagai bentuk
kegiatan ekonomi produktif, seperti wisata, penghasil bahan bakar,
kawasan perikanan, dan sebagainya. Upaya dimaksud diperkirakan
tidak akan terwujud apabila tidak ada keterpaduan dalam pengelolaan
ekosistem mangrove.

Bag1anl-PedomanPenge/olaan
m
Kondisi sa at ini menunjukkan banyaknya konflik kepentingan (conflict of
interest) antar lembaga yang terlibat dalam pengelolaan ekosistem
mangrove, sebagai akibat masing-masing lembaga dalam menjalankan
tugas dan fungsinya cenderung bersifat sektoral. Pada banyak kasus,
konflik kepentingan ini melebar tidak hanya an tar lembaga tetapi juga
an tar kepentingan, konservasi dengan ekonomi .
3.4.2.4. Ketimpangan dalam pelibatan masyarakat
Praktek pengelolaan ekosistem mangrove yang berkembang cenderung
mengutamakan kepentingan ekonomi sehingga melupakan aspek
pengembangan masyarakat (community development). Berbagai ekses
muncul antara lain perusakan ekosistem berupa penebangan liar,
penghunian secara ilegal, dan sebagainya.
Idealnya, pengelolaan ekosistem mangrove dilaksanakan secara
partisipatif dan melibatkan masyarakat sejak tahap perencanaan hingga
pelaksanaan keputusan pengelolaan. Harapannya adalah tumbuhnya
komitmen masyarakat untuk turut menjaga keberlanjutan upaya
pengelolaan ekosistem mangrove dan kelestariannya. Selain itu perlu
didukung juga kebijakan yang berpihak terhadap pengelolaan
ekosistem mangrove berkelanjutan dan berbasis masyarakat.
3.4.3. Dampak Kerusakan Ekosistem Mangrove
Dampak kerusakan ekosistem mangrove sangat berkaitan erat dengan
nilai dan fungsinya yang sudah disampaikan. Dari penjelasan tersebut
dapatlah dikatakan bahwa kerusakan ekosistem mangrove akan
memberikan dampak secara fisik dan ekologis, perikanan, dan sosial
ekonomi. Secara fisik dampak tersebut dapat dirasakan antara lain (i)
erosi pantai; (ii) kerusakan perumahan dan harta milik akibat badai; dan
(iii) terjadinya intrusi air !aut. Secara ekologi, kerusakan ekosistem
mangrove mengakibatkan menurunnya kesuburan perairan dan
kualitas perairan pesisir
Bagi perikanan pesisir, kerusakan mangrove akan mengakibatkan
menurunnya stok perikanan, penyediaan benih alami, menurunnya
kualitas air !aut yang akan digunakan sebagai media budidaya tambak
dan keramba, dan menurunnya hasil tangkapan nelayan setempat.
Masyarakat di sekitar kawasan ekosistem mangrove juga akan
Pedoman Pengelolaan Ekosrstem Mangrove
m
kehilangan sumber bahan bakar kayu, tiang rumah/ kapal, sumber
protein dari kerang, kepiting, dan moluska lainnya, perlindungan dari
an gin dan badai, serta hilangnya keindahan dan potensi lainnya.
3.4.4. Kegiatan Rehabilitasi
Berbagai kegiatan rehabilitasi telah dilakukan dalam rangka
memperbaiki ekosistim mangrove. Namun demikian, dari berbagai
kegiatan tersebut, rehabilitasi lebih banyak dilakukan di kawasan-
kawasan hutan dengan pemanfaatan untuk produksi dan silvofishery.
Rehabilitasi yang ditekankan untuk melindungi pantai dari erosi,
melindungi kawasan-kawasan perikanan budidaya dan tangkap,
meningkatkan kualitas perairan pesisir, dan kepentingan pariwisata
bahari serta penelitian ilmiah masih harus terus ditingkatkan.
Rehablitasi mangrove harus melibatkan masyarakat sekitar dengan
membentuk kelompok-kelompok binaan. Pelibatan masyarakat dapat
dilakukan mulai tahap penanaman dan tahap pemeliharaan.
Mekanisme kelembagaan juga harus diperhatikan untuk menyamakan
persepsi dari berbagai kepentingan yang muncul. Kegiatan monitoring
perlu tents dilakukan secara kontinyu untuk mengontrol jalannya
kegiatan rehabilitasi.
Mengenai kegiatan rehabilitasi, data menunjukkan bahwa sekitar 20.000
ha hutan mangrove yang rusak di pantai utara Pulau Jawa dilaporkan
telah berhasil direhabilitasi dengan menggunakan tanaman utama
Rhizoporn spp dan Avicen11ia spp dengan persen tumbuh hasil
penanaman berkisar antara 60% - 70 % (Soemodihardjo dan
Soerianegara, 1989 dalam Bengen, 1999). Walaupun masih sangat
terbatas, upaya rehabilitasi terhadap kawasan-kawasan non ekosistem
juga telah dilakukan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan. Sejak
berdirinya Departemen ini (tahun 2000), telah dilakukan rehabilitasi
melalui dana pusat seluas Ha, sedangkan melalui dana dekonsentrasi
Ha. Namun demikian terlihat bahwa luasan rehabilitasi tersebut masih
jauh dari mencukupi dan lebih rendah dibanding laju kerusakan yang
terjadi. Oleh sebab itu langkah lebih intensif oleh semua pihak perlu
dilakukan untuk meningkatkan proses rehabilitasi tersebut.

Bag1an I - Pedoman Pengelolaan


Pedoman Pengelolaan Ekos1stem Mangrove
BAB IV
-
KEBIJAKAN PENGELOLAAN
EKOSISTEM MANGROVE

4.1. Prinsip Dasar


Tujuan mendasar dari pengelolaan ekosistem mangrove adalah untuk
meningkatkan konservasi, rehabilitasi, dan pemanfaatan berkelanjutan
ekosistim mangrove. Tujuan ini dicapai melalui prinsip:
a. Pengelolaan ekosistem mangrove yang mengedepankan prinsip
kehati-hatian (precautionary) dengan mempertimbangkan praktek
pengelolaan yang sudah ada, kearifan, keyakinan, dan kebiasaan
masyarakat setempat
b. Pengelolaan mangrove yang didasarkan pada pendekatan ekosistem
dengan mempertimbangkan kegiatan dan dampaknya baik di
kawasan hulu maupun hilir
c. Pengelolaan ekosistem mangrove yang berorientasi pada
keberlanjutan fungsi lingkungan dan nilai-nilai ekologi untuk
mendukung kesejahteraan masyarakat, utamanya masyarakat pesisir
d. Upaya mitigasi dampak lingkungan akibat aktivitas pembangunan di
kawasan ekosistem mangrove.

Bagian I - Pedoman Pengelolaan


m
e. Pengelolaan ekosistem mangrove merupakan proses berulang
(iterative process) yang terdiri atas perencanaan, pelaksanaan,
pemeliharaan, dan pemanfaatan lestari serta didukung dengan
upaya-upaya pembinaan dan pengendalian yang konsisten dan
berkelanju tan,
f. Pengelolaan ekosistem mangrove yang berlandaskan pada asas
keterpaduan, keberlanjutan, desentralisasi, dan perencanaan berbasis
masyarakat.
4.2. Kebijakan Dasar
• Untuk kawasan mangrove yang masih asli atau mendekati kondisi
asli, harus dilakukan pengelolaan dengan tujuan pelestarian dan
konservasi. Pengelolaan dengan tujuan pelestarian dan konservaasi
ini terus dipertahankan sebelum tersedia data dan informasi yang
untuk menganalisis dampak bentuk pengelolaan lainnya.
• Untuk kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan pemanfaatan,
misalnya untuk budidaya ramah lingkungan, pariwisata maka harus
mengedepankan precautionary approach, khususnya apabila tidak
tersedia informasi ten tang pemanfaatannya secara berkelanjutan
• Apabila direncanakan pemanfaatan ekonomi khususnya yang
menyebabkan hilangnya mangrove seperti industri, permukiman,
pertanian, dan pertambakan maka perlu diadopsi stringent precautions
seperti analisis dampak lingkungan, audit lingkungan, dan rencana
pengelolaan lingkungan.
• Untuk kawasan mangrove yang berfungsi sebagai jalur hijau, berada
pada pantai yang rawan erosi, bantaran sungai dan mengurangi
dampak negatif fenomena alam seperti badai tropis/ taifun maka
harus dilakukan pengelolaan untuk perlindungan dan konservasi.
4.3. Pendekatan
Pendekatan yang ditempuh dalam rangka pengelolaan ekosistem
mangrove adalah:
a. Pendekatan kehati-hatian (precautionary approach)
Dengan pendekatan ini maka keputusan untuk melakukan aktivitas di
kawasan mangrove diambil berdasarkan kemungkinan adanya dampak
Pedoman Pengelo!aan Ekos1s1em Mangrove
m
negatif yang mengakibatkan kerusakan lingkungan sekalipun belum
ada bukti ilmiah bahwa dampak negatif tersebut akan terjadi.
b. Penggunaan prinsip no net loss dalam pengelolaan ekosistem
mangrove.
4.4. Pia gam Mangrove
Mengacu pada kondisi sosial ekonomi dan budaya ten tang pengelolaan
ekosistem mangrove yang tumbuh-berkembang di Indonesia maka
terdapat sembilan pernyataan dasar dalam pengelolaan ekosistem
mangrove di Indonesia, yaitu:
1). Indonesia memiliki ekosistem mangrove terluas didunia, yang
mewakili zona geografi tumbuhan mangrove dunia lama (old world)
dan dunia baru (n ew world), maka pemanfaatan yang berlebihan dan
konversi ekosistem mangrove harus dikendalikan dengan
melaksanakan strategi nasional pengelolaan ekosistem mangrove
dengan prinsip no net loss.
2). Makna dan peran ekosistem mangrove dalam perlindungan
keanekaragaman hayati, perlindungan garis pantai dan sumberdaya
pesisir sangat penting, serta produk yang dihasilkannya merupakan
sumber pendapatan berharga bagi negara dan masyarakat.
3). Pengelolaan ekosistem mangrove dilaksanakan sebagai bagian
integral dari pengelolaan wilayah pesisir terpadu dan pengelolaan
DAS secara keseluruhan .
4). Pengelolaan ekosistem mangrove membutuhkan komitmen politik
dan dukungan kuat pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan para
pihak terkait.
5). Koordinasi dan kerjasama antar instansi baik vertikal maupun
horizontal, serta para pihak lainnya sangat penting untuk menjamin
terlaksananya kebijakan strategi nasional pengelolaan ekosistem
mangrove.
6). Pengelolaan ekosistem mangrove berbasis masyarakat dilaksanakan
untuk melestarikan nilai penting ekologi, ekonomi dan sosial
budaya, guna meningkatkan pendapatan masyarakat dan
mendukung pembangunan yang berkelanjutan.

Bagiani - PedomanPengelolaan
m
7). Pemerintah daerah mempunyai kewenangan dan kewajiban
mengelola ekosistem mangrove sesuai dengan kondisi dan aspirasi
lokal, dan strategi nasional pengelolaan ekosistem mangrove.
8). Pengembangan riset, iptek dan sistem informasi diperlukan untuk
memperkuat pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan
9). Pengelolaan ekosistem mangrove dilaksanakan melalui pola
kemitraan dengan dukungan masyarakat internasional, sebagai
bagian dari upaya mewujudkan komitmen lingkungan global.

Pedoman Pengelolaan Ekosistem Mang1ove


i

BABY
PENGELOLAAN
EKOSISTEM MANGROVE

Pengelolaan ekosistem
mangrove adalah bagian
pengelolaan sumberdaya
pesisir dan laut yang
terdiri dari langkah-
langkah sebagai berikut
a) Perencanaan,
b) Pelaksanaan awal,
c) Adopsi program/
persetujuan dan
pendanaan,
d) Implementasi/
pelaksanaan,
e) Monitoring dan
evaluasi (Gambar 5.1).

Bagiani - PedomanPengelolaan
m
. , . . . . . . . . .? Apt , ... ter)ldiJdlllull7

Proses Hasii/Capaian

. _ , . ( 1. Perencanaan . ~ ---+-
• Profil karakteristik kawasan
• Pemahaman keadaan masyarakat
• Pemahaman kegiatan pengelolaan
Mangrove
• Pemahaman lsu
• Draft perencanaan

1
. _ , . ( 2. Pelaksanaan awal • Partisipasi luas
• Kesepakatan terhadap tujuan kegiatan
dan isu prioritas
• Sosialisasi profil dan draft

1
perencanaan

._,. 3. Adopsi program/persetujuan ---+- • Penerimaan secara formal


• Dasar hukum yang jelas dan benar
I
I

I • Pengelolaan efektif
I
l
• Sumberdaya ekosistem mangrove
terpelihara/lebih baik
GambarS.l.
• Manfaat sosial ekonomi diperoleh
Model Siklus Program Pengelolaan
Sumberdaya Ekosistem Mangrove
• Masyarakat diberdayakan

Selain daripada itu, pada Bab V ini juga akan dilengkapi dengan topik-
topik bahasan yang erat kaitannya dengan pengelolaan ekosistem
mangrove antara lain pemanfaatan, konversi, restorasi, hukum dan
kelembagaan, serta mekanisme koordinasi. Mengingat bahwa pedoman
ini dipersiapkan untuk menunjang pembangunan di bidang kelautan
dan perikanan maka topik bahasan akan difokuskan untuk menunjang
kegiatan perikanan, perlindungan pesisir dan pariwisata.
5.1. Siklus Pengelolaan
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa siklus pengelolaan ini
terdiri dari perencanaan, pelaksanaan awal, persetujuan rencana dan

PedomanPengelolaanEkosistemMangrove
m
pendanaan, pelaksanaan dan penyesuaian, serta pemantauan dan
evaluasi. Dimana masing-masing tahap akan mengarah kepada
pencapaian hasil.
5.1.1. Perencanaan
Proses perencanaan ini terdiri dari serangkaian kegiatan seperti
penyusunan profit kawasan, identifikasi isu pengelolaan, identifikasi
pemangku kepentingan (stakeholders), perumusan tujuan dan sasaran
yang akan dicapai, dan perencanaan bentuk kegiatan yang akan
dilaksanakan.
a. Penyusunan profil kawasan
Penyusunan profil kawasan dilaksanakan oleh masyarakat setempat
bersama dengan pemerintah desa, dapat juga didampingi oleh CO
(community organizer), fasilitator, atau motivator desa. Yang perlu
dilakukan dalam satu pertemuan a tau diskusi masyarakat:
1. Daftarkan masalah-masalah yang dialami masyarakat berkaitan
dengan sumberdaya ekosistem mangrove yang ada, juga kegiatan-
kegiatan pengrusakan yang terjadi. Lakukan identifikasi berdasarkan
temuan-temuan a tau kenyataan yang dilihat, dialami, a tau dirasakan
oleh masyarakat. Misalnya: penebangan mangrove yang berlebihan,
proses abrasi di hutan mangrove, dan pencemaran ekosistem
mangrove.
2. Diskusikan secara bersama isu-isu yang diangkat dari temuan-
temuan di lapangan tersebut secara lebih lengkap (komprehensif),
dengan beberapa pertanyaan acuan, an tara lain:
• Pernyataan mengenai isu atau perkembangan dan kondisi isu
beserta lokasi penyebarannya (seberapa luas, sejak kapan).
• Penyebab (oleh aktivitas man usia a tau alamiah).
• Akibat yang ditimbulkan (dampak ekologis/lingkungan,
ekonomis, a tau kondisi sosial masyarakat).
Hasil pertemuan masyarakat yang telah dilakukan kemudian
dirangkum dalam satu profit. Sangat penting apabila isu-isu yang
teridentifikasi tersebut dipetakan. Tujuan penyusunan profil yaitu
mendapatkan gambaran secara lengkap mengenai kondisi isu

Bagian I - Pedoman Pengelolaan


m
permasalahan ekosistem mangrove dan sekitarnya, dan menjadi dasar
penyusunan Rencana Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Selain itu
dilengkapi pula dengan data dan informasi karakteristik ekosistem
mangrove antara lain mencakup (i) batas dan luas, (ii) formasi vegetasi
dan kerapatan, (iii) tanah, salinitas air, iklim, suhu air, pasang surut,
sedimentasi, relief tanah, (iv) keberadaan lindungan terhadap gangguan
gelombang dan arus !aut, serta (v) kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Contoh daftar isi profil kawasan dapat dilihat pad a kotak berikut:

Pengantar dari Pemerintah De sa b. Identifikasi isu pengelolaan

Pendahulu1n
Identifikasi isu sumberdaya
Tujuan pembuatan prolil ekosistem mangrove adalah proses
Met ode yang digunakan
pengumpulan informasi dan
Gambaran umum dari kawasan mangrove
penentuan masalah-masalah
Kondisi Geografi Desa Sekitar Kawasan Mangrove sumberdaya yang ada, sebab akibat
Demografi de sa
Mata Pencaharian dari masalah, dan penanganan isu
Kondisi So sial Ekonomi yang direkomendasi a tau diusulkan
Kondisi Lingkungan
Kelembagaan dan pemangku kepentingan
dalam rencana pengelolaan. Isu
dapat berupa masalah yang ingin
lsu-isu Pengelolaan Sumberdaya Ekosistem Mangrove
dan perlu ditangani, konflik yang
Penebangan Mangrove
Pencemaran Mangrove perlu diselesaikan di antara
Abrasi Pantai masyarakat, dan potensi atau
Konversi Lahan
Degradasi Hutan peluang yang dapat dikembangkan.
Ketarsediaan Air Bersih Tujuan identifikasi isu adalah
Sanitasi Lingkungan
Konflik Pemanfaatan
mengetahui permasalahan kunci,
"-ngkapan Satwa pada Habitat Man!Jfove memberikan rasa "memiliki"
Pandidikln dan Pelatihan program yang lebih baik, dan
tersedianya informasi penting
mengenai sumberdaya ekosistem mangrove dan penggunaannya bagi
perencana.
Identifikasi isu dapat dimulai dengan identifikasi lokasi dan masyarakat
dengan pengenalan masyarakat baik secara sosial-ekonomi maupun
budaya dalam hubungannya dengan pemanfaatan sumberdaya.
Pengenalan masyarakat harus terjadi secara dua arah yaitu masyarakat
dapat mengenal atau memahami manfaat dari pengelolaan yang

Pedoman Pengelolaan Ekos1s1em Mangrove


m
melibatkan masyarakat dan pihak lembaga fa silitator dapat memahami
kondisi masyarakat.
Identifikasi isu dpat juga dilakukan dengan pengumpulan informasi
dan penentuan permasalahan ekosistem mangrove seperti (i) tingkat
konversi lahan, (ii) tingkat kerusakan, (iii) pencemaran lingkungan, (iv)
sosial ekonomi masyarakat, dan (v) kelembagaan. Tabel 5.1 berikut
merupakan contoh identifikasi isu abrasi pantai dan analisis
permasalahannya .

lsu : Abrasi Pantai


Parnyataan lsu : Abrasi pantai yang terjadi sangat cepat di sepanjang pantai beberapa
tahun belakangan ini.

Akibat:
Penyebab:
• Kehilangan daratan
• Kondisi arus dan gelombang
• Kerusakan rumah penduduk, jalan dan
• Penebangan kayu bakau
interupsi air Iaut
• Konversi lahan sehingga berkurangnya
• Banjir meluap kedalam pemukiman
kawasan mangrove
penduduk

Pananganan yang sudah, sementara, dan dapat dilaksanakan:


• Sudah ada upaya pelaJangan penebangan mangrove
• Masyarak~t sudah mulai menan am mangrove
• Membangun tanggul pencegah abrasi dan banjir
• Membuat rencana pengelolaan atau daerah perlindungan mangrove

Tabel5.1.
Be rikut adalah contoh analisis dari isu abra si pant ai ya ng terj adi pad a s uatu kawasa n pesisir.

c. Identifikasi pemangku kepentingan (stakeholders)


Identifikasi pemangku kepentingan (stakeholders) juga perlu dilakukan
karena stakeholders memegang peranan penting dalam pengelolaan
sumberdaya ekosistem mangrove. Identifikasi ini bertujuan untuk
mendapatkan informasi yang jelas mengenai pihak atau kelompok yang
perlu dilibatkan secara langsung dalam proses pengelolaan, pihak-pihak
yang dapat menunjang keberhasilan program, dan juga pihak-pihak yang
dapat menghambat program. Identifikasi stakeholder juga bertujuan

Bagian I - Pedoman Pengelolaan


m
membentuk kelompok inti yang akan bekerja dalam pembuatan rencana
pengelolaan dan dalam membentuk kelompok/ badan pengelola.
Penilaian partisipatif menyangkut isu gender juga perlu mendapatkan
perhatian untuk membantu masyarakat memulai proses.
Identifikasi untuk menentukan kelompok pemangku kepentingan
dapat dilakukan dengan memperhatikan:
• Penerima dampak a tau pengaruh langsung dari program
• Pemimpin yang memiliki pengaruh pada masyarakat
• Kelompok mayoritas dan minoritas
• Lembaga pemerintah dan bukan pemerintah yang berhuungan
denganisu
• Pihak-pihak yang menentang kepentingan program
• Pihak yang berusaha mempengaruhi orang/kelompok
• Pemberi sumbangan dana dan bantuan
d. Perumusan tujuan dan sasaran yang akan dicapai
Tujuan dan sasaran pengelolaan dirumuskan berdasarkan hasil
identifikasi karakteristik ekosistem mangrove dan isu pengelolaan yang
ada di lokasi dan mencakup pada aspek pelestarian keanekaragaman
hayati, pemanfaatan, rehabilitasi, dankonversi.
e. Rencanakan bentuk kegiatan yang akan dilaksanakan
Penyusunan rencana dimaksud mengacu pula pada jangka waktu dan
tujuan, yaitu jangka panjang (15 tahun), jangka menengah (5 tahun), dan
jangka pendek (tahunan). Rencana jangka panjang bersifat strategis
seperti arahan umum penggunaan lahan di lokasi, pemanfaatan
mangrove, urutan prioritas penanganan lokasi, dan lain sebagainya.
Rencana jangka menengah lebih bersifat teknis pelaksanaan yang
mencakup antara lain rekomendasi teknis kegiatan, indikasi rencana
tahunan, dan rencana monitoring evaluasi. Rencana jangka pendek
disusun sangat rinci dan dilengkapi dengan rancangan setiap kegiatan
seperti lokasi, luasan, jenis spesies, waktu, dan biaya.
f. Penyusunan draft rencana pengelolaan
Setelah lokasi ditetapkan dan dilakukan identifikasi masyarakat dan
stakeholder-nya maka masyarakat perlu dipersiapkan dan diberikan
Pedoman Pengelolaan Ekos1stem Mangrove
m
orientasi terhadap program pengelolaan yang akan dilakukan bersama-
sama dengan masyarakat.
Perencanaan adalah tahapan penyusunan strategi atau kegiatan-
kegiatan yang akan dilakukan dalam menjawab dan mengatasi isu-isu
pengelolaan sumberdaya ekosistem mangrove. Tujuan dan sasaran
pengelolaan dirumuskan berdasarkan hasil identifikasi karakteristik
ekosistem mangrove dan isu pengelolaan yang ada di lokasi dan
mencakup pada aspek pelestarian keanekaragaman hayati,
pemanfaatan, rehabilitasi, dan konversi .
Kegiatan yang perlu dilakukan dalam proses persiapan perencanaan
yaitu:
1. Sosialisasi profil dan penentuan isu prioritas serta sosialisasi hasil
survei a tau studi teknis beberapa isu.
Data dan informasi tentang gambaran isu yang ada disosialisasikan
kepada masyarakat untuk mendapatkan tinjauan serta klarifikasi. lsu-
isu yang terdapat didalam profil biasanya yang berhubungan dengan
degradasi lingkungan, sanitasi, serta pengembangan potensi
sumberdaya.
2. Pembentukan kelompok inti untuk penyusunan rencana pengelolaan.
Kelompok ini bertugas untuk menyusun konsep awal rencana
pengelolaan dan mengawasi serta memfasilitasi proses konsultasi
dengan masyarakat. Pembentukan kelompok ini dilakukan secara
demokratis, yang ditetapkan oleh Kepala Desa dan Badan Perwakilan
Desa. Kelompok ini bersifat sementara (ad-hoc) sampai rencana
pengelolaan disetujui.
3. Pelatihan-pelatihan dan lokakarya penyusunan rencana pengelolaan.
Pelatihan dilakukan untuk memperkuat pemahaman dan wawasan
kelompok inti tentang aspek-aspek penting penyusunan rencana
pengelolaan. Hasil-hasil pelatihan ini dapat digunakan sebagai konsep
awal rencana pengelolaan.
4. Pertemuan/diskusi penyusunan konsep awal rencana pengelolaan.
Diskusi/pertemuan yang melibatkan semua pemangku kepentingan di
desa perlu dilakukan untuk mendapatkan konsep awal rencana
Bag1ani-PedomanPengelolaan
m
pengelolaan. Setelah konsep awal disusun, kegiatan sosialisasi dan
konsultasi masyarakat mengenai rencana pengelolaan perlu dilakukan
untuk mendapatkan masukan-masukan dan perbaikan konsep rencana
pengelolaan tersebut.
Konsep awal rencana pengelolaan dapat berisi:
• Visi pengelolaan, berupa gambaran situasi dan kondisi di masa
datang. Visi pengelolaan dapat ditentukan untuk kurun waktu
tertentu.
• Isu dan pernyataannya, mencakup isu berupa penjelasan
karakteristik, sebab akibat, hubungan dengan isu lain, penanganan
yang sedang dilakukan.
• Tujuan pengelolaan, adalah hasil yang hendak dicapai dari kegiatan
pengelolaan yang akan direncanakan. Sebaiknya tujuan harus dapat
dicapai, dapat diukur keberhasilannya, realistis dengan kemampuan
day a dukung yang tersedia, serta dapat diterima oleh masyarakat.
• Hasil yang diharapkan, adalah kondisi atau manfat yang dapat
dirasakan atau diciptakan dengan adanya implementasi dari
pengelolaan isu. Untuk mengukur capaian hasil perlu ditetapkan
indikator-indikator yang mudah diukur dan dinilai oleh masyarakat.
• Kelembagaan dalam pengelolaan, yaitu kesepakatan dan
pengaturan pembagian peran yang jelas dalam pelaksanaan dan
pengawasan rencana pengelola.
• Monitoring dan evaluasi, menjelaskan proses bagaimana monitoring
dan evaluasi dilakukan berdasarkan indikator yang disepakati.
5.1 .2. Pelaksanaan awal dalam pengelolaan ekosistem mangrove
Tahapan-tahapan identifikasi isu sampai persiapan perencanaan 1m
kadangkala membutuhkan waktu yang lama (minimal satu tahun)
karena membutuhkan dukungan dan partisipasi masyarakat. Sambi!
menunggu perencanaan disetujui diperlukan program-program awal
(early action) . Pelaksanaan awal dalam arti luas merupakan serangkaian
kegiatan yang dilaksanakan oleh masyarakat dalam mendukung
program jangka panjang, yang dilaksanakan ketika proses identifikasi
isu dan persiapan perencanaan sedang berlangsung. Tujuan
pelaksanaan awal ini adalah:

Pedoman Pengelolaan Hos1stem Mang10ve


m
• Memperkenalkan pengelolaan sumberdaya ekosistem mangrove di
desa.
• Membangun dukungan masyarakat terhadap rencana jangka
panjang.
• Membangun/menjalin kerja sama antar pemangku kepentingan di
desa dan luar desa
• Proses pembelajaran masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya
ekosistem mangrove dalam rangka meningkatkan kapasitas
masyarakat dan lembaga yang ada di desa.
Kriteria pelaksanaan awal an tara lain:
• Membantu memecahkan masalah mendesak yang berhubungan a tau
mendukung rencana pengelolaan sumberdaya ekosistem mangrove.
• Pelaksanaan mudah dikerjakan dan dalam jangka waktu pendek.
• Membawa hasil yang berarti bagi masyarakat.
• Melibatkan berbagai kelompok dalam masyarakat.
• Menciptakan perilaku yang baik yang diharapkan bagi pengelolaan
sumberdaya ekosistem mangrove.
• Dipilih dan ditentukan secara demokratis oleh masyarakat.
• Ditetapkan dan dilaksanakan secara terbuka.
• Kelompok yang berpartisipasi dapat langsung merasakan hasilnya
• Membangun kepercayaan positif masyarakat terhadap program
• Membawa hasil dengan sedikit law an.
Pendanaan, sangat memegang peranan dalam pelaksanaan awal, dan
mengenai sumbemya dapat didiskusikan bersama. Penyusunan proposal
untuk memperoleh pendanaan dapat dilakukan. Pelaksanaan kegiatan
harus dilaksanakan oleh masyarakat, bantuan teknis dapat dilakukan oleh
pengelola program, pemerintah daerah, LSM, dan perguruan tinggi.
Jenis kegiatan pelaksanaan awal yang dapat dilakukan sangat
bervariasi, mulai dari pendidikan lingkungan ekosistem mangrove,
pembentukan kelompok masyarakat, penanaman mangrove, pelatihan
masyarakat, kesemuanya itu tergantung dari isu-isu utama yang
berkembang di masyarakat. Contoh pelaksanaan kegiatan awal dapat
dilihat dalam Tabel5.2 berikut.

Bag1an I - Pedoman Pengelolaan


m
Tabel5.2 Contoh kcgiatan pelaksa naan awa l di bebera pa desa

DesaA DesaB Dese C Desa D

• Pembuatan Pusat • Penanaman • Pembuatan Pusat • Pembuatan Pusat


lnformasi mangrove lnformasi lnformasi
• Perbaikan sarana air • Perbaikan air • Penanaman • Pembuatan APO
bersih bersih mangrove • Penanaman
• Pembuatan tanggul • Pembuatan APO • Budidaya udang Mangrove
abrasi dan pencegah • Budidaya kepiting dan bandeng • Kegiatan
banjir bakau Sylvafishery
• Penanaman
mangrove

5.1.3. Persetujuan dan pendanaan


Tahap selanjutnya setelah rencana pengelolaan disusun adalah proses
adopsi secara formal dan persetujuan pendanaan untuk implementasi
rencana pengelolaan. Dimana pada tahap ini pemangku kepentingan di
masyarakat menerima rencana pengelolaan. Dana dibutuhkan untuk
malaksanakan kegiatan persiapan perencanaan, pelatihan dan
pengembangan kapasitas masyarakat. Biasanya perolehan dana
diusahakan oleh masyarakat atau lembaga yang mendampingi
masyarakat. Proses pengintegrasian dana diawali melalui rapat
musyawarah pembangunan (musbang) di desa dan rapat koordinasi
pembangunan (rakorbang) di kecamatan sampai kabupaten, yang
kemudian dianggarkan dalam APBNIAPBD.
Dana yang terkumpul dari swadaya desa maupun pendapatan asli desa
yang jumlahnya tidak terlalu besar dapat digunakan untuk kegiatan
yang bersifat kecil, namun untuk kegiatan yang tidak dapat dibiayai
desa dan belum masuk APBD dapat diusahakan dengan meminta
bantu an dari suatu badan I lembaga I donatur dari dalam a tau luar desa.
a. Pertimbangan gender dalam pengambilan keputusan atau
persetujuan
• Pengaturan pemberian suara dan pengaruh yang sama kedua
kelompok gender dalam pengambilan keputusan selama proses
pengelolaan ekosistem mangrove.
• Penetapan jumlah kuota minimal perempuan dalam kelompok
masyarakat agar berpengaruh dalam setiap pengambilan keputusan.

Pedoman Peogelolaan EkosJstem Mangrove


m
• Penjadwalan pertemuan hendaknya disesuaikan dengan jam kerja
masyarakat agar mereka dapat hadir dan mengambil bagian dalam
pertemuan dan ikut berperan dalam pengambilan keputusan
kelompok.
b. Pertimbangan dinamika penduduk dalam pengambilan keputusan
Permasalahan berikut dapat membantu proses pengambilan keputusan,
an tara lain:
• Pengaruh tekanan penduduk terhadap lingkungan dan permasalahan
konservasi lingkungan mangrove.
• Perlu adanya kerjasama dengan lembaga untuk mengatasi
permasalahan penduduk dan konservasi lingkungan mangrove.
• Pemilihan intervensi program yang dapat mencapai tujuan-tujuan
konservasi lingkungan mangrove.
c. Kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan dalam pengambilan
keputusan
Kegiatan yang perlu dipertimbangkan dalam mengambil keputusan
serta persetujuan terhadap perencanaan pengelolaan, an tara lain:
• Menyepakati isu prioritas, tujuan pengelolaan, kegiatan yang akan
dilakukan, serta waktu pelaksanaan.
• Melaksanakan musyawarah desa untuk persetujuan rencana
pengelolaan dalam hal pelaksanaan dan pendanaannya.
• Mendapatkan dukungan pemerintah kabupaten untuk persetujuan
pendanaan serta dukungan teknis melalui konsultasi dan pesentasi
rencana pengelolaan.
• Melegitimasi rencana pengelolaan melalui Surat Keputusan (SK)
Kepala Desa atau Peraturan Desa tentang Penetapan Rencana
Pengelolaan dan Penetapan Kelompok Pengelola dan Pelaksana
Rencana Pengelolaan.
• Membuat Rencana Pembangunan Tahunan De sa (RPTD) berdasarkan
rencana pengelolaan yang ditetapkan.
• Menyampaikan usulan RPTD ke kabupaten melalui Kepala Seksi
PMD (Pembangunan Masyarakat Desa) kecamatan yang akan
diteruskan ke kabupaten untuk mendapatkan persetujuan
pendanaan dan bantuan teknis.
Bagiani-PedomanPengetolaan
m
• Mencari dukungan dana dan bantuan teknis melalui swadaya
masyarakat, pengusaha, lembaga donor lain, LSM, perguruan tinggi,
selain dukungan dana dari pemerintah.
Perlu diperhatikan, sumber dana tidak selalu dari pemerintah. Sumber
pendanaan dapat dicari melalui kegiatan mandiri masyarakat berbasis
wirausaha. Dana pemerintah daerah dapat diperoleh dari berbagai
instansi seperti Dinas Perikanan dan Kelautan, Bappeda, dan BPMD
(Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa), dan sumber dana lain instansi-
instansi tersebut untuk pembangunan desa. Upaya pendanaan juga bisa
melalui kegiatan simpan pinjam atau arisan kelompok pengelola.
Sebagian kecil kas kelompok dan dana arisan dapat dijadikan usaha
simpan pinjam untuk membantu mengembangkan mata pencaharian.
d. Peraturan desa dan penegakan aturan
Salah satu komponen dalam pengelolaan ekosistem mangrove adalah
dengan pembuatan kebijakan atau peraturan desa sehingga
sumberdaya wilayah pesisir dapat dijaga, dimanfaatkan, atau dikelola
dengan baik. Untuk menjaga lingkungan dan sumberdaya perlu dibuat
daerah perlindungan yang melarang segala aktivitas yang dapat
merusak ekosistem pesisir. Selain itu perlu juga dibuat peraturan desa
yang bersifat mengikat seluruh masyarakat dan memberi sanksi bagi si
pelanggar. Pelanggaran yang dimaksud adalah kegiatan perusakan
lingkungan pesisir yang dilakukan masyarakat di daerah perlindungan.
Proses pembuatan peraturan desa adalah sebagai berikut:
• Identifikasi kelompok pengguna.
Identifikasi ini dilakukan sebelum peraturan dibuat. Tujuannya adalah
pelibatan semua pengguna sumberdaya pengambilan keputusan
bersama menyangkut pembuatan aturan.
• Konsultasi penyusunan aturan.
Perlu proses dalam mengkonsultasikan peraturan dengan kelompok
pengguna. Pada tahap awal dibicarakan penentuan aturan menyangkut
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya yang ada di desa. Konsultasi
ini dilakukan dengan berbagai cara seperti musyawarah bersama
kelompok pengguna, musyawarah dusun, musyawarah desa, dan
dialog informal dengan para pemangku kepentingan.
PedomanPengelolaanEkosistemMangrove
m
• Peleburan aturan kedalam bahasa hukum.
Bantuan pihak luar diperlukan dalam membantu memformulasikan ide
yang terkumpul dalam masyarakat ke dalam bahasa hukum peraturan
desa. Pihak luar ini dapat berupa jasa konsultan.
• Sosialisasi dan persetujuan formal.
Rancangan peraturan desa yang telah dibahasahukumkan kemudian
disosialisasikan kepada masyarakat untuk melihat reaksi selanjutnya
dari masyarakat. Setelah mayoritas masyarakat setuju, rapat penetapan
peraturan desa dibuat dalam rapat umum desa yang melibatkan
pemerintah desa, Badan Perwakilan Desa, tokoh-tokoh masyarakat,
pimpinan organisasi formal dan informal de sa, serta masyarakat urn urn.
Peraturan desa kemudian diberi nomor dan dicatat dalam lembaran
desa dan setelah itu dikirirnkan kepada Bupati untuk mendapatkan
tinjauan dari pemerintah daerah. Apabila dalarn jangka waktu tertentu
tidak ada keberatan dari pemerintah daerah, maka peraturan desa
tersebut dapat dilaksanakan untuk ditegakkan dalam masyarakat.
Bila terjadi pelanggaran terhadap peraturan yang telah ditetapkan,
maka perlu dikenakan sanksi bagi si pelanggar sesuai tingkat
kesalahannya. Karena itu perlu diperhatikan oleh kelompok pengawas
dan penegak aturan desa untuk secara terlatih rnelakukan proses
penyidikan seperti menangkap dan rneyerahkan pelaku pengrusakan
lingkungan kepada pihak yang berwajib, dan cara mengambil serta
menyerahkan barang bukti. Selain itu masyarakat hendaknya memiliki
rasa tanggung jawab mengawasi pelaksanaan peraturan dan kegiatan-
kegiatan pengrusakan yang dilakukan dilingkungan pesisir.

5.1.4. Pelaksanaan rencana pengelolaan (tahap implementasi)


Masyarakat sebagai pengelola sumberdaya utama melaksanakan
kegiatan dan aturan, jika terdapat kegiatan yang tidak dapat
dilaksanakan sendiri dapat rneminta bantuan dari pernerintah
kabupaten/ propinsi. Kegiatan dalam rencana pengelolaan dapat
disesuaikan dengan kebutuhan dan perubahan yang terjadi di desa.
Penyesuaian ini dilakukan secara terbuka dan atas persetujuan
masyarakat, kelompok pengelola, dan pernerintah desa.

Bag1ani-PedomanPengetolaan
m
a. Pertimbangan gender dalam pelaksanaan
• Menempatkan perempuan dalam pelaksanaan program
• Merancang intervensi rogram dengan pemahaman yang baik
mengenai bagaimana kedua gender menggunakan sumberdaya dan
kebutuhan mereka serta hambatan-hambatannya
• Siapkan dana dan pelatihan untuk aplikai penilaian dan perencanan
program yang sensitif gender
• Pastikan bahwa program dikembangkan dan didasarkan pada
proses-proses kerja sama dan saling menguntungkan an tara laki-laki
dan perempuan
• Membentuk kemitraan dengan organisasi lain yang memiliki
pengalaman dan pengaruh untuk lebih mengembangkan
keberhasilan dan keterampilan penanganan program
b. D inamika penduduk dalam pelaksanaan
• Gunakan informasi demografi penduduk untuk membantu strategi
komunikasi dan pengembangan program dalam pendekatan khusus
kepada pemangku kepentingan tertentu.
• Untuk mengurangi jumlah anak yang dilahirkan, dalam beberapa
kelompok masyarakat, keberhasilan diperoleh saat pekerja keluarga
berencana perempuan bertemu dan berbicara dengan laki-laki dan
perempuan di rumah mereka. Sedangkan dalam masyarakat yang
lebih tradisional, program keluarga berencana lebih berhasil dengan
menggunakan figur pengambil kebijakan dan pemimpin masyarakat
dalam upaya mengurangi jumlah anak dalam keluarga.
• Dalam melaksanakan pelatihan atau pemberian beasiswa kepada
masyarakat, pastikan bahwa anak gadis atau perempuan
mendapatkan 50% kesempatan untuk itu. Intervensi ini dapat
merupakan bagian dari upaya besar untuk memberikan pendidikan
kepada perempuan demi mengurangi tekanan penduduk di . masa
yang akan datang.
• Libatkan anak muda dengan mendidik mereka berkaitan dengan
perubahan perilaku kesehatan reproduktif dan lingkungan.
Dalam pelaksanaan rencana kerja kelompok, kegiatan yang dilakukan
meliputi:
PedomanPengelolaanEkosistemMangrove
m
• Pelatihan-pelatihan bagi kelompok pengelola, antara lain:
pengelolaan administrasi dan keuangan secara transparan dan
sederhana, penyusunan tabel rencana kegiatan, dan pelaporan
administrasi pelaksanaan kegiatan.
• Penetapan dan pengangkatan kelompok pengelola oleh pemerintah
setempat.
• Penyusunan rencana kerjal kegiatan (kegiatan, waktu pelaksanaan
tanggal/bulan, penanggung jawab pelaksanaan I siapa, volume I
jumlah I banyaknya, di mana, apa yang dibutuhkan, berapa dana yang
dibuthkan, serta target yang ingin dicapai) yang dis~pakati oleh
kelompok pengelola.
• Pelaksanaan kegiatan oleh badan a tau kelompok pengelola.
• Pembuatan laporan dan pertanggungjawaban keuangan dan
program.
• Presentasi laporan dalam rapat umum desa.
5.1.5. Monitoring dan evaluasi
Sebagaimana disebutkan bahwa tahapan dalam pengelolaan ekosistem
mangrove mengikuti proses berulang. Secara substantif, monitoring
pengelolaan ekosistem mangrove merupakan proses observasi data dan
fakta secara partisipatif, periodik, konsisten dan berkesinambungan,
meliputi: (1) proses pelaksanaan kegiatan, (2) penggunaan input, (3)
luaran pelaksanaan kegiatan, dan (4) faktor-faktor yang mempengaruhi
baik yang bersifat mendukung maupun tidak mendukung. Sedangkan,
evaluasi pengelolaan ekosistem mangrove merupakan proses observasi
dan analisis data dan informasi serta kajian terhadap fakta yang terjadi
pada proses pengelolaan ekosistem mangrove.
Memperhatikan kompleksitas dan keunikan ekosistem mangrove serta
faktor-faktor yang mempengaruhinya maka kegiatan monitoring dan
evaluasi ditekankan pada aspek sumberdaya vegetasi, aspek
sumberdaya perikanan, aspek penggunaan lahan, aspek sosial ekonomi
dan aspek kelembagaan.
Monitoring dan evaluasi sumberdaya vegetasi.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk mendapatkan data dan informasi
mengenai batas dan luas, formasi vegetasi, kerapatan, tingkat
Bagianl-PedomanPengelolaan
m
pemanfaatan, dan tingkat kerusakannya. Data yang dikumpulkan pada
monitoring vegetasi adalah data dari hasil observasi di lapang,
penginderaan jauh dan data sekunder.
Monitoring dan evaluasi sumberdaya perikanan.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk mendapatkan data dan informasi
mengenai jenis dan sebaran, kelimpahan, potensi, tingkat pemanfaatan
dan peluang pengembangannya. Data yang dikumpulkan pada
monitoring sumberdaya perikanan adalah data dari hasil observasi di
Ia pang maupun data sekunder.
Monitoring dan evaluasi lingkungan.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk mendapatkan data dan informasi
mengenai kondisi tanah, salinitas air, suhu air, pasang surut,
sedimentasi, tinggi gelombang dan arus !aut. Data yang dikumpulkan
pada monitoring lingkungan adalah data dari hasil observasi di Ia pang,
penginderaan jauh dan data sekunder.
Monitoring dan evaluasi penggunaan lahan.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk mendapatkan data dan informasi
mengenai status pemanfaatan lahan, kemungkinan penguasaan tanah
secara ilegal, illegal logging, dan sebagainya. Data yang dikumpulkan
pada monitoring lingkungan adalah data dari hasil observasi di lapang,
penginderaan jauh dan data sekunder.
Monitoring dan evaluasi sosial ekonomi.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran tentang
pengaruh dan hubungan timbal balik antara faktor-faktor sosial
ekonorni dengan kondisi surnberdaya alam. Data dimaksud meliputi
kependudukan, tekanan penduduk terhadap ekosistem, tingkat dan
proporsi pendapatan, besar keluarga, kepedulian dan perilaku
masyarakat terhadap ekosistem mangrove.
Monitoring dan evaluasi kelembagaan.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran aspek
kelembagaan pengelolaan ekosistem mangrove, terkait dengan
koordinasi, keterpaduan, sinkronisasi, dan simplifikasi antar lembaga
mengingat sifat pengelolaan ekosistem mangrove yang multisektor,
Pedoman Pengelolaan Ekosistem Mangrove
m
multidisiplin, dan melibatkan berbagai stakeholder. Kegiatan
monitoring dan evaluasi kelembagaan diharapkan dapat menyajikan
gambaran mengenai tingkat kemandirian masyarakat dan tingkat
intervensi pemerintah dalam pengelolaan ekosistem mangrove.
Pelaporan
Laporan disusun untuk menunjukkan kemajuan pelaksanaan
pekerjaan. Seluruh tahapan pelaksanaan kegiatan disusun dalam
laporan akhir, yang isinya meliputi: pendahuluan, kondisi umum lokasi,
kerangka berpikir, metode pelaksanaan, hasil pelaksanaan kegiatan,
kesimpulan dan saran. Di sam ping itu laporan kegiatan dilampiri bukti-
bukti pelaksanaan kegiatan. Laporan ini sebaiknya disebarkan kepada
seluruh lapisan masyarakat, kelembagaan, LSM, dan kalangan
akademisi yang memiliki kepentingan terhadap pemanfaatan hutan
mangrove.

5.2. Pemanfaatan
Pemanfaatan ekosistem mangrove harus direncanakan dengan baik. Jika
ingin mengkonversi peruntukan lahannya harus dipertimbangkan
benar dampak yang akan ditimbulkan bagi kelestarian ekosistem
mangrove. Berikut akan dipaparkan beberapa contoh pengelolaan
pemanfatan hutan mangrove untuk berbagai keperluan.
5.2.1. Perikanan
Kegiatan perikanan baik perikanan tangkap maupun budidaya yang
berhubungan dengan ekosistem mangrove sangat penting dalam
menyediakan sumber protein dan sumber mata pencaharian/
Opendapatan bagi masyarakat di pesisir mulai dari nelayan miskin,
pembudidaya ikan, sampai dengan perusahaan perikanan yang
bergerak di bidang pengolahan hasil perikanan.
Ekosistem mangrove yang mengalami kerusakan akan berpengaruh
pada turunnya stok perikanan, ketersediaan benih alami, turunnya
kualitas air laut yang akan digunakan sebagai media budidaya tambak
dan keramba, juga pada turunnya hasil tangkapan nelayan setempat.
Hal tersebut secara langsung akan berpengaruh pada keadaan ekonomi
masyarakat pesisir yang sebagian besar menggantungkan hidupnya
pad a kegiatan perikanan.
Bag1an i - PedomanPengelolaan
m
Selain itu berkaitan dengan masalah kerusakan ekosistem magrove, satu
hal yang harus diketahui dan ditindaklanjuti adalah kurangnya
penegakan peraturan kegiatan perikanan dalam hal perlindungan
kawasan-kawasan asuhan yang menyebabkan peningkatan laju
kerusakan ekosistem mangrove khususnya dan bahkan kepunahan
sumberdaya perikanan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
pengelolaan ekosistem mangrove sangat penting dan tidak dapat
diabaikan dalam hubungannya dengan kegiatan perikanan masyarakat
pesisir. Beberapa tahap dalam pengelolaan ekosistem mangrove yang
berkaitan dengan perikanan adalah sebagai berikut:
a. Prinsip-prinsip dasar
Tujuan utama pengelolaan ekosistem mangrove sebagai kawasan
penunjang kegiatan perikanan tangkap dan budidaya adalah
pelestarian ekosistem mangrove sebagai daerah asuhan (nursery
ground); daerah mencari makan (feeding grounds); dan daerah pemijahan
(spawning grounds) berbagai jenis ikan, udang, dan biota lainnya baik
perikanan budidaya maupun perikanan tangkap. Tujuan ini dicapai
melalui prinsip:
• keberadaan ekosistem mangrove sangat menunjang keberadaan
perikanan budidaya dan perikanan tangkap.
• kerusakan ekosistem mangrove akan menyebabkan menurunnya
hasil dari perikanan budidaya dan perikanan tangkap.
• pengelolaan ekosistem mangrove berorientasi pada kelestarian
fungsi lingkungan ekosistem mangrove dan nilai-nilai ekologi untuk
mendukung perikanan budidaya dan perikanan tangkap.
• kegiatan konversi lahan harus mempertimbangkan luasan mangrove
yang tersedia.
• perlunya penegakan peraturan/hukum untuk melindungi
keberlangsungan dari kelestarian ekosistem mangrove.
b. Perencanaan dan persia pan kegiatan
• Identifikasi kawasan mangrove apakah masih dalam kondisi baik
ataukah sudah mengalami kerusakan
• Identifikasi kawasan mangrove yang memiliki fungsi-fungsi
mendukung pemijahan dan perikanan. Penentuan bisa dilakukan
PedomanPengelolaanEkosistem Mangrove
m
berdasarkan pada data-data sekunder maupun hasil penelitian
sebelumnya, data statistik perikanan, dan lain sebagainya;
• Identifikasikan kegiatan-kegiatan perikanan yang ada di lokasi baik
budidaya maupun penangkapan serta kegiatan-kegiatan lain yang
mempengaruhinya seperti pertambangan, perindustrian;
c. Pelaksanaan kegiatan
• Apabila ekosistem mangrove di kawasan tersebut sudah mengalami
kerusakan dapat dilakukan kegiatan rehabilitasi.
• Apabila ekosistem mangrove di kawasan tersebut masih dalam kondisi
baik, perlu dilakukan tindakan perlindungan dan menjaga
kelestariannya, an tara lain dengan (i) memberi batas-batas peruntukan
bagi kegiatan perikanan yang tidak merusak (non destructive), (ii)
adanya akses yang terbuka dan terkendali bagi kegiatan nelayan miskin
seperti pengumpulankayu, kerang, ikan, dan udang.
• Kegiatan perikanan yang merusak dalam ekosistem mangrove harus
dilarang, dan apabila secara sosial ekonomi tidak memungkinkan,
harus diupayakan pengaturannya secara partisipatif dan sukarela.
• Kegiatan-kegiatan ramah lingkungan yang dapat dikembangkan di
kawasan mangrove antara lain (i) penggemukan kepiting, (ii)
budidaya kerang, rum put !aut.
• Pelaksanaan kegiatan budidaya dalam rangka menjaga kelestarian
ekosistem mangrove harus memperhatikan hal-hal (i) Penggunaan
spesies-spesies exotic (berasal dari luar daerah), (ii) Penggunaan
antibiotik dan racun hama yang dapat memberikan dampak negatif
terhadap pertumbuhan mangrove, (iii) Tambak-tambak yang
terbengkelai hendaknya direhabilitasi menjadi kawasan mangrove
dengan cara memperbaiki sistim hidrology (untuk menciptakan
penggenangan pasang surut), dan penanaman kembali mangrove.
• Kawasan ekosistem mangrove yang harus disisakan untuk
mendukung kegiatan perikanan dapat dikonversi secara sangat hati-
hati dengan perhitungan yang akan dijelaskan pada sub bab 5.3.
Beberapa model pengelolaan ekosistem mangrove berkaitan dengan
kegiatan perikanan antara lain (i) Wanamina/tumpangsari yang lebih
dikenal dengan silvofishery dan (ii) Pastural yaitu penggabungan antara
mangrove dan ternak.
Bag1ani-PedomanPengelolaan
m
5.2.2. Perlindungan pesisir
Upaya perlindungan terhadap garis pantai umumnya dilakukan untuk
melindungi berbagai bentuk penggunaan lahan seperti permukiman,
daerah industri, daerah budidaya pertanian maupun perikanan, daerah
perdagangan dan sebagainya yang berada didaerah pantai dari ancaman
erosi. Mangrove mempunyai akar yang spesifik, kuat, dan rapat
sehingga sangat bermanfaat untuk menahan arus dan gelombang. Jika
mangrove ditanam dalam jarak yang relatif dekat maka kumpulan akar
terse but akan sangat menghambat arus yang lew at.
Untuk perlindungan erosi, dalam pelaksanaannya perlu digabungkan
denganpembuatan alat pemecah ombak sehingga mangrove yang baru
ditanam tidak rusak oleh hempasan ombak. Dengan pendekatan
kombinasi tersebut di atas, maka di satu sisi pantai terlindungi dari erosi
dan disisi lain juga terjadi pembangunan pantai kembali dari proses
sedimentasi yang terjadi di sekitar tanaman mangrove. Namun
demikian, mengingat lokasi yang mengalami erosi biasanya mempunyai
arus dan gelombang yang relatif besar, maka diperlukan perangkat
tambahan berupa alat pemecah ombak (APO) untuk memastikan bahwa
tanaman yang baru ditanam tidak tercabut oleh ombak. Biasanya APO
dibuat dari tiang pancang bambu/ kayu. Struktur bambu merupakan
struktur bangunan sementara. Dengan sifat yang sementara tersebut,
begitu APO di rencanakan harus ada tindakan lanjutan untuk
mengantisipasi rusaknya APO pad a waktu de kat.
Sebagai pelindung pantai dari pencemaran, mangrove dapat berfungsi
menyaring dan mengendapkan polutan. Prinsip dasarnya adalah sistem
perakaran mangrove yang dapat berfungsi sebagai penyaring alami dan
pengendap materi polutan yang masuk a tau melewati daerah mangrove,
sama halnya dengan kemampuan tumbuhan mangrove untuk
mengendapkan sedimen. Selain itu beberapa jenis tumbuhan mangrove
dapat berfungsi juga mengabsorbsi materi polutan yang dikenal dengan
sistem Phytoremediasi. Namun demikian, keberadaan polutan akan
dapat mengganggu keseimbangan ekosistem yang ada. Oleh karena itu
perlu pengaturan secara hati-hati penggunaan lahan yang akan
digunakan untuk pengendapan polutan ini. Sangat disarankan untuk
dilakukan studi Amdal guna melihat seberapa besar pengaruh polutan
PedomanPengelolaanEkosistemMangrove
m
terhadap kelestarian ekosistem mangrove, kondisi sosial dan ekonomi
masyarakat sekitar ekosistem mangrove.
Proses perencanaan dan persiapan program harus melibatkan seluruh
stakeholder guna menyusun konsep rencana pengelolaan. Partisipasi
masyarakat juga dibutuhkan dalam pelaksanaan program sampai
dengan pemantauan dan evaluasi.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pengelolaan ekosistem
mangrove untuk tujuan perlindungn pesisir an tara lain adalah:
a. Prinsip dasar
• Semua pihak harus memahami bahwa rusaknya ekosistem mangrove
menyebabkan pantai tidak terlindung dari serangan gelombang
sehingga akan menimbulkan pantai tererosi oleh gelombang laut.
• Jika ekosistem mangrove telah rusak dan erosi pantai terjadi maka
perlu waktu yang cukup lama untuk merehabilitasi pantai terse but.
• Cara yang paling efektif untuk menanggulangi abrasi yang terjadi
adalah dengan dilakukannya penanaman mangrove.
b. Perencanaan dan persia pan
• Apabila kondisi pantai telah tererosi maka segera disiapkan
pembangunan pemecah gel ombang/APO. Selain itu penanaman
mangrove harus juga dilakukan.
• Pembangunan APO untuk melindungi pantai adalah bersifat
sementara, namun dalam jangka panjang peran yang sesungguhnya
adalah dari tan am an mangrove mud a yang ditanam.
• Penanaman mangrove dapat dilakukan secara langsung melalui
propagul a tau dengan disemaikan terlebih dahulu.
• Cara penanaman dapat menggunakan berbagai macam sistem yaitu
sistem berjajar, sistem wanamina (sylvofishery), penanaman bibit
dengan bantu an batang bam bu.
• Tanaman mangrove harus tetap dipantau terus dari mulai proses
penanaman, perawatan, sampai evaluasi.
c. Pelaksanaan kegiatan
• Perancangan konstruksi APO yang akan dibangun. Dan pemilihan
lokasi yang tepat bagi pembangunanAPO.

Bagiani-PedomanPengelolaan
m
• Pembuatan APO sebaiknya dilakukan secara bergotong royong
dengan dana yang berasal dari swadaya masyarakat desa (kolektif).
• Setelah proses pembangunan APO selesai, segera dilanjutkan dengan
penanaman mangrove dibelakang APO. Penanaman dapat dilakukan
secara langsung dengan propagul maupun tanaman hasil dari
persemaian.
• Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa APO hanyalah
bersifat sementara, namun yang memiliki peran utama untuk
memperbaiki pantai dari erosi adalah tanaman mangrove yang telah
ditanam.
5.2.3. Pariwisata
Pariwisata merupakan salah satu sektor ekonomi yang tumbuh secara
cepat dan pesat, dan ekosistem mangrove tidak terlepas dari potensi ini.
Habitat yang unik dan keanekaragaman hayatinya merupakan daya
tarik sekaligus peluang bagi kegiatan wisata maupun pendidikan.
Namun demikian, kegiatan ini hanya dapat dilakukan pada kawasan
mangrove yang mempunyai kondisi baik dan dengan kerapatan yang
tinggi. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pengelolaan ekosistem
mangrove untuk tujuan pariwisata dan pendidikan an tara lain adalah:
a. Prinsip pelaksanaan kegiatan
• Semua pihak harus memahami bahwa potensi pengembangan
pariwisata juga menyimpan adanya peluang kerusakan bagi
ekosistem mangrove apabila kegiatan tidak diatur dan direncanakan
dengan baik.
• Pengembangan pariwisata memerlukan upaya identifikasi peluang-
peluang pariwisata dengan melibatkan pengujian pola-pola
pariwisata mangrove pada tingkat lokal, Kabupaten/Kota, Propinsi,
Nasional bahkan Regional termasuk kesepakatan-kesepakatan
jangka pendek dan panjang dalam Pembangunan Pariwisata
Berkelanjutan terhadap kemungkinan pengembangan wisata yang
berkaitan dengan ekosistem mangrove.
• Pengembangan pariwisata ekosistem mangrove harus sejalan dengan
upaya pelestariannya sehingga keduanya bisa berkelanjutan .
Pengembangan ini harus mampu melindungi dan melestarikan
PedomanPengelolaanEkosistem Mangrove
m
lingkungan alam, keanekaragaman hayati, budaya, industri/
kerajinan rakyat dan mampu meningkatkan kondisi sosial ekonomi
masyarakat sekitarnya. Untuk itu, sebagian pemasukan dari kegiatan
pariwisata tersebut harus juga dikembalikan untuk upaya
pelestariannya.
• Pengembangan pariwisata harus sesuai dengan daya dukung
lingkungan (carrying capacity) yang dapat diketahui secara fisik,
lingkungan dan sosial serta daya tampung ekosistem. Penentuan
daya dukung ini perlu pula dikaitkan dengan akomodasi, pelayanan,
sarana rekreasi yang dibangun di setiap tern pat tujuan wisata.
b. Perencanaan dan persia pan
• Menentukan lokasi yang layak untuk pengembangan kegiatan
pariwisata mangrove. Faktor-faktor yang dapat dijadikan dasar
penilaian antara lain (i) kerapatan pohon, (ii) keragaman jenis, (iii)
fauna yang hid up di ekosistem mangrove seperti burung, reptil, (iv)
kemudahan akses.
• Mengidentifikasi dan mengantisipasi dinamika ekosistem dalam
kawasan pariwisata . Tipologi dan perubahan ekosistem merupakan
bahan pertimbangan dalam menentukan bentuk pengelolaan
pembangunan wisata ekosistem mangrove.
• Menentukan areal pemanfaatan pada kawasan dan sekitar kawasan
mangrove yang berpotensi tinggi untuk dimanfaatkan serta
dikembangkan bagi kepentingan wisata, perikanan, perdagangan
dan kepentingan lainnya.
• Desain fisik keteknikan pembangunan kawasan wisata mangrove
berdasarkan kemampuan finansiallokal, nasional ataupun regional.
• Untuk lokasi-lokasi tempat mangrove mengalami kerusakan segera
dilakukan rehabilitasi.
• Untuk memudahkan pengunjung perlu disediakan tempat informasi,
fasilitas sanitasi, jalur perjalanan, pos pengamatan fauna, menara
pengawasa/pengintai, dan lain-lain.
c. Pelaksanaan kegiatan
• Untuk meminimalkan dampak aktivitas wisata, maka kegiatan
pengunjung perlu dibatasi pada jalur/papan jalan, jalur perahu a tau
atraksi yangjelas.
Bag1an I - Pedoman Penge1o1aan
m
• Pemanfaatan kawasan mangrove bagi pengembangan pariwisata
memerlukan pembangunan sistem informasi pariwisata yang
bertujuan mengevaluasi dan memantau perkembangan pariwisata
agar perkembangannya tidak melebihi daya d ukung.
• Pembangunan sarana dan prasarana wisata sekaligus penyediaan
tempat untuk menyajikan seluruh informasi tentang ekosistem
mangrove di lokasi seperti peta, foto, penjelasan spesies, sejarah
pengelolaan, budaya setempat dan lain-lain.
• Pengelolaan kegiatan harus melibatkan masyarakat setempat
termasuk kesempatan bagi masyarakat untuk mendapatkan
pelatihan dan manfaat langsung dari kegiatan pariwisata seperti
penyediaan souvenir, pemandu wisata, pelestarian mangrove, dan
lain-lain.

5.3. Konversi
Berdasarkan fungsinya, ekosistem mangrove seyogyanya semaksimal
mungkin untuk tetap dipertahankan keberadaannya. Namun demikian
pembangunan ekonomi dan pertumbuhan penduduk menuntut adanya
konversi sebagian lahan ekosistem mangrove untuk keperluan lain.
Umurnnya lahan hasil konversi dimanfaatkan untuk penggunaan lahan
permukiman, industri, pertanian, perkebunan, perikanan, pelabuhan
(udara dan !aut), dan sebagainya. Konversi ekosistem mangrove
dimungkinkan dan upaya konversi harus memperhatikan status
kawasan mangrove, karakteristik biogeofisik wilayah yang didasarkan
pada analisis dampak lingkungan dan audit lingkungan serta rencana
pengelolaan lingkungan yang transparan dan komprehensif.
Keputusan konversi ekosistem mangrove ke arah penggunaan lain
harus mempertimbangkan aspek ekologi dan aspek sosial ekonomi
masyarakat. Aspek ekologi mencakup integritas ekosistem, daya
dukung, karakteristik alami, dan sebagainya. Sedang aspek sosial
ekonomi masyarakat meliputi tingkat ketergantungan masyarakat
terhadap ekosistem mangrove, tingkat pendapatan, mata pencaharian,
dan sebagainya. Disamping itu, upaya konversi ekosistem mangrove
harus menetapkan rencana perimbangan alokasi kawasan budidaya dan
lindung/konservasi untuk menjamin terjaganya kualitas lingkungan.

Pedoman Pengelotaan Ekos1stem Mangrove


m
Tab el5.3.
Pri nsip-prinsip da sa r pengelolaan unt uk memutu skan ko n vers i ma ng rove

No. LokasiiTipe Pengelolaan

1. Mangrove yang masih asli • Pelestarian dan konservasi untuk mempertahankan


keseimbangan ekosistem pesisir, mendukung perikanan
berkelanjutan, pariwisata alam, kepentingan ilmiah dan
keanekaragaman hayati.
• Pemanfaatan harus didasarkan pada pertimbangan
lestari (tebang rotasi, tebang pilih, silfo fishery, dll)

2. Mangrove yang berada pada kawasan Harus dipertahankan suatu kawasan tertentu untuk
yang rawan oleh kejadian bencana di perlindungan pantai
pesisir seperti badai, erosi, dan banjir

3. Mangrove yang berfungsi sebagai Harus dipertahankan dari kegiatan yang sifatnya konversi
habitat perikanan atau dekat kawasan dan perusakan dalam rangka mempertahankan fungsi dan
penangkapan perannya dalam menjaga keberlanjutan perikanan pesisir

4. Kawasan PermukimaniPerkotaanl Harus dipertahankan untuk perlindungan pantai,


Pelabuhanllndustri permukiman, pengendali pencemaran dan intrusi air laut,
pariwisata, dan pendidikan

5. Pulau-Pulau Kecil Ekosistem mangrove di pulau-pulau kecil harus


dipertahankan dan tidak diijinkan untuk dikonversi karena
fungsinya sebagai ekosistem utama suatu pulau kecil

6. Estuaria dan muara sungai Harus ada kawasan di mulut estuaria yang dipertahankan
sebagai areal mangrove untuk keseimbangan ekologi di
estuaria

Kemudian khu sus mengenai tuju an konversi lahan ekosistem mangrove


untuk keperluan perikanan budidaya (tambak) terd apat acuan umum
konversi seperti yang di sajikan pada Tabel5.4.

Tabel 5.4.
Konversi kebutuhan areal mangrovedengan Juasan Ia han budidaya perikanan

Keperluan Luasan Mangrove Yang Diperlukan

input nutrien, kawasan asuhan, sumber pasokan (35·190) x luas permukaan kawasan budidaya
air, dan netralisasi limbah bagi kegiatan budidaya

Produksi larva udang untuk stok budidaya tambak 160 x luas tambak
Pasokan pakan alami tambak > 4,2 M' per M' luasan tambak
Penyerapan limbah pertambakan 2 22 M' pe.r M' luasan tambak
- - ---------'
Sumber: {Larsson et a/., 1994; Kautsky etel 19971

Bag1ani-PedomanPengelolaan
m
·5.4. Pelestarian Keanekaragaman Hayati
Pengelolaan ekosistem mangrove dengan maksud utama pelestarian
keanekaragaman hayati terutama ditujukan untuk ekosistem mangrove
yang masih asli, belum terusik oleh aktivitas manusia maupun faktor-
faktor alam lainnya. Pengelolaan ditujukan untuk mempertahankan
agar ekosistem mangrove yang masih asli dan baik tetap terjaga
kelestariannya. Dalam konteks pengelolaan ini kegiatan rehabilitasi
tidak harus dilaksanakan karena sesuai dengan kondisi ekosistem yang
ada maka regenerasi secara alami (oleh tanaman induk) biasanya
berjalan baik.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk pengelolaan ekosistem
mangrove dalam rangka pelestarian keanekaragaman hayati adalah:
• Pada tahap ini lakukan perencanaan sesuai dengan ruang lingkup
pengelolaannya. Dalam perencanaan ini juga perlu dikompilasikan
data-data yang sudah ada terkait dengan ekosistem mangrove seperti
luas, status lahan, hasil penelitian pendukung, perikanan, pariwisata
di lokasi, dan rencana tata ruang dan wilayah;
• Sesuai data-data yang ada tentukan berapa luasan mangrove yang
harus dipertahankan di lokasi tersebut untuk menjaga kesuburan
perairan, kegiatan ekonomi, dan kualitas ekosistem pesisir;
• Tentukan kegiatan-kegiatan pemanfaatan baik langsung maupun
tidak langsung yang dapat dilakukan, antara lain (i) pariwisata, (ii)
penelitian dan pendidikan;
• Lakukan secara rutin monitoring kondisi ekosistem mangrove, bila
terdapat kerusakan segera lakukan rehabilitasi khust.isnya pada
lokasi yang kurang memiliki kerapatan pohon induk yang cukup;
• Lakukan penyemaian untuk keperluan rehabilitasi maupun
penyediaan benih untuk lokasi lain di sekitarnya;
• Perlu disusun peraturan daerah dalam pengelolaan ekosistem
mangrove dalam rangka pemanfaatan yang berkelanjutan.
5.5. Rehabilitasi
Kegiatan rehabilitasi dilakukan untuk memulihkan kondisi ekosistem
mangrove yang telah rusak agar ekosistem mangrove dapat
menjalankan kembali fungsinya dengan baik. Upaya rehabilitasi harus
Pedoman Pengelolaan Ekos1stem Mangrove
m
melibatkan seluruh lapisan masyarakat yang berhubungan dengan
kawasan mangrove. Rehabilitasi kawasan mangrove dilakukan sesuai
dengan manfaat dan fungsi yang seharusnya berkembang, serta aspirasi
masyarakat.
Rencana rehabilitasi disusun dengan mempertimbangkan zonasi
kawasan, manfaat dan fungsi, serta aspirasi masyarakat. Oleh karena
itu, pendekatan yang dilakukan dalam menyusun rencana rehabilitasi
adalah pendekatan fisik, pendekatan biologi, dan pendekatan sosial.
Pendekatan fisik dimaksudkan sebagai upaya mencegah dan
menanggulangi keru sakan kawasan mangrove dengan membangun
bangunan fisik (alat pemecah ombak, cerucuk, dan sebagainya) untuk
mengurangi energi gelombang laut yang mengenai bibir pantai.
Pendekatan biologi merupakan upaya vegetatif (penanaman pohon
mangrove) untuk memperkuat bibir pantai dan mencegah terjadinya
erosi. Sedangkan pendekatan sosial merupakan upaya meningkatkan
dan menumbuhkembangkan partisipasi masyarakat dalam upaya
mencegah dan menanggulangi kerusakan di kawasan pantai.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk rehabilitasi mangrove
pada kawasan dengan kondisi gelombang cukup besar adalah dengan
menggunakan peralatan tambahan dalam bentuk APO. Langkah-
langkah yang perlu dilakukan adalah (i) lakukan perencanaan dan
persiapan, (ii) lakukan kajian mengenai bathimetri, arus, gelombang,
dan pasang surut di lokasi, (iii) lakukan pembuatan disain APO yang
akan digunakan, dan (iv) pilihlah spesies yang mempunyai perakaran
bagus untuk meredam gelombang.
a. Prinsip-prinsip dasar
• Fokus utama dari kegiatan rehabilitasi daerah pesisir yang terkena
erosi adalah penanaman mangrove.
• Untuk melindungi tanaman mangrove muda dari hantaman
gelombang maka dibuatlah penghalang di depan lokasi
penanaman mangrove, salah satu altern atifnya adalah APO.
b. Perencanaan dan persia pan
Dalam tahap ini dilakukan hal-hal seperti :
• pengumpulan data-data perubahan garis pantai yang ada
Bag1an I - Pedoman Pengelolaan
m
• pengumpulan data-data keberadaan bangunan yang menjorok ke
pantai (ukuran, tahun pembuatan, dan kegunaan)
• rencanakan lokasi dan dis a in APO yang akan dibua t
c. Pelaksanaan kegiatan pembuatan dan pemasangan APO
• Bahan yang terbuat dari bambu/kayu atau bahan-bahan sejenis
yang tersisa secara lokal dengan diameter dan panjang tertentu
sesuai dengan kondisi setempat
• Bahan penyangga dan brace anyaman bambui kayu dengan
diameter (0) ± 0,15 m panjang 3,5 m sebanyak 70 buah untuk satu
APO. Jika akan dibuat APO 6 buah, dibu tuhkan bambu 420 buah.
• Bambu dengan diameter kurang lebih 0,08 m panjang 5 m untuk
brace dan penyangga sebanyak 11 buah untuk satu APO, dan untuk
enam buah AJ>O diperlukan 66 buah.
• Anyaman bambu atau sering disebut "sesek", yang dipasang
dibawah muka air pasang atau 0,75- 1 m dari elevasi puncak APO.
Sesek ini diletakkan di depan bambu APO dengan mengikatnya
menggunakan serabut sehingga menjadi satu kesatuan dengan
sistem APO. Kebutuhan sesek ini sekitar 20m 2 untuk tiap APO, jika
2
jumlahAP06 buah makasesek yang dibutuhkanseluas 120m •
• Tali serabut sebagai pengikat antar bambu dan pengikat sesek
dengan bambu, sebanyak 115m
Lakukan pemasangan APO sesuai lokasi yang ditetapkan. Jika
digunakan melindungi pantai, untuk membentuk tombolo maka APO
dipasang sejajar pantai. Sketsa pemasangan APO sebagai berikut:

' Gelombang

APO I
~
Gambar5.2 .
Pemasanga n APO
Pantai untuk lokasi baru
keg iatan rehabilitas i

PedomanPengelolaanEkos1stemMangrove
m
Pantai yang telah ditumbuhi bakau dan sudah kuat menahan
gelombang sendiri akan dapat berkembang. Perkembangan bakau
akan semakin cepat jika dibantu dengan APO. Untuk itulah maka
APO dikembangkan bersama-sama dengan pertumbuhan bakau
dengan tata letak misalnya sebagai berikut:

~ ~G~ APO Tahap 3


~ ~ ~
Gambar 5.3
~~~~ Pemasangan
APOsecara
~ ~ ~ POTahapl bertahap
di sesuaikan
c:x:xxx:xJ ~ crr:xx:a:xxxxo tahapan
rehabilita si.
Bakau Tahap 1

Gambar5.4
Kondisi APO
saa t pasa ng
air Jaut di
daerah pesisir
Lampung
Timur.

d. Penanaman mangrove
Setelah konstruksi APO dibuat sedemikian rupa sesuai dengan
desain maka tahap selanjutnya adalah penanaman mangrove di
belakang APO, mangrove yang ditanam adalah hasil persemaian
dan sebaiknya masih menggunakan ajir. Perlu diperhatikan
bahwa upaya rehabilitasi akan mengalami sia-sia apabila kegiatan
tersebut hanya berhenti setelah dilakukan penanaman dan
pemasangan alat pemecah ombak (APO)/ cerucuk. Karena itu
penguatan dan pengembangan kelembagaan konservasi kawasan
mangrove perlu dikembangkan dengan tetap melibatkan semua
Bag1an 1- Pedoman Pengelolaan
m
pihak. Disamping itu, perlu juga dikaji kemungkinan men yiapkan
aturan main pengelolaan kawasan mangrove, agar ada pegangan dalam
upaya pemanfaatan, perlindungan, dan pelestarian kawasan mangrove
yang akan dilakukan oleh semua pihak.
Tahap kegiatan penyemaian dan penanaman mangrove:
1. Pembibitan
Urutan tahapan pembibitan adalah penyiapan bibit, pemilihan bibit
mangrove, dan persemaian bibit mangrove.
Penyiapan bib it
Permasalahan yang harus diperhatikan dalam penyiapan bibit
mangrove yaitu bibit diusahakan berasal dari lokasi setempat atau
lokasi terdekat, bibit mangrove disesuaikan dengan kondisi tanahnya,
dan persemaian dilakukan di lokasi tanam w1tuk penyesuaian dengan
lingkungan setempat.
Pemilihan bib it mangrove
Penanaman mangrove dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
menanam secara langsung buahnya dan melalui persemaian bibit.
Penanaman secara langsung dengan propagul tingkat keberhasilan
tumbuhnya rendah (sekitar 20-30% ), sedangkan jika melalui persemaian
didapat keberhasilan tumbuhnya relatif tinggi (sekitar 60-80%). Dan
untuk memperoleh bibit mangrove yang baik, pengumpulan buah
(propagul) dapat dilakukan antara bulan September sampai dengan
bulan Maret, dengan karakteristik sebagai berikut:
Bakau (Rhizophora spp.)
• Buah sebaiknya dipilih dari pohon mangrove yang berusia diatas 10
tahun.
• Buah yang baik dicirikan oleh hampir lepasnya bongkol buah dari
batang buah.
• Buah yang sudah matang dari Bakau Besar (Rhizopora mucronata)
dicirikan oleh warna hijau tua atau kecoklatan dengan kotiledon
(cincin) berwarna kuning; buah Bakau Kecil (Rhrizophora apiculata)
matang ditandai dengan warna buah hijau kecoklatan dan warna
kotiledon merah.
Pedoman Pengelolaan Ekos1stem Mangrove
m
Tancang (Bruguiera spp.)
• Buah dipilih dari pohon yang berumur an tara 5 10 tahun.
• Buahnya dipilih yang sudah matang, dicirikan oleh hampir lepasnya
batang buah dari bongkolnya.
Api-api (Avicennia spp.), Gogem (Sonneratia spp.) dan Bolicella
(Xylocarpus granatum)
• Buah sebaiknya diambil yang sudah matang, dicirikan oleh warna
kecoklatan, agak keras dan bebas dari hama pengerek.
• Buah lebih baik diambil yang sudah jatuh dari pohon.
Persemaian bib it mangrove
Permasalahan yang perlu diperhatikan dalam kegiatan persemaian bibit
mangrove adalah temp at persemaian/ penyapihan dan cara pembibitan.
Tempat persemaian
Kegiatan ini meliputi pemilihan tempat dan pembuatan bedeng
persemaian. Dalam pemilihan tempat harus memperhatikan lahan yang
lapang dan datar; dekat dengan lokasi tanam; dan terendam saat air
pasang, dengan frekuensi lebih kurang 20 40 kali/bulan, sehingga tidak
memerlukan penyiraman.
Kemudian untuk pembuatan bedeng harus memperhatikan ukuran
disesuaikan dengan kebutuhan, umumnya berukuran 1 x 5 meter atau 1 x
10 meter dengan tinggi 1 meter; bedeng diberi naungan ringan dari daun
nipah a tau sejenis, media bedengan berasal dari tanah lumpur sekitamya;
dan bed eng berukuran 1 x 5 meter dapat menampung bibit dalam kantong
plastik (10 x 50 em) atau dalam botol air mineral bekas (500 ml) sebanyak
1200 unit, a tau sebanyak 2250 unit untuk bedeng berukuran 1 x 10 meter.
Cara pembibitan
Buah disemaikan langsung ke kantong-kantong plastik atau ke dalam
botol air mineral bekas yang sudah berisi media tanah. Sebelum diisi
tanah, bagian bawah kantong plastik a tau botol air mineral bekas diberi
lubang agar air yang berlebihan dapat keluar.
Khusus untuk buah Bakau (Rhizophora spp.) dan Tancang (Bruguiera
spp.) sebelum disemaikan sebaiknya disimpan dulu di tempat yang

Bagiani - PedomanPengelolaan
m
teduh dan ditutupi dengan karung basah selama 5-7 hari. Ini bermanfaat
untuk menghindari batang bibit dimakan oleh serangga atau ketam
pada saat ditanam nanti. Daun muncul setelah 20 hari, setelah berumur
2-3 bulan bib it sudah bisa di tan am di lokasi.
2. Penanaman mangrove
Kegiatan penanaman mangrove mencakup penentuan lokasi penanaman,
pemilihan jenis pada setiap tapak, persia pan lahan, dan cara penanaman.
Lokasi penanaman mangrove biasanya dilakukan di tepi pantai yang
mengandung substrat lumpur, tepian sungai yang masih terpengaruh air
!aut, dan tanggul saluran air tambak. Pemilihan jenis pada setiap tapak
perlu dilakukan agar bibit dapat tumbuh dengan baik. Seperti Bakau
(Rhizophora spp.) dapat tumbuh dengan baik pada substrat (tanah) yang
berlumpur, dan dapat mentoleransi tanah !urn pur-berpasir, di pantai yang
agak berombak dengan frekuensi genangan 20-40 kali/bulan. Bakau
merah (Rhizophora stylosa) dapat ditanam pada lokasi bersubstrat (tanah)
pasir berkoral. Api-api (Avicennia marina) lebih cocok ditanam pada
substrat (tanah) pasir berlumpur terutama di bagian terdepan pantai,
dengan frekuensi genangan 30-40 kali/bulan. Gogem/ Prapat (Sonneratin
spp.) dapat tumbuh baik di lokasi bersubstrat lumpur atau lumpur
berpasir dari pinggir pantai ke arah darat, dengan frekuensi genangan 30-
40 kali/bulan. Tancang (Bruguiera gymnorrhiza) dapat tumbuh dengan baik
pada substrat (tanah) yang lebih keras yang terletak ke arah darat dari garis
pantai dengan frekuensi genangan 30-40 kali/bu Ian.
Persiapan lahan yang dapat dilakukan adalah dengan membuat jalur
tanaman searah garis pantai dan bersihkan jalur tanaman sekitar 1 m
dari tumbuhan liar, dan pasang ajir-ajir dengan menggunakan patok-
patok dari kayu/bambu yang berdiameter 10 em secara tegak sedalam
0,5 m dengan jarak disesuaikan dengan jarak tanam. Pemasangan ajir ini
bertujuan untuk mempermudah mengetahui tempat bibit akan
ditanam, tanda adanya tanaman baru, dan menyeragamkan jarak bibit
yang satu dengan yang lai1mya.
Penanaman mangrove dapat dilakukan melalui 2 sistem yaitu sistem
banjar harian dan sistem tumpangsari atau yang lebih dikenal dengan
sistem wanamina (sylvofishery). Pada sistem banjar harian penanaman
dapat dilakukan dengan menggunakan benih a tau menggunakan bibit.
Pedoman Pengelolaan Ekoststem Mangrove
m
Pada sistem wanamina (sylvofishery), prinsip penanaman sama seperti
pada sistem banjar harian. Perbedaannya adalah pada penanaman
mangrove dengan sistem wanamina dibuatkan tambak/kolam dan
saluran air untuk membudidayakan sumberdaya ikan, sehingga
terdapat perpaduan antara tanaman mangrove (wana) dan budidaya
sumberdaya ikan (mina). Secara umum terdapat tiga pola dalam sistem
wanamina (sylvofishery) yaitu wanamina dengan pola empang parit,
wanamina dengan pola empang parit yang disempurnakan, dan
wanamina dengan pola komplangan.
5.6. Hukum Kelembagaan
Pengelolaan ekosistem mangrove yang berbasiskan masyarakat
memerlukan suatu sarana dan kewenangan agar masyarakat lokal dan
pemerintah desa dapat mengambil tanggung jawab yang lebih besar
dalam pengelolaan sumberdaya lokal. Selain itu, masyarakat lokal
membutuhkan dukungan dari tingkat pemerintah yang lebih tinggi juga
diperlukan untuk mendelegasikan kewenangan pengelolaan kepada
masyarakat lokal. Sarana dan dukungan yang diperlukan itu biasanya
berbentuk aturan-aturan daerah yang berfungsi sebagai legitimasi
hukum agar pengelolaan dapat dilakukan dengan baik dan mempunyai
kekuatan dalam mengatur seluruh kepentingan. Legitimasi hukum
tersebut dapat berbentuk kebijakan a tau peraturan daerah.
Sebagaimana disebutkan dalam undang-undang dan peraturan daerah,
pemerintah lokal dapat membuat peraturan pengelolaan sumberdaya
ekosistem mangrove. Dari sisi pembuatan produk hukum, suatu
peraturan yang baik harus memiliki 3 landasan yaitu landasan filosofi,
sosiologis, dan yuridis (Karwur et. a!., 2002 dalam Tulungen et. a/. 2003).
5.6.1. Peran pemerintah daerah untuk mengeluarkan Perda dan
menegakkan aturan
Peraturan daerah (Perda) merupakan peraturan perundang-undangan
tingkat daerah yang dibentuk oleh pemerintah daerah atau salah satu
unsurnya yang berwenang membuat peraturan perundangan-
undangan di tingkat tersebut. Menurut undang-undang, pemerintah
daerah memiliki wewenang untuk menyusun dan menetapkan Perda
atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Namun

Bagian 1- Pedoman Pengelolaan


m
demikian, tidak berarti bahwa semua kewenangan membuat Perda
hanya berada pada kepala daerah saja, dan DPRD bertugas memberikan
persetujuan. DPRD pun dapat menyusun rancangan Perda yang
kemudian dibahas dengan kepala daerah untuk ditetapkan menjadi
Peraturan Daerah (Perda).
Adapun contoh proses pembuatan rancangan peraturan daerah
pengelolaan ekosistem mangrove adalah sebagai beriku t:
1. Penyamaan persepsi tentang pentingnya pengelolaan ekosistem
mangrove
2. Kesepakatan perlunya Perda pengelolaan ekosistem mangrove
3. Pembentukan tim pembuat draft (misalnya: di DPRD dengan Panitia
Khusus dan tenaga ahli)
4. Diskusi, lokakarya, seminar, kampanye konsultasi publik tentang isi
Perda
5. Pembuatan draft rancangan peraturan daerah (legnl frnfting)
6. Pembahasan oleh Panitia Khusus (sesuai mekanisme di DPRD)
7. Penetapan Perda (pengesahan rancangan Perda menjadi perda dan
penandatangan Perda dalam rapat Paripurna DPRD)
8. Pencatatan Perda dalam lembaran daerah
9. Sosialisasi dan implementasi Perda
Kemudian, agar suatu peraturan lokal ditaati oleh masyarakat, beberapa
hal yang harus diperhatikan adalah:
• Melibatkan seluas-luasnya per an serta masyarakat secara transparan
• Membahas permasalahan bersama, untuk ditanggulangi bersama
antara stakeholders, dan kepentingan dinikmati oleh semua pihak
(masyarakat, swasta, dan pemerintah)
• Proses penyusunan rancangan Perda (Ranperda), dilaksanakan
secara bersama
• Melibatkan pihak LSM dan swasta dalam membahas substansi
rancangan Perda
• Memberdayakan masyarakat lokal, pemerintah daerah, dan lembaga
legislatif
• Dapat ditaati dan dijadikan model unhil mengimplementasikan
program pemberdayaan masyarakat
Pedoman Pengelolaan Ekos1stem Mangrove
m
Setelah Perda dan peraturan lokal disetujui dan diberlakukan, tahap
selanjutnya adalah proses penegakkan aturan tersebut. Penegakkan
aturan merupakan suatu upaya aktif penjagaan, patroli, penangkapan
pelanggar, sampai pada proses sistem administrasi peradilan.
Penegakkan aturan ini dapat dilakukan oleh pemerintah daerah, aparat
keamanan, lembaga-lembaga lokal, dan kelompok-kelompok
masyarakat.
5.6.2. Kasus mudahnya memberikan perijinan untuk konversi
Penegakkan Perda dan peraturan lokal dimaksudkan untuk menjaga
lingkungan ekosistem mangrove agar tidak dimanfaatkan secara ilegal
dan tetap lestari dalam pemanfaatannya. Kendala yang sering dihadapi
dalam pengelolaan ekosistem mangrove adalah konversi lahan untuk
kepentingan sosial ekonomi yang tidak mengindahkan kelestarian
ekosistem mangrove. Salah satu penyebab dari permasalahan ini adalah
mudahnya memberikan ijin untuk konversi lahan. Berbagai macam hal
yang dapat menyebabkan permasalahan tersebut terjadi, diantaranya
yaitu lemahnya sistem pengawasan birokrasi, adanya oknum aparat
yang bermain dalam pemberian perijinan, dan berbenturnya berbagai
macam kepentingan sehingga menimbulkan potensi pelanggaran
terhadap pemberian ijin konversi .
5.6.3. Perbaikan sistem perijinan
Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah mudahnya pemberian
ijin konversi adalah dengan memperbaiki sistem perijinan itu sendiri.
Untuk itu diperlukan kemauan yang sungguh-sungguh dari aparat
pemerintah daerah dan pengawasan yang ketat. Diharapkan dengan
sistem perij in an yang berjalan dengan baik, maka tingkat konversi lahan
yang menyebabkan berkurangnya lahan ekosistem mangrove lestari
dapat ditekan.
5.7. Mekanisme Koordinasi
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000
tentang kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, maka
kewenangan Pemerintah (pusat) dalam rehabilitasi hutan dan lahan
(termasuk hutan mangrove) hanya terbatas menetapkan pola umum
Bagiani - PedomanPengelolaan
m
rehabilitasi, penyusunan rencana makro, penetapan kriteria, standar,
norma dan pedoman, bimbingan teknis dan kelembagaan, serta
pengawasan dan pengendalian. Sedangkan penyelenggaraan
rehabilitasi dilakukan oleh pemerintah daerah, terutama Pemerintah
Kabupaten/Kota.
Dalam program konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove,
pemerintah lebih berperan sebagai mediator dan fasilitator
(mengalokasikan dana melalui mekanisme yang ditetapkan), semen tara
masyarakat sebagai pelaksana yang mampu mengambil inisiatif. Inisiasi
kegiatan dalam pengelolaan ekosistem mangrove dapat berasal dari
Pemerintah, Pemerintah Daerah, swasta, dan masyarakat. Dengan
banyaknya pelaku kegiatan ini maka perlu ada koordinasi dalam tahap
persiapan, pelaksanaan, dan monitoring evaluasi. Koordinasi
diharapkan dapat meningkatkan efektivitas pelaksanaan kegiatan dan
mengurangi tingkat kegagalannya.
a. Tahap persia pan
Dalam tahap ini pelaksana mengkoordinasikan usulan kegiatannya
dengan instansi terkait baik di pusat maupun daerah untuk (i)
mendapatkan masukan dan saran kegiatan, (ii) memperoleh data-data
awallokasi, (iii) mengoptimalkan pelaksanaan kegiatan apabila temyata
instansi lain juga mempunyai kegiatan yang sama baik yang sudah,
sedang, maupun dalam perencanaan.
Pembahasan kegiatan juga perlu dilakukan dengan masyarakat di lokasi
kegiatan agar: (i) lokasi yang ditetapkan memang sesuai dengan kondisi
sesungguhnya, (ii) masyarakat terlibat langsung dalam kegiatan.
b. Tahap pelaksanaan
Dalam tahap ini pelaksana mengkoordinasikan pelaksanaan
kegiatannya dengan instansi terkait di daerah dan masyarakat di lokasi
untuk (i) fasilitasi kegiatan, (ii) sosialisasi dan penyuluhan yang perlu
dilakukan, (iii) pembentukan kelompok binaan.
c. Tahap monitoring dan evaluasi
Dalam pelaksanaan monitoring perlu dilakukan koordinasi dengan
dinas-dinas teknis di daerah dan masyarakat agar mengetahui hasil-
hasil kegiatan yang telah dilakukan.
Pedoman Pengelolaan Ekosistem Mangrove
m
5.8. Pusat Infonnasi sebagai Pusat Publikasi, Dokumentasi, dan
Outreach
Pengelolaan ekosistem mangrove membutuhkan juga penyebarluasan
informasi hasil kegiatan yang telah dilakukan berupa publikasi,
dokumentasi dan outreach. Salah satu pusat sarana publikasi,
dokumentasi, dan outreach tersebut adalah Pusat Infonnasi. Pusat
Informasi juga dapat menunjang kegiatan pendidikan lingkungan hid up.
Di dalam Pusat Informasi disediakan data dan informasi yang perlu
mengenai sumberdaya ekosistem mangrove. Informasi dan data ini harus
dikelola baik dan mudah diakses semua pemangku kepentingan.
Pengelolaan pusat informasi dilakukan secara terpadu dengan program
pengelolaan ekosistem mangrove, sehingga pengelolaannya dapat
dilakukan oleh bad an a tau kelompok pengelola yang sama.
Beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam pengelolaan Pusat
Informasi yaitu prasarana, sarana, SDM, sistem kerja, unsur
pembaharuan, dan partisipasi masyarakat. Jelasnya lihat Tabel berikut:

1. Prasarana Bangunan fisik Pusat lnformasi atau ruang yang cukup memadai, strategis
dan mudah dicapai masyarakat

2. Sarana Material, peralatan, dan media informasi tersedia {buku-buku, laporan~aporan,


.../~- hasil·hasil penelitian, poster, brosur, alat peraga, pap en informasi).

3. SDM Kelompok pengelola yang aktif {ada pembagian peran yang jelas)

4. Sistem ke~a Cars pangelolaan yang baik:


1. Pangelolaan informasi metiputi pengadaan informasi, pancatatan
{inventarisasi), pengaturan material, pengolahan/panyajian informasi.
2. Pangalolaan keuangan
3. Pameliharaan sarana·dan prasarana, rneliputi pembersihan rutin, perbaikan
karusakan
4. Pengelolaan kelompok/organisasi

5. Unsur pembaharuan Tambahan informasi yang baru, perbaikan kerusakan dan penarnbahan sarana,
pembaharuan peran, program peningkatan kapasitas, dan ketersedian dana
penunjang
-
6. Partisipasi masyarakat Memanfaatkan pusat informasi, menjaga/ mengalola pusat informasi,
dukungan dana dan tanaga

Tabel5.4.
Syarat pembu atan Pusat Informasi

Bagian I - Pedoman Pengelotaan


Pedoman Pengelolaan Ekosistem Mangrove
----

BAB VI
PELIBATAN MASYARAKAT

Informasi terkait dengan pelibatan masyarakat dalam kegiatan


rehabilitasi, pelestarian, pemanfaatan berkelanjutan relatif jarang
didokumentasikan dengan baik. Kebutuhan sosial masyarakat yang
berada di sekitar ekosistem mangrove harus dipertimbangan secara
cermat dalam perencanaan pengelolaan ekosistem mangrove yang akan
dilakukan. Pengelolaan ekosistem mangrove dengan pelibatan
masyarakat merupakan suatu proses dinamis dan berkelanjutan yang
menyatukan berbagai kepentingan (pemerintah dan masyarakat), ilmu
pengetahuan dan pengelolaan, dan kepentingan sektoral dan
masyarakat umum.
• Suatu proses dinamis dan berkelanjutan yang menyatukan berbagai
kepentingan (pemerintah dan masyarakat), ilmu pengetahuan dan
pengelolaan, dan kepentingan sektoral dan masyarakat umum.
• Dalam menyiapkan rencana terpadu untuk kegiatan pengelolaan
ekosistem mangrove.
• Strategi komprehensif untuk menangani masalah wilayah pesisir dan
Iaut melalui partisipasi aktif dan nyata dari masyarakat pesisir.

Bag1an I - Pedoman Pengelolaan


m
• Berbasis masyarakat adalah prinsip bahwa pengguna sumberdaya
utama (masyarakat) harus menjadi aktor pengelola.
• Untuk seluruh ownership dan kontrol sumberdaya oleh masyarakat
pengguna setempat.
Pelibatan masyarakat diperlukan untuk kepentingan pengelolaan
secara berkelanjutan pada suatu sumberdaya dan pada umumnya
kelompok masyarakat yang berbeda akan berbeda pula dalam
kepentingannya terhadap sumberdaya tersebut. Tidak ada strategi
pengelolaan sumberdaya yang berhasil tanpa mengikut sertakan
kepentingan para pihak. Sehingga strategi yang komprehensif yang
dilakukan untuk menangani isu-isu yang mempengaruhi lingkungan
pesisir melalui partisipasi aktif dan nyata dari masyarakat pesisir
mutlak dilakukan.
Partisipasi adalah kata kunci dalam pengelolaan ekosistem mangrove
berbasis masyarakat. Banyak program dan kegiatan pengelolaan yang
kurang atau tidak berhasil dikarenakan pelaksana program gaga!
melibatkan partisipasi masyarakat sejak awal program. Pelibatan
masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove dapat dilakukan
dalam beberapa hal seperti:
a. Pelestarian mangrove: masyarakat dapat bertindak aktif dalam
memelihara, memonitor, dan mengawasi mangrove dari berbagai
kegiatan pemanfaatan yang merusak. Masyarakat juga dapat
memanfaatkan ekosistem mangrove untuk berbagai keperluan
sehari-hari secara lestari seperti mencari ikan, udang,
kerangkerangan, buah, kayu dan lain-lain.
b. Rehabilitasi: dalam pelaksanaan rehabilitasi masyarakat
berpartisipasi aktif dalam penentuan lokasi, pengumpulan benih,
pengangkutan, penanaman, pemeliharan, dan penjagaan.
c. Pemeliharaan: pemeliharaan mangrove paska penanaman meliputi
pembersihan dari sampah, hama, dan penjarangan.
d. Pemanfaatan: mengingat masyarakat di sekitar ekosistem mangrove
sangat membutuhkan produk-produk dari mangrove maka
pemanfaatan secara lestari harus tetap diupayakan baik pemanfaatan
langsung maupun tak langsung.
m
Tabel6.1. Pelibatan masyarakat dalam setiap tahapan pengelolaan ekosistem mangrove

Tahapan Partisipasi/Peran Masyarakat dalam Pengelolaan Ekoststem Mangrove

Perencenaan • Partiliplli dalem J1111Gumpulan data dlllf den ptlatihen pengumpulen data
• Mqhadlri partamuan daln idantlfiklli dan anahil iau
• Pambtri maaukan tlfhadep "'""""""" dan iau Mrta panantuan prioritll iau
• Btfptrtleiplli dalem panyuaunan dn dinminaal profll dill
• BlfPirtielplll dalem panyuaunen dreft parancenaan

Plllkllnlen e llllplrtillplll daln ~ ,..,...llngkunpn hldup


IWII e llllpertllfplal dallm ptlltlhan l'angelalun 8llldllrtllyt ElcMtan! ......
• Blrplrtlllplal dalanl Pllllbultan t0111111111101111 JIIIIIIIIIHn
e l'anglmbM klputulan dan ptllt~tn~tn tllllm kl;aten ptllt~tn~tn 1W11
• ..,.,....., dallm pananiUin kllampet lndllcMipot '*""'"""
• l'lnpmbl klputulen den pemiiiri llllltlten dlllm rtne1111 JllftlllaiMn llcollltenlllllftiiM
!tllrlfttul iiU, ¥tal .... tujuan pangllolun. ltrlllgi, Qgllten. alltlm menltftll. den ltiUktur
tlllmlllpenl
e I'IIMIIpln den ptlltln kOIIIUIIIII, Hlltllnlt, Jlllbtilcen. den dllenllnlal 111111111 "'""""'"
klplda IIIIIVnkll. Jllllllrintlh lltlmplt. lllnPII tlngUt prl¥lnll

Adoptl progrem/ • Blrpertielplll dllem menantuken leu prioritll, tujuen pangaloi11n, dan kegieten yeng ekan
perntujuen dliekuken, 11rt1 wektu ptlek11n11n
• 8tfpertlelp11l daln niCIIYIWtrlh dtl1 untuk par11tujuan rancena pangalolaan dan panden11n
• Mtmbtrlkan dukungen 1t1u panolekan terhtdl!l pandentan den bentuan t1knl1 dtrl Ptmd1
dalem koneult11l den pr~~anteal rancene pangtlolean
• Mtmblrlken dukungan ltgltlmeal ranc1n1 pangtlolaan meltlul SK Ktptla D111 tanteng
P11111111en Rencena Pangalolean dan Plllllepen Ktlomtlok Pengllola den Palek11n1 Rencene
Pengalolt
• Batpertllipttl dlln pembuetan Rancana Ptmbangunen Tehunan Dill IRPTD) bardalertan
. rtncene pangalolaen yeng dltlll!lktn
• Mencer! dukungan dana dan bentuan llknll mtltlulewadeye mllytrektt, panguetha,
ltmb101 donor lain, LIM, parguruen tlnggl, 11laln dukungen dane darl pemarlntlh.
• Blretmt·llfnl dangen ptnllrlnllh dill dan ktbuplten menyttujuii'IIICIII pangaloltan,
ltrtttOI, den pendanttnnYI
• Blrplrllelplll delern ptluncuren dokumen rencene pangalol11n

lmpllmantalll • ..,.,..... daln '""' untullllllllllltUkln rtnellllllllunln ...


I'Mbanllll e llrpertlllpul dallm raptt untull mnntukan IIIIIOtlltllom!Iolc Jlllllllfoll
• l'lllgiiiiiiiiu,ututlll "" prlarttal klllltan dallm 1'11101111 tlhunln ...
• Penyueunen 1'11101111 klrltlkllfttan
• l'lniMrl tlllldulltenlgll den dena
• ..,.,..... dlllm ......... klllltan
• ..,.,... daln pentuaten llporen dan lllftiiiiiUnilwlbln klulllgen den"""'"'
• ..,.,..., dallm pentuaten llptnn den lllftiiiiiUnilw• klulllgen dan """'"'
• ~ daln priiiOIIIt llporen daln r~~~~tiiiUIIdiM

Ptmtntauan • Blrpartlllplli dllern ptletlhan pamentauen dan evtlulli


den Evlfu111 • Blrtlndat llbtOII pangaw11 kenpeketanlaturen dan ptleporan ptllklln11n tturan dan rencen1
• Blrtlndek llbtOII pamanllll den ptngtvtlulll ptleknneen rencena ktrlltthunan dan dana

DIQion 1- Podomln POOQIIOIIIn


m
Adapun berbagai cara untuk meningkatkan kesadaran dan keterlibatan
aktif masyarakat dalam setiap kegiatan pengelolaan ekosistem
mangrove dapat dilakukan:
a. Sosialisasi; dilakukan di desa lokasi kegiatan untuk menyampaikan
dan menginformasikan maksud dan tujuan dari kegiatan. Dalam
kegiatan ini, masyarakat secara bersama-sama akan menetapkan (i)
lokasi penanaman; (ii) kegiatan dan biaya pemeliharaan pasca
penanaman yang diserahkan kepada masing-masing kelompok; (iii)
masyarakat yang akan terlibat yang berasal dari masyarakat yang
bertempat, dan bekerja sebagai nelayan, penggarap/pemilik tambak
dan yang aktivitasnya berdekatan dengan lokasi mangrove; (iv)
pengumpulan dan pengangkutan benih;
b. Penyuluhan; Dalam kegiatan penyuluhan yang disampaikan adalah
fungsi dan manfaat mangrove baik secara ekologi maupun fungsi jasa
sosial hutan mangrove. Kegiatan ini dilakukan bertujuan untuk
meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai fungsi dan
manfaat mangrove.
c. Pembentukan kelompok binaan; Pembentukan kelompok bertujuan
untuk melibatkan masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi dan
pelatihan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan
dan kesadaran mereka akan pentingnya fungsi ekosistem hutan
mangrove.
d. Pemantauan dan evaluasi; dilakukan dengan maksud untuk
mengetahui perubahan variabel administratif, sosial budaya,
perilaku masyarakat, dan lingkungan.
Karakteristik keberhasilan Pelibatan Masyarakat adalah:
• Keuntungan integrasi pengelolaan diakui oleh pemerintah dan
stakeholders lain.
• Pemerintah, mendukung dan memfasilitasi secara aktif pelibatan
masyarakat setempat dalam pengelolaan.
• Para pihak memberikan perhatian, saling percaya dan berpartisipasi
secara penuh dengan peran yangjelas.
• Terselenggaranya "appropriate sharing" (sumberdaya, informasi,
kedudukan/ kemampuan, keputusan) .

PedomanPengelolaanEkosistemMangrove
m
• Akar permasalahan dimengerti dan disetujui untuk ditindak lanjuti.
• Para pihak memiliki kemampuan yang cukup.
Unsur yang tidak kalah penting dalam pelibatan masyarakat di dalam
program pengelolaan ekosistem mangrove adalah pendamping
masyarakat atau disebut juga fasilitator masyarakat, yang bekerja
langsung dengan masyarakat. Pendamping masyarakat ini dapat dibagi
dalam dua kelompok, pendamping yang berasal dari luar desa dan
pendamping yang berasal dari dalam desa.
Secara umum, pendamping masyarakat yang berasal dari luar desa
memiliki kriteria sebagai seorang yang (i) mampu mengembangkan
kepercayaan, disegani, berkomunikasi, bekerja sama, berinteraksi,
menempatkan diri dan peka terhadap budaya setempat, (ii) memiliki
Jatar belakang pendidikan yang memadai (mengerti aspek lingkungan
dan masyarakat pesisir), (iii) memiliki jiwa kepemimpinan dan
kemampuan mengorganisir pelaku-pelaku pengelolaan ekosistem
mangrove, dan (iv) memiliki kesadaran dan kepekaan dalam
mendorong pelibatan seluruh masyarakat dalam keseluruhan proses
pengelolaan ekosistem mangrove.
Mengingat pentingnya pendamping masyarakat ini, proses pemilihan
orang hingga penempatannya haruslah dipersiapkan dengan baik.
Beberapa tahapan yang dilalui adalah:
• Pemilihan, kegiatan ini dapat dilakukan oleh lembaga dari luar desa
a tau inisiator program melalui proses perekrutan secara terbuka dan
obyektif.
• Orientasi, dilakukan untuk memperkenalkan calon pendamping
masyarakat terhadap program dan kondisi lapangan tempat
pendamping masyarakat bertugas.
• Pelatihan, kegiatan ini memiliki arti penting bagi seorang
pendamping sebagai pembekalan bagi pendamping dalam
menjalankan tugasnya.
Selain pendamping dari luar desa, untuk mendorong keterlibatan
penuh masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrve, diperlukan
adanya pendamping masyarakat dari dalam desa, disebut juga
motivator desa, asisten lapangan, atau community organizer (CO). CO
Bag•an I - Pedoman Pengelolaan
m
merupakan penggerak masyarakat yang berasal dari dalam desa yang
dipilih oleh masyarakat dan pemerintah desa. Pendamping jenis ini
dibutuhkan dengan tujuan menjamin keberlanjutan pendampingan
pada saat pendamping dari luar desa selesai bertugas. Jumlah
pendamping ini disesuaikan dengan luasan pengelolaan ekosistem
mangrove setempat.
Secara umum, kriteria CO ini adalah orang-orang yang mau dan peduli
pada kegiatan-kegiatan kemasyarakatan dan isu-isu di desa, disegani,
dapat diterima di berbagai kalangan dan tingkatan masyarakat, tidak
memiliki konflik besar dalam masyarakat, tidak memihak atau masuk
dalam kelompok-kelompok tertentu. Proses penetapan CO di desa ini
secara umum dapat disebutkan:
• Pengenalan, melalui sosialisasi perlu dan pentingnya program
pengelolaan ekosistem mangrove.
• Perolehan mandat dari masyarakat, yang didapat melalui prosedur
pemilihan dari penguasa setempat, dan pemberitahuan kepada
penanggung jawab program a tau pengelola program.
• Pembekalan, dengan memberikan pelatihan, seperti yang dilakukan
pad a pendamping yang berasal dari luar desa.
Keberadaan CO ini sangat penting karena mereka akan menjadi kader-
kader yang terlatih dalam melakukan program pengelolaan ekosistem
mangrove. Mereka akan menerima banyak pengetahuan dan
keterampilan untuk melakukan pengelolaan ekosistem mangrove yang
akan diteruskan serta diterapkan dalam di masyarakat. Keberadaan
kedua jenis pendamping masyarakat ini menjadi komponen penting
pendukung keberhasilan pengelolaan ekosistem mangrove.
BAB VII
PENUTUP

Pedoman Umum ini


dikeluarkan untuk menjadi
arahan bagi Pemerintah,
Pemerintah Daerah, Swasta
dan masyarakat dalam
mengelola ekosistem
mangrove secara
berkelanjutan. Panduan
lebih lanjut tentang
Pedoman Pemetaan
Ekosistem Mangrove dan
Model Rehabilitasi
Ekosistem Mangrove di
Pantai Utara Jawa dapat
dilihat pada Bagian II dan
Bagian III pada buku ini.

I31Qillni - Podoman PunQulolun


UCAPAN TERIMAKASIH

Saya selaku Direktur Bina Pesisir, Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau
Kecii, Departemen Kelautan dan Perikanan, maupun secara pribadi, dengan ini
mengucapkan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya atas masukan,
tanggapan, saran, kritik yang membangun dalam proses pembahasan dan
konsultasi dalam penyusunan Panduan Pengelolaan Ekosistem Mangrove.
Ucapan terimakasih ini secara khusus ditujukan kepada Yth:

NO. NAMA JABATANIINSTITUSI

I. PUSAT
1. Prof. Dr. lr. Aokhmin Dahuri. MS Menteri Kelautan dan Perikanan
2. Prof. lr. Widi Agoes Pratikto, MSc, PhD Dirjen Pesisir dan Pulau·pulau Kecil, DKP
3. lr. lrwandi ldris, MSi Direktur Bina Pesisir, Ditjen P3K, DKP
4. lr. Ali Supardan, MSc Sekretaris Ditjen P3K, DKP
5. lr. Yaya Mulyana Direktur KTNL Ditjen P3K, DKP
6. lr. Ferrianto H. Djais, MMA Direktur TALPPK Ditjen P3K, DKP
7. Dr. Alex SW. Aetraubun Direktur PPK Ditjen P3K, DKP
8. Dr. Sudirman Saad, SH, MHum Direktur PMP Ditjen P3K, DKP
9. Dr. lr. Subandono Diposaptono, M.Eng. Kasubdit Mitigasi Lingkungan Pesisir Ditjen P3K, DKP
1D. Dr. Sapta Putra Ginting Kasubdit Pengelolaan Pesisir Terpadu Ditjen P3K, DKP
11 . lr. Env Budi Sri Haryani Kasubdit Pengendalian Pencemaran Laut, Ditjen P3K, DKP
12. Prof. Dr. Hadi S. Alikodra IPB
13. Dr. Harry Santoso ALPS Dephut
14. lr. Adi Triswanto, MSi ALPS Dephut
15. lr. Badrudin Ditjen Perikanan Budidaya, DKP
16. lr. Nyoto Santoso, MS LPP Mangrove
Ucapan terimakasih dan penghargaan ini juga say a sampaikan secara khusus dan
mendalam kepada Tim Penyusun atas jerih payah dan pengorbanannya,
terutama dalam pengumpulan materi, penyusunan, pembahasan, penulisan
hingga penerbitan panduan ini, yaitu:

NO. NAMA JABATAN/INSTITUSI


1. lr. M. Eko Rudianto, Mbus(IT) Kasubdit Rehabilitasi & Pendayagunaan
Kawasan Pesisir Ditjen P3K, DKP
2. Agung Tri Prasetyo, S.Si, MA Bina Pesisir P3K, DKP
3. lr. M. Firdaus Agung Bina Pesisir P3K, DKP
4. lr. Gustiawirman Bina Pesisir P3K, DKP
5. lr. Enggar Sadtopo, MT Bina Pesisir P3K, DKP
6. lr. Nilfa Rasyid Bina Pesisir P3K, DKP
7. Drs. Ausman Hadi, MT Bin a Pesisir P3 K, DKP
8. Arif Edi Handoyo, SPi Bin a Pesisir P3 K, DKP
9. Sofyan Hasan, SPi Bina Pesisir P3K, DKP
10. Nasrineldi, SE Bina Pesisir P3K, DKP
11. Joko Harmanto, SE Bina Pesisir P3K, DKP
12. Zuleha Ernas, SSi Bina Pesisir P3K, DKP
13. Dian Prihati, SStPi Bina Pesisir P3K, DKP
14. Agus Sapari, ST Bina Pesisir P3K, DKP
15. Weka Mahardi, ST Bina Pesisir P3K, DKP

Tersusunnya Pedoman Pengelolaan Ekosistem Mangrove ini tidak lepas dari


partisipasi aktif berupa kritik dan saran yang sangat bermanfaat dalam
penyempumaan materi Panduan ini. Semoga usaha dan kerja keras dalarn
penyusunan pedoman ini dapat bermanfaat bagi keberlanjutan kelestarian
ekosistem mangrove dan membantu dalam mewujudkan kesejahteraan
masyarakat pesisir.

Jakarta, Oktober 2004


Direktur Bina Pesisir,

~-
Pedoman Pengelolaan Ekosistem Mangrove
BAB l
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Menurut Direktorat Bina Program INTAG (1996) luas hutan mangrove
Indonesia sekitar 3.5 juta hektar dan termasuk terluas di dunia (Spalding
dkk, 1997). Sebagian besar kawasan mangrove tersebut kodisinya rusak.
Kerusakan terjadi karena kurang terencananya pengelolaan mangrove,
yang dapat diidentifikasi dari banyaknya konflik. Di Jawa, konflik lahan
terjadi akibat adanya konversi penggunaan lahan untuk berbagai
kepentingan. Di Sumatera, konflik kepentingan akan kayu bakau dan hasil
turunannya menjadi permasalahan pokok, sedangkan di Sulawesi
kerusakan terjadi akibat konversi ke lahan tambak tidak terkendali.
Sementara itu, keterpaduan perencanaan pembangunan dan
pemanfaatan kawasan mangrove an tara pihak-pihak terkait kurang dapat
dilaksanakan, sehingga terjadi inefisiensi dalam pemanfaatan dan terjadi
benturan kepentingan antar sektor (instansi pemerintah). Sedangkan
ketimpangan terhadap distribusi hasil pemanfaatan kawasan mangrove
selama ini banyak disebabkan oleh sifat perencanaan yang top-down dan
sektoral serta kurang memperhatikan kepentingan masyarakat lokal.

Bagian II - Pedoman Pemetaan Ekosistem Mangrove


m
Selain perencanaan yang kurang, kerusakan tersebut juga disebabkan
oleh tekanan kebutuhan melebihi daya dukung kawasan. Ekosistem
mangrove selain mempunyai fungsi ekologis juga mempunyai fungsi
ekonomi. Permasalahan yang terjadi selama ini adalah kedua fungsi
tersebut tidak dapat berjalan secara harmonis, tetapi mengarah pada
perbedaan dengan potensi konflik yang tinggi, sehingga terjadi
ketimpangan penggunaannya. Dalam hal ini, fungsi ekologis senantiasa
terabaikan karena fungsi ekonomi semakin kuat.
Namun demikian, kemungkinan untuk mengelola mangrove dengan baik
pada wilayah tersebut masih terbuka, sehingga kawasan mangrove dapat
terjaga ekosistemnya dan dapat memberikan manfaat ekonomi yang
cukup bagi masyarakat. Pemanfaatan ekosistem mangrove harus melalui
perencanaan yang matang sebagai landasan pengelolaan mangrove yang
lebih terpadu dan mantap. Perencanaan yang matang hanya dapat
dipenuhi apabila tersedia informasi yang akurat dan lengkap tentang
kondisi ekosistem mangrove seperti sebaran kawasan mangrove, potensi
dan kegiatan sosial ekonomi yang menyertai kawasan mangrove serta
aspek kelembagaan dan stakeholders yang berkepentingan terhadap
pengelolaan kawasan mangrove. Dengan diberlakukannya Undang-
Undang Otonomi Daerah, panduan pemetaan sebaran hutan mangrove
sangat diperlukan oleh Pemerintah Daerah untuk mempermudah dan
mempercepat penyediaan informasi kawasan mangrove.
1.2. Maksud dan Tujuan
Petunjuk teknis ini dimaksudkan sebagai pedoman bagi Instansi
Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat dan Dunia Usaha dalam
pemetaan ekosistem mangrove. Tujuan penyusunannya adalah:
1. Mendorong kesamaan para pihak dalam memetakan ekosistem
mangrove
2. Menyediakan acuan pemetaan ekosistem mangrove untuk
menghasilkan data dan informasi yang dapat dipercaya
ketelitiannya.
1.3. Ruang Lingkup
Ruang lingkup pedoman meliputi (i) Pendahuluan, (ii) Klasifikasi
Sebaran Mangrove, (iii) Metode Pemetaan, dan (iv) Penutup.

Pedoman Pengelolaan Ekos1stem Mangrove


--
--
-
BAB 11
KLASIFIKASI SEBARAN MANGROVE

Tingkat detil informasi yang disajikan dalam


peta berkaitan dengan tingkat skala peta.
Semakin besar skala peta semakin detil
informasi yang disajikan pada peta.
Sebaliknya semakin kecil skala peta semakin
global informasi yang disajikan pada peta.
Tingkat detil informasi yang disajikan pada
peta berkaitan dengan tingkat klasifikasi
data. Sehingga, tingkat klasifikasi data
bergantung pada skala peta. Semakin besar
skala peta semakin detil klasifikasi data.
Pad a pemetaan sebaran mangrove, klasifikasi
data ditentukan oleh tingkat resolusi citra
INDERAJA yang digunakan sebagai sumber
data utama. Hubungan antara skala peta,
klasifikasi sebaran mangrove, dan jenis citra
INDERAJAditampilkan pada Tabel B.2.1.

Bag1an II - Pedoman Pemetaan Ekos1stem Mangrove


Tabel 8.2.1.
Hubunga n skala pe ta, kl asifikasi
sebaran mang rove, dan jeni s citra
INDERAJA

No Skala Peta Klas sebaran mangrove Jenis citra

< 1: 1.000.000 • Hutan mangrove


NOAA
• Hutan non mangrove

2 1:250.000·50.000 • Rapat
Landsat TM
• Tidak rapat

• Sangat rap at • •
3 0!: 1: 25.000 Foto udara <!: skala
• Rapat
1:25.000
• Sedang
IKONOS
• Jarang
Quick Bird
• Sangat jarang

Keterangan:
• Sangat Rapat jika pohon mangrove memiliki jumlah pohon 880 - > 1100 pohon
• Rapat jika pohon mangrove memiliki jumlah pohon 660-880 pohon
• Sedangjika pohon mangrove memiliki jumlah pohon 330 - 660 pohon
• jarangjika pohon mangrove memiliki jumlah pohon 110-330 pohon
• Sangatjarangjika pohon mangrove memiliki jumlah pohon < 110 pohon

Pedoman Pengelolaan Ekosistem Mangrove


--
--
-
BAB Ill
METODA PEMETAAN

Pemetaan sebaran mangrove menggunakan penggabungan teknologi


Penginderaan Jauh (INDERAJA) dengan Sistem Informasi Ceografis
(SIC). Gambar B.3.1 memperlihatkan prosedur pemetaan sebaran
mangrove dengan menggunakan teknologi INDERAJA dan SIC.
3.1. Perala tan yang Diperlukan
Peralatan untuk pemetaan sebaran dan potensi mangrove dapat
dikelompokkan menjadi 2 (dua) macam, yaitu perangkat komputer baik
perangkat keras maupun lunak, dan peralatan survei lapangan.
Spesifikasi perangkat komputer minimal mempunyai memori 128 MB
dan ukuran hard disk 5 CB; yang kompatibel dengan perangkat lunak
SIC yang umum digunakan, seperti ARC/ INFO, ARCVIEW,
ERMAPPER/ ERDAS. Visual Basic, dll. Selain perangkat komputer, juga
diperlukan plotter ukuran Ao, digitizer ukuranAo/ Scanner.
Perala tan survey lapangan yang umumnya digunakan terdiri dari CPS
portable, bor tanah, kompas, pH meter (kertas lakmus), EC meter, cairan
peroksida (H,O,), pisau, meter an, spidol, karet gelang, tali rafia, cangkul,
sekop, thermometer, dan kantong plastik.
Bag1an II - Pedoman Pemetaan Ekos1stem Mangrove
m
3.2. Data yang Diperlukan
Data yang dibutuhkan untuk pemetaan sebara n ma ngrove dapa t
dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu data utama dan d ata penunjang.
Data utama merupakan data dasar yang digunakan untuk memetakan
sebaran mangrove yang diinginkan . Sedangkan da ta penunjang
merupakan data pelengkap yang dapa t digunakan untuk memvalid asi
atau menambah inform asi lain ya ng diperlu kan . Sumber data baik
utama maupun penunjang yang diperlukan untuk pemetaan sebaran
vegetasi mangrove disajikan di Tabel B.3.1.

Tabel 8 .3.1. jenis dan sumbe r pe rolehan data

Jenis Data
No. 1- - - - - Sumber Keterangan
Utama 1 Penunjang

NOAA, landsat TM/ lapan,Dittop, NOAA untuk pemetaan


lkonos, QUICK BIRD Bakosurtanal, USA skala < 1: 1.000.000
landsat untuk
pemetaan skala < 1:
100.000
IKONOS/OUICK Bird
untuk pemetaan skala
>- 1: 10.000
2 Peta RBI Bakosurtanal Skala 1: 25.000

3 Sasek BPS,Survei lapang Kependudukan,


Pendidikan, Kesehatan,
Agama, ekonomi

4 Sifat fisik&kimia Puslitanak, Survei Tekstur, kedalaman


tanah lapang pirit, salinitas,bahan
organik

5 Kawasan hutan Dep Kehutanan

Pedornan Pengelolaan EkosJstem Mangrove


Pengumpulan Data
Data Citra
INDERAJA

Citra Satelit
Foto Udara

PENYUSUNAN
BASISDATA

Gambar 8.3.1.
Prasedur pemetann ekosistem
ma11grove

Bag1an 11 - Pedoman Pemetaan Ekos1stem Mangrove


m
Data utama untuk pemetaan sebaran mangrove adalah data citra
INDERAJA, yaitu citra sate lit (NOAA, Landsat TM, IKON OS, Quic Bird)
dan foto udara. Penggunaan jenis citra INDERAJA tersebut tergantung
pad a skala peta yang diinginkan. Citra NOAA cocok digunakan untuk
pemetaan sebaran mangrove skala nasional (1 :1.000.000 a tau lebih
kecil), sedangkan Landsat TM dapat digunakan pada skala 1:100.000
1:250.000. Citra satelit IKONOS atau QUICK BIRD sangat cocok untuk
pemetaan sebaran dan potensi mangrove skala 1:10.000 a tau lebih besar.
Pemetaan sebaran dan potensi mangrove skala 1:10.000 a tau lebih besar
biasa menggunakan foto udara hitam putih atau infra merah warna
semu skala 1: 25.000 atau lebih besar. Selain citra INDERAJA, data
utama yang diperlukan untuk pemetaan sebaran mangrove adalah peta
rupabumi (topografi). Peta rupabumi ini digunakan sebagai peta dasar.
Data yang ada pad a peta rupabumi meliputi garis kontur, jaringan jalan,
batas administrasi, jaringan sungai, dan toponimi. Peta rupabumi bisa
diperoleh di instansi BAKOSURTANALatau DIPTOP Angkatan Darat.
Data penunjang untuk pemetaan sebaran mangrove meliputi data
SOSEKBUD (social, ekonomi, dan budaya) dan kawasan hutan. Data
SOSEKBUD dapat diperoleh di kantor BPS (Biro Pusat Statistik),
sedangkan data kawasan hutan di Departemen Kehutanan. Data
SOSEK yang dikumpulkan tersebut mencakup kondisi sosial dan
ekonomi masyarakat yang ada di wilayah pesisir, seperti demografi,
aktivitas ekonomi dan tingkat kesejahteraan masyarakat,
ketergantungan masyarakat terhadap lingkungan dan sumberdaya
alam yang tersedia untuk peningkatan pendapatan keluarga, lembaga
sosial, pendidikan, kesehatan, fasilitas umum, dan lainnya.
3.2.1. Inventarisasi data dan informasi sekunder
Dalam suatu penelitian, apapun topik dan tujuannya, hampir selalu
terdapat banyak informasi yang tersembunyi dalam berbagai macam
sumber. Banyak dari informasi itu dapat diperoleh dengan cukup
mudah dan cepat. Penelitian sumberdaya alam dalam hal ini ekosistem
mangrove disarankan untuk melakukan kajian dokumenter terlebih
dahulu . Melalui pengkajian dokumenter, kita dapat memulai dengan
suatu permulaan yang lebih baik, dan dapat menghemat waktu, biaya
maupun tenaga. Ada tiga macam sumber data sekunder, yaitu:
PedomanPengelolaanEkos1stemMangrove
m
a. Dokumen non-spasial
Berupa laporan penelitian dan hasil kajian · terdahulu, yang resmi
maupun tidak resmi mengenai sumberdaya ekosistem mangrove, baik
dalam aspek abiotik, biotik maupun kultural. Termasuk dalam hal ini
adalah buku-buku, artikel, jurnal, dan berbagai macam publikasi ilmiah
yang dikeluarkan oleh instansi resmi, baik pemerintah maupun swasta.
b. Dokumen spasial
Merupakan sumber data yang memberikan informasi jenis dan sebaran
parameter-parameter tertentu tentang sumberdaya ekosistem
mangrove. Termasuk dalam kategori ini adalah: peta-peta, foto udara,
citra sate lit dan lain-lain.
• Interpretasi Citra
Interpretasi citra adalah upaya untuk mengekstrak data/informasi yang
terekam pada citra INDERAJA menjadi tema tertentu. Pemetaan sebaran
mangrove menggunakan metoda survei bertingkat. Dalam metoda ini,
sebaran mangrove dipetakan secara bertingkat. Pada tingkat pertama,
sebaran mangrove dipetakan secara global dengan menggunakan Citra
Landsat TM. Hasil pemetaan sebaran mangrove dari Landsat TM dapat
disajikan pada skala 1:250.000 1:100.000. Pada tingkat kedua, sebaran
mangrove dari interpretasi landsat TM ini kemudian dipetakan lebih
detil dengan menggunakan foto udara skala 1:25.000 (lebih besar),
IKONOS, atau QUICK BIRD. Hasil interpretasi sebaran mangrove dari
ketiga citra INDERAJA tersebut dapat disajikan pada skala 1:10.000
(atau lebih besar) . Dengan menggunakan citra IKONOS atau QUICK
BIRD, potensi mangrove juga dapat dipetakan. Tahap ketiga pada
metode survei bertingkat ini adalah melakukan survei lapangan untuk
mengecek hasil interpretasi di daerah sample yang telah ditentukan.
Interpretasi citra INDERAJA dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu
secara secara manual, dan digital.
• Interpretasi Manual
Data citra satelit maupun foto udara dapat diinterpretasikan secara
manual. Interpretasi citra secara manual adalah mengekstrak informasi
dengan menggunakan kunci interpretasi yang telah ditetapkan.
lnterpretasi secara manual ini sering diterapkan pada foto udara.
Bag1an II - Pedoman Pemetaan Ekos1stem Mangrove
m
Interprteasi foto udara untuk sebaran mangrove diutamakan di daerah
efektif, yaitu hasil pert<1mpalan 2 (dua) foto udara yang overlap 60%.
Proses interpretasi foto udara mencakup 4 (empat) tahap, yaitu photo
reading (deteksi, rekognisi, identifikasi), analisis, klasifikasi,dan
deduksi. Pada tahap awal sebaran obyek-obyek yang ada dideteksi,
kemudian dikenali (rekognisi) melalui bentuk, ukuran, dan sifat-sifat
lain yang bisa terlihat. Sehingga, obyek yang dikenali bisa diidentifikasi
jenis atau namanya. Obyek atau features yang telah diidentifikasi,
kemudian dianalisis. Obyek-obyek yang akan didelineasi diberi Iegenda
(label). Penarikan garis delineasi dilakukan secara sistematis. Untuk
delineasi sebaran mangrove secara sistema tis, pola drainase (pola aliran,
tipe sungai, Iebar lembah) didelineasi terlebih dahulu. Pola drainase ini
digunakan sebagai dasar untuk analisis tingkat sebaran mangrove
secara detil. Dari pola drainase, kemudian dapat didelineasi
bentuklahan sebagai habitat vegetasi mangrove. Analisis ada tidaknya
atau kerapatan vegetasi mangrove di setiap bentuk lahan
menggunakan kunci-kunci interpretasi, seperti tone, warna, bentuk,
struktur, tekstur, pola, lokasi (site), ukuran, dan asosiasi. Hasil anal isis
sebaran mangrove kemudian dikelompokkan menjadi 5 (lima) klas,
yaitu sangat rapat, rapat, sedang, jarang, dan sangat jarang. Apabila
masih ada obyek yang sulit diklasifikasikan melalui foto udara, maka
pengenalan obyek-obyek tersebut menggunakan teknik deduksi, yaitu
meyimpulkan jenis klas obyek atau feature dengan menggunakan
berbagai sumber data lain. Gambar B.3.2 memperlihatkan tahapan
proses interpretasi sebaran vegetasi mangrove.

Gambar 8.3.2.
Proses i11terpretasi
fo to udnrn sebrmm
DEDUKSI mfmgrove

Pedoman Pengelolaan Ekos1stem Mangrove


m
• Interpretasi Citra Digital
Proses pengolahan citra Inderaja secara digital disajikan di Gambar
B.3.3. Interpretasi citra secara digital dilakukan melalui 2 (dua) tahap,
yaitu tahap pra-pengolahan dan tahap pengolahan. Pra-pengolahan
citra dimaksudkan untuk mengoreksi distorsi yang ada sehingga obyek
yang terekam dalam citra mudah diinterpretasi untuk menghasilkan
informasi yang benar sesuai dengan kondisi di lapangan.

Gambar 8.3.3. CITRA SATEUT


Talwpa n proses (landsat, lkonos,Quick Bird, dill
pe11golahall citra
sate/it

KOREKSI RAOIOMETRIK

Pra-pengolahan meliputi koreksi


radiometric dan geometric. Koreksi
radiometrik dimaksudkan untuk
mengoreksi distorsi nilai spektral
citra agar kontras obyek pad a citra KLASIFIKASI CITRA
nampak lebih tajam sehingga
mudah diinterpretasi, yaitu dengan
menggunakan metoda lin ear contrast enhancement. Metoda ini
menggunakan persamaan linier sebagai berikut:

Y = f(x) =ax+ b
x = f' (y) = (y-b)/a

drt(y)/dy =1/a

dimana:
x= nil ai pixe l awa l
y =nil ai pixe l ba ru

Bag1an It - Pedoman Pemetaan Ekosistem Mangrove


m
Penajaman kontras obyek pada citra dengan metoda ini dilakukan
dengan memodifikasi nilai sebaran pixel awal yang ditampilan dengan
grafik histogram. Penyebaran nilai pixel awal dimodifikasi sedemikian
rupa sehingga penyebaran terletak pada kisaran nilai 0-255 (8 bit).
Sebagi contoh, penyebaran nilai pixel awal terletak pada kisaran 40-70.
Penyebaran nilai pixel tersebut direntangkan pada kisaran 0-255.

75 100 0 0 255 0
Sebaran Pixel Awal Sebaran Pixel Baru

Koreksi geometrik dimaksudkan untuk mengoreksi dis torsi spasial obyek


pad a citra sehingga posisi obyek yang terekam sesuai dengan koordina t di
lapangan (real world coordinate). Koreksi geometrik dilakukan dengan
meraktifikasi citra satelit dengan peta rupabumi skala 1:25.000, yaitu
dengan melakukan transformasi polynomial dan resampling. Persamaaan
transformasi koordinat citra menjadi koordinat geografi adalah:

X = fl(X,Y)
y = f2(X,Y)
Dimana:
(x,y) = koord ina t citra (ko lom, ba ris)
(X, Y) = koord in at geog rafi/ UTM pa d a pet a dasa r
fl ,f2= fungs i tra nsformasi

Proses dimana transformasi geometrik untuk data citra orisinil disebut


resampling. Pada proses ini koordinat citra ditransformasi secara
uniform pada koordinat geografi atau UTM (Universal Transverse
Mercator). Koordinat citra pada posisi tertentu ditransformasi terhadap
koordinat geografi/UTM, sehingga dapat diperoleh koordinat
geografi/UTM pada citra satelit yang digunakan. Proses resampling
diilustrasikan pad a Gam bar B.3.4.
Pedoman Pengelolaan Ekos1stem Mangrove
m

'114"6

Gambar 8.3.4.
Proses
resampling
un tuk koreksi
geometris

Pemilihan titik-titik kontrol diupayakan dengan memilih elemen


gambar spesifik yang mudah dikenali pada citra dan diketahui
koordinatnya pada peta dasar yang digunakan. Citra yang sudah
dikoreksi tersebut digunakan untuk memproduksi citra komposit
guna klasifikasi sebaran mangrove.
Tahap pengolahan citra adalah penyarian informasi citra untuk diolah
menjadi tema tertentu. Dalam studi ini, pencarian informasi mengenai
sebaran vegetasi mangrove dilakukan secara digital. Metoda klasifikasi
menggunakan teknik supervised classification. Prinsip dasar dari teknik
klasifikasi ini menggunakan teori peluang (maxium likelihood). Nilai pixel
yang diklasifikasikan (cluster) digunakan sebagai training sample. Nilai-
nilai pixel pada citra diklasifikasikan menjadi klas tertentu sesuai
dengan nilai peluangnya yang terdekat dengan nilai pixel dalam
training samples. Hasil klasifikasi supervised mempunyai format raster.
Vektorisasi data hasil klasifikasi supervised dapat dilakukan digitasi
pada layer komputer on screen dengan menggunakan software image
analysis yang ada di Arcview.
c. Dokumen lainnya
Dokumen lainnya merupakan dokumen selain dua kategori diatas,
antara lain: film, video, slide, dan dokumentasi audio-visual lainnya.
Data sekunder yang beraneka ragam tersebut sangat memerlukan
Bag1an U- Pedoman Pemetaan Ekos1stem Mang1ove
m
pendekatan multidisiplin dan multisektoral. Data ini dapat dijadikan
sebagai starting point untuk melakukan langkah survei, baik yang
berkaitan dengan skoping masalah maupun inventarisasi kumpulan
informasi yang memerlukan kelengkapan dan checking.
Interpretasi dan analisis peta, foto udara, citra a tau model-model survei
maupun pengelolaan ekosistem mangrove, dilakukan untuk lebih
memberikan gambaran yang tepat dan akurat tentang lingkup daerah
kajian secara menyeluruh. Peta dan sumber data sejenis tersebut
diperlukan untuk mengidentifikasi berbagai permasalahan (potensi dan
kendala) yang mungkin akan dijumpai di daerah kajian secara cepat dan
terarah. Peta dasar dibuat sebagai dasar checking dan analisis data di
lapangan, sehingga sasaran penelitian dapat tercapai dengan baik.
Langkah ini merupakan langkah tepat untuk mengetahui kondisi secara
spasial tentang potensi sumberdaya ekosistem mangrove yang ada di
daerah penelitian.
3.3. Metode Pengumpulan Data Primer
Untuk mengetahui kondisi lapangan yang sesungguhnya dilakukan
kegiatan pengumpulan data primer. Data primer merupakan data yang
langsung bersumber dari objek kajian. Seperti halnya dengan hasil
interpretasi citra yang perlu diuji keakuratannya yaitu dengan observasi
lapangan. Terdapat tiga jenis pengumpulan data primer yang dapat
dilakukan yaitu observasi lapangan, wawancara semi terstruktur, dan
diskusi.
3.3.1. Observasi lapangan
Observasi lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer yang
langsung bersumber dari objek kajian. Observasi lapangan pada survei
cepat lebih diarahkan untuk melakukan pengecekan akurasi data sesuai
kondisi lapangan, up-dating data dan informasi, serta melengkapi
kekurangan a tau yang tidak ada. Untuk melakukan observasi lapangan
dan inventarisasi data primer secara cepat, dapat dilakukan dengan
beberapa cara, yaitu pengamatan dan pengukuran langsung,
wawancara semi-terstruktur, interpretasi sumber data sekunder (peta,
foto udara, citra, model), dan lokakarya. Instrumen utama yang
digunakan dalam survei cepat ini adalah check list.

PedomanPengelolaanEkos1stemMangrove
m
Pengamatan dan pengukuran secara langsung terhadap struktur fisik
atau kondisi sumberdaya lahan mangrove, kondisi sumberdaya biotik,
perbedaan-perbedaannya baik spasial maupun non-spasial, dan kondisi
sosial ekonomi masyarakat. Pengamatan dan pengukuran ini dilakukan
dengan cara mengisi check list yang telah disusun dengan baik.
Pengamatan dilakukan melalui tahap-tahap kajian tertentu, yang
hasilnya memberikan informasi mengenai karakteristik atau profil
struktur fisik lahan, biotik dan kultural, serta perubahan-perubahan
sifat dari masing-masing komponen terse but.
Indikator-indikator kunci karakteristik fisik ekosistem mangrove an tara
lain: proses-proses laju sedimentasi pada lapisan dasar mangrove;
perubahan kualitas substrat mangrove; potensi sumberdaya lahan
(tanah dan konflik penggunaan lahan); dan karakteristik kelautan
seperti arah dan kecepatan angin dominan, pasang-surut air laut dan
tipe gelombang. Indikator-indikator kunci aspek biotik ekosistem
mangrove an tara lain: jenis vegetasi alami maupun budidaya dominan
dan potensial untuk dikembangkan; vegetasi khusus kaitannya dengan
fungsi kelestarian lingkungan; fauna tertentu yang bersifat spesifik
untuk dilestarikan, dan fauna potensial untuk dapat dimanfaatkan.
Indikator aspek sosial ekonomi penting kawasan mangrove antara lain:
keberadaan dan program pengembangan aksesibilitas, struktur mata
pencaharian penduduk yang dominan, tingkat pendidikan dan
kesehatan masyarakat, sektor perekonomian dominan dan potensial
untuk dikembangkan, sarana-prasarana pendukung sektor
perekonomian dan sektor lain yang potensial, program dan kebijakan
pemerintah yang mendukung pengembangan kawasan, serta isu-isu
lingkungan penting yang berdampak positif maupun negatif terhadap
kehidupan masyarakatsekitar.
3.3.2. Wawancara semi terstruktur
Wawancara semi-terstruktur merupakan wawancara secara tertulis
ataupun menurut suatu daftar yang dihafal, yang berfungsi
menggantikan angket-angket survei yang terstruktur (seperti
kuesioner). Wawancara semi terstruktur lebih menekankan pada
pendalaman informasi. Pada wawancara semi-terstruktur ini, yang
dipakai adalah pertanyaan yang terbuka. Isu-isu relevan yang tidak
Bag1an II - Pedoman Pemetaan Ekosistem Mangrove
m
diharapkan hendaknya diikuti lagi oleh pertanyaan lanjutan untuk
menggali lebih banyak informasi. Yang diwawancarai umumnya adalah
tokoh kunci, atau kelompok yang terpilih, atau campuran berbagai
kelompok.
• Tokoh kunci adalah orang-orang yang dipandang memiliki wawasan
dan pendapat mengenai pokok masalah yang akan dikaji dan diteliti.
Mereka ini mungkin saja orang-orang biasa, spesialis, ataupun
pejabat-pejabat sektoral yang memiliki kedudukan dan wewenang.
Para peneliti harus menentukan siapa tokoh kunci yang akan
dihubungi.
• Kelompok-kelompok terfokus, homogen atau campuran. Kelompok
ini menjadi relevan dan penting apabila multi-user dan multi-fungsi
menjadi fokus atau output dari survei. Sekelompok masyarakat a tau
instansi yang homogen, mungkin akan memberikan informasi yang
jauh lebih baik dan mendalam. Kelompok campuran menjadi penting,
manakala aspek integrasi berbagai macam kepentingan juga menjadi
tujuan survei.
• Rangkaian wawancara dilakukan secara berurutan, dimulai dengan
tokoh kunci, kelompok berbeda, serta kelompok homogen
(spesialisasi). Pengajuan wawancara hendaknya berlangsung pada
pokok masalah dan tanpa bertele-tele, yang akan membuat
wawancara menjadi lebih dinamis.
3.3.3. Diskusi
Diskusi merupakan penciri utama survei cepat terintegrasi. Diskusi
dapat dilakukan secara internal tim dan eksternal (diluar tim) . Diskusi
adalah upaya utama dalam mencari kesepahaman, keragaman, dan
keterpaduan diantara berbagai macam kepentingan dan disiplin ilmu.
Diskusi yang dilakukan secara intensif akan memberikan pengalaman,
keterbukaan, dan sinkroninasisi, sehingga dapat dihasilkan model
pengelolaan yang terpad u.
Beberapa metode diskusi yang digunakan an tara lain: format lokakarya
dan sosialisasi partisipatif (PRA). Lokakarya dimaksudkan untuk
menggali data dan informasi, sekaligus cross-check data terhadap tokoh-
tokoh kunci, kelompok terfokus, kelompok homogen maupun
kelompok campuran, sesuai dengan sasaran penelitian. Hasil dari
PedomanPengelolaanEkosistemMangrove
m
lokakarya ini diharapkan mampu memberikan berbagai masukan
tentang potensi, kendala, program dan kebijakan pengelolaan wilayah
pesisir; sehingga tidak terjadi tumpang-tindih kepentingan, dan terjadi
hubungan timbal-balik antara masyarakat, pemerintah dengan pihak-
pihak terkait lainnya.
3.4. Survei Lapang Detil untuk Pemetaan Kerapatan Mangrove
Kegiatan survai lapang dilakukan untuk mengecek kebenaran peta
tentative hasil interpretasi citra INDERAJA. Survai lapang difokuskan
di training area (daerah sample terpilih), dengan mempertimbangkan
beberapa faktor sebagai berikut:
1. Kemudahan keterjangkauan (aksesibilitas)
2. Mewakili penyebaran data yang ada
3. Keselamatan surveyor dari gangguan keamanan dari binatang buas
a tau lainnya
Selain mengecek hasil interpretasi, pada saat survei lapang juga
dikumpulkan sample tanah untuk analisa salinitas dan kandungan
bahan organik, pengamatan tekstur dan struktur tanah, pengkuranpH,
pengukuran kedalaman pirit, identifikasi vegetasi mangrove, dan
pengukuran potensi mangrove. Pengukuran posisi di setiap sampel
yang diambil menggunakan peralatan CPS (Global Positioning System).
Pengambilan sam pel menggunakan teknik jalur petak dengan metode
seperti yang terlihat pada Gam bar B.3.5.

u 2
2 5

5
20 arah rintis

..
Gambar 8.3.5.
ll/ustrasi teknik pe11a rikan cmltoll

Bagian II - Pedoman Pemetaan Ekosistem Mangrove


Pada Gambar B.3.5 pengambilan sampel vegetasi mangrove di areal
sampel terpilih dilakukan di 3 (tiga) petak dengan ukuran 2 x 2m, 5 x 5
m, dan 20x 20m. Petak ukuran 2 x 2m adalah untuk sam pel semai, 5 x 5
m untuk pancang, dan 20 x 20m untuk tiang/pohon.
Semai merupakan tahapan pertumbuhan yang paling awal dari
tanaman mangrove dengan kriteria memiliki tinggi < 1,5 meter. Pancang
merupakan tanaman mangrove dengan ketinggian > 1,5 m dengan
diameter < 10 em. Tiang dan pohon jika tanaman mangrove tersebut
memiliki diameter > 10 em.
Pengamatan sampel vegetasi mangrove meliputi tingkat kerapatan,
jumlah tanaman, dan indeks nilai penting, dll . Untuk semai dan
pancang, data yang diamati/diukur meliputi jumlah tanaman, tingkat
kerapatan dan indeks nilai penting. Sedangkan untuk hang dan pohon
adalah jenis, diameter, tinggi, kerapatan, INP, dan volume pohonnya.
Selain data vegetasi, data lain yang dikumpulkan di setiap plot sampel
meliputi tekstur tanah, pH, bahan organik, kedalaman pirit, dan
salinitas. Data tanah tersebut dapat langsung diukur di lapangan a tau
diukur di laboratorium, yaiitu dengan membawa sam pel tanah dan air.
3.5. Reinterpretasi Citra Inderaja
Hasil interpretasi citra Inderaja baik dari citra sate lit maupun foto udara
bersifat tentative, karena masih memerlukan uji lapangan (ground truth).
Pada saat survei lapangan dilaksanakan, akurasi hasil interpretasi
divalidasi dengan kondisi sebenarnya di lapangan. Apabila hasil
interpretasi tidak sama dengan yang ada lapangan, maka diperlukan
reinterpretasi citra.
Re-interprteasi citra dilakukan dengan menginterpretasi ulang hasil
interpretasi yang salah. Kesalahan yang terjadi dapat berupa penarikan
batas polygon (delineasi) a tau kesalahan identifikasi obyek.
3.6. Penyusunan Basisdata
3.6.1. Ruang Lingkup Fitur (Features)
Fitur (features) adalah jenis tampilan data geografi dengan tema tertentu.
Dalam software SIC Arc/info, fitur didefinisikan sebagai layer. Fitur
dalam basisdata sebaran mangrove dikelompokkan menjadi 2 (dua)

PedomanPengelolaanEkosistemMangrove
jenis, yaitu fitur dasar dan fitur tematik. Fitur dasar adalah tampilan
data geografi yang digunakan sebagai dasar untuk pemetaan tematik,
yang meliputi:
• Garis pantai (P)
• Jaringansungai (H)
• Jaringan jalan (J)
• Toponimi (T)
• Batas wilayah ad minsitrasi (A)
Fitur tematik terdiri dari kerapatan mangrove mangrove (M), liputan
lahan (LU), dan kawasan hutan (KH).
3.6.2. Digitalisasi Data
Digitalisasi dimaksudkan untuk mengkonversi data analog menjadi
digital. Apabila tidak tersedia data digital, Fitur dasar yang ada pada
peta rupabumi dapat didijitasi dengan menggunakan perangkat
hardware digitizer Ao dengan software Arc/Info. Proses digitalisasi
data terdiri dari beberapa tahap, yaitu digitasi, editing, pembentukan
topologi, transformasi data, dan kodifikasi unsur (Gam bar B.3.6) .

Gambar 8.3.6
Proses digita/isasi data

Pada tahap digitasi, penentuan titik registrasi


minimal sebanyak 4 titik, dan dilakukan pada
titik-titik pojok peta, dengan tingkat distorsi
maksimal 0.003 inchi (0.08 mm), agar topologi ya

dari setiap unsur yang akan didigitasi dapat


terbentuk dengan baik. Tingkat distorsi spasial
dari unsur-unsur yang didigitasi dengan
sumber data maksimal 0.5 mm. Untuk menjaga
kesinambungan data antar lembar peta
(konsistensi horizontal), distorsi spasial setiap
unsur yang didigitasi tidak melewati batas 0.5
mm dari keadaan posisinya pada peta sumber. I KOOIFIKASI I

Bag1an II - Pedoman Pemetaan Ekos•stem Mangrove


Fitur-fitur yang telah didigitasi kemudian dibuat topologinya. Topologi
adalah hubungan matematis an tar fitur, misalnya hubungan an tara fitur
polygon dengan fitur garis, fitur garis dengan feature titik, dan lain
sebagainya. Pembuatan topologi dilakukan beberapa kali sampai tidak
terjadi kesalahan (errors) pada fitur yang didigitasi, misalnya garis
belum tersambung (dangle), kelebihan garis pada perpotongan kedua
garis, dan lain-lain. Tahapan editing adalah untuk membenahi error-
error yang ada. Apabila sudah tidak ada error, maka dilakukan
transformasi data, yaitu mentransformasi dari koordinat lokal menjadi
koordinat peta (real world coordinate) . Apabila sudah tidak terjadi error,
feature yang bebas errors dan sudah ditransformasi siap untuk
dikodifikasi, sesuai dengan rancangan basisdata yang telah didesain.
Koordinat peta untuk semua fitur menggunakan referensi nasional
yang berlaku, yaitu menggunakan Datum Geodesi Nasional1995 (DGN-
1995) dengan parameter sferoid setengah sumbu panjang (a)= 6.378.137,0
meter, f = 1/298,257. DGN-1995 ini mengadopsi ellipsoid World Geodetic
System 1984 (WGS'84). Sistem grid untuk penyajian fitur menggunakan
grid geografi dan UTM (Universal Transverse Mercator).
3.6.3. Struktur dan format data
Dalam basisdata SIG, jenis data dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua)
macam, yaitu data spasial dan atribut. Data spasial adalah data yang
mengacu pada posisi permukaan bumi, dinyatakan dengan koordinat
geografi (UTM). Sedang data atribut adalah data yang menjelaskan isi
data spasial. Dalam panduan ini, data spa sial sama dengan fitur. Semua
fitur terse but menggunakan struktur data vektor dan format Arc/Info.
Data atribut yang disajikan mencakup semua data yang berfungsi untuk
mendetilkan karakateristik mangrove. Semua data atribut tersebut
dihimpun menjadi basisdata dengan menggunakan format DBF.
Pemasukan data menggunakan software MS-Excel, yang kemudian
dikonversi menjadi format DBF. Struktur basisdata untuk pemetaan
sebaran mangrove disajikan di Tabel B.3.2.

Pedoman Pengelolaan Ekos1stem Mangrove


Tabel B.3.2. Struktur basisdata untuk pemetaan seba ran mangrove

8
No Jems Fttur/Entttas ~,~~~k Data atnbut/anotast

Fitur dasar
I .1 Jaringan jalan line kelas 14,1), arti 115, CJ
1.2 Jaringan sungai line kelas 14, 1), keterangan 110, CJ. anotasi
1.3 Balas administrasi poly nam_kec 115. CJ.nam_kab 115.CJ, luas_ha_ I10,NJ
1.4 Toponimi point kelas 14, 11. arti 115, C), anotasi
- Fitur tematik
2.1 Kerapatan mangrove poly kode_mgr 16. CJ. arti 115, C), luas_ha_ l10, NJ, btll6, CJ
pH 14,NJ. tekstur 110, NJ, pirit 110, CJ, salinitas 16, NJ,
8016, NJ
2.2 Kawasan hutan poly tghk 16.CJ. luas_ha_ I1 0,NJ
2.3 Sosek atribut Jum_desal1 O,l),jum_ppd 11 0.11. lakil1 O,l),pereml1 0,1), jum_kel
110,1), padat_pd 110,NJ, ras_sex 16,NJ, pdd_kell10,1), jum_sd 16,1),
jum_smp 16,1), jum_smu 16_1), jum_tk 16,1), jum_mi 16,1), jum_ts
16,1), jum_rna 16,1), ponpes 16,1), jum_rs 16,1), jum_pusk 16,1),
jum_dok 16,1), jum_aptk 16,1), klin_kb 16,1), islam 16,1), katolik 16,1),
protes 16,1), hindu 16,1), budha 16,1), masjid 16,1), gereja 16,1), vihara
16,1), pure 16,1), musola 16,i), langgar 16,1), tanah_sw 110,1), lah_ker
110,1), prod_pdi 110,1), prod_tbk 110,1), prod_lau 110,1), tbk_mlk
16,1), tbk_tim 16,11. tbk_tani 16,1), persh 16,1), pasar 16,1), pel_pam
16,1), pel pin 16,11, pel telp 16,1), kud 16,1).

3.6.4. Model Sistem Pengelolaan Basisdata


Sistem pengelolaan basisdata DBMS (Database Management System)
menggunakan model relasional. Dalam model ini, semua data dalam
basisdata disajikan dalam tabel du a dimensi yang dapat digabungkan
(relation) . Hubungan an tara data spasia l (sa tuan sebaran mangrove) dan
atribut di sajikan d i Gam bar B.3. 7.

Bag1an II - Pedoman Pemetaan Ekos1stem Mangrove


..

/
+101
+100

l, +101

atribut
+102

\ +103

j
+105

mgr_id kod _mgr arti luas(hal tekstur pH dst


- -
ioo..- 301 R rapat 1000 liat berdebu 7,5 dst
- -
.... .... ..... .... dst

dst

------
Cambar 8 .3.7.
ll11strasi 1111bunga11 data spasial dan atribut pada model relasio11al

3.7. Analisis Data


3. 7.1. lndeks nilai penting
Penentuan jenis pohon dominan dilakukan dengan menggunakan
metode indeks nilai penting (INP). INP tersusun oleh nilai frekuensi,
dominansi dan kerapatan. Jenis-jenis pohon dominan dijadikan sebagai
unit contoh vegetasi yang akan di ukur biomasa dan kadar karbonnya .
Adapun ukuran indeks nilai penting ini adalah dengan menggunakan
rumus sebagai berikut:

L sub petak diternukan suatu jenis


F=
L seluruh sub petak

Frekuensi suatu jenis


FR=
Frekuensi seluruh jenis

Pedoman Pengelolaan Ekos1stem Mangrove


a:m
Luas bidang dasar suatu jenis
D=
Luas contoh

dominasi suatu jenis


DR='
dominasi seluruh jenis

Jumlah individu suatu jenis


K=
Luas petak contoh

Kerapatan suatu jenis


KR=
Kerapatan seluruh jenis

INP= KR+FR+DR

3,7,2, Potensi volume pohon


Volume pohon dihitung dengan rumus Y4 1td2t dimana d adalah
diameter dan t adalah tinggi pohon.
3,73. Modeling spasial
Data yang telah dihimpun dalam basisdata SIC, kemudian dianalisis
secara spasial. Analisis spasial ini dimaksudkan untuk memperoleh
informasi sintesis mengenai luasan penyebaran vegetasi mangrove
berdasarkan batas wilayah adminsitrasi (M) yaitu batas
kecamatan/kelurahan (desa) . Analisis spasial dilakukan dengan
menggunakan metoda tumpang susun (overlay), yaitu antara layer
kerapatan mangrove mangrove (M) dengan WILPEM.

SEBARAN
MANGROVE

I I
INFORMASI
SINTESIS
Gambar 3.8.
Prosedur
memperoleh WOC><M
informnsi
si11fesis

Bag1an II - Pedoman Pemetaan Ekos1stem Mangrove


3.8. Penyajian Hasil
Hasil dapat disajikan dalam bentuk format Kartografis. Tahap kegiatan
ini merupakan proses kartografi. Peta akan disajikan pada skala 1:
10.000. Format ukuran peta mempunyai ukuran Ao (87 em x 64.5 em).
Grid peta yang ditampilkan adalah grid geografi (lin tang dan bujur) dan
UTM (Universal Transverse Mercator). Penyajian kerapatan vegetasi
mangrove akan disajikan dalam bentuk grafis, sedangkan informasi
pendukungnya seperti tekstur tanah, salinitas, kandungan bahan
organic, dan kedalaman pirit akan ditampilkan dalam bentuk diagram
statistik.

~
ORIENTASI
I I
SKALA
I I
l

D
[ DATA INFORMASI

Gambar3.9
Tnta letak
peuyajian
iliformasi
peuyelmran
I INFORMASI I mtmgrove
TAM BAHAN

4. Penutup
Petunjuk Pemetaan Ekosistem Mangrove diterbitkan untuk menjadi
acuan bagi instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakqt dan
Dunia Usaha dalam memetakan ekosistem mangrove.

PedomanPengelolaanEkoslstemMangrove
LATAR BELAKANG •
Ekosistem mangrove berperan dalam menjaga keseimbangan ekosistem
pesisir, dalam berbagai fungsi: (i) pelindung pantai, (ii) pengendali
banjir, (iii) penyerap bahan pencemaran, (iv) sumber energi/ bahan
organik bagi lingkungan sekitarnya, dan (v) habitat satwa liar. Secara
umum ekosistem mangrove cukup tahan terhadap gangguan dan
tekanan lingkungan. Namun demikian, mangrove tersebut sangat peka
terhadap pengendapan dan sedimentasi, tinggi rata-rata permukaan air,
pencucian serta tumpahan minyak. Keadaan ini mengakibatkan
penurunan kadar oksigen dengan cepat untuk kebutuhan respirasi dan
menyebabkan kematian mangrove.
Pemanfaatan sumberdaya mangrove secara ideal seharusnya
mempertimbangkan tidak hanya kebutuhan masyarakat, namun harus
mempertimbangkan keberadaan sumberdaya tersebut. Keberadaan
ekosistem mangrove, apabila menempati dataran banjir (sebagai
contoh) dapat menjalankan fungsinya menurunkan tingkat bahaya
banjir, melalui sistem hidrologis yang diperankan oleh lumpur/rawa
payau tersebut dalam menahan limpasan air. Fungsi ini akan hilang

Bag1an Ill -Model Rehabilitasi Ekosistem Mangrove d1 Panta1 Utara Jawa


apabila daerah dimaksud ditimbun atau dikonversi menjadi
penggunaan lahan lainnya.
Hanya saja, justru yang terjadi adalah gambaran tersebut, semakin
kecilnya keberadaan mangrove seperti yang terjadi di jalur Indramayu,
Bekasi (Pantura Jawa) dan Maros (Sulawesi Selatan). Konversi dan
penebangan mangrove untuk alasan pembangunan terus terjadi dan
menyisakan luasan hutan mangrove yang semakin menipis. Dampak
dari kerusakan hutan mangrove ini sangat beragam mulai dari
terjadinya abrasi pantai karena hilangnya sabuk hijau, meningkatnya
pencemaran areal budidaya tambak, dan berkurangnya benih-benih
ikan dan biota ekonomis lainnya. Hal ini bisa dilihat di pesisir
lndramayu, Kerawang, Bekasi, dan sekitarnya yang sudah tak ada lagi
hutan mangrove yang dapat dipakai sebagaigreenbelt (sabuk pantai).

B. Ruang Lingkup
Secara urn urn kegia tan rehabilitasi mangrove mencaku p :
1. Persia pan, diantaranya mencakup kegiatan :
a) Penyusunan proposal kegiatan
b) ProsesAdministrasi dan perijinan
c) Koordinasi dengan Instansi pemerintah daerah,
d) Peninjauan lapang untuk menentukan lokasi, bibit, spesies, dan
tehnik penanaman
e) Sosialisasi
2. Pelaksanaan, dengan beberapa tahap kegiatan :
a) Koordinasi dan sosialisasi
b) Penyuluhan
c) Pembentukan Kelompok Binaan,
d) Pelatihan
e) Pelaksanaan Fisik Rehabilitasi
3. Pasca Pelaksanaan, dengan beberapa tahap kegiatan:
a) Pemeliharaan
b) Pembinaan Kelompok dan Pengawasan oleh Pokmas
e) Monitoring dan Evaluasi

Pedoman Pengelolaan Ekos1stem Mangrove


Gombar C.l .
Pantai terabrasi di Pantai Utara
Karawang

Gombar C.2.
Pantai di Bekasi yang mengalami
abrasi

Gombar C.3.
Kondisi Pantai Kabupaten
Rem bang yang terabrasi

C. Pelaksanaan Rehabilitasi Mangrove


1. Persiapan
Hal-hal yang penting untuk dilakukan dalam tahap persiapan adalah:
(a) penyusunan rencana kegiatan, (b) proses administrasi dan perijinan,
(c) koordinasi dengan instansi daerah, dan (d) peninjauan Ia pang untuk
menentukan Iokasi, jenis bibit, spesies, dan tehnik penanaman serta
kegiatan pendukung lainnya. Dalam tahap ini juga harus dapat
dirumuskan tujuan dari rehabilitasi ekosistim mangrove yang akan
dilakukan, komitmen stakeholder, dan rencana tindak lanjut kegiatan.
Selain itu, secara teknis dalam tahap ini sudah harus diketahui (i) data-
data pendukung kegiatan, (ii) status lahan lokasi kegiatan, (iii) kebijakan
daerah termasuk dalam hal ini tata ruang di lokasi, dan (iv) rencana
penyediaan bibit apakah diambil dari lokasi atau didatangkan dari
tern pat lain dan rencana pengangku tan dan penyimpanan di lokasi.

Bag1an Ill ~ Model Rehabilltasi Ekoststem Mangrove d1 Panta1 Utara Jawa


Pemilihan bibit yang baik, tehnik penanaman yang tepat, dan partisipasi
masyarakat yang aktif merupakan gabungan faktor yang membuat
pertumbuhan hasil rehabilitasi ekosistim mangrove di berhasil baik.
2. Pelaksanaan
a) Koordinasi dan sosialisasi
Koordinasi dan sosialisasi dilakukan di tingkat kabupaten dan
desa/kampung lokasi kegiatan. Hal ini penting untuk menjelaskan Jatar
belakang, tujuan, sasaran dan metode pelaksanaan kegiatan. Di
samping itu, koordinasi dan sosialisasi dilakukan untuk mengetahui
permasalahan yang ada di wilayah cal on lokasi rehabilitasi.
Kegiatan koordinasi ini dilakukan, dikarenakan sering terjadi di antara
para pihak (pemerintah daerah, masyarakat dan LSM) masih belum
tercapai kesamaan persepsi tentang prinsip rehabilitasi mangrove,
termasuk batas-batas sempadan pantai dan lokasi tapaknya. Oleh
karena itu, pada beberapa kegiatan perlu mendapat persetujuan tertulis
a tau kesepakatan yang dibangun atas proses partisipatif di antara para
pihak. Hal ini dilakukan untuk membangun kepedulian dan rasa
memiliki dari para pihak tersebut, khususnya masyarakat setempat.
Seluruh proses pelaksanaan kegiatan dilakukan dengan melibatkan
masyarakat setempat, terutama anggota kelompok binaan.
Selain itu, koordinasi internal merupakan bagian yang sangat penting
dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi mangrove. Dalam kegiatan ini
dihimpun ide-ide untuk kegiatan yang akan dilaksanakan, baik yang
berhubungan dengan tujuan kegiatan, persepsi atau yang menyangkut
keputusan teknis rehabilitasi an tar anggota tim pelaksana kegiatan.
b) Penyuluhan

Kegiatan penyuluhan dilakukan secara formal dan informal, terhadap


kelompok masyarakat setempat. Secara formal, kegiatan penyuluhan
dilakukan saat pertemuan/diskusi di balai pertemuan/ rumah kepala
dusun atau rumah tokoh masyarakat. Kegiatan penyuluhan informal
dilakukan melalui kegiatan kunjungan ke rumah-rumah kelompok
binaan dan tokoh masyarakat.

PedomanPengelolaanEkoslstemMangrove
em
c) Pembentukan Kelompok Binaan

Pembentukan kelompok binaan dilakukan setelah dilakukan koordinasi


dan sosialisasi. Sasaran-kelompok binaan adalah masyarakat setempat,
pemilik/penggarap/buruh tambak, dan nelayan tradisional yang
aktivitasnya berdekatan atau pada lokasi kegiatan percontohan
rehabilitasi mangrove. Kedekatan lokasi dan kemudahan akses sangat
penting terutama dalam rangka memudahkan pemeliharaan dan
pengawasan oleh anggota Pokmas.
Tugas kelompok binaan yang terpenting adalah bertanggung jawab
dalam pelaksanaan rehabilitasi (pengadaan buah/bibit, pemasangan
ajir, penanaman dan pemeliharaan). Selain itu, kelompok binaan juga
bertanggung jawab dalam kegiatan lanjutan (pemeliharaan dan
pelestarian hutan mangrove) di wilayah kerja masing-masing kelompok
binaan. Dalam jangka panjang dengan pembentukan kelompok ini
diharapkan akan muncul kader-kader yang mampu menindaklanjuti
kegiatan rehabilitasi. Diharapkan dari kelompok binaan ini dapat
disebarluaskan manfaat dan fungsi mangrove, serta pentingnya
rehabilitasi mangrove sebagai pendukung keberlanjutan budidaya
perikanan maupun kelestarian produksi perikanan di daerah ini.

Gombar C.4.
Kelompok bmaan
sedang
manJalankan
pemilihan benih
mangrove di
Kabupaten Bekasi.
Jawa Barat

Bag1an Ill - Model Aehab1htas• Ekos1stem Mangrove d1 Panta1Utara Jawa


d) Pelatihan

Pelatihan dilakukan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat


terhadap materi pelatihan yang disampaikan. Penentuan materi
pelatihan akan disesuaikan dengan kondisi dan keinginan masyarakat
yang akan mengikuti pelatihan. Peserta pelatihan adalah kelompok
binaan yang berada di lokasi kegiatan rehabilitasi, hal ini dimaksudkan
untuk meningkatkan rasa memiliki dan kepedulian masyarakat
terhadap pelestarian mangrove.
Walaupun bukan merupakan kegiatan inti, namun pengalaman dalam
pelaksanaan kegiatan rehabilitasi mangrove selama ini, pelatihan kepada
masyarakat nelayan di lokasi kegiatan sangat membantu keberhasilan
kegiatan. Pelatihan difokuskan pada materi yang berkaitan dengan dan
peningkatan pendapatan masyarakat dan mengurangi ketergantungan
pad a pemanfaatan ekosistem mangrove secara langsung.

Gambar C.5. Gambar C.6.


Kegiatan pelatihan pengo Ia han hasil perikanan yang diikuli oleh Kegiatan pelatihan pengolahan haSII sumberdaya laut kepada
para nelayan Muara Gebong Kabupaten BekaSI. Jawa Barat lbu·tbu rumah tangga dt Kabupaten BekaSI

e) Pelaksanaan Fisik Rehabilitasi


Lokasi Penanaman
Kegiatan aksi rehabilitasi mangrove akan diprioritaskan sesuai dengan
tujuan rehabilitasi yang telah ditetapkan pada persiapan sebelumnya .
Pada Daerah Indramayu, Bekasi dan Maros, prioritas kegiatan
penanaman dilakukan pada kawasan pesisir. Lokasi prioritas ini sangat

Pedoman Pengelolaan Ekos1stem Mangrove


penting dilakukan untuk meningkatkan kualitas ekosistim mangrove
yang telah ada yang masih tersisa, sebagai sis tern penyangga kehidupan,
mendukung perikanan, penetralisir pencemaran, penahan erosi, dan
menjaga stabilitas garis pantai. Sedangkan beberapa lokasi pendukung
yang dapat dijadikan alternatif yaitu di pelataran tambak dan parit;
sebagai uji coba budidaya tambak yang ramah lingkungan.

Gombar C.7. Gombar C.B. Gam bar C.9.


Penanaman mangrove di Pesisir Lokasi penanaman mangrove Penanaman mangrove pada area
Bekas1 di Karawang tambak di Kabupaten Cirebon

Keberadaan jalur hijau mangrove bagi stabilitas garis pantai, mencegah


abrasi dan sistem penyangga kehidupan sangat penting untuk
ditingkatkan melalu kegiatan rehabilitasi ini. Jalur hijau yang dimaksud
adalah sempadan pantai, sedangkan batasan a tau penetapan batas Iebar
jalur hijau ditentukan berdasarkan peraturan yang berlaku serta atas
dasar kesepakatan dengan masyarakat setempat.
Target dan Teknik Rehabilitasi
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini antara lain waktu
pelaksanaan kegiatan, keanekaragaman jenis mangrove yang ada,
sejarah tanaman di sekitar lokasi kegiatan, ketersediaan benih tanaman,
dan kesesuaian lahan (tipe substrat, elevasi, pasang surut, gelombang,
salinitas dan musim). Faktor-faktor yang penting diperhatikan dalam
penanaman antara lain tipe substrat, spesies setempat, tinggi pasang
surut, sejarah penggunaan lahan dan teknik yang digunakan dalam
rehabilitasi.

Bag1an Ill~ Model Rehab11itas1 EkOSIStem Mangrove d1 Panta1 Utara Jawa


Teknik rehabilitasi yang akan diterapkan dalam kegiatan kegiatan
rehabilitasi mangrove seyogyanya memperhatikan:
• Alokasi waktu kegiatan
• Keanekaragaman jenis
• Sejarah tanaman
• Jenis dan ketersediaan benih
• Kesesuaian lahan
Aspek aspek perencanaan yang perlu diperhatikan untuk menunjang
keberhasilan rehabilitasi mangrove antara lain aspek ekologis dan fisik
lahan, aspek sosial ekonomi dan kelembagaan masyarakat sekitar yang
akan direhabilitasi, aspek finansial, aspek teknis (terutama teknis
silvikultur) dan aspek ketenagakerjaan yang akan digunakan. Secara
umum, tahapan pelaksanaan penanaman dalam kegiatan rehabilitasi
mangrove meliputi:
• Seleksi dan persiapan areal penanaman
• Pendekatan rehabilitasi (regenerasi alam yang menggunakan benih
dan anakan yang berasal dari alam dan atau regenerasi buatan yang
menggunakan benih maupun anakan yang diperoleh dari
persemaian) .
• Pemilihan jenis yang sesuai
• Pembuatan persemaian
• Penanaman dengan teknik yang sesuai

Gombar C.lD. Gombar C.ll.


Teknik penananam dengan sistem sylvofishery Pelaksanaan kegiatan penanaman pada rehabilitasi
Kabupaten Cirebon mangrove d1 Kabupaten Karawang. Jawa Barat.

PedomanPenge!o!aanEkos1stemMangrove
Gombar C.12.
Kegiatan
monitoring dan
evaluasi yang
dilakukan di
Kabupa ten
lndramayu

3. Paska Kegiatan
a. Pemeliharaan
Keberhasilan penanaman mangrove membutuhkan pemerliharaan
yang tepat. Aktivitas ini diperlukan terutama pada awal penanaman.
Pemeliharaan yang dilakukan antara lain dengan penyiangan,
penyulaman dan pengontrolan terhadap faktor perusak.
b. Pembinaan dan Pengawasan Kelompok Binaan
Hasil penyuluhan dan pelatihan yang telah diterapkan dalam kelompok
binaan akan memunculkan kader-kader yang diharapkan mampu
menindaklanjuti kegiatan rehabilitasi mangrove. Peran Institusi Daerah
(dalam hal ini Kecamatan/ Desa) mendorong keberlanjutan kelompok
binaan merupakan bagian yang sangat penting dalam pembinaan dan
pengawasan lanjut kelompok binaan. Selain itu, kelompok masyarakat
yang telah memahami pentingnya keberadaan mangrove dan upaya
rehabilitasinya turut memperkokoh kelembagaan yang ada.
c. Monitoring dan Evaluasi
Kegiatan monitoring dan evaluasi dilakukan untuk mengetahui
kemajuan pelaksanaan kegiatan dan keberhasilan kegiatan. Tolok ukur
yang dipergunakan adalah: (1) realisasi kegiatan (keterlaksanaan
program fisik dan sosial), dan (2) partisipasi masyarakat (peningkatan
persepsi, kepedulian, rasa memiliki dan tingkat keterlibatan) .
Monitoring dan evaluasi dalam kegiatan rehabilitasi mangrove
dilakukan untuk melihat kelemahan dan kekurangan kegiatan yang
dilaksanakan, efektifitas dan kesinambungan kegiatan yang
dilaksanakan, melakukan penilaian kegiatan dan informasi
pembelajaran dan pembanding.
Bagmn Ill - Model Rehabil1tas1 Ekos1stem Mangrove d1 Panta1 Utara Jawa
Selanjutnya, pada Tabel di bawah ini akan dijelaskan hasil pelaksanaan
rehabilitasi di beberapa Kabupaten yang berada di Pantai Utara Jawa
yaitu Kabupaten Bekasi, Kabupaten Kerawang, Kabupaten Indramayu,
Kabupaten Cirebon, Kabupaten Pekalongan, dan Kabupaten Rembang.
Perihal yang akan dibahas yaitu (1) kondisi lokasi, (2) luas dan aktu
penanaman, (3) jenis penanaman, (4) teknik penanaman, (5) sosialisasi
dan partisipasi masyarakat, (6) Penyuluhan dan pelatihan, dan (7)
Pemeliharaan.

1. Kabupaten Bekasi

No. Kegiatan Keterangan

1. Kondisi Lokasi Kondisi lokasi yang direhabilitasi adalah tanah timbul, sempadan sungai, dan tambak
lproduktif maupun yang sudah rusakl yang terancam oleh abrasi

2. Luas dan Waktu Luas dari penanaman 25 Ha yang dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan banyaknya buah
Penanaman yang tersedia yaitu 150.000 buah mangrove. Penanaman dilakukan pada musim angin barat
yaitu pada bulan November 2001.

3. Jenis Tanaman Penanaman dilakukan dengan menggunakan 3 jenis bakau Rhizophora mucronata, Rhizophora
stylosa dan Rhizophora apiculata dengan komposisi terbanyak Rhizophora mucronata.
4. Teknik Penanaman menggunakan buah lpropagule) dengan jarak tanam 1 m x 1 m, 2 m x 1 m, dan 2
Penanaman m x 2 m, dengan kriteria yang terkena abrasi lebih tinggi di tanam lebih rapat sehingga
tanaman lebih tahan terhadap ombak.

5. Sosialisasi dan Rapat sosialisasi di hadiri oleh beberapa instansi, yaitu pemda Kabupaten Bekasi, OPRD
Partisipasi Kabupaten Bekasi, Departemen Kelautan dan Perikanan, Bappeda, Dinas Pertanian, Dinas
Masyarakat Perindustrian, Perdagangan dan koperasi, Dinas Linglkungan Hidup dan pertambangan, sudin
perikanan, sudin Perkebunan, KCD Perikanan Muara Gembong, Perhutani, HNSI Cabang
Muara Gembong, Carnal Muara Gembong, Kepala Desa se·Muara Gembong, LPP Mangrove
dan PT Usaha Mina.
Pertemuan di Muara Pecah juga selain sosialisasi langsung diadakan pembentukan kelompok.
Kelompok yang terbentuk sebanyak 3 kelompok masing·masing beranggotakan 10 orang.
Masyarakat yang masuk dalam kelompok ini adalah masyarakat yang terkena dampak
langsung dari kegiatan yang akan dilaksanakan. Pembentukan kelompok ini di maksudkan
untuk memudahakan dan memperlancar kegiatan rehabilitasi di pantai bahagia.

6. Penyuluhan dan Penyuluhan dilakukan secara formal dan informal terhadap kelompok masyarakat setempat.
Pelatihan Materi yang disampaikan: manfaat dan fungsi hutan mangrove dan rehabilitasi mangrove.
Pelatihan dilakukan sehari, 14 November 2001 di aula Kec. Muara Gembong. Pasarta yang
hadir berasal dari 4 desa di Kec. Muara Gembong yaitu Desa Pantai Mekar 23 orang, Des a
Pantai Sederhana 12 orang, Desa Pantai Bhekti 4 orang dan Desa Harapan Jaya 1 orang.

7. Pemeliharaan Kegiatan pemeliharaan sangat menentukan tingkat keberhasilan yang merupakan upaya
menghindari tanaman dari gangguan hewan, aktivitas manusia dan alam, serta kegiatan
penyulaman. Pemeliharaan dilakukan oleh 3 kelompok kerja yang di bentuk di kampung Muara
Pecah, Desa pantai Bahagia. Untuk lebih meningkatkan keberhasilan tanaman maka
pemeliharaan dilakukan selama 3 bulan setelah penanaman dengan pemberian dana Rp 100
ribu perbulan/kelompok.

PedomanPenge lolaanEkosistem Mangrove


Gombar C.13. Gombar C.14. Gombar C.15.
Mangrove has1! rehab1l1tasi berumur Pemanfaatan kayu mangrove untuk Mangrove muda yang ditanam
beberapa bulan dr pesrsrr Kab Bekasr kayu bakar swadaya

1. Kabupaten Karawang

1. Kondisi Lokasi Kegiatan rehabilitasi dilakukan di sempadan panlura karawang, daerah tambak produktif yang
terancam rusak dan daerah tambak yang rusak dengan wilayah 10 hektar. Di kecamatan
Pedes terdapat 1500 Ha hutan mangrove yang masih perlu penambahan areal hutan untuk
melindungi dari abrasi lebih lanjut.

2 Luas dan Waktu Penanaman seluas 20 Ha dimasing·masing lokasi di mulai dari tanggal11 November 2001.
Penanaman Penanaman dilakukan dua tahap guna mengendalikan laju penanaman dan kesegaran bibit .

I Jenis Tanaman Realisasi kegatan ini disiapkan bib it mangrove janis bakau IRhizophora sp.} berkisar 150.000
buah/bibit. Pengadaan bibit dilakukan bekerja sama dengan Dinas kehutanan yang di
datangkan dari Cikeong.

4. Teknik Pengangkutan bibit/buah dari pengadaan lkecamatan Cikeong} dilakukan melalu jalan air
Penanaman lperahu} dan kemudian dilanjutkan dengan mobil sampai di posko penanaman.

5. Sosialisasi dan Sosialisasi dilakukan pada beberapa pihak terkait yaitu tingkat Pemda karawang, Kecamatan
Partisipasi Pedes, kantor Oinas Lingkungan Hidup, Dinas Kelautan dan pada masyarakat Oesa. Sosialisasi
Masyarakat pada masyarakat Oesa Pusaka Jaya Utara di awali derngan kunjungan ke Kantor Oesa Pusaka
jaya Utara. Oari dilog dan diskusi didapat gambaran bahwa sebagian besar masyarakat desa
Pusaka jaya Utara adalah petani tambak dan mempunyi area tambak yang relatif luas dan sangat
rawan abrasi.
Pembentukan kelompok masyarakat peserta kegiatan dihadiri sekitar 30 orang sekaligus
peserta pelatihan. Oari 30 orang peserta pelatihan maka terbentuk 6 lenam} kelompok inti
dengan anggota kelompok masing-masing 5 orang. Masing-masing kelompok inti pada giliran
berikutnya akan mengembangkan jumlah anggotanya sehingga mencapai 15 orang. Oengan
pola seperti ini selama kegiatan proyek, telah terlibat sekurang-kurangnya 75 orang anggota
masyarakat.

B. Penyuluhan dan Kagiatan pelatihan difokuskan kepada tiga aspek pengetahuan dan ketrampilan, yaitu : 1}
Pelatihan pengatahuan tentang pentingnya hutan mangrove bagi kehidupan pantai dan kelestraian
lingkungan, 2}. Tehnik dan pelaksanaan rehabilitasi hutan mangrove serta maknanya bagi
kehidupan berkelanjutan dan 3} teknologi budidaya perikanan dan pengolahan hasil panen.
Kegiatan pelatihan berlangsung di Balai Pengembangan Penelitian Perikanan Airr Payau di
Oesa Pusaka jay a utara, Kecamatan Pedes. Kegiatan diikuti oleh 330 peserta dengan tingkat
pendidikan berbeda.

7. Pemeliharaan Kegiatan tahap pemeliharaan dan penyulaman ini yaitu di mulai setelah kegiatan penanaman.
Kelompok-kelompok yang telah di bentuk pada saat pelatihan dan penanaman bertanggung
jawab terhadap pemeliharaan tanaman.

Bag1an Ill - Model Rehabtlltasl Ekos1stem Mangrove d1 Panta1 Utara Jawa


Gambar C.16. Gambar C.17.
Bekas rumah warga yang terkena eros1 Panta1 Karawang yang tererosi

3. Kabupaten Indramayu
No. Kegiatan Keterangan

1. Kondisi lokasi Rehabilitasi mangrove Kabupaten lndramayu dilaksanakan di desa lamaran Tarung (Kecamatan
Pembantu Cantigi) dan Oesa Pabean llir (Kecamatan lndramayu). Banyak mangrove yang
ditebang untuk areal tambak dan empang parit sehingga menyebabkan abrasi semakin luas.
2. luas dan Waktu luas penanaman di Oesa lamaran Tarung (Kecamatan Pembantu cantigi) saluas 30 ha (75.000
Penanaman buah) , Oesa Pabean llir (Kecamatan lndramayu) dengan luas 30 ha (75.000 buah)
3. Jenis Tanaman Janis yang digunakan adalah buah (propagul) Rhizophora apiculata dan Rhizophora mucronata
dengan dengan jumlah buah tyang di tanam 150.000 buah.

4. Teknik Buah yang dikumpulkan dengan car a memetik langsung dari hutan mangrove Perhutani yang
Penanaman terdapat di Resor Polisi Hutan (RPHI Waledan. Jarak tanam yang dilakukan adalah 2 m x 2m
dan di tanam pada saat kondisi sedang surut. Pemagaran dilakukan pada batas luar (ke arah
laut) dengan menggunakan bambu.

5. Sosialisasi dan Khusus penentuan lokasi kegiatan (rehabilitasi dan pelatihanl di adakan pendekatan terhadap
Partisipasi instansi pemerintah, tokoh masyarakat, lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi
Masyarakat setempat untuk menjajagi kemungkinan keterlibatan personil masing·masing pihak. Berdasar
kondisi tersebut, untuk mempercepat tujuan dan sasaran sosialisasi disalenggarakan diskusi-
diskusi untuk mengkaji lokasi indiktil hasil survei untuk ditetapkan sebagai lokasi definitive yang
akan di rehabilitasi dan juga menentukan matari pelatihan yang di perlu.
Pembentukan kelompok binaan terdiri dari masyarakat, penggarap tambak dan nelayan tradisional
yang aktivitasnya dekat lokasi kegiatan. Sa saran anggota kelompok (min 30 org atau 3 kelompok).
Masing-masing membentuk organisasi dan aturan kerja kelompok dalam kegiatan rehabilitasi dan
lainnya yang sesuai keinginan dan potensi sumberdaya setempat. Oiantara tugas kelompok binaan
yang terpenting adalah bertanggung jawab dalam pelaksanaan rehabilitasi. Disamping itu juga
bertanggungjawab dalam kegiatan lanjutan/pemeliharaan di wilayah kerja masing-masing binaan.

6. Penyuluhan dan Pelatihan meliputi 1). Manfaat, Fungsi dan Teknik rahabilitasi mangrove, 21 Teknik Budidaya udang,
Pelatihan 3) Teknik Budidaya Bandeng 41 Teknik budidaya bandeng presto dan 5) Teknik pembuatan petis.
Peserta pelatihan adalah warga masyarakat Ousun Waledan, Oesa lamaran Tarung Kacamatan
Cantigi. Peserta di bagi dua kelompok yaitu laki-laki dan parempuan. Kelompok laki-laki meliputi
seluruh anggota kelompok rehabilitasi (33 org) dan anggota masyarakat lainnya hingga secara
keseluruhan berjumlah 68 orang. Kelompok perempuan meliputi istri-istri dari anggota kalompok di
tambah ibu-ibu lain dan ramaja putri disekitar lokasi. Seluruhnya berjumlah 71 orang.
Pelaksanaan pelatihan, 13 dan 14 November 2001 bertempat di Balai Ousun Waledan. Pada
pelatihan dilakukan demonstrasi dari materi yang sudah di berikan.

Pedoman Pengelolaan fkos!stem Mangrove


No. Kegiatan Keterangan
7. Pemeliharaan Untuk pemeliharan yaitu diadakan penyulaman, pemagaran dan pengendalian factor-faktor
perusak yang dapat meyebabkan kegagalan penanaman lkepiting,kera, arus air laut, tumbuhan
piyai, hama serangga dan erosi pantai). Hal tersebut di monitor oleh kelompok-kelompok yang
telah dibentuk secara intensif dengan memperhatikan intensitas tingkat kerusakan.

Gombar C.t8. Gombar C.19.


Tanaman hasil rehab1htasi mangrove yang terl1hat ba1k d1 Pemasangan papan nama yang berguna sebaga1
Kabupaten lndramayu informasi kepada masyarakat

4. Kabupaten Cirebon
No. Kegiatan Keterangan

1. Kondisi Lokasi Lokasi rehabilitasi dilakukan di Oesa Gebang Mekar. Ancaman abrasi pantai sampai saat ini
sejauh kurang lebih 100 meter dan belum ada program rehabilitasi yang berasal dari pemerintah.
Sudah ada kepedulian dan inisiatif dari sebagian masyarakat dalam merehabilitasi mangrove.
2. Luas dan Waktu Realisasi penanaman secara keseluruhan mencapai 12,8 Ha dan dilakukan pada tahap pertama
Penanaman tanggal22 Oktober 2001
3. Jenis Tanaman Bibit/buah yang dipakai adalah janis bakau IRhizophora sp.) sebanyak 43.000 buah dan 1000
bibit, dan 1000 botol berisi substrat. Benih atau bibit diambil dari RPH Cemara KPH lndramayu.

4. Teknik Pengangkutan bibit/buah dari lokasi yaitu dengan menggunakan truk yang kebetulan lokasi
Penanaman sumber bibit dapat di masuki truk. Penanaman pertama melibatkan sekitar 15 orang dan
menghabiskan 1000 bib it bakau dengan jarak 2 m x 1 m. Pembuatan Break Water di coba di
sepanjang pantai 300 m yang berguna untuk menahan ombak dan melindungi tanaman.

5. Sosialisasi dan Sosialisasi dilakukan meliputi sosialisasi formal yang bertujuan menginformasikan program
Partisipasi rehabilitasi mangrove dan penentuan lokasi di tingkat pemda, dinas terkait di pemda dan
Masyarakat kecamatan. Kemudian sosialisasi tingkat desa dengan menghadirkan masyarakat, tokoh-tokoh
desa, BPO dan pejabat desa, pemilik tambak, camat dan Kepala Oinas Perikanan dan Kelautan
Cirebon untuk meminta ijin pelaksanaan kegiatan. Untuk kelompok masyarakat yang di bentuk
yaitu meneruskan kelompok yang sudah ada. Kelompok nelayan/petambak "Maritim Jaya" yang
didirikan tahun 2000 adalah wadah yang cukup mapan dan secara kebetulan sudah mewadahi
para pencinta lngkungan dalam salah satu divisinya bias mendukung rehabilitasi.

6. Penyuluhan dan Materi penyuluhan yang diberikan meliputi aspek-aspek : 1) pentingnya keberadaan hutan
Pelatihan mangrove bag ekosistem pantai, fungsi ekologis dan biologi mangrove 2) Tehnis rehabilitasi
lmulai pembibitan sampai penanaman dan pemeliharaan).

7. Pemeliharaan Pemeliharaan dilakukan oleh kelompok nelayan/petambak dengan ada perjanjian biaya
pelaksanaan pemeliharaan dari pelaksana.

Bag1an HI - Model Rehab11itas1 Ekos1stem Mangrove d1 Panta1 Utara Jawa


Gombar C.20.
Tanaman hasil rehabilitasi mangrove di pesisir C1rebon

5. Kabupaten Pekalongan
No. Kegiatan Keterangan

1. Kondisi lokasi Pantai di Des a Pecakaran yaitu pinggir muara telah terabrasi lebih kurang 1DO meter. Di pantai
jenis tanahnya berlumpur amat cocok untuk merehabilitasi hutan mangrove.

2.
--
luas dan Waktu Pelaksanaan penanaman pada oktober · november 2001 dengan luas untuk 120.000 bibit/buah.
Penanaman Penanaman dilakukan dengan beberapa tahap yaitu Tahap I : Penanaman sebanyak 5.000 buah
di 5 titik lokasi. Tahap II : Penanaman sebanyak 50.000 di 5 titik lokasi. Tahap Ill : Penanaman
sebanyak 50.000 di 5 titik lokasi. Tahap IV: Sisa buah kurang lebih 20.000 untuk penyulaman.
3. Jenis Tanaman Jenis mangrove yang di tan am 2 jenis: flhizophora Mucronata dan flhizophora apiculata yang
didapat dari Desa Pecakaran dan Desa sekitarnya, Pekalongan dan Pemalang.

4. Teknik Sistem penanaman di lakukan dengan due cera yaitu:


Penanaman a. Penanaman di laut/ pantai, baris pertama (paling depan) sekitar 100 meter dari pinggir pantai
dengan kedalaman air 50 em, penanaman di masukkan ke dalam ring sumur/cincin sebagai
penahan ombak dan pelepah atau ranting pohon serta sampah-sampah yang di bawa ombak.
Baris kedua ke darat dan seterusnya penanaman dengan buah dan bibit yang diikat dengan
ajir, jarak penanaman 1 m x 1 m.
b. Penanaman di darat cukup dengan penanaman langsung buah tanpa ajir, jaraknya tergantung
dengan kebutuhan lokasi, untuk saat ini di tanam 1 x 50 em

5. Sosialisasi dan Pada sosialisasi kegiatan yang dilakukan lebih banyak berupa persiapan intern LSM dan
Partisipasi pengenalan awal kepada kepala Desa, stat Desa dan PKD secara umum. Beberapa sosialisasi
Masyarakat pada tahap persiapan adalah sosialisasi kepada Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan
Pekalongan, konsultasi dengan tim ahli IPB dan Universitas Diponegoro. Pembuatan kelompok
pengelola dan pelestari mangrove ini di bagi menjadi 5 kelompok.

6. Penyuluhan dan Oi lakukan pelatihan pelestarian lingkungn yang di selenggarakan saki tar akhir bulan Nopember
Pelatihan 2001 , bertempat di Aula Balai Oesa Pecakaran, Kecamatan Wira Desa Kabupaten
Pekalongan.Peserta pelatihan adalah: kelompok pengelola dan pelestari mangrove, Aparat Oesa,
Karang Taruna, Unsur BPO, Unsur Masyarakat. Materi yang di berikan pada pelatihan adalah 1)
Pengembangan Potensi diri 2) Tehnis Pemeliharaan lingkungan.

7. Pemeliharaan Untuk pemeliharaan dengan cara melibatkan masyarakat dan kelompok penanam yang terbentuk
dengan cara di buat kelompok yang mudah dan tepat. Monitoring di bagi dalam 5 kelompok
wilayah tanam; 1. Tepi pantai, 2. Pinggir sungai pencongan, 3. Saluran masuk air utama, 4.
Saluran kecil tambak, 5. Pematang tambak.

Pedoman Pengelolaan Ekos1stem Mangrove


6. Kabupaten Rembang

No. Kegiatan Keterangan

t. Kondisi lokasi Kegiatan rehabilitasi dilaksanakan di Desa Kebungan lor Kecamatan Rembang. lokasi
penanaman dilaksanakan pada daerah pesisir pantai yang terkena abrasi di depan tambak
pembuatan garam dan dulunya didominasi oleh jenis pi dada ISonneratia alba). Subtrat yang ada
di lokasi rehabilitasi didominasi oleh pasir dengan kandungan lumpur yang sedikit.

2. luas dan Waktu lokasi penanaman dilakukan di pesisir pantai Oesa Kebungan lor Kecamatan Rembang pada
Penanaman tahun 2001.

3. Jenis Tanaman Tanaman bakau IRhizophora apiculata). Jumlah bibit yang ditanam sebanyak 100.000 bibit .
Asal buah didapat dari tegakan bakau yang bereda di sekitar lokasi rehabilitasi.

4. Teknik Penanaman dilakukan dalam bentuk bib it dengan jumlah daun antara 4-5 buah. Jarak tanam
Penanaman yang dipakai adalah 25 x 25 em. Pada saat penanaman polybag hanya disobek pada bagian
pinggir, kemudian ditanam pada lubang tanam yang telah disediakan.

5. Sosialisasi dan Sosialisasi dilakukan kepada masyarakat sekitar lokasi penanaman. Pembentukan kelompok
Partisipasi dilakukan secara musyawarah dengan memperhatikan masukan dari penduduk desa:1<11.1ompok
Masyarakat ini nantinya akan terlibat secara langsung terhadap proses rehabilitasi dari proses penanaman
sampai dengan perawatannya.

6. Penyuluhan dan Oilakukan pelatihan yang dilakukan sebelum kegiatan penanaman. Pelatihan ini melibatkan
Pelatihan masyarakat Oesa Kebungan lor. Materi yang diberikan mengenai teknis pemeliharaan
lingkungan.

7. Pemeliharaan Pemeliharaan dilakukan oleh masyrakat sendiri selama kira-kira satu tahun sampai dengan
tanaman mangrove tersebut dira sa mampu bertahan terhadap tantangan kondisi alam.

Gombar C.21 .
Bibit yang ditanam secara berkelompok

Bibit yang ters1sa setelah terkena badai

Tipe substrat pas1r di lokasi

Kondisi Avicenia sp yang ditanam tahun 2001

Bag1an Ill Model Aehab1l11as• Ekos1stem Mangrove d1 Panta1 Utara Jawa


D. Hasil Monitoring
Keberhasilan tanaman mangrove diukur melalui beberapa kriteria dan
indikator keberhasilan. Untuk menentukan keberhasilan rehabilitasi ini
memang bukan suatu hal yang mudah, karena banyaknya faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan mangrove. Hasil monitoring suatu
kegiatan rehabilitasi dapat diukur dengan menggunakan kriteria
keberhasilan yang mencakup:
1). Kriteria persiapan; dengan indikator yang dipakai adalah
ketersediaan data ten tang tapak, tata hubungan kerja, serta kuantitas
dan kualitas SDM pelaksana kegiatan rehabilitasi
2). Kriteria pemilihan lokasi; dengan indikator yang dipakai kepastian
status lokasi, kejelasan fungsi kawasan/lokasi, serta seleksi dan
persia pan areal
3). Kriteria pelaksanaan; dengan indikator ketersediaan bibit,
pemilihan jenis yang sesuai, pendekatan teknologi, persentasi
tumbuh, dan partisipasi masyarakat
4). Kriteria Monitoring; indikator yang dipakai adalah pelaksanaan
penyulaman, pemeliharaan tanaman dan keberlanjutan kegiatan
E. Hal-hal yang perlu dicermati
Permasalahan dan kendala kegiatan rehabilitasi di beberapa daerah
yang telah melaksanakan uji coba rehabilitasi mangrove dengan model
rehabilitasi mangrove tersebut, menunjukkan adanya:
• Kesalahan dalam waktu penanaman, pemilihan jenis dan teknologi
rehabilitasi yang tidak sesuai dengan karakteristik lokasi rehabilitasi
• Tingginya aktivitas (perahu) di beberapa lokasi yang mengganggu
keberhasilan kegiatan penanaman
• Sempitnya waktu dari mulai perencanaan sampai dengan
pelaksanaan kegiatan sehingga tujuan untuk memberdayakan
masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi tidak dapat tercapai secara
baik
• Tingkat kesejahteraan masyarakat di sekitar ekosistem mangrove
yang masih rendah menjadi permasalahan utama yang harus segera
dipecahkan dalam pelaksanaan kegiatan penyelamatan dan
rehabilitasi ekosistem mangrove
Pedoman Pengelolaan Ekos1stem Mangrove
• Kurangnya keterlibatan masyarakat terutama dalam proses
perencanaan penanaman dan kegiatan pemeliharaan tanaman hasil
rehabilitasi. Berkaitan pula dengan pembinaan yang dilakukan untuk
masyarakat, mengingat masih rendahnya kepedulian masyarakat
pad a pemahaman pentingnya keberadaan mangrove.
Hasil monitoring dan evaluasi kegiatan tiap periode kegiatan (bulan)
hendaknya dilakukan untuk memberi masukan apabila dalam
pelaksanaan di lapangan terdapat kendala dan permasalahan. Dengan
demikian terdapat kesempatan untuk memperbaiki dan
menyempurnakan pelaksanaan kegiatan . Selain itu, monitoring
sebaiknya dilakukan oleh tenaga ahli di lapangan, dengan memantau
hasil pelaksanaan fisik kegiatan rehabilitasi, dan hasil pelaksanaan
pelatihan terhadap masyarakat kelompok binaan.

Bag1an Ill- Model Rehab1litas1 Ekosistem Mangrove d1 Panta1 Utara Jawa


Eb*tem m111gnm fllrplran sengat panting bagi linulw!liM!IIIi*. lllil 4ari segi fisi,
• • · maupun IIISial alulnominya. Ollh ~~ nilai soslll ek~. aklllktem
mangrM b111yak ....,.atkan dan dltolwl!si untuk bllbagai ........ ~~~~g­
ll!pllti ~didaya pari~. pemukimln, dserah industri, perhullllllln. wiull bahlri, dan
IIIIJ...... Namun dlliai lain, sering kill 1lllui ekosistem .....,... \IIIII rusak dan
memprihatink111.llerusekan ini diseblbklll alii! SIHllllkin tiniM!ilrallntkateksploitasi,
lamaillya k011rdinlli dan sinkronisNi JIIUI'IIII 111tar sektor, lemllllya penegak111 hukum.
dan randlhnya illlldar111 masyarakat tarhlllllp fungsi llllllilllm 1111ft01ove. Karusak111
tersebut tallh I!1IRirilulbn kerugi111 Ngi lingkuntan n...-. 11111ynkat.
Buku PedOIIIIR lhum Penlielolllrl Ekllistem Mangrfta ini. aangat ..... kaberldaamye
dllam rangka R*ljamil kellstlrian akoliltam maagr~a .-lllllllttllltlt~
lingkungan ~.lllgillln perikanan y111g berte'ia ....... parlildung111 pantai. wislll
ballari, dan ki!IBriiiA akanomllainnya.

Anda mungkin juga menyukai