Anda di halaman 1dari 10

RESUME

HUKUM DAGANG

Diajukan sebagai tugas mata kuliah Pengantar Hukum Indonesia

Disusun oleh : Kelompok 6


1. Bennary Josian (19211205)
2. Aditya Rahmad Saputra (19211206)
3. Bima Putra (19211207)
4. Imam Adlisyach (19211208)
5. Balgis Muhammad (19211210)
6. M. Syachrian R (19211211)
Kelas : 04 B2.1-3
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Lintje Anna Marpaung, SH., MH

JURUSAN ILMU HUKUM


UNIVERSITAS BANDAR LAMPUNG
2019
HUKUM DAGANG DAN ASAS-ASAS PEMBERLAKUANNYA
A. PENGERTIAN HUKUM DAGANG
Hukum Dagang adalah hukum perikatan yang timbul dari lapangan perusahaan, dimana
istilah perdagangan memiliki akar kata “dagang”. Pada zaman dahulu, manusia hidup dalam
masa primitif bentuk perdagangan yang ada adalah dagang tukar menukar (barter). Jika
seseorang ingin memiliki yang tidak dapat dibuatnya sendiri, ia berusaha memperolehnya
dengan cara menukar. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah dagang sendiri
diartikan sebagai pekerjaan yang berhubungan dengan menjual dan membeli barang untuk
memperoleh keuntungan.
Istilah dagang dipadankan dengan kosakata jual beli atau niaga.Dimana sebagai suatu
konsep,dagang secara sederhana diartikan sebagai perbuatan untuk membeli barang dari
suatu tempat untuk menjualnya kembali di tempat lain atau membeli barang pada suatu saat
dan kemudian menjualnya kembali pada saat lain dengan maksud untuk memperoleh
keuntungan.Perdagangan berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan dagang (perihal
dagang) atau jual beli perniagaan (daden van koophandel) sebagai pekerjaan sehari-hari.

B. SEJARAH HUKUM DAGANG


Berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUDNRI Tahun 1945,Tanggal 1 Mei 1848, Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang yang diberlakukan di Negeri Hindia Belanda (termasuk
Indonesia) oleh Pemerintah Belanda berdasarkan penarapan asas konkordansi, dimana asas
konkordansi menyatakan bahwa hukum yang berlaku di Belanda, berlaku juga di Hindia
Belanda atas dasar asas unifikasi.Wetboek Van Koophandeldisahkan oleh Pemerintah
Belanda dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Oktober 1838 . Berdasarkan penerapan asas
konkordansi , diberlakukan juga di Hindia Belanda berdasarkan Staatblaad 1847 No.23 yang
mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1848. Apabila dirunut kebelakang, Wetbook Van
Koophandel atau kitab undang-undang hukum datang (Hindia Belanda) merupakan turunan
dari Code du Commerce , peraturan yang berlaku di Perancis mulai tahun 1808.
Namun demikian, tidak semua isi dari Code du Commerce diambil alih oleh
Pemerintahan Belanda. Sementara di Negara Perancis sendiri Code du Commerce 1808
merupakan kodifikasi hasil penggabungan dari dua kodifikasi hasil penggabungan dari dua
kodifikasi hukum yang pernah ada dan berlaku sebelumnya, yaitu Ordonance du Commerce
dan Ordonance de la Marine 1681, yang mana kodifikasi Perancis yang pertama ini terjadi
atas perintah Raja Lodewijk.
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang masih berlaku di Indonesia berdasarkan ketentuan
Pasal 1 Aturan Peralihan UUDNRI Tahun 1945 yang pada pokoknya mengatur bahwa
peraturan yang ada pada saat itu tetap berlaku hingga Pemerintah Indonesia memberlakukan
aturan penggantinya. Di Negeri Belanda sendiri, Wetbook van Koophandel telah mengalami
perubahan, namun di Indonesia Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tidak mengalami
perubahan yang komprehensif sebagai suatu kodifikasi hukum. Namun demikian, tidak
berarti Indonesia tidak ada pengembangan peraturan terhadap permasalahan perniagaan sejak
merdeka. Strategi perubahan pengaturan terhadap masalah perniagaan di Indonesia dilakukan
secara parsial (terhadap substansi Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) dan membuat
peraturan baru terhadap substansi yang tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang.
C. SUMBER-SUMBER HUKUM DAGANG
1. Hukum tertulis yang dikodifikasikan
2. Hukum tertulis yang belum dikodifikasikan
3. Hukum Kebiasaan

Berikut penjelasannya:
1. Hukum tertulis yang dikodifikasikan
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) atau Wetboek van Koophandel
(WvK),yang mulai berlaku di Indonesia sejak tanggal 1 Mei 1848 terdiri dari 2 (dua)
Kitab dan 23 Bab. Tercantum jelas dalam KUHD bahwa implementasi dan pengkhususan
dari cabang-cabang Hukum Dagang bersumber pada Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang (KUHD). Isi pokok daripada KUHD Indonesia:
 Kitab Pertama berjudul Tentang Dagang Umumnya, memuat 10 Bab yang terdiri
dari:
a) Bab I dihapuskan, dimana menurut Stb. 1938/276 yang mulai berlaku pada
Tanggal 17 Juli 1938, Bab I yang berjudul “tentang Pedagang-pedagang dan
tentang Perbuatan Dagang” yang meliputi Pasal 2, 3, 4, dan 5 telah
dihapuskan.
b) Bab II tentang pemegangan buku
c) Bab III tentang beberapa jenis perseroan
d) Bab IV tentang bursa dagang, makelar dan kasir
e) Bab V tentang komisioner, ekspeditur, pengangkut dan terkait bagi pengusaha
yang melalui sungai dan perairan daratan.
f) Bab VI tentang surat wesel dan surat order
g) Bab VII tentang cek , promes dan kuitansi kepala pembawa (aan toonder)
h) Bab VIII tentang reklame atau penuntutan kembali dalam hal kepailitan
i) Bab IX tentang asuransi atau petanggungan seumumnnya
j) Bab X tentang petanggungan (asuransi) terhadap bahaya kebakaran, bahaya
yang mengancam hasil-hasil dari pertanian yang belum dipenuhi dan
pertanggungan jiwa.

 Kitab Kedua yang berjudul Tentang Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban yang


Terbit dari Pelayaran, yang terdiri dari 13 Bab yaitu:
a) Bab I tentang kapal-kapal laut dan muatannya
b) Bab II tentang kegiatan dari pengusaha-pengusaha kapal dan perusahaan-
perusahaan perkapalan.
c) Bab III tentang ketentuan nahkoda, anak kapal dan penumpang
d) Bab IV tentang perjanjian kerja laut
e) Bab V A tentang Pengangkutan barang
f) Bab V B tentang Pengangkutan orang
g) Bab VI tentang penubrukan
h) Bab VII tentang pecahnya kapal atau angkutan laut lainnya, pendamparan, dan
diketemukannya barang di wilayah laut.
i) Bab VIII dihapuskan, dimana menurut ketentuan Stb. 1933 No.47 jo. Stb.
1938, Bab VIII yang tentang persetujuan utang uang dengan premi oleh
nahkoda atau pengusaha pelayaran dengan tanggungan kapal atau muatannya
atau dua-duanya yang meliputi Pasal 569-591 telah dicabut.
j) Bab IX tentang pertanggungan terhadap segala bahaya laut dan pembudakkan
k) Bab XI tentang kerugian laut (Avary)
l) Bab XII tentang berakhirnya suatu perikatan dalam perdagangan laut
m) Bab XIII tentang kapal-kapal dan perahu-perahu yang melalui sungai-sungai
dan perairan darat.

2. Hukum tertulis yang belum dikodifikasikan


Hukum terulis yang belum dikodifikasikan adalah peraturan perundangan khusus
yang mengatur tentang perihal yang berhubungan dengan ketentuan perdanganan,
diantaranya adalah sebagai berikut:
a) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
b) UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal;
c) UU No. 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi;
d) UU No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan.

3. Hukum Kebiasaan
Hukum Kebiasaan adalah kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus dan tidak
terputus dan sudah diterima oleh masyarakat pada umumnya serta pedagang pada
khususnya, dapat dipakai juga sebagai sumber hukum pada Hukum Dagang, hal ini sesuai
dengan ketentuan Pasal 1339 KUHPerdata bahwa perjanjian tidak saja mengikat yang
secara tegas diperjanjikan, tetapi juga terikat pada kebiasaan-kebiasaan yang sesuai
dengan perjanjian tersebut. Contoh: Terkait pemberian komisi, jual beli dengan angsuran,
dan sebagainya. Dimana yang menjadi landasan hukumnya sebagai berikut:
1. Pasal 1339 KUHPerdata menyatakan:
“Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan
didalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan
dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang.”
Yang berarti suatu perjanjian tidak saja mengikat untuk apa yang semata-mata
telah diperjanjikan, tetapi untuk apa yang sudah menjadi kebiasaan.

2. Pasal 1347 KUHPerdata juga menyatakan:


“Syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap
telah termasuk dalam persetujuan, walaupun tidak dengan tegas dimasukkan
dalam persetujuan.”
Hal-hal yang sudah lazim diperjanjikan dalam suatu perjanjian atau perikatan,
meskipun tidak secara tegas diperjanjikan haruslah dianggap juga tercantum
dalam setiap perjanjian semacam itu.

Perjanjian tersebut dibagi lagi menjadi 2 bagian yaitu Perjanjian yang dibuat para pihak
dan Perjanjian Internasional.

1.1 Perjanjian yang dibuat para pihak


Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1338 KUHPerdata disebutkan:
“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat
ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena
alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus
dilaksanakan dengan itikad baik.
Contohnya lagi dalam Pasal 1477 KUHPerdata:
“Penyerahan harus dilakukan di tempat barang yang dijual itu berada pada
waktu penjualan, jika tentang hal itu tidak diadakan persetujuan lain.
Misalkan penyerahan barang diperjanjikan dengan klausula Free On Board-FOB,
maka penyerahan barang dilaksanakan ketika barang sudah berada diatas kapal.
1.2 Perjanjian Internasional
Perjanjian Internasional diadakan dengan tujuan agar pengaturan tentang
persoalan Hukum Dagang dapat diatur secara seragam oleh ketentuan hukum
nasional dari masing-masing negara peserta yang terikat dalam perjanjian
internasional tersebut. Untuk dapat diterima dan mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat, maka perjanjian internasional tersebut harus diratifikasi oleh
masing-masing negara yang terikat dalam perjanjian internasional tersebut.
Adapun jenis-jenis perjanjian internasional:
a. Traktat
Ialah perjanjian bilateral yang dilakukan oleh dua negara saja.
Contoh: Traktat yang dibuat dan disepakati oleh Bangsa Indonesia dengan
Bangsa Amerika perihal mengatur tentang pemberian perlindungan hak cipta
yang kemudian disahkan melalui Keppres No. 25 Tahun 1989.
b. Konvensi
Yaitu perjanjian yang dilakukan oleh beberapa negara.
Contoh: Konvensi Paris yang mengatur tentang merek, Konvensi Jenewa 1949
(tentang korban perlindungan perang).

D. HUBUNGAN HUKUM DAGANG DAN HUKUM PERDATA


Hukum Dagang dengan Hukum Perdata adalah saling berkaitan, seperti yang terdapat
dalam Pasal 1 yang berisi “Selama dalam Kitab Undang-undang ini terhadap Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata berlaku juga terhadap hal-hal yang dibicarakan dalam Kitab
Undang-undang ini.” Dan Pasal 15 KUHD yaitu “Perseroan-perseroan yang disebut dalam
bab ini dikuasai oleh perjanjian pihak-pihak yang bersangkutan, oleh Kitab Undang-undang
ini dan oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata”.Dari kedua pasal ini, dapat kita ketahui
pengertian Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) adalah hukum yang mengatur
secara khusus (lex specialis), sedangkan KUHPerdata (Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata) adalah hukum yang bersifat umum (lex generalis), sehingga antara keduanya berlaku
satu asas yakni “Lex Specialis Derogat Lex Generali” yang artinya hukum yang khusus dapat
mengesampingkan hukum yang bersifat umum.
Berbeda dengan beberapa ahli yang mengatakan hubungan Hukum Dagang dengan
Hukum Perdata sebagai berikut:
a) Van Kan menyatakan bahwa Hukum Dagang adalah suatu tambahan Hukum Perdata,
yaitu suatu tambahan yang mengatur perihal yang khusus, dimana KUHPerdata
memuat ketentuan Hukum Perdata dalam arti sempit sedangkan KUHD memuat
penambahan ketentuan yang mengatur hal khusus Hukum Perdata dalam arti sempit.

b) Van Apeldoorn mengganggap Hukum Dagang suatu bagian istimewa dari lapangan
hukum perikatan yang tidak dapat ditetapkan dalam Kitab III KUHPerdata.

c) Sentosa memiliki pendapat yang berbeda dari kedua ahli diatas, beliau menyatakan
bahwa KUHD mengesampingkan KUHPerdata bila dalam KUHD telah mengaturnya
secara khusus, sedangkan KUHD dikesampingkan oleh KUHPerdata bila tidak ada
aturan yang diatur oleh KUHD.
E. PENGGOLONGAN BADAN USAHA
Secara teoritis badan usaha dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu:
1. Badan usaha yang bukan berbadan hukum (Non-Badan Hukum)
2. Badan usaha yang berbadan hukum (Badan Hukum)

Secara sepintas tampaknya kedua badan usaha ini tidak memiliki perbedaan. Namun jika
dilihat secara mendalam dari perspektif hukum perusahaan, ada perbedaan yang cukup
mendasar yakni terkait masalah tanggung jawab. Dalam undang-undang sendiri tidak
dijabarkan pengertian dari Badan Usaha. Dimana dalam Pasal 1653 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata hanya disebutkan jenis Perkumpulan (Badan Hukum), yakni:
“Selain perseroan perdata sejati, perhimpunan orang-orang sebagai badan hukum juga
diakui undang-undang, entah badan hukum itu diadakan oleh kekuasaan umum atau
diakuinya sebagai demikian, entah pula badan hukum itu diterima sebagai yang
diperkenankan atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan
dengan undang-undang atau kesusilaan.”
Kesimpulan:
1. Yang diadakan oleh kekuasaan umum
2. Perkumpulan yang diakui oleh kekuasaan umum
3. Perkumpulan yang diperkenankan atau untuk suatu maksud tertentu yang tidak
berlawanan dengan undang-undang atau kesusilaan.

Adapun perbedaan antara Badan Usaha yang Bukan Berbadan Hukum dan Badan Usaha
yang Berbadan Hukum, yaitu:
1. Apabila Badan Usaha yang Bukan Berbadan Hukum:
a) Subyek hukumnya adalah orang atau individu yang menjadi pengurusnya, serta bukan
dari badan hukum itu sendiri.
b) Harta perusahaan bersatu dengan harta pribadi para pengurus anggotanya. Yang
berakibat jika perusahaan tersebut pailit, maka harta pengurus/anggotanya ikut tersita
juga.
c) Badan usaha yang bukan berbadan hukum adalah Perusahaan Dagang, Persekutuan
Perdata, Firma, dan Persekutuan Komanditer (Commanditaire Vennotschap atau CV)
 Perusahaan Dagang (PD)
Perusahaan Dagang adalah perusahaan perseorangan yang dilakukan oleh seorang
pengusaha. Yang dapat dikelola oleh satu orang atau lebih, dengan modal milik
sendiri. Dalam praktek diterima sebagai pelaku usaha, akan tetapi belum diatur
secara khusus dalam undang-undang tersendiri. Hal ini dapat dilihat dengan
keluarnya Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
23/MPP/KEP/1/1998 tentang Lembaga-Lembaga Usaha Perdagangan. Dalam
Perusahaan Dagang ini masih belum terdapat standar prosedur pendirian yang
harus diikuti, hanya dalam praktek pada umumnya pendirian Perusahaan Dagang
dibuat dengan Akta Notaris.

 Persekutuan Perdata (Maatschap)


Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1618-1652 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata bahwa persekutuan perdata adalah suatu perjanjian dengan mana dua
orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu ke dalam
persekutuan dengan maksud untuk membagi keuntungan atau kemanfaatan yang
diperoleh karenanya dan dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan. Berikut
adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mendirikan persekutuan perdata:
1) Tidak dilarang oleh undang-undang
2) Tidak bertentangan dengan tatasusila atau dalam hal ini ketertiban umum
3) Tujuannya adalah kepentingan bersama untuk mencari keuntungan

Dalam Pasal 1646 KUHPer disebutkan bahwa “persekutuan perdata berakhir


karena:
1) Karena waktu yang ditetapkan dalam perjanjian telah habis;
2) Karena musnahnya barang yang dipergunakan untuk tujuan perseroan atau
karena tercapainya tujuan itu;
3) Karena kehendak beberapa peserta atau salah seorang peserta;
4) Karena salah seorang dari peserta meninggal dunia, ditempatkan di bawah
pengampunan atau bangkrut atau dinyatakan sebagai orang yang tidak mampu.

 Persekutuan Perdata Bukan Badan Hukum


Pengertian dari persekutuan perdata bukan badan hukum dapat dicermati dalam
Pasal 1644 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berisi:
“Perjanjian yang mengikatkan suatu perbuatan atas tanggungan perseroan,
hanya mengikat peserta yang mengadakan perjanjian demikian, dan tidak
mengikat peserta lain, kecuali jika mereka ini telah memberi kuasa untuk itu
kepada peserta yang membuat perjanjian tersebut, atau bila dengan tindakan
termaksud ternyata perseroan memperoleh untung.”
dan ketentuan Pasal 1645 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sebagai berikut:
“Jika salah seorang peserta mengadakan suatu perjanjian atas nama perseroan,
maka perseroan itu dapat menuntut supaya perjanjian itu dilaksanakan.”

 Firma (FA)
Keberadaan Firma sebagai badan usahan diatur dalam Pasal 16 hingga Pasal 35
KUHD, pengertian Firma secara sederhana dijabarkan dalam Pasal 16 KUHD.
Firma adalah tiap-tiap persekutuan perdata yang didirikan dan untuk menjalankan
perusahaan dengan nama bersama. Dijelaskan dalam Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), bahwa:
- Pasal 16, “Perseroan Firma adalah suatu perseroan yang didirikan untuk
melakukan suatu usaha dibawah satu nama bersama.”
- Pasal 17, “Tiap-tiap persero kecuali yang tida diperkenankan, mempunyai
wewenang untuk bertindak, mengeluarkan dan menerima uang atas nama
perseroan, dan mengikat perseroan kepada pihak ketiga, dan pihak ketiga
kepada perseroan. Tindakan-tindakan yang tidak bersangkutan dengan
perseroan, atau yang bagi para persero menurut perjanjian tidak berwenang
untuk mengadakannya, tidak dimasukkan dalam ketentuan ini.”
- Pasal 18, “Dalam perseroan firma tiap-tiap persero bertanggungjawab secara
tanggung-renteng untuk seluruhnya atas perikatan-perikatan perseroannya.”
Tatacara mendirikan Firma dijabarkan dalam Pasal 22 Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang, berisi:
“Perseroan-perseroan firma harus harus didirikan dengan akta otentik, tanpa
adanya kemungkinan untuk disangkalkan terhadap pihak ketiga, bila akta itu
tidak ada.”
Dari rumusan Pasal 22 diatas, dapat disimpulkan bahwa pendirian Firma
bentuknya bebas, yang berarti cukup memerlukan akta atau cukup secara lisan.
Akan tetapi dalam praktek dibuat dengan Akta Notaris sebagai alat bukti jika ada
perselisihan antara para pihak, baik intern maupun ekstern Firma.
 Persekutuan Komanditer (Commanditaire Vennotschapatau CV)
Pengertian dari CV tidak terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(KUHD), dimana pengaturan tentang CV dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang (KUHD) sangat singkat, yakni dalam Pasal 19 hingga Pasal 21. Dengan
demikian, CV merupakan persekutuan dengan setoran uang, dibentuk oleh satu
atau lebih anggota aktif yang bertanggung jawab secara renteng di satu pihak
dengan satu atau lebih orang lain sebagai pelepas uang. Tatacara pendirian CV
sendiri tidak ada ketentuan yang secara tegas dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang, akan tetapi dalam praktek dibuat dalam Akta Notaris (autentik).

2. Apabila Badan Usaha yang Berbadan Hukum:


a) Subyek hukumnya adalah badan usaha itu sendiri, karena badan hukum juga termasuk
subyek hukum di samping orang.
b) Harta kekayaan perusahaan terpisah dari harta kekayaan pribadi dari para pengurus
atau anggotanya. Yang apabila perusahaannya pailit, maka penyitaan hanyalah harta
perusahaan saja dan harta pribadi pengurus atau anggotanya terbebas dari penyitaan.
c) Badan usaha yang berbadan hukum seperti Perseroan Terbatas (PT), PERUM,
PERJAN, Persero, dan Koperasi.

 Perseroan Terbatas (PT)


Landasan yuridis keberadaan Perseroan Terbatas (PT) sebagai badan usaha
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas. Sebelum munculnya undang-undang tersebut, landasan
yuridis yang ada di Indonesia keberadaannya diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang yang dijabarkan dalam Pasal 36-56. Pengertian Perseroan
Terbatas dijabarkan dalam Pasal 1 butir (1) Undang-Undang Tentang Perseroan
Terbatas yang mengemukakan:
“Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum
yang didirikan berdasarkan pejanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal
dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dalam Undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.”

Untuk mendirikannya telah dijabarkan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang


Perseroan Terbatas yang berbunyi:
“Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang
dibuat dalam Bahasa Indonesia.”
dan Pasal 7 ayat (2),
“Setiap pendiri perseroan wajib mengambil bagian saham pada saat perseroan
didirikan.”
sedangkan syarat materialnya dijabarkan dalam Pasal 24-25 Undang-undang
Tentang Perseroan Terbatas yang pada intinya mengemukakan:
- Modal dasar perseroan terdiri atas seluruh nilai nominal saham.
- Saham dapat dikeluarkan atas nama atau atas tunjuk
- Modal dasar perseroan paling sedikit Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah).
- Modal sesuai dengan nominal saham
- 25% modal harus ditempatkan atau disetujui oleh para pendiri
Jika semua persyaratan telah dipenuhi oleh para pendiri, maka Perseroan Terbatas
menjadi badan hukum, yakni:
1. Akta Pendirian dan Anggaran Dasar sudah disahkan oleh Menteri Kehakiman
Republik Indonesia.
2. Pengesahan Anggaran Dasar telah diumumkan dalam Tambahan Berita
Negara Republik Indonesia (TBNRI).
3. Akta pengesahan sebagaimana yang telah didaftarkan dalam daftar perusahaan
dimana wilayah hukum Perseroan Terbatas berdomisili.

 Perusahaan Umum (PERUM)


Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (4) Undang-undang tentang BUMN, disebutkan
bahwa,
“Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum, adalah BUMN yang
seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan
untuk memanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang
bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip
pengelolaan perusahaan.”
Selain itu juga dijabarkan dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan pemerintah Nomor 13
Tahun 1998,
“Maksud dan tujuan PERUM adalah menyelenggarakan usaha yang bertujuan
untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan atau jasa yang bermutu
tinggi dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan
perushaaan.”
Yang berkarakteristik sebagai berikut:
- Makna usahanya disamping melayani kepentingan umum sekaligus memupuk
keuntungan
- Berstatus badan hukum
- Bergerak dalam bidang-bidang vital
- Mempunyai nama dan kekayaan sendiri
- Dapat menuntut dan dituntut
- Modal seluruhnya dimiliki oleh negara dari kekayaan negara yang dipisahkan
- Dipimpin oleh seorang direksi
- Pegawainya adalah pegawai perusahaan negara

 Perusahaan Jawatan (PERJAN)


Perusahaan Jawatan sering pula disebut sebagai Departemental Agency. Adapun
ciri-ciri Perusahaan Jawatan yakni:
1. Makna usahanya adalah Public Serviceyang artinya pengabdian serta
pelayanan kepada masyarakat
2. Bagian dari departemen
3. Mempunyai hubungan hukum public
4. Pimpinannya disebut kepala
5. Memperoleh fasilitas negara
6. Pegawainya disebut Pegawai Negeri
7. Pengawasan dilakukan secara hierarki
 Perusahaan Perseroan (PERSERO)
Dalam Pasal 1 butir (2) dari Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 yang
telah merumuskan pengertian Perusahaan Perseroan sebagai berikut:
“Perusahaan Perseroan, untuk selanjutnya disebut PERSERO, adalah Badan
Usaha Milik Negara yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun
1969 yang berbentuk Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1995 yang seluruh atau paling sedikit 51% saham yang
dikeluarkannya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan modal secara langsung.”

Selain itu dijabarkan juga dalam Pasal 4 dari Peraturan Pemerintah Nomor 12
Tahun 1998, berisi:
“(1)Maksud dan tujuan PERSERO adalah:
a. Menyediakan barang dan atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing
kuat baik di pasar dalam negeri ataupun internasional; dan
b. Memupuk keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan.
(2) PERSERO dengan sifat usaha tertentu dapat melaksanakan penugasan khusus
untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum, dengan tetap
memperhatikan maksud dan tujuan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1).”

 Koperasi
Definisi Koperasi dijelaskan di dalam Pasal 1 butir (1) Undang-undang tentang
Koperasi, yaitu:
“Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan
hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi
sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas
kekeluargaan.”

Adapun dalam pelaksanaannya, koperasi terdiri dari organ sebagai berikut:


1. Rapat Anggota, yang menjadi organ tertinggi dalam organisasi
2. Pengurus dan,
3. Pengawas.

Anda mungkin juga menyukai