Anda di halaman 1dari 9

Tugas Hukum Dagang

Natanael Lumbantobing
20600251
Grup E
Hukum Dagang
Jumat 29 Oktober 2021
Ilmu hukum
Fakultas Hukum
Universitas HKBP Nommensen
Medan
A. Pengertian Hukum Dagang
Pada umumnya di negara-negara yang menganut sistem hukum kontinental,
mengakui, bahwa Hukum Dagang merupakan bahagian dari Hukum Perdata.
Pengakuan yang demikian itu disebabkan adanya kodifikasi yang terpisah antara
Hukum Dagang dengan Hukum Perdata. Khusus di Indonesia, pemahaman terhadap
Hukum Perdata masih dapat diartikan pada dua perspektif.
Pemahaman pertama ; adalah mengartikan Hukum Perdata sebagai seberang dari
Hukum Publik. Ruang lingkupnya meliputi hukum yang mengatur hubungan antara
orang perorangan dan yang langsung dipertahankan para pihak yang bersangkutan.
Pemahaman kedua ; dipahami dalam arti substansinya yang terdiri atas pemahaman
luas dan sempit. Dalam arti luas , Hukum Perdata meliputi hukum yang ada pada
kodifikasi Burgerlijk Wetboek (BW) dan Hukum Dagang yang ada dalam kodifikasi
Wetboek van Koophandel (WvK). Dalam arti sempit, Hukum Perdata hanya diartikan
yang ada dalam BW (KUHPerdata).
Persoalan mengenai Hukum Perdata dengan Hukum Dagang muncul pada pengertian
luas seperti disebut di atas. Terpisahnya kodifikasi Hukum Perdata dengan Hukum
Dagang, diawali dan berkembang menurut sejarah. Dimasukkannya Hukum Dagang
dalam pengertian Hukum Perdata dalam arti luas didasarkan pada realitasnya sendiri,
sebab substansi Hukum Perdata berkorelasi dengan substansi Hukum Dagang.

B. Menurut Pandangan Para Ahli


 Achmad Ichsan (1993:1) mengatakan “….. karena mempelajari Hukum
Dagang tanpa mengetahui pengertian – pengertian keperdataan yang tercakup
dalam sumber hukumnya termuat dalam BW (KUHPerdata) tidaklah
mungkin“.
 Pengertian Hukum Dagang menurut C.S.T. Kansil (1984 : 7) adalah ; hukum
yang mengatur tingkah laku manusia yang turut melakukan perdagangan
dalam usahanya memperoleh keuntungan.
 R. Soerjatin (1983:19) mengartikan Hukum Dagang dengan ; kesatuan
ketentuan - ketentuan yang berlaku terhadap seorang pedagang yang
menjalankan suatu perusahaan , ketentuan-ketentuan mana terdapat dalam
KUHD dalam hal-hal khusus perdagangan.
 R. Soekardono (1977 :1) mengakui bahwa ada dari Hukum Perdata Umum
merupakan bagian Hukum Dagang, terutama yang mengatur beberapa
perjanjian (evereenkomsten) dan perikatan-perikatan (verbintenis). Artinya,
setiap perbuatan orang dalam dunia perdagangan atau perusahaan tidak lepas
dari perikatan. Justru itulah di Indonesia dikatakan, bahwa Pasal 1 KUHD
memelihara kesatuan antara Hukum Dagang dengan Hukum Perdata.
Terhitung tanggal 29 September 2020, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 tahun
2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan secara
Elekronik mulai diberlakukan. Oleh karena ini merupakan hal yang baru dalam
praktek peradilan di negara kita, tentu saja masih banyak orang yang tidak
mengetahui, apa saja yang harus dipersiapkan, untuk dilakukan dalam mengikuti
persidangan secara elektronik. Mengingat dalam perkara pidana yang masuk dalam
kategori hukum publik, yang dicari adalah kebenaran materil atau yang lebih dikenal
dengan kebenaran yang sesungguhnya.

C. Perubahan dalam KUHD


 Dalam berbagai penelusuran literatur dijumpai keseragaman pendapat, bahwa
Hukum Dagang pada mulanya semata-mata diperuntukkan untuk golongan
pedagang atau yang melakukan tindakan-tindakan dagang.
 Perkataan pedagang ada disebutkan pada Pasal 2 s.d. 5 WvK Belanda.
Pengertian pedagang sebagaimana pada Pasal 2 WvK Belanda adalah mereka
yang melakukan tindakan-tindakan dagang dan membuatnya sebagai
pekerjaan. Kata pedagang dan perbuatan dagang diganti menjadi perusahaan
dan perbuatan-perbuatan perusahaan (Kansil, 1984; 14). Dengan adanya
perubahan pada WvK Belanda tersebut, hal itu diikuti pula oleh KUHD
berdasarkan Stb 1938 No. 276 (lihat R. Soekardono,1977 : 17).
 Hanya saja KUHD tidak memberi pengertian perusahaan. Maksud pembuat
undang-undang dalam hal ini adalah, menyerahkan pada para akhli untuk
memberi pengertian sesuai dengan perkembangan jaman. Hal ini dapat
dimaklumi karena pengertian perusahaan bukan istilah dalam hukum.

D. Sumber-sumber Hukum Dagang di Indonesia


Pada dasarnya Hukum Dagang Indonesia bersumber dari KUHD Stb. 1847 no. 23
sebagai suatu peraturan hukum dalam bentuk undang-undang yang dikodifikasikan.
Secara garis besarnya hal-hal yang diatur dalam KUHD adalah sebagai berikut :
Tentang Perdagangan pada umumnya :
 Pengertian pedagang dan perbuatan perniagaan (Bab I Pasal 2 s.d. 5 telah
dihapuskan dengan Stb 1938 Nomor 27 )
 Tentang memegang buku (Bab II Pasal 6 s.d. 13)
 Tentang beberapa jenis perseroan dagang (Firma dan Komanditer) sedangkan
tentang Perseroan Terbatas tidak berlaku lagi dengan terbitnya Undang-
undang No.1 tahun 1999 (Bab III Pasal 14 s.d. 58). Tentang bursa
perniagaan, makelar dan kasir (Bab IV Pasal 59 s.d. 75)
 Tentang komisioner, expeditur, tukang pengangkut dan juragan perahu
melalui sungai (Bab V Pasal 76 s.d. 99).
 Tentang surat wesel, surat order, cek (Bab VI dan VII Pasal 100 s.d. 229).
 Tentang reklame dalam hal pailit (Bab VIII Pasal 230 s.d. 245)
 Tentang asuransi (Bab IX dan X Pasal 246 s.d. 308).

Tentang Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban yg bersumber pada Pelayaran


 Tentang kapal laut dan muatannya (Bab I Pasal 309 s.d. 319)
 Tentang perusahaan perkapalan dan pelayaran (Bab II Pasal 320 s.d. 340 f)
 Tentang nakhoda, anak buah kapal dan penumpang (Bab III Pasal 341 s.d. 394
a).
 Tentang perjanjian laut tentang perjanjian kerja laut pada umumnya (Bab IV
Pasal 395 s.d. 452 g).
 Tentang pencarteran kapal (Bab V Pasal 453 s.d. 465)
 Tentang pengangkutan barang-barang dan orang (Bab V a dan b Pasal 466 s.d.
533 z)
 Tentang bahaya di laut ( tabrakan kapal, pecahnya kapal, terdampar dan
ditemukannya barang - barang di laut) Bab VI dan VIII Pasal 534 s.d. 568 k
 Tentang persetujuan hutang uang dengan premi oleh nakhoda atau pengusaha
pelayaran dengan tanggung dengan kapal atau muatan atau kedua-duanya
(Bab VII Pasal 569 s.d. 591). Ketentuan ini sudah dihapus.
 Tentang asuransi laut (Bab IX dan X Pasal 592 s.d. 695).
 Tentang kerugian laut (Bab XI Pasal 696 s.d. 740).
 Tentang putusnya perikatan dalam perdagangan laut (Bab XII Pasal 741 s.d.
747)
 Tentang kapal dan alat berlayar di sungai-sungai dan danau-danau (Bab XIII
Pasal 748 s.d. 754).

KUHD, yaitu Tentang Ketidakmampuan Para Pedagang.


Ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi pada tahun 1906, diganti dengan
Peraturan Kepailitan Stb. 1906 no. 348, dan yang terakhir UU no. 4 tahun 1998
tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran. Selain KUHD, sumber utama lainnya
adalah Buku III KUHPerdata, yaitu tentang Perikatan. Buku ini merupakan dasar -
dasar umum bagi setiap perjanjian, baik perjanjian tentang orang atau kekayaan.
Bahkan buku inilah yang menghubungkan antara KUHD dengan KUHPerdata. Di
samping itu masih ada lagi sumber-sumber hukum lain yang tidak dikodifikasikan.
Dengan kata lain terdapat pada berbagai peraturan-peraturan lainnya. Berbagai
peraturan tersebut antara lain :
 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
 UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal;
 UU No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan;
 UU No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan;
 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta;
 UU No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran
 UU No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran;
 UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan;
 UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten;
 UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merk;
 UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri;

PERUSAHAAN DAN PENGUSAHA


Salah satu hal terpenting dalam sejarah KUHD adalah adanya perubahan dalam
substansinya. Perubahan dimaksud ialah pada titel I buku I yang dulunya (dalam
bahasa Indonesia) berkepala “Tentang pedagang-pedagang dan perbuatan
perniagaan” (R Sukardono 1977 : 19). Istilah pedagang diubah dengan pengusaha.
Pengertian perusahaan lebih luas dari pedagangan, karena perusahaan menunjukan
badan /lembaga yang terorganisir. Di lain pihak, pedagang semata-mata menunjukkan
perbuatan seorang yang pekerjaannya berdagang. Kelemahan dari perubahan itu
adalah tidak adanya penjelasan resmi dalam KUHD tentang perusahaan. Untuk
memahami arti perusahaan haruslah dipedomani pada berbagai hal.
Pengertian perusahaan dalam undang-undang, dijumpai pada Undang-undang No.
3 tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan (UWDP). Pada Pasal 1 huruf b
Undang-undang No.3 1982 tentang WDP tersebut dikatakan, bahwa perusahaan
ialah : “Setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap
dan terus menerus dan didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah Negara
Indonesia untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba”. Minister van Justitie
(Menteri Kehakiman) Belanda pada sidang Parlemen memberikan pengertian
perusahaan dengan :”...barulah dapat dikatakan adanya perusahaan, apabila pihak
yang berkepentingan bertindak secara tidak terputus putus dan terang-terangan serta
di dalam kedudukannya tertentu mendapat laba bagi dirinya sendiri” (1977:20).
Molengraaff mengatakan bahwa perusahaan adalah pengertian dalam bidang
ekonomi, yang diartikan dengan, keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terus
menerus bertindak ke luar, untuk mendapatkan penghasilan, dengan cara
memperniagakan barang-barang atau mengadakan perjanjian-perjanjian perdagangan.
(T.Sy. Sastroresono, 1987 : 17). Polak berpendapat juga bahwa suatu perusahaan ada
bila sebelumnya memperhitungkan terlebih dahulu mengenai rugi dan labanya serta
mencatat ke dalam suatu pembukuan (S.R. Hadikusuma, 1996 : 4).
Ternyata beberapa penulis Hukum Dagang mengakui bahwa istilah perusahaan
adalah pengertian dalam ekonomi, bukan istilah hukum. Dengan mengetahui letak
perusahaan dalam perspektif hukum, maka dapat dipastikan, bahwa orang hukum
bukanlah bertujuan mempelajari perusahaan dari aspek ekonomi.UU No. 32 Tahun
2000 tentang Tata Letak Sirkuit;

Unsur–unsur Perusahaan Dalam Perspektif Hukum


Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya bahwa perusahaan adalah terminologi dan
konsep dalam (ilmu) ekonomi. Memahami perusahaan dari perspektif hukum tentu
harus pula memahaminya lebih dulu dari perspektif ekonominya, walaupun bukan
keseluruhannya. Berdasarkan rumusan Molengraaff, Polak dan pembuat UU, maka
dapat diidentifikasikan unsur-unsur yang terdapat dalam pengertian perusahaan (Abd.
Muhammad, 1995 : 11).
Adapun unsur-unsur yang dimaksud dalam hukum adalah sebagai berikut :
1. Badan usaha
Suatu perusahaan selalu diwujudkan, dikelola dalam suatu bentuk kelembagaan.
Badan usaha menunjukkan legalitas perusahaan tersebut sebagai lembaga di mana
perusahaan dikelola. Sebagai dasar legalitas, maka badan usaha itu wajib didirikan
berdasarkan suatu akte. Dengan adanya akte sebagai dasar pendirian badan usaha itu,
maka lahirlah fundasi perusahaan secara juridis.
2. Kegiatan dalam bidang ekonomi :
Menunjukkan bidang kegiatan perusahaan sudah tertentu dalam bidang ekonomi
(bisnis). Unsur ini perlu dipertegas sebab adakalanya suatu lembaga yang bidang
kegiatannya bukan bidang ekonomi, misalnya Yayasan. Bidang ekonomi boleh
meliputi, perdagangan, jasa dan pengolahan. Kegiatan ini menunjukkan bahwa suatu
perusahaan bergerak dalam transaksi yang timbul dari perjanjian serta bertujuan
mencari untung atau laba. Namun perlu diketahui, bahwa kegiatan dalam bidang
ekonomi dimaksud tidak boleh dilakukan dengan cara melawan hukum, ketertiban
umum, kesusilaan dan kepatutan.
3. Terus menerus :
Suatu perusahaan dan kegiatannya harus dilakukan dengan terus menerus (kontinu)
tidak boleh dilakukan dengan cara sambilan. Berjalannya kegiatan perusahaan secara
terus menerus menunjukkan keberadaannya kepada masyarakat sebagai pihak ketiga
yang memiliki kaitan dengan kegiatannya (langsung atau tidak).
4. Terang -terangan
Suatu perusahaan wajib dinyatakan keberadaannya dengan penerbitan akta, berbagai
izin, nama dan pengumuman-pengumuman yang dilakukan. Unsur ini terkait dengan
berbagai pihak, misalnya pemberitahuan kepada masyarakat, pemerintah maupun
perusahaan lain. Justru itu, terang-terangan menunjukkan bahwa perusahaan wajib
diketahui pemerintah, tidak boleh bertentangan dengan hukum serta mempunyai
kewajiban kepada publik. Perbuatan terang-terangan ini juga harus terungkap pada
pernyataan perusahaan pada masyarakat dengan cara pemampangan papan nama.
5. Keuntungan dan atau laba
Keuntungan dan atau laba suatu perusahaan haruslah diperoleh dengan sah atau legal.
Hal ini berarti bahwa kegiatan yang dilakukan perusahaan harus pula sah dan legal.
Segala sesuatu yang diperoleh dari kegiatan yang tidak sah atau tidak legal, tidak
boleh dimasukkan dalam keuntungan atau laba. Misalnya dari penyelundupan,
persaingan tidak sehat, pemerasan jasa karyawan dan manipulasi pajak.
6. Pembukuan
Segi hukum pembukuan adalah, bahwa apa yang sebenarnya dibukukan harus
dibukukan dalam buku yang sebenarnya. Isi pembukuan harus benar sebab isinya
merupakan bukti untuk kepentingan semua pihak yang terkait dalam perusahaan.
Dengan demikian urgensi pembukuan adalah sebagai alat bukti.

Pekerjaan dan Pekerja


Seseorang dikatakan mempunyai suatu pekerjaan tetap (beroep) apabila
beraktivitas untuk mencari penghidupannya sehari-hari dengan bekerja, terutama
dengan tenaganya sendiri. Pekerjaan berbeda dengan perusahaan. Perbedaan itu akan
semakin mencolok bila dilihat pada unsur-unsurnya. Hal yang demikian juga sudah
digambarkan pemerintah Belanda pada waktu perubahan WvK tahun 1934, yang
merumuskan pekerjaan dengan “perbuatan yang dilakukan tidak terputus-putus,
secara terang-terangan dan dalam kedudukan tertentu” (Abd. Muhammad, 1995 : 19).
Dalam beberapa hal, berbagai profesi atau pekerjaan tertentu dapat disamarkan oleh
pengertian sehari-hari. Contoh; seorang dokter yang bekerja di instansi pemerintah
atau swasta dengan mendapat gaji tetap disebut mempunyai pekerjaan, yaitu pegawai
negeri atau swasta dengan profesi dokter (mengobati). Apabila dokter tersebut
membuka praktek tersendiri (untuk pengobatan), maka dia mempunyai perusahaan.
Unsur-unsur perusahaan terdapat pada praktek dokter.
Pekerjaan adalah kegiatan yang dilakukan secara terus menerus untuk memenuhi
nafkah. Pentingnya dijelaskan pengertian pekerjaan, terkait untuk membedakannya
dengan pengusaha. Dengan mengambil contoh di atas, timbul pertanyaan kapankah
dokter itu disebut mempunyai pekerjaan (pegawai) dan kapan disebut sebagai
pengusaha. Dari segi hukum, perbedaan itu terkait dengan implikasi dalam
menjalankan statusnya (sebagai pekerja atau pengusaha). Orang yang menjalankan
pekerjaan disebut pekerja (1995 : 25) Sebelumnya telah dikatakan, bahwa KUHD
tidak merumuskan pengertian perusahaan. Demikian juga halnya dengan pengusaha.
Setelah sekian lama pengertian perusahaan dianggap merupakan pengertian ekonomi,
barulah pembuat undang-undang mengartikannya dari segi juridis.
Abdulkadir Muhammad (1995: 29) mengatakan, pengusaha adalah orang yang
menjalankan perusahaan atau menyuruh menjalankan perusahaan. Lebih lanjut
ditambahkannya, ada tiga eksistensi pengusaha bila dilihat dari fungsinya.
Ketiga eksistensi tersebut adalah ;
1. Pengusaha dan Pembantu Pengusaha
Pengusaha yang bekerja sendiri ; Artinya pengusaha yang mengelola suatu
perusahaannya tanpa bantuan orang lain sebagai pekerja. Pengusaha yang tergolong
seterti ini adalah yang memiliki perusahaan kecil misalnya, kelontong, kedai dan
usaha-usaha dalam kios. Pengertian pengusaha ada dijumpai pada Pasal 1 huruf c
UU. No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan. Di situ disebutkan
pengusaha adalah : “setiap orang perseorangan atau persekutuan atau badan hukum
yang menjalankan sesuatu perusahaan”. Rumusan itu menentukan adanya dua bentuk
pengusaha yaitu, orang perorangan dan lembaga/organisasi. Kata persekutuan dan
badan hukum menunjukkan lembaga/organisasi, yaitu, persekutuan terdiri atas, firma
dan persekutuan komanditer dan badan hukum menunjukkan perseroan terbatas.
Dalam hukum jelas sekali perbedaan status antara persekutuan dengan badan hukum.
Namun walaupun demikian, penyimpangan ini harus diterima sebagai suatu
pembaharuan hukum di Indonesia.
Abdulkadir Muhammad menunjuk bahwa manusialah sebagai pengusaha. Hal ini
tidak lepas dari kedudukan manusia menurut hukum adalah subyek hukum. Dalam
UU No. 3 Tahun 1982 diperluas hingga Persekutuan dan Badan hukum. Persekutuan
meliputi firma dan persekutuan komanditer (CV) sedangkan badan hukum adalah
perseroan terbatas. Pengertian pengusaha menurut UWDP ternyata lebih difokuskan
sebagai pemilik modal atau saham. Pengusaha yang memberi kuasa kepada orang lain
menjalankan perusahaannya, artinya pengusaha yang demikian tidak pernah terlibat
dalam pengelolahan pengusaha yang memilih, melainkan telah diberikan kepada
orang lain, pengusaha yang demikian lebih tepat disebut pemegang saham, misalnya
dalam perseroan terbatas. Molengraaff juga mengartikan pengusaha dengan mereka
yang menyelenggarakan perbuatan dagang ( R. Soerjatin, 1987 : 24 )
2. Pengusaha yang bekerja dengan bantuan orang lain sebagai pekerja, artinya
pengusaha yang mengelola perusahaannya dengan dibantu orang lain. Pengusaha
yang tergolong seperti ini adalah yang memililiki perusahaan kalangan menengah ,
misalnya, toko besar, restoran, pencetakan dll. Menurut hukum, badan hukum (PT)
boleh memiliki harta kekayaan tersendiri sehingga tepat dapat dimasukkan sebagai
pengusaha. Misalnya, suatu PT dapat menjadi pemegang saham terhadap PT atau
suatu persekutuan yang lain. Persoalannya sekarang adalah firma dan CV, yang tidak
mempunyai kedudukan mandiri tetapi dimasukkan dalam jajaran pengusaha.

Anda mungkin juga menyukai