Anda di halaman 1dari 5

Kajian Wacana dan Aspek Sosial

oleh Menik Lestari (2006501646) dan Nadia Izzatunnisa (2006556424)

Tugas A

1. Fairclough (1992;1995) menjelaskan tahap analisis dalam CDA melalui kosakata,


gramatika, dan struktur teks. Adapun apabila melihat kosakata yang terdapat dalam dua
teks tersebut, kosakata yang digunakan jelas sangat berbeda antarteks. Adapun
perbandingan kosakata yang digunakan adalah sebagai berikut.

Tabel Perbandingan Kosakata Teks 1 dan Teks 2

Teks 1 Teks 2

hati-hati ati-ati

tidak dianjurkan nggak boleh

dengan sama

dapat bisa

penderita dalam keadaan mengantuk orang yang ngantuk (kayak gue gitu?)

jauhkan dari jangkauan jangan sampe dimakan sembarangan

Teks 1 menggunakan kosakata formal sesuai kaidah bahasa Indonesia yang baku,
sedangkan teks 2 menggunakan kosakata yang kurang formal dibuktikan dengan
penggunaan kata seperti ni, denger, ati-ati, pake dan sebagainya. Perbedaan kedua
pilihan kosakata tersebut menunjukkan bahwa teks 1 ditujukan untuk situasi yang formal
dengan jauhnya hubungan antara penutur dan mitra tutur, sedangkan teks 2 ditujukan
untuk situasi yang lebih santai dengan kedekatan antara penutur dan mitra tutur.

Perbedaan jarak sosial antara penutur dan mitra tutur tersebut juga ditandai dengan
penggunaan pronomina kita yang menunjukkan kedekatan sosial dalam teks 2, sedangkan
teks 2 sama sekali tidak menggunakan kata ganti orang. Selain itu, ada proses mental
yang juga menggambarkan kedekatan secara sosial antara penutur dan mitra tutur pada
teks 2. Hal ini ditunjukkan dengan adanya keterangan yang terdapat dalam kurung setelah
memunculkan istilah-istilah patologi seperti hipertrofi prostat, yang diikuti dengan
keterangan (apaan sih ini?). Adanya keterangan dalam kurung tersebut seolah-olah
penutur menempatkan dirinya bahwa ia dan mitra tutur sama-sama asing dengan istilah-
istilah tersebut. Artinya, kedudukan secara sosial antara penutur dan mitra tutur
ditempatkan setara dan sengaja oleh penutur.

2. Adapun gaya, register, akomodasi, dan desain audiens pada kedua teks adalah sebagai
berikut.
a. Gaya adalah varian bahasa yang mempunyai makna sosial yang spesifik yang
dipergunakan untuk menunjukkan formalitas konteks situasi. Gaya yang muncul
dalam teks 1 berwujud formal, sedangkan teks 2 berwujud informal. Kosakata yang
muncul pada teks 1 adalah ragam formal, sedangkan teks 2 adalah ragam cakapan.
Gaya formal dalam teks 1 dibuktikan dengan munculnya kosakata yang lebih baku
dibanding teks 2, seperti penulisan hati-hati, bukan ati-ati, tidak bukan enggak,
dengan bukan sama karena dipergunakan untuk konteks sosial umum. Sementara itu,
kosakata yang muncul pada teks 2 dipergunakan untuk konteks sosial khusus, yaitu
untuk pendengar yang memiliki situasi bahasa, pengetahuan, dan lainnya yang sama
dengan penulis.
b. Register mencakup pilihan leksikogramatikal yang disesuaikan berdasarkan konteks
sosial dan dapat dilihat melalui field, tenor, dan mode. Hal yang dibicarakan (field)
pada teks 1 dan teks 2 adalah petunjuk yang tertera pada bungkus panadol. Kedua
teks tersebut sama-sama menjelaskan mengenai aturan penggunaan obat. Tenor atau
hubungan antarpenutur ditunjukkan dengan pronomina kita pada teks 2, sedangkan
teks 1 sama sekali tidak menggunakan kata ganti persona. Perbedaan penggunaan
pronomina tersebut juga menunjukkan bahwa teks 2 memiliki kedekatan yang lebih
intens antarpenutur dibandingkan teks 1. Kedua teks juga memiliki perbedaan mode,
yakni teks 2 dua arah dan teks 1 menggunakan mode 1 arah. Cara komunikasi dengan
dialog pada teks 2 juga diperkuat dengan kalimat pertama, ni, ya denger.
c. Akomodasi
Teks 1 dan teks 2 memiliki perbedaan akomodasi yang cukup jelas. Teks 1
menggunakan menggunakan divergensi terlihat pada penekanan perbedaan atau jarak
para peserta interaksi. Hal ini ditandai dengan gaya yang formal dengan tidak adanya
upaya untuk menyamakan bahasa yang dimengerti oleh penuturnya seperti
munculnya istilah-istilah patologi, glaucoma, hipertrofi prostrat yang hanya
dimengerti oleh kelompok sosial tertentu saja. Sementara itu, teks 2 menggunakan
akomodasi konvergensi yang ditandai dengan adanya usaha untuk menyamakan
bahasa kepada mitra tutur. Hal ini terlihat pada penggunaan bahasa cakapan dengan
mode dialog. Selain itu, istilah-istilah patologi pada teks 1 yang mungkin hanya
dimengerti oleh sebagian kelompok masyarakat tersebut disesuaikan untuk mitra tutur
melalui keterangan dalam kurung, (nggak bisa pipis ya?) pada teks 2.
d. Desain Audiens
Berdasarkan klasifikasi Bell (1984:167), desain audiens yang terdapat pada kedua
teks tersebut jelas sangat berbeda. Teks 1 ditujukan kepada audiens yang lebih umum
karena seolah-olah semua audiensnya memahami semua kosakata yang ada.
Sementara itu, teks 2 memberikan penilaian terhadap karakteristik personal mitra
tuturnya dengan penyesuaian gaya mitra tutur yang ditunjukkan dengan penggunaan
bahasa cakapan. Selain itu, teks 2 terlihat menilai tataran mitra tuturnya yang
ditandai dengan adanya keterangan dalam kurung yang seolah-olah menunjukkan
bahwa penutur dan mitra tutur sama-sama tidak memahami istilah-istilah patologi
tersebut.

Tugas B

1. Wawancara politik yang diteliti oleh Prof. Djenar menunjukkan bahwa ada berbagai
metode yang digunakan oleh jurnalis dan politisi untuk menyamakan common ground.
Hal ini selaras dengan pernyataan Clark dan Schaefer (1989) mengenai tiga metode untuk
mencapai kriteria common ground, yakni (1) kontribusi baru, (2) Assertion of
Acceptance, (3) permintaan klarifikasi. Penelitian Prof. Djenar menunjukkan bahwa
wawancara politik di Indonesia umumnya menggunakan kerangka tanyaan gimana yang
cukup luas cakupannya. Jurnalis juga terkadang memunculkan presuposisi terlebih
dahulu dan diakhiri dengan tanyaan gimana, misalnya “Katanya impor itu haram.
Gimana, Mas Faldo?” Biasanya di awal wawancara, jurnalis akan menyampaikan
common ground yang akan menjadi pembahasan sepanjang percakapan seperti, “Calon
Presiden Prabowo Subianto berjanji tidak akan impor apapun jika terpilih menjadi
presiden pada pemilu 2019 mendatang…” Politisi yang tentunya terbatas pada banyak
kepentingan kelompoknya terkadang menjawabnya dengan discourse record dan off-the-
record. Prof. Djenar menyatakan setidaknya ada 3 tipe jawaban dari politisi ketika
ditanyai jurnalis pada topik tertentu, yakni (1) jawab sesuai topik, (2) tidak menjawab
sesuai topik, (3) tidak menjawab langsung dengan metode off the record baru kemudian
menjawab.

2. Penelitian Prof. Djenar mengungkapkan bahwa ada berbagai peran yang terlibat pada
wawancara politik di Indonesia. Adapun apabila menilik salah satu sumber data
penelitiannya adalah wawancara politik yang dilakukan oleh CNN Indonesia dengan
judul “PSI: Janji Stop Impor, Prabowo Omong Kosong” yang bisa diakses pada tautan
https://www.youtube.com/watch?v=GuEgy3XgAeU. Audiens yang terdapat dalam
interaksi tersebut adalah Puspa, Rian, dan Faldo sebagai partisipan utama, penonton tv
dan penonton youtube sebagai bystanders dan orang yang meng-klik tautan youtube
sebagai eavesdropper. Adapun apabila digambarkan dalam bentuk diagram adalah
sebagai berikut.

Diagram Keterlibatan Audiens


Direct Interaction
Ri = Rian TA = Television Audience S = Sender
Indirect Interaction
Pu = Puspa YA = Youtube Audience A = Adresser
Direct Toward
Fa =Faldo B1 = First Bystanders B2 = Second Bystanders Or

Peran Puspa dalam video tersebut tentunya sangat terkait dengan norma
jurnalistik yang disebutkan (Clayman 2013; Greatbatch 1992), yakni neutralistic dan
adversarial. Puspa terlihat netral dan mengikuti format tanya-jawab sambil menunjukkan fokus
perhatiannya kepada Rian dan Faldo. Hal ini terlihat pada menit ke-15 ketika Puspa mengatakan
oke oke saat Rian menjelaskan. Selain itu peran adversarial ditunjukkan dengan menanyakan
pendapat Faldo untuk menanggapi pendapat Rian, “Nah, Mas Faldo gimana?” Sementara itu,
Rian dan Faldo sama-sama saling menatap antarpartisipan yang menunjukkan bahwa mereka
sedang ingin berdialog. Dengan demikian, peran audiens dalam wawancara politik sangat terkait
dengan kaidah institusional yang melingkupinya.

Anda mungkin juga menyukai