Anda di halaman 1dari 6

Nama : Wahyu Iqbal Fachrozi

NRP : 0718040021

Kelas : TL-3A

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Konteks Wacana


Menurut Halliday dan Hassan (1985:5), yang dimaksud dengan konteks wacana
adalah teks yang menyertai teks lain. Menurut kedua penulis itu, pengertian hal yang menyertai
teks itu meliputi tidak hanya yang dilisankan dan dituliskan, tetapi termasuk pula kejadian yang
nonverbal lainnya yaitu keseluruhan lingkungan teks itu.
Analisis wacana mempertimbangkan konteks dari wacana, seperti latar, situasi,
peristiwa, dan kondisi. Wacana disini dipandang diproduksi, dimengerti dan dianalisis pada
suatu konteks tertentu. Menurut Guy Cook, analisis wacana juga memeriksa konteks dari
komunikasi yaitu siapa yang mengkomunikasikan dengan siapa dan mengapa, dalam jenis
khalayak dan situasi apa. melalui medium apa, bagaimana perbedaan tipe dari perkembangan
komunikasi dan hubungan untuk setiap masing-masing pihak.
Menurut Brown dan Yule (1983), konteks adalah lingkungan (envirenment) atau
keadaan (circumstances) tempat bahasa digunakan. Dapat pula dikatakan bahwa konteks adalah
lingkungan teks. Di samping istilah konteks dalam khasanah istilah linguistik Indonesia juga
digunakan istilah lingkungan, lingkupan yang sama mempunyai makna yang berbeda karena
konteks yang berbeda.
Ada beberapa konteks yang penting karena berpengaruh terhadap produksi wacana.
Pertama, partisipan wacana, latar siapa yang memproduksi wacana, jenis kelamin, umur,
pendidikan, kelas social, etnis, agama, dalam banyak hal yang menggambarkan wacana
(contohnya : seseorang berbicara dengan pandangan tertentu karena ia berpendidikan atau
sesorang yang sudah dewasa). Kedua, setting social tertentu (tempat, waktu, posisi pembicara
dan pendengar dan lingkungan fisik adalah konteks yang berguna untuk mengerti suatu
wacana), contohnya : berbicara di ruang kelas berbeda dengan berbicara di pasar karena situasi
social dan aturan yang melingkupinya berbeda.
2.2. Konsep yang berkaitan dengan Konteks Wacana

Berikut ini adalah beberapa konsep yang berkaitan dengan konteks wacana, antara lain:

1. Praanggapan (Presupposition)
Menurut Filmore (1981), dalam setiap percakapan selalu digunakan tingkatan-tingkatan
komunikasi yang implisit atau praanggapan dan eksplisit dan ilokusi. Sebagai contoh, ujaran
dapat dinilai tidak relevan atau salah bukan hanya dilihat dari segi cara pengungkapan peristiwa
yang salah pendeskripsiannya, tetapi juga pada cara membuat peranggapan yang salah.
Kesalahan membuat praanggapan mempunyai efek dalam ujaran manusia. Dengan kata
lain, praanggapan yang tepat dapat mempertinggi nilai komunikatif sebuah ujaran yang
diungkapkan. Makin tepat praanggapan yang dihipotesiskan, makin tinggi nilai komunikasi
suatu ujaran. Dalam beberapa hal, makna wacana dapat dicari melalui praanggapan, namun
disisi lain terdapat makna yang tidak dinyatakan secara eksplisit.
Contoh :
(1) Ibu saya datang dari Jakarta
Dalam contoh (1) praanggapan adalah: (1) saya mempunyai ibu; (2) Ibu ada di Jakarta.
Fungsi praanggapan ialah membantu mengurangi hambatan respon terhadap penafsiran
suatu ujaran. Menurut Leec (1981:288) praangaapan sebagai suatu dasar kelancaran wacana
yang komunikatif. Pernyataan dari suatu praanggapan akan menjadi praanggapan bagi ujaran
selanjutnya.
Contoh lain :
(1). Apakah Andi masih menjadi ketua RT?
(2). Andi masih menjabati kedudukan sebagai ketua RT.
Praanggapan (1) : Andi menjadi ketua RT pada masa lampau.
Praanggapan (2) : - Andi menjadi ketua RT pada masa lampau.
- Andi adalah ketua RT pada masa sekarang.
Dalam menafsirkan kalimat-kalimat yang tidak terterima, meskipun kalimat itu benar
secara gramatikal dilihat dari segi strukturnya. Contoh :
(1). Mobil itu sakit.
(2). Orang itu sakit.
Kalimat (1) tidak terterima meskipun dalam segi gramatikal benar, sedangkan kalimat
(2) terterima karena yang menerima praanggapan hanya yang bernyawa atau hidup yang dapat
sakit. Ketidakterimaan kalimat dapat dipecahkan dalam ujaran yang sebenarnya dengan cara
interpretasi metaforik.
2. Implikatur
Konsep implikatur pertama kali dikenalkan oleh H.P.Grice (1975) untuk memecahkan
persoalan makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan oleh teori semantik biasa. Implikatur
dipakai untuk memperhitungkan apa yang disarankan atau apa yang dimaksud oleh penutur
sebagai hal yang berbeda dari apa yang dinyatakan secara harfiah (Brown dan Yule, 1983:31).
Contoh :
(1) Bersih di sini bukan?(ujaran)
Maka secara implisit penutur menghendaki agar ruangan tersebut dibersihkan.
Menurut Grice (1975), dalam pemakaian bahasa terdapat implikatur yang disebut
implikatur konvensional, yaitu implikatur yang ditentukan oleh arti konvensional kata-kata
yang dipakai.
Contoh :
(1) Dia orang Jawa karena itu dia rajin.
Pada contoh (1) tersebut, penutur tidak secara langsung menyatakan bahwa suatu ciri (rajin)
disebabkan oleh ciri lain (orang Jawa), tetapi bentuk ungkapan yang dipakai secara
konvensional berimplikasi bahwa hubungan seperti itu ada. Kalau individu yang dimaksud itu
orang Jawa dan tidak rajin, implikaturnya yang keliru, tetapi ujarannya tida salah.
Implikatur di bedakan atas dua macam yaitu
1. Implikatur yang berupa makna yang tersirat dari sebuah ujaran .
2. Implikatur yang berupa makna yang tersorot.
Contoh:
A : aduh, perutku keroncongan.
B : Ok, kita ke warung sari saja.
Makna implikatur mungkin berkebalikan dengan makna eksplikatur namun tidak menimbulkan
pertentangan logika.
Contoh lain :
(1.) Tong kosong nyaring bunyinya.
Analogi pribahasa diatas yaitu, hampir semua orang mengetahui bahwa tong yang tidak berisi
jika dipukul akan mengeluarkan suara nyaring. Makna implisit yang digunakan adalah orang
yang banyak bicara itu tidak mengetahuan atau kosong seperti tong yang dapat mengeluarkan
suara keras.
3. Inferensi
Inferensi atau penarikan kesimpulan dikatakan oleh Gumperz (1982) sebagai proses
interpretasi yang ditentukan oleh situasi dan konteks percakapan. dengan demikian pendengar
menduga kemauan penutur, dan dengan itu pula pendengar meresponsnya.
Dengan begitu inferensi percakapan tidak hanya ditentukan oleh kata-kata pendukung
ujaran itu saja, melainkan juga didukung oleh konteks dan situasi. Sebuah gagasan yang
terdapat dalam otak penutur direlisasikan dalam bentuk kalimat-kalimat. Jika penutur tidak
pandai dalam menyusun kalimat maka akan terjadi kesalahpahaman.
Contoh:
Ada dua orang teman berjumpa dan perjumpaan itu diceritakan oleh salah satunya kekawan
lainnya. Terjadilah percakapan berikut,
Nisa : “Saya baru bertemu dengan si Luna.”
Hanna : “Oh, si Luna kawan kita di SMA itu?”
Nisa : “Bukan, tapi Luna kawan kita waktu kuliah dulu.”
Hanna : “Luna yang berambut panjang itu?”
Nisa : “Bukan, bukan Luna yang berambut panjang, tapi Luna yang yang berjilbab itu loh?”
Hanna : “Oh, ya, saya tahu.”
Pada ujaran pertama Hanna salah tangkap. Yang tergambar dibenaknya adalah si Luna
teman SMA. Setelah diterangkan oleh Nisa bahwa Luna teman waktu kuliah, Hanna salah
tangkap lagi, karena yang diduga adalah Luna yang berambut panjang. Sesudah kalimat ke tiga
dari Nisa, barulah Hanna paham siapa si Luna sebenarnya. Walaupun tanggapan tentang si
Luna sudah jelas, akan tetapi apa yang dipikirkan oleh Nisa tidaklah dapat ditanggapi
seluruhnya oleh Hanna karena masih banyak hal yang masih tersembunyi, misalnya kapan
Nisa bertemunya, di mana bertemunya, berapa jam, dapat dikatakan bahwa yang ditanggapi
pendengar dari ucapan penutur itu hanya beberapa bagian saja dan tidak seluruhnya.
4. Inferensi Mata Rantai yang Hilang (Missing Link Inference)
Contoh:
(1). Pak Joni membeli rumah baru
(2). Pintunya dari kayu jati.
Inferensi mata rantai yang hilang yang diperlukan untuk menghubungkan (1) dan (2) secara
eksplisit: (3) Rumah itu mempunyai pintu.
Contoh Lain :
(1). Rudi Hartono menjadi juara All England 8 tahun berturut-turut.
(2). a. Dia sopan santun.
b.dia waktu kecil adalah anak yang manis.
c. dia adalah juara bulu tangkis yang andal.
Dapat ditarik simpulan bahwa hubungan paling erat adalah antara 1 dengan 2c. jika seseorang
dapat menjadi juara delapan kali berturut-turut, sudah pasti dia merupakan juara yang andal.
2.3. Peranan Konteks Wacana

Brown dan Yule (1984) bahwa seorang analis wacana mempelajari bahasa dengan
pendekatan pragmatis (a pragmatic approach to the study of language) ini. Telah dinyatakan
sebelumnya bahwa peranan konteks sangat penting dalam analisis wacana. Kedua contoh
berikut ini memperjelas peranan konteks dalam penggunaan bahasa. Kata "pintar" mengandung
makna yang berbeda bahkan bertolak belakang pada kedua contoh di bawah ini.
Contoh 1 :
a. Penutur seorang bapak, pendengarnya istrinya. Tempat di rumah mereka. Mereka
mendengarkan anak mereka yang masih berumur dua setengah tahun menyanyikan
lagu Bintang kecil dengan lancar. Bapak tersebut berkata : "Pintar ya dia".
b. Penutur seorang ibu. Pendengarnya suaminya. Ibu menyuruh anak perempuannya memasak
telor untuk makan malam. Si anak memasak telor dengan melamun sehingga telornya jadi
hangus. Ibu tadi lalu berkata: "Pintar ya dia".
Unsur-unsur dari kalimat tersebut secara gramatika sama benar. Akan tetapi terdapat
perbedaan makna, yaitu pada kata Pintar ya dia (a) bermakna sebenarnya, yaitu anak yang
memang pintar, sedangkan kata Pintar ya dia (b) bermakna sebaliknya yaitu tidak pintar.
Contoh 2 :
a. Penutur adalah rekan dari Anton, sedangkan pendengar rekannya yang lain. Ketika sore itu ada
3 orang remaja sedang berjalan di taman. Tiba-tiba datanglah seorang preman menghampiri
mereka untuk memalak. Ada salah seorang dari remaja itu berani melawan pemalak tersebut
dan berhasil membuat pemalak itu kabur. Salah satu dari rekannya berkata: “ Anton memang
pemberani !”
b. Malam itu ada seorang laki-laki berjalan dengan dua rekannya yang perempuan. Tiba-tiba
turun hujan yang sangat lebat. Merekapun berteduh di emper sebuah toko. Tiba-tiba ada
sekelebat bayangan putih. Tiba-tiba rekan laki-lakinya itu langsung bersembunyi di balik rekan
perempuannya. Salah seorang rekan perempuannya berkata: “ Anton memang pemberani!”
Unsur-unsur dari kalimat tersebut secara gramatika sama benar. Akan tetapi terdapat
perbedaan makna, yaitu pada kata pemberani (a) bermakna sebenarnya, yaitu orang yang tidak
takut, sedangkan kata pemberani (b) bermakna sebaliknya yaitu penakut.
Konteks pemakaian bahasa dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu :
1) Konteks fisik yang meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa dalam suatu komunikasi.
2) Konteks epstemis atau latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh penutur dan
mitra tuturnya.
3) Konteks linguistik yang terdiri atas kalimat-kalimat atau ujaran-ujaran yang mendahului dan
mengikuti ujaran tertentu dalam suatu peristiwa komunikasi, konteks linguistik ini disebut juga
dengan istilah koteks.
Konteks sosial yaitu relasi sosial dan latar yang melengkapi hubungan antara penutur dan mitra
tutur. (cf. Syafi’ie, 1990: 126).

DAFTAR PUSTAKA

Fachri, Muhammad. 2012. “Ferlianus, dkk : Semantik Peran Konteks dalam Wacana”. Diakses
dari: http://regulerekstensib2011.blogspot.com/2012/12/peran-konteks-dalam-wacana.html [30
Desember 2019. 00.20].
Prianto, Koko. 2015. “Konteks Wacana”. Diakses dari:
https://belajarbersamakoko.wordpress.com/2015/06/15/konteks-wacana/ [29 Desember 2019.
15.40].
Ulfa, Nuraulya. 2017. “Konteks Wacana”. Diakses dari:
https://nuraulyaulfacch.wordpress.com/2017/03/19/konteks-wacana/ [29 Desember 2019.
11.25].
Ulva, Okta maria. 2013. “Konteks Wacana”. Diakses dari: http://oktamariaulva.blogspot.com/ [28
Desember 2019. 13.36].

Anda mungkin juga menyukai