Anda di halaman 1dari 5

Efektivitas Penyuluhan Penanganan dan Penatalaksanaan

Orang dalam Gangguan Jiwa (ODGJ) di Kecamatan


Karangjati
Hibatul Wafiah Fahrudin
Prodi Kedokteran, Fakultas Kedokteran,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia
hibatulwafiahf@student.uns.ac.id

Abstract. The purpose of this survey is to find out how effective counseling is the handling
and management of people with mental disorders in the community. The effectiveness of
counseling and management of ODGJ in the community can be seen from the number of
patients with mental disorders and the phenomenon of inclusion that occurs. The method used
in this study is a qualitative research method and uses data obtained from interviews.
Interview respondents were heads of the Karangjati health center. The results of the study
show that after counseling, the incidence of inclusion in 2018 has decreased and the number
of mental patients has increased. It can be concluded that counseling is effective in educating
the community about how to handle ODGJ.

Keywords: Effectiveness, ODGJ, Mental Disorders, Karangjati, Counseling

1. PENDAHULUAN

Gangguan jiwa berat adalah gangguan jiwa yang dialami oleh penderita sehingga
terganggunya kemampuan menilai realitas atau yang buruk. Gejala penyakit ini dapat berupa
halusinasi, gangguan proses dan kemampuan berpikir, sering berilusi, serta tingkah laku yang aneh
(Riskesdas, 2013). Gangguan jiwa sering kali ditandai dengan terjadinya halusinasi pada
pendengaran. Penderita mendengar suara atau delusi, mengomentari perilaku penderita, atau bahkan
seperti berdiskusi dengan dirinya sendiri. Hal ini sering kali menjadi halusinasi yang membuat
penderita mengarah pada kepribadian diri yang aneh dan khayalan (Lunn, 2017). Selain itu, gangguan
jiwa merupakan masalah kesehatan yang signifikan yang terjadi diberbagai negara baik di Indonesia
maupun di negara lainnya.. Hal ini termasuk masalah serius sehingga perlu mendapat perhatian yang
lebih dari pemegang kebijakan kesehatan Indonesia.
Pada kebanyakan kasus, gangguan jiwa merupakan akhir dari hasil interaksi yang
kompleks antara ribuan gen dan berbagai faktor pengaruh lingkungan (Gilmore, 2010).
Faktor lingkungan dan sosial juga memegang peran penting dari timbulnya gangguan jiwa
terutama untuk individu yang rentan terkena gangguan ini. Beberapa tekanan lingkungan
yang berkaitan dengan gangguan jiwa misalnya trauma masa kecil, minoritas etnik, penduduk
urbanisasi, dan isolasi sosial. Selain itu, tekanan sosial dapat berupa diskrimisasi atau
kesenjangan ekonomi, dapat menjadikan individu cenderung berkhayal dan berpikiran paranoid
(Patel, Cherian, & Gohil, 2014).
Menurut data WHO pada tahun 2016 secara keseluruhan sekitar 35 juta orang mengalami
depresi, 60 juta orang mengalami gangguan bipolar, 21 juta orang menderita gangguan jiwa berat, dan
47,5 juta orang mengalami demensia. Sedangkan berdasarkan data Riskesdas tahun 2013 dan 2018
dinyatakan bahwa prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia masing-masing sebesar 1,7 per mil dan
7,0 per mil. Pada tahun 2013 prevalensi tertinggi terdapat di Provinsi DI Aceh dan DI Yogyakarta
sebesar 2,7% dan terendah di Provinsi Kalimantan Barat sebesar 0,7% (Riskesdas, 2013). Sedangkan
pada tahun 2018 prevalensi tertinggi terdapat di Provinsi Bali sebesar 11% dan terendah di Provinsi
Kepulauan Riau 3% (Kemenkes RI, 2018a). Dari data tersebut, terjadi kenaikan yang signifikan dari
tahun 2013 hingga tahun 2018.
Visi WHO dalam rencana aksi kesehatan mental 2013-2020 adalah
dimana kesehatan mental diseluruh dunia dihargai, dipropagandakan dan
dilindungi, adanya upaya preventif pada gangguan jiwa, pasian ODGJ
mendapat Hak Asasi Manusia, mendapat pelayanan kesehatan dan sosial
pada waktu yang tepat untuk mendorong pemulihan kesehatan jiwa, dan
bersosialisai dengan masyarakat ataupun tempat kerja tanpa adanya
stigmatisasi dan diskriminasi (World Health Organization, 2013). Secara
global, rencana aksi kesehatan mental ini bertujuan untuk
mempropagandakan atau mempromosikan, mencegah gangguan
kesehatan mental, mengadakan pelayanan kesehatan, mendorong
pemulihan pasien, menyuarakan Hak Asasi Manusia dan mengurangi
angka kematian, kesakitan, dan kecacatan pada penderita dengan
gangguan mental (Ayuningtyas & Rayhani, 2018).
Menurut The ICD-10 edisi tahun 2010 (World Health Organization, 2009), dan The ICD-10
Classification of Mental and Behavioural Disorders: clinical descriptions and diagnostic guidelines
tahun 1992 (Geneva, 1993), yaitu sistem klasifikasi penyakit dan penyebabnya yang digunakan untuk
penunjang keputusan dokter. Dalam hal ini, gangguan jiwa dapat diklasifikasikan menjadi 11 kategori
yaitu:
1. F00-F09: Organic, including symptomatic, mental disorders
2. F10-F19: Mental and behavioural disorders due to psychoactive substance use
3. F20-F29: Schizophrenia, schizotypal and delusional disorders
4. F30-F39: Mood [affective] disorders
5. F40-F48: Neurotic, stress-related and somatoform disorders
6. F50-F59: Behavioural syndromes associated with physiological disturbances and physical factors
7. F60-F69: Disorders of adult personality and behaviour
8. F70-F79: Mental retardation
9. F80-F89: Disorders of psychological development
10. F90-F98: Behavioural and emotional disorders with onset usually occurring in childhood and
adolescence
11. F99-F99: Unspecified mental disorder
(Ayuningtyas & Rayhani, 2018)
Pada data Riskesdas tahun 2013 dan 2018 tindakan pasung pernah dilakukan
oleh 14,3 % dan 14% keluarga di Indonesia yang salah satu anggota
keluarga mengalami gangguan jiwa berat. Sedangkan yang masih
dipasung pada tahun 2018 terdapat 31,5% keluarga di Indonesia yang
salah satu anggota keluarga mengalami gangguan jiwa berat (Kemenkes
RI, 2018a). Terdapat banyaknya penderita gangguan jiwa berat yang belum mendapat penanganan
medis dikarenakan banyak faktor seperti tidak adanya biaya untuk pengobatan serta rendahnya
pengetahuan keluarga atau masyarakat terkait gejala gangguan jiwa dan penanganannya. Sehingga
banyak penderita yang dipasung oleh anggota keluarganya supaya tidak melukai diri sendiri ataupun
menyakiti orang lain dikarenakan kurangnya pengetahuan keluarga terkait penanganan ODGJ
(Lestari & Wardhani, 2014). Pasung adalah suatu bentuk pembatasan fisik dapat
berupa pengekangan, pengasingan, pengisolasian dengan menggunakan
berbagai alat seperti tali, balok kayu, ataupun kurungan pada ruangan
terasing (Yusuf, Tristiana, & Ms, 2017). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 54 Tahun 2017 BAB I Pasal 2 (b) berbunyi “Menjamin ODGJ mencapai kualitas
hidup yang sebaik- baiknya dan menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan
terhadap pemasungan dan tekanan akibat pemasungan”. Selain itu, pada BAB II Pasal 3 ayat 1
berbunyi “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam menyelenggarakan
Penanggulangan Pemasungan pada ODGJ secara komprehensif dan berkesinambungan untuk
mencapai penghapusan Pemasungan.”(Kemenkes RI, 2018b)
Konsep penatalaksanaan gangguan jiwa di Indonesia dapat
diwujudkan kepada setiap individu, keluarga, dan masyarakat dengan
pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang
diselenggarakan oleh pemegang kebijakan kesehatan Indonesia secara adil, transparansi,
komprehensif, serta non diskriminasi (Ayuningtyas & Rayhani, 2018). Hal ini dapat diwujudkan
dengan upaya pemerintah untuk melakukan edukasi dan sosialisasi dalam upaya penanganan orang
dalam gangguan jiwa baik kepada keluarga atupun masyarakat di daerah tersebut.
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui seberapa jauh efektivitas program edukasi
ataupun sosialisasi terkait penatalaksanaan orang dalam gangguan jiwa di Kecamatan Karangjati yang
dapat dilihat dari angka kejadian pemasungan dan jumlah orang dalam gangguan jiwa di kecamatan
tersebut.

2. METODE
Penelitian dilaksanakan dengan metode kualitatif yaitu suatu proses penelitian dan pemahaman
yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia.
Selain itu, penelitian kualitatif merupakan riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan
analisis dengan pendekatan induktif (Noor, 2016). Metode kualitatif ini dilakukan dengan wawancara
terhadap Kepala Puskesmas Karangjati dan rekapan data jumlah penderita gangguan jiwa di
Kecamatan Karangjati. Wawancara dilakukan pada hari Jumat, 21 Juni 2019.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan data yang diperoleh peneliti dari wawancara terhadap Kepala Puskesmas Karangjati
dan rekapan data jumlah penderita gangguan jiwa di Kecamatan Karangjati,

TABEL PASIEN JIWA PUSKESMAS KARANGJATI

Jenis Kelamin
 Desa Diagnosis Medis Keterangan
Laki-laki Perempuan
1. Rejuno 4 1 G40, F20 1 Laki-laki Epilepsi,
Lainnya Skizofrenia
2. Rejomulyo 4 1 G40, F20 1 Laki-laki Epilepsi,
Lainnya Skizofrenia
3. Plosolor 4 2 F20 Skizofrenia
4. Legundi 3 3 F20 Skizofrenia
5. Sawo 4 - F20 Skizofrenia
6. Puhti - 1 F20 Skizofrenia
7. Ringin Anom 2 - F20 Skizofrenia
8. Sembung 2 - F20 Skizofrenia
9. Gempol 1 - F20 Skizofrenia
10. Danguk 1 1 F20 Skizofrenia
11. Campurasri 3 4 F20 Skizofrenia
12. Sidorejo 1 1 F20 Skizofrenia
13. Brangol 3 1 F20 Skizofrenia
14. Sidokerto 2 1 F20 Skizofrenia
15. Dungmiri 1 - F20 Skizofrenia
16. Jatipuro 2 1 F20 Skizofrenia
17. Karangjati 3 1 F20 Skizofrenia

Bahwasannya penderita ODGJ di Kecamatan Karangjati pada tahun 2018 terdapat 58 pasien
dengan 40 orang laki-laki dan 18 orang perempuan. Menurut Kepala Puskesmas Karangjati, dr. Heri
Nurfahrudin, M.Kes mengatakan bahwa pada tahun 2018 angka kejadian ODGJ meningkat
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Untuk angka kejadian pemasungan ODGJ tahun 2018
mengalami penurunan dari tahun sebelumnya satu orang yang dipasung, sekarang sudah dilepaskan.
Alasan keluarga masih melakukan pemasungan karena takut melukai orang lain dan pemasungan
dalam bentuk dirantai dengan kayu. Pada tahun 2018 telah dilakukan penyuluhan penanganan ODGJ
sebanyak 2 kali dalam setahun.
Puskesmas Karangjati untuk saat ini merawat 58 pasien gangguan jiwa tesebut dengan sistem
rawat jalan dikarenakan sudah tidak adanya lagi dokter jiwa yang datang ke Puskesmas Karangjati
dikarenakan kurangnya Sumber Daya Manusia, tidak cukupnya poli jiwa di Puskesmas Karangjati
menampung pasien, dan jauhnya jarak RSJ yang terdapat di kota Ngawi.
Terjadi peningkatan pasien ODGJ dan penurunan angka kejadian pemasungan setelah adanya
edukasi, sosialisasi, maupun pengobatan dari pihak Puskesmas Karangjati yang bekerja sama dengan
instansi pemerintahan terkait dari tahun 2018dikarenakan masyarakat telah mengerti pentingnya
penanganan dan pengobatan ODGJ ke instansi kesehatan. Penanganan ODGJ merupakan salahsatu
bentuk upaya pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang
diselenggarakan oleh pemegang kebijakan kesehatan Indonesia secara adil, transparansi,
komprehensif, serta non diskriminasi.

4. SIMPULAN
Setelah dilakukan penelitian kualitatif dengan wawancara terhadap Kepala Puskesmas
Karangjati dan data pasien ODGJ di Kecamatan Karangjati tahun 2018, terjadi peningkatan pasien
ODGJ dari tahun sebelumnya dan penurunan angka kejadian pemasungan ODGJ di masyarakat
setelah adanya edukasi, sosialisasi, serta pengobatan penderita ODGJ. Dilihat dari angka kejadian dan
hasil wawancara tersebut, dapat disimpulkan bahwa program sosialisasi dan edukasi instansi
kesehatan yaitu Puskesmas Karangjati berjalan dengan baik dan memberi dampak positif pada pasien
ODGJ dan keluarganya. Program ini berjalan dengan baik dikarenakan dapat mengubah stigma
masyarakat tentang pentingnya penyembuhan ODGJ melalui instansi kesehatan dan ODGJ juga
memiliki Hak Asasi Manusia yaitu kebebasan sehingga penderita gangguan jiwa tidak semestinya
dipasung.

5. SARAN

Hasil dari program penyuluhan penanganan ODGJ sudah baik di Kecamatan Karangjati.
Mungkin bisa lebih dipropagandakan kembali dengan peningkatan frekuensi penyuluhan sehingga
banyak pasien gangguan jiwa yang bisa ditangani. Selain itu, adanya penambahan dokter jiwa agar
tidak banyaknya beban praktik sehingga dapat optimal dalam penanganan pasien gangguan jiwa atau
adanya sistem kolaborasi dengan pihak lain tanpa melanggar kode etik profesi yang dapat membantu
dalam hal penyembuhan pasien yang belum dapat sembuh total seperti psikolog atau kumpulan
komunitas-komunitas kesehatan jiwa.

6. DAFTAR PUSTAKA
Buku
Juliansyah, Noor. (2010). Metodologi Penelitian : Skripsi, Tesis, Disertasi dan Karya Ilmiah.
Jakarta: Prenada Media Group.

Jurnal
Ayuningtyas, D., & Rayhani, M. (2018). Analisis Situasi Kesehatan Mental Pada Masyarakat Di
Indonesia Dan Strategi Penanggulangannya Analysis of Mental Health Situation on Community
in Indonesia and the Intervention Strategies. Ilmu Kesehatan Masyarakat, 9(1), 1–10.
https://doi.org/10.26553/jikm.2018.9.1.1-10
Geneva, W. H. O. (1993). The ICD-10 classification of mental and behavioural disorders: diagnostic
criteria for research. International Classification. Retrieved from
http://books.google.com/books?
hl=en&lr=&id=QiWPj_23ei4C&oi=fnd&pg=PR5&dq=The+ICD-
10+Classification+of+Mental+and+Behavioural+Disorders+Diagnostic+criteria+for+research&
amp;ots=Enlb8UB5TK&sig=9bfc4CJ48NoHiQ8UirDlOMUggZo
Gilmore, J. H. (2010). Understanding What Causes Schizophrenia: A Developmental Perspective.
American Journal of Psychiatry, 167(1), 8–10. https://doi.org/10.1176/appi.ajp.2009.09111588
Kemenkes RI. (2018a). Hasil Utama Riset Kesehatan Dasar Tahun 2018. Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia, 1–100. https://doi.org/1 Desember 2013
Kemenkes RI. (2018b). PERMENKES. (14).
Lestari, W., & Wardhani, F. (2014). STIGMA DAN PENANGANAN PENDERITA GANGGUAN JIWA
BERAT ( Stigma and Management on People with Severe Mental Disorders with “ Pasung ”
( Physical Restraint )). 157–166.
Lunn, B. (2017). Schizophrenia. Psychiatry by Ten Teachers, Second Edition, 335(July), 102–113.
https://doi.org/10.1201/9781315380612
Patel, K. R., Cherian, J., & Gohil, K. (2014). Schizophrenia : Overview and Treatment Options. 39(9),
638–645.
Riskesdas. (2013). Riskesdas 2013. Jakarta: Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, (Penyakit Menular), 103.
https://doi.org/10.1007/s13398-014-0173-7.2
World Health Organization. (2009). International Classification of Diseases (ICD). 2, 207. Retrieved
from http://www.who.int/classifications/icd/en/
World Health Organization. (2013). Mental Health Action Plan 2013-2020. World Health
Organisation, 1–44. Retrieved from
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/89966/1/9789241506021_eng.pdf
Yusuf, A., Tristiana, R. D., & Ms, I. P. (2017). Fenomena Pasung dan Dukungan Keluarga terhadap
Pasien Gangguan Jiwa Pasca Pasung Grasped Phenomena and Family Support on Post Grasped
Psychiatric Patients. Keperawatan, 5, 302–314. Retrieved from
http://jkp.fkep.unpad.ac.id/index.php/jkp/article/view/653

Anda mungkin juga menyukai