MINI PROJECT
Disusun oleh :
dr. Silva Netta Oktari
dr. Punam Razputri
dr. Meisy Handayani
dr. Tommy Reskinta Paulus
dr. Yupie Faming Jaya
Dokter Pendamping :
dr. Zainun Rahman
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang selalu
melimpahkan rahmat, anugerah, dan karunianya sehingga penulis bisa menyelesaikan
Mini Project “Angka Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Skizofrenia di Kecamatan
Limboto Bulan Mei - Juli Tahun 2021” ini dengan baik sesuai dengan waktu yang
telah ditentukan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Zainun Rahman
selaku pendamping dokter internsip BLUD Puskesmas Limboto beserta staff BLUD
Puskesmas Limboto yang membantu penulis menyelesaikan Mini Project ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan Mini Project ini masih kurang
sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari para pembaca agar kedepannya penulis dapat memperbaiki dan
menyempurnakan tulisan ini. Penulis berharap agar laporan kasus yang penulis tulis
ini berguna bagi semua orang dan dapat digunakan sebaik-baiknya sebagai sumber
informasi. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Gambar 1
Prevalensi (per mil) Rumah Tangga dengan ART Gangguan Jiwa Skizofrenia
Di Indonesia Menurut Riskedas Tahun 2018
Dari data Riskesdas pada tahun 2018, provinsi Gorontalo menempati urutan
ke-18 untuk prevalensi rumah tangga dengan gangguan jiwa skizofrenia.
Prevalensi pasien dengan gangguan jiwa di kabupaten Gorontalo didapatkan data
pada bulan Januari sampai Juli tahun 2021 total sebanyak 718 pasien. Dari data
tersebut, Kecamatan Limboto adalah kecamatan dengan pasien gangguan jiwa
tertinggi dengan jumlah 91 orang dengan presentase 12,7%.
Kepatuhan minum obat merupakan perilaku untuk menyelesaikan menelan
obat sesuai dengan jadwal dan dosis obat yang dianjurkan sesuai kategori yang
telah ditentukan, tuntas jika pengobatan tepat waktu, dan tidak tuntas jika tidak
tepat waktu (Yosep, 2016). Kepatuhan minum obat menjadi salah satu faktor
utama keberhasilan terapi dalam penatalaksanaan skizofrenia (Hawari, 2014).
Pasien yang tidak patuh terhadap pengobatan beresiko mengalami kekambuhan
lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang patuh dalam pengobatan (Niven,
2015).
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas, rumusan masalah pada Mini
Project ini adalah :
1. Bagaimana angka kepatuhan minum obat pada pasien skizofrenia di
kecamatan Limboto pada bulan Mei sampai Juli tahun 2021?
2. Berapa prevalensi pasien skizofrenia di kecamatan Limboto pada bulan Mei
sampai Juli tahun 2021?
3. Berapa persentase distribusi usia dan jenis kelamin pasien skizofrenia di
kecamatan Limboto pada bulan Mei sampai Juli tahun 2021?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui angka kepatuhan minum obat pada pasien skizofrenia di
kecamatan Limboto pada bulan Mei sampai Juli tahun 2021.
2. Untuk mengetahui prevalensi pasien skizofrenia di kecamatan Limboto
pada bulan Mei sampai Juli tahun 2021.
3. Untuk mengetahui persentase distribusi usia dan jenis kelamin pasien
skizofrenia di kecamatan Limboto pada bulan Mei sampai Juli tahun 2021.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Bagi Penulis
Menambah informasi dan wawasan penulis mengenai angka kepatuhan
minum obat, prevalensi, persentase distribusi usia dan jenis kelamin pasien
skizofrenia di kecamatan Limboto pada bulan Mei sampai Juli tahun 2021.
1.4.2. Bagi Tenaga Medis
Memberikan informasi kepada tenaga medis mengenai angka kepatuhan
minum obat, prevalensi, persentase distribusi usia dan jenis kelamin pasien
skizofrenia di kecamatan Limboto pada bulan Mei sampai Juli tahun 2021.
1.4.3. Bagi Puskesmas
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan informasi dalam
menyusun kebijakan dan strategi program-program kesehatan terutama yang
berhubungan dengan masalah kesehatan jiwa.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Skizofrenia
2.1.1. Definisi
Skizofrenia merupakan sekelompok gangguan psikotik, dengan
gangguan dasar ada kepribadian, distorsi khas pada proses pikir.
Kadang-kadang mempunyai perasaan bahwa dirinya sedang di
kendalikan kekuatan dari luar. Gangguan ini umumnya ditandai dengan
adanya gangguan pada pikiran dan persepsi yang salah dan khas, dan
efek yang tumpul (Maramis, 2009).
Skizofrenia adalah sindrom dengan variasi dan perjalanan
penyakit yang luas, ditandai dengan adanya perubahan yang
fundamental dan karakteristik persepsi, pikiran, afek, dan perilaku
seseorang. Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang ditandai
dengan berbagai tingkat kepribadian disorganisasi yang mengurangi
kemampuan individu untuk bekerja secara efektif dan untuk
berkomunikasi dengan orang lain. Gejala klinis skizofrenia sering
bingung, depresi, menarik diri atau cemas. Hal ini berdampak pada
keinginan dan kemampuan untuk melakukan tindakan oral hygiene
(Maslim, 2003).
2.1.2. Epidemiologi
Insidensi skizofrenia di seluruh dunia adalah 3.000 – 10.000
penderita. Skizofrenia terjadi paling tinggi pada rentang usia 15 - 35
tahun. Prevalensi global pada usia tersebut adalah 1,1%, sedangkan di
Indonesia adalah 0,3% - 1% (Bhugra, 2005).
Skizofrenia merupakan penyakit mental yang paling
menyebabkan suatu kemunduran. Psikopatologi ini secara tipikal
didiagnosis pada usia di antara 20 - 25 tahun, suatu fase kehidupan di
mana hampir setiap manusia memperoleh kebebasan dari orang tua,
menjalin suatu hubungan romantis yang intim, merencanakan
pencapaian-pencapaian dalam hal pendidikan, dan dimulainya
kehidupan berkarir pada seseorang. Prevalensi skizofrenia di Amerika
Serikat dilaporkan bervariasi terentang dari 1 sampai 1,5 persen dengan
angka insidensi 1 per 10.000 orang per tahun. Berdasarkan jenis kelamin
prevalensi skizofrenia adalah sama, perbedaannya terlihat dalam onset
dan perjalanan penyakit. Untuk laki laki 15 sampai 25 tahun sedangkan
wanita 25 sampai 35 tahun. Di Indonesia angka penderita skizofrenia 25
tahun yang lalu (PJPT I) diperkirakan 1/1000 penduduk dan proyeksi 25
tahun mendatang mencapai 3/1000 penduduk. Pada tahun 2018, per
1000 rumah tangga terdapat 7 rumah tangga dengan orang dengan
gangguan jiwa (ODGJ), sehigga jumlahnya diperkirakan sekitar 450.000
ODGJ berat (Riskesdas, 2018).
2.1.3. Etiologi
Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam
menganalisa penyebab skizofrenia, antara lain:
1. Faktor Genetik
Menurut Baihaqi (2005), faktor keturunan juga
menentukan timbulnya skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan
dengan penelitian tentang keluarga-keluarga penderita skizofrenia
terutama anak kembar satu telur/ monozigotik. Angka kesakitan
bagi saudara tiri ialah 0,9 - 1,8%; bagi saudara kandung 7 – 15%;
bagi anak dengan salah satu orangtua yang menderita skizofrenia
7 – 16%; bila kedua orangtua menderita skizofrenia 40 – 68%;
bagi kembar dua telur (heterozigot) 2 -15%; bagi kembar satu telur
(monozigot) 61 – 86%. Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen,
sebuah fenomena yang disebut quantitative trait loci. Skizofrenia
yang paling sering kita lihat mungkin disebabkan oleh beberapa
gen yang berlokasi di tempat-tempat yang berbeda di seluruh
kromosom. Ini juga mengklarifikasikan mengapa ada gradasi
tingkat keparahan pada orang-orang yang mengalami gangguan ini
(dari ringan sampai berat) dan mengapa risiko untuk mengalami
skizofrenia semakin tinggi dengan semakin banyaknya jumlah
anggota keluarga yang memiliki penyakit ini.
2. Faktor Biokimia
Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan
kimiawi otak yang disebut neurotransmitter, yaitu kimiawi otak
yang memungkinkan neuron-neuron berkomunikasi satu sama
lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa skizofrenia berasal dari
aktivitas neurotransmitter dopamine yang berlebihan di bagian-
bagian tertentu otak atau dikarenakan sensitivitas yang abnormal
terhadap dopamine. Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas
dopamine yang berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia.
Beberapa neurotransmitter lain seperti serotonin dan
norepinephrine tampaknya juga memainkan peranan (Akbar,
2008).
3. Faktor Psikologis dan Sosial
Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan herediter
yang semakin lama semakin kuat, adanya trauma yang bersifat
kejiwaan, adanya hubungan orang tua-anak yang patogenik, serta
interaksi yang patogenik dalam keluarga (Wiraminaradja&
Sutardjo, 2005). Banyak penelitian yang mempelajari bagaimana
interaksi dalam keluarga mempengaruhi penderita skizofrenia.
Sebagai contoh, istilah schizophregenic mother kadang-kadang
digunakan untuk mendeskripsikan tentang ibu yang memiliki sifat
dingin, dominan, dan penolak, yang diperkirakan menjadi
penyebab skizofrenia pada anak-anaknya (Akbar, 2008). Menurut
Coleman dan Maramis (1994 dalam Baihaqi et al, 2005), keluarga
pada masa kanak-kanak memegang peranan penting dalam
pembentukan kepribadian. Orangtua terkadang bertindak terlalu
banyak untuk anak dan tidak memberi kesempatan anak untuk
berkembang, ada kalanya orangtua bertindak terlalu sedikit dan
tidak merangsang anak, atau tidak memberi bimbingan dan
anjuran yang dibutuhkannya.
2. Gangguan negatif
Gangguan negatif meliputi (Pakpahin, 2012):
1) Alogia (tidak mau bicara)
2) Emosi tumpul
3) Avolition (kehilangan motivasi)
4) Anhedonia (kehilangan minat)
5) Tidak mampu berkonsentrasi
3. Gangguan kognitif
4. Gangguan perhatian
5. Gangguan ingatan
2.1.6. Klasifikasi
Skizofrenia dapat dibedakan menjadi beberapa subtipe yaitu
sebagai berikut (PPDGJ III, 2013).
Tabel 2.1 Klasifikasi Skizofrenia
Skizofrenia Paranoid Skizofrenia Hebefrenik Skizofrenia Katatonik
1. Kriteria umum (+) 1. Kriteria umum (+) 1. Kriteria umum (+)
2. Halusinasi dan 2. Diagnosis pertama 2. Minimal satu dari
waham (control, ditegakkan pada usia berikut
influence, 15-25 tahun mendominasi:
passivity, dikejar) 3. Kepribadian stupor, mutisme,
yang amat premorbid: pemalu, gaduh-gelisah,
menonjol. solitary posturing,
4. Selama observasi 2-3 negativism,
3. Gangguan afektif , bulan didapatkan rigiditas,
dorongan perilaku yang tidak fleksibilitas cerea,
kehendak, gejala bertanggungjawab, command
katatonik relatif mannerisme, solitary, automatism
tidak menonjol afek dangkal
inappropriate,
inkoherensi.
5. Gangguan afektif,
dorongan kehendak,
dan gangguan proses
pikir menonjol
Skizofrenia Tak Skizofrenia Residual Skizofrenia Simplek
Terinci
1. Kriteria umum (+) 1. Gejala negatif 1. Gejala negatif yang
2. Tidak memenuhi skizofrenia menonjol khas tanpa
kriteria skizofrenia 2. Riwayat satu episode didahului riwayat
paranoid, psikotik yang jelas di halusinasi, waham,
hebefrenik, atau masa lalu maupun manifestasi
katatonik 3. Melalui 1 tahun lain psikotik.
3. Tidak memenuhi dimana waham dan 2. Disertai perubahan
kriteria skizofrenia halusinasi sangat perilaku pribadi
residual atau berkurang, dan telah yang bermakna,
depresi post- timbul sindrom apatis atau seolah
skizofrenia negative tidak memiliki
4. Tidak ada kepentingan untuk
demensia/gangguan dirinya sendiri.
otak organik lain
5. Tipe Residual
Tipe ini merupakan kategori yang dianggap telah terlepas
dari skizofrenia tetapi masih memperlihatkan gejala-gejala residual
atau sisa, seperti keyakinan-keyakinan negatif, atau mungkin masih
memiliki ide-ide tidak wajar yang tidak sepenuhnya delusional.
Gejala-gejala residual itu dapat meliputi menarik diri secara sosial,
pikiran-pikiran ganjil, inaktivitas, dan afek datar.
2.1.7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien skizofrenia dapat berupa terapi
biologis dan terapi psikososial.
1. Terapi Biologis
Pada penatalaksanaan terapi biologis terdapat tiga bagian
yaitu terapi dengan menggunakan obat antipsikosis, terapi
elektrokonvulsif, dan pembedahan bagian otak. Terapi dengan
penggunaan obat antipsikosis dapat meredakan gejala-gejala
skizofrenia. Obat yang digunakan adalah chlorpromazine (thorazine)
dan fluphenazine decanoate (prolixin). Kedua obat tersebut termasuk
kelompok obat phenothiazines, reserpine (serpasil), dan haloperidol
(haldol). Obat ini disebut obat penenang utama. Obat tersebut dapat
menimbulkan rasa kantuk dan kelesuan, tetapi tidak mengakibatkan
tidur yang lelap, sekalipun dalam dosis yang sangat tinggi (orang
tersebut dapat dengan mudah terbangun). Obat ini cukup tepat bagi
penderita skizofrenia yang tampaknya tidak dapat menyaring
stimulus yang tidak relevan (Akbar, 2008).
Terapi Elektrokonvulsif juga dikenal sebagai terapi
electroshock pada penatalaksanaan terapi biologis. Pada akhir 1930-
an, electroconvulsive therapy (ECT) diperkenalkan sebagai
penanganan untuk skizofrenia.Tetapi terapi ini telah menjadi pokok
perdebatan dan keprihatinan masyarakat karena beberapa alasan.
ECT ini digunakan di berbagai rumah sakit jiwa pada berbagai
gangguan jiwa, termasuk skizofrenia. Antusiasme awal terhadap ECT
semakin memudar karena metode ini kemudian diketahui tidak
menguntungkan bagi sebagian besar penderita skizofrenia meskipun
penggunaan terapi ini masih dilakukan hingga saat ini. Sebelum
prosedur ECT yang lebih manusiawi dikembangkan, ECT merupakan
pengalaman yang sangat menakutkan pasien. Pasien seringkali tidak
bangun lagi setelah aliran listrik dialirkan ke tubuhnya dan
mengakibatkan ketidaksadaran sementara, serta seringkali menderita
kerancuan pikiran dan hilangnya ingatan setelah itu. Adakalanya,
intensitas kekejangan otot yang menyertai serangan otak
mengakibatkan berbagai cacat fisik (Akbar, 2008).
Pada terapi biologis lainnya seperti pembedahan bagian otak
memperkenalkan prefrontal lobotomy, yaitu proses operasi primitif
dengan cara membuang “stone of madness” atau disebut dengan batu
gila yang dianggap menjadi penyebab perilaku yang terganggu.
Menurut Moniz, cara ini cukup berhasil dalam proses penyembuhan
yang dilakukannya, khususnya pada penderita yang berperilaku
kasar. Akan tetapi, pada tahun 1950an cara ini ditinggalkan karena
menyebabkan penderita kehilangan kemampuan kognitifnya, otak
tumpul, tidak bergairah, bahkan meninggal.
2. Terapi Psikososial
Gejala-gejala gangguan skizofrenia yang kronik
mengakibatkan situasi pengobatan di dalam maupun di luar Rumah
Sakit Jiwa (RSJ) menjadi monoton dan menjemukan. Secara historis,
sejumlah penanganan psikososial telah diberikan pada pasien
skizofrenia, yang mencerminkan adanya keyakinan bahwa gangguan
ini merupakan akibat masalah adaptasi terhadap dunia karena
berbagai pengalaman yang dialami di usia dini. Pada terapi psikosial
terdapat dua bagian yaitu terapi kelompok dan terapi keluarga
(Akbar, 2008).
Terapi kelompok merupakan salah satu jenis terapi
humanistik. Pada terapi ini, beberapa klien berkumpul dan saling
berkomunikasi dan terapist berperan sebagai fasilitator dan sebagai
pemberi arah di dalamnya. Para peserta terapi saling memberikan
feedback tentang pikiran dan perasaan yang dialami. Peserta
diposisikan pada situasi sosial yang mendorong peserta untuk
berkomunikasi, sehingga dapat memperkaya pengalaman peserta
dalam kemampuan berkomunikasi.
Pada terapi keluarga merupakan suatu bentuk khusus dari
terapi kelompok. Terapi ini digunakan untuk penderita yang telah
keluar dari rumah sakit jiwa dan tinggal bersama keluarganya.
Keluarga berusaha untuk menghindari ungkapan-ungkapan emosi
yang bisa mengakibatkan penyakit penderita kambuh kembali. Dalam
hal ini, keluarga diberi informasi tentang cara-cara untuk
mengekspresikan perasaan-perasaan, baik yang positif maupun yang
negatif secara konstruktif dan jelas, dan untuk memecahkan setiap
persoalan secara bersama-sama. Keluarga diberi pengetahuan tentang
keadaan penderita dan cara-cara untuk menghadapinya. Dari
beberapa penelitian, seperti yang dilakukan ternyata campur tangan
keluarga sangat membantu dalam proses penyembuhan, atau
sekurang-kurangnya mencegah kambuhnya penyakit penderita,
dibandingkan dengan terapi-terapi secara individual.
Pada pasien dengan serangan akut, langkah yang harus
dilakukan adalah sebagai berikut (Kaplan dan Sadock, 2010):
1. Langkah Pertama
Dokter dapat melakukan diskusi dan menenangkan pasien
2. Langkah Kedua
a. Terapi medikamentosa
Apabila pasien membahayakan dirinya atau orang lain dapat
dilakukan isolasi terlebih dahulu selama 2-4 jam. Pemberian
obat dapat dilakukan secara peroral maupun injeksi.
i. Obat injeksi digunakan untuk mendapat efek lebih
cepat, misalnya haloperidol, dosis 5 mg setiap injeksi
intramuscular dan dapat diulang setiap setengah jam
(dosis maksimum 20mg/hari)
ii. Obat antipsikotika oral misalnya klorpromazin dengan
dosis 300-1000 mg/hari atau trihexipenidil 2 mg
sebanyak 3 kali sehari
b. Psikoterapi, dilakukan untuk mengurangi stimulus dan
stressor yang berlebihan sekaligus memberikan ketenangan
kepada pasien.
c. Terapi kejang listrik (electro compulsive therapy) bagi
skizofrenia katatonik dan skizofrenia refrakter
d. Edukasi pada keluarga dan pasien mengenai gangguan yang
terjadi pada pasien, fungsi terapi, peran keluarga, gejala,
penyebab, dan cara mengatasinya.
2.1.8. Prognosis
Beberapa faktor penentu prognosis yang dapat dilihat antara lain
kepribadian pramorbid, gejala klinik, jenis kelamin, usia serangan,
frekuensi serangan, jenis serangan, dan faktor konstitusi fisik. Sekitar 10-
20% pasien skizofrenia menunjukkan hasil baik, 50% menunjukkan hasil
buruk (berupa rawat inap berulang, gangguan mood, dan usaha bunuh
diri) (Kaplan dan Sadock, 2010).
Beberapa peneletian mengemukakan bahwa pasien skizofrenia
yang dirawayat pada masa periode 5 hingga 10 tahun hanya memiliki
hasil kekembuhan 10 – 20 % dari selururh pasien yang mengalami
perawatan. 20 – 30 % pasien mengalami penyembuhan namun tidak
sempurna dan 40m- 60 % pasien masih tetap dalam keadaan semula.
Prognosis pasien dengan skizofrenia dapat di bagi atas 2 keompok besar
yaitu kelompok dengan prognosis baik dan prognosis buruk. Hal hal yang
menentukan suatu prognosis baik atau buruk yaitu (Kaplan, Sadock, &
Grebb, 2010):
1. Prognosis baik
a. Onset lambat/ pada usia tua
b. Faktor pencetus jelas
c. Durasi dari awitan bersifat akut
d. Riwayat seksual, sosial dan pekerjaan premorbid baik
e. Adanya gangguan mood
f. Menikah
g. Riwayat keluarga gangguan mood
h. Sistem pendukung yang baik
i. Gejala positif
2. Prognosis buruk
a. Onset muda/ pada usia muda
b. Faktor pencetus tidak jelas
c. Durasi dari awitan bersifat kronis
d. Riwayat seksual, sosial dan pekerjaan premodrbid jelek
e. Tidak menikah, bercerai, atau janda/duda
f. Sistem pendukung yang buruk
g. Riwayat keluarga skizofrenia
h. Gejala negative
i. Tanda dan gejala neurologis
j. Riwayat trauma perinatal
k. Tidak ada remisi dalam 3 tahun
l. Banyak relaps
m. Riwayat penyerangan
1. Sosial
Orang yang mendapat dukungan sosial dari keluarga, teman, atau pengasuh
untuk membantu rejimen pengobatan memiliki kepatuhan yang lebih baik
terhadap pengobatan.
(Cutler, Fernandez-Llimos, Frommer, Benrimoj, & Garcia-Cardenas, 2018).
2. Ekonomi
Lingkungan hidup yang tidak stabil, akses terbatas ke perawatan kesehatan,
kurangnya sumber daya keuangan, biaya pengobatan, dan jadwal kerja yang
membebani telah dikaitkan dengan penurunan tingkat kepatuhan (Cutler,
Fernandez-Llimos, Frommer, Benrimoj, & Garcia-Cardenas, 2018).
3. Sistem perawatan kesehatan
Hubungan pasien dengan dokter adalah salah satu faktor terkait sistem perawatan
kesehatan yang paling penting yang mempengaruhi kepatuhan. Hubungan yang
baik antara pasien dan penyedia layanan kesehatan, yang memiliki dorongan dan
penguatan dari penyedia layanan, memiliki dampak positif pada
kepatuhan.Kurangnya komunikasi mengenai manfaat, petunjuk penggunaan, dan
efek samping obat-obatan juga dapat berkontribusi terhadap ketidakpatuhan,
terutama pada orang tua dengan masalah ingatan(Stavropoulou, 2011).
4. Terkait kondisi
Pemberian obat jangka panjang untuk banyak penyakit kronis dan kepatuhan
terhadap rejimen sering menurun secara signifikan dari waktu ke waktu. Sering
terjadi ketika pasien memiliki sedikit atau tidak ada gejala dan tidak adanya
penghalang bagi orang untuk minum obat. Penting bagi pasien untuk memahami
penyakit dan apa yang akan terjadi jika tidak diobati (Mishra, Gioia, Childress,
Barnet, & Webster, 2011).
5. Terkait dengan terapi
Kompleksitas rejimen obat, yang meliputi jumlah obat dan jumlah dosis harian
yang diperlukan; durasi terapi; terapi yang tidak nyaman atau mengganggu gaya
hidup dan efek samping seseorang telah dikaitkan dengan penurunan
kepatuhan(Scanlon & Vreeman, 2013).
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Metode
b. Populasi
1) Kriteria Inklusi :
a) Anggota keluarga yang bertempat tinggal di wilayah kerja
BLUD Puskesmas Limboto.
b) Anggota keluarga yang terdiagnosis gangguan jiwa berat
(skizofrenia).
2) Kriteria Eksklusi:
Pasien gangguan jiwa berat atau skizofrenia yang tidak terdata
di BLUD Puskesmas Limboto.
Abegaz, T. M., Shehab, A., Gebreyohannes, E. A., Bhagavathula, A. S., & Elnour, A.
A. (2017). Nonadherence to antihypertensive drugs a systematic review and
meta-analysis. Medicine (United States).
https://doi.org/10.1097/MD.0000000000005641
Akbar, M. 2008. Hubungan Dukungan Sosial Keluarga terhadap Tingkat
Kekambuhan Penderita Skizofrenia di RS Grhasia Yogyakarta. Yogyakarta:
Penerbit Universitas Islam Indonesia.
Ashturkar, M.D., and Dixit, J.V. 2013. Selected Epidemiological Aspect of
Schizophrenia: A Cross Section Study at Terytyari Care Hospital in
Maharashtra. National Journal of Community Medicine. 4 (1): 65-69.
Baihaqi, Sunardi, Riksma, dan Euis. 2005. Pskiatri. Bandung: Refika Aditama.
Bhugra, D. 2005. The global prevalence of schizophrenia. PLoS Med. 2 (5): 151.
Brown, M. T., & Bussell, J. K. (2011). Medication adherence: WHO cares? Mayo
Clinic Proceedings. https://doi.org/10.4065/mcp.2010.0575
Budiarto, Eko. 2004. Metodologi Penelitian Kedokteran. Jakarta: EGC.
Cutler, R. L., Fernandez-Llimos, F., Frommer, M., Benrimoj, C., & Garcia-Cardenas,
V. (2018). Economic impact of medication non-adherence by disease
groups: A systematic review. BMJ Open. https://doi.org/10.1136/bmjopen-
2017-016982
Elain, M. E. 2010. Patient’s Perception of Family Involvement and Its Relationship to
Medication Adherence for Persons with schizophrenia and Schizoaffective
Disorders. Journal Social Science. New Jersey: The State University of New
Jersey.
Hawari. 2014. Skizofrenia Pendekatan Holistik (Bio-Psiko-Sosial). Jakarta: Penerbit
FK UI.
Kaplan, H.I., Sadock B.J., and Grebb J.A. 2010. Sinopsis Psikiatri (Alih bahasa:
Widjaja Kusuma). Jakarta: Binarupa Aksara.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Pedoman Umum Program
Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga. Jakarta: Kesehatan
Kementerin Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Modul Pelatihan Keluarga Sehat:
Pokok Bahasan 2 Kesehatan Jiwa. Jakarta: Badan Pusat Pelatihan SDM
Kesehatan Kementerin Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2018. Riset Kesehatan Dasar 2018.
Jakarta: Kementerin Kesehatan Republik Indonesia.
Lam, W. Y., & Fresco, P. (2015). Medication Adherence Measures: An Overview.
BioMed Research International. https://doi.org/10.1155/2015/217047
Maramis WF, Maramis AA. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. 2 ed. Surabaya:
Airlangga University Press; 2009. 259 hal.)
Maslim, R. 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas dari
PPDGJ III. Jakarta: FK Unika Atmajaya.
Mishra, S. I., Gioia, D., Childress, S., Barnet, B., & Webster, R. L. (2011).
Adherence to medication regimens among low-income patients with
multiple comorbid chronic conditions. Health and Social Work.
https://doi.org/10.1093/hsw/36.4.249
Pakpahan, dan Sri Hertika. 2012. Karakteristik Penderita Skizofrenia Rawat Inap di
Rumah Sakit Jiwa Medan Tahun 2001. Sumatera Utara: FK USU.
Rolnick, S. J., Pawloski, P. A., Hedblom, B. D., Asche, S. E., & Bruzek, R. J. (2013).
Patient characteristics associated with medication adherence. Clinical
Medicine and Research. https://doi.org/10.3121/cmr.2013.1113
Scanlon, M. L., & Vreeman, R. C. (2013). Current strategies for improving access
and adherence to antiretroviral therapies in resource-limited settings.
HIV/AIDS -Research and Palliative Care.
https://doi.org/10.2147/HIV.S28912
Stavropoulou, C. (2011). Non-adherence to medication and doctor-patient
relationship: Evidence from a European survey. Patient Education and
Counseling. https://doi.org/10.1016/j.pec.2010.04.039
Towsend, M.C. 2011. Psychiatric Mental Health Nursing: Concepts of Care In
Evidence-Based Practice. Philadelphia: F.A. Davis Company.
Videbeck, S.L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.
World Health Organization. 2016. Mental Health. Geneva: World Health
Organization.
World Health Organization. 2017. Mental Health Atlas. Geneva: World Health
Organization.
Hawari. 2014. Skizofrenia Pendekatan Holistik (Bio-Psiko-Sosial). Jakarta: Penerbit
FK UI.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Modul Pelatihan Keluarga Sehat:
Pokok Bahasan 2 Kesehatan Jiwa. Jakarta: Badan Pusat Pelatihan SDM
Kesehatan Kementerin Kesehatan Republik Indonesia.
Mendes Braga, M. E., Teixeira Batista, H. M., Brasil Sampaio Cardoso, M. A.,
Martins Cardoso Novais, M. do S., Ferreira de Lima Silva, J. M., Moraes da Silva,
F., de Abreu, L. C. (2015). Schizoaffective Disorder.