Anda di halaman 1dari 33

MINI PROJECT

HUBUNGAN KEPATUHAN MINUM OBAT DENGAN TINGKAT


KEKAMBUHAN PASIEN SKIZOFRENIA DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS KOTA SELATAN GORONTALO
PERIODE JANUARI-FEBRUARI TAHUN 2021

Oleh:

dr. Liesia Asiku


dr. Natasha Natalia Gunawan
dr. Nike Ayu Astuti
dr. Sandy Rahmando

Pembimbing:
dr. Noverita Susanti Yunus

PROGRAM DOKTER INTERNSHIP INDONESIA


PERIODE 15 DESEMBER – 15 MARET 2021
PUSKESMAS KOTA SELATAN
GORONTALO
LEMBAR PENGESAHAN

Penelitian dengan judul:


Hubungan Kepatuhan Minum Obat dengan Tingkat Kekambuhan Pasien
Skizofrenia di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Selatan Gorontalo
Periode Januari-Februari Tahun 2021

diajukan sebagai salah satu persyaratan untuk memenuhi tugas program dokter
internship di Puskesmas Kota Selatan periode 15 Desember – 15 Maret 2021

telah disetujui untuk diujikan pada:

Gorontalo, 12 Maret 2021

Pembimbing
Kepala Puskesmas

dr. Noverita Susanti Yunus


dr. Grace Tumewu
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Saat ini, berdasarkan World Health Organization (WHO) tahun 2017,
perkiraan jumlah penderita gangguan jiwa di dunia adalah sekitar 450 juta jiwa
termasuk skizofrenia. Secara global, kontributor terbesar beban penyakit dan
penyebab kematian adalah penyakit kardiovaskuler (31,8%) namun bila dilihat dari
tahun hidup dengan kondisi disabilitas (Years lived with disability/YLDs) maka
persentase kontributor terbesar adalah gangguan mental (14,4%). Di Asia Tenggara
(13,5%) dan Indonesia (13,4%), YLDs juga terbesar pada gangguan mental.1
Berdasarkan Laporan Riset Kesehatan Dasar Indonesia prevalensi orang
dengan skizofrenia (ODS) tahun 2018 sebanyak 6,7%. Propinsi Gorontalo berada di
urutan no-14 tertinggi bersama dengan Jambi dan DKI Jakarta yaitu sebanyak 6,6%
dengan prevalensi yang pernah berobat sebesar 85,65% namun tingkat kepatuhan
obatnya sebesar 43,10% dan yang tidak patuh minum obat sebesar 56,90%.2
Data Puskesmas Kota Selatan menunjukkan cakupan pasien gangguan jiwa
mendapatkan pengobatan dan tidak terlantarkan di wilayah kerja Puskesmas Kota
Selatan bulan Agustus tahun 2020 sebesar 30,00%.3 Pada data pasien jiwa di
Puskesmas Kota Selatan bulan Desember 2020, terdapat 14 pasien skizofrenia dari
37 pasien skizofrenia yang tidak datang kontrol dan mengambil obat. 4 Berdasarkan
suatu studi, didapatkan bahwa kejadian kambuh pada pasien skizofrenia sebesar
lebih dari 50% setelah remisi selama 1 tahun. Kekambuhan pada pasien skizofrenia
terkait dengan psikopatologi, prognosis klinis dan fungsi yang memburuk. Hal ini
tidak hanya berdampak pada kualitas hidup pasien namun juga bagi keluarga dan
masyarakat.E Berdasarkan data-data di atas, peneliti tertarik untuk menganalisa
hubungan antara kekambuhan pasien skizofrenia dengan tingkat kepatuhan minum
obat di wilayah kerja Puskesmas Kota Selatan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, terdapat rumusan masalah yakni
belum diketahuinya hubungan kepatuhan minum obat dengan kekambuhan
pasien skizofrenia di wilayah kerja Puskesmas Kota Selatan

1.3 Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah terdapat hubungan antara kepatuhan
minum obat dengan tingkat kekambuhan pasien skizofrenia.

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum


Mengetahui hubungan antara kepatuhan minum obat dengan tingkat
kekambuhan pasien gangguan jiwa di wilayah kerja Puskesmas Kota
Selatan periode Januari-Februari tahun 2021.
1.4.2 Tujuan Khusus
- Diketahuinya sebaran pasien skizofrenia dengan kepatuhan tinggi,
kepatuhan sedang dan kepatuhan rendah minum obat di wilayah kerja
Puskesmas Kota Selatan periode Januari-Februari tahun 2021.
- Diketahuinya sebaran pasien skizofrenia yang kambuh dan tidak
kambuh di wilayah kerja Puskesmas Kota Selatan periode Januari-
Februari tahun 2021.
- Dianalisanya hubungan kepatuhan minum obat dengan tingkat
kekambuhan pasien skizofrenia di wilayah kerja Puskesmas Kota
Selatan periode Januari-Februari 2021.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat bagi penulis
Penelitian ini selain untuk memenuhi tugas mini project pada program
internship, juga menambah pengalaman dan ketrampilan dalam penulisan
karya ilmiah dan menambah wawasan dan pengetahuan penulis.

1.5.2 Manfaat bagi puskesmas


● Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan
pertimbangan bagi perumusan intervensi dan inovasi untuk
meningkatkan kepatuhan minum obat pasien skizofrenia.
● Menjadi dasar bagi penelitian-penelitian berikutnya di Puskesmas Kota
Selatan.
1.5.3 Manfaat bagi masyarakat
● Penelitian ini dapat memberikan informasi kepada masyarakat
khususnya bagi keluarga maupun pasien skizofrenia mengenai
pentingnya kepatuhan minum obat.
● Penelitian ini dapat menjadi dasar dari pembentukan intervensi bagi
pasien skizofrenia untuk dapat patuh minum obat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Skizofrenia
2.1.1 Definisi
Skizofrenia merupakan suatu sindroma klinis dari berbagai keadaan
psikopatologis yang sangat mengganggu yang melibatkan proses pikir, emosi,
persepsi dan tingkah laku. Skizofrenia merupakan golongan psikosa yang
ditandai dengan tidak adanya pemahaman diri (insight) dan ketidakmampuan
menilai realitas.F Karakteristik skizofrenia terdiri dari gejala positif,
seperti halusinasi atau delusi, bicara tidak teratur. Selain itu terdapat
juga gejala negatif, seperti afek datar atau miskin bicara, dan gangguan
kognisi,meliputi perhatian, memori, dan fungsi eksekutif. Penyakit ini
umumnya terkait dengan gangguan dalam fungsi sosial dan pekerjaan.5

2.1.2 Tanda dan Gejala Skizofrenia


Ada dua gejala yang menyertai schizophrenia yakni gejala negatif
dan gejala positif. Gejala negatif berupa tindakan yang tidak membawa
dampak merugikan bagi lingkungannya, seperti mengurung diri di
kamar, melamun, menarik diri dari pergaulan, dan sebagainya.
Sementara gejala positif adalah tindakan yang mulai membawa dampak
bagi lingkungannya, seperti mengamuk dan berteriak-teriak.6
a. Gejala negatif (pendataran afektif, alogia (miskin bicara, kemiskinan
isi bicara, afek yang tidak sesuai), tidak ada kemauan-apati, anhedonia-
asosialitas, tidak memiliki atensi social, tidak ada perhatian)
b. Gejala positif ( halusinasi, waham, perilaku aneh (cara berpakaian,
perilaku social, agresif, perilaku berulang), ganggun pikiran formal
positif (penyimpangan, tangensialitas, inkoherensi, dll)
Gejala yang pertama kali tampak adalah gejala postif. Timbulnya gejala
positif ini berbeda pada tiap gender. Pada pria umumnya muncul pada
usia 17-27 sementara pada wanita 17-37.

2.1.3 Perjalanan penyakit


Perjalanan penyakit schizophrenia terbagi menjadi tiga fase, yaitu:
1. Fase prodromal = fase dimana gejala non spesifik muncul sebelum
gejala psikotik menjadi jelas. Lamanya bisa beberapa minggu, bulan
bahkan tahunan. Gejalanya berupa hendaya pekerjaan, fungsi social,
perawatan diri, dan penggunaan waktu luang.
2. Fase aktif = fase dimana gejala psikotik menjadi jelas seperti perilaku
katatonik, halusinasi, delusi, disertai gangguan afek.
3. Fase residual = fase yang gejala nya mirip seperti fase prodromal
tetapi gejala psikotiknya tidak begitu jelas.

2.1.4 Diagnosis Skizofrenia


Diagnosis skizofrenia berdasarkan kriteria DSM-V:6
A. Dua (atau lebih) gejala berikut, masing-masing gejala muncul dalam
durasi yang signifikan yaitu 1 bulan (atau kurang jika berhasil
ditatalaksana). Setidaknya satu dari gejala berikut harus ada (1), (2),
atau (3) :
1. Delusi
2. Halusinasi
3. Bicara meracau (inkoheren atau sering tergelincir)
4. Perilaku katatonik
5. Gejala negatif (hilangnya ekspresi emosional)
B. Dalam waktu yang signifikan sejak onset dari gejala, terjadi penurunan
tingkat fungsi dari satu atau lebih bagian seperti pekerjaan, hubungan
interpersonal, atau perawatan diri (atau jika onset terjadi pada kanak-
kanak atau remaja, terjadi kegagalan dalam mencapai tingkat yang
diharapkan dalam hubungan interpersonal, akademik atau fungsi
bekerja).
C. Kelanjutan dari gejala bertahan selama setidaknya 6 bulan. Selama 6
bulan harus termasuk setidaknya 1 bulan gejala yang bertemu dengan
Kriteria A (contohnya; gejala fase aktif) dan mungkin termasuk waktu
dari gejala prodormal atau residual. Selama gejala prodormal atau
residual ini berlangsung, tanda dari gangguan mungkin hanya terdapat
gejala negatif atau dua atau lebih yang disebutkan pada Kriteria A
(contohnya; keyakinan aneh, pengalaman persepsi yang tidak biasa)
D. Gangguan skizoafektif dan depresi atau gangguan bipolar dengan gejala
psikotik telah tersingkirkan karena 1) tidak ada gejala depresi berat atau
episode manik yang terjadi bersamaan dengan gejala fase aktif, atau 2)
apabila episode gangguan mood terjadi selama gejala fase aktif, episode
tersebut telah muncul selama sebagian kecil dari total durasi waktu aktif
dan residual penyakit.
E. Gangguan ini tidak disebabkan oleh efek fisiologis dari suatu zat
(penyalahgunaan obat, tindakan medis) atau kondisi medis lainnya.
F. Apabila ada riwayat gangguan spektrum autisme atau gangguan
komunikasi sejak kecil, diagnosis skizofrenia hanya dibuat jika ada
halusinasi atau delusi yang menonjol dan ditambahkan dengan gejala
lainnya yang didapatkan pada skizofrenia telah terjadi setidaknya
selama 1 bulan (atau kurang jika berhasil ditatalaksana).

2.1.5 Penatalaksanaan Skizofrenia


Ada 2 tipe obat antipsikosis, yaitu : generasi pertama (tipikal) dan
generasi kedua (atipikal). Contoh golongan tipikal yaitu : haloperidol,
chlorpromazine, perphenazine, thiotixene, sedangkan golongan atipikal
yaitu : aripiprazole, clozapine, lurasidone, olanzapine, palipiradone,
quetiapine, risperidone, ziprasidone. Perbedaan utama diantara kedua
kelompok obat tersebut adalah pada efek samping, dimana generasi
pertama lebih banyak menyebabkan gejala ekstrapiramidal, seperti
pseudoparkinson, akatsia (sensasi ketidakmampuan untuk
mempertahankan posisi ), dan distonia, sedangkan generasi kedua lebih
banyak menyebabkan peningkatan perubahan metabolik, seperti
kenaikan berat badan, resistensi insulin, hiperglikemia, dan abnormal
lipid.7
Terapi tambahan yang dapat dilakukan kepada pasien skizofrenia
adalah dengan cognitive behavior theraphy (CBT), intervensi keluarga,
serta pelatihan ketrampilan social. CBT terutama membantu dalam
perbaikan emosi dan perasaan distress. Pasien yang diterapi kombinasi
lebih sedikit yang mengalami relaps.7

2.1.6 Prognosis Skizofrenia


Pasien dengan skizofrenia memiliki kondisi klinis yang
bervariasi, yaitu remisi, eksaserbasi, atau menjadi kronis secara
persisten. Sekitar 20% pasien memiliki outcome yang positif. Resiko
bunuh diri juga 13 kali lebih tinggi pada pasien skizofrenia, terutama
pada pasien dengan halusinasi auditorik, delusi, penggunaan zat
terlarang, serta riwayat pernah melakukan percobaan bunuh diri. Secara
umum, tingkat mortalitas pada pasien skizofrenia 2-3 kali lebih tinggi
dibanding populasi umunya. Kematian biasanya berkaitan dengan
peningkatan resiko penyakit jantung dan paru, stroke, kanker, dan
kejadian tromboemolik. Saat ini pasien skizofrenia menunjukkan
perbedaan dalam respon terhadap terapi, dan prognosisnya dapat
diperkirakan, namun sepertiga pasien yang diterapi tetap simptomatik.
Meskipun kebanyakan pasien membutuhkan berbagai bentuk dukungan,
namun pasien masih dapat hidup secara independen dan dapat
berpartisipasi secara aktif dalam hidupnya.7
2.2 Kekambuhan Skizofrenia
2.2.1 Definisi Kekambuhan
Kekambuhan adalah memburuknya gejala psikopatologi atau
perawatan inap ulang di tahun yang sama setelah pasien keluar dari rumah
sakit. Definisi lainnya adalah suatu keadaan dimana timbulnya kembali
suatu penyakit yang sudah sembuh dan disebabkan oleh berbagai macam
faktor penyebab. Pasien skizofrenia sering mengalami kekambuhan
selama dalam fase pengobatan. Pada penelitian, pasien gangguan jiwa
mengalami onset kekambuhan sebanyak 55,3% dengan kejadian kambuh
setidaknya terjadi sebanyak 1 kali sebanyak 55,3%, kejadian kambuh 2
kali sampai 5 kali sebanyak 23,3% dan kejadian kambuh lebih dari 5 kali
sebanyak 23,3%.8
Tidak ada definisi dan batasan yang jelas mengenai kekambuhan
pada pasien skizofrenia. Berdasarkan Wei-Feng Mi et al, kriteria
kekambuhan skizofrenia di penelitiannya yaitu perubahan jenis atau dosis
pengobatan antipsikotik, frekuensi datang ke fasilitas kesehatan lebih
sering, perawatan inap ulang, dan tengah disupervisi ketat akibat
keinginan mencelakai diri sendiri atau perilaku yang agresif.9

2.2.2 Faktor Kekambuhan Pasien Skizofrenia


1. Faktor internal
- Karakteristik pasien skizofrenia
Berdasarkan penelitian Novitayani, pasien skizofrenia dengan
kekambuhan paling banyak terjadi pada tahap dewasa dengan
batasan usia 25-65 tahun (95%) dengan jenis kelamin laki-laki lebih
banyak dan paling banyak pendidikan terakhir paling banyak SMA.
Pendidikan yang rendah cenderung kurang memperhatikan kualitas
hidup sehat yang dapat mempengaruhi keberhasilan terapi. Pasien
skizofrenia yang sudah bekerja memiliki pendapatan untuk dapat
membayar pengobatannya dan mendorong rasa kemandirian untuk
bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri sehingga mendukung
kepatuhan minum obat dikarenakan pasien lebih cenderung
memperhatikan kesehatannya. Pasien yang telah bekerja juga akan
merasa telah diterima di lingkungan sekitarnya. Pada penelitian Wei-
Feng Mi, pekerjaan mempengaruhi tingkat kekambuhan pasien
skizofrenia (p<0.001). Namun berdasarkan penelitian Novitayani,
sebagian besar responden yang memiliki pekerjaan mengalami
kekambuhan (62,5%) dikarenakan pasien mengantuk setelah minum
obat sehingga pekerjaannya terganggu dan mengurangi dosis
obatnya. Hal ini berakibat kepada kekambuhan penyakit pasien
skizofrenia.9,10
- Kepatuhan minum obat
Kepatuhan adalah ketaatan pasien dalam melaksanakan tindakan
terapi. Ketidakpatuhan minum obat diakibatkan oleh efek samping
pengobatan pasien yang lupa untuk minum obat, pasien merasa
dirinya sudah sembuh sehingga tidak mengonsumsi obat lagi,
ketidakmampuan dalam segi ekonomi untuk membeli obat, dan
kurangnya supervisi dari keluarga sebagai bentuk dukungan untuk
membantu pasien patuh terhadap pengobatan. Keberlangsungan
pengobatan dalam penatalaksanaan skizofrenia merupakan salah satu
faktor keberhasilan terapi. Pasien yang tidak patuh dalam
pengobatan akan memiliki resiko kekambuhan lebih tinggi
dibandingkan dengan pasien yang patuh dalam pengobatan.
Ketidakpatuhan berobat merupakan salah satu alasan kembali
dirawat dirumah sakit. Berdasarkan Sariah et al, faktor penyebab
kekambuhan skizofrenia terbesar yaitu ketidakpatuhan minum obat
dikarenakan efek samping ekstrapiramidal pasien skizofrenia.
Berdasarkan penelitian Wei-Feng Mi et al, Muliyani et al, dan Sariah
et al, kepatuhan minum obat pada pasien skizofrenia juga
mempengaruhi kekambuhan.9,11,12
- Tingkat stress
Stress yang tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan dampak
psikologis dan memperburuk keadaan selama proses pemulihan
pasien skizofrenia. Stres pasien skizofrenia yang tidak dikelola
dengan baik dapat menjadi faktor pemicu munculnya gejala positif
atau kekambuhan pada pasien. Dalam penelitian Sariah et al, pasien
yang mengalami masalah dalam hidup berkontribusi terhadap pemicu
kekambuhannya. Stress yang tidak dikelola dengan baik akan
menimbulkan dampak psikologis dan memperburuk keadaan pasien
skizofrenia selama masa pemulihannya.9,11
2. Faktor eksternal yang mempengaruhi kekambuhan
- Dukungan keluarga
Dukungan keluarga adalah tingkah laku spesifik yang diharapkan oleh
seseorang dalam konteks keluarga. Dukungan keluarga
menggambarkan perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang
berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu. Salah
satu faktor penyebab kekambuhan pasien skizofrenia adalah
kurangnya dukungan terhadap anggota keluarga yang mengalami
skizofrenia. Salah satu penyebabnya adalah karena keluarga tidak tahu
cara menangani perilaku penderita di rumah. Selain itu, adanya stigma
dalam keluarga yang menganggap bahwa gangguan jiwa skizofrenia
sebagai penyakit yang memalukan dan membawa aib bagi keluarga.
Perlakuan kasar dan pertengkaran terus-menerus dengan saudara
kandung, konflik yang berkepanjangan dengan suami/istri, dan emosi
yang diekspresikan berlebihan menyebabkan pasien merasa tidak
nyaman dan stres sehingga menyebabkan kekambuhan. Kondisi
keluarga yang tidak kondusif menunjukan koping keluarga yang tidak
efektif dan dapat mengakibatkan pasien menjadi stres. Pada penelitian
Asira Sirait dalam jurnal Meli Maya Sari et al, didapatkan hasil
dukungan keluarga terbukti berpengaruh terhadap relaps atau
kambuhnya pasien skizofrenia (p<0,05).9,13
- Tingkat keparahan gejala psikiatrik
Berdasarkan penelitian Novitayani, pasien skizofrenia dengan
kekambuhan sebagian besar telah menderita skizofrenia selama 11-15
tahun karena telah jenuh minum obat sedangkan penyakitnya tidak
sembuh.10
2.3 Kepatuhan Minum Obat Pasien Skizofrenia
2.3.1 Definisi Kepatuhan Minum Obat
Menurut Gajski & Karlovic kepatuhan adalah sebuah istilah yang
menggambarkan bagaimana pasien mengikuti petunjuk dan rekomendasi
terapi dari tenaga medis.O Kepatuhan sebagai ketaatan pasien dalam
melaksanakan tindakan terapi. Kepatuhan pasien berarti pasien beserta
keluarga harus meluangkan waktu dalam melakukan pengobatan secara
teratur termasuk menjalani program farmakoterapi. Mematuhi program
pengobatan pada tahap awal serangan dapat meminimalisasi kemunduran
mental karena kondisi psikotik yang lama akan menimbulkan kemunduran
mental yang berkepanjangan sehingga menurunkan kualitas hidup dan
membuat pasien menjadi ketergantungan dalam memenuhi keadaan
dasarnya yang akhirnya menyusahkan keluarga, orang lain, masyarakat,
dan lingkungan sekitar.14
Kepatuhan obat pasien skizofrenia merupakan salah satu faktor
utama keberhasilan penderita untuk sembuh. Ketidakpatuhan terhadap
pengobatan merupakan prediktor kekambuhan pada pasien skizofrenia
sehingga usaha untuk meningkatkan dan mempertahankan kepatuhan
pasien terhadap pengobatan penting dilakukan sebagai kunci untuk
mencegah kekambuhan.15

2.3.2 Faktor Kepatuhan Minum Obat Pasien Skizofrenia


- Faktor Insight pada Pasien
Insight meliputi kesadaran pasien terhadap gangguan jiwa yang
dideritanya, mengenal gejala yang mereka alami, dan menyadari bahwa
mereka memerlukan pengobatan. Pada beberapa penelitian menunjukkan
bahwa pasien mengetahui tentang kondisi sakit yang dialaminya, yaitu
berupa menyadari adanya gejala gejala skizofrenia seperti halusinasi yang
pernah dialaminya. Adapun ketidakpatuhan pasien terhadap minum obat
dapat dipengaruhi oleh sifat pasien yang malas dan tidak terbiasa dengan
hal hal yang rutin, walaupun pasien secara kognitif pasien memahami
akan kondisinya, sedangkan pada pasien skizofrenia dengan insight nya
yang buruk, tetap dapat bersedia untuk minum obat walaupun mereka
masih menyangkal gangguan jiwa yang dialaminya. Pada beberapa pasien
merasa ada sesuatu yang salah tetapi pasien menganggap hal tersebut
sebagai masalah kecil, sekitar 60% pasien skizofrenia tidak menyadari
akan penyakitnya. Insight yang buruk dapat mempengaruhi
ketidakpatuhan dalam minum obat pada pasien dengan penyakit
skizofrenia. Hal ini dikarenakan pasien merasa baik – baik saja, tidak
merasa adanya gangguan jiwa, bahkan menyangkal bahwa dirinya sedang
memiliki gangguan jiwa, sehingga merasa perlu untuk meminum obat,
sehingga menimbulkan ketidakpatuhan. Insight yang buruk inilah yang
mempengaruhi ketidakpatuhan dalam meminum obat tersebut.15
- Faktor obat
Berdasarkan penelitian Novitayani, efek samping dari obat antipsikotik
yang dialami responden. Efek samping obat yang tidak menyenangkan
dan mengganggu aktivitas pasien menyebabkan sehingga mereka
mengurangi dosis atau frekuensi minum obat dan bahkan tidak
mengonsumsi obat sama sekali. Selain itu, mayoritas pasien skizofrenia
lebih patuh mengonsumsi obat bila mereka mengonsumsi obat satu hari
sekali atau sebulan sekali dibandingkan mereka yang mengonsumsi obat
dua atau tiga kali dalam sehari.10, 15
- Faktor tenaga kesehatan
Keberhasilan terapi bergantung juga terhadap hubungan antara pasien
dengan tenaga kesehatan, termasuk dalam pemberian obat kepada pasien
psikiatri. Hubungan ini termasuk mengetahui apakah pasien patuh atau
tidak terhadap pengobatan, gejala yang dialami pasien, efek samping yang
terjadi pada pasien sehingga dapat tercipta komunikasi yang lebih
membuat pasien kooperatif dan menerima pengobatannya. E Selain itu,
pemberian informasi terkait dengan penggunaan obat oleh tenaga
kesehatan juga penting supaya pasien memahami dan menggunakan obat
dengan tepat dosis dan tepat guna.16
- Faktor dukungan keluarga
Dukungan keluarga terhadap pasien skizofrenia dapat berupa uang, waktu
dan motivasi sehingga pasien tidak merasa putus asa dalam menjalani
pengobatan. Selain itu informasi untuk mematuhi pengobatan dan kontrol
juga bisa dilakukan oleh keluarga. Peran keluarga dan orang terdekat
untuk memonitor dan mendampingi pasien skizofrenia dalam
mengkonsumsi obat secara teratur sesuai dosis dan waktu yang dianjurkan
dokter hingga pada akhirnya pasien skizofrenia patuh dan teratur dalam
mengkonsumsi obatnya sendiri. Berdasarkan penelitian Morina et al,
ketidakpatuhan pengobatan pasien skizofrenia juga dipengaruhi oleh
rendahnya dukungan sosial dan keluarga. Adanya penolakan keluarga
untuk berpartisipasi dalam pengobatan pasien memiliki hubungan dengan
ketidakpatuhan pada pasien skizofrenia.15,17
- Faktor ekonomi
Skizofrenia merupakan penyakit kronik sehingga memerlukan penanganan
yang lama dan terus-menerus sehingga memerlukan biaya yang semakin
banyak. Kesulitan untuk membayar pengobatan pasien menjadi kendala
pasien tidak patuh minum obat.15

2.4 Kerangka Teori

2.5 Kerangka Konsep

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Penelitian ini menggunakan desain penelitian analitik observasional dengan cross-
sectional mengenai hubungan antara kepatuhan minum obat dengan tingkat
kekambuhan pasien skizofrenia di wilayah kerja Puskesmas Kota Selatan periode
Januari-Februari tahun 2021

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Kota Selatan pada tanggal
15 Januari – 30 Februari 2021.

3.3 Sumber Data


Sumber data berasal dari data primer yang diambil dari subjek penelitian dengan
menggunakan kuisioner yang diisi oleh responden pada tanggal dan data
sekunder berupa KTP (kartu tanda penduduk) dan data pasien gangguan jiwa
Puskesmas Kota Selatan.

3.4 Sampel
3.4.1 Populasi Target
Semua pasien skizofrenia di wilayah kerja Puskesmas Kota Selatan
3.4.2 Populasi Terjangkau
Semua pasien skizofrenia yang terdata di wilayah kerja Puskesmas Kota
Selatan periode 15 Januari-30 Februari 2021.
3.4.3 Kriteria Inklusi
- Pasien/keluarga pasien bersedia menjadi responden
- Pasien/keluarga pasien mampu berkomunikasi dengan jelas
- Pasien pernah mengonsumsi antipsikotik
- Pasien pernah mengalami perbaikan/remisi
3.4.4 Kriteria Eksklusi
- Sedang dirawat di Rumah Sakit Jiwa atau Panti Jiwa
- Sudah berobat rutin ke dokter spesialis jiwa

3.5 Sampling
Metode sampling yang digunakan adalah total samping dengan jumlah sampel
sebanyak 24 orang.

3.5 Bahan, Alat dan Cara Pengambilan Data


3.5.1 Bahan dan Alat Penelitian
1. Alat tulis untuk mengisi kuisioner pada pengambilan data
2. Kuisioner untuk menilai kepatuhan dan kekambuhan pasien gangguan jiwa
3. KTP untuk mendapat informasi responden
4. Data Pasien Jiwa Puskesmas Kota Selatan untuk mendapat informasi
responden

3.5.2 Cara Pengambilan Data


1. Mengambil sampel (responden) berdasarkan populasi terjangkau yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
2. Menjelaskan maksud penelitian dan informed consent kepada responden
3. Responden mengisi lembar informed consent dan kuisioner

3.6 Identifikasi Variabel


3.6.1 Variabel independen
Kepatuhan minum obat
3.6.2 Variabel dependen
Tingkat kekambuhan
3.7 Definisi Operasional
3.7.1 Kepatuhan minum obat
Definisi : Ketaatan pasien dalam melaksanakan tindakan terapi sesuai
dengan dosis dan frekuensi yang diberlakukan oleh dokter.
Alat Ukur : Kuesioner
Cara Ukur : Responden menjawab pertanyaan di kuesioner tingkat
kepatuhan berdasarkan kuisioner MARS-5 (Medication
Adherence Rating Scale) yang terdiri dari 5 pertanyaan
dengan masing-masing pertanyaan memiliki skor terendah 1
dan skor tertinggi 5.
Kepatuhan rendah : skor MARS <13
Kepatuhan sedang : skor MARS 13-16
Kepatuhan tinggi : skor MARS ≥ 17
Skala Ukur : Kategorik-Ordinal
Koding :

Kategorik Koding
Rendah 1
Sedang 2
Tinggi 3

3.7.2 Kekambuhan Pasien Skizofrenia


Definisi : Suatu keadaan dimana gejala pasien skizofrenia kembali
setelah sebelumnya mengalami perkembangan yang lebih baik
atau remisi yang ditandai dengan pernah masuk IGD (instalasi
gawat darurat) di fasilitas kesehatan, gejala kejiwaan
memberat, dan pernah berniat mencelakai diri sendiri atau
orang lain .
Alat Ukur : Kuesioner
Cara Ukur : Responden menjawab pertanyaan di kuesioner kekambuhan
dimana terdapat 3 pertanyaan dengan jawaban “Ya” dan
“Tidak”. Bila terdapat jawaban “Ya” pada salah satu
pertanyaan saja maka termasuk kategori “kambuh”
Skala Ukur : Kategorik-Nominal
Koding :
Kategorik Koding
Kambuh 1
Tidak kambuh 2

3.8 Analisis Data


3.8.1 Pengolahan data
Data diolah menggunakan komputer dengan software SPSS versi 16.0.
3.8.2 Penyajian data
Data akan disajikan dalam bentuk
3.8.3 Analisis Data
● Analisis Univariat
Analisis univariat digunakan untuk menggambarkan secara deskriptif
mengenai proporsi variabel yang diteliti. Hasil analisis univariat akan
disajikan dalam bentuk persentase dalam tabel.
● Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui kaitan antara variabel
bebas dan variabel terikat dengan menggunakan uji chi square. Untuk
mengetahui ada tidaknya hubungan yang bermakna secara statistik
dengan derajat kemaknaan α= 0,05 (5%).

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Univariat


Pada penelitian hubungan kepatuhan minum obat dengan kekambuhan
pasien skizofrenia di wilayah kerja Puskesmas Kota Selatan pada bulan
Januari-Februari 2021 didapatkan total sampel sebanyak 24 responden yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
4.1.1 Distribusi kepatuhan minum obat pasien skizofrenia di wilayah
kerja Puskesmas Kota Selatan
Berdasarkan distribusi kepatuhan minum obat pasien skizofrenia
di wilayah kerja Puskesmas Kota Selatan (tabel 4.1), didapatkan
45,83% (11 orang) memiliki tingkat kepatuhan minum obat yang
tinggi dan sisanya yaitu 20,83% (5 orang) memiliki tingkat kepatuhan
minum obat sedang dan 33,33% (8 orang) memiliki tingkat kepatuhan
minum obat rendah.
Tabel 4.1 Distribusi Kepatuhan Minum Obat Pasien
Skizofrenia di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Selatan

Tingkat Kepatuhan Frekuensi Persentase

Rendah 8 responden 33,33 %

Sedang 5 responden 20,83 %

Tinggi 11 responden 45,83 %

Total 24 100 %

Kelurahan dengan pasien yang memiliki tingkat kepatuhan


minum obat rendah terbanyak (tabel 4.2) yaitu Limba UII (75%) dan
Biawao (50%). Hal ini dimungkinkan karena lokasi kedua kelurahan
tersebut paling jauh dibandingkan kelurahan lainnya (diukur dari jarak
kantor kelurahan dengan lokasi Puskesmas).
Tabel 4.2 Distribusi Kepatuhan Minum Obat Pasien Skizofrenia
di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Selatan berdasarkan Kelurahan

Kelurahan Frekuensi

Rendah Sedang Tinggi

Limba B 2 3 1
(33,33%) (50%) (16,66%)

Limba UI 3 - 1
(75%) (25%)

Limba UII - 1 3
(25%) (75%)

Biawu 2 1 5
(25%) (12,5%) (62,5%)

Biawao 1 - 1
(50%) (50%)

Alasan terbanyak pasien tidak minum obat sesuai dengan yang


seharusnya (tabel 4.3) disebabkan karena pasien merasa sudah sehat (7
responden), tidak rutin berobat (6 responden), dan tidak tahan efek
samping obat (4 responden). Alasan lainnya yaitu tidak mampu
membeli obat, sering lupa, merasa dosis tidak sesuai, obat tidak
tersedia, dan lainnya.
Tabel 4.3 Distribusi Alasan Tidak Minum Obat
Pasien Skizofrenia di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Selatan

Alasan Frekuensi

Merasa sudah sehat 7 responden

Tidak rutin berobat 6 responden


Tidak mampu membeli obat -

Tidak tahan efek samping obat 4 responden

Sering lupa 2 responden

Merasa dosis tidak sesuai 1 responden

Obat tidak tersedia - responden

Lainnya 2 responden

Pasien yang merasa sudah sehat memiliki insight yang buruk


karena tidak menyadari bahwa dirinya sakit dan membutuhkan
pengobatan. Hal ini bisa disebabkan karena ketidaktahuan pasien
bahwa meskipun sudah mengalami perbaikan, pasien masih
membutuhkan pengobatan sampai dokter yang menentukan bahwa
pasien sudah bisa melepas pengobatannya. Tidak rutin berobat
menjadi alasan kedua terbanyak pasien tidak patuh minum obat. Hal
ini bisa dikarenakan banyak faktor, termasuk dukungan keluarga dan
faktor tenaga kesehatan. Dukungan keluarga untuk membantu
mengambilkan obat atau mengantar pasien kontrol karena pasien tidak
semuanya bisa bertanggung jawab atas pengobatannya. 15,17
Sesuai dengan penelitian Novitayani, efek samping obat bisa
menyebabkan pasien tidak patuh minum obat. Efek samping obat yang
dirasakan oleh pasien seperti tremor, kaku dan air liur yang keluar
terus-menerus yang merupakan sindrom ekstrapiramidal disebabkan
oleh efek samping antipsikotik generasi pertama. Pasien yang
mengalami efek samping tersebut mengatakan bahwa mereka tidak
tahan sehingga mengubah dosis obat atau menghentikan
pengobatannya bahkan tidak datang kontrol kembali. Hal ini
disebabkan karena ketidaktahuan pasien mengenai efek samping obat
sebelumnya dan tidak memberitahukan keluhannya kepada tenaga
kesehatan. Pasien sering lupa mengonsumsi obat. Sesuai dengan
penelitian Novitayani, pasien lebih ingat untuk mengonsumsi obat bila
hanya sekali dalam sehari dibandingkan bila mengonsumsi beberapa
macam obat dan dua sampai tiga kali sehari. Akan tetapi, dosis obat
memang disesuaikan dengan kebutuhan pasien sehingga selain faktor
obat, faktor dukungan keluarga untuk membantu mengingat
dibutuhkan oleh pasien.10,15
Pasien merasa dosis obat tidak sesuai berkaitan dengan efek
samping obat yang dirasakan oleh pasien. Ketidaktersediaan obat yaitu
depakote juga menjadi salah satu alasan pasien tidak rutin minum obat.
Faktor lainnya yaitu bosan minum obat. Kebosanan untuk minum obat
biasa dirasakan oleh pasien yang memang sudah lama mengonsumsi
obat. Pada penelitian ini, responden yang menyatakan pasien berhenti
minum obat karena sudah bosan mempunyai perjalanan penyakit
skizofrenia selama 14 tahun dan 19 tahun. Pasien jenuh dan merasa
minum obat sebagai beban. Penelitian Novitayani juga menyatakan
pasien dengan perjalanan penyakit skizofrenia selama 11-15 tahun
biasanya mengalami kejenuhan untuk meminum obat. Pada penelitian
Mulyani et al, dikatakan bahwa pengobatan untuk mengatasi gejala-
gejala skizofrenia membutuhkan waktu yang lama. Lamanya penyakit
tampaknya memberikan efek negatif terhadap kepatuhan pasien untuk
minum obat. Semakin lama pasien menderita skizofrenia, maka
semakin kecil pasien tersebut patuh pada pengobatannya.10

4.1.2. Distribusi kekambuhan pasien skizofrenia di wilayah kerja


Puskesmas Kota Selatan
Pada distribusi kekambuhan pasien skizofrenia di wilayah
kerja Puskesmas Kota Selatan (tabel 4.4), dari 24 responden
didapatkan 41,67% (10 responden) yang mengalami kekambuhan
dalam 6 bulan terakhir dan sisanya sebanyak 58,33% (14 responden)
yang tidak mengalami kekambuhan dalam 6 bulan terakhir.
Tabel 4.4 Distribusi Kekambuhan Pasien Skizofrenia
di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Selatan

Kekambuhan Frekuensi Persentase

Kambuh 10 responden 41,67 %

Tidak kambuh 14 responden 58,33 %

Total 24 responden 100 %

Kekambuhan pasien berupa mengalami gejala psikiatri yang


mengganggu aktivitas (10 responden), masuk ke IGD (instalansi gawat
darurat) di fasilitas kesehatan (3 responden) dan pernah mencelakai
diri sendiri atau orang lain (1 responden) dalam kurun waktu 6 bulan
terakhir (tabel 4.5). Gejala psikiatri yang paling banyak dirasakan oleh
pasien yaitu halusinasi auditorik, bicara kacau, dan sering marah-
marah.
Tabel 4.5 Distribusi Pernyataan Kekambuhan Pasien
Skizofrenia di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Selatan

Pernyataan Kekambuhan Frekuensi Persentase

Masuk IGD (Instalasi Gawat Darurat) 3 responden 30 %

Gejala kejiwaan memberat 10 responden 100 %

Berniat mencelakai diri atau orang lain 1 responden 10 %

4.2 Analisis Bivariat


Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh p value = 0.02 (p value <
0.05), maka Ho ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan
antara kepatuhan minum obat dengan kekambuhan pasien skizofrenia di
wilayah kerja Puskesmas Kota Selatan.
Tabel 4.6 Hubungan Kepatuhan Minum Obat dengan Kekambuhan
Pasien Skizofrenia di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Selatan

Variabel Kekambuhan Total p value Ho

Kambuh Tidak
kambuh

Kepatuhan Rendah 7 1 8 0,02 Ditolak


(87,5 %) (12,5 %) (100 %)

Sedang- 3 13 16
Tinggi (18,8 %) (81,2 %) (100%)

Total 10 14 24
(41,7%) (58,3 %) (100 %)

Hal ini sesuai dengan penelitian Muliyani et al (p value 0,01) dan


Kaunang et al (p value 0,00) dimana terdapat hubungan kepatuhan dengan
kekambuhan pasien skizofrenia. Penelitian Wei-Feng et al (p value 0,001)
menunjukkan bahwa semakin pasien tidak patuh terhadap pengobatan maka
semakin tinggi risiko pasien mengalami kekambuhan. Naafi AM dalam
penelitiannya mengutip pengobatan tidak menyembuhkan pasien 100%
namun dengan pengobatan maka waktu remisi pasien menjadi lebih lama dan
gejalanya juga tidak akan lebih parah dibandingkan bila tanpa
pengobatan.9,12,13
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang “Hubungan
kepatuhan minum obat dengan tingkat kekambuhan pasien skizofrenia di
wilayah kerja Puskesmas Kota Selatan Gorontalo Periode Januari-Februari
2021”, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Terdapat hubungan antara kepatuhan minum obat dengan tingkat
kekambuhan pasien gangguan jiwa di wilayah kerja Puskesmas Kota
Selatan periode Januari-Februari tahun 2021.
2. Sebaran pasien skizofrenia dengan kepatuhan minum obat tinggi yaitu
11 responden (45,83%), kepatuhan minum obat sedang yaitu 5
responden (20,83%) dan kepatuhan minum obat rendah yaitu 8
responden (33,33%) di wilayah kerja Puskesmas Kota Selatan periode
Januari-Februari tahun 2021.
3. Diketahuinya sebaran pasien skizofrenia yang kambuh yaitu 10
responden (41,67%) dan tidak kambuh yaitu 14 responden (58,33%) di
wilayah kerja Puskesmas Kota Selatan periode Januari-Februari tahun
2021.

5.2 Keterbatasan Penelitian


1. Desain penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional sehingga
sulit untuk menentukan hubungan sebab akibat
2. Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan kuesioner sehingga
faktor subjektifitas responden dalam pengisian kuesioner belum dapat
dihindari walaupun telah dijelaskan dalam informed consent.
5.3 Saran

Dengan adanya hubungan antara kepatuhan minum obat dan kekambuhan


pasien skizofrenia, maka kami menyarankan untuk meningkatkan komunikasi
antara tenaga kesehatan dengan pasien terutama mengenai penyakit pasien,
pengobatan dan efek samping yang dirasakan oleh pasien supaya pasien lebih
terbuka dalam memberitahukan perjalanan penyakitnya serta keluhannya agar
kepatuhan pasien dalam minum obat dapat lebih terpantau. Kami juga
menyarankan adanya kantung kontrol jiwa berdasarkan tiap keluarahan di
wilayah kerja Puskesmas Kota Selatan dimana di setiap kantungnya terdapat
kartu kontrol berisi data pasien dan frekuensi kontrol pasien sehingga dapat
dilihat apakah pasien sudah kontrol sesuai dengan waktunya atau tidak dan
setiap tanggal 10. 20, dan 30 setiap bulannya bila pasien belum kontrol maka
penanggung jawab pasien bisa dihubungi dan diingatkan untuk mengambil obat
dan kontrol. Untuk pemantauan pasien minum obat, kami juga menyarankan
adanya kartu minum obat yang dipegang oleh penanggung jawab pasien dan
diisi setiap hari berdasarkan apakah pasien minum obat atau tidak sehingga
tenaga kesehatan bisa memantau kepatuhan minum obat pasien. Hal ini
dilakukan dengan harapan pasien lebih patuh dalam meminum obat sehingga
bisa mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kemenkes RI. Infodatin situasi kesehatan jiwa di Indonesia. Jakarta: Pusat Data
dan Informasi; 2019. h. 1-12
2. Kemenkes RI. Riset kesehatan dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan; 2019. h. 134-40
3. Puskesmas Kota Selatan. Status pendataan dan indeks keluarga sehat Puskesmas
Kota Selatan. Gorontalo: Puskesmas Kota Selatan; 2020
4. Puskemas Kota Selatan. Data pasien jiwa Puskesmas Kota Selatan. Gorontalo:
Puskesmas Kota Selatan; 2020.
5. Kazadi NJB, dkk. Factors as Sociated With Relaps in Schizophrenia South African
Journal of Psychiatry, Vol 14, No 2. 2008
6. Sinaga RB. Skizofrenia dan Diagnosis Banding. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2007
7. Kaplan and Saddock. Comprehensive Textbook Of Psychiatry.7th Ed.Lippincott
Wiliams And Wilkins. Philadelphia, 2010.):1161-7.
8. Mubin MF, Livana PH. Hubungan kepatuhan minum obat dengan kekambuhan
skizofrenia paranoid. Jurnal Farmasetis 2019; 1(8):21-4
9. Mi WF, Chen XM, Fan TT, Tabarak S, Xiao JB, et al. Identifying modifiable risk
factor for relapse in patients with schizophrenia in China. Frontiers in Psychiatry
2020;11:1-11.
10. Novitayani. Karakteristik pasien skizofrenia dengan riwayat rehospitalisasi. Idea
Nursing Journal 2016: 7(2): 23-30
11. Sariah AE, Outwater AH, Malima KIY. Risk and protective factors for relapse
among individuals with schizophrenia: a qualitative study in Dar es Salaam,
Tanzania. BMC Psychiatry 2014, 14:240
12. Muliyani, Isnani N, Solihin RALHSP. Hubungan kepatuhan minum obat terhadap
tingkat kekambuhan pasien skizofrenia di poli jiwa RSUD Dr. H. Moch. Ansari
Saleh Banjarmasin. JKIKT 2020;2(1):35-9.
13. Sari MM, Muharso, Rivandi D. Hubungan kepatuhan minum obat dan dukungan
keluarga terhadap relaps pada pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Lampung tahun 2014. Jurnal Medika Malahayati 2014; 1(2):59-65
14. Xiao J, Mi WF, Li L, Zhang H. High relapse rate and poor medication adherence in
the Chinese population with schizophrenia: results from an observational survey in
People’s Republic of China. Neuropsychiatr Dis Treat 2015;11:1161-7.
15. Barus M, Rahmat I, Madyaningrum E. Faktor-faktor yang mempengaruhi
ketidakpatuhan kontrol pada pasien skizofrenia. JIK 2007;2(3):1-8.
16. BPOM. Pemberian informasi obat untuk meningkatkan kepatuhan pasien. Badan
POM RI. Diakses dari http://pionas.pom.go.id/ioni/lampiran-6-petunjuk-praktis-
penggunaan-obat-yang-benar/pemberian-informasi-obat-untuk, 24 Januari 2021.
17. Kaunang I, Kanine E, Kallo V. Hubungan kepatuhan minum obat dengan
prevalensi kekambuhan pada pasien skizofrenia yang berobat jalan di ruang
poliklinik jiwa Rumah Sakit Prof Dr. V. L. Ratumbuysang Manado. Neliti
2015;2(2):1-7.

Penelitian ini menggunakan desain penelitian analitik observasional dengan cross-


sectional dilakukan pada tanggal 15 Januari – 30 Februari 2021. Sumber data berasal
dari data primer yang diambil dari subjek penelitian dengan menggunakan kuisioner
yang diisi oleh responden sesuai dengan tanggal dan data sekunder berupa KTP
(kartu tanda penduduk) dan data pasien gangguan jiwa Puskesmas Kota Selatan.
Populasi Target Semua pasien skizofrenia di wilayah kerja Puskesmas Kota Selatan
dengan Populasi Terjangkau Semua pasien skizofrenia yang terdata di wilayah kerja
Puskesmas Kota Selatan periode 15 Januari-30 Februari 2021.
Kriteria Inklusi
- Pasien/keluarga pasien bersedia menjadi responden
- Pasien/keluarga pasien mampu berkomunikasi dengan jelas
- Pasien pernah mengonsumsi antipsikotik
- Pasien pernah mengalami perbaikan/remisi
Kriteria Eksklusi
- Sedang dirawat di Rumah Sakit Jiwa atau Panti Jiwa
- Sudah berobat rutin ke dokter spesialis jiwa
Metode sampling yang digunakan adalah total samping dengan jumlah sampel
sebanyak 24 orang. Variabel independen Kepatuhan minum obat.
Variabel dependen  Tingkat kekambuhan
- Definisi Operasional
Kepatuhan minum obat
Definisi : Ketaatan pasien dalam melaksanakan tindakan terapi sesuai dengan
dosis dan frekuensi yang diberlakukan oleh dokter.
Alat Ukur : Kuesioner
Cara Ukur : Responden menjawab pertanyaan di kuesioner tingkat kepatuhan
berdasarkan kuisioner MARS-5 (Medication Adherence Rating Scale) yang terdiri
dari 5 pertanyaan dengan masing-masing pertanyaan memiliki skor terendah 1 dan
skor tertinggi 5.
Kepatuhan rendah : skor MARS <13
Kepatuhan sedang : skor MARS 13-16
Kepatuhan tinggi : skor MARS ≥ 17
Skala Ukur : Kategorik-Ordinal
Koding :

Kategorik Koding
Rendah 1
Sedang2
Tinggi 3

Kekambuhan Pasien Skizofrenia


Definisi : Suatu keadaan dimana gejala pasien skizofrenia kembali setelah
sebelumnya mengalami perkembangan yang lebih baik atau remisi yang ditandai
dengan pernah masuk IGD (instalasi gawat darurat) di fasilitas kesehatan, gejala
kejiwaan memberat, dan pernah berniat mencelakai diri sendiri atau orang lain .
Alat Ukur : Kuesioner
Cara Ukur : Responden menjawab pertanyaan di kuesioner kekambuhan dimana
terdapat 3 pertanyaan dengan jawaban “Ya” dan “Tidak”. Bila terdapat jawaban “Ya”
pada salah satu pertanyaan saja maka termasuk kategori “kambuh”
Skala Ukur : Kategorik-Nominal
Koding :
Kategorik Koding
Kambuh 1
Tidak kambuh 2

MONITORING DAN EVALUASI


Dengan adanya hubungan antara kepatuhan minum obat dan kekambuhan pasien
skizofrenia, maka kami menyarankan monitoring dan evaluasi dengan cara :
1. Meningkatkan komunikasi antara tenaga kesehatan dengan pasien terutama
mengenai penyakit pasien, pengobatan dan efek samping yang dirasakan oleh pasien
supaya pasien lebih terbuka dalam memberitahukan perjalanan penyakitnya serta
keluhannya agar kepatuhan pasien dalam minum obat dapat lebih terpantau
2. Menyarankan adanya kantung kontrol jiwa berdasarkan tiap keluarahan di wilayah
kerja Puskesmas Kota Selatan dimana di setiap kantungnya terdapat kartu kontrol
berisi data pasien dan frekuensi kontrol pasien sehingga dapat dilihat apakah pasien
sudah kontrol sesuai dengan waktunya atau tidak dan setiap tanggal 10. 20, dan 30
setiap bulannya bila pasien belum kontrol maka penanggung jawab pasien bisa
dihubungi dan diingatkan untuk mengambil obat dan kontrol.
3. Menyarankan untuk pemantauan pasien minum obat adanya kartu minum obat
yang dipegang oleh penanggung jawab pasien dan diisi setiap hari berdasarkan
apakah pasien minum obat atau tidak sehingga tenaga kesehatan bisa memantau
kepatuhan minum obat pasien. Hal ini dilakukan dengan harapan pasien lebih patuh
dalam meminum obat sehingga bisa mengurangi kemungkinan terjadinya
kekambuhan.

Anda mungkin juga menyukai