Anda di halaman 1dari 202

UNIVERSITAS INDONESIA

REKONSTRUKSI MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT


DALAM KERANGKA PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
BERBASIS LINGKUNGAN HIDUP
Sebuah Pendekatan Soft System Methodology Pengembangan Minyak Jarak di
Kabupaten Grobogan Jawa Tengah

With a Summary in English


Community Development Reconstruction Model for Energy-Self-Sufficient Villages
(Soft System Methodology Approach for development of jatropha oil in Kabupaten
Grobogan, Central Java)

DISERTASI

Nugroho Pratomo
NPM:1106046566

JENJANG DOKTOR
PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN
PROGRAM PASCASARJANA
JAKARTA, SEPTEMBER 2015
ii
iii
iv
BIODATA PENULIS

Penulis, Nugroho Pratomo dilahirkan di Jakarta pada


tanggal 27 bulan Februari tahun 1976, anak tunggal
putra pasangan Bapak Ertono Soekardjo dan Ibu
Endang Setiasih. Penulis menikah dengan Ixora Lundia
pada tahun 2008.
.

Penulis adalah penganut agama Islam dan saat ini bertempat tinggal di Raffles Hills
Blok A3 No 14, Harjamukti Cimanggis, Kota Depok, Jawa Barat.16454. Telp 021-
8446958 / 0816995783.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD KWK Cijantung II Jakarta Timur pada
tahun 1988, pendidikan menengah di SMPN 102 Cijantung II Jakarta Timur pada tahun
1991 dan kemudian di SMAN 39 Cijantung I Jakarta Timur pada tahun 1994. Penulis
melanjutkan studi jenjang S1 di Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, jurusan Ilmu Politik dan lulus pada tahun 2000. Pendidikan jenjang S2
ditempuh di Universitas Indonesia, Fakultas Ekonomi, Program Studi Magister
Perencanaan dan Kebijakan Publik (MPKP), lulus pada tahun 2004.
Pengalaman kerja penulis diawali sebagai peneliti politik di Perhimpunan Indonesia
Baru (PIB) sejak Maret hingga September 2001. Pada tahun 2004, menjadi peneliti di
Litbang Media Group hingga 2009 dan pengajar tidak tetap pada Departemen Ilmu
Politik FISIP UI hingga tahun 2011. Menjadi konsultan Bappenas (2009-2011),
Konsultan BPWS tahun 2012, dan GM PT. GTI (2011-2013). Saat ini penulis bekerja di
perkumpulan INRISE dan Yayasan Inspirasi Indonesia dengan jabatan peneliti.

v
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjantkan kepada Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Penulisan disertasi ini dilakukan
dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Doktor Ilmu
Lingkungan program studi Ilmu Lingkungan pada Program Pascasarjana Universitas
Indonesia. Penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,
dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan disertasi ini, sangatlah sulit bagi penulis
untuk menyelesaikan tesis/disertasi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Martani Huseini selaku promotor, Dr Ir. Djatnika Puradinata (alm). dan Dra.
Francisia S. Sika Ery Seda, M.A., Ph.D selaku ko promotor yang telah menyediakan
waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan penulis dalam penyusunan disertasi ini;
2. Direktur Konservasi Energi Ditjen EBTKE beserta staff, Pihak Bappeda Kabupaten
Grobogan, Pak Didik dan Pak Rudi Sastiawan dari PERTAMINA, pengurus kelompok
tani, Pengurus Koperasi “Dian DME”, Pak Hartono selaku Direktur PT. Enhil yang
telah banyak membantu dalam usaha memperoleh data yang penulis perlukan;
3. Orang tua dan keluarga penulis yang telah memberikan bantuan dukungan moral dan
material; dan
4. Sahabat sesama angkatan 11 A dan teman-teman di perkumpulan Inrise yang telah
banyak membantu penulis menyelesaikan disertasi ini.

Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Mahaesa berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga disertasi ini membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu.

Jakarta, September 2015


Penulis

vi
vii
ABSTRAK

Nama : Nugroho Pratomo


Program Studi : Ilmu Lingkungan
Judul : REKONSTRUKSI MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
DALAM KERANGKA PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN BERBASIS
LINGKUNGAN HIDUP (Sebuah Pendekatan Soft System Methodology Pengembangan
Minyak Jarak di Kabupaten Grobogan Jawa Tengah)

Program desa mandiri energi (DME) pada awalnya dilaksanakan sebagai sebuah
program pemerintah untuk menghadapi gejolak harga minyak mentah dunia di tahun
2005, dan sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap BBM. Berbagai sumber
bahan bakar alternatif dikembangkan di berbagai daerah, termasuk salah satunya adalah
minyak jarak. Program DME berbasis minyak jarak ini, berawal dari adanya kebutuhan
dari PT RNI untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar bagi pabrik-pabrik gula yang
dimilikinya. Dalam perkembangannya, program ini terus berkembang di berbagai
daerah.

Salah satu daerah yang menjadi DME minyak jarak ini adalah Desa Tanjungharjo,
Kecamatan Ngaringan, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Desa ini kemudian
dicanangkan sebagai DME berbasis jarak oleh Presiden SBY, yang sekaligus
menjanjikan bantuan kepada para kelompok tani untuk pengembangan tanaman jarak.
Dana bantuan yang telah diberikan oleh PERTAMINA juga sudah disalurkan dan
dibelikan mesin pengolah minyak jarak di Kecamatan Toro. Namun dalam
perkembangannya, DME yang ada tersebut tidak berjalan sebagaimana diharapkan dan
akhirnya berhenti. Kegagalan inilah yang kemudian dicoba untuk diteliti dalam
penelitan ini. Khususnya terkait dengan aspek sosial yang menyebabkan kegagalan
DME tersebut. Selanjutnya dengan SSM, penelitian ini mencoba melakukan
rekonstruksi model pemberdayaan masyarakat yang cocok untuk pengembangan DME
ke depan.

Kata kunci (key words): Jatropha curcas.Linn, pembangunan berkelanjutan, energi baru
terbarukan, biodiesel, pemberdayaan masyarakat.

viii
ABSTRACT

Name : Nugroho Pratomo


Study Program : Enviromental Science
Title : Community Development Reconstruction Model for Energy-
Self-Sufficient Villages (Soft System Methodology Approach for development of
jatropha oil in Kabupaten Grobogan, Central Java)

Energy independent village program (DME) was initially implemented as a government


program to cope with price volatility of crude oil in 2005, and simultaneously reduce
dependence on fuel. Various sources of alternative fuels developed in various areas,
including the one of which is castor oil. DME program is based on castor oil,
originated from the need of RNI to meet the needs of fuel for sugar mills owned. In its
development, this program continues to grow in many areas.

One area that became DME castor oil is Tanjungharjo Village, District Ngaringan,
Grobogan, Central Java. The village was later proclaimed as DME-based distance by
the President, who also promised assistance to farmers' groups for the development of
Jatropha. A grant has been given by Pertamina also been distributed and bought
machinery processing castor oil in the District of Toro. But in its development, the
DME that is not working as expected and eventually stopped. Failure is then attempted
to be studied in this research. Particularly with respect to social aspects that led to the
failure of the DME. Furthermore, the SSM, this study tries to reconstruct a model of
community empowerment that is suitable for the future development of DME.

Key words: Jatropha curcas.Linn, sustainable development, renewable energy, community


development

ix
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
PERNYATAAN ORISINALITAS DAN BEBAS PLAGIARISME ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING iii
HALAMAN PENGESAHAN KOMISI SIDANG AKADEMIK
UNIVERSITAS INDONESIA iv
BIODATA PENULIS v
KATA PENGANTAR vi
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA
ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS vii
ABSTRAK viii
ABSTRACT ix
DAFTAR ISI x
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR GAMBAR xiv
DAFTAR LAMPIRAN xiv
RINGKASAN xv
SUMMARY xvii
1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar belakang 1
1.2 Rumusan masalah 10
1.3 Tujuan penelitian 12
1.5 Manfaat penelitian 12
2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 13
2.1 Teori-teori 13
2.1.1. Pembangunan berkelanjutan 13
2.1,2. Konservasi energi dan lingkungan 18
2.1.3. Teori pertumbuhan ekonomi 20
2.1.4. Biodiesel 22
2.1.5. Usaha pertanian berkelanjutan 25
2.1.6. Ketahanan energi 30
2.1.7. New institutional economics and sociology 32
2.1.8. Konsep triple helix 38
2.1.9. Modal sosial 40
2.1.10. Nilai-nilai penyintas dan ekspresi diri 44
2.1.11. Resourced base value 45
2.1.12. Tanggung jawab sosial perusahaan 46
2.1.13. Pendekatan berorientasi pada aktor 49
2.1.14. Perubahan sosial 50
2.1.15. Komunitas 51
2.1.16. Pengorganisasian dan pemberdayaan komunitas 53
2.1.17. Tiga tahap perubahan 58
2.1.18. Persuasi untuk mempengaruhi 62

x
2.1.19. Berpikir serba sistem 68
2.1.20. Soft system methodology (SSM) 72
2.2 Kerangka berpikir 77
2.3 Kerangka konsep 78
2.4 Hipotesis 79
3 METODOLOGI 80
3.1 Pendekatan penelitian 80
3.2 Waktu dan tempat penelitian 82
3.3 Populasi dan sampel 82
3.4 Variabel penelitian 82
3.5 Data penelitian 83
3.5.1 Sumber data 83
3.5.2 Sifat data 83
3.5.3 Waktu pengambilan data 83
3.5.4 Metode pengumpulan data 83
3.5.5 Instrumen penelitian 85
3.5.6 Analisis data dengan SSM 85
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 92
4.1 Deskripsi lokasi 92
4.1.1 Kabupaten Grobogan 92
4.1.2 Desa Tanjung Harjo 94
4.2. Keterbatasan penelitian 94
4.3. Desa Tanjung Harjo sebagai DME 95
4.3.1 Awal pencanangan 95
4.3.2. Tinjauan dimensi lingkungan 98
4.3.3 Tinjauan dimensi ekonomi 99
4.3.4. Tinjauan dimensi sosial 100
4.4. Rekonstruksi Model DME 104
4.4.1 Analisis satu 104
4.4.2. Analisis dua (sosial) 106
4.4.2.1. Peran 106
4.4.2.2. Norma 107
4.4.2.3 Nilai-nilai 109
4.4.3. Analisis tiga (politik) 112
4.4.3.1 Disposisi kekuasaan 112
4.4.3.2. Nature of power 114
4.4.4. Rich picture 116
4.4.5. Rekonstruksi Dimensi Lingkungan 119
4.4.5.1. Pendefinisian akar masalah (Root Definitions of Relevant
Purposeful Activity) dimensi lingkungan 119
4.4.5.1.1. Pendefinisian akar permasalahan aspek DME sebagai bagian 119
dari Program Ketahanan Energi Nasional
4.4.5.1.2. Pendefinisian akar permasalahan Konservasi Energi dan 119
Pertanian Berkelanjutan
4.4.5.2. Penyusunan model konseptual dimensi lingkungan 120
4.4.5.2.1. Penyusunan model konseptual DME sebagai bagian dari 120

xi
Program Ketahanan Energi Nasional
4.4.5.2.2. Penyusunan model konseptual Konservasi Energi dan Pertanian 124
Berkelanjutan
4.4.5.3 Membandingkan model konseptual dengan dunia nyata dimensi 127
lingkungan
4.4.5.3.1. DME sebagai bagian dari Program Ketahanan Energi Nasional 127
4.4.5.3.2. Konservasi Energi dan Pertanian Berkelanjutan 128
4.4.5.4. Penyesuaian dan melaksanakan rekonstruksi lingkungan 130
4.4.6. Rekonstruksi Dimensi Ekonomi 132
4.4.6.1. Pendefinisian akar masalah (Root Definitions of Relevant 132
Purposeful Activity) aspek ekonomi
4.4.6.1.1. Pendefinisian akar masalah ekonomi dan bisnis DME 132
4.4.6.2. Penyusunan model konseptual dimensi ekonomi 132
4.4.6.2.1. Penyusunan model konseptual ekonomi dan bisnis DME 132
4.4.6.3 Membandingkan model konseptual dengan dunia nyata dimensi 136
ekonomi
4.4.6.3.1. Ekonomi dan bisnis DME 136
4.4.6.4. Penyesuaian dan melaksanakan rekonstruksi ekonomi dan 138
bisnis DME
4.4.7. Rekonstruksi Dimensi Sosial 143
4.4.7.1. Pendefinisian akar masalah (Root Definitions of Relevant 143
Purposeful Activity) dimensi sosial
4.4.7.1.1. Pendefinisian akar permasalahan Perubahan Pemahaman dan 143
Cara Pandang
4.4.7.1.2. Pendefinisian akar permasalahan Pengorganisasian dan 143
Pemberdayaan Masyarakat
4.4.7.2. Penyusunan model konseptual dimensi sosial 144
4.4.7.2.1. Penyusunan model konseptual Perubahan Pemahaman dan Cara 144
Pandang
4.4.7.2.2. Penyusunan model konseptual Pengorganisasian dan 147
Pemberdayaan Masyarakat
4.4.7.3 Membandingkan model konseptual dengan dunia nyata dimensi 151
sosial
4.4.7.3.1. Perubahan Pemahaman dan Cara Pandang 151
4.4.7.3.2. Pengorganisasian dan Pemberdayaan Masyarakat 153
4.4.7.4. Penyesuaian dan melaksanakan rekonstruksi sosial 155
5 KESIMPULAN DAN SARAN 170
5.1 Kesimpulan 170
5.2 Saran 172
DAFTAR PUSTAKA 173
LAMPIRAN 178

xii
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Daftar Desa Mandiri Energi (DME) berbasis Jarak 5


Tabel 2.1 Net energi potensial dari tanaman biofuel 23
Tabel 2.2 Perbandingan kadar minyak sejumlah tanaman 24
Tabel 2.3 Alternatif penggunaan lahan menurut ketinggian, tipe iklim 29
dan kemiringan
Tabel 2.4 Perbedaan sistem sederhana dan sistem kompleks 70
Tabel 2.5 Perbedaan Unitary, Pluralist dan Coercive 70
Tabel 2.6 Pengelompokan konteks permasalahan 71
Tabel 2.7 Perbedaan Hard System dan Soft System 71
Tabel 2.8 State of the art dan posisi penelitian 76
Tabel 3.1 Deskripsi kombinasi teknik pengumpulan data dengan SSM 84
Tabel 3.2 Kerangka umum riset tindakan DME berbasis minyak jarak 88
Tabel 3.3 Institusi/lembaga yang terlibat secara langsung dan tidak 90
dalam DME
Tabel 4.1 Tingkat Pendidikan Penduduk Kabupaten Grobogan 2013 93
Tabel 4.2 Analisis peran 106
Tabel 4.3 Analisis norma 107
Tabel 4.4 Analisis nilai-nilai 109
Tabel 4.5 Analisis disposisi kekuasaan 112
Tabel 4.6 Analisis nature of power 114
Tabel 4.7 Analisis CATWOE DME sebagai bagian dari program 119
ketahanan energi nasional
Tabel 4.8 Analisis CATWOE konservasi energi dan pertanian 120
berkelanjutan
Tabel 4.9 Komparasi model konseptual Kebijakan DME sebagai 127
program pemenuhan kebutuhan energi nasional dan
ketahanan energi nasional
Tabel 4.10 Komparasi model konseptual konservasi energi dan usaha 128
pertanian berkelanjutan dengan kondisi DME
Tabel 4.11 Analisis CATWOE aspek ekonomi dan bisnis desa mandiri 132
energi
Tabel 4.12 Komparasi model konseptual ekonomi dan bisnis DME 136
dengan kondisi DME
Tabel 4.13 Analisis CATWOE perubahan pemahaman dan cara 143
pandang
Tabel 4.14 Analisis CATWOE sosial, pengorganisasian dan 144
pemberdayaan masyarakat
Tabel 4.15 Komparasi model konseptual perubahan dan cara pandang 151
terhadap DME
Tabel 4.16 Komparasi model konseptual pengorganisasian dan 153
pemberdayaan masyarakat dengan kondisi DME

xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Tanaman Jatropha curcas.L 4
Gambar 1.2 Biji Jatropha curcas.L 4
Gambar 1.3 Skema alur DME berbasis jarak 8
Gambar 2.1 Tiga aspek pembangunan berkelanjutan 16
Gambar 2.2 Peran multifungsi pertanian 18
Gambar 2.3 Skema model New Institutional economics 33
Gambar 2.4 Model Economics of Institutions Williamson 35
Gambar 2.5 Skema model New Institutional economics and Sociology 37
Gambar 2.6 Konfigurasi model 1 triple helix 38
Gambar 2.7 Konfigurasi model 2 triple helix 39
Gambar 2.8 Konfigurasi model 3 triple helix 39
Gambar 2.9 Berpikir serba sistem 69
Gambar 2.10 Perbedaan hard system dan soft system 72
Gambar 2.11 Skema kerangka teori 75
Gambar 2.12 Skema kerangka berpikir 77
Gambar 2.13 Skema kerangka konsep 78
Gambar 3.1 Tahapan soft system methodology (SSM) 82
Gambar 3.2 Kerangka riset aksi siklus ganda 87
Gambar 4.1 Skema New Institutional Economic and Sociology Kondisi 103
DME Saat Ini di Kabupaten Grobogan
Gambar 4.2 Rich picture 1 116
Gambar 4.3 Rich picture 2 117
Gambar 4.4 Rich picture 3 118
Gambar 4.5 Model konseptual kebijakan DME sebagai program
pemenuhan kebutuhan energi nasional dan ketahanan energi 123
nasional
Gambar 4.6 Model konseptual konservasi energi dan aspek lingkungan 126
Gambar 4.7 Model konseptual aspek ekonomi dan bisnis DME 135
Gambar 4.8 Model konseptual intervensi perubahan pemahaman dan cara
146
pandang
Gambar 4.9 Model konseptual Pengorganisasian dan Pemberdayaan
150
Masyarakat
Gambar 4.10 Skema New Institutional Economics and Sociology Dewan
160
Energi Desa DME

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Pedoman wawancara 178
Lampiran 2 Peta Kabupaten Grobogan 179
Lampiran 3 Peta Desa Tanjung Harjo 180

xiv
RINGKASAN

Program Studi Ilmu Lingkungan


Program Pascasarjana Universitas Indonesia
Disertasi (Mei, 2015)

A.Nama : Nugroho Pratomo


B. Judul Disertasi : REKONSTRUKSI MODEL PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT DALAM KERANGKA
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN BERBASIS
LINGKUNGAN HIDUP (Sebuah Pendekatan Soft
System Methodology Pengembangan Minyak Tanaman
Jarak di Kabupaten Grobogan Jawa Tengah)
C. Jumlah halaman : halaman permulaan 18, halaman isi 182; Gambar 24,
Peta 2, Tabel 29.

D. Isi Ringkasan :

Pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) yang ramah lingkungan telah menjadi
salah satu program pemerintah sebagai salah satu bagian dari ketahanan energi nasional.
Salah satu program yang telah diterapkan adalah program desa mandiri energi (DME).
Program DME secara umum bertujuan untuk memenuhi 60% kebutuhan energi
masyarakat desa dengan mengembangkan potensi yang ada di desa tersebut. Program
ini secara resmi dimulai pada tanggal 14 Februari 2007, yang dilaksanakan di 200 desa.
Salah satu sumber energi yang dikembangkan adalah biodisel berbahan baku minyak
jarak pagar (japonica curcas L). Dalam perencanaan awal program DME ini, sejak
tahun 2007-2010 terdapat 27 Propinsi yang merupakan DME berbasiskan minyak dari
tanaman jarak. Desa-desa tersebut selanjutnya menjadi desa binaan dari beberapa
kementerian dan BUMN.

Sebagai salah satu jenis tanaman, jarak pagar memang sudah dikenal lama oleh
sebagian masyarakat Indonesia, khususnya sebagai bahan tanaman obat dan pagar
hidup. Namun, sebagai salah satu bahan baku biodiesel memang belum lama
dikembangkan. Tanaman jarak pagar pada dasarnya merupakan jenis tanaman semak
(shurb). Tinggi rata-rata tanaman ini dapat mencapai 6 meter. Tanaman ini hidup di
daerah tropis dan subtropis. Karenanya, tanaman ini banyak tersebar di Amerika, Asia
dan Afrika. Sebaran tanaman jarak pagar di Indonesia banyak ditemukan di NTB dan
NTT sebagai tanaman liar. Namun di beberapa daerah di NTB seperti Lombok Tengah,
Lombok Timur, Sumbawa dan Bima, sudah dibudidayakan oleh masyarakat
(Prihandana, 2007, hal:103-104).

Mencermati keberadaan DME berbasis minyak tanaman jarak tersebut, ternyata tidak
semua berjalan lancar dalam implementasinya. Di beberapa daerah, program ini
mengalami stagnansi. Beberapa DME berbasis minyak tanaman jarak yang kini tidak
lagi berjalan antara lain terdapat di Subang dengan 180 pengembang dan 10 lokasi
kebun bibit; Cirebon dengan 200 pengembang dan 10 lokasi kebun bibit; serta Kota

xv
Banjar dengan 245 pengembang dan 5 lokasi kebun bibit. Di Kecamatan Prambanan
dan Turi, Sleman, Propinsi DIY, jumlah luas kebun tanaman jarak berkurang dari 100
hektar di tahun 2006, menjadi 21,2 hektar pada tahun 2012 (“Masih ada harapan untuk
jarak”,(http://www.harianjogja.com/baca/2012/03/20/tajuk-masih-ada-harapan-untuk-
jarak-172002, diunduh Januari 2013, jam: 14.22).

Penelitian ini dilakukan di Jakarta dan Kabupaten Grobogan Jawa Tengah. Data yang
dikumpulkan merupakan data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui
wawancara mendalam dengan para pemilik isu. Data sekunder diperoleh melalui studi
kepustakaan, baik buku, jurnal, laporan statistik dan internet. Tahapan penelitian
dilakukan dengan mengacu pada tahapan dalam soft system methodology (SSM).

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pengembangan kegagalan DME di Desa


Tanjungharjo, Kabupaten Grobogan diakibatkan oleh beberapa hal. Pertama ialah
renndahnya produktivitas buah jarak yang dihasilkan. Sebagai akibatnya adalah
kurangnya pasokan untuk bahan baku minyak biodisel. Kedua, ialah adanya kebijakan
pemerintah tentang subsidi elpiji ukuran 3 kg. Adanya kebijakan mengenai elpiji 3 kg
ini menyebabkan masyarakat lebih memilih memanfaatkan elpiji untuk pemenuhan
energi rumah tangga. Ketiga adalah cara pandang dan pemahaman mengenai konsep
desa mandiri energi (DME) yang berbeda dengan konsep DME itu sendiri. Berangkat
dari berbagai hal tersebut, maka penelitian ini menyampaikan sebuah konsep
pemberdayaan masyarakat yang diharapkan mampu mengembangan DME yang sesuai
dengan potensi desa tersebut. Termasuk pembentukan Dewan Energi Desa.

E. Daftar Kepustakaan : 77 (dari tahun 1937 sampai tahun 2012)

xvi
SUMMARY

A.Name : Nugroho Pratomo


B. Title : Community Development Reconstruction Model for
Energy-Self-Sufficient Villages (Soft System
Methodology Approach for development of jatropha oil
in Kabupaten Grobogan, Central Java)
C. Number of pages : initial page 18, contents 182; Figures 24, Map 2, Table
29.

D. Summary :

Development of new and renewable energy (EBT) environmentally friendly has become
one of the government programs as one part of the national energy security. One
program that has been implemented is energy independent village program (DME).
DME program generally aims to meet 60% of energy needs of rural communities by
developing the potential that exists in the village. The program officially began on
February 14, 2007, which was implemented in 200 villages. One of the sources of
energy that is developed is biodiesel made from jatropha oil (japonica curcas L). In the
initial planning of this DME program, since in 2007-2010 there were 27 provinces
which is based DME oil from Jatropha. The villages would then become a village built
from several ministries and state enterprises.

As one kind of plant, jatropha was already known long ago by some communities in
Indonesia, especially as a medicinal plant material and living fences. However, as one
of the raw material for biodiesel has yet been developed. Jatropha is basically a type of
shrub . The average height of these plants can reach 6 meters. These plants live in the
tropics and subtropics. Therefore, the plant is widely spread in America, Asia and
Africa. Distribution of Jatropha in Indonesia are found in NTB and NTT as a wild plant.
However, in some areas such as Central Lombok NTB, East Lombok, Sumbawa and
Bima, has been cultivated by the community (Prihandana, 2007, page:103-104).

Observing the presence of plant oil-based DME distance, it appeared that not all went
smoothly in its implementation. In some areas, the program is stagnant. Some plant oil-
based DME distance is no longer running, among others, contained in Subang with 180
developers and 10 locations nurseries; Cirebon with 200 developers and 10 locations
nurseries; as well as the city of Banjar with 245 developers and 5 locations nurseries.
The District of Prambanan and Turi, Sleman, Yogyakarta province, the number of
plants within the garden area was reduced from 100 hectares in 2006, to 21.2 hectares
in 2012 (“Masih ada harapan untuk
jarak”,(http://www.harianjogja.com/baca/2012/03/20/tajuk-masih-ada-harapan-untuk-
jarak-172002, diunduh Januari 2013, jam: 14.22).

This research was conducted in Jakarta and Central Java Grobogan. The data collected
is primary and secondary data. Primary data was collected through in-depth interviews
with the owners of the issue. Secondary data were obtained through the study of

xvii
literature, both books, journals, statistical reports and the internet. Stages of research
carried out with reference to the stages in the soft system methodology (SSM).

These results indicate that the development of DME in the village Tanjungharjo failure,
Grobogan caused by several things. The first is renndahnya fruit productivity resulting
distance. As a consequence is a lack of supply of raw material for biodiesel oil. Second,
is the government's policy of subsidizing LPG 3 kg. Their policies regarding LPG 3 kg
This causes people prefer utilizing LPG for household energy needs. The third is a
perspective and understanding of the concept of energy independent village (DME)
DME is different from the concept itself. Stemming from this, the study conveys a
concept of community empowerment is expected to develop DME which correspond to
the potential of the village. Including the establishment of the Village Energy Council.

E. Number of References : 77 (issued from 1937 to 2012)

xviii
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang

Energi adalah kebutuhan dasar manusia yang sejak dahulu hingga masa depan akan
terus diupayakan pemenuhannya. Semenjak terjadinya revolusi industri, serta seiring
dengan bertambahnya jumlah penduduk, permintaan kebutuhan energi di seluruh dunia
terus mengalami peningkatan. Hal ini, pada akhirnya, memaksa manusia untuk terus
melakukan diversifikasi bentuk energi, khususnya fosil. Dalam perjalanannya, ternyata
penggunaan jenis energi fosil dinilai telah menimbulkan dampak negatif, khususnya
terhadap lingkungan. Peningkatan emisi gas rumah kaca (Green House Gas emission),
ditengarai merupakan salah satu dampak atas eksploitasi jenis energi fosil, terutama
minyak bumi dan batu bara yang berlebihan. Emisi gas rumah kaca adalah proses energi
panas matahari yang diterima oleh atmosfer lebih banyak dibanding panas yang dilepas
kembali ke angkasa (Abdullah dan Khairuddin, 2009). Beberapa kondisi inilah yang
kemudian juga mendorong banyak negara di dunia untuk mulai mengembangkan bahan
bakar nabati (biofuel).

Meski pada awalnya muncul kekhawatiran bahwa pengembangan biofuel ini akan
berdampak pada berkurangnya pasokan bahan makanan, namun dalam
perkembangannya biofuel kini banyak dikembangkan dari sisa-sisa (residu) tanaman. Di
Indonesia, pengembangan biofuel lebih banyak menggunakan bahan baku dari minyak
kelapa sawit atau yang sering disebut dengan biodiesel. Secara umum, pengembangan
biodiesel tidak terlepas dari kebijakan pengembangan energi alternatif telah tercantum
dalam Perpres No.5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional, yang kemudian
diturunkan dalam Cetak Biru Pengelolaan Energi Nasional 2006-2025
(Kusumawardani, 2009).

Terkait dengan pengembangan energi alternatif di Indonesia, maka salah satu bentuk
implementasinya adalah program Desa Mandiri Energi (untuk selanjutnya disebut
DME) dengan berbasis pada minyak tanaman jarak. Program ini secara resmi dimulai
pada tanggal 14 Februari 2007, yang dilaksanakan di 200 desa. Sebelumnya, pada tahun
2006, program tersebut dilakukan pada 100 desa. Dengan demikian, pada saat itu

1
diharapkan sebelum tahun 2009 akan ada 2000 desa, dari 7000 desa di seluruh
Indonesia, yang dapat berswasembada energi. DME adalah desa yang masyarakatnya
memiliki kemampuan untuk memenuhi lebih dari 60% kebutuhan listrik dan bahan
bakar dari energi terbarukan, yang dihasilkan melalui pendayagunaan potensi sumber
daya setempat. Tujuan program DME adalah meningkatkan produktivitas kegiatan
ekonomi masyarakat, meningkatkan kesempatan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan
melalui pengembangan energi terbarukan yang terjangkau oleh masyarakat serta
berkelanjutan (“Pengembangan Desa Mandiri Energi Berbasis Jarak Pagar”,
http://ditjenbun.deptan.go.id/budtanan/images/pengembangan%20dme%20berbasis%20
jarak%20pagar.pdf, diunduh 7 Juli 2014, jam 14.30).

Sebagai sebuah program, DME pada dasarnya merupakan program strategi untuk
mempercepat pembangunan di daerah-daerah yang kurang subur. Melalui program ini,
disediakan sejumlah jenis tanaman; yang salah satunya adalah Jatropha curcas Linn
atau tanaman “jarak pagar”. Sebagai salah satu jenis tanaman, jarak pagar memang
sudah dikenal lama oleh sebagian masyarakat Indonesia, khususnya sebagai bahan
tanaman obat dan pagar hidup. Namun, sebagai salah satu bahan baku biodiesel
memang belum lama dikembangkan.

Tanaman jarak pagar pada dasarnya merupakan jenis tanaman semak (shurb). Tinggi
rata-rata tanaman ini dapat mencapai 6 meter. Tanaman ini hidup di daerah tropis dan
subtropis. Karenanya, tanaman ini banyak tersebar di Amerika, Asia dan Afrika.
Sebaran tanaman jarak pagar di Indonesia banyak ditemukan di NTB dan NTT sebagai
tanaman liar. Namun di beberapa daerah di NTB seperti Lombok Tengah, Lombok
Timur, Sumbawa dan Bima, sudah dibudidayakan oleh masyarakat (Prihandana, 2007,
hal:103-104). Curah hujan ideal yang dibutuhkan oleh tahaman ini antara 200-1500 mm
per tahun. Bibit tanaman jarak pagar ini dapat tumbuh pada tanah kering, kritis dan
miskin hara. Tanaman ini berbunga pada umur 6-8 bulan, namun produktivitas optimal
dan stabil sejak berusia 5 tahun. Jika hendak dibudidayakan pada tanah tandus, dalam 1
hektar lahan dengan jarak antara 3 meter x 1,5 meter dapat ditanam sebanyak 3300
batang. Pada tanah normal, densitasnya sekitar 2500 batang (2 meter x 2 meter).

2
Sedangkan pada tanah subur, densitasnya hanya sekitar 1670 batang per hektar (2 meter
x 3 meter) (ibid).

Klasifikasi tanaman jarak yang dapat digunakan sebagai bahan baku biodiesel adalah
sebagai berikut (Syakir, 2010) :
Divisi : Spermatophyta.
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Euphorbiales
Famili : Euphorbiaceae
Genus : Jatropha
Species : Jatropha curcas L

Secara keseluruhan untuk Genus Jatropha terdiri atas 175 spesies, namun pada
umumnya yang ada di Indonesia ada lima spesies, yaitu : J.curcas, J. gossypiifolia, J.
integerrima, J. multifida dan J. Podagrica. Spesies jarak pagar terdiri atas dua
kelompok, yaitu kelompok diploid (2m=22) dan tetraploid (20-44). Sebagian besar
kelompok jarak pagar yang ada di Indonesia adalah kelompok diploid (ibid).

Lebih lanjut mengenai morfologi tanaman jarak pagar adalah sebagai berikut (ibid):
Pada bagian akar, sistem perakaran jarak pagar dipengaruhi kondisi lahan. Pada lahan
yang ideal sistem perakaran jarak pagar yang berasal dari setek tidak berbeda dengan
dari biji. Bagian tengah akar terdiri atas jaringan air (xilem) dan jaringan makanan
(floem). Xilem terdiri atas sel-sel penyalur yaitu trakeid, anggota pembuluh maupun
serat dan parenkima. Parenkima adalah jaringan pengisi yang memiliki fungsi untuk
penyimpanan makanan. Floem terdiri atas anggota pembuluh tapis, sel pengiring, serat
dan parenkima. Anggota pembuluh tapis berfungsi dalam translokasi zat-zat organik.
Batang tanaman jarak termasuk tanaman sukulen yang menggugurkan daun pada musim
kering dan adaptif pada lahan arid dan semi arid. Batang mempunyai struktur kayu
bentuk silindris, bergetah dengan percabangan tidak teratur. Pada bagian daun,
berbentuk menjari dengan panjang dan lebar daun masing-masing 6 dan 15 cm
berselang-seling, berwarna hijau muda sampai hijau tua. Panjang tangkai daun
bervariasi 6-23 mm. Helai daun bertoreh, berlekuk dan ujung meruncing. Daun

3
dihubungkan dengan tangkai daun sepanjang 4-15 cm ke batang. Bunga tanaman jarak
pagar umumnya berkelamin satu, serta jarang yang bisexual. Bunga tersusun atas
rangkaian sekitar 100 bunga atau lebih dengan bunga betina 5-10 %. Bunga terdiri atas
5 sepala dan 5 petala berwarna hijau kekuningan atau coklat kekuningan. Bunga jantan
mempunyai 10 tangkai sari dengan kepala sari melintang. Bunga betina lebih besar dari
bunga jantan. Buah tanaman jarak setelah 40-50 hari, akan menjadi masak. Buah yang
tadinya berwarna hijau akan berubah menjadi kuning, dan kemudian mengering. Buah-
buah yang mengering akan tetap melekat pada percabangan tanaman.

Gambar 1.1
Tanaman Jatropha curcas L
Sumber: dokumentasi pribadi

Gambar 1.2
Biji Jatropha curcas L
Sumber: dokumentasi pribadi

4
Dalam perencanaan awal program DME ini, sejak tahun 2007-2010 terdapat 27 Propinsi
yang merupakan DME berbasiskan minyak dari tanaman jarak. Desa-desa tersebut
selanjutnya menjadi desa binaan dari beberapa kementerian dan BUMN.

Tabel 1.1
Daftar DME Berbasis Minyak Tanaman Jarak
No Propinsi Kabupaten Pembina
Kementerian Pembangunan
Sibolga, Bungus
1 Sumatra Utara daerah tertinggal
Sedang Bedagai Kementrian Pertanian
Kementerian Pembangunan
Pariaman
2 Sumatra Barat daerah tertinggal
Solok, Pasaman Kementrian Pertanian
Merangin, Bungo, Muaro
3 Jambi Kementrian Pertanian
Jambi
4 Bengkulu Kepahiang Kementrian Pertanian
Bangka Selatan, Belitung Kementerian Pembangunan
5 Bangka Belitung Selatan daerah tertinggal
Bangka Kementerian Pertanian
Lampung Timur Kementerian Dalam Negeri
6 Lampung
Lampung Selatan Kementrian Pertanian
Serang Kementerian Dalam Negeri
7 Banten
Malimping-Lebak PT. RNI
Kementerian Pembangunan
Sukabumi, Sumedang
daerah tertinggal
8 Jawa Barat Majalengka Kementerian Dalam Negeri
Subang Kementerian Pertanian
Garut PT. RNI
Cilacap, Tegal, Pasar Banggi- Kementerian Pembangunan
Rembang daerah tertinggal
9 Jawa Tengah Tegal, Brebes, Jepara,
Kementerian Pertanian
Banyumas
Grobogan PT.RNI
Daerah Istimewa
10 Gunung Kidul Kementerian Pertanian
Yogyakarta
Kementerian Pembangunan
Pacitan, Sepulu- Bangkalan
daerah tertinggal
11 Jawa Timur Kementerian Kelautan dan
Situbondo, Bondowoso
Perikanan
Lamongan, Tuban, Pacitan Kementerian Pertanian
Kementerian Pembangunan
Pengambengan-Jembrana
daerah tertinggal
12 Bali
Kementerian Kelautan dan
Karangasem
Perikanan

5
Tabel 1.1 (lanjutan)
No Propinsi Kabupaten Pembina
Kementerian Pembangunan daerah
Bima
Nusa tertinggal
13 Tenggara Kementerian Tenaga Kerja dan
Lombok Timur
Barat Transmigrasi
Sumbawa Kementerian Pertanian
Kementerian Pembangunan daerah
Ende, Kupang, Atambua
tertinggal
Nusa Kupang Kementerian Kelautan dan Perikanan
14 Tenggara Kupang, Belu, Timor Tengah Kementerian Tenaga Kerja dan
Timur Selatan, Timor Tengah Utara Transmigrasi
Sumba Barat, Timor Tengah
Kementerian Pertanian
Utara, Ngada
Kalimantan
15 Sei Ambawang Kementerian Pertanian
Barat
Kalimantan Hulu Sungai Tengah Kementerian Dalam Negeri
16
Selatan Tarah Bumbu Kementerian Pertanian
Kalmantan
17 Kutai Timur Kementerian Pertanian
Timur
Kementerian Pembangunan daerah
Sulawesi Banggai Kepulauan
18 tertinggal
Tengah
Donggala Kementerian Pertanian
Kementerian Pembangunan daerah
Buton
Sulawesi tertinggal
19
Tenggara Kolaka Kementerian Dalam Negeri
Korawe Kementerian Pertanian
Kementerian Pembangunan daerah
Takalar
Sulawesi tertinggal
20
Selatan Selayar, Jeneponto Kementerian Kelautan dan Perikanan
Luwu, Maros, Sidrap Kementerian Pertanian
Sulawesi Majene, Mamuju Utara,
21 Kementerian Pertanian
Barat Mowasa
Sulawesi
22 Minahasa Kementerian Pertanian
Utara
23 Gorontalo Gorontalo, Bone Bulangu Kementerian Pertanian
Kementerian Pembangunan daerah
Maluku Ternate
24 tertinggal
Utara
Halmahera Utara Kementerian Pertanian
Kementerian Pembangunan daerah
Tual
25 Maluku tertinggal
Buru Kementerian Pertanian

6
Tabel 1.1 (lanjutan)
No Propinsi Kabupaten Pembina
26 Papua Barat Sorong Kementerian Pertanian
Kementerian Pembangunan daerah
Yobi-Yapen
tertinggal
27 Papua Merauke Kementerian Kelautan dan Perikanan
Wamena, Biak-Numfor,
Kementerian Pertanian
Jayapura
Sumber: Tim Nasional Pengembangan BBN, 2008

Sebagai bentuk skema pengembangan, DME berbasis minyak jarak pagar dibuat dalam
bentuk inti-plasma. Setiap satu DME terdiri dari 6 plasma, yang setiap 1 plasma
memiliki 50 hektar kebun tanaman jarak dengan kapasitas produksi minyak jarak
mentah (Crude Jatropha Oil, untuk selanjutnya disebut CJO) sebesar 25 liter/jam atau
100 kg biji jarak/jam. Selanjutnya dalam 1 DME tersebut, terdapat pabrik pengolahan
yang sekaligus bertindak sebagai inti. Pabrik tersebut mampu menghasilkan minyak
jarak murni (Purified Jatropha Oil, selanjutnya disebut PJO) dari CJO. Sebagian hasil
PJO ini kemudian dikembalikan ke petani plasma untuk memenuhi kebutuhan energi
senari-hari, khususnya campuran solar dan pengganti minyak tanah. Sedangkan
sebagian besar PJO tersebut dijual ke PLN untuk campuran solar di PLTD dan pabrik
biodiesel milik Pertamina. Secara umum, skema DME berbasis jarak ini dapat dilihat
Gambar 1.3.

7
6 Plasma per DME

PLN (stand by
1 Plasma purchaser) untuk
campuran solar
PLTD 50% + PJO
50%

Jarak pagar
50 hektar
INTI

Produk: PJO
Kapasitas:
250 l/jam
TK: 5 orang

Produk: CJO Pabrik Biodiesel


kapasitas 300 ton /
Kapasitas: tahun
25 l/jam atau
100 kg/jam
TK: 3 orang
Campuran
solar/kerosin

Gambar 1.3 Skema alur DME berbasis minyak tanaman jarak


Sumber: Tim Nasional Pengembangan BBN, 2008

8
Mencermati keberadaan DME berbasis minyak tanaman jarak tersebut, ternyata tidak
semua berjalan lancar dalam implementasinya. Di beberapa daerah, program ini
mengalami stagnansi. Beberapa DME berbasis minyak tanaman jarak yang kini tidak
lagi berjalan antara lain terdapat di Subang dengan 180 pengembang dan 10 lokasi
kebun bibit; Cirebon dengan 200 pengembang dan 10 lokasi kebun bibit; serta Kota
Banjar dengan 245 pengembang dan 5 lokasi kebun bibit. Di Kecamatan Prambanan
dan Turi, Sleman, Propinsi DIY, jumlah luas kebun tanaman jarak berkurang dari 100
hektar di tahun 2006, menjadi 21,2 hektar pada tahun 2012 (“Masih ada harapan untuk
jarak”,(http://www.harianjogja.com/baca/2012/03/20/tajuk-masih-ada-harapan-untuk-
jarak-172002, diunduh Januari 2013, jam: 14.22).

Contoh lain kegagalan implementasi DME berbasis minyak tanaman jarak tersebut
terjadi pada Desa Tanjung Harjo, Kecamatan Ngaringan, Kabupaten Grobogan, Jawa
Tengah. Desa ini sebelumnya merupakan desa tempat presiden meresmikan program
DME tahun 2007 dan sekaligus binaan PT Rajawali Nusantara Indonesia (PT RNI). Di
daerah tersebut, terdapat pabrik pengolah biji tanaman jarak yang luasnya mencapai 2
hektar, yang saat ini telah berhenti berproduksi. Areal perkebunan tanaman jarak yang
mencapai 45 hektar pun sudah tidak ada lagi, karena para petani telah membabat habis
tanamannya di tahun 2009. Dampak lainnya, kompor-kompor minyak jarak yang
sebelumnya telah dibagikan kepada masyarakat juga tidak dapat lagi digunakan
(“Program Presiden SBY, Gagal, Desa Mandiri Energi di Grobogan”,
http://female.kompas.com/read/2011/03/07/16112734/Gagal.Desa.Mandiri.Energi.di.Gr
obogan, diunduh Januari 2013, jam: 14.52).

Terkait dengan strategi pasca panen, di daerah Grobogan tersebut juga telah terbangun
sebuah pabrik pengolahan minyak jarak yang bernama PT Energi Hijau Lestari.
Perusahaan ini “berkerjasama” dengan PT. RNI. Pabrik yang ini direncanakan berfungsi
sebagai pembeli siaga minyak jarak hasil produksi dari petani. Selain itu, pemerintah
juga memberikan sejumlah subsidi terkait dengan pengembangan DME berbasis minyak
jarak pagar ini; mulai dari bibit hingga mesin pengolah biji jarak.

Berdasarkan aspek ekonomi, kegagalan DME berbasis minyak tanaman jarak di


beberapa daerah tersebut disebabkan oleh ketiadaan pasar atas produk biodiesel dan

9
tidak adanya mata rantai khususnya antara petani dan Pertamina. Hal ini terjadi sebagai
akibat tidak adanya institusi yang dapat mengelola biodiesel hasil produksi para petani;
sedangkan dari sisi teknologi, biodiesel hasil para petani dengan berbagai peralatan
penyulingan sederhana hanya mampu memproduksi biodiesel dengan kadar maksimal
90%. Persentase ini dibawah permintaan Pertamina yaitu sebesar 99,8-99,9%. Dari sisi
ekonomis, biji tanaman jarak yang dijual petani hanya dihargai Rp3.000,-/kg.
Sementara itu, tidak terdapat pendampingan dari pemerintah bagi para petani tanaman
jarak.

1.2. Rumusan masalah

Ditinjau dari maksud dan tujuannya, DME diharapkan mampu memenuhi 60%
kebutuhan energi bagi warga desa tersebut. Pada penelitian ini, khususnya pemenuhan
kebutuhan energi rumah tangga bagi warga desa Tanjungharjo, Kecamatan Ngaringan,
Kabupaten Grobogan Jawa Tengah.

Secara umum, keberadaan DME berbasis tanaman jarak diharapkan:

1. Membangun unit pengolahan jarak pagar untuk biodiesel di beberapa


Kabupaten/kota yang potensial, sebagai percontohan dan sekaligus
dimanfaatkan langsung oleh kelompok tani (Gabungan Kelompok Tani) di
wilayah bersangkutan.
2. Memotivasi masyarakat untuk mengembangkan dan menggunakan teknologi
penyediaan energi perdesaan yang sesuai dan ramah lingkungan, antara lain
berbasis tanaman jarak.
3. Mendorong upaya rehabilitasi dan konservasi lahan dengan penanaman jarak
pagar.
4. Meningkatkan perikehidupan masyarakat serta mendorong berkembangnya
usaha produktif masyarakat melalui penyediaan energi secara mandiri di
perdesaan.
5. Mendorong tumbuhnya DME.

Namun dalam kenyataannya, terdapat beberapa permasalahan yang terjadi dalam


pengembangan DME berbasis tanaman jarak khususnya di Desa Tanjungharjo,
Kecamatan Ngaringan, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah; yaitu:

10
a. Kebijakan energi nasional sendiri masih tidak konsisten. Hal ini dibuktikan
masih besarnya subsidi yang diberikan kepada BBM, sehingga menjadikan
harga jual minyak BBN tidak kompetitif.
b. Rendahnya nilai jual minyak jarak produksi masyarakat, sehingga tidak mampu
menjadi sumber penghasilan alternatif bagi masyarakat desa. Ketiadaan
mekanisme pemasaran hasil produk minyak jarak yang mampu menjamin
stabilitas harga minyak jarak produk masyarakat, telah mengakibatkan
terjadinya fluktuasi harga minyak jarak.
c. Produktivitas biji jarak yang rendah, meski tanamannya subur.
d. Biodiesel hasil para petani dengan berbagai peralatan penyulingan sederhana
hanya mampu memproduksi biodiesel dengan kadar minyak biodiesel maksimal
90%. Persentase ini dibawah permintaan Pertamina yaitu sebesar 99,8-99,9%.
e. Rendahnya partisipasi aktif dari pihak pemerintah daerah Kabupaten Grobogan
dan Propinsi Jawa Tengah. Hal ini disebabkan pihak pemerintah daerah merasa
tidak dilibatkan mulai dari desain perencanaan hingga implementasi, sehingga
terkesan pemerintah daerah menjadi tidak berkepentingan terhadap keberhasilan
program DME.

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka pertanyaan penelitian ini adalah:

1. Bagaimana kegagalan DME di Desa Tanjung Harjo, Kabupaten Grobogan ditinjau


dari perspektif 3 aspek pembangunan berkelanjutan?
2. Bagaimana bentuk model pemberdayaan masyarakat, yang mampu memenuhi
kebutuhan energi secara mandiri dalam DME yang sesuai dengan prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan (sosial, ekonomi dan lingkungan) di Desa
Tanjungharjo, Kecamatan Ngaringan, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah?

11
1.3. Tujuan penelitian

1. Mengidentifikasi faktor-faktor kegagalan DME dalam perspekif 3 aspek


pembangunan berkelanjutan.
2. Merekonstruksi bentuk pemberdayaan masyarakat berdasarkan faktor-faktor
yang mempengaruhi keberhasilan DME dalam kerangka pembangunan
berkelanjutan (sosial, ekonomi dan lingkungan).
1.4. Manfaat penelitian

a. Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu menjadi sebuah model pemberdayaan sosial
ekonom masyarakat Desa Mandiri energi dalam kerangka pembangunan
berkelanjutan berbasis lingkungan hidup.
b. Teoretis

Penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan sebuah teori baru dalam


pemberdayaan masyarakat, khususnya terkait dengan desa mandiri energi
sebagai salah satu cara pengembangan energi alternatif yang ramah lingkungan
dan berkelanjutan.

12
2. TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Teori-teori

2.1.1 Pembangunan berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan sebagai sebuah konsep pertama kali muncul dalam


konferensi di Stockholm Swedia pada tahun 1972, yaitu ketika berlangsung UN
Conference on the Human Enviroment. Dalam konferensi tersebut pembangunan
berkelanjutan dipahami sebagai konsep pembangunan yang memperhatikan dan
mempertimbangkan dimensi lingkungan hidup (Abdurrahman, 2003). Namun demikian,
ide mengenai pembangunan berkelanjutan ini telah lama muncul, yaitu sejak awal abad
ke 13, terutama di bidang kehutanan. Hal tersebut terkait dengan kesinambungan
penggunaan kayu (Hukum kehutanan Nuremberg tahun 1294). Pada saat itu mucul
permasalahan mengenai penebangan bersih (clear cut) tanpa memperhatikan
penanaman kembali (reboisasi). Carlowitz, seorang bangsawan dari Saxony dalam
papernya: Sylvicultura Oeconomica –instruksi untuk penanaman alamiah dari pohon liar
(1713), menyampaikan bahwa manusia harus menyelidiki aturan-aturan alam, dan
selalu, secara terus menerus dan perpetuirlich.

Dalam bukunya Carlowitz menyebutkan beberapa hal pada konstruksi rumah seperti
peningkatan isolasi melawan panas dan dingin, ia meminta penggunaan tungku pelebur
dan kompor hemat energi, dan penghijauan terjadual dengan penanaman dan
penebangan (http://www.oc-praktikum.de/id/articles/html/sustainability_id3.html,
diunduh 24 Maret 2012, jam 10.45 WIB).

Di Indonesia sendiri, tepatnya di Bandung, pada tahun 1972 diadakan Seminar


Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional. Seminar tersebut
merupakan seminar pertama yang bertema tentang lingkungan hidup serta dengan
menggunakan bahan-bahan dari panitia konferensi Stockholm. Sehingga sejumlah
peserta seminar menjadi anggota delegasi Indonesia dalam konferensi tersebut
(Soemarwoto, 1983).

13
Dalam perkembangan selanjutnya pembangunan berkelanjutan sebagai terminologi dan
isu global terus berkembang hingga tahun 1980 United Nations Environment
Programme (UNEP), International Union for Conservation of Nature and Natural
Resources (IUCN), dan World Wide Fund for Nature (WWF) menerbitkan laporan yang
berjudul World Conservation Strategy: Living Resource Conservation for Sustainable.
Dalam laporan tersebut dikemukakan hal-hal sebagai berikut:

1. Memelihara proses ekologis esensial dan sistem pendukung kehidupan di mana


kelangsungan hidup manusia dan pembangunan bergantung. Di dalamnya
termasuk masalah-masalah regenerasi tanah dan perlindungan, daur ulang
nutrisi, dan perlindungan kualitas air.
2. Melestarikan keragaman genetik yang didalamnya bergantung pada
berfungsinya sebagian besar proses di atas dan sistem pendukung kehidupan,
program perkembangbiakan yang diperlukan untuk perlindungan dan
peningkatan tanaman budidaya, hewan peliharaan, dan mikroorganisme, serta
kemajuan ilmiah dan medis, inovasi teknis, dan keamanan dari banyak industri
yang menggunakan sumberdaya hayati.
3. Menjamin pemanfaatan berkelanjutan dari spesies dan ekosistem yang
mendukung jutaan masyarakat pedesaan serta industri besar (McCormick,1986).

Pada tahun 1987, dalam laporan WCED UNEP berjudul Our Common Future (Hari
Depan Kita Bersama), penggunaan dan pemahaman tentang konsep pembangunan
berkelanjutan menjadi semakin meluas. Di dalam laporan ini pembangunan
berkelanjutan didefinisikan sebagai

…that meets the needs of the present without compromising the ability of future
generations to meet their own needs.

Secara umum, ada 2 gagasan penting yang terdapat dalam laporan ini. Pertama ialah
gagasan tentang kebutuhan, khususnya kebutuhan esensial kaum miskin sedunia yang
harus diberi prioritas utama. Kedua, adalah gagasan mengenai keterbatasan, terutama
terkait dengan kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan
dalam upaya pemenuhan semua kebutuhan saat ini dan hari depan

14
(http://bulletin.penataanruang.net/upload/data_artikel/data%20bltn%202009.pdf
diunduh 18 Maret 2012, jam13.14). Berangkat dari ketiga dimensi tersebut, jelas bahwa
pembangunan berkelanjutan merupakan merupakan gagasan yang menggabungkan
tujuan pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial, serta mengharuskan
penerapannya di semua negara berkembang maupun negara maju.

Pada tahun 1992, konferensi pertama UN Conference on Environment and


Development (UNCED) dilaksanakan di Rio de Janeiro, Brasil. Konferensi ini sendiri
kemudian mengadopsi agenda untuk lingkungan dan pembangunan untuk abad ke-21,
yang selanjutnya disebut dengan Agenda 21. Agenda 21 ini pada dasarnya adalah
program aksi untuk pembangunan berkelanjutan dengan menggunakan dasar hasil
deklarasi Rio pada lingkungan dan pembangunan. Agenda 21 ini juga mengakui hak
setiap negara dalam pembangunan ekonomi dan pada saat yang bersamaan juga
menugaskan pada negara-negara tersebut tanggung jawab mengadopsi model
pembangunan berkelanjutan dan, pernyataan prinsip hutan.

Dilihat dari definisinya, pembangunan berkelanjutan oleh Bank Dunia (1996)


disebutkan sebagai:

sustainability is to leave future generations as many opportunities as we


ourselves have had, if not more ... Leaving future generations more capital per
capita than we had, although the composition of the capital we leave to the next
generation will be different in terms of its constituent parts than capital we have
used in our generation.

Turner (1988 dalam Elliot, 2006) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai:

‘In principle, such an optimal (sustainable growth) policy would seek to


maintain an “acceptable” rate of growth in per-capita real incomes without
depleting the national capital asset stock or the natural environmental asset
stock.’

Berangkat dari definisi tersebut, maka pemahaman mengenai pembangunan


berkelanjutan tidak saja berkonsentrasi pada isu-isu lingkungan. Tetapi lebih dari itu,
pembangunan berkelanjutan juga mencakup tiga dimensi pembangunan, yaitu:
pembangunan ekonomi, pembangunan sosial, dan perlindungan lingkungan.

15
Mencermati ketiga dimensi pembangunan berkelanjutan tersebut, dapat dilihat bahwa
yang dimaksudkan dengan dimensi ekonomi ialah pendapatan maksimum dan
memelihara atau meningkatkan cadangan modal. Dimensi sosial yang dimaksudkan
adalah pemeliharaan kemantapan sistem sosial dan budaya, sedangkan dimensi
lingkungan atau ekologi ialah pemeliharaan daya tahan dan kekuatan sistem biologis
dan fisik.

Gambar 2.1. Tiga Aspek Pembangunan berkelanjutan


Sumber: http://www.campaignforliberty.com/article.php?view=198

Dengan demikian, terkait dengan sumber daya alam, maka menurut Soerjani et al.
(2007) pembangunan dinilai berkesinambungan (sustainable) apabila pemanfaatan
sumber daya alam dilaksanakan sehemat, seefisien dan seefektif mungkin. Selain itu,
juga diperlukan peningkatan nilai tambah atas sumber daya alam tersebut melalui
rekayasa teknologi jasa, budaya, dan seni. Aspek-aspek inilah yang menurut Soerjani et
al. (ibid, 2007) menjadi kunci untuk menilai sebuah pembangunan itu berkelangsungan,
berkesinambungan atau tidak.

Dalam implementasinya, konsep pembangunan berkelanjutan bukan berarti tidak


menghadapi berbagai tantangan dan persoalan. Elliot (2006) menyebutkan bahwa
tantangan pembangunan berkelanjutan saat ini terletak pada sifat dan bentuk produksi,
serta konsumsi yang ada dunia saat ini. Sebagai contohnya, perkembangan yang pesat

16
dalam industri elektronik di seluruh dunia saat ini, ternyata telah menyebabkan
munculnya persoalan baru yaitu adanya limbah elektronik (e-waste). Sementara pada
saat yang bersamaan, kemampuan untuk melakukan pengolahan limbahnya masih
sangat kecil.

Tantangan lain dari implementasi konsep pembangunan berkelanjutan juga muncul dari
masih banyaknya keterbatasan mengenai informasi besaran polusi dan limbah yang
dihasilkan oleh adanya pembangunan di masa lalu. Ketika perang dingin berlangsung,
berbagai bentuk industri, khususnya yang terkait dengan industri militer, banyak
dikembangkan oleh kedua belah pihak (blok barat dan timur). Sebagai dampaknya,
hingga saat ini, masih sangat sulit menghitung dengan pasti kontaminasi logam berat
serta limbah pembuangan nuklir yang diakibatkan adanya kapal selam nuklir.
Diperkirakan diperlukan kurang lebih AS$ 40 milyar untuk menyelesaikan hal tersebut
(Elliot, 2006).

Persoalan lain dalam pembangunan berkelanjutan adalah kemiskinan dan konflik sosial.
Tidak dapat dipungkiri bahwa tingginya populasi khususnya di negara-negara
berkembang mengalibatkan timbulnya kemiskinan. Hal tersebut ditandai dengan
keterbatasan akses terhadap kebutuhan dasar. Karenanya, hal tersebut kemudian
mendorong munculnya persaingan terhadap sumberdaya, termasuk sumberdaya alam.
Kemiskinan juga dapat diartikan sebagai hambatan atas pengelolaan sumberdaya. Hal
tersebut ditandai dengan adanya eksploitasi yang berlebihan atas sumberdaya tersebut
serta mengolah pada lahan-lahan kritis dan hidup di dalam tempat tinggal yang tidak
layak.

Karenanya, lebih lanjut pembangunan berkelanjutan juga seringkali dibedakan antara


konteks pedesaan dan perkotaan. Secara khusus pada konteks pedesaan, pembangunan
berkelanjutan menjadi sesuatu yang penting karena sebagian besar penduduk negara-
negara berkembang berada di pedesaan. Mereka juga memiliki daya beli yang rendah
dan rentan terhadap segala macam perubahan kebijakan ekonomi seperti subsidi hingga
nilai tukar (Elliot, 2006). Karenanya, peran pertanian dalam pengelolaan sumber daya
alam masa depan dan konservasi biodiversitas melalui subsidi untuk peningkatan

17
produksi pertanian, kini menjadi perdebatan yang semakin menghangat. Melalui
pembangunan pedesaan terutama dengan berbasiskan pada pertanian, maka diharapkan
juga akan mendorong terjadinya penurunan tingkat kemiskinan yang umumnya banyak
terjadi di pedesaan. Hal ini sekaligus akan menciptakan kemapanan sistem sosial dan
ekonomi sebagai bagian dari tiga dimensi pembangunan berkelanjutan. Peran
multifungsi pembangunan pertanian di pedesaan dalam konteks pembangunan
berkelanjutan dapat digambarkan dalam Gambar 2.2 berikut ini:

Gambar 2.2
Peran multifungsi pertanian
Sumber: Elliot, 2004

2.1.2 Konservasi energi dan lingkungan

Pemanfaatan energi yang khususnya energi fosil secara besar-besaran oleh manusia,
pada akhirnya mengakibatkan semakin berkurangnya cadangan untuk memenuhi
kebutuhan manusia. Berangkat dari kebutuhan tersebut, maka manusia kemudian mulai
melakukan apa yang disebut dengan konservasi energi. Konservasi energi sendiri secara
umum diartikan sebagai pengurangan pemakaian energi untuk mencapai suatu tujuan
tertentu. (http://www.indoenergi.com/2012/04/pengertian-konservasi-energi.html,
diunduh 5 April 2014, jam 10.03 WIB). Konservasi energi juga dibedakan dengan
efisiensi energi, yaitu perhitungan perbandingan antara energi yang dihasilkan dengan

18
yang dikonsumsi (Cunningham dan Cunningham, 2008, hal: 430-431). Karenanya,
efisiensi energi juga dinilai sebagai salah satu metode dalam konservasi energi. Terkait
dengan jenis energi yang digunakan, yaitu energi fosil, maka konservasi energi menjadi
sangat penting terkait dengan persoalan lingkungan. Penggunaan energi fosil,
khususnya minyak yang berlebihan, dinilai sebagai penyebab terjadinya peningkatan
kadar emisi CO2, yang pada akhirnya mendorong terjadinya perubahan iklim global.

Selain itu, dampak negatif dari penggunaan minyak sebagai sumber energi adalah sifat
sumbernya yang tidak dapat didistribusikan. Terjadinya tumpahan minyak yang rata-
rata mencapai 1,5 juta ton setiap tahunnya akibat proses pembersihan kapal tanker
(bilge washing) misalnya, telah menyebabkan terjadinya pencemaran air laut. Begitu
pula dengan proses pemboran minyak yang seringkali juga dinilai menyebabkan
kerusakan lingkungan yang tidak dapat diperbaiki. Proses eskavasi batu-batuan selama
proses pemboran dan pemompaan jutaan galon air berdampak pada kerusakan habitat
liar yang ada di sekelilingnya. Proses pengangkutan berbagai jenis kendaraan berat
untuk keperluan pemboran minyak di daerah dingin, seperti Alaska dan Kutub, juga
telah menyebabkan terganggunya berbagai jenis hewan yang sedang hibernasi pada saat
musim panas (Cunningham dan Cunningham, 2008, hal: 430-431).

Berangkat dari kenyataan tersebut, maka peningkatan efisiensi energi dalam jangka
panjang menjadi penting dalam mengurangi limbah energi dan penyelamatan
lingkungan. Miller (1988) menyebutkan bahwa salah satu caranya ialah dengan
melakukan konversi energi secara bertahap. Pengembangan berbagai bentuk energi baru
menjadi salah satu upaya yang dilakukan dalam kerangka konversi energi. Dalam
konteks pengembangan bentuk energi baru inilah, maka diperlukan sebuah inovasi
pengembangan sistem energi yang berkelanjutan. Afgan et al. (1998) menyampaikan
beberapa kriteria terkait dengan penerapan desain sistem energi yang berkelanjutan:

1) Adanya desain strategis. Desain strategis sistem energi membutuhkan


perencanaan yang holistik dengan mempertimbangkan berbagai implikasi,
seperti perencanaan ruang dan sumberdaya. Sebagai sebuah sistem energi, di
dalamnya termasuk pula penerapan konsep energi campuran dengan

19
mengoptimalkan sumber daya lokal, perencanaan perkotaan dan industri dengan
optimalisasi transportasi, dan penggunaan sumberdaya energi terbarukan.
2) Desain yang optimal (optimized design). Optimisasi desain sistem energi adalah
pemilihan struktur dan parameter sebuah sistem untuk meminimalisir biaya
energi dengan mempertimbangkan ketersediaan material, sumberdaya keuangan,
perlindungan terhadap lingkungan dan aturan pemerintah secara bersamaan.
3) Bentuk dematerialisasi. Dematerialisasi yang dimaksud adalah pengembangan
energi sedapat mungkin dilakukan dengan mengoptimalkan perangkat teknologi
informasi. Dengan pemanfaatan teknologi informasi ini, maka diharapkan akan
memudahkan duplikasi dan proses perawatan. Pada saat yang bersamaan, hal
tersebut juga akan mencegah terjadinya kerusakan operasional dan lain
sebagainya.
4) Umur panjang (design of longevity). Suatu sistem energi yang kompleks
umumnya terbuat dari berbagai subsistem dan elemen peralatan individual yang
berbeda. Dengan masa hidup dari berbagai elemen dan subsistem tersebut yang
tidak sama, maka diperlukan bentuk rancangan pengembangan sistem energi
yang saling mendukung. Karenanya, diperlukan pula standarisasi elemen,
penilaian dan pangawasan sepanjang waktu serta koordinasi antara pemasok dan
pembeli elemen-elemen tersebut.
5) Life cycle design. Sistem energi dan subsistemnya harus dirancang agar sesuai
atau memenuhi keberlanjutan dalam setiap tahapan daur hidup. Hal ini
mensyaratkan bahwa pengembangan sebuah sistem energi haruslah mampu
beradaptasi dengan berbagai perubahan yang terjadi, baik perubahan sosial
maupun kondisi lingkungan yang terjadi di sekelilingnya.
2.1.3 Pertumbuhan ekonomi

Terkait dengan pertumbuhan ekonomi, menurut Schumpeter (dalam Budiono,1999),


salah satu aspek atau proses yang penting adalah adanya inovasi. Inovasi ini secara
umum didorong oleh para usahawan atau entrepreneur. Schumpeter menyebutkan
bahwa setidaknya ada 5 aspek yang dapat didefinisikan sebagai bentuk inovasi. Kelima
hal tersebut ialah (Jhingan, 1988):

20
a) Pengenalan barang baru
b) Pengenalan metode produksi baru
c) Pembukaan pasar baru
d) Penguasaan sumber bahan mentah, penawaran atau barang semi manufaktur
e) Pembentukan organisasi baru.

Lebih lanjut, ada 3 pengaruh yang diakibatkan oleh adanya inovasi tersebut (Budiono,
1999). Pertama ialah diperkenalkannya teknologi baru. Kedua, melalui inovasi tersebut
dapat menimbulkan keuntungan lebih (keuntungan monopolistis), sehingga dapat
menjadi sumber pendanaan dalam proses akumulasi modal berikutnya. Ketiga, ialah
timbulnya imitasi. Imitasi yang dimaksudkan disini ialah adanya peniruan produksi oleh
pengusaha-pengusaha lainnya. Namun pada saat yang bersamaan, proses imitasi ini
akan diikuti oleh adanya investasi dari para imitator tersebut. Seiring dengan semakin
berkembangnya para imitator tersebut, maka keuntungan monopolitis yang sebelumnya
dinikmati oleh para inovator juga akan semakin berkurang, Selain itu, juga terjadi
penyebaran teknologi baru di dalam masyarakat.

Keberadaan biodiesel sebagai salah satu produk yang dihasilkan oleh desa mandiri
energi, tentunya diharapkan juga akan membawa pertumbuhan ekonomi, khususnya di
desa tersebut, dan kabupaten pada umumnya. Melalui inovasi di bidang energi baru
terbarukan yang sederhana, praktis dan efisien, maka diharapkan akan memberikan
tambahan pendapatan dan peningkatan kesejahteraan bagi warga desa.

Meski demikian, dalam implementasinya, hal tersebut tidaklah semudah yang


dibayangkan. Beberapa prasyarat diperlukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dan
peningkatan pendapatan. Pengelolaan sumberdaya manusia yang ada di desa tersebut,
penyusunan strategi bisnis, pengelolaan sumber daya alam yang berorientasi pada
pembangunan berkelanjutan, serta pengorganisasian masyarakat sebagai modal sosial,
adalah beberapa hal yang harus menjadi perhatian untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi.

21
2.1.4 Biodiesel

Sebagai upaya konservasi energi dan pemenuhan kebutuhan energi bersih serta ramah
lingkungan, salah satu cara yang ditempuh adalah pengembangan Bahan Bakar Nabati
(BBN) atau yang juga sering disebut dengan biofuel. Terminologi biofuel ini digunakan
baik untuk menyebut biofuel cair (liquid biofuel) maupun energi biomassa (Howarth et
al., 2009). Secara teori, pengembangan BBN atau biofuel ini dapat diperoleh dengan
melakukan fermentasi dari sari pati berbagai jenis tanaman. Dari proses tersebut
kemudian dihasilkan minyak nabati (biofuel) yang dapat digunakan untuk keperluan
rumah tangga dan kebutuhan energi lainnya pengganti bahan bakar fosil. Beberapa jenis
tanaman yang selama ini telah banyak dicoba untuk dikembangkan sebagai sumber
BBN ini adalah tebu (molasses), singkong, ubi jalar, grains (jagung/maize, gandum,
sorghum, beras). Selain itu, juga ada beberapa jenis limbah yang memiliki potensi untuk
dikembangkan sebagai BBN, antara lain ialah limbah agrikultural, seperti: grain stalk,
rice hulls, cassava peels & pulp, limbah pabik kelapa sawit, limbah kehutanan,
misalnya wood-chips, saw dust, limbah organik, limbah kota dan biomassa umum yaitu
daun; batang dan lain lain (Puradinata, 2012).

Dalam perkembangannya, salah satu jenis BBN yang banyak dikembangkan adalah
biodiesel. Biodiesel adalah bahan bakar dari minyak nabati yang memiliki sifat
menyerupai minyak diesel/solar (Subekti dan Djaohar, 2007: 54). Di Indonesia,
pengembangan biodiesel dimulai pada tahun 1996, yang dilakukan oleh Lemigas dan
Pertamina. Mereka melakukan pencampuran antara biodiesel dan minyak solar dengan
rasio 30:70.

Dilihat dari aspek lingkungan, menurut Subekti dan Djaohar (2007), biodiesel
menghasilkan emisi gas buang yang jauh lebih baik, yaitu: bebas sulfur, bilangan asap
(smoke number) yang rendah, memiliki cetane number yang lebih tinggi sehingga
pembakaran lebih sempurna (clear burning), memiliki viskositas tinggi, sehingga
mempunyai sifat pelumasan yang lebih baik untuk memperpanjang umur pakai mesin,
serta dapat terurai (biodegradable).

22
Jika dilihat dari rasio net balance, maka minyak kelapa sawit sebagai bahan biodiesel
dinilai memiliki rasio net energy balance potensial paling tinggi dibandingkan berbagai
jenis tanaman lainnya. Net energy balance ratio adalah rasio output energi yang
digunakan dibagi dengan input bahan bakar fosil yang dibutuhkan untuk memproduksi
energi. Semakin tinggi rasio net energy balance suatu jenis tanaman, maka akan
semakin rendah penggunaan bahan bakar fosil yang digunakan dalam pengolahan
biofuel tersebut. Dengan demikian, efek gas rumah kaca yang dihasilkan juga akan
semakin rendah (Howarth et al. 2009).
Tabel 2.1
Net Energi Potensial dari Tanaman Biofuel
Jenis Tanaman Net Energy Balance Ratio (output/input)
Minyak kelapa sawit 9
Tebu 8
Minyak jarak 6
Cellulosic biomass 5,4
Minyak lobak 2,5
Minyak kedelai 1,9
Inti jagung (corn kernel) 1,25
Sumber: Howarth, Stefan, Luiz, Renee, Darran dan Oswaldo, 2009 dan
Prueksakorn et al., 2010

Selain kelapa sawit, salah satu jenis tanaman yang kini dicoba untuk dikembangkan
sebagai biodiesel adalah jarak pagar. Terkait dengan persoalan lingkungan khususnya
kadar CO2, SO2 dan CO, pengembangan biodiesel dari minyak jarak sebagai bahan
pencampur solar menunjukan adanya penurunan. Sebuah studi yang dilakukan oleh
Havendri (2008) menyebutkan bahwa, penurunan kadar CO2, SO2 dan CO terjadi pada
putaran 1600 rpm dan 1800 rpm.

Jika melihat kadar minyak bijinya, hasil studi uji coba yang dilakukan oleh Santoso et
al. (2011) di Nusa Tenggara Barat menunjukkan bahwa tingkat persentase kadar minyak
jarak mencapai 40-47%. Hasil ini dibedakan antara tanaman asal tegakan alami dengan
tanaman hasil budidaya. Tanaman hasil budidaya memiliki tingkat kadar minyak yang
relatif lebih tinggi dibandingkan tanaman alami di masing-masing wilayah ujicoba.

23
Selain itu, hasil tersebut juga tergantung pada kondisi lahan. Semakin kering kondisi
wilayah asal genotipe, maka kandungan minyak biji juga cenderung tinggi (ibid, hal:
50). Sebagai perbandingan kadar minyak dengan tanaman lain, kelapa sawit memiliki
kadar minyak paling tinggi, yaitu 90%, diikuti kopra sebesar 64%, dan biji wijen
sebesar 48%.

Tabel 2.2
Perbandingan Kadar Minyak Sejumlah Tanaman
No Jenis komoditas Kadar minyak (%)
1 Kelapa sawit 90
2 Kopra 64
3 Biji wijen 48
4 Jarak 47
5 Canola dan kacang tanah kupas 45
6 Biji bunga matahari 40
7 Biji kapas dan kedelai 18
Sumber: Moll (1987, dikutip dari Pahan, 2008) dan Santoso et al. (2011).

Hasil perbandingan ini menunjukan bahwa pada dasarnya kadar minyak dari tanaman
jarak memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan. Memang, jika
dibandingkan dengan kelapa sawit yang saat ini menjadi komoditas utama Indonesia,
kadar minyak yang dihasilkan tanaman jarak jauh lebih sedikit. Meski demikian, secara
umum ada beberapa kelebihan lain yang dimiliki oleh tanaman jarak ini. Havendri
(2008) menyebutkan bahwa ada beberapa kelebihan dari biodiesel minyak tanaman
jarak ini:

1) Minyak jarak pagar tidak termasuk dalam kategori minyak makan (edible oil)
2) Tanaman jarak pagar mampu tumbuh dengan cepat dan kuat hingga ketinggian 3
sampai 5 meter di lahan yang beriklim panas, tandus dan berbatu. Hal ini
disebabkan adanya sistem pengakaran yang mampu menahan air dan tanah.
3) Komoditas jarak pagar paling sesuai dengann lahan marginal atau lahan kritis di
Indonesia.
4) Pada umumnya seluruh bagian tanamannya beracun, sehingga tanaman ini
hampir tidak memiliki hama dan tidak membutuhkan perawatan khusus.

24
Dilihat dari cara pembudidayaannya, tanaman jarak pagar (jatropha curcas) akan
tumbuh optimal pada lahan kering dataran rendah beriklim kering. Ketinggian lahan
antara 0-500 meter diatas permukaan laut, dengan curah hujan 300-2380 mm per tahun,
dengan suhu 20-26⁰C (Hambali dan Mujdalipah, 2008). Tanaman ini juga dapat tumbuh
di lahan marginal yang miskin hara, namun memiliki drainase dan aerasi yang baik.
Meski demikian, sebagaimana layaknya tanaman lainnya, tanaman jarak pagar akan
optimal produksinya jika ditanam di lahan yang subur, khususnya pada tanah yang
mengandung pasir 60-90%, dengan pH tanah 5,5-6,5; diberi pupuk yang cukup, dan
tersedianya air pada musim kemarau. Salah satu kelemahan jarak pagar ini ialah, meski
butuh air, tetapi tanaman ini peka terhadap drainase yang buruk dan butuh klimat tegas
antara musim hujan dan kemarau. Kemampuan daya serap karbondioksida mencapai 1,8
kg/kg bagian kering tanaman dari atmosfer (RNI, 2005).

Secara umum, biodiesel dapat dibedakan dengan bioetanol. Bioetanol pada dasarnya
merupakan bahan bakar alternatif yang bahan bakunya berasal dari limbah pertanian
yang selama ini seringkali dilihat sebagai sesuatu yang tidak bernilai namun terus
diproduksi. Hal ini menyebabkan bioetanol sering kali dinilai lebih efisien dan
ekonomis, meski tanpa adanya subsidi (Subekti dan Djaohar, 2007: 58). Lebih lanjut
Subekti dan Djaohar (2007: ibid) menjelaskan, bahwa untuk memproduksi bioetanol
dapat dilakukan melalui proses fermentasi biomassa dengan bantuan mikroorganisme,
yang umumnya diproduksi dengan menggunakan sintesis etilen.

2.1.5 Usaha pertanian berkelanjutan

Terkait dengan pengembangan biodiesel, salah satu persoalan terkait dengan lingkungan
adalah kebutuhan lahan yang luas untuk pembudidayaan tanaman. Hal ini kemudian
seringkali menyebabkan terjadinya penggundulan hutan dan ancaman terhadap
keanekaragaman hayati (Wiryono, 2013, hal: 52). Berangkat dari kekhawatiran tersebut,
maka salah satu hal yang menjadi prinsip dalam pengembangan biofuel adalah konsep
pertanian berkelanjutan. Pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya dalam
upaya pemenuhan kebutuhan pokok manusia, dengan mempertahankan dan
meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam (Arsyad dan

25
Rustiadi, 2012, hal:9). Lebih lanjut Gips (1986, dalam Arsyad dan Rustiadi, 2012,
hal:9), menyebutkan bahwa ada 5 hal yang tercakup dalam pertanian berkelanjutan ini:

1. Mantap secara ekologis, yaitu mempertahankan kualitas sumberdaya serta


meningkatkan kemampuan agroekosistem secara keseluruhan, baik manusia,
lahan, tanaman, hewan dan organisme tanah.
2. Dapat berlanjut secara ekonomis, yaitu petani harus mampu menghasilkan
untuk dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, dan mendapatkan penghasilan
yang cukup untuk mengembalikan tenaga dan biaya yang telah dikeluarkan.
3. Adil, yaitu sumberdaya lahan dan kekuasaan harus didistribusikan
sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua anggota masyarakat dapat
terpenuhi. Selain itu juga ada pemenuhan hak-hak dalam penggunaan lahan,
modal yang memadai, bantuan teknis dan peluang pemasaran yang lebih
terjamin.
4. Manusiawi, yaitu semua bentuk kehidupan (tanaman, hewan dan manusia)
harus dihargai. Oleh karenanya, semua martabat dasar dan sistem nilai harus
dihormati.
5. Luwes, yaitu masyarakat pedesaan dapat mampu menyesuaikan diri dengan
perubahan kondisi usaha tani yang berlangsung secara terus menerus, seperti
pertambahan jumlah penduduk dan permintaan pasar.

Dalam pelaksanaan pertanian berkelanjutan ini, diperlukan pengelolaan lahan yang juga
sesuai sehingga mampu menjamin produktivitas hasil pertanian. Salah satu bentuk
pengelolaan lahan tersebut ialah dengan cara melakukan pengolahan lahan
berkelanjutan. Lal (1995, dalam Arsyad dan Rustiadi, 2012, hal:11) menyebutkan ada 6
ciri penggunaan lahan berkelanjutan, yaitu:

1. Penggunaan lahan yang berorientasi jangka panjang.


2. Dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan potensi untuk masa
depan.
3. Pendapatan per-kapita meningkat.
4. Kualitas dapat dipertahankan, bahkan ditingkatkan.
5. Dapat mempertahankan produktivitas dan kemampuan lahan.

26
6. Mampu mempertahankan lingkungan dari ancaman degradasi.

Penerapan usaha pertanian berkelanjutan dengan memperhatikan daya dukung dan


kesesuaian lahan di Indonesia, menjadi sangat penting. Hal ini disebabkan kondisi
lingkungan alam Indonesia yang bervariasi. Daya dukung adalah populasi maksimum
suatu spesies tertentu yang habitatnya dapat bertahan dalam waktu yang tidak
ditentukan tanpa tergedradasi (Miller and Spoolman, 2009). Sedangkan Rees (1996)
mendefiniskan daya dukung sebagai populasi maksimum suatu spesies tertentu yang
dapat didukung tanpa batas waktu dalam habitat tertentu, tanpa merusak secara
permanen produktivitas dari habitat tersebut. Dalam implementasinya, perhatian pada
karateristik lahan menjadi penting. Secara umum, Indonesia berada pada wilayah
dengan curah hujan yang tinggi. Tingkat kemiringannya bervariasi antara kurang dari
15% hingga lebih dari 45%. Di beberapa daerah juga terdapat daerah kering, yang
memiliki kepekaan terhadap terjadinya erosi (Arsyad dan Rustiadi, 2012). Dilihat dari
aspek teknis pemanfaatan tanah, maka untuk menghasilkan produksi tanaman, dapat
dilakukan dengan teknologi usaha pertanian konservasi. Usaha petanian konservasi
adalah penggunaan tanah untuk kegiatan usaha tani secara efisien dan dalam jangka
waktu yang tidak terbatas. Definisi lain ialah penyesuaian penggunaan lahan dengan
kemampuan daya dukungnya (Arsyad dan Rustiadi, 2012, ibid, hal:12). Terkait dengan
daya dukung lingkungan dalam pengelolaan lahan, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan (Arsyad dan Rustiadi, 2012, ibid):

1) Ketersediaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan yang dibutuhkan


dalam pelaksanaan kegiatan yang dilakukan. Ketersediaan tersebut harus
diperhitungkan secara cermat, agar pemanfaatan sumberdaya alam dapat
terjaga.
2) Jenis kegiatan yang akan dikembangkan harus sesuai dengan karateristik
geomorfologis lokasi (jenis tanah, kemiringan struktur batuan). Hal ini
bertujuan agar lahan dapat didorong untuk dimanfaatkan secara tepat sesui
dengan sifat fisiknya.
3) Intensitas kegiatan yang akan dikembangkan harus dilihat dari luas lahan
yang dibutuhkan dan skala produksi yang ditetapkan. Hal ini terkait dengan

27
pemenuhan SDA dan sumberdaya buatan. Intensitas kegiatan yang tinggi
akan membutuhkan sumberdaya dalam jumlah yang besar, yang mungkin
tidak sesuai dengan ketersediaan.
4) Dampak yang mungkin timbul dari kegiatan yang akan dikembangkan
terhadap lingkungan sekitar dan kawasan lain dalam satu ekosistem; baik
dampak lingkungan maupun dampak sosial. Hal tersebut dimaksudkan agar
pengelola kegiatan yang memanfaatkan lahan dapat menyusun langkah-
langkah antisipasi untuk meminimalkan dampak yang timbul.
5) Alternatif metode penanganan dampak yang tersedia; untuk memastikan
bahwa dampak yang mungkin timbul oleh kegiatan yang akan dikembangkan
dapat diselesaikan tanpa mengorbankan kepentingan lingkungan, ekonomi
dan sosial budaya.
6) Konversi pemanfaatan lahan yang tidak terkontrol.
7) Konversi pemanfaatan lahan dari satu jenis pemanfaatan menjadi
pemanfaatan lainnya perlu diperhatikan secara khusus.

Di sisi lain, dalam teknologi tani konservasi ini, (ibid) secara umum ada beberapa faktor
yang harus diperhatikan yaitu:

1) Kemiringan lahan
2) Kedalaman solum (kedalaman lapisan tanah dari permukaan hingga bahan
induk tanah yang masih bisa dijangkau akar)
3) Kepekaan tanah terhadap erosi
4) Teknologi sistem usaha tani.

Selain itu, ada 4 komponen penting dalam teknologi tani konservasi (ibid):

1) Teknologi pengawetan tanah dan air


2) Pola tanaman tahunan
3) Pola tanaman semusim yang mendukung teknologi pengawetan tanah dan air
serta pola tanaman tahunan
4) Usaha tani ternak yang sesuai dengan ketiga komponen sebelumnya.

28
Mengacu pada kesesuaian lahan tersebut, maka pemilihan jenis komoditas yang akan
dikembangkan menjadi sangat penting. Pemilihan jenis komoditas, dilakukan dengan
melihat letak sesuai dengan ketinggian tempat, tipe iklim dan kemiringan lahan dimana
lokasi desa tersebut berada. Beberapa alternatif penggunaan lahan untuk pemilihan jenis
komoditas tanaman penghasil bahan bakar nabati dapat dilihat pada Tabel 2.3 berikut:

Tabel 2.3
Alternatif Penggunaan Lahan Menurut Ketinggian, Tipe Iklim dan Kemiringan
Lereng Alternatif penggunaan lahan
Ketinggian Iklim
(%) Usaha konservasi Komoditi
Pertanian semusim lahan Padi sawah, perikanan
basah, tanaman budidaya air tawar
dengan penguat teras rumput
<15
bahia.
Mangrove, perikanan air Mangrove, perikanan
payau. tambak
Tanaman semusim lahan Jagung, padi gogo, ubi
kering. Teras bangku dengan kayu, kacang tanah,
penguas teras rumput pakan kacang panjang,
<700m dpl 15-30 dan legume cover crops, kedelai, tomat,
(dataran Basah ternak. mentimun, pisang
rendah) nenas, tembakau, jahe,
hijauan pakan ternak
Tanaman tahunan, Kelapa sawit, aren,
intercropping dengan tanaman kelapa, karet, kakao,
semusim lahan kering. Teras kopi robusta, cengkeh,
gulud dengan rumput dan lada, pala, rambutan,
31-45
legume tree crops, alley durian, manggis,
cropping, ternak alpukat, salak,
kelengkeng, rumput,
hijauan pakan ternak.
Tanaman tahunan dengan Hutan/ Hutan tanaman
sistem agroforestry, teras industri sama dengan
individu intercropping komoditi pada lereng
tanaman semusim lahan kering. 32-45%.
Teras gulud dengan rumput
Basah >45 dan legume tree crops, alley
cropping, ternak. Tanaman
tahunan dengan sistem
agroforestry. Teras individu
pertanian semusim lahan
basah.

29
Tabel 2.3(lanjutan)
Lereng Alternatif penggunaan lahan
Ketinggian Iklim
(%) Usaha konservasi Komoditi
Pertanian semusim lahan Padi sawah, perikanan
<15 basah, penggembalaan ternak. air tawar. Rumput dan
hijauan pakan ternak.
Tanaman semusim lahan Jagung, padi gogo,
kering. Teras bangku penguat sorgum, bunga
teras (rumput pakan, legume matahari, kedelai,
tree crops, legume cover kacang tanah, kacang
15-30
crops), mulsa, ternak. hijau, bawang merah,
cabai, tomat,
<700m dpl
semangka, melon,
(dataran Kering
tebu, tembakau, kapas.
rendah)
Tanaman tahunan, Teras gulud, Mangga, anggur, salak,
rorak, mulsa, vertikal. kelengkeng, sukun,
31-45 kopi robusta, jambu
mente, kapuk, kemiri,
lontar
Tanaman tahunan, ditanam Hutan/ Hutan tanaman
menurut kontur, legume cover industri sama dengan
>45
crops. komoditi pada lereng
32-45%.
Sumber: Prasetyo et al., 2001 (dalam Arsyad dan Rustiadi, 2012) dan Karmawati et al., (2009).

Keterangan:
1. Teras gulud: barisan gulud (tumpukan tanah) yang dilengkapi dengan rumput penguat gulud dan
saluran air pada bagian gulud diatasnya
2. Teras bangku: sama dengan teras gulud, namun terdapat bidang datar yang berfungsi untuk
menahan aliran air
3. Teras individu: teras yang dibuat secara terpisah-pisah; satu teras untuk satu pohon (tanaman
tahunan). Teras ini berfungsi untuk mengurangi erosi dan meningkatkan ketersediaan air tanah
bagi tanaman tahunan (pohon-pohonan).
4. Legume cover crops: tanaman penutup tanah dari genus leguminosa (kacang-kacangan) khusus
ditanam untuk memperbaiki struktur tanah yaitu dengan memperbaiki sifat fisika dan sifat kimia
tanah sehingga dapat mengembalikan kesuburan tanah.
5. Legume tree crops: tanaman dari genus leguminosa (kacang-kacangan)
6. Alley cropping: suatu sistem di mana tanaman pangan ditanam pada lorong (alley) di antara
barisan tanaman pagar

2.1.6 Ketahanan energi

Konsep ketahanan energi (energy security) pada dasarnya merupakan sebuah


terminologi yang mulai muncul semenjak berakhirnya Perang Dunia I. Ketika itu,
Churchil membuat sebuah keputusan untuk mengalihkan penggunaan batu bara sebagai

30
bahan bakar kapal perang Kerajaan Inggris menjadi minyak. Hal itu ditujukan agar
kapal-kapal perang Inggris memiliki kecepatan yang lebih tinggi daripada kapal-kapal
perang Jerman. Semenjak itu, Inggris juga berkepentingan atas keberadaan minyak di
kawasan Persia (Yergin, 2006). Pada akhirnya, ketahanan energi kemudian mejadi
bagian yang tidak terpisahkan dari strategi nasional sebuah negara.

Dalam perkembangannya, ketahanan energi menjadi salah satu topik utama dalam
pertemuan negara-negara industri maju (G8). Hal ini terutama terkait dengan
peningkatan harga minyak dunia. Meski demikian, isu ketahanan energi ini juga tidak
terbatas pada persoalan minyak semata, namun berbagai kebutuhan energi lainnya.
Listrik serta kebutuhan gas alam juga menjadi isu yang muncul dalam setiap agenda
pembahasan mengenai energi di pertemuan G8.

Secara sederhana, ketahanan energi didefinisikan sebagai kemampuan untuk memenuhi


pasokan kebutuhan energi (ibid). Lebih lanjut lagi, pasokan energi tersebut oleh
beberapa negara, seperti Uni Eropa, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
kebijakan energi secara menyeluruh. Dalam kebijakan energinya, Uni Eropa berpatokan
pada 3 pilar utama, yaitu efisiensi, keberlanjutan dan keamanan pasokan (Winzer,
2011).

Masih besarnya ketergantungan pada jenis bahan bakar fosil khususnya minyak bumi,
memberikan persoalan tersendiri dalam pemenuhan kebutuhan energi. Berbeda dengan
saat dekade 1970an, kenaikan harga minyak mentah internasional membawa berkah
tersendiri bagi Indonesia. Ketika itu, sebagai salah satu negara pengekspor minyak,
Indonesia memang sangat diuntungkan dengan naiknya harga minyak mentah.

Dalam konteks penerimaan ini, faktor dinamika dan perubahan situasi ekonomi politik
global juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Setelah adanya boom minyak di era
1970an, terjadinya perak teluk pada awal dekade 1990an telah pula meningkatkan
penerimaan negara dari sektor migas. Sebagai akibat kerusakan yang terjadi pada
instalasi minyak, terutama di Kuwait ketika itu, pasokan minyak dunia menjadi
terganggu. Akibatnya, harga minyak menjadi meningkat bahkan hingga mencapai
US$34 per-barel di akhir tahun 1990. Pada masa-masa itulah kemudian pemerintah

31
Indonesia juga mendapatkan keuntungan (kelebihan penerimaan) dari yang sebelumnya
direncanakan, atau yang biasa disebut dengan windfall. Akibatnya, lonjakan penerimaan
migas pemerintah ketika itu cukup besar hingga mencapai 57%. Berbalik dengan
kondisi itu semua, Indonesia kini tengah dihadapkan pada kenyataan bahwa posisinya
adalah sebagai sebagai net importir. Jumlah konsumsi BBM dalam negeri yang terus
meningkat dibandingkan dengan kemampuan produksi minyak mentah yang terus
menurun, justru telah meningkatkan jumlah impor minyak mentah Indonesia.

2.1.7 New Institutional Economics and Sociology

Teori ekonomi institusional baru (new institutional economic) pada awalnya


disampaikan oleh Ronald H. Coase dalam makalahnya yang berjudul “The Nature of
Firm” (1937) dan dilanjutkan dalam “The Problem of Social Cost” yang dimuat pada
Journal of Law and Economics vol 3, Oktober 1960 (Harriss et al., dalam Harriss, Janet
and Lewis, ed., 1995). Pada intinya, Coase mencoba menjelaskan mengenai biaya
transaksi. Biaya transaksi digunakan sebagai pertimbangan oleh perusahaan dalam
melakukan segala aktivitas ekonominya di pasar serta mengalokasikan sumberdaya.
Biaya-biaya ini termasuk waktu yang digunakan untuk mengumpulkan informasi. Sebab
teori biaya transaksi ini dibangun dengan mengasumsikan bahwa informasi tidak
sempurna (asymetric information), akibatnya, berbagai agen ekonomi tidak dapat
bertindak secara rasional, dan terjadilah biaya transaksi. Ketiadaan informasi yang
sempurna, terjadinya eksternalitas, dan barang piblik (public goods) berdampak pada
munculnya apa yang disebut Williamson sebagai ketidakpastian. Berbagai persoalan
inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya kegagalan pasar (market failure).

Kegagalan pasar iniliah yang kemudian dicoba untuk diatasi dengan institusionalisasi
ekonomi. Dengan tetap menggunakan asumsi adanya kelangkaan dan pentingnya
persaingan, teori ekonomi institusional baru menawarkan pentingnya institusi.

Kemudian, berkembang sebuah teori yang disebut dengan new institutional economic
sociology. Pada awalnya, teori ini dikembangkan untuk menganalisis keterikatan
interpersonal yang terjadi di perusahaan dan pasar ketika berinteraksi dengan institusi
formal. (Nee, 2003, hal: 23).

32
Definisi lingkungan institusi (institutional enviroment) seperti disampaikan oleh Davis
dan North (1971, dalam Williamson, 1994) adalah:

“...the institutional environment is the set of fundamental political, social and legal
ground rules that establishes the basis for production, exchange and distribution...”.

Douglass C. North (1991) mendefinisikan institusi sebagai:


“...the humanly devised constraints that structure political, economic and social
interaction. They consist of both informal constraints (sanctions, taboos, customs,
traditions, and codes of conduct), and formal rules (constitutions, laws, property
rights). Throughout history, institutions have been devised by human beings to create
order and reduce uncertainty in exchange.”

Institusi oleh Nee (2003) didefinisikan sebagai:

“...a system interrelated informal and formal elements-customs, shared


beliefs,conventions, norms and rules-governing social relations within which actors
pursue and fix the limits of legitimate interests.”

Lebih lanjut menurut Nee, institusi dalam pandangan ini dilihat sebagai:

“...social structures which provide a conduit for collective action by facilitating and
organizing the interests of actors and enforcing principal agent relations”.

Sementara oleh Williamson (1979), institusi tersebut merujuk pada tata kelola
(governance). Bentuk institusi yang dimaksudkan disini ialah struktur kontrak, hukum
serta regulasi. Terkait dengan tata kelola ini, Williamson (1994, dalam Nee 2003)
kemudian mengambarkan skema mengenai teori institusional ekonomi baru ini:

Institutional
Enviroment

Shift Parameter Strategic


Governance

Endogenus
Behavioral
Preferences
attributes Individual

Gambar 2.3
Skema model New Institutional economics
Sumber: Williamson (1994, dalam Nee 2003)

33
Arah panah ke bawah menunjukan jika terjadi pergeseran pada parameter lingkungan
institusional; seperti perubahan aturan, hak kepemilikan atau norma, akan
mengakibatkan perubahan relatif harga pada perusahaan. Hal ini akan mendorong
perubahan pada struktur tata kelola atau bentuk usaha yang dilakukan oleh perusahaan
untuk melobi pemerintah. Usaha yang dimaksudkan tersebut termasuk pula berbagai
cara-cara tipu daya untuk mencapai kepentingannya.

Dalam kerangka sebuah analisis sosial, Williamson (2000) menyampaikan 4 tingkatan


institusi. Tingkat pertama adalah institusi yang telah lama terdapat dan melekat di
masyarakat. Di dalamnya terdapat norma, kebiasaan, adat istiadat serta tradisi.
Termasuk berbagai bentuk sanksi sosial, tabu dan kode etik. Agama dan kepercayaan
memiliki peran yang besar. Tingkat kedua, adalah institusi yang disebut sebagai
lingkungan institusional (institutional enviroment). Di dalamnya terdapat berbagai
aturan formal, seperti konstitusi, UU, peraturan, lembaga-lembaga politik (legislatif,
eksekutif, yudikatif), birokrasi dan hak kepemilikan. Hak kepemilikan khususnya
terhadap sumber daya, adalah isu sentral. Tanpa adanya kepemilikan, maka perusahaan
tidak akan berfungsi. Sebaliknya, dengan adanya hak kepemilikan sumberdaya
tersebut, perusahaan akan dapat memperoleh keuntungan dengan menjual sumberdaya
yang dimilikinya tersebut. Dari sinilah kemudian mulai muncul apa yang disebut
dengan biaya transaksi. Keberadaan hak kepemilikan inilah yang menimbulkan
konsekuensi munculnya aturan main, dimana didalamnya terdapat apa yang disebut
dengan kontrak yang jelas. Kontrak inilah yang kemudian membawa pada institusi level
ketiga, dimana didalamnya terdapat apa yang disebut sebagai tata kelola. Tata kelola ini
dibutuhkan sebagai upaya menurunkan biaya transaksi. Melalui tata kelola yang baik
dan jelas, maka hal ini juga akan menjadi salah satu bentuk insentif. Williamson
kemudian memberikan analisis yang sedikit berbeda pada level keempat. Institusi pada
level ini pada dasarnya adalah dimana terdapat analisis yang biasa terdapat pada
ekonomi neoklasik. Disini terdapat teori keagenan (agency theory), yang mengatur
mengenai perusahaan dan pekerjaan atau yang biasa dilihat sebagai teori fungsi
produksi. Teori keagenan sendiri pada dasarnya menekankan pada berbagai bentuk
insentif yang diberikan, terutama dalam pengalokasian sumber daya. Hubungan antara
keempat tingkatan institusi tersebut digambarkan oleh Williamson sebagai berikut:

34
Tingkat
Frekuensi Tujuan
(tahun)
Institusi informal yang
melekat secara sosial:
Non kalkulasi;
102 - 103
T1 tradisi, kebiasaan, norma, spontan
sanksi sosial, tabu dan lain-
lain.

Lingkungan institusional:
Mendapatkan hak
Aturan formal, UU,
lingkungan institusional
T2 lembaga-lembaga politik, 10 - 102
(ekonomisasi tingkat 1)
birokrasi, hak kepemilikan.

Tata kelola:
T3 Aturan main, kontrak yang
menyelaraskan struktur tata Mencapai struktur tata kelola
kelola dengan transaksi. 1-10 (ekonomisasi tingkat 2)

Alokasi sumberdaya
dan pekerjaan: Mendapatkan kondisi marjinal
Terus menerus (ekonomisasi tingkat 3)
T4 (Harga dan kuantitas;
keselarasan insentif)

Gambar 2.4
Model Economics of Institutions Williamson
Sumber: Williamson ( 2000, hal: 597)

Keterangan: arah panah yang solid yang menghubungkan tingkat institusi yang lebih tinggi
dengan institusi dibawahnya, menunjukan bahwa institusi yang lebih tinggi akan memberikan
kendala kepada institusi yang lebih rendah. Sedangkan arah panah ke atas dengan garis putus-
putus merupakan umpan balik.

35
Dikembangkan dari model skema yang yang dibuat oleh Wiliamson (1994), Nee
mencoba mengembangkan bentuk relasi di dalam new institutional economics
sociology. Lingkungan institusional (regulasi formal) seperti hak kepemilikan, pasar dan
perusahaan, dalam skema ini dimonitor dan didorong oleh negara, dan membebankan
hambatan kepada perusahaan melalui mekanisme pasar dan aturan negara, dimana pada
akhirnya membentuk struktur insentif. Lebih lanjut menurut Nee, jika ekonom
institutional baru menekankan insentif dengan melakukan pemantauan dan penegakan
aturan formal, maka paham institusional ekonomi baru dalam sosiologi ekonomi
mengkombinasikan dan mengintegrasikan mekanisme pemantauan dan penegakan
aturan formal dengan mekanisme pasar. Berbagai mekanisme pasar secara skematis
diwakili dalam panah ke bawah dari lingkungan institusional kepada organisasi,
termasuk pada pasar tenaga kerja, pasar modal, pasar bahan baku, material, dan
sebagainya.

Menurut Nee, bentuk hubungan yang terjadi antar institusi, lingkungan institusional
(institutional enviroment) dengan individu-individu atau kelompok sosial yang ada,
tidak selalu bertemu di pasar, perusahaan, atau berbagai lembaga non profit lainnya.
Tetapi hubungan yang tercipta bersifat 2 arah dan juga bisa langsung terjadi antara
individu-individu dan kelompok sosial yang ada di masyarakat dengan lingkungan
institusi tersebut, melalui apa yang disebut dengan kerangka institusional (institutional
framework). Kerangka institusional meliputi aturan formal dari lingkungan institusional
dan aturan informal yang melekat di dalamnya, berada pada hubungan sosial yang terus
ada, dan berinteraksi membentuk prilaku ekonomi. Kerangka institusional ini sendiri
menurut Nee mampu melewati berbagai aturan formal, sehingga mampu membentuk
sebuah perilaku ekonomi tersendiri antara kelompok sosial di masyarakat dengan
lingkungan institusi.

Organisasi yang ada, baik perusahaan maupun non profit melalui aksi bersama
melakukan lobi untuk merubah berbagai aturan fomal yang ada sesuai dengan
kepentingan mereka. Dalam lobi tersebut, terkadang mereka diwakili oleh sejumlah
pelobi profesional. Bagi perusahaan yang bersaing dalam pasar yang kompetitif, hasil
lobi ini merupakan pertanda dan petunjuk mereka dalam menyusun sebuah strategi.

36
Sedangkan bagi organisasi non profit seperti sekolah, museum atau lembaga swadaya
lain yang sumber pendanaannya berasal dari negara atau filantropi, hasil lobi tersebut
merupakan legitimasi untuk memulai kegiatannya. Legitimasi ini sekaligus pula
menjadi modal sosial untuk mendapatkan sumberdaya yang langka. Dengan demikian,
mereka dapat tetap bertahan dalam pasar politik maupun ekonomi (Nee, 2012, ibid., hal:
27).

Gambar 2.5
Skema New Institutional Economics and Sociology
Sumber: Nee, 2003

Pada kotak paling bawah menggambarkan model sebab akibat yang tumpang tindih
dengan konsep keterikatan sebelumnya. Bentuk alamiah dan struktur hubungan sosial
lebih memiliki keterkaitan pada pengelolaan perilaku ekonomi ketimbang yang
dilakukan oleh institusi dan organisasi pada umumnya.

37
Berangkat dari berbagai penjelasan tersebut, dapat kita pahami bahwa dalam
pengembangan DME, tidak hanya ditentukan oleh relasi satu arah antara berbagai
regulasi atau lingkungan institusional kepada masyarakat melalui berbagai bentuk
insentif serta berbagai aturan yang mengikat ke perusahaan, pasar atau institusi non
profit lainnya. Di luar itu semua, adanya institutional framework bagaimanapun juga
akan mempengaruhi kegagalan atau keberhasilan dari sebuah proyek desa mandiri
energi.

2.1.8 Konsep triple helix

Konsep triple helix pada awalnya diperkenalkan oleh Etzkowitz dan Leydersdorff
(2000). Dalam konsepnya tersebut mereka menggambarkan konsep tersebut sebagai
hubungan antara universitas-industri-pemerintah untuk menjelaskan sistem penelitian
yang ada sekarang dalam konteks sosial. Melalui triple helix, universitas dapat
memainkan perannya dalam mendorong inovasi dalam peningkatan pengetahuan di
masyarakat. Pada perjalannya ada 3 evolusi konfigurasi dalam konsep ini (Etzkowitz
dan Leydersdorff, 2000). Pertama, dapat membedakan suatu situasi sejarah yang
spesifik, yang dapat disebut Triple Helix I. Pada konfigurasi ini, negara mencakup
akademia dan industri, serta mengarahkan hubungan diantara mereka. Bentuk yang kuat
dari model ini dapat ditemukan pada masa Uni Sovyet dan negara-negara Eropa Timur
di bawah “sosialisme yang ada”. Versi lemahnya, diformulasikan dalam bentuk
kebijakan di sebagian besar negara-negara Amerika Latin dan beberapa negara Eropa
seperti Norwegia.

Gambar 2.6
Konfigurasi model 1 Triple Helix

38
Kedua, terdiri dari bidang-bidang institusi yang terpisah, dengan batasan yang kuat
dalam pembagiannya, sebagaimana dicontohkan di Swedia yang tercatat pada Research
2000 Report dan di Amerika Serikat sebagai oposisi pada berbagai laporan Riset Meja
Bundar (GUIR) Pemerintah-Universitas-Industri dari Dewan Riset Nasional (MacLane,
1996; cf. GUIRR, 1998).

Gambar 2.7
Konfigurasi model 2 triple helix

Sedangkan Triple Helix ketiga adalah pembangkit infrastruktur pengetahuan dalam


bidang institusional yang tumpang tindih, yang masing-masing mengambil peran
lainnya dan yang akhirnya memunculkan “organisasi hibrida” di tingkat permukaan.

Gambar 2.8
Konfigurasi model 3 triple helix

39
Perbedaan antara dua versi terakhir dari Triple Helix saat ini dapat mendorong
kepentingan normatif. Triple Helix I sebagian besar dipandang sebagai sebuah
kegagalan model pembangunan. Dengan sedikit ruang untuk inisiatif yang bersifat
‘‘bottom up’’, inovasi justru menjadi semakin menghilang. Sedangkan pada Triple
Helix II memerlukan sebuah kebijakan laissez-faire, yang sekarang juga diajurkan
sebagai shock therapy untuk mengurangi peran negara dalam model Triple Helix I.
Dalam berbagai bentuk, sebagian besar negara dan daerah saat ini berusaha untuk
mencapai bentuk Triple Helix III. Tujuan umumnya adalah untuk mewujudkan
lingkungan yang inovatif, yang terdiri dari sempalan perusahaan yang dibentuk oleh
universitas, inisiatif 3 pihak dalam mengembangkan ekonomi berdasarkan pengetahuan,
dan aliansi strategis antar perusahaan besar dan kecil. Ketiga hal tersebut beroperasi di
area yang berbeda, dengan berbagai tingkat teknologi, laboratorium pemerintah dan
kelompok riset akademik.

Penempatan semacam ini sering didorong, namun tidak diatur, oleh pemerintah. Baik
melalui aturan main yang baru, bantuan finansial langsung maupun tidak langsung, atau
melalui Bayh-Dole Act seperti di Amerika Serikat atau pemain baru sebagaimana
disebutkan di atas, yayasan untuk mempromosikan inovasi di Swedia (Etzkowitz dan
Leydersdorff, 2000).

2.1.9 Modal sosial

Teori modal sosial awalnya disampaikan oleh Lyda Judson Hanifan, yang menyatakan
pentingnya modal sosial sebagai aset penting dalam lehidupan bermasyarakat.
Bentuknya ialah kemauan baik, bersahabat, empati dan lain sebagainya. Hal ini
kemudian dilanjutkan oleh Pierre Bourdieu yang memaknai modal sosial sebagai
keseluruhan sumberdaya, baik aktual maupun potensial yang terkait dengan
kepemilikan jaringan hubungan kelembagaan yang tetap dengan didasarkan pada rasa
saling kenal dan mengakui (Alfitri, 2011, hal: 45-46). Coleman secara umum
mendefiniskan modal sosial sebagai sebuah aset produktif dimana di dalamnya terdapat
struktur hubungan diantara orang per orang (between persons) dan diantara kalangan
orang (among persons) (Ikeda, 2008, hal: 169). Hal ini muncul karena Coleman melihat

40
bahwa modal sosial melekat pada struktur sosial yang ada. Struktur sosial yang
dimaksudkan disini ialah hubungan, jaringan, kewajiban, harapan yang menghasilkan
dan dihasilkan oleh kepercayaan dan sifat dapat dipercaya dari orang-orang yang saling
berhubungan (Lawang, 2005). Menurut Coleman (2011) hubungan dalam modal sosial
juga menimbulkan konsekuensi semacam hak dan kewajiban yang disebut “slip kredit”.
Slip kredit ini adalah piutang sanksi yang menciptakan kewajiban disatu pihak, dimana
“pelunasan” dilakukan dengan aktivitas tertentu. Hal ini terjadi dimana terdapat
kredibilitas di dalam hubungan tersebut. Kredibilitas yaitu kepercayaan bahwa
kewajiban slip kredit akan dilunasi di kemudian hari.

Coleman (ibid) menyebutkan bahwa, modal sosial ditetapkan berdasarkan fungsinya.


Terdiri dari berbagai macam entitas. Modal sosial memiliki 2 karateristik umum, yaitu:
terdiri atas beberapa aspek struktur sosial dan membantu memudahkan individu-
individu di dalamnya untuk mencapai tujuannya. Karenanya, dapat dikatakan bahwa
organisasi sosial adalah salah satu bentuk modal sosial. Fungsi yang dimaksudkan
dalam modal sosial menurut Coleman (ibid) adalah nilai aspek-aspek struktur sosial
bagi para pelaku, sebagai sumber yang dapat digunakan untuk merealisasi
kepentingannya. Dengan demikian, menurut Coleman, organisasi sosial adalah salah
satu bentuk dari modal sosial. Melalui organisasi sosial, akan memudahkan tiap
individu yang saling berhubungan di dalamnya untuk mencapai tujuannya atau
memurahkan apa yang diistilahkan oleh Williamson sebagai biaya transaksi. Coleman
(ibid), secara tegas membedakan antara modal sosial dengan modal manusia (human
capital). Modal manusia tidak berwujud, namun terlihat dalam bentuk keterampilan dan
pengetahuan masing-masing yang dimiliki oleh masing-masing individu. Modal sosial
juga tidak berwujud, namun dapat terlihat dalam bentuk relasi diantara orang-orang.

Putnam melihat modal sosial sebagai sebuah penggambaran organisasi sosial seperti
kontak personal, jaringan multi personal, dan norma-norma timbal balik yang berlaku
umum dan kepercayaan yang memfasilitasi kerjasama sosial yang saling
menguntungkan atau sebagai jaringan ikatan sipil (Ikeda, 2008, op. cit., hal: 169).
Definisi ini pada dasarnya muncul karena Putnam melihat bahwa modal sosial tersebut,

41
tertambat pada institusional sosial yang ada (Lawang, op.cit). Sementara Fukuyama
(2002, hal :37) mendefinisikan modal sosial sebagai:

“...kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalamsebuah masyarakat


atau di bagian-bagian tertentu darinya. Ia bisa dilembagakan dalam kelompok sosial
yang paling kecil dan paling mendasar, demikian juga kelompok-kelompok
masyarakat yang paling besar, negara dan dalam seluruh kelompok lain yang ada
diantaranya. Modal sosial berbeda dengan modal manusia (human capital) lain
sejauh ia bisa diciptakan dan ditransmisikan melalui mekanisme-mekanisme
kultural seperti agama, tradisi dan kebiasaan sejarah.”

Lebih lanjut, Fukuyama juga menekankan bahwa modal sosial tidak dapat dicapai
apabila masing-masing individu lebih mengededepankan kepentingannya sendiri.
Sebaliknya, modal sosial akan lebih didasarkan pada kebajikan-kebajikan sosial yang
umum, seperti kejujuran dan kesetiaan (ibid). Dengan demikian, setiap kegiatan dapat
berlangsung secara efisien.

Berangkat dari definisi-definisi tersebut, modal sosial menjadi salah satu faktor yang
penting dalam sebuah sistem produksi, selain modal-modal lain seperti keuangan,
barang fisik dan modal manusia (keahlian seseorang). Pelaksanaan sebuah kegiatan
yang didasarkan pada kepentingan bersama, pada dasarnya haruslah selalu dilandasi
atas modal sosial. Melalui modal sosial ini pula, diharapkan desa mandiri energi
tersebut menjadi sebuah keterikatan baik diantara para warga desa sendiri maupun
antara warga desa dengan pihak pemda.

Dalam membangun modal sosial ini, Ancok (2003) menyebutkan 2 habitat yang dapat
menyuburkan modal sosial, yaitu habitat masyarakat dan habitat organisasi. Habitat
masyarakat yang dimaksudkan tersebut adalah masyarakat yang berorientasi kepada
“kita”. Masyarakat yang berorientasi “kita” adalah masyarakat yang memfokuskan
perhatian dan tindakannya pada upaya peningkatan kemajuan dan kesejahteraan
bersama. Dengan demikian akan dihasilkan masyarakat yang berkualitas, yang
bercirikan adanya:

a) Masyarakat yang bebas dari penindasan


b) Masyarakat yang bebas dari rasa takut
c) Masyarakat yang bebas dari perlakuan diskriminatif.

42
d) Masyarakat yang transparan dalam proses berbangsa dan bernegara.
e) Pemerintah yang bermitra dengan masyarakat
f) Masyarakat yang membangun kepedulian.

Sementara yang dimaksudkan habitat organisasi adalah sebuah wadah yang mampu
mempertemukan semua kepentingan yang ada di masyarakat, bersifat lintas batas,
dengan tujuan membentuk sinergi demi mencapai efisensi dan nilai tambah yang tinggi.
Dalam organisasi atau wadah ini, harus dipimpin oleh seorang pemimpin yang
transformasional bersifat melayani masyarakat, egaliter dan berpandangan bahwa
kesuksesan adalah hasil kerja bersama.

Pada implementasinya, agar modal sosial dapat berjalan secara maksimal, modal sosial
harus didukung oleh semangat proaktif membuat jalinan hubungan di atas prinsip-
prinsip yang disepakati (Mawardi, 2007). Beberapa unsur pokok yang harus
diperhatikan adalah (ibid):

1) Partisipasi dalam suatu jaringan


2) Reciprocity, yaitu semangat saling membantu diantara sesama anggota
kelompok atau antar kelompok.
3) Rasa percaya diri, yaitu suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam
hubungan-hubungan sosial yang didasarkan pada perasaan bahwa orang lain
akan melakukan sesuatu yang diharapkan dan senantiasa saling mendukung,
atau setidaknya tidak akan merugikan pihak lain.
4) Norma sosial, yaitu seperangkat aturan yang dipatuhi dan diikuti oleh anggota
masyarakat pada suatu entitas sosial tertentu. Norma-norma ini biasanya
terinstitusionaliasi dan mengandung sanksi sosial. Bentuknya tidak tertulis, tapi
dipahami oleh setiap anggota masyarakat.
5) Nilai-nilai, yaitu sesuatu yang dianggap benar dan penting oleh anggota
masyarakat. Misalnya harmoni, prestasi, kerja keras dan kompetensi.

Meski demikian Ancok (2003, op. cit.), mengingatkan bahwa ada beberapa hal yang
menjadi sisi negatif dari modal sosial. Menurutnya, modal sosial akan menjadi bencana
jika dimiliki oleh sekelompok orang yang tidak bermoral. Misalnya gangster mafia,

43
kelompok fanatisme yang menimbulkan diskriminasi pada kelompok lain. Karena
itulah, Ancok juga menekankan pentingnya etika yang tinggi dalam modal sosial.

Pentingnya modal sosial dalam kerangka pembangunan berkelanjutan khususnya


keberlanjutan ekologi juga disampaikan oleh Cook (2004, hal 45):

“On the other hand, overall ecological sustainability has become dependent on
social sustainability. If a growing number of people are living within a social system
that systematically constrains their capacity to meet their needs, then participation
and investment in that system will break down. The end result of such socially
unsustainable development is rising violence, alienation and anger. People will
place no trust at all in nature once social trust collapses and various modes of
barbarism develop. Conflict, poverty and other forms of social stress will result in
more environmental degradation”

2.1.10 Nilai-nilai kelangsungan hidup (survival values) dan ekspresi diri (self
expression)

Terkait dengan modal sosial, salah satu hal penting yang juga perlu dilihat adalah
karakter dari masyarakat. Perubahan kondisi ekonomi dan sosial di masyarakat, tidak
mengelakkan terjadinya nilai-nilai, budaya dan karakter yang ada di masyarakat.
Perubahan sosial dan ekonomi tersebut, pada dasarnya terkait dengan pergeseran dari
yang sebelumnya hanya lebih menekankan pada keamanan fisik dan ekonomi, kepada
kemampuan untuk mengekspresikan diri, kepuasan hidup secara subyektif dan kualitas
hidup. Pergeseran ini secara umum ditunjukan dari bagaimana sebuah masyarakat
menjadi semakin peduli terhadap berbagai nilai-nilai yang terkait dengan peran
perempuan, partisipasi dalam setiap pengambilan keputusan, dan proteksi terhadap
lingkungan.

Salah satu dampaknya ialah adanya polarisasi antara masyarakat materialist dan post
materialist (Inglehart, dalam Harrison dan Huntington, ed., 2000). Secara umum nilai-
nilai yang terdapat pada masyarakat materialis adalah adanya nilai-nilai kelangsungan
hidup. Dalam masyarakat materialist dengan nilai-nilai kelangsungan hidup di
dalamnya, lebih banyak menekankan tentang bagaimana mereka mereka bisa memenuhi
kepuasan subyektif (subjective well being) dalam tingkatan yang masih rendah.
Kepuasan yang dimaksudkan ialah pemenuhan kebutuhan kesehatan, pendapatan,
pendidikan dan kebutuhan dasar lainnya. Sebagai akibatnya, nilai-nilai yang

44
berkembang di masyarakat tersebut adalah rendahnya tingkat kepercayaan interpersonal,
kurangnya toleransi terhadap kelompok lain, rendahnya kesadaran jender, menekankan
pada nilai-nilai materialistis, tingkat aktivitas lingkungan yang rendah, serta cenderung
menerima pada pemerintahan yang otoriter (Inglehart, ibid.). Sebaliknya, dalam
masyarakat post materialist, nilai-nilai yang berkembang tidak lagi sebatas apa yang ada
di masyarakat materialis. Pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat post materialist ini
berdampak pada pembentukan ulang pembagian politik kiri dan kanan, partai politik
dan gerakan sosial lain (Inglehart dan Paul, 1994).

Secara umum, Inglehart menyampaikan teori perubahan nilai ini dengan pada 2
hipotesis. Pertama ialah hipotesis kelangkaan (scarcity hypothesis), yang menyatakan
bahwa prioritas seseorang merupakan refleksi dari sebuah kondisi lingkungan
sosioekonomisnya. Hipotesis kedua disebut dengan socialization hypothesis. Dalam
hipotesis ini disebutkan bahwa secara umum nilai-nilai dasar seseorang merefleksikan
kondisi yang dialaminya pada masa sebelum dirinya dewasa (ibid.).

2.1.11 Teori Resource-Based Value

Mencermati peran enterpreneurship dalam proses pertumbuhan ekonomi sebagaimana


disampaikan oleh Schumpeter, salah satu pendekatan teori yang dapat melengkapi teori
tersebut ialah teori nilai sumber daya dasar (Resource-Based Value). Pada awalnya,
teori Resource-Based Value (selanjutnya disebut RBV) digunakan untuk melihat kinerja
sebuah perusahaan atau organisasi. Menurut teori ini, keunggulan strategis suatu
organisasi didasarkan pada kombinasi dari aset, keahlian, kapabilitas dan aset tidak
berwujud (Muafi, 2010). Teori ini juga menyatakan bahwa perusahaan dapat
didefinisikan sebagai sekumpulan sumberdaya strategis dan produktif yang unik dan
langka, kompleks, saling melengkapi dan sulit untuk ditiru para pesaing yang dapat
dimanfaatkan sebagai elemen untuk mempertahankan strateginya. Kondisi inilah yang
kemudian juga bisa menjadi sebuah kompetensi superior dan menghasilkan informasi
yang lebih baik (Absah, 2008).

Terkait dengan persoalan kompetensi, Barney (1991, dalam Absah, 2008) menyebutkan
bahwa setidaknya ada 4 indikator untuk menilai sebuah kompetensi. Keempat kriteria

45
tersebut ialah bernilai (valuable), langka diantara pesaing potensial (rare), tidak mudah
ditiru (immitability) dan tidak mudah digantikan (nonsubstituability). Kompetensi
bernilai (valuable competencies) adalah kompetensi yang menciptakan nilai bagi suatu
perusahaan dengan mengeksploitasi peluang-peluang atau menetralisir ancaman-
ancaman dalam lingkungan eksternal perusahaan. Kompetensi langka adalah
kompetensi yang dimiliki oleh sedikit, jika ada, pesaing saat ini atau potensial.
Kompetensi yang bernilai dan langka tersebut hanya dapat menjadi sumber keunggulan
bersaing yang berkesinambungan jika perusahaan lain yang tidak memilikinya, tidak
dapat memperoleh kompetensi tersebut. Di sisi lain, kompetensi yang sulit digantikan
adalah kompetensi yang tidak memiliki ekuivalen strategis.

Meski organisasi dalam teori ini lebih dimaksudkan pada perusahaan, namun teori ini
sendiri dapat digunakan dengan menempatkan berbagai kriteria dan pandangan
pengembangan sebuah perusahaan pada tingkat organisasi yang lebih luas seperti desa.
Desa sebagai sebuah organisasi pada dasarnya juga memiliki berbagai aspek yang
dibutuhkan untuk menjadi sebuah desa yang menghasilkan produk jenis energi, dengan
tingkat daya saing yang cukup tinggi.

2.1.12 Tanggung jawab sosial perusahaan

Perdebatan mengenai tanggung sosial perusahaan pada dasarnya sudah dimulai


semenjak pertengahan abad 20. Pada tahun 1953, Bowen menulis sebuah buku seminal
yang berjudul Social Responsibilities of the Businessman. Hal ini kemudian berkembang
dan berubah menjadi Corporate Social Responsibility atau CSR (Garriga dan Melé,
2004). Secara umum ada beberapa pengertian dan definisi tentang tanggung jawab
sosial perusahaan ini. McWilliams dan Siegel (dalam Mursitama et al., 2011, hal: 23)
mendefinisikan sebagai serangkaian tindakan perusahaan yang muncul untuk
meningkatkan produk sosialnya, memperluas jangkauannya melebihi kepentingan
ekonomi eksplisit perusahaan, dengan pertimbangan, tindakan semacam ini tidak
disyaratkan oleh peraturan hukum. Definisi lain disampaikan oleh Magnan dan Ferrel
(2004, dalam Mursitama, ibid.), yaitu perilaku bisnis, dimana pengambilan
keputusannya mempertimbangkan tanggung jawab sosial dan memberikan perhatian
secara lebih seimbang terhadap kepentingan pemangku kepentingan yang beragam.

46
Dilihat dari perspektif RBV, tanggung jawab perusahaan dinilai dapat memberikan
manfaat, baik dari sisi internal maupun eksternal dari perusahaan. Melalui investasi
sosial, perusahaan dapat meningkatkan/memperbaharui sumberdaya dan kapabilitas
perusahaan. Dari sisi eksternal, tanggung jawab sosial perusahaan juga dapat
meningkatkan reputasi perusahaan. Reputasi yang dimaksudkan ialah aset tak terlihat,
intangible asset, yang dapat berpengaruh terhadap keputusan untuk melakukan investasi
atau tidak. Melalui reputasi yang baik, maka diharapkan akan meningkatkan motivasi
pekerja, loyalitas dan menarik bagi pekerja yang berkualitas (Branco dan Rodriguez,
2006, dalam Mursitama, ibid.).

Dalam perkembangannya hingga saat ini, pemahaman dan teori CSR tidak lagi terbatas
pada masyarakat dan bisnis, manajemen isu-isu sosial, bisnis dan kebijakan publik,
manajemen pemangku kebijakan, serta akuntabilitas perusahaan. Lebih dari itu, konsep
dan pemahaman CSR saat ini juga telah meluas pada berbagai konsep alternatif seperti
warga perusahaan (corporate citizenship) dan keberlanjutan perusahaan (corporate
sustainability). Meski demikian, pemahaman mengenai CSR ini tidak banyak berubah
semenjak 30 tahun terakhir. Persoalan tersebut pada dasarnya tidak ada pemahaman
yang sama antara satu pihak dengan pihak yang lain mengenai arti dari CSR itu sendiri.
Sebagaimana disampaikan oleh Votaw (1972, dalam Garriga dan Melé, 2004) Beberapa
pihak melihat CSR sebagai sebuah hal yang terkait dengan perilaku tanggung jawab
sosial dalam pengertian etika, berkontribusi dalam kegiatan amal, kesadaran sosial dan
sebagainya. Selanjutnya, Garriga dan Melé (2004) membagi teori CSR menjadi 4
kelompok. Kelompok pertama mengasumsikan perusahaan sebagai sebuah instrumen
untuk menciptakan kekayaan atau kemakmuran. Hal tersebut dilihat sebagai satu-
satunya bentuk tanggung jawab sosial. Aspek ekonomi dari interaksi antara bisnis dan
masyarakat menjadi hal yang perlu menjadi perhatian. Kegiatan sosial apapun haruslah
berujung pada peningkatan kekayaan. Teori kelompok pertama ini disebut dengan
kelompok instrumentalis. Kelompok kedua lebih menekankan pada kekuatan sosial
perusahaan, khususnya pada hubungan antara masyarakat dan tanggung jawabnya di
dalam arena politik, yang diasosiasikan pada kekuasaan. Di sini, perusahaan dibawa
untuk dapat menerima tugas dan hak sosialnya, atau partisipasi dalam kerjasama sosial.

47
Kelompok kedua ini juga disebut dengan kelompok teori-teori politik. Kelompok ketiga
adalah yang didalamnya termasuk teori-teori yang melihat bisnis harus berintegrasi
dengan permintaan sosial. Mereka biasanya berargumen bahwa pada dasarnya
keberlangsungan dan pertumbuhan bisnis itu sendiri juga bergantung pada masyarakat.
Kelompok ketiga ini disebut sebagai integrative theories. Sedangkan kelompok keempat
ialah memahami CSR sebagai bentuk hubungan antara bisnis dan masyarakat sebagai
sebuah hal yang tidak terpisahkan (embedded) dengan nilai-nilai etika. Hal ini
membawa visi CSR dari perspektif etika dan sebuah konsekuensi, perusahaan harus
menerima tanggung jawab sosial sebagai sebuah kewajiban etika atas pertimbangan
lainnya. Kelompok ini disebut dengan kelompok teori-teori etika.

Berangkat dari berbagai pemahaman di atas, maka jelas bahwa pada dasarnya CSR
berbeda dengan charity atau sumbangan sosial. CSR harus dijalankan di atas suatu
program dengan memerhatikan kebutuhan dan keberlanjutan program dalam jangka
panjang; sedangkan sumbangan sosial lebih bersifat sesaat dan berdampak sementara.
Semangat CSR diharapkan dapat mampu membantu menciptakan keseimbangan antara
perusahaan, masyarakat dan lingkungan. Pada dasarnya, tanggung jawab sosial
perusahaan ini diharapkan dapat kembali menjadi budaya bagi bangsa Indonesia
khususnya, dan masyarakat dunia dalam kebersamaan mengatasi masalah sosial dan
lingkungan.
Program CSR sudah mulai bermunculan di Indonesia seiring telah disahkannya
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Adapun isi Undang-Undang
tersebut yang terkait dengan CSR terdapat pada Pasal 74, yang disebutkan bahwa:

1. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan


dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan.
2. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai
biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan
kepatutan dan kewajaran.

48
3. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

Sedangkan pada pasal 25 (b) Undang-Undang Penanaman Modal menyatakan kepada


setiap penanam modal wajib melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Pada
perjalanannya saat ini, pelaksanaan CSR di Indonesia juga mengalami “pasang surut”.
Salah satunya ialah kebijakan dari Kementerian BUMN yang menghentikan program
PKBL bagi BUMN. Sebagai gantinya akan dibuat Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan (TJSL). Kebijakan ini dilakukan supaya sesuai dengan prinsip-prinsip
akuntansi.

Terkait dengan dasar hukum CSR, pemerintah melalui Kementerian Sosial kini tengah
menyusun draf Rancangan Undang-Undang Corporate Social Responsibility (RUU
CSR) sebagai salah satu upaya mengatasi kemiskinan. RUU CSR tersebut merupakan
tindaklanjut dari UU 13/2011 tentang Penanganan Fakir Miskin yang disahkan
pertengahan tahun tersebut. Dalam UU tersebut diatur klausul mengenai keterlibatan
perusahaan dalam penanganan kemiskinan.

2.1.13 Pendekatan berorientasi pada aktor

Peran dan keterlibatan BUMN dalam pengembangan DME di Grobogan pada dasarnya
tidak terlepas dari peran para pemimpin di BUMN tersebut. Pimpinan BUMN,
khususnya direktur, merupakan figur sentral yang memiliki pengaruh sangat penting
dalam setiap kebijakan BUMN. Mencermati posisi dan peran elit BUMN dalam setiap
pengambilan kebijakan dalam sebuah BUMN, khususnya terkait dengan peran BUMN
dalam pembangunan, maka salah satu teori yang dapat digunakan ialah pendekatan
berorientasi pada aktor (the actor oriented approach). Secara umum pendekatan
berorientasi pada aktor juga mencoba memahami arti yang terkait dengan bagaimana
pembangunan diciptakan, diperebutkan dan dikerjakan kembali dalam praktiknya –
bagaimana suatu institusi mentolerir perbedaan antara tujuan yang tertulis di dalam
suatu kebijakan dengan praktik operasional di lapangan, demikian juga dengan tujuan

49
pribadi yang diusung oleh para aktor dan birokrat dalam menjalankan proyek tersebut
(Simanjuntak, 2014, hal: 3784).

Norman Long (dalam Simanjuntak, 2014, hal: 3783) menyebutkan bahwa :

“agency (and power) depend crucially upon the emergence of a network of


actors who became partially, though hardly ever completely, enrolled in the
projects… Agency then requires the generation/manipulation of networks of
social relations and the channeling of specific items (such as claims, orders,
goods, instruments and information) through certain nodal points of
interaction”.

Terkait dengan pendekatan berorientasi pada aktor ini, lebih lanjut menurut Long:

The actor-oriented approach introduces the idea that power configurations are
depicted in terms of the idea of interlocking actors’ projects made up of
heterogeneous sets of social relations imbued with values, meanings and notions
of authorities and control, domination and competition (ibid.).

2.1.14 Perubahan sosial

Perubahan sosial khususnya dalam pandangan sosiologi pada dasarnya dapat dilihat dari
berbagai perspektif. Dalam perjalan teori-teori perubahan sosial, pendekatan
fungsionalis dan konflik saat ini merupakan pendekatan yang paling banyak
berkembang. Bagi kaum fungsionalis, perubahan sosial dilihat sebagai sesuatu yang
muncul dari adanya perubahan kebutuhan fungsional masyarakat yang terus berubah.
Sementara, dalam perspektif konflik, perubahan sosial terjadi karena adanya pemaksaan
oleh suatu kelas sosial tertentu terhadap kelas sosial lainnya untuk kepentingan kelas
pemaksa (Horton dan Hunt, 1993). Sementara Gillin dan Gilin (dalam Kumar, 2001)
mendefinisikan perubahan sosial sebagai:

“…variation from the accepted modes of life, whether due to alternation in


geographical conditions, in cultural equipment, composition of the population,
or ideologies, and whether brought about by diffusion or invention within
group”

Lebih lanjut, MacIver dan Page (dalam Kumar, ibid.) menyebutkan bahwa ada 3 faktor
penting sumber terjadinya perubahan sosial, yaitu biofisik, teknologi dan budaya.

50
Sebagai akibatnya, terjadi perubahan dalam hubungan sosial yang ada sebelumnya.
Terjadinya berbagai perubahan besar semenjak abad ke 19 seperti industrialisasi,
termasuk di bidang energi, urbanisasi serta berakhirnya Perang Dunia II yang sekaligus
mengakhiri era kolonialisme di banyak negara, telah pula mengakhiri bentuk relasi yang
terjadi antara negara kolonial dan negara-negara jajahannya. Pada saat yang bersamaan,
hal tersebut juga mempengaruhi relasi sosial di dalam masyarakat pada negara-negara
bekas koloni tersebut. Perubahan bentuk relasi sosial di negara-negara pasca kolonial
tersebut seringkali justru mengarah pada bentuk yang negatif. Seperti yang disampaikan
Boeke dalam teori dual societies, kehadiran kapitalisme, khususnya di masyarakat
Timur, justru menjadikan ikatan-ikatan komunitas menjadi melemah dan penurunan
taraf hidup (Sunarto, 2004).

2.1.15 Komunitas

Konsep mengenai komunitas pada awalnya lebih banyak dilihat dari perpektif sejarah
dan politik. Sebagai sebuah konsep, komunitas sejak Yunani kuno hingga masa
pencerahan (enlightment) seringkali dipandang sebagai inti dari suatu masyarakat.
Dalam perkembangannya, komunitas lebih dilihat sebagai sebuah bentuk domain
hubungan sosial yang mengacu pada kehidupan keseharian (Delanty, 2003). Teori-teori
mengenai komunitas yang terkenal adalah yang disampaikan oleh Ferdinand Tönnies
dalam bukunya Gemeninschaft und Gesellschaft, yang meski tidak terlalu tepat,
seringkali diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai Community and Society.
Keduanya, pada dasarnya, merupakan bentuk alamiah dari kehendak manusia (human
wills). Tönnies (2001) juga menyebutkan bahwa teori gemeninschaft atau komunitas
tersebut didasarkan pada ide bentuk alami yang didalamnya terdapat sebuah kumpulan
lengkap dari kehendak manusia. Teori ini pada dasarnya dibangun dari dari argumen
dasar Tönnies, bahwa setiap manusia akan selalu berinteraksi dengan berbagai caranya.
Berbagai interaksi tersebut kemudian dapat dipahami bentuk kehidupan nyata manusia.
Hal ini oleh Tönnies disebut inti dari komunitas.

Lebih lanjut, gemeninschaft sebagai sebuah komunitas menurut Tönnies lebih merujuk
kepada kehidupan keluarga yang selalu rukun, kehidupan di pedesaan, serta keagamaan
di kehidupan kota (Delanty, 2003). Karenanya, dasar hubungan yang melandasinya

51
lebih kepada hubungan batin dan kekeluargaan yang lebih murni dan kekal. Oleh
Tönnies, bentuk yang paling ideal dari gemeninschaft adalah hubungan keluarga,
khususnya antara ibu dan anak. Secara umum, Tönnies membagi bentuk komunitas
menjadi tiga, yaitu komunitas yang didasarkan pada hubungan darah, kedekatan tempat
tinggal, dan komunitas yang terbentuk berdasarkan pada kesamaan ideologi.

Konsep mengenai komunitas juga disampaikan oleh Horton dan Hunt (1999, hal: 129).
Keduanya mendefinisikan komunitas sebagai sekelompok orang yang melakukan
aktivitas hidupnya. Lebih lanjut menurut Horton dan Hunt, kriteria komunitas dapat
dibuktikan dengan adanya kondisi para anggotanya menerapkan sebagian besar atau
seluruh aspek kebudayaan dalam batas wilayah tertentu. Sedangkan Hillery dan
Jonassen (dalam Horton dan Hunt, 1999, ibid.) mendefinisikan komunitas sebagai
kumpulan (kelompok) orang-orang yang tinggal di daerah (geografis) tertentu dengan
pembagian kerja dan fungsi yang independen serta budaya dan sistem sosial yang
mampu mengorganisir aktivitas mereka, yang di dalamnya terdiri atas anggota-anggota
yang secara sadar memiliki kesatuan dan rasa memiliki serta bertindak secara
teroganisir.

Lebih lanjut, Ife dan Tesoriero (2008) juga mendefinisikan bahwa komunitas terbagi
menjadi 2 jenis, yaitu komunitas fungsional dan geografis. Komunitas geografis, sesuai
dengan namanya, lebih berbasiskan pada aspek lokalitas. Sedangkan komunitas
fungsional lebih menekankan kepada sesuatu hal atau aspek kesamaan perasaan
identitas. Komunitas fungsional juga dapat beranggotakan antar lokalitas. Namun dalam
perspektif ekologis, komunitas masyarakat adalah berbasis pada lokalitas. Hal ini
disebabkan adanya kebutuhan manusia untuk hidup terintegrasi dengan ekosistem dan
lingkungan fisik, dan lahan di sekitarnya.

Berangkat dari berbagai konsep mengenai komunitas tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa pada dasarnya komunitas memiliki pemahaman yang lebih khusus dan terbatas
ketimbang masyarakat. Kekhususan dan keterbatasan tersebut bisa dilihat baik dari sisi
geografis maupun jumlah orang-orang yang ada di dalamnya. Sementara relasi sosial
yang terbentuk juga lebih erat dan tulus. Bentuk relasi sosial yang seperti ini pada

52
dasarnya memudahkan dalam proses pengorganisiran dan pemberdayaan dalam rangka
peningkatan pemenuhan energi.

2.1.16 Pengorganisasian dan pemberdayaan komunitas

Konsep atau terminologi pengorganisasian dan pemberdayaan masyarakat di Indonesia


pada dasarnya telah dimulai semenjak tahun 1970an; namun kedua terminologi ini, di
beberapa negara, memiliki nama yang berbeda-beda. Di Inggris pada umumnya, hal ini
disebut dengan community work; sementara di Amerika Serikat, oleh Rothmans,
terminologi ini seringkali juga disebut dengan community organization atau community
intervention (Adi, 2007).

Intervensi komunitas (community intervention) menurut Rothmans (1995, dalam Adi,


2007) secara umum terdiri atas :

1. Pengembangan komunitas lokal (locality development);


2. Aksi sosial (social action); dan
3. Perencanaan dan kebijakan sosial (social planing/policy).

Di Indonesia, intervensi komunitas dan community organization lebih dikenal dengan


nama pengembangan masyarakat. Pengembangan masyarakat secara umum memiliki 2
pengertian. Pertama ialah pengertian sempit, yaitu pengembangan masyarakat dilihat
sebagai sebuah metode intervensi sosial yang bersifat partisipatif. Pada pengertian ini,
di setiap tahapannya, mulai dari perencanaan hingga evaluasi, diperlukan intervensi.
Kedua, ialah pengertian dalam arti luas; yaitu di dalamnya termasuk community
development, community care, community education, community planning dan
sebagainya (Adi, 2007).

Ife dan Tesoriero (2008) menyebutkan bahwa dalam perspektif ekologis menyediakan
sebuah visi yang menguraikan bahwa jenis masyarakat yang dapat hidup dalam jangka
panjang adalah masyarakat yang didasarkan pada prinsip-prinsip holisme,
keberlanjutan, keanekaragaman dan keseimbangan. Perspektif ekologis ini, pada
dasarnya merupakan turunan dari para “pemikir hijau” (The Green Thinkers). Dalam
perspektif mereka, masalah lingkungan pada dasarnya merupakan masalah sosial,
ekonomi dan politik. Berangkat dari perspektif tersebut, maka diperlukan pemecahan

53
masalah dengan cara mengambil berbagai kearifan dan keahlian ilmu-ilmu sosial,
ekonomi dan politik; bukan dari teknologi dan teknis fisika semata (Ife dan Tesoriero,
2008, hal: 56). Berangkat dari visi tersebut, maka konsep yang sesuai dengan kebutuhan
tersebut disebut dengan komunitas. Lebih lanjut lagi, pendekatan berbasis masyarakat
yang diperkuat oleh prinsip-prinsip ekologis dan keberlanjutan (komunitas) tersebut,
memungkinkan pengembangan berbagai cara melakukan sesuatu dalam berbagai
keadaan. Hal ini disebabkan sifatnya yang lebih berskala kecil, sehingga memungkinkan
untuk dapat lebih peka terhadap lingkungan di sekitarnya. Dengan skalanya yang kecil
itu pula, komunitas dapat lebih konsisten terhadap model-model pemberdayaan untuk
perubahan. Selain itu, komunitas juga memungkinkan untuk berkembang dari perspektif
kebutuhan dan aspirasi sehari-hari masyarakat. Dengan kondisi tersebut, maka
memungkinkan setiap pengambilan keputusan berjalan lebih efektif.

Sedangkan konsep pemberdayaan menurut Ife (dalam Alfitri, 2011) secara harfiah dapat
diartikan sebagai “pemberian/peningkatan kuasa” kepada masyarakat yang lemah atau
yang tidak beruntung. Definisi lain dari pemberdayaan diberikan oleh Swift dan Levin,
yang menyebutkan pemberdayaan sebagai reallocation of power yang dilakukan
melalui perubahan struktur sosial (Alfitri, 2011). Pemberdayaan sendiri memiliki tujuan
dasar untuk menciptakan keadilan sosial sekaligus memberikan ketentraman kepada
masyarakat yang lebih besar (ibid.). Maton (2008, hal: 5) mendefinisikan pemberdayaan
sebagai suatu proses pengembangan yang berdasarkan partisipasi kelompok, yang mana
orang-orang dan kelompok yang terpinggirkan atau tertekan dapat memperoleh sumber
daya yang bernilai hak dasar, dan mencapai tujuan penting dalam hidupnya, serta
berkurangnya marginalisasi masyarakat. Munford dan Wheturangi (dalam Nash, et al.,
2005) mendefinisikan pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah cara untuk bisa
memahami dunia. Karenanya, pemberdayaan masyarakat adalah sebuah mindset dan
bukan sekedar sebuah pekerjaan yang mencirikan sebuah perpektif tertentu. Berangkat
dari berbagai definisi komunitas dan pemberdayaan tersebut, maka pemberdayaan
komunitas (community development), dapat didefinisikan sebagai sebuah upaya untuk
memberikan kemampuan kepada sekumpulan masyarakat di sebuah lokasi untuk
meningkatkan kemampuannya, sehingga tercapai rasa keadilan sosial.

54
Dalam implementasinya, proses pengorganisasian masyarakat seringkali memerlukan
berbagai stumulir. Soetomo (2011, hal: 105-106) menyebutkan bahwa ada 2 prinsip
yang harus diperhatikan dalam pemberian stimuli. Pertama ialah stimuli tersebut harus
berfungsi sebagai instrumen untuk menggali dan mengaktualisasikan pontensi dan
modal sosial dalam masyarakat. Kedua, stimuli tersebut harus sesuai dengan kapasitas
kelembagaan yang ada. Seiring dengan peningkatan kapasitas kelembagaan tersebut,
maka stimuli eksternal tersebut juga semakin berkurang.

Terkait dengan pengembangan BBN dan DME, pengorganisasian dan pemberdayaan


masyarakat ini pada dasarnya haruslah berujung pada partisipasi masyarakat secara
lebih luas. Mitchell, Setiawan dan Dwita (2010) menyebutkan, bahwa melalui
konsultasi dengan masyarakat yang tinggal di wilayah suatu proyek atau terkena sebuah
kebijakan seperti DME ini, maka masyarakat dimungkinkan untuk (1) Merumuskan
persoalan dengan lebih efektif. (2) Mendapatkan informasi dan pemahaman di luar
jangkauan ilmiah. (3) Merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang secara sosial
akan lebih diterima. (4) Membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan
penyelesaian, sehingga memudahkan dalam penerapannya.
Meski seringkali akan memakan waktu yang lebih lama, namun melalui partisipasi
masyarakat diharapkan juga akan diperoleh pandangan yang seimbang terutama
menghadapi berbagai kompleksitas dan perkembangan isu di lapangan. Begitu pula
dengan tanggung jawab dan resiko yang timbul, akan menjadi tanggungan bersama.
Namun demikian, untuk mendorong partisipasi masyarakat tersebut diperlukan
beberapa elemen kunci yang harus diperhatikan (Mitchell, B Setiawan dan Dwita, 2010,
hal: 257):
1) Kecocokan antar peserta. Kecocokan yang dimaksudkan di sini terkait
dengan persoalan adanya penghargaan dan kepercayaan antar pihak yang
terlibat.
2) Keuntungan untuk semua peserta. Hal ini diartikan bahwa jika tidak ada
keuntungan nyata yang adil untuk semua pihak, maka agak sulit untuk
mengharapkan partisipasi yang jangka panjang.

55
3) Seimbangnya perwalian dan kekuasaan untuk semua pihak. Besar kecilnya
sumberdaya dan kapasitas yang dimiliki oleh setiap pihak, pada dasarnya
harus menjadi perhatian terutama dalam penyusunan setiap langkah yang
akan diambil. Dengan demikian, setiap pihak akan merasa terlibat.
4) Mekanisme komunikasi. Komunikasi antar pihak baik internal maupun
eksternal menjadi penting. Karenanya, diperlukan fasilitas komunikasi yang
cukup untuk mendukung proses partisipasi.
5) Penyesuaian terhadap ketidakpastian dan perubahan keadaan yang terjadi.
6) Integritas, kesabaran dan keajegan dari semua pihak. Hal ini diperlukan,
karena tidak semua hal dapat dinikmati hasilnya dengan segera. Berbagai
hambatan seringkali juga banyak terjadi dalam pelaksanaan sebuah kegiatan
yang melibatkan banyak pihak. Hal inilah yang kemudian seringkali
menimbulkan frustasi dan putus asa.

Terkait dengan bentuk partisipasi masyarakat, juga perlu diperhatikan bentuk serta
tingkatan partisipasi tersebut; sebab, setiap bentuk dan tingkatan partisipasi tersebut
pada akhirnya juga memiliki tingkat tanggung jawab dan konsekuensi yang berbeda-
beda pula. Tingkatan pastisipasi ini juga menunjukan distribusi kekuasaan dari
masyarakat itu sendiri. Arstein (1969, dalam Mitchell, Setiawan dan Dwita, 2010, hal:
260) menyebutkan setidaknya ada 8 tingkatan partisipasi masyarakat.

1) Manipulasi. Sebagai tingkatan terendah partisipasi masyarakat, pada dasarnya


menurut Arstein tidak ada partisipasi yang nyata pada level ini. Sebab pada
tingkatan ini, keterlibatan masyarakat hanya ditandai dengan permintaan tanda
tangan dari komite masyarakat tanpa adanya pemahaman yang pasti di
masyarakat.
2) Terapi. Meski juga belum ada partisipasi yang nyata, pada tingkatan ini para
pemegang kekuasaan sudah mulai melakukan edukasi terhadap masyarakat
secara terbatas.
3) Pemberitahuan (informing). Pada tingkatan ini, berbagai hal yang menjadi
keinginan masyarakat sudah mulai diidentifikasi. Namun demikian, bentuk

56
partisipasinya juga masih bersifat satu arah dari para pemegang kekuasaan.
Sehingga tidak ada ruang untuk melakukan negosiasi dan umpan balik.
4) Konsultasi. Berbagai opini dan informasi dari masyarakat sudah mulai didengar
pada tingkatan ini. Namun demikian, menurut Arstein diperlukan beberapa cara
lain untuk mendukung partisipasi masyrakat dalam tingkatan ini. Beberapa
metode yang sering dilakukan dalam tingkatan ini ialah survei dan dengar
pendapat publik (public hearing).
5) Placation. Pada tingkatan ini, partisipasi masyarkat pada tahap tertentu sudah
dapat mempengaruhi kebijakan yang diambil meski dalam jumlah dan bentuk
yang sangat terbatas serta tidak selalu dilaksanakan. Sebagai contoh bentuknya
ialah dibentuknya berbagai komite atau dewan yang beranggotakan perwakilan
masyrakat dan ditempatkan pada institusi-institusi publik.
6) Kemitraan. Pada tingkat kemitraan ini, tersedia ruang yang cukup besar untuk
melakukan negosiasi antara masyarakat dan pemegang kekuasaan. Melalui
bentuk kemitraan ini, antara masyarakat dan pemegang kekuasaan saling
berbagi, mulai dari tahap perencanaan hingga tanggung jawab dalam
pengambilan keputusan yang dilakukan secara terstruktur. Misalnya dengan
adanya dewan kebijakan bersama, komite perencanaan dan lain sebagainya.
Melalui ini pula, ditentukan aturan dan bentuk take-give bagi masing-masing
pihak.
7) Pendelegasian kekuasaan. Tersedianya ruang yang luas untuk melakukan
negosiasi antara masyarakat dan pemegang kekuasaan atau pejabat publik, juga
dapat menghasilkan otoritas yang cukup besar bagi masyarakat atas sejumlah
program. Karenanya, masyarakat harus dapat menjamin akuntabilitas program-
program tersebut sehingga berjalan dengan baik.
8) Kontrol oleh masyarakat.

Satu hal lain yang juga patut diperhatikan, adalah apakah isu-isu yang mengemuka
benar-benar merupakan isu yang mewakili semua pihak atau tidak. Hal inilah yang
selanjutnya menjadi alasan dalam pemilihan pihak-pihak yang dilibatkan (stakeholder)
yang akan ikut berpartisipasi serta sejauh mana tingkat partisipasinya menjadi penting.

57
Selain itu, sebagai cara untuk mencegah partisipasi masyarakat agar tidak hanya sekedar
menjadi “kosmetik” dalam setiap kebijakan, maka keterlibatan masyarakat tersebut
dilakukan semenjak tahap awal perencanaan.

Terkait dengan isu tersebut, salah satu isu utama dalam DME adalah peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Isu ini menjadi sangat penting mengingat aspek ekonomi
menjadi salah satu perhatian dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Peningkatan
kesejahteraan pada dasarnya tidak semata dilihat dari bagaimana cara meningkatkan
pendapatan. Sebaliknya, hal tersebut juga bisa dilakukan dengan mengurangi
pengeluaran sehari-hari. Perubahan cara berpikir masyarakat seperti inilah yang
kemudian menjadi perhatian dalam proses intervensi sosial dan pengorganisasian
masyarakat.

2.1.17 Tiga tahap perubahan

Dalam psikologi sosial, salah satu teori perubahan yang ada disampaikan oleh Kurt
Lewin (1951) disebut dengan model perubahan 3 tahap. Menurut Lewin, perubahan bisa
dilakukan dengan 3 tahap yaitu unfreezing, change dan refreezing.

Dalam tahap pertama yaitu unfreezing didasarkan atas pandangan Lewin bahwa perilaku
manusia dibentuk oleh keseimbangan kuasi-stasioner yang didukung oleh berbagai
kekuatan yang kompleks. Sebelum perilaku lama dapat ditinggalkan (atau tidak lagi
dipelajari), dan perilaku yang baru diadopsi dengan sukses, keseimbangan tersebut perlu
didestabilisasi (unfrozen). (Sarayreh, et al., 2013). Karenanya pada tahap pertama ini,
Lewin menyarankan adanya pencairan dari kondisi status quo yang ada saat ini. Status
quo dianggap sebagai keadaan seimbang. Pemecahan kebekuan diperlukan untuk
mengatasi ketegangan / tekanan resistensi individu dan konformitas kelompok.
Pemecahan kebekuan tersebut dapat dicapai dengan menggunakan tiga metode.
Pertama, tingkatkan kekuatan pendorong yang dapat mengarahkan perilaku untuk
menjauh dari situasi yang ada atau status quo. Kedua, turunkan kekuatan penghalang
yang dapat mempengaruhi pergerakan dari keseimbangan yang ada. Ketiga, temukan
kombinasi dari dua metode yang disebutkan di atas. Beberapa kegiatan yang dapat
membantu langkah-langkah pemecahan kebekuan diantaranya adalah: memotivasi

58
partisipan dengan mempersiapkan mereka untuk suatu perubahan, membangun
kepercayaan dan pengenalan kebutuhan akan perubahan, dan berpartisipasi secara aktif
dalam mengenali masalah serta diskusi berbagai solusi dalam satu kelompok (Kristonis,
2005, hal: 2).

Tahap kedua adalah perubahan atau movement. Pada langkah ini, sistem target perlu
dipindahkan ke tingkat yang baru dalam keseimbangan. Tiga tindakan yang dapat
membantu pergerakan ini diantaranya adalah: membujuk / mempersuasi karyawan
untuk setuju bahwa status quo tidak membawa manfaat bagi mereka dan mendorong
mereka untuk melihat suatu masalah dengan perspektif baru, bekerja bersama pada satu
tantangan untuk informasi yang baru dan relevan, dan menghubungkan berbagai
pandangan kelompok kepada pemimpin yang kuat dan terhormat, yang juga mendukung
perubahan.

Tahap ketiga adalah refreezing. Tahap ini perlu dilakukan setelah perubahan
diimplementasikan dalam rangka keberlanjutan atau terus melekat seiring berjalannya
waktu. Kemungkinan besar perubahan tersebut akan berjalan singkat, dan para
karyawan akan kembali ke keseimbangan (perilaku) mereka yang lama, jika langkah ini
tidak dilaksanakan. Langkah ini merupakan integrasi yang sebenarnya berasal dari nilai-
nilai dan tradisi yang baru di dalam komunitas tersebut. Tujuan dari pembekuan
kembali adalah untuk stabilisasi keseimbangan baru, yang dihasilkan dari perubahan
dengan cara menyeimbangkan kekuatan pendorong dan penghalang. Satu tindakan yang
dapat dilakukan untuk mengimplementasikan langkah ketiga dari Lewin ini adalah
dengan memperkuat pola baru dan melembagakannya melalui mekanisme formal dan
informal, termasuk kebijakan dan prosedur (Kritsonis, 2005, ibid.).
Secara umum terdapat beberapa teknik yang dapat dilakukan pada masing-masing tahap
(http://changingminds.org/disciplines/change_management/lewin_change/unfreezing.ht
m, diakses 8 September 2014, jam 19.00.). Pada tahap pertama (unfreezing) ini,
beberapa teknik yang bisa dilakukan ialah:
1. Membakar pijakan (Burning Platform): Menampilkan atau menciptakan krisis.

59
2. Tantangan (Challenge): Menginspirasi mereka untuk mencapai sesuatu yang
luar biasa.
3. Perintah (Command): Katakan kepada mereka untuk bergerak!
4. Bukti (Evidence): Data yang konkret dan dingin akan sulit diabaikan.
5. Destabilisasi (Destabilizing): Guncangkan orang-orang dari zona nyaman
mereka.
6. Edukasi (Education): Buat mereka belajar untuk berubah.
7. Manajemen Hasil / Berdasarkan Tujuan (Management by Objectives - MBO):
Katakan pada orang-orang, apa yang harus dilakukan tetapi bukan caranya.
8. Restrukturisasi (Restructuring): Desain ulang organisasi untuk mendorong
perubahan perilaku.
9. Ritual peralihan (Rites of Passage): Lakukan upacara untuk membantu
melepaskan masa lalu.
10. Penetapan Tujuan (Setting Goals): Berikan mereka tujuan yang formal.
11. Membayangkan / proyeksi (Visioning): Visi yang dikerjakan dengan baik dapat
membantu menciptakan perubahan.
12. Perencanaan sistem yang menyeluruh (Whole-System Planning): Semua orang
merencanakan bersama-sama.

Pada tahap kedua, beberapa teknik yang bisa dilakukan ialah:

1. Merebus kodok (Boiling the Frog): Perubahan inkremental tidak terlalu disadari.
2. Tantangan (Challenge): Menginspirasi mereka untuk mencapai sesuatu yang
luar biasa.
3. Coaching: Dukungan psikologis bagi para eksekutif.
4. Perintah (Command): Katakan pada mereka apa yang yang harus dilakukan.
5. Edukasi (Education): Ajari mereka, langkah demi langkah.
6. Fasilitasi (Facilitation): Pergunakan fasilitator untuk membimbing rapat tim.
7. Langkah pertama (First Steps): Membuat segalanya mudah untuk berjalan.
8. Keterlibatan (Involvement): Berikan mereka suatu peran penting.
9. Manajemen Hasil / Berdasarkan Tujuan (Management by Objectives - MBO):
Katakan pada orang-orang, apa yang harus dilakukan, tetapi bukan caranya.

60
10. Area Terbuka (Open Space): Orang-orang mengatakan apa yang menjadi
perhatian mereka.
11. Edukasi kembali (Re-education): Berikan pelatihan pengetahuan atau keahlian
(skill) baru pada orang-orang.
12. Restrukturisasi (Restructuring): Desain kembali organisasi untuk mendorong
perubahan perilaku.
13. Shift-and-Sync: Ubah sedikit lalu berhenti sejenak untuk restabilisasi.
14. Tumpah dan Isi (Spill and Fill): Pergerakan inkremental ke suatu organisasi
baru.
15. Langkah perubahan bijak (Stepwise Change): membagi hal besar menjadi
bagian-bagian yang lebih kecil.
16. Perencanaan sistem yang menyeluruh (Whole-System Planning): Semua orang
merencanakan bersama-sama.

Pada tahap ketiga, beberapa teknik yang bisa dilakukan ialah:


1. Membakar jembatan (Burning Bridges): Pastikan tidak ada jalan untuk kembali.
2. Arus bukti (Evidence Stream): Tunjukkan waktu kepada mereka dan bahwa
perubahan tersebut adalah benar / asli
3. Borgol Emas (Golden Handcuffs): Menempatkan penghargaan di pertengahan
masa depan mereka.
4. Institusionalisasi (Institutionalization): Membangun perubahan ke dalam
struktur dan sistem formal.
5. Tantangan Baru (New Challenge): Membuat mereka menatap masa depan.
6. Jebakan rasionalisasi (Rationalization Trap): Membuat mereka bertindak, lalu
bantu mereka menjelaskan tindakannya.
7. Penyelarasan penghargaan (Reward Alignment): Sesuaikan penghargaan dengan
perilaku yang diharapkan.
8. Ritual peralihan (Rites of Passage): Gunakan ritual formal untuk
mengkonfirmasi perubahan.
9. Sosialisasi (Socializing): Membangun ke struktur sosial.
10.

61
2.1.18 Persuasi untuk mempengaruhi

Terkait dengan tahapan perubahan yang disampaikan oleh Lewis, maka salah satu hal
yang diperlukan adalah persuasi. Dilihat dari aspek psikologi persuasi, Goldstein et al.
(2008) menyampaikan bahwa ada 6 prinsip untuk dapat mempengaruhi seseorang atau
kelompok. Keenam prinsip tersebut ialah :

1. Reciprocation (Resiprokasi). Perasaan harus membalas jasa yang diberikan.


Contoh: Inisiator harus menciptakan kondisi bahwa masyarakat merasa
berhutang budi
2. Otoritas. Menghubungi ahli untuk membimbing dalam pekerjaan. Contoh:
melibatkan narasumber dari PT lokal dalam setiap sosialisasi mengenai
kelangkaan energi BBM dan pentingnya pengembangan energi alternatif di masa
depan.
3. Komitmen/Konsistensi. Keinginan untuk bertindak secara konsisten dengan
komitmen dan nilai-nilai yang dianut.
4. Kelangkaan. Semakin langka sumber daya, semakin diinginkan. Contoh:
Berikan pemahaman bahwa pengembangan energi alternatif berbasis
sumberdaya lokal merupakan satu-satunya cara untuk memenuhi kebutuhan
energi di masa depan.
5. Liking (Kesukaan). Semakin seseorang disukai, persetujuan semakin diberikan.
Dalam pemberian pemahaman pentingnya pengembangan energi alternatif
berbasis sumberdaya lokal diperlukan pelibatan tokoh lokal sebagai inisiator.
Dengan demikian, diharapkan masyarakat akan lebih percaya atas pentingnya
pengembangan energi alternatif.
6. Bukti Sosial. Melihat apa yang dilakukan orang lain untuk menjadi panutan
dalam berperilaku. Dalam beberapa kesempatan, beberapa perwakilan
masyarakat juga perlu ditunjukan keberhasilan pengembangan energi alternatif /
DME di daerah lain. Dengan demikian, hal ini akan memotivasi masyarakat
untuk bersedia turut serta mengembangan energi alternatif di desanya.

Secara teknis, Goldstein et al. (2008) kemudian menawarkan beberapa teknik persuasi
yang dapat dilakukan oleh inisiator, yaitu:

62
1. Persetujuan/bukti sosial (social proof)
2. Positif (positives). Berikan penghargaan pada perilaku yang baik, jangan beri
hukuman pada perilaku buruk; sebab hal itu akan menekan saja, tidak
mengubahnya. Apresiasi dan pengakuan lebih kuat daripada kritikan.
3. Terlalu banyak pilihan yang membingungkan (too many choices confuse).
Jangan berikan terlalu banyak opsi pada orang –yang berakibat menjadi
membingungkan.
4. Orang tidak selalu menghargai barang gratis (people don’t value free stuff).
Pada dasarnya tidak semua barang gratisan dapat diterima oleh semua orang.
Namun kita dapat memberikan sebuah nilai pada barang/bonus/hadiah yang kita
tawarkan.
5. Tinggi, sedang, rendah (High, Middle, Low). Memberi perbandingan sesuatu
untuk memperkuat sesuatu hal yang kita tawarkan.
6. Ketakutan Sering Melumpuhkan (fear often paralyzes). Ketakutan
membangkitkan komunikasi; biasanya merangsang penonton untuk mengambil
tindakan untuk mengurangi ancaman tersebut.
7. Berikan bantuan pada orang-orang (do favors for people). Dalam melakukan
persuasi, jangan kita bertanya “siapa yang dapat membantu saya?”. Sebaliknya
tanyakan: “siapa yang mau saya bantu?”. Kemudian, dilanjutkan dengan
melakukan bantuan tersebut.
8. Permintaan personal (personal request). Ketika anda meminta orang-orang
untuk mengerjakan sesuatu, jangan dilakukan secara massal. Sebaliknya
personalisasi permintaan anda dengan mendekati tiap individu.
9. Memberikan hadiah (giving gifts). Hadiah akan diapresiasi lebih baik apabila
memiliki 3 kualitas: penting (significant), tidak diperkirakan sebelumnya
(unexpected), dan personal (personalized).
10. Tidak ada ikatan (no strings attached). Untuk meningkatkan rasa keharusan
untuk membalas jasa, pada awalnya bertindak tanpa ada ikatan.
11. Teknik “Kaki di Pintu” (foot-in-the-door technique). Dapatkan persetujuan
dengan hal yang prinsip. Buat permintaan kecil; komitmen dan konsistensi
bahwa hal tersebut akan berjalan dalam bantuan yang akan diberikan.

63
12. Pemberian label (labeling). Menetapkan sifat, sikap, keyakinan, atau label lain
untuk seseorang, kemudian membuat permintaan untuk orang konsisten dengan
label tersebut. Misalnya, para ketua kelompok tani diminta konsisten dengan
perannya untuk mengorganisasi petani anggota kelompoknya.
13. Menanyakan komitmen (ask for commitment). Contoh: inisiator perlu
menanyakan kembali kepada ketua-ketua kelompok tani, apakah mereka tetap
mau menjalankan tugasnya sebagai ketua kelompok tani.
14. Menuliskan bentuk komitmen (write down commitments). Membuat komitmen
tertulis tentang tujuan dan hal-hal apa saja yang akan dilakukan.
15. Perilaku mengubah sikap (behavior changes attitudes). Tanyakan seseorang
yang tidak menyukai anda untuk membantu anda. Apabila dia bersedia
melakukannya, maka dia akan lebih menyukai anda dengan lebih baik.
16. Bahkan Sedikit Pertolongan (Even a Little Helps). Tunjukan bahwa bantuan
sekecil apapun akan diterima dan bermanfaat untuk masyarakat desa.
17. Mulai Rendah atau Tinggi? (Start Low or High?) Apabila ada banyak penawar,
mulailah dari yang rendah dan bukti sosial akan menghasilkan penawaran yang
kian meningkat. Apabila hanya ada 2 penawar, maka mulailah dengan nilai
yang tinggi untuk memberikan kesan nilai yang lebih baik.
18. Berkelompok Membuat Keputusan Yang Lebih Baik. Dengan berkelompok
orang-orang dapat berkolaborasi dan bekerjasama serta bekerja keras untuk
menciptakan solusi yang lebih baik. Contoh: inisiator harus dapat meyakinkan,
bahwa dengan ikut aktif dalam kelompok untuk mengembangkan energi
alternatif di desa, maka hal tersebut akan mengurangi belanja rumah tangga
untuk energi di masa depan.
19. (Devil’s Advocates Aren’t Convincing) Seseorang yang benar-benar ingkar
menjadi lebih efektif dari seseorang yang bertindak sebagai oposisi. Saat
mengambil keputusan, temukan orang yang benar-benar sebagai oposisi.
Misalnya: inisiator dalam membuat keputusan harus benar-benar
memperhatikan berbagai argumentasi warga desa atau pihak-pihak lain yang
selama ini justru menentang pengembangan energi alternatif dan konsep desa

64
mandiri energi. Dengan demikian, keputusan yang diambil bisa lebih tepat
dengan kondisi dan kebutuhan di masing-masing daerah.
20. Pada saat melakukan pelatihan, fokuskan pada berbagai kesalahan (When
Training, Focus on Errors).
21. Balikkan dan jadikan kelemahan menjadi kekuatan (Turn a Weakness Into a
Strength). Sembunyikan kelemahan, tunjukan kejujuran dan obyektivitas.
22. Ambil alih kesalahan (Take Blame). Jangan bermain dengan saling
menyalahkan. Ambil tanggung jawab untuk kesalahan dan permasalahan.
Jangan salahkan faktor luar, seperti ekonomi, keberuntungan maupun
kompetitor.
23. Temukan kesamaan (Find Similarities). Kesamaan sering dilihat sebagai
langkah awal pemecahan konflik dengan para stakeholder. Temukan kesamaan
dari para inisiator dengan target yang akan dipersuasi (warga desa, tokoh
komunitas) dan berbagi cerita dimulai dengan kesamaan-kesamaan tersebut.
Bentuk bentuk kesamaan tersebut: nama (depan maupun belakang),
kepercayaan, kampung halaman atau almamater.
24. Bercermin (mirroring). Bercermin dapat menciptakan perasaan menyukai dan
memperkuat ikatan kepercayaan di antara dua orang (atau lebih). Hal ini juga
menciptakan keterbukaan.
25. Senyum yang otentik (Smile Authentically). Orang-orang dapat membedakan
antara senyum yang tulus / otentik dengan yang bukan. Agar dapat menjadi
otentik, carilah sesuatu yang disukai tentang seseorang.
26. Informasi eksklusif (Exclusive Information). Terkait dengan prinsip kelangkaan,
orang-orang bersedia membayar lebih, apabila produk/jasa yang mereka ketahui
akan menjadi langka. Contoh: inisiator harus dapat meyakinkan kepada
masyarakat bahwa produk-produk energi baru terbarukan adalah produk yang
memiliki nilai lebih dibandingkan bentuk-bentuk energi yang ada saat ini,
maupun di masa yang akan datang.
27. Keengganan untuk rugi (Loss Aversion). Pada dasarnya, orang dua kali lebih
termotivasi untuk menghindari kerugian karena mereka memperoleh
keuntungan. Contoh: inisiator dapat lebih persuasif apabila bisa meyakinkan

65
sebuah kerangka berpikir kepada warga desa dan pemilik isu lain bahwa mereka
akan mendapat kerugian apabila tidak bertindak atau tidak ikut serta dalam
program DME.
28. Menggunakan kata "karena" bila dikaitkan dengan permintaan dapat
menghasilkan lebih dari dua kali lipat kepatuhan. Selalu jaga permintaan anda
atau poin dengan alasan yang kuat– gunakan “karena.”. Contoh: dalam
berargumen, inisiator hendaknya selalu menekankan bahwa keberhasilan
pengembangan energi baru terbarukan dan DME karena adanya kerjasama yang
kuat antara warga desa-pemda dan pemilik isu lainnya.
29. Jadikan mudah untuk diumumkan dan baca (Be Easy to Pronounce and Read).
Orang-orang memiliki keharusan yang lebih besar untuk kata-kata yang mudah
untuk diucapkan. Misalnya nama perusahaan, simbol-simbol, orang-orang.
30. KISS. (Keep it simple, stupid). Jangan gunakan jargon-jargon atau kata-kata
yang muluk. Contoh: inisiator harus dapat meyakinkan bahwa kehadiran
mereka akan membuat segalanya lebih mudah tanpa harus lebih banyak
menjanjikan berbagai hal.
31. Rhyme and Climb. Penelitian menunjukkan bahwa ketika pemasar memiliki
motto, slogan, merek dagang, atau jingle, hal tersebut akan meningkatkan
persepsi kebenaran. Contoh: dalam pengenalan DME, perlu membuat motto,
slogan, merek dagang dan jingle sebagai upaya meningkatkan kepercayaan para
pemilik isu.
32. Perceptual Contrast.
33. Kotak krayon. Misalnya, menciptakan produk energi baru terbarukan dari desa
sebagai sebuah bentuk produk yang mudah diingat, baik dari aspek nama,
warna dan sebagainya.
34. Norma Sosial Pemasaran (Social Norms Marketing). Orang-orang secara umum
dimotivasi untuk berprilaku sesuai dengan norma sosial. Karenanya sampaikan
pesan-pesan dengan diikuti oleh bukti norma-norma sosial, karena tidak semua
memiliki persepsi yang sama/akurat mengenai norma sosial. Contoh: dalam
menyampaikan program DME ke para pemilik isu, dapat diikuti dengan contoh
pentingnya bergotong royong dalam pengembangan energi baru terbarukan

66
dalam mencapai peningkatan kesejahteraan. Dimana hal itu merupakan
kerjasama antara para pemilik isu.
35. Cermin mengurangi pencurian (Mirrors Reduce Theft). Orang cenderung untuk
bertindak dengan cara yang memperkuat citra yang ingin mereka memiliki dari
diri mereka sendiri. Peletakan cermin di dinding akan menjadikan orang-orang
merasa terus diawasi. Termasuk oleh mereka sendiri. Peletakan cermin akan
mengurangi pencurian hingga 50 persen.
36. Emosi Mempengaruhi Pengambilan Keputusan (Emotions Affect Decision
Making). Ketika dalam keadaan emosi, orang yang dipersuasi akan melakukan
hal-hal yang mereka tidak akan lakukan saat berada kondisi netral (tidak
emosi). Karenanya, inisiator diharapkan tidak melakukan persuasi kepada
orang-orang yang sedang emosi.
37. Konsentrasi dan Menjadi Skeptis (Concentrate and Be Skeptical). Seseorang
yang sedang dalam kondisi lelah atau bingung/terganggu, akan lebih mudah
dipersuasi. Ketika harus membuat sebuah keputusan penting, seseorang harus
berkonsentrasi, menghilangkan gangguan, tetap waspada dan tenang, serta tetap
skeptis. Contoh: inisiator harus tetap dapat bersikap tenang terutama yang
terkait dengan kondisi di daerah yang harus diputuskan
38. Berikan mereka kopi (Give ‘Em Coffee). Kafein membuat orang tetap tersadar
dan membuat mereka lebih waspada. Make your presentation when people are
most alert. Karenanya, dalam menyampaikan konsep DME dapat dilakukan
pada saat sambil minum kopi.
39. Tatap muka adalah yang terbaik (Face-to-Face Best). Tatap muka adalah
bentuk komunikasi yang paling efektif dan terbaik. Oleh karenanya, tekanan
suara, gestures, dan komunikasi non-verbal dapat lebih efektif. Jika tidak dapat
betemu langsung, gunakan video conference atau video chat. Kenali seseorang
melalui jaringan sosial, misal: Facebook – foto dan profil.
40. Kenali Budaya Setempat (Know the Culture). Terkait dengan budaya, beberapa
hal yang harus diperhatikan oleh inisiator ialah:
a. Budaya individu. Kebanyakan berlaku di daerah perkotaan. Dalam budaya
individualistis, iklan dan pesan harus yang menarik bagi individu.

67
b. Budaya kolektif. Kebanyakan berlaku di daerah pedesaan. Dalam budaya yang
lebih kolektif, iklan dan pesan-pesan disampaikan kepada keluarga, kelompok,
suku dan lain-lain.

2.1.19 Berpikir serba sistem

Secara umum inti konsep sistem pada dasarnya diartikan sebagai sebuah penyesuaian
secara keseluruhan (an adaptive whole) (Checkland dan Poulter, 2006). Karenanya,
sistem kemudian memberikan perhatian pada adanya interaksi atau interelasi dan
komunikasi antar bagian (parts) atau subsistem-subsistem dalam sebuah kesatuan
hingga membentuk yang disebut oleh Checkland dan Poulter (2006) sebagai emergent
property. Emergent property adalah properti yang timbul akibat bersatunya bagian-
bagian menjadi suatu keseluruhan, dimana properti tersebut tidak dimiliki oleh tiap-tiap
bagian ataupun onggokan dari bagian-bagian tersebut (Hardjosoekarto, 2012). Lebih
lanjut menurut Hardjosoekarto (2012), emergent property juga mengandung arti
kapabilitas untuk mewujudkan tujuan dari keseluruhan. Selain itu dalam sebuah sistem
juga terdapat mekanisme kontrol atas proses interelasi dan komunikasi yang terjadi serta
susunan entitas berlapis (layered structure). Entitas berlapis yang dimaksud adalah
berbagai subsistem yang terdapat dalam sistem tersebut. Ide tentang entitas berlapis
inilah yang kemudian juga disebut oleh Checkland dan Poulter (2006, hal: 8) menjadi
dasar dalam sistem berpikir (system thinking). Dengan keberadaan proses komunikasi,
kontrol, entitas berlapis serta emergent properties, maka sistem dapat bertahan
menghadapi tekanan perubahan lingkungan di sekitarnya.

68
S
SS
SS
E S : Sistem
SS : Subsistem
E : Lingkungan

3 Gambar 13
4 Inti konsep sistem
Gambar 2.9
Berpikir serba sistem
Sumber: Checkland dan Poulter, 2006

Berpikir serba sistem atau yang sering dikenal dengan system thinking dan system
methodology pada dasarnya lahir dari adanya pemikiran dan kebutuhan bahwa berbagai
metodologi yang telah ada selama ini memiliki berbagai keterbatasan dalam memahami
dan menyelesaikan berbagai kompleksitas persoalan yang ada (Hardjosoekarto, 2012,
hal: xiii).

Terkait dengan penyelesaian permasalahan, maka diperlukan pendekatan dan pemilihan


metodologi yang tepat. Oleh sebab itulah, sebelumnya diperlukan pemahaman
mengenai permasalahan tersebut. Dalam memahami persoalan tersebut, pengelompokan
dapat dilakukan berdasarkan konteks permasalahan yang ada. Secara umum
pengelompokan konteks permasalahan tersebut dapat dibagi menjadi 2 dimensi, yaitu
sistem dan partisipan (Flood dan Jackson, 2004).

Dimensi sistem mengacu pada kompleksitas relatif dalam sistem atau kumpulan sistem
yang membentuk situasi permasalahan, dan dalam hal lain berupa pluralistik yang sulit
atau pemaksaan masalah yang ada. Sistem itu sendiri terbagi menjadi 2, yaitu sistem
yang sederhana (simple system) dan sistem yang kompleks (complex system). (ibid.).
Perbedaan karakter keduanya dapat dilihat pada Tabel 2.4.

69
Tabel 2.4
Perbedaan sistem sederhana dan sistem kompleks
Sistem sederhana (simple system) Sistem kompleks (complex system)
Jumlah elemen sedikit Jumlah elemen banyak
Interaksi antar elemen sedikit Interaksi antar elemen banyak
Atribut dari masing-masing elemen sudah Atribut dari masing-masing elemen
ditentukan. belum/tidak ditentukan.
Pola perilaku sudah jelas Terdapat berbagai kemungkinan dalam
perilakunya
Sistem yang ada tidak banyak berubah Sistem yang ada banyak berubah seiring
seiring dengan berjalannya waktu. dengan berjalannya waktu.
Subsistem tidak berjalan sendiri-sendiri Setiap subsistem memiliki tujuannya
sendiri-sendiri
Sistem tidak terkena dampak dari prilaku Prilaku dapat mempengaruhi sistem
Sistem tertutup pada lingkungan Sistem sangat terbuka pada lingkungan
Sumber: Flood dan Jackson, 2004

Sedangkan dimensi partisipan mengacu pada hubungan (persetujuan atau tidak


persetujuan) antara individu atau bagian-bagian, baik yang berhasil maupun tidak dari
suatu intervensi sistem. Partisipan sendiri oleh Flood dan Jackson (2004) terbagi
menjadi 3, yaitu unitary, pluralist dan coersive. Perbedaan ketiganya dapat dilihat pada
Tabel 2.5.

Tabel 2.5
Perbedaan Unitary, Pluralist dan Coercive
Unitary Pluralist Coercive
Memiliki minat yang sama Memiliki kecocokan minat Tidak ada persamaan minat
Memiliki kecocokan nilai- Pada satu titik tertentu Nilai-nilai dan kepercayaan
nilai dan kepercayaan terdapat penyimpangan berpotensi menjadi sumber
nilai dan kerpercayaan konflik
Secara umum sepakat Dimungkinkan adanya Tidak ada kesepakatan
dengan tujuan dan cara kompromi pada tujuan dan maupun kompromi pada
yang ditempuh cara yang ditempuh tujuan dan cara yang
ditempuh
Semua berpartisipasi dalam Semua berpartisipasi dalam Sebagian pihak memaksa
pengambilan keputusan pengambilan keputusan pihak lain untuk menerima
keputusan

70
Tabel 2.5 (lanjutan)
Perbedaan Unitary, Pluralist dan Coercive
Bertindak dengan tujuan Bertindak dengan tujuan Tidak adanya kesepakatan
yang telah disepakati yang telah disepakati atas tujuan memungkinkan
adanya pengaturan secara
sistemik.
Sumber: Flood dan Jackson, 2004
Kombinasi sistem dan partisipan tersebut, akan menghasilkan suatu matriks 6-sel dalam
memahami konteks permasalahan, sebagaimana dalam Tabel 2.6.

Tabel 2.6
Pengelompokan konteks permasalahan
Simple unitary Simple pluralist Simple coercive
Complex unitary Complex pluralist Complex coercive
Sumber: Flood dan Jackson, 2004

Dengan pemahaman konteks permasalahan tersebut, maka selanjutnya dapat ditentukan


suatu metodologi, khususnya dalam system thinking, yang sesuai dengan permasalahan
yang ada. Dalam perkembangannya, keduanya terbagi menjadi 2 paradigma, yaitu
sistem keras (hard system) dan sistem lunak (soft system) (Hardjosoekarto, 2012). Lebih
lanjut Hardjosoekarto (2012) menyebutkan perbedaan antara sistem keras dan lunak
dapat dilihat dari bagaimana kedua sistem tersebut memandang dunia nyata serta
orientasi penelitiannya.

Tabel 2.7
Perbedaan Hard System dan Soft System
Hard System Soft System
Dunia nyata Strukturnya terbentuk Strukturnya tidak berbentuk
Kompleksitas sederhana Kompleksitas
Orientasi riset Eksternal Internal
Sumber: Hardjosoekarto, 2012

Sementara itu, Checkland dan Poulter (2006) menggambarkan bahwa perbedaan antara
sistem keras dan lunak terdapat pada cara pandang pengamat terhadap dunia nyata.
Pengamat dalam sistem keras melihat bahwa berbagai sistem yang ada di dunia sudah
tersusun secara sistemik. Karenanya, pengamat sistem keras percaya bahwa segalanya
dapat direkayasa.

71
Sistem
Sistem

Sistem Pengamat Pengamat


Dunia nyata Dunia nyata

Hard System Soft System

Gambar 2.10
Perbedaan Hard System dan Soft System
Sumber: Checkland dan Poulter, 2006

Sebaliknya, sistem lunak memandang adanya kompleksitas dan kebingungan


(confusion) yang memerlukan proses penyelidikan (process of inquiry) lebih lanjut
dalam melihat dunia nyata. Karenanya, diperlukan sebuah sistem pembelajaran
sehingga dapat dilakukan eksplorasi secara lebih mendalam.

2.1.19 Soft System Methodology (SSM)

Pada dasarnya, Soft System Methodology (SSM) diperkenalkan dan dikembangkan oleh
Peter Checkland sebagai salah satu proses mencari tahu yang berorientasi aksi atas
situasi problematis dari kehidupan nyata sehari-hari. Metode ini berangkat dari
paradigma kompleksitas penuh, dimana serba sistem dunia nyata bersifat ruwet dan
tidak terstruktur. Analisisnya bersifat insider dengan mengolah sudut pandang manusia
dan berurusan dengan sistem aktivitas manusia (Hardjosoekarto, 2012). Karenanya,
sebagai proses pembelajaran SSM dimulai dengan identifikasi situasi dan permasalahan,
hingga pada akhirnya didapatkan tindakan untuk memperbaiki kondisi dan situasi. Hal
ini dilakukan dengan berdasarkan pada sistem aktivitas manusia. Melalui proses
pembelajaran sebagai cara untuk mencari tahu, maka SSM menjadi lebih dekat pada
konsep dan paradigma pembangunan sosial yang berbasis masyarakat.

Sebagai salah satu metodologi, SSM memiliki tiga ciri utama (Hardjosoekarto, 2012):

1) Pemahaman dan analisis situasi masalah


2) Analisis relasi dan peran para pihak tekait
3) Analisis relasi dan peran politik serta sosial para pihak terkait.

72
Selain itu, secara umum ada 4 prinsip utama dalam SSM (Flood dan Jackson, 2004, hal:
171-172), yaitu pembelajaran, budaya, partisipasi dan “dua cara pikir (two modes of
thought)”. Sebagai prinsip pertama SSM, proses mencari tahu (proses of enquiry) sangat
menekankan pada proses pembelajaran yang berputar secara terus menerus.
Pembelajaran yang dimaksudkan di sini ialah memahami dan mengevaluasi bagian-
bagian dari perubahan-perubahan yang terjadi sebelum memutuskan dan bertindak,
sehingga pada akhirnya menjadi bagian dari perubahan tersebut, namun disertai dengan
persepsi dan evaluasi yang baru serta memunculkan tindakan yang baru pula. Prinsip
budaya yang dimaksudkan dalam SSM ialah kelayakan budaya, ketika sebuah
perubahan terjadi akibat adanya sebuah intervensi. Kelayakan budaya juga merupakan
pedoman bagi pengguna SSM untuk menyatakan dengan pasti, berbagai hambatan
sosial atau organisasi dalam “dunia nyata” yang berpotensi mengalami perubahan,
direkomendasikan untuk dilakukan intervensi dan sebagainya.

Partisipasi sebagai prinsip ketiga, pada dasarnya merupakan salah satu landasan
interpretatif dalam SSM. Karenanya, tanpa adanya jaminan partisipasi, berbagai aplikasi
yang ada dalam SSM menjadi tidak berlaku. Hal ini diartikan bahwa validitas dari
berbagai variasi persepsi tentang sebuah situasi, tidak hanya dimaksudkan untuk
mendorong partisipasi. Namun demikian, dalam faktanya adalah penting untuk
dilakukan, agar dapat diperoleh hasil yang baik, yang dapat dijelaskan / dibuktikan dan
diimplementasikan dengan sukses.

Di sisi lain, yang dimaksudkan dengan “dua cara pikir (two modes of thought)” adalah
abstrak dan sistem berpikir yang ideal, serta konteks khusus yang terkait dengan
berpikir tentang “dunia nyata”; salah satunya memerlukan dasar logika, yang lainnya
memerlukan pemahaman budaya. Kedua hal ini harus jelas dibedakan, agar pemikiran
sistem (systems thinking) yang murni dapat dilakukan dengan tujuan pengembangan
model ideal. Pada perkembangannya, hal ini jangan sampai dicampuradukkan
sebagaimana cerminan situasi di dunia nyata. Pengguna SSM yang berpengalaman akan
mudah bergerak di antara dunia nyata dan dunia abstrak dari pemikiran sistem, namun
tetap memiliki kesadaran dalam perpindahannya. Secara umum, terdapat 7 langkah
dalam SSM.

73
1. Pertama, penentuan situasi permasalahan yang dianggap problematik (problem
situation considered problematic), yaitu mulai mengenali situasi dan
permasalahan yang sedang terjadi pada domain yang sedang diobservasi.
2. Kedua, penggambaran situasi bermasalah (problem situation expressed), yaitu
menggambar sketsa situasi nyata permasalahan ke dalam sebuah diagram yang
disebut rich picture yang besar.
3. Ketiga, pendefinisian akar permasalahan (root definitions of relevant purposeful
activity). Tahap ini menggambarkan sistem aktivitas manusia yang terkait
dengan situasi promatis yang hendak diteliti.
4. Pembuatan model konseptual berdasarkan root definitions (conceptual models of
the systems named in the root definitions).
5. Membandingkan model dengan situasi sesungguhnya (comparison of models
and real world), yaitu melakukan perbandingan antara sketsa situasi riil dengan
model yang dibuat.
6. Melakukan perubahan (change).
7. Melakukan perbaikan/solusi untuk sistem yang direkomendasikan (action to
improve the problem situation), fase akhir adalah melakukan rekomendasi-
rekomendasi perbaikan terhadap sistem yang lama.

Ketujuh tahapan tersebut dapat dimodifikasi menjadi 4 tahap (Hardjosoekarto, 2012).


Pertama, adalah finding out. Pada tahap ini, dilakukan pengenalan, pemahaman dan
pencarian informasi dasar tentang situasi dunia nyata yang dianggap problematis. Tahap
kedua ialah modeling, yaitu pembuatan model dari sistem aktivitas manusia atau sistem
aktivitas yang mempunyai maksud. Ketiga ialah using model to structure debate, yaitu
penggunaan model untuk membahas, diskusi dan mendebatkan situasi dunia nyata yang
dianggap problematis yang telah dirumuskan di awal penelitian. Keempat ialah
defining/taking action. Pada tahap ini dilakukan perumusan dan atau tindakan berkaitan
dengan dunia nyata yang dianggap problematis. Secara umum kelebihan dari SSM
adalah sebuah metodologi yang dapat menawarkan sebuah solusi dengan cara
melibatkan sebanyak mungkin partisipasi para pemilik isu yang terkait. Hal ini

74
sekaligus menjadi kekurangan dari SSM, karena dengan demikian, unsur subyektifitas
dari pendapat masing-masing pemilik isu menjadi tidak dapat terhindarkan.

Berdasarkan beberapa teori yang digunakan dalam penelitian ini, maka dapat
digambarkan dalam skema sebagai berikut:

PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN :
Lingkungan, Sosial dan Ekonomi

Ketahanan energi
nasional

Lingkungan: Sosial: Ekonomi:

1. Konservasi energi 1. Perubahan sosial 1. Pertumbuhan


2. Biofuel 2. Modal sosial ekonomi
3. Usaha pertanian 3. Komunitas berbasis 2. Resources base
berkelanjutan keterampilan value
4. Pengolahan lahan 4. Pengorganisasian dan
berkelanjutan pemberdayaan
5. Tanaman bahan bakar masyarakat
nabati yang efektif dan 5. New Institutional
produktif (yield) Economic and
Sociology
6. Corporate Social
Responsibility
7. Pendekatan
berorientasi aktor
8. 3 tahap perubahan
9. Psikologi persuasi

Gambar 2.11.
Skema kerangka teori 75
Posisi penelitian dan state of the arts

Tabel. 2.8
State of the art dan posisi penelitian
Lingkup Bidang-bidang yang State of the art dan State of the
penelitian diteliti posisi penelitian arts
Pembangunan Model
berkelanjutan (Bank pengembangan
Dunia, 1996; Turner, usaha minyak jarak
1988) berbasis komunitas
Pertumbuhan yang sesuai dengan
Ekonomi
ekonomi(Schumpeter) prinsip-prinsip
Resource base value pembangunan
(Barney, 1991), NIES berkelanjutan
(Nee, 2003) berbasis lingkungan
hidup.
Komunitas (Tönnies, Model
1991) pengorganisasian
Pengorganisasian dan dan pemberdayaan Model
pemberdayaan masyarakat dalam pemberdayaan
masyarakat (Ife dan pengembangan masyarakat
Tesoriero, 2008) biodiesel minyak DME dalam
Intervensi komunitas tanaman jarak yang kerangka
Sosial
(Rothmans dalam Adi, sesuai dengan pembangunan
2007) prinsip-prinsip berkelanjutan
Perubahan sosial pembangunan berbasis
(Horton dan Hunt, berkelanjutan lingkungan
1993; Gilin dan Gilin, berbasis lingkungan hidup.
2007). hidup.

Ketahanan energi Pengembangan


(Yergin, 2006) BBN minyak
Biofuel (Howarth, tanaman jarak yang
Stefan, Luiz, Renee, sesuai dengan
Energi baru Darran dan Oswaldo, prinsip-prinsip
terbarukan 2009). Emisi gas buang pembangunan
campuran biodisel berkelanjutan
minyak tanaman jarak berbasis lingkungan
dengan solar hidup.
(Havendri, 2008)

76
2.2 Kerangka berpikir

Mengacu pada 7 tahapan dalam SSM, penelitian ini dimulai dengan melakukan
pengumpulan data sekunder, khususnya melalui studi dokumen dan literatur mengenai
kegagalan DME berbasis minyak tanaman jarak, terutama yang terjadi di desa
Tanjungharjo, Kabupaten Grobogan Jawa Tengah. Dilanjutkan dengan pengumpulan
data primer melalui wawancara mendalam dan observasi lapangan. Hasilnya, menjadi
bahan dalam menyusun tinjauan dan analisis dalam kerangka 3 dimensi pembangunan
berkelanjutan. Hasil analisis digunakan sebagai bahan dalam penyusunan model
rekonstruksi DME yang sesuai dengan 3 dimensi pembangunan berkelanjutan, dengan
menggunakan 7 rangkaian SSM .

Pengumpulan Wawancara Tinjauan dan analisis


data dan mendalam dengan penyebab kegagalan DME di
analisis para pemilik isu Kabupaten Grobogan dari
dan observasi perspektif 3 dimensi
sekunder
lapangan pembangunan berkelanjutan

Menyusun Model Konseptual Rekonstruksi Model DME

Dimensi Lingkungan Dimensi Ekonomi Dimensi Sosial

Bentuk Model Pengorganisasian dan Pemberdayaan Masyarakat DME

Penyesuaian dan Pelaksanaan Rekonstruksi DME

Gambar 2.12.
Kerangka Berpikir

77
2.3 Kerangka konsep

Variabel Bebas
Sosial: Variabel Terikat
Penguatan Kelembagaan
berbasis partisipasi
masyarakat
Model pemberdayaan
masyarakat DME secara
Ekonomi: berkelanjutan berbasis
Pembinaan Usaha Berbasis
lingkungan hidup
Komunitas

Lingkungan:
Konservasi energi dan
pertanian berkelanjutan

Variabel Kontrol

1. Perpres No. 5 Tahun 2006: Blueprint


pengelolaan energi nasional 2006-2025
2. UU No.19 Tahun 2013 Tentang
Perlindungan & Pemberdayaan Petani
3. UU No.6 tahun 2014 Tentang Desa
4. Subsidi BBM

Gambar 2.13.
Skema kerangka konsep penelitian

78
2.4 Hipotesis
1. Rendahnya pemahaman mengenai konsep DME dari para pemilik isu
merupakan faktor penentu kegagalan DME.
2. Adanya pelembagaan masyarakat desa khusus di bidang energi, merupakan
model pemberdayaan masyarakat masyarakat yang mampu memenuhi
kebutuhan energi secara mandiri dalam DME berbasis minyak tanaman jarak
yang sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sosial, ekonomi
dan lingkungan).

79
3. METODOLOGI
3.1. Pendekatan penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah pendekatan kualitatif. Bentuk
penelitan ini merupakan penelitan riset aksi dengan menggunakan pendekatan berpikir
serba sistem, khususnya dalam hal ini ialah Soft System Methodology (SSM). Dalam
implementasinya, ada 7 langkah yang dilakukan dalam SSM (Hardjosoekarto, op. cit.,
2012), yaitu:

1. Situasi permasalahan yang dianggap problematik (problem situation considered


problematic), yaitu mulai mengenali situasi dan permasalahan yang sedang terjadi pada
domain yang sedang diobservasi. Tahap ini menjadi penting karena pada tahap ini
merupakan proses pencaritahuan kondisi dan situasi dunia nyata yang dianggap sebagai
sebuah masalah. Pengenalan masalah dan situasi dilakukan dengan melakukan studi
pustaka dan referensi, observasi, FGD (Focus Group Discussion) dan wawancara
mendalam dengan beberapa stakeholders terkait, baik yang terlibat secara langsung
(masyarakat yang tinggal di DME, Ditjen EBTKE Kementerian ESDM RI,
Kementerian Pertanian) maupun yang tidak langsung (Pemda).

2. Penggambaran situasi bermasalah (problem situation expressed), yaitu menggambar


sketsa situasi nyata permasalahan ke dalam sebuah diagram yang disebut rich picture
yang besar. Rich picture adalah suatu gambaran mengenai situasi yang memperlihatkan
adanya hubungan antara client, praktisi, dan pemegang isu bermasalah. Dalam
pembuatan rich picture ini digunakan analysis one-two three untuk mendapatkan
informasi (Checkland dan Poulter, 2006):

a. Pengenalan situasi problematis (analisis satu), yaitu dengan menetapkan 3 pihak


yang berperan sangat penting dalam kaitannya dengan permasalahan. Ketiga
pihak yang dimaksudkan ialah klien, praktisi dan pemilik isu (ownership of the
issues address). Penekanan dalam analisa satu ini ialah bagaimana peran dari
ketiga pihak tersebut.
b. Pengenalan situasi problematis sosial (analisis dua). Pada analisis ini praktisi
SSM melakukan analisis sosial dengan memahami situasi sosial secara umum.
Sehingga dapat membuat gambaran yang lebih komprehensif. Penekanan yang

80
dilakukan dalam analisis dua ialah bagaimana proses penciptaan (creates) dan
penciptaan kembali (recreates) pada peran (roles), norma dan nilai-nilai
(values). Peran adalah posisi sosial yang menandai perbedaan diantara anggota-
anggota kelompok atau organisasi. Norma adalah perilaku atau deskripsi
pekerjaan yang harus dilakukan terkait dengan peran masing-masing, sedangkan
nilai-nilai adalah standar atau kriteria prilaku yang sesuai dengan perannya.
c. Pengenalan situasi problematis politik (analisis ketiga). Penekanan yang
dilakukan sama dengan analisis kedua. Namun pada analisis ketiga ini fokus
lebih ditujukan pada sturktur kekuasaan (power) di situasi yang ada.

3. Pendefinisian akar permasalahan (root definitions of relevant purposeful activity).


Pada dasarnya, tahap ini menggambarkan sistem aktivitas manusia yang terkait dengan
situasi promatis yang hendak diteliti. Ada beberapa hal yang dilakukan pada tahapan
ini, yaitu mulai mengumpulkan kata-kata kunci, yang harus didefinisikan masing-
masing ke dalam bentuk jalan cerita proses bisnis secara tekstual dan ringkas. Dari Root
Definition ini, dipetakan ke dalam elemen CATWOE- (Client, Actor, Transformation,
World view, Owner, Environment).

4. Pembuatan model konseptual berdasarkan root definitions (conceptual models of the


systems named in the root definitions). Pada tahap ini berdasarkan root definitions yang
telah dibuat sebelumnya, kemudian dibuat model konseptual. Model ini merupakan
turunan dari proses berpikir serba sistem tentang situasi dunia nyata.

5. Membandingkan model dengan situasi sesungguhnya (comparison of models and real


world), yaitu melakukan perbandingan antara sketsa situasi riil dengan model yang
dibuat.

6. Melakukan perubahan/penyesuaian (changes), jika ada perbedaan maka dilakukan


penyesuaian-penyesuaian hingga model konseptual sudah sesuai dengan situasi riil.

7. Melakukan perbaikan/solusi untuk sistem yang direkomendasikan (action to improve


the problem situation), fase akhir adalah melakukan rekomendasi-rekomendasi
perbaikan terhadap sistem yang lama.

81
Gambar 3.1. Tahapan Soft System Methodology (SSM)
Sumber: http://www.ischool.drexel.edu/faculty/sgasson/SSM/Process.html

3.2. Waktu dan tempat penelitian

Waktu pelaksanaan penelitian ini selama 12 bulan. Lokasi penelitian ini akan dilakukan
di Jakarta dan Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.

3.3. Populasi dan sampel

Populasi yang digunakan dalam penelitan ini ialah masyarakat DME berbasis minyak
tanaman jarak .

Sampel dalam penelitian ini ialah DME berbasis minyak tanaman jarak di Desa
Tanjungharjo Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.

3.4. Variabel penelitian

Variabel penelitian ini terdiri dari:

a) Variabel bebas, yang terdiri dari:


1. Sosial: Penguatan Kelembagaan di Masyarakat
2. Ekonomi: Pembinaan Usaha Berbasis Komunitas

82
3. Lingkungan: Konservasi energi, pengembangan BBN dengan memperhatikan
prinsip-prinsip pertanian berkelanjutan
b) Variabel terikat:
1. Pemenuhan energi masyarakat desa secara berkelanjutan

c) Variabel kontrol:
1. Blueprint pengelolaan energi nasional 2006-2025: Perpres No. 5 Tahun 2006
2. UU No.19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan & Pemberdayaan Petani
3. UU No.6 Tahun 2014 Tentang Desa
4. Subsidi BBM

3.5. Data penelitian


3.5.1. Sumber data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder.
Data primer berupa data hasil wawancara mendalam yang dilakukan kepada para
pemilik isu terpilih, hasil FGD serta hasil pengamatan langsung di lapangan. Data
sekunder berupa data statistik dan laporan lainnya yang terkait dengan pengembangan
Energi Baru Terbarukan (EBT) dan DME.

3.5.2. Sifat data

Data dalam penelitian ini bersifat kualitatif.

3.5.3. Waktu pengambilan data

Dilihat dari waktu pengambilan data, maka penelitian ini menggunakan data cross
sectional, karena peneliti hanya mengambil dan menggunakan data pada waktu-waktu
tertentu.

3.5.4. Metode pengumpulan data

Metode-metode pengumpulan data dalam penelitian ini ialah dengan wawancara


mendalam, observasi, studi pustaka/ dokumen serta pembelajaran partisipatif.
Penggunaan pembelajaran partisipatif terkait dengan penggunaan SSM dan riset aksi.
Dalam pelaksanaannya melibatkan para pemilik isu yang terkait dengan pengembangan
DME berbasis jarak.

83
Teknik pengumpulan data tersebut juga dikombinasikan dengan tahapan-tahapan SSM
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, khususnya terkait dengan tahapan 1 sampai
dengan 6. Sementara pada tahapan 7 diperlukan kerjasama lebih lanjut antara
peneliti/praktisi dengan para pemilik isu. Secara umum, kombinasi pengambilan data
dengan SSM dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1
Deskripsi kombinasi teknik pengumpulan data dengan SSM.
Tahapan SSM Deskripsi Keterkaitan dengan
teknik pengumpulan data
Mengenali Pengumpulan informasi terkair dengan Wawancara, studi pustaka/
situasi permasalahan DME berbasis jarak dokumen dan observasi.
permasalahan dengan cara pengumpulan data primer
(problem dan skunder serta wawancara. Hasil
situation informasi merupakan gambaran
considered berbagai permasalahan, sehingga
problematic) masalah dapat diketahui dan dipahami.
Penggambaran Menguraikan secara sistematis ide-ide Studi pustaka/dokumen
situasi dan memahami situasi: dan wawancara
permasalahan a. Mengidentifikasi pemilik isu
(problem b. Mengidentifikasi peran dan
situation perilaku yang diharapkan dari
expressed) yang terlibat.
c. Menganalisis perbedaan
kekuatan (pengetahuan,
pengalaman, peran, posisi,
akses, kontrol sumber daya.
Pendefinisian Deskripsi terstruktur tentang sistem Studi dokumen dan
kata-kata kunci berupa pernyataan tentang aktivitas wawancara
(root definitions sistem dalam organisasi yang sedang
of relevant diteliti yang terdiri dari apa yang
purposeful menjadi tujuan DME dan aspek-aspek
activity) yang mendukung tercapainya tujuan
tersebut dalam jangka panjang.
Menggambarkan keterkaitan situasi
permasalahan dengan menggunakan
CATWOE, yaitu identifikasi dan
analisis posisi masing-masing pemilik
isu.

84
Tabel 3.1 (lanjutan)
Deskripsi kombinasi teknik pengumpulan data dengan SSM
Tahapan SSM Deskripsi Keterkaitan dengan
teknik pengumpulan data
Pembuatan Ekstarpolasi secara logis model Studi pustaka/dokumen
model sistem konseptual dari setiap akar masalah dan wawancara
berdasarkan root untuk menunjukkan setiap aktivitas
definitions proses yang diuraikan pada tahap
(conceptual definisi dasar, dengan membuat
models of the konstruksi diagram yang melukiskan
systems named batas-batas sistem, keterkaitan atau
in the root ketergantungan antar aktivitas.
definitions)
Membandingkan Membandingkan hasil kajian dengan Studi pustaka/dokumen
model dengan dunia nyata, dan model konseptual dan wawancara
situasi dengan sistem yang relevan. Hal ini
sesungguhnya dilakukan dengan memperhatikan:
(comparison of a. Perbedaan penting dunia nyata
models and real dengan dunia model secara
world) sistematis.
b. Permasalahan lanjutan yang
ditanyakan pada pemilik isu
c. Rancangan tindakan yang
mungkin dilakukan
d. Rancangan perubahan yang
harus dibuat terhadap model
yang ada.
Sumber: Modifikasi dari Raharja, 2008

3.5.5. Instrumen pengumpulan data

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berupa pedoman wawancara
yang digunakan pada saat melakukan wawancara mendalam dengan para pemilik isu
(owner of issue address) terpilih. Pedoman wawancara ini digunakan untuk memperoleh
informasi baru, secara langsung maupun bentuk klarifikasi atas berbagai informasi dan
data yang telah diperoleh sebelumnya.

3.5.6. Analisis data dengan SSM

Analisis SSM dilakukan untuk menemuan permasalahan yang terjadi dalam


pengembangan desa mandiri energi dan menciptakan sebuah bentuk perubahan dengan
melibatkan secara langsung masyarakat di lingkungan desa mandiri energi tersebut. Hal

85
ini dilakukan dengan menghubungkan antara kondisi nyata di lapangan dengan sistem
(kerangka konseptual) yang dibangun.

Clients (C) dalam penelitian ini ialah, Promotor (Prof. Dr. Martani Huseini), Ko-
Promotor (Dr. Ir. Djatnika Puradinata, M.Sc. dan Dra. Francisia Saveria Sika Ery Seda,
M.A., Ph.D.), Program Studi Ilmu Lingkungan UI dan Peneliti (Nugroho Pratomo).
Praktisi (P) dalam penelitian ini ialah Nugroho Pratomo

Owners of issue addressed (O) dalam penelitan ini ialah (1) PT RNI, (2) Kelompok tani
tanaman jarak, (3) Perangkat desa Tanjungharjo, Kecamatan Ngaringan, Kabupaten
Grobogan, (4) Pemerintah Daerah Kabupaten Grobogan, yaitu Badan Lingkungan
Hidup, Badan Pemberdayaan Masyarakat, Dinas pertanian, Dinas Perindustrian,
Perdagangan, Pertambangan dan Energi (5) Kementerian ESDM, yaitu Direktorat
Jendral Energi Baru dan Terbarukan (6) Masyarakat penerima paket kompor minyak
jarak.

Penelitian ini merupakan kegiatan riset aksi berbasis SSM (SSM based action
research). Riset aksi yang dimaksudkan di sini ialah yaitu penerapan SSM dalam
bentuk interaksi dan intervensi dengan dunia nyata yang dianggap problematis
(Hardjosoekarto, 2012). Menurut McKay dan Marshall (2001), sesuai namanya, dalam
riset aksi akan selalu terdapat hal, yaitu riset dan tindakan, atau praktek dan teori.
Karenanya, riset aksi memiliki siklus ganda atau dual imperatives of action research.
Lebih lanjut lagi, riset aksi berkomitmen untuk memproduksi pengetahuan baru melalui
pencarian solusi atau peningkatan bagi permasalahan praktis dalam “kehidupan nyata”
(Elden and Chisholm, 1993; Shanks et al., 1993 dalam McKay dan Marshall, ibid.).

Dalam pelaksanannya, riset aksi dengan siklus ganda ini diperlukan kerangka kerja
teoritis (F), metodologi untuk keperluan riset (MR), metodologi untuk keperluan
pemecahan masalah (MPS), deskripsi situasi masalah dunia nyata (P) dan pertanyaan
penelitian tertentu (A) (Hardjosoekarto, 2012, loc. cit.). Sebagai gambaran pelaksanaan
riset aksi siklus ganda dapat dilihat pada Gambar 3.2.

86
Gambar 3.2
Kerangka Riset Aksi Siklus Ganda
Sumber: McKay and Marshall, 2001

Setelah menentukan tema penelitian, maka peneliti dengan menggunakan kerangka


teoritis (F), metode riset (MR) dan metode pemecahan masalah (MPS), kemudian
mengamati persoalan dunia nyata (P) untuk kemudian peneliti menemukan berbagai
pertanyaan penelitian (A). Selanjutnya, peneliti kembali merefleksikan hasil
pengamatan dengan berdasarkan F, MR dan A tersebut kepada tema penelitian.
Kegiatan ini pada dasarnya merupakan bagian dari apa yang disebut oleh McKay dan
Marshall sebagai riset atau teori. Namun sebagai upaya pemecahan masalah atau
tindakan, pada saat yang bersamaan peneliti juga melakukan berbagai upaya atau
tindakan untuk memperbaiki permasalahan yang ada (P dan MPS). Dari hasil riset dan
refleksi hasil perbaikan situasi tersebut, maka diharapkan akan menjadi sebuah temuan
baru yang menjadi sumbangan dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti.

87
Tabel 3.2
Kerangka Umum Riset Tindakan DME Berbasis Minyak Tanaman Jarak
Kerangka teoritis (F) Bagaimana bentuk model pemberdayaan
masyarakat berbasis partisipasi, yang dapat
melibatkan secara aktif seluruh pemilik isu,
menjadikannya sebagai modal sosial yang efektif
model pengelolaan lingkungan, rantai pasok dan
bentuk unit usaha bersama komunitas/
masyarakat desa dalam pengembangan desa
mandiri energi yang berkelanjutan secara sosial,
ekonomi dan lingkungan hidup.
Metodologi untuk keperluan riset SSM
(MR)
Situasi problematis dunia nyata (P) Rangkaian kegiatan pengembangan DME yang
bertujuan untuk memenuhi 60% kebutuhan
energi masyarakat secara mandiri dengan
memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan. Pengembangan DME harus dapat
melibatkan secara aktif seluruh pemilik isu,
sebagai modal sosial utamanya.
Area spesifik yang akan diteliti (A1/ Merekonstruksi model pemberdayaan
sosial) masyarakat yang mampu melibatkan secara aktif
seluruh pemilik isu, sebagai modal sosial dalam
pengembangan DME yang sesuai dengan
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan
berbasis lingkungan hidup.
Area spesifik yang akan diteliti (A2/ Merekonstruksi metode pengelolaan lingkungan
lingkungan) melalui pengelolaan lahan berkelanjutan, usaha
pertanian berkelanjutan serta pemilihan jenis
komoditas yang tepat dalam pengembangan
DME yang sesuai dengan prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan berbasis lingkungan
hidup.
Area spesifik yang akan diteliti (A3/ Merekonstruksi model rantai pasok dan bentuk
ekonomi) unit usaha bersama milik komunitas/ masyarakat
desa yang tepat bagi produk BBN dalam
pengembangan DME yang sesuai dengan
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan
berbasis lingkungan hidup.
Sumber : Olahan Peneliti

Sesuai dengan tahapan dalam SSM, maka analisis dalam penelitian ini terbagi menjadi
beberapa tahap :

88
a. Tahap 1-2

Pada tahap ini dilakukan pengelompokan para pemilik isu dengan memperhatikan
masing-masing peran. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan pemahaman
menyeluruh atas kondisi dan situasi yang terjadi di Desa Tanjungharjo, Kabupaten
Grobogan, Jawa Tengah. Pada dasarnya, pengelompokan tersebut didasarkan pada
aktivitas tiap-tiap pemilik isu, persepsi para pemilik isu tersebut terkait dengan DME
berbasis minyak tanaman jarak, serta kekuatan dan posisi tawar masing-masing pemilik
isu.

Dalam tahap ini pula dilakukan analisis budaya dan kelembagaan. Analisis budaya
dalam penelitian ini pada dasarnya merupakan salah satu aspek penting yang tidak dapat
dipisahkan. Dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi, budaya menjadi salah satu
aspek yang patut dipertimbangkan dalam melihat keberhasilan maupun kegagalan
sebuah proses pembangunan ekonomi. Menurut Grondona (dalam Harrison and
Huntington, 2000) nilai-nilai budaya tidak hanya berpengaruh pada pembangunan
ekonomi. Lebih dari itu, pembangunan ekonomi adalah bagian dari proses budaya itu
sendiri. Karenanya analisis budaya digunakan dalam penelitian untuk melihat faktor-
faktor apa saja yang mempengaruhi kegagalan sebuah proyek DME. Terkait dengan
tujuan dari DME sebagai salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan energi masyarakat
Indonesia, analisis budaya digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam membangun
konsep pengembangan DME; yang mengedepankan peran aktif komunitas di dalamnya.
Dengan adanya peran aktif tersebut, maka proyek DME diharapkan benar-benar akan
menjadi bagian yang penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia.

Sementara itu, analisis kelembagaan dilakukan dengan mengingat bahwa keberadaan


DME tentunya tidak terpisahkan dengan peran keterlibatan berbagai institusi
pemerintah, baik pusat maupun daerah. Berangkat dari kondisi tersebut, analisis
kelembagaan digunakan sebagai mekanisme untuk melihat sejauhmana keterlibatan
pemerintah (pusat dan daerah) dalam kegagalan sebuah DME. Analisis kelembagaan
juga digunakan untuk melihat sejauhmana peran serta dari institusi-institusi formal dan
non formal di luar struktur pemerintahan yang ada di masyarakat. Hal ini penting
mengingat keberadaan institusi-institusi tersebut seringkali justu menjadi panutan dan

89
rujukan masyarakat luas. Karenanya, analisis kelembagaan dalam penelitian ini
dilakukan dengan melihat bentuk relasi antar institusi yang ada di masyarakat, baik
institusi formal maupun non formal. Analisis kelembagaan juga dilakukan dengan
melihat sejauhmana peranan dari tokoh-tokoh informal yang dianggap memiliki
pengaruh dalam masyarakat.

Tabel 3.3
Institusi/lembaga yang Terlibat Secara Langsung dan Tidak Langsung dalam DME
Formal Informal
1. Ditjen EBTKE ESDM 1. Kelompok Tani
2. Dinas Perindustrian, Perdagangan 2. Rumah Tangga
dan ESDM Kab. Grobogan pengguna
Institusi
3. Bappeda Kab. Grobogan
4. Lurah/kepala Desa Tanjungharjo
5. PT Enhil
6. Pertamina
7. Pengurus Koperasi “Dian DME”

b. Tahap 3-4-5

Dalam tahap ini, peneliti berusaha membangun sebuah pemahaman tentang desain
sebuah DME berbasis minyak jarak yang paling efektif dan efisien serta sesuai dengan
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan berbasis lingkungan hidup khususnya di
Desa Tanjungharjo, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Peneliti juga berusaha
memahami pelaksanaan pengembangan DME berbasis minyak tanaman jarak di Desa
Tanjungharjo, hingga pada akhirnya diperoleh sebuah root definition. Selain itu, peneliti
juga melakukan berbagai kajian dokumen dan literatur lainnya, hingga berhasil
membangun sebuah model konseptual. Selanjutnya, peneliti juga berusaha mengungkap
berbagai persepsi, tanggapan dan evaluasi dari para pemilik isu terkait dengan
pengembangan DME berbasis minyak tanaman jarak. Sebagai hasilnya, diharapkan
muncul root definition dan model konseptual yang sesuai dan konsisten dengan kondisi
nyata; khususnya dengan berbagai kegiatan sehari-hari para pemilik isu. Selanjutnya,
dilakukan pembandingan antara model konseptual para pemilik isu dengan model
konseptual yang dibuat oleh peneliti.

90
Pada waktu yang bersamaan, selama pelaksanaan tahapan 1 sampai dengan 5 ini,
peneliti juga melakukan analisis kelembagaan dan berbagai kegiatan riset aksi. Sebagai
hasil atas berbagai kegiatan tahapan 1 sampai 5 ini, maka diharapkan peneliti dapat
menjawab pertanyaan nomor 1 dan 3 dari penelitian ini.

c. Tahap 6

Kegiatan dalam tahapan ini pada dasarnya adalah melakukan evaluasi dan membangun
sebuah “kesepakatan” atas rumusan model pembangunan sosial ekonomi DME yang
sesuai dengan pembangunan berkelanjutan berbasis lingkungan hidup. Pelaksanaan
tahapan ini juga dilakukan dengan mengkombinasikan analisis budaya dan
memperhatikan hasil dari riset aksi yang telah dilakukan pada tahapan sebelumnya.
Dengan demikan diharapkan peneliti akan memperoleh sebuah bentuk pengorganisasian
dan pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan DME berbasis minyak tanaman
jarak yang sesuai dengan pembangunan berkelanjutan berbasis lingkungan hidup.
Melalui tahapan ini diharapkan akan sekaligus pula menjawab pertanyaan nomor 2 dari
pertanyaan penelitian ini.

91
4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Deskripsi lokasi


4.1.1. Kabupaten Grobogan

Kabupaten Grobogan secara geografis berada diantara 110015’BT-111025’BT dan 70LS-


7030’LS. Di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Semarang dan Kabupaten
Demak. Sebelah utara dengan Kabupaten Kudus, Kabupaten Pati dan Kabupaten Blora.
Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Blora. Sebelah selatan berbatasan dengan
Kabupaten Ngawi, Kabupaten Sragen, Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Semarang.
Luas Kabupaten Grobogan adalah 1.975,86 km2 atau 197.586,420 Ha . Luas ini
menjadikan Grobogan sebagai kabupaten terluas kedua di Jawa Tengah setelah
Kabupaten Cilacap. Berdasarkan topografinya, kabupaten ini terbagi menjadi 3. Pertama
adalah dataran rendah yang berada sampai 50 meter dpl, dengan kelerengan 00-80.
Dataran rendah tersebut terdiri atas Kecamatan Gubug, Tegowanu, Godong, Purwodadi,
Grobogan sebelah selatan, dan Wirosari sebelah selatan. Kedua, daerah perbukitan,
dengan ketinggian 50-100 meter dpl. dan tingkat kelerengan 80-150. Daerah perbukitan
ini terdiri atas Kecamatan Klambu, Brati, Grobogan sebelah utara, dan Wirosari sebelah
utara. Ketiga adalah dataran tinggi dengan ketinggian 100-500 meter dpl dan kelerengan
lebih dari 150. Dataran tinggi tersebut terdiri atas kecamatan-kecamatan yang berada di
selatan Grobogan. Secara keseluruhan Kabupaten Grobogan terdiri dari 19 Kecamatan
dan 280 Desa/Kelurahan. Diihat dari penggunaan luas lahan yang dimiliki oleh
Kabupaten Grobogan, penggunaan lahan untuk sawah sebesar 65.185,220 Ha dan bukan
sawah sebesar 132.401,200 Ha. Luasan tanah sawah tersebut terbagi menjadi (BPS
Kabupaten Grobogan, 2013):

a) Irigasi teknis: 18.221,290 Ha.


b) Irigasi setengah teknis: 1.487 Ha.
c) Irigasi sederhana: 10.332,770 Ha.
d) Irigasi tadah hujan: 35.144,160 Ha.

Diantara lahan pertanian bukan sawah tersebut juga ada lahan hutan rakyat seluas 4.399
Ha dan hutan negara seluas 68.632,320 Ha. Iklim Kabupaten Grobogan termasuk dalam

92
tipe D, yaitu bersifat 1-6 bulan kering dan 1-6 bulan basah. Suhu minimum adalah 260C.
Rata-rata curah hujan di tahun 2011 tercatat sebanyak 2112 mm (ibid., hal 5-8).

Berdasarkan demografinya, jumlah penduduk Kabupaten Grobogan pada Tahun 2013


tercatat sebesar 1.402.760 jiwa. Pada tahun tersebut tersebut, jumlah penduduk di
Kabupaten Grobogan lebih banyak berjenis kelamin laki-laki daripada perempuan.
Komposisi jumlah penduduk laki-laki sebanyak 705.352 jiwa dan jumlah penduduk
perempuan sebanyak 697.408 jiwa. Dengan rasio jenis kelamin penduduk mencapai
101%. Hal ini berarti bahwa setiap 100 jiwa penduduk perempuan terdapat 101 jiwa
penduduk laki-laki. Jika dilihat berdasarkan jumlah penduduk per wilayah, maka
Kecamatan Purwodadi merupakan wilayah yang paling banyak penduduknya, yaitu
mencapai 129.126 jiwa. Kecamatan yang paling sedikit jumlah penduduknya adalah
Kecamatan Klambu, dengan jumlah penduduk sebanyak 38.034 jiwa. Berdasarkan
struktur kelompok usia penduduk, maka yang terbesar adalah kelompok usia 20-24
tahun, yaitu sebanyak 126.141 orang. Kedua adalah kelompok usia 25-29 tahun
sebanyak 122.282 orang, dan kelompok usia 30-34 tahun sebanyak 120.384 orang.
Berdasarkan komposisi tingkat pendidikan penduduk usia 5 tahun ke atas, tertinggi
ditempati kategori tamatan SD atau sederajat sebanyak 49% (639.539 orang), diikuti
yang tidak atau belum tamat SD sebanyak 22%, SLTP atau sederajat 17%, tamatan
SMU atau sederajat 10%, dan terakhir adalah tamat Akademi/Diploma, S1, S2, dan S3
sebanyak 2% (http://grobogan.go.id/index.php/pendidikan, diakses: 17 Desember 2014
pk. 08.59 WIB).

Tabel 4.1
Tingkat Pendidikan Penduduk Kabupaten Grobogan 2013
No Tingkat pendidikan Jumlah (orang)
1 Tidak/belum tamat SD 294.318
2 Tamat SD 639.539
3 Tamat SLTP 226.956
4 Tamat SLTA 129.985
5 Tamat akademi/S1/S2/S3 30.874
Sumber: http://grobogan.go.id/index.php/pendidikan, diakses: 17 Desember 2014
pukul:8.59

93
4.1.2. Desa Tanjungharjo

Desa Tanjungharjo terletak pada Kecamatan Ngaringan, Kabupaten Grobogan Jawa


Tengah. Desa ini secara geografis berada pada 07o03’16”LS dan 111o11’06”BT. Luas
Desa Tanjungharjo adalah 16,97 km2. Nama Tanjungharjo sendiri berasal dari kata
‘Tanjung’ yang berarti nama pohon Tanjung; nama ini juga dapat diartikan sebagai
tempat. Sedangkan kata ‘Harjo’ memiliki arti makmur, dalam hal ini diartikan sebagai
kemurahan pangan. Sejarah penamaan Desa Tanjungharjo pada awalnya berasal dari
nama tanaman di daerah sendang pertaman. Tanaman tersebut adalah pohon Tanjung
yang setiap hari didatangi burung-burung (http://grobogan.go.id/pemerintahan/
kecamatan/kecamatan-ngaringan/desa-di-ngaringan/841-desa-tanjungharjo-kec-
ngaringan.html, diakses 20 Februari 2014 pk. 08.34 WIB).

Desa ini secara umum terdiri dari 11 dusun, yaitu Krajan Barat, Krajan Timur, Taman,
Wonorejo, Sendangharjo, Nguling, Dorosemi, Sepreh, Geritan, Pakem, dan Gelapan.
Desa ini juga terdiri dari 46 RT dan 13 RW. Beberapa fasilitas pendidikan yang ada
ialah 3 PAUD, 4 TK dan 3 SD. Sedangkan untuk fasilitas kesehatan, terdapat
Puskesmas Kecamatan yang dilengkapi dengan fasilitas rawat inap dan ambulan.
Hampir sepertiga dari luas desa merupakan lahan milik kehutanan. Karenanya, sebagian
warga desa juga ada yang bekerja pada lahan milik kementerian kehutanan tersebut.
Desa Tanjungharjo memiliki beberapa potensi, khususnya di bidang pertanian, yaitu
padi, jagung, kacang hijau, kedelai; di bidang peternakan, yaitu sapi, kerbau, kambing,
dan unggas. Beberapa potensi industri rumahan yang ada adalah tempe, krupuk, dan
criping. Potensi lain yang ada ialah pertambangan, terutama pasir kali. Sampai dengan
Bulan Januari 2012, jumlah penduduk mencapai 6.854 jiwa. Jumlah tersebut terdiri dari
laki-laki sebanyak 3.455 jiwa dan perempuan sebanyak 3.399 jiwa (ibid.).

4.2. Keterbatasan Penelitian

Secara umum penelitian ini memiliki sejumlah keterbatasan:

1. Dilihat dari 7 langkah SSM, penelitian ini hanya dilakukan hingga pada langkah
keenam (melakukan perubahan/ penyesuaian). Hal ini terjadi karena

94
keterbatasan akses, biaya dan waktu untuk melakukan tindakan/ menerapkan
perubahan (action to improve the problem situation).
2. Solusi yang ditawarkan melalui model konseptual masih bersifat umum.
Diperlukan penelitian lebih lanjut seperti studi kelayakan, untuk menerapkan
model konseptual yang ada, dengan memperhatikan perkembangan kebijakan
pemerintah dan perkembangan kondisi sosial ekonomi daerah dan masyarakat,
khususnya di Desa Tanjungharjo, Kecamatan Ngaringan, Kabupaten Grobogan
Jawa Tengah.

4.3. Desa Tanjung Harjo sebagai desa mandiri energi

4.3.1. Awal pencanangan

Pengembangan Desa Tanjung Harjo sebagai sebuah DME dimulai ketika adanya
investasi PT Enhil yang diprakarsai oleh 2 orang yaitu Hartono dan Rama Prihandana
(wawancara personal dengan Direktur PT Enhil tanggal 15 Februari 2014). PT Enhil
yang didirikan pada tahun 2005, merupakan sebuah perusahaan swasta yang mencoba
mengembangkan minyak tanaman jarak sebagai alternatif bahan bakar nabati untuk
sebagai pengganti minyak solar yang ada selama ini, khususnya untuk kebutuhan
biodisel pada pabrik-pabrik gula milik PT RNI. Kebijakan ini dimulai ketika Rama
Prihandana, Dirut baru RNI yang diangkat tahun 2001 saat BUMN tersebut terancam
bangkrut, mencari cara untuk efisiensi produksi gula RNI. Ia menemukan dua solusi:
pertama, dengan pemanfaatan limbah tebu sebagai langkah pengurangan konsumsi
BBM di proses produksi; dan kedua, dengan pemanfaatan asset lahan RNI yang belum
terpakai. Penggunaan jarak sebagai sumber energi alternatif merupakan bagian dari
solusi kedua.

Kehadiran investor PT. Enhil di Kabupaten Grobogan oleh Pemda pada awalnya
memang kurang memberikan dukungan. Pihak pemda, awalnya memang tidak
mendukung karena tanaman jarak yang selama ini hanyalah tanaman liar pembatas
rumah. Seiring gencarnya kampanye mengenai potensi biodiesel jarak sebagai
pengganti BBM khususnya yang dilakukan PT. RNI, dalam hal ini oleh Rama
Prihandana selaku presiden direktur selama tahun 2005-2007 (Simanjuntak, 2014),

95
pemerintah pada akhirnya tertarik untuk kemudian menjadikan biodisel jarak sebagai
salah satu bagian dari pengembangan energi alternatif. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan Robert Manurung, peneliti ITB yang mendalami minyak tanaman jarak sejak
1994, Prihandana kemudian mulai mempromosikan tanaman ini ke berbagai aktor elit,
salah satunya Presiden SBY. Kemungkinan minyak tanaman jarak untuk menjadi
alternatif dan dapat diolah menjadi produk lain seperti sabun, pupuk organik, dan
biogas, meningatkan antusiasme terhadap tanaman ini.

Puncaknya pada di tahun 2006 ketika presiden mengeluarkan dekrit mengenai kebijakan
nasional di bidang energi yang menyangkut empat tanaman sebagai sumber energi:
tebu, sawit, singkong, dan jarak (Simanjuntak, 2014, hal: 3791). Hal ini terkait pula
dengan dikeluarkannya Perpres No. 5 Tahun 2006 Blueprint pengelolaan energi
nasional 2006-2025. Pemerintah juga membentuk sebuah tim yang salah satu tugasnya
adalah menyusun cetak biru pengembangan biofuel dan akselerasi pengentasan
kemiskinan. Di dalam cetak bitu ini direncanakan untuk memanfaatkan 5,25 juta hektar
lahan kritis untuk pengembagan biofuel atau setara dengan penciptaan 1000 DME pada
tahun 2010. Kebijakan DME ini pula sekaligus menandai dimulainya fokus baru atas
biodiesel jarak sebagai salah satu bagian dari program pengentasan kemiskinan (ibid).
Hasil wawancara dengan mantan Dirjen Migas Evita Legowo (tanggal 16 Mei 2014)
dapat disimpulkan bahwa, program nasional DME dicanangkan pada pertengahan 2006
diambil dalam sebuah rapat kabinet yang diperluas. Ide DME pada dasarnya
disampaikan langsung oleh presiden. Pada dasarnya, program DME tersebut merupakan
program pengembangan bahan bakar nabati. Program tersebut terbagi menjadi 2 bentuk,
yaitu skala besar dan kecil. Sebagai salah satu bentuk pengembangan BBN skala kecil,
didalamnya terdapat program DME. Tujuannya adalah agar dapat dilakukan langsung
oleh masyarakat (wawancara personal dengan Direktur Konservasi Energi Kementerian
EBTKE tanggal 17 Juni 2014). Presiden pada saat itu, juga akan menyampaikan akan
meresmikan DME ke Grobogan dan akan memberikan bantuan kepada para petani.
Dalam rangka pencanangan program DME inilah kemudian Desa Tanjung Harjo terpilih
menjadi tempat peresmian dimulainya program oleh presiden pada tanggal 21 Februari
2007.

96
Pada acara yang dipusatkan di PT. Enhil tersebut, presiden kemudian menjanjikan
bantuan kepada 15 kelompok tani sejumlah Rp 10 milyar. Bantuan tersebut rencananya
akan diambil dari dana CSR PT. Pertamina (wawancara personal dengan Evita Legowo
tanggal 16 Mei 2014, wawancara personal dengan dengan Didik anggota tim nasional
biofuel ESDM, staf ahli Dirut Pertamina tanggal 19 Mei 2014 dan wawancara personal
dengan Rudi Sastiawan anggota tim CSR PT. Pertamina tanggal 20 Mei 2014). Meski
acara seremonial pemberian bantuan tersebut dilakukan pada acara tersebut, namun PT
Enhil pada dasarnya tidak mengetahui sama sekali mengenai asal muasal dan proses
pecairan serta penyaluran dana bantuan tersebut (wawancara personal dengan direktur
PT. Enhil tanggal 15 Februari 2014).

Pada perjalanannya, setelah hampir 2 tahun lebih dana yang dijanjikan belum juga cair.
Hal ini pada dasarnya terkait dengan aspek teknis tentang tata cara pemberian bantuan
tersebut yang memerlukan koordinasi antar lembaga. Hal ini memang sempat
menimbulkan keresahan di masyarakat. Namun akhirnya diputuskan bahwa dana
bantuan akan diberikan langsung kepada rekening petani dengan sistem transfer
langsung. Hal ini dilakukan sesuai dengan aturan penyaluran dalam PKBL. Pertamina
juga telah mencoba membagikan mesin kepada masing-masing kelompok tani, dengan
maksud agar tiap-tiap kelompok dapat memproduksi sendiri minyak jarak (wawancara
personal dengan Rudi Sastiawan anggota tim CSR PT. Pertamina tanggal 20 Mei 2014).
Namun hal tersebut dinilai tidak terlalu berhasil, akhirnya dibentuk sebuah koperasi
yang akan mengelola mesin pengolahan biodisel jarak tersebut. Mesin pengolah biodisel
minyak jarak tersebut berada di Kecamatan Toroh. Lokasi ini berbeda dengan Desa
Tanjung Harjo yang berada di Kecamatan Ngaringan. Koperasi yang bernama “Dian
DME” tersebut beranggotakan 14 kelompok tani. Mereka kemudian mencoba
mengembangkan biodiesel minyak jarak tersebut dengan dampingan dari pihak
Pertamina. Melalui pendampingan tersebut, Pertamina juga membuat sebuah
“workshop” dan sebuah “kantor” sebagai tempat sosialisasi kepada petani mengenai
manfaat membudidayakan tanaman jarak, khususnya untuk biofuel. Sebagai hasilnya,
petani mulai mau menanam jarak. Pembudidayaan tanaman jarak tersebut tersebar di
beberapa daerah di Grobogan dengan kondisi lahan yang berbeda-beda. Pertamina

97
membeli lahan untuk pembibitan di Kecamatan Toroh serta juga berkerjasama dengan
UGM dan membeli mesin press untuk biji jarak dari Jawa Timur. Sumber bibitnya
diambil dari Balai Tanaman Industri dan Penyegar (Balittri) Kementerian Pertanian di
Sukabumi.

Meski demikian, pabrik biodisel yang terdapat di Kecamatan Toroh tersebut juga tidak
dapat berjalan dengan baik. Hasil wawancara personal dengan pembina Koperasi Dian
DME di Kecamatan Toroh (tanggal 19 Juni 2014), memperlihatkan bahwa persoalan
utama terletak pada harga produk minyak tanaman jarak yang masih terlalu mahal jika
dibandingkan dengan BBM solar. Kedua adalah, pasokan minyak tanaman jarak yang
terbatas. Panen biji tanaman jarak selama ini hanya bisa dilakukan sebanyak satu kali
setahun. Biji tanaman jarak yang dihasilkan juga mengalami penurunan, terlebih setelah
mendapat serangan jamur yang relatif sulit diatasi. Sebagai akibatnya, mesin multi
fungsi yang merupakan hibah dari Pertamina dengan kapasitas hingga 5.000 liter per
hari menjadi tidak optimal. Selama tahun 2011, kapasitas produksi yang bisa dilakukan
hanya mencapai 3.000 liter per hari. Minyak tanaman jarak yang dihasilkan pada
akhirnya hanya mampu memenuhi kebutuhan minyak diesel untuk keperluan pabrik
sendiri. Dengan demikian, koperasi yang ada juga belum pernah memasarkan atau
mendistribusikan hasil produksinya kepada masyarakat.

4.3.2. Tinjauan aspek lingkungan

Jika dilihat dari sisi lingkungan dan sifat jenis tanaman jarak itu sendiri, pemilihan jenis
tanaman jarak yang sesuai dengan kondisi lahan dan iklim juga menjadi penting. Pada
awal pengembangan biodiesel minyak jarak di Kabupaten Grobogan, sumber biji jarak
sebagai bahan baku minyak berasal dari tanaman liar yang berada di sekitar rumah
masyarakat. Proses pengembangan dan pengolahan biji jarak menjadi minyak tanaman
jarak tersebut sudah berjalan selama kurang lebih 2 tahun. Selama itu, produksi pabrik
telah mencapai 700 liter per hari. Seiring dengan penetapan Kabupaten Grobogan
sebagai salah satu desa mandiri energi dan kehadiran program CSR Pertamina, untuk
keperluan bahan baku utama biodiesel minyak jarak, bibit tanaman jarak kemudian
didatangkan dari Balittri milik Kementerian Pertanian. Namun pada kenyataannya

98
permasalahan yang terjadi adalah penurunan produktivitas tanaman jarak yang terjadi
setelah 5-6 tahun. Padahal tanaman jarak diharapkan akan mencapai puncaknya pada
usia 9 tahun. Sedangkan panen biji tanaman jarak selama ini hanya bisa dilakukan
sebanyak satu kali setahun. Biji tanaman jarak yang dihasilkan juga mengalami
penurunan, terlebih setelah mendapat serangan jamur yang relatif sulit diatasi. Persoalan
ini sendiri baru diketahui oleh Kementerian Pertanian.

Kondisi seperti tersebut pada dasarnya menunjukan bahwa daya dukung lahan yang ada
di Kabupaten Grobogan dan Sukabumi sangat berbeda. Kondisi iklim Kabupaten
Grobogan seperti telah disampaikan sebelumnya merupakan tipe D, yaitu bersifat 1-6
bulan kering dan 1-6 bulan basah. Suhu minimum adalah 260C. Rata-rata curah hujan di
tahun 2011 tercatat sebanyak 2112 mm. Sementara untuk Kabupaten Sukabumi lebih
bertipe B, dengan curah hujan rata-rata tahunan sebesar 2.805 mm dan hari hujan 144
hari. Suhu udara berkisar antara 20 - 300 C dengan kelembaban udara 85 - 89 persen.
Curah hujan antara 3.000 - 4.000 mm/tahun terdapat di daerah utara, sedangkan curah
hujan antara 2.000- 3.000 mm/tahun terdapat dibagian tengah sampai selatan Kabupaten
Sukabumi (http://www1.jabarprov.go.id/index.php/pages/id/1042, diakses 29 Mei 2015
pukul: 21.02). Perbedaan kondisi iklim ini pula yang sedikit banyak mempengaruhi
pertumbuhan tanaman jarak yang dibawa dari Balittri dengan yang memang sudah ada
sejak awal di daerah Grobogan.

4.3.3. Tinjauan aspek ekonomi

Jika dilihat dari aspek ekonomi, pada saat dilakukan penelitian awal hasilnya memang
menunjukan bahwa tanaman jarak memng memiliki potensi secara ekonomi untuk
dikembangkan. Melalui hasil penelitian yang dilakukan oleh Robert Manurung, dia
melihat bahwa tanaman jarak dapat meningkatkan pendapatan petani jika setiap petani
memiliki 3 hektar lahan untuk ditanami 2500 batang tanaman jarak per hektar. Apabila
diperkirakan setiap panen menghasilkan 10 ribu kg biji per hektar dan harga per
kilogram Rp 500, maka tiap keluarga petani akan mendapatkan pendapatan tambahan
sebesar Rp 1,25 juta setiap bulan (Simanjuntak, 2014).

99
Kenyataan yang terjadi pada kasus DME di Kabupaten Grobogan memperlihatkan
bahwa permasalahan utama yang dihadapi adalah harga yang tidak ekonomis. Secara
umum hal ini terkait dengan aspek kebijakan. Permasalahan keekonomian atas biodiesel
minyak jarak muncul karena pemerintah juga masih memberikan subsidi atas BBM dan
LPG 3 kg. Ketidakekonomisan ini juga terlihat jika dibandingkan antara harga jual
LPG 3 kg dengan proses produksi minyak jarak tersebut. 1 kg biji jarak jika dipres
hanya menghasilkan minyak 25% atau 0,25 liter. Padahal rata-rata 1 kompor
memerlukan minyak sebanyak 2 liter atau setara dibutuhkan sekitar 8 kg biji jarak.
Dengan luasan tanaman jarak yang dimiliki petani yang cuma sekitar setengah hektar,
maka hasilnya menjadi tidak ekonomis. Begitu pula jika dibandingkan antara tenaga
yang dikeluarkan untuk menghasilkan minyak jarak dengan berbagai aktivitas lain yang
biasa mereka lakukan. Dengan melakukan berbagai aktivitas lain, misalnya menjadi
tukang ojek atau bertanam jagung, para petani dan warga desa masih dapat membeli
LPG 3 kg. Hal ini menyebabkan biofuel, termasuk biodiesel dari minyak jarak menjadi
tidak kompetitif.

Permasalahan harga ini juga diakui oleh para pengurus koperasi “Dian DME”. Hasil
wawancara dengan pembina Koperasi Dian DME di Kecamatan Toroh (tanggal 19 Juni
2014), yang beranggotakan 14 kelompok tani tanaman jarak memperlihatkan bahwa
persoalan utama terletak pada harga produk minyak tanaman jarak yang masih terlalu
mahal jika dibandingkan dengan BBM solar.

Sebagai akibatnya, mesin multi fungsi yang merupakan hibah dari Pertamina dengan
kapasitas hingga 5.000 liter per hari menjadi tidak optimal. Selama tahun 2011,
kapasitas produksi yang bisa dilakukan hanya mencapai 3.000 liter per hari. Minyak
tanaman jarak yang dihasilkan pada akhirnya hanya mampu memenuhi kebutuhan
minyak diesel untuk keperluan pabrik sendiri. Dengan demikian, koperasi yang ada juga
belum pernah memasarkan atau mendistribusikan hasil produksinya kepada masyarakat.

4.3.4. Tinjauan aspek sosial

Mencermati kondisi Desa Tanjung Harjo dari aspek sosial menunjukan bahwa adanya
kesenjangan pola pemahaman mengenai konsep desa mandiri energi antara konsep ideal

100
dengan yang ada di masyarakat. Pola pikir dari petani dan warga masyarakat desa yang
langsung berorientasi pada aspek bisnis. Para petani dan warga desa melihat kehadiran
minyak jarak bukanlah sebagai salah satu sumber bahan bakar alternatif yang dapat
diproduksi dan digunakan untuk pemenuhan kebutuhan sendiri (subsisten). Sebaliknya,
mereka justru melihatnya sebagai komoditas baru yang dapat dijual untuk menambah
penghasilan mereka.

Kondisi seperti ini pada dasarnya sangat beralasan. Sebab masyarakat memang tidak
dilibatkan sejak awal rencana kegiatan ini dilakukan. Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya, pengembangan biodiesel minyak jarak di desa ini memang dimulai dari
adanya investasi swasta. Masyarakat yang sebelumnya merupakan petani dan anggota
Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) diminta oleh dinas kehutanan untuk turut
serta menanam tanaman jarak sebagai bahan bioenergi. Rencana awalnya ialah biji
tanaman jarak yang ditanam petani kemudian dikumpulkan kepada kelompok, untuk
kemudian dikirim ke PT Enhil (wawancara personal dengan ketua kelompok tani
“Ngudi Rejeki”tanggal 14 Februari 2014). Dengan demikian, petani dilibatkan hanya
sebagai pemasok biji jarak untuk PT. Enhil. Sementara di sisi lain, PT. Enhil juga
berusaha mengembangkan bibit tanaman jarak, yang memang rencananya juga akan
disalurkan ke masyarakat.

Begitu pula jika kemudian muncul harapan di masyarakat bahwa kehadiran PT.Enhil
tersebut diharapkan akan mampu memberikan lapangan pekerjaan baru para pemuda.
Kehadiran perusahaan terutama dengan status sebagai investasi swasta, memang tidak
memberikan ruang lebih kepada masyarakat setempat untuk dapat secara lebih aktif
terlibat dalam pengembangan energi alternatif yang ramah lingkungan. Hal ini
dikarenakan tidak adanya pemahaman yang lebih luas tentang tujuan dan fungsi
pengembangan energi alternatif, khususnya biodiesel dari tanaman jarak bagi
lingkungan. Keterbatasan pemahaman mengenai isu lingkungan dan masih tingginya
tuntutan untuk pemenuhan kebutuhan dasar bagi masyarakat desa, menyebabkan
munculnya pemikiran yang pragmatis di kalangan warga desa. Bagi warga desa, setiap
inovasi yang ditawarkan, tidak lebih dari sekedar peluang baru untuk menambah
penghasilan. Bahkan sampai ketika desa mereka dicanangkan sebagai DME, mereka

101
tidak memiliki pemahaman bahwa dengan mengembangkan biodiesel minyak jarak,
mereka dapat mengurangi pengeluaran rumah tangga sehari-harinya, sebagaimana
menjadi konsep utama dalam DME.

Kondisi yang tidak jauh berbeda terjadi ketika PT Pertamina mulai memberikan bantuan
kepada Kabupaten Grobogan, dalam pengembangan biodiesel dari minyak tanaman
jarak tersebut. Kehadiran PT.Pertamina dengan berbagai bantuan yang telah
disampaikan kepada masyarakat melalui kelompok tani dan koperasi, sebenarnya juga
tidak memberikan perubahan pemahaman kepada masyarakat. Perbedaan yang terjadi
dengan kasus PT.Enhil adalah masyarakat hanya dibantu untuk dapat terlibat lebih jauh
mulai dari pembudidayaan tanaman jarak sebagai sumber bahan baku hingga
pemrosesan menjadi biodiesel. Namun demikian, tidak ada perubahan pemahaman yang
lebih luas mengenai “konteks” mengapa sebuah biodiesel harus dikembangkan.
Terutama dalam konteks keberlanjutan lingkungan dan ketahanan energi nasional.
Sehingga, ketika minyak jarak dianggap tidak mampu untuk terus dikembangkan akibat
kurangnya pasokan bahan baku, maka inovasi baru tersebut juga dianggap selesai.

Mencermati kasus Kabupaten Grobogan mulai dari saat kehadiran PT. Enhil hingga
adanya Pertamina, menunjukan bahwa masyarakat di desa adalah masyarakat
materialist (Inglehart, dalam Harrison dan Huntington, ed., 2000). Secara umum nilai-
nilai yang terdapat pada masyarakat materialis adalah adanya nilai-nilai kelangsungan
hidup. Dalam masyarakat materialist dengan nilai-nilai kelangsungan hidup di
dalamnya, lebih banyak menekankan tentang bagaimana mereka mereka bisa memenuhi
kepuasan subyektif (subjective well being) dalam tingkatan yang masih rendah khusnya
kebutuhan dasar. Dalam hal ini ditunjukan dengan bagaimana menjadikan biodisel jarak
sebagai sumber pendapatan baru bagi mereka. Dengan pendapatan baru, tentu mereka
berharap akan membantu mereka untuk memenuhi segala kebutuhan rumah tangganya.

Meski demikian, kondisi yang terjadi di dalam masyarakat Kabupaten Grobogan pada
dasarnya juga selalu menunjukan apa yang disebut Inglehart sebagai dampak pada
masyarakat materialist, seperti rendahnya tingkat kepercayaan interpersonal, kurangnya
toleransi terhadap kelompok lain telah terjadi di masyarakat. Adanya koperasi “Dian

102
DME” pada dasarnya dapat dijadikan indikasi awal bahwa modal sosial di masyarakat
Grobogan masih berpotensi untuk dikembangkan. Meski telah tidak memproduksi
biodiesel minyak jarak, namun menurut pembina koperasi mereka masih secara rutin
melakukan rapat anggota (wawancara personal tanggal 19 Juni 2014). Karenanya,
koperasi tersebut tidak sekedar menjadi organisasi ekonomi dan bisnis, tetapi juga dapat
menjadi organisasi sosial sebagaimana disampaikan oleh Coleman. Masih berfungsinya
modal sosial dalam masyarakat di Grobogan tersebut, tentunya sekaligus dapat menjadi
modal awal untuk memberikan pemahaman dan cara pandang baru tentang konteks
pentingnya pengembangan energi alternatif secara lebih luas. Tidak hanya dalam
konteks ekonomis, tetapi termasuk pula di isu konservasi energi, keberlanjutan
lingkungan dan ketahanan energi nasional.

Jika dilihat dari skema New Institutional Economic dan Sociology (NIES) yang
disampaikan oleh Nee (2003), maka hubungan yang ada selama ini dalam kasus bantuan
CSR PT Pertamina untuk DME di Kabupaten Grobogan adalah sebagai berikut:

Lingkungan institusional

Regulasi negara

Produksi biodiesel minyak


jarak

Insentif: bantuan CSR


Pertamina
Koperasi “Dian DME”

Anggota Koperasi

Kelompok tani

Individu petani

Gambar 4.1
Skema New Institutional Economic and Sociology Kondisi DME Saat Ini di
Kabupaten Grobogan
Sumber: penulis modifikasi dari Nee (2003)

103
Lingkungan institutional dalam kasus DME di Grobogan, khususnya dengan adanya
pemberian bantuan dari PT Pertamina, pada dasarnya belum berfungsi sebagaimana
didefinisikan oleh North (1971, dalam Williamson (1994) dan Williamson (2000).
Keberadaan berbagai aturan formal, UU, birokrasi dan sebagainya, masih belum mampu
menjadi dasar hukum dalam proses produksi, pertukaran dan distribusi pengembangan
biodiesel dari minyak tanaman jarak. Hal ini dibuktikan dengan adanya kevakuman
kondisi selama kurang lebih 2 tahun setelah kedatangan presiden ke Grobogan dan
rencana penyampaian bantuan presiden kepada para petani. Lingkungan institusional
yang terkait produksi biodiesel minyak tanaman jarak terdapat dalam beberapa bentuk
aturan, yaitu Perpres No.5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional dan Perpres
No.45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No.71 Tahun 2005
Tentang Penyediaan dan Pendistribusian Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu.

Dalam perkembangannya, lingkungan institusional tersebut justru menyediakan “ruang”


kepada PT Pertamina untuk langsung berhubungan dengan petani. Selanjutnya
pengembangan biodiesel minyak tanaman jarak yang dilakukan oleh Koperasi “Dian
DME” dengan bantuan dan pendampingan lebih banyak dilakukan oleh Pertamina
melalui mekanisme transfer langsung kepada rekening 14 kelompok tani yang sekaligus
menjadi inisiator dan anggota koperasi Dian DME tersebut. Namun demikian,
keberadaan pabrik pengolahan biodiesel minyak tanaman jarak ini juga tidak berjalan
lama. Produksi biodiesel hanya berjalan 2 tahun sejak pabrik ini berdiri di tahun 2009.
Hal ini disebabkan pasokan biji jarak sangat terbatas. Selanjutnya, koperasi mencoba
mengembangkan BBN lainnya dari bahan tanaman nyamlung. Namun, percobaan
dengan tanaman nyamplung juga tidak bertahan lama karena ketersediaan bahan baku
yang sangat terbatas.

4.4. Rekonstruksi model DME


4.4.1. Analisis satu (intervensi)

Dalam analisis satu (intervensi) ini ditetapkan 3 pihak yang berperan sangat penting
dalam studi kasus Desa Mandiri Energi berbasis minyak jarak di Desa Tanjungharjo,
Kecamatan Ngaringan, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Ketiga pihak tersebut ialah:

104
Clients (C) dalam penelitian ini ialah:

1. Promotor (Prof. Dr. Martani Huseini) dan Ko-Promotor (Dra. Francisia S. S. Ery
Seda, M.A., Ph.D),
2. Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (UI) dan
3. Peneliti (Nugroho Pratomo).

Praktisi SSM (P) dalam penelitian ini ialah peneliti, yaitu Nugroho Pratomo.

Owners of issue addressed (O) dalam penelitan ini ialah:

1. PT Enhil
2. Kelompok tani tanaman jarak “Ngudi Rejeki” Desa Tanjungharjo
3. Perangkat Desa Tanjungharjo, Kecamatan Ngaringan, Kabupaten Grobogan
4. Pemerintah Daerah Kabupaten Grobogan: Dinas Perindustrian, Perdagangan,
Pertambangan dan Energi, Bappeda Kabupaten Grobogan
5. Kementerian ESDM, yaitu Direktorat Jenderal Energi Baru dan Terbarukan
6. Masyarakat penerima paket kompor minyak untuk tanaman jarak.
7. “BUMN Peduli”

105
4.4.2. Analisis dua (Sosial)
4.4.2.1. Peran (Roles)
Tabel 4.2
Analisis Peran
Level Pihak Peran dasar
Kementerian ESDM Pembina di tingkat hilir DME Jarak
Makro “BUMN Peduli” (PT Rajawali Nusantara Pemberi hibah (donatur), Pembina DME Tanjungharjo
Indonesia, PT Pertamina,)
Dinas Perindustrian, Perdagangan, Penyuluh, pembina, pemberi informasi / pengetahuan terkait
Pertambangan dan Energi Kabupaten Grobogan
Bappeda Kabupaten Grobogan Menjadi penghubung antara pemerintah daerah Kabupaten Grobogan
Meso dengan Pemerintah Pusat.
Perangkat Desa Tanjungharjo, Kecamatan 1. Penyedia lahan seluas 11.000 m2 untuk pabrik pengolahan minyak
Ngaringan, Kabupaten Grobogan tanaman jarak
2. Pembina/sosialisator program DME di Desa Tanjungharjo
PT Enhil Investor pengembangan pengolahan minyak tanaman jarak

Kelompok Tani tanaman jarak “Ngudi Rejeki” Pelaksana penanaman dan pembudidayaan tanaman jarak di areal tidak
Mikro Desa Tanjungharjo produktif, seperti pinggiran hutan dan pinggiran sawah.

Koperasi “Dian DME” Penerima dan pengelola mesin pengolah minyak tanaman jarak dari
Pertamina
Masyarakat Penerima paket kompor untuk minyak tanaman jarak
Sumber: olahan peneliti

106
4.4.2.2. Norma
Tabel 4.3
Analisis Norma
Level Pihak Norma
Kementerian ESDM, yaitu Direktorat Jenderal 1. Melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai potensi
Energi Baru dan Terbarukan tanaman jarak sebagai sumber alternatif BBN.
2. Melakukan koordinasi dengan Pemerintah Daerah terkait
Makro pelaksanaan program nasional DME
“BUMN Peduli” (PT Rajawali Nusantara 1. Memberikan bantuan pendanaan sebesar Rp 10 milyar melalui CSR
Indonesia, PT Pertamina, PT Gas Negara) 2. Membina Desa Tanjungharjo sebagai bagian dari program DME
Nasional.
Dinas Perindustrian, Perdagangan, Melakukan sosialisasi kepada para kelompok tani dan masyarakat
Pertambangan dan Energi Kabupaten Grobogan tentang program DME dan manfaat minyak tanaman jarak sebagai
BBN.
Bappeda Kabupaten Grobogan 1. Menjadi penghubung antara Pemerintah Daerah Kabupaten
Meso Grobogan dengan Pemerintah Pusat.
2. Membentuk 15 kelompok tani tanaman jarak
3. Melakukan sosialisasi pengembangan tanaman jarak pagar
4. Membuat laporan pelaksanaan DME minyak tanaman jarak
Perangkat Desa Tanjungharjo, Kecamatan 1. Menyiapkan lahan untuk pabrik pengolahan minyak tanaman jarak
Ngaringan, Kabupaten Grobogan 2. Membentuk kelompok tani tanaman jarak
PT Enhil 1. Membuat kebun bibit tanaman jarak
2. Memberikan secara gratis bibit tanaman jarak kepada petani
Mikro 3. Membeli biji tanaman jarak dari kelompok tani seharga Rp500 per
kg
4. Mengolah biji tanaman jarak menjadi minyak tanaman jarak

107
Tabel 4.3 (lanjutan)
Analisis Norma
Kelompok Tani tanaman jarak “Ngudi Rejeki” 1. Melakukan penanaman dan pembudidayaan tanaman jarak di areal
Desa Tanjungharjo tidak produktif, seperti pinggiran hutan dan pinggiran sawah.
2. Melakukan panen, mengupas buah tanaman jarak
3. Menjual hasil kupasan biji tanaman jarak kepada PT Enhil
Koperasi “Dian DME” 1. Melakukan sosialisasi manfaat tanaman jarak kepada masyarakat
luas dan petani.
2. Membeli biji tanaman jarak hasil panen petani dengan harga Rp700
per kg
3. Mengolah biji tanaman jarak menjadi minyak tanaman jarak
4. Membagikan minyak tanaman jarak hasil produksi kepada
masyarakat untuk dimanfaatkan sebagai energi rumah tangga
5. Memasarkan sisa minyak tanaman jarak secara terbatas
Masyarakat Menggunakan minyak tanaman jarak sebagai bahan bakar alternatif
Mikro untuk keperluan rumah tangga.
Sumber: olahan peneliti

108
4.4.2.3. Nilai-nilai
Tabel 4.4
Analisis Nilai-nilai
Level Pihak Nilai-nilai
Kementerian ESDM, yaitu Direktorat Jenderal 1. Komitmen untuk mengembangkan BBN sebagai bahan bakar
Energi Baru dan Terbarukan alternatif pengganti BBM
2. Melakukan sosialisasi ke daerah-daerah tentang program DME
3. Melakukan koordinasi dengan Pemerintah Daerah terkait dengan
implementasi program DME minyak tanaman jarak.
Makro
4. Mengetahui dan memberikan solusi atas segala permasalahan yang
terjadi dalam program DME.
“BUMN Peduli” (PT Rajawali Nusantara 1. Komitmen untuk membiayai DME minyak tanaman jarak
Indonesia, PT Pertamina, PT Gas Negara) 2. Terus membina hubungan dengan kelompok tani sebagai mitra
dalam pembudidayaan tanaman jarak.
Dinas Perindustrian, Perdagangan, 1. Perbaikan dan penyempurnaan program-program dan kegiatan
Pertambangan dan Energi Kabupaten Grobogan yang terkait dengan DME
2. Komitmen untuk menerapkan dan mensosialisasikan tujuan dasar
Bappeda Kabupaten Grobogan dari program DME khususnya kepada masyarakat pengguna dan
kelompok tani
Meso 3. Membina hubungan dengan masyarakat pengguna, kelompok tani
dan PT Enhil, dan bekerja sama dalam rangka mensukseskan
program DME.
4. Melakukan koordinasi dengan Pemerintah Pusat dan “BUMN
Peduli” terkait dengan penyaluran dana bantuan.
5. Mengetahui dan memberikan solusi atas segala permasalahan yang
terjadi dalam program DME

109
Tabel 4.4 (lanjutan)
Analisis Nilai-nilai
Level Pihak Nilai-nilai
Perangkat Desa Tanjungharjo, Kecamatan 1. Komitmen dalam menerapkan dan mensosialisasikan manfaat
Ngaringan, Kabupaten Grobogan minyak tanaman jarak kepada warga Desa Tanjungharjo
2. Melindungi warga masyarakat Desa Tanjung Harjo
3. Mengayomi dan mensosialisasikan tujuan dasar DME kepada
masyarakat.
4. Terus melakukan hubungan dan komunikasi dengan kelompok
tani sebagai mitra kerjasama dalam pengembangan DME.
5. Membina hubungan dengan PT Enhil selaku investor industri
minyak tanaman jarak.
PT Enhil 1. Komitmen dalam pengembangan dan produksi minyak tanaman
jarak
2. Melakukan efisiensi dan pengembangan manajemen usaha industri
pengolahan minyak tanaman jarak.
3. Membina hubungan dengan masyarakat, kelompok tani sebagai
mitra kerjasama dalam mengembangkan industri minyak tanaman
jarak
4. Memberikan pelatihan dan pengertian secara terus menerus kepada
Mikro
masyarakat dan kelompok tani bahwa tanaman jarak bukan
merupakan komoditas utama, tetapi merupakan tambahan
penghasilan
5. Membina hubungan dengan Pemda Kabupaten Grobogan sebagai
investor dalam pengembangan minyak tanaman jarak
Kelompok Tani tanaman jarak “Ngudi Rejeki” 1. Toleran
Desa Tanjungharjo 2. Mau bekerja keras

110
Tabel 4.4 (lanjutan)
Analisis Nilai-nilai
Level Pihak Nilai-nilai

3. Komitmen menanam dan membudidayakan tanaman jarak di


lahan-lahan kritis, pinggir hutan dan tegalan sawah sebagai sumber
Kelompok Tani tanaman jarak “Ngudi Rejeki”
bahan baku BBN (minyak jarak).
Desa Tanjungharjo
4. Membina hubungan dengan PT Enhil dan Pemda Kab Grobogan
dalam sebagai mitra utama pengembangan tanaman jarak.

Koperasi “Dian DME” 1. Komitmen untuk membeli biji tanaman jarak dari petani dengan
harga Rp700 per kg
2. Komitmen untuk memproduksi minyak tanaman jarak hasil panen
Mikro petani
3. Membina hubungan dengan PT Pertamina sebagai pemberi hibah
4. Membina hubungan dengan Pemda/Bappeda Kabupaten Grobogan
sebagai penghubung dengan PT Pertamina
Masyarakat 1. Toleran
2. Mau bekerja keras
3. Komitmen untuk menggunakan minyak tanaman jarak sebagai
bahan bakar untuk keperluan rumah tangga.
4. Membina hubungan dengan PT Enhil dan Pemda Kab Grobogan
sebagai mitra dalam pemanfaatan minyak tanaman jarak
Sumber: olahan peneliti

111
4.4.3. Analisis tiga (Politik)
4.4.3.1 Disposisi kekuasaan (Disposition of Power)
Tabel 4.5
Analisis Disposisi Kekuasaan
Level Pihak Disposition of Power
Kementerian ESDM, yaitu Direktorat Jenderal 1. Kekuasaan tertinggi adalah Menteri ESDM
Energi Baru dan Terbarukan 2. Struktur organisasi disusun secara hirarki. Mulai dari menteri dan
wakil, sekjen, dirjen, direktur, subdit, biro dan bagian.
Makro 3. Ditjen EBTKE Kementerian ESDM hanya memberikan sosialisasi
terkait pemanfaatan tanaman jarak dan program DME
“BUMN Peduli” (PT Rajawali Nusantara 1. Kekuasaan tertinggi berada pada Menteri BUMN selaku “pemilik
Indonesia, PT Pertamina, PT Gas Negara) saham” BUMN
2. Struktur organisasi disusun secara hirarki dari tiap PT. BUMN
Dinas Perindustrian, Perdagangan, 1. Kekuasaan tertinggi adalah Bupati Grobogan
Pertambangan dan Energi Kabupaten Grobogan 2. Struktur organisasi disusun secara hirarki. Mulai dari bupati dan
wakil, kepala dinas, dan bagian.
3. Dinas hanya memberikan sosialiasi tentang pemanfaatan kepada
masyarakat dan pengembangan minyak tanaman jarak kepada
petani
Meso Bappeda Kabupaten Grobogan 1. Kekuasaan tertinggi adalah Bupati Grobogan
2. Struktur organisasi disusun secara hirarki. Mulai dari bupati dan
wakil, kepala Bappeda, dan bagian.
3. Bappeda hanya memberikan sosialiasi tentang pemanfaatan dan
pengembangan minyak tanaman jarak, membentuk 15 kelompok
dari beberapa kecamatan di Grobogan, menjadi penghubung ke
Pemerintah Pusat dan PT Pertamina serta membuat laporan evaluasi
pelaksanaan.

112
Tabel 4.5 (lanjutan)
Analisis Disposisi Kekuasaan
Meso Perangkat desa Tanjungharjo, Kecamatan 1. Kekuasaan tertinggi adalah Bupati Grobogan.
Ngaringan, Kabupaten Grobogan 2. Struktur organisasi disusun secara hirarki. Mulai dari Bupati,
Camat, Kepala Desa dan Carik.
3. Perangkat Desa hanya diminta untuk mempersiapkan lahan untuk
pabrik PT Enhil.
PT Enhil 1. Kekuasaan tertinggi adalah pada Direktur Utama dan Komisaris
selaku pendiri PT Enhil.
2. Terdapat struktur organiasasi
3. PT Enhil membeli biji tanaman jarak dari petani seharga Rp500
per kg, produksi pengolahan minyak tanaman jarak dan
memasarkan
4. PT Enhil juga melakukan pengembangan bibit tanaman jarak
5. PT Enhil tidak mengelola bantuan Presiden sebesar Rp 10 milyar.
Kelompok Tani tanaman jarak “Ngudi Rejeki” 1. Kekuasaan tertinggi berada pada rapat anggota
Mikro Desa Tanjungharjo 2. Kelompok tani hanya menanam, memanen dan menjual biji
tanaman jarak kupas kepada PT Enhil.
3. Kelompok tani dapat mengajukan proposal bantuan kepada PT
Pertamina
Koperasi “Dian DME” 1. Kekuasaan tertinggi berada pada rapat anggota
2. Koperasi hanya mengolah biji tanaman jarak menjadi minyak
tanaman jarak
Masyarakat 1. Kekuasaan tertinggi berada pada masing-masing kepala keluarga
penerima paket kompor.
2. Masyarakat hanya menerima kompor untuk minyak tanaman jarak.
Sumber:olahan peneliti

113
4.4.3.2. Nature of Power
Tabel 4.6
Analisis nature of Power
Level Pihak Nature of Power
Kementerian ESDM, yaitu Direktorat Jenderal 1. Kemampuan untuk mengajak seluruh daerah di Indonesia untuk
Energi Baru dan Terbarukan mengembangkan minyak tanaman jarak sebagai salah satu sumber
BBN
2. Kemampuan untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat
Makro tentang manfaat minyak tanaman jarak
“BUMN Peduli” (PT Rajawali Nusantara 1. Kemampuan untuk membiayai dan membina DME jarak
Indonesia, PT Pertamina, PT Gas Negara) 2. Kemampuan untuk membangun pabrik pengolahan minyak jarak
3. Kemampuan untuk memberikan bantuan kepada kelompok tani
tanaman jarak.
Dinas Perindustrian, Perdagangan, 1. Kemampuan untuk melakukan sosialisasi serta mengajak petani dan
Pertambangan dan Energi Kabupaten Grobogan masyarakat untuk membudidayakan tanaman jarak sebagai sumber
BBN
Bappeda Kabupaten Grobogan 1. Kemampuan untuk melakukan sosialisasi serta mengajak petani dan
masyarakat untuk membudidayakan tanaman jarak sebagai sumber
BBN
Meso 2. Kemampuan untuk melakukan komunikasi dan koordinasi dengan
pihak “BUMN peduli”
3. Kemampuan untuk membentuk 15 kelompok dari berbagai
Kecamatan dan Desa di Kabupaten Grobogan
Perangkat Desa Tanjungharjo, Kecamatan 1. Kemampuan untuk menyediakan lahan bagi pembangunan parik PT
Ngaringan, Kabupaten Grobogan Enhil
2. Kemampuan untuk membentuk kelompok tani

114
Tabel 4.6 (lanjutan)
Analisis Nature of Power
PT Enhil 1. Kemampuan untuk memproduksi dan memasarkan minyak
tanaman jarak
2. Kemampuan untuk mempengaruhi dan mengajak kelompok tani
untuk menanam tanaman jarak dan menjual biji tanaman jarak
kepada PT Enhil dengan harga Rp500 per kg
3. Kemampuan untuk mempengaruhi dan mengajak pemerintah
dalam mengembangkan minyak tanaman jarak sebagai salah satu
sumber alternatif BBN
Kelompok Tani tanaman jarak “Ngudi Rejeki” 1. Kemampuan untuk menanam tanaman jarak
Mikro 2. Kemampuan untuk menjual hasil panen biji tanaman jarak kepada
Desa Tanjungharjo
PT Enhil
Koperasi “Dian DME” 1. Kemampuan untuk membeli biji tanaman jarak dari petani seharga
Rp700 per kg
2. Kemampuan untuk mengolah biji tanaman jarak menjadi minyak
tanaman jarak
Masyarakat Kemampuan untuk memanfaatkan minyak tanaman jarak sebagai
sumber bahan bakar bagi keperluan rumah tangga.
Sumber:olahan peneliti

115
4.4.4. Rich picture

Gambar 4.2 116


Rich Picture 1
Gambar 4.3
Rich Picture 2

117
Gambar 4.4
Rich Picture 3

118
4.4.5. Rekonstruksi aspek lingkungan

4.4.5.1. Pendefinisian akar masalah (Root Definitions of Relevant Purposeful


Activity)

4.4.5.1.1. Pendefinisian akar permasalahan aspek DME sebagai bagian dari


Program Ketahanan Energi Nasional

Sistem Aktivitas Manusia:


“Sebuah sistem yang dimiliki dan dioperasikan oleh Pemerintah Pusat
dan Daerah (Q) dalam konsep Ketahanan Energi Nasional dan DME,
dengan cara mengidentifikasi sumber-sumber potensi energi baru
terbarukan desa-desa di Indonesia (P), untuk terwujudnya Ketahanan
Energi Nasional yang sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan berbasis lingkungan hidup (R)”.
Tabel 4.7
Analisis CATWOE DME sebagai bagian dari program ketahanan energi nasional
Customers Peneliti, Promotor dan Ko-Promotor serta UI
Actor Pemerintah pusat (EBTKE), Pemerintah Daerah.
Transformation Pemetaan potensi DME dalam kerangka Program
Ketahanan Energi Nasional yang sesuai dengan
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan
World view Pemetaan potensi sumberdaya energi baru terbarukan
pada desa-desa di seluruh Indonesia dalam kerangka
Program Ketahanan Energi Nasional yang sesuai
dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Owner Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, warga desa
Enviroment Keterbatasan waktu, anggaran, luas wilayah dan
birokratis.

4.4.5.1.2. Pendefinisian akar permasalahan Konservasi Energi dan Pertanian


Berkelanjutan

Sistem Aktivitas Manusia:

“Sebuah sistem yang dimiliki dan dioperasikan oleh warga Desa Tanjungharjo,
perangkat desa dan Pemda Kabupaten Grobogan (Q) dalam melakukan konservasi
energi, dengan cara mengidentifikasi dan membudidayakan jenis tanaman bahan
baku BBN yang sesuai dengan kondisi lingkungan desa setempat dan prinsip-

119
prinsip pertanian berkelanjutan (P), untuk mencapai pengelolaan lingkungan
DME yang sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan berbasis
lingkungan hidup (R).”

Tabel 4.8
Analisis CATWOE konservasi energi dan pertanian berkelanjutan
Customers Warga Desa Tanjungharjo, Perangkat desa dan Pemda
Kabupaten Grobogan
Actor Warga Desa Tanjungharjo, Perangkat desa dan Pemda
Kabupaten Grobogan
Transformation Membudidayakan tanaman bahan baku BBN yang
sesuai dengan kondisi lingkungan setempat agar dapat
mengimplementasikan prinsip konservasi energi dan
pertanian berkelanjutan.

World view Pelaksanaan konservasi energi dan pengembangan


BBN berbasiskan pertanian berkelanjutan untuk
mengurangi penggunaan energi fosil yang menjadi
penyebab naiknya kadar CO2 dan salah satu pemicu
perubahan iklim global.
Owner Masyarakat desa, perangkat desa dan Pemda
Kabupaten Grobogan
Enviroment Keterbatasan waktu, anggaran dan birokratis.

4.4.5.2. Penyusunan model konseptual


4.4.5.2.1. Penyusunan model konseptual DME sebagai bagian dari Program
Ketahanan Energi Nasional

Berangkat dari teori ketahanan energi nasional; ketahanan energi (Yergin, 2006);
biofuel (Howarth, Stefan, Luiz, Renee, Darran dan Oswaldo, 2009); emisi gas
buang campuran biodisel minyak jarak dengan solar (Havendri, 2008); resource-
based value (Muafi, 2010; Absah, 2008), kegiatan yang ditawarkan adalah
sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi dan pemetaan potensi sumber energi baru dan
terbarukan di seluruh wilayah Indonesia. Identifikasi ini dilakukan
dengan asumsi bahwa setiap daerah di Indonesia memiliki sumber
daya alam yang berbeda-beda. Karenanya, dalam pengembangan
energi baru terbarukan sebagai bagian implementasi Perpres No.5

120
tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, juga harus didasarkan
pada kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh tiap daerah.
2. Pemberian bantuan riset energi baru terbarukan yang sesuai dengan
kondisi pedesaan di Indonesia. Sebagai sebuah jenis energi baru,
diperlukan riset secara terus menerus. Dengan demikian diharapkan
akan memperoleh energi baru terbarukan yang dapat
diimplementasikan secara luas dengan harga yang kompetitif dan
sesuai dengan potensi di masing-masing daerah.
3. Penentuan pengembangan DME di masing-masing daerah di
Indonesia sesuai dengan potensi sumberdaya masing-masing desa.
Sebagai kelanjutan dari identifikasi dan hasil pemetaan, maka
pemerintah kemudian menetukan desa-desa mana saja yang akan
dikembangkan sebagai DME. Dengan melakukan penentuan jenis
energi baru yang dikembangkan di masing-masing DME tersebut,
maka diharapkan energi yang dihasilkan memiliki daya saing yang
lebih baik dibandingkan BBM.
4. Penghapusan subsidi BBM secara bertahap. Berangkat dari kegagalan
DME berbasis minyak jarak di Grobogan, menunjukan bahwa minyak
jarak menjadi tidak kompetitif karena BBM minyak diesel selama ini
masih mendapat subsidi dari pemerintah.
5. Pelaksanaan kebijakan program nasional pengembangan DME dengan
dibiayai dan dibina oleh BUMN dan perusahaan swasta lain melalui
program CSR dan PKBL.
6. Evaluasi rutin
7. Menentukan kriteria 3 E (Efficacy, Efficiency, Effectiveness):
a) Keberhasilan (efficacy): setiap daerah di Indonesia dapat
mengembangkan dan menerapkan energi baru terbarukan sesuai
dengan potensi yang dimilikinya.
b) Efisiensi: setiap daerah di Indonesia dapat mengembangkan dan
menerapkan energi baru terbarukan sesuai dengan potensi yang
dimilikinya dengan harga yang terjangkau.

121
c) Efektivitas: terbentuknya desa-desa mandiri energi yang sesuai
dengan potensi masing-masing daerah tersebut.
8. Pemantauan
9. Pengendalian (take control action)

122
1. Identifikasi dan pemetaan 3. Penentuan pengembangan DME
4. Penghapusan subsidi
potensi energi baru dan di masing-masing daerah di
BBM secara bertahap
terbarukan seluruh desa di Indonesia sesuai dengan potensi
selama 5 tahun
Indonesia sumberdaya masing-masing desa.

5. Pelaksanaan kebijakan program


2. Bantuan pendanaan riset nasional pengembangan DME dengan
pengembangan energi baru dibiayai dan dibina oleh BUMN dan
terbarukan yang sesuai perusahaan swasta lain melalui program
dengan kondisi pedesaan di CSR dan PKBL
Indonesia 6. Evaluasi rutin

8. Pemantauan 9. Take control action

7. Menentukan kriteria 3E
Gambar 4.5
Model Konseptual Kebijakan DME sebagai Program Pemenuhan Kebutuhan Energi Nasional dan Ketahanan Energi Nasional

123
4.4.5.2.2. Penyusunan model konseptual Konservasi Energi dan Pertanian
Berkelanjutan

Berangkat dari konsep konservasi energi, efisiensi energi (Cunningham &


Cunningham, 2008), konversi energi (Miller, 1988), biofuel (Puradinata, 2012),
Subekti dan Djaohar (2007), usaha pertanian berkelanjutan (Arsyad dan Rustiadi,
2012; Gips, 1986, dalam Arsyad dan Rustiadi, 2012), dan ketahanan energi
(Yergin, 2006), maka beberapa kegiatan yang ditawarkan adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi potensi lahan dan jenis tanaman sumber BBN yang


cocok bagi DME bersangkutan. Identifikasi potensi lahan dan jenis
tanaman BBN dilakukan sebagai bagian dari usaha pertanian
berkelanjutan dan penggunaan lahan berkelanjutan.
2. Menentukan jenis tanaman dan teknik pembudidayaan yang cocok
dengan kondisi lingkungan dengan DME bersangkutan. Terkait
dengan penggunaan lahan berkelanjutan, maka jenis tanaman
penghasil BBN yang dibudidayakan harus sesuai dengan kondisi
lahan, seperti iklim dan kemiringan.
3. Melakukan ujicoba pembudidayaan tanaman. Ujicoba pembudidayaan
ini merupakan kelanjutan dari penentuan jenis tanaman penghasil
BBN. Ujicoba ini dilakukan dengan bekerjasama dengan perguruan
tinggi lokal.
4. Menyediakan bibit tanaman. Penyediaan bibit tanaman dilakukan
untuk menjamin keberlangsungan kesediaan bibit bagi petani.
Penyediaan bibit dilakukan dengan membagi secara gratis bibit
tanaman kepada petani.
5. Melatih petani dalam pembudidayaan tanaman sumber BBN
berdasarkan prinsip-prinsip pertanian berkelanjutan. Dengan pelatihan
tersebut, diharapkan petani dapat memahami dan melaksanakan usaha
pertanian berkelanjutan dan konservasi lahan berkelanjutan. Pelatihan
ini dapat dilakukan dengan bekerjasama dengan perguruan tinggi atau
LSM lokal.
6. Mensubsidi pupuk yang diperlukan bagi tanaman BBN.

124
7. Membudidayaan tanaman BBN sesuai prinsip-prinsip usaha pertanian
berkelanjutan
8. Evaluasi rutin
9. Menetukan kriteria 4 E (efficacy, efficiency, effectiveness, ethicality):
a) Keberhasilan (Efficacy): pengembangan konservasi energi dengan
sistem energi berkelanjutan melalui pembudidayaan tanaman BBN
dengan cara pertanian dan pengolahan lahan berkelanjutan.
b) Efisiensi:
1) Pemanfaatan dan optimalisasi lahan terlantar yang cocok
untuk tanaman BBN
2) Penggunaan pupuk organik dari sampah tanaman BBN
tersebut
c) Efektivitas: pemahaman para petani tentang pengelolaan lahan
berkelanjutan dan usaha pertanian berkelanjutan.
d) Keetikaan: sikap saling menghargai dan menghormati antar sesama
mahluk hidup (tanaman, hewan, manusia) serta organisme tanah,
dalam setiap kegiatan konservasi energi dan pengembangan sistem
energi berkelanjutan.
10. Pemantauan
11. Pengendalian (take control action)

125
1.Mengidentifikasi 2.Menentukan jenis
potensi lahan dan jenis tanaman dan teknik
tanaman sumber BBN 3.Melakukan ujicoba
pembudidayaan yang cocok
yang cocok bagi DME pembudidayaan tanaman
dengan kondisi lingkungan
bersangkutan sumber BBN
DME bersangkutan

5.Melatih petani dalam


7.Membudidayakan pembudidayaan tanaman 4.Menyediakan
tanaman BBN sesuai sumber BBN berdasarkan bantuan bibit tanaman
pertanian berkelanjutan prinsip-prinsip pertanian
berkelanjutan

8.Evaluasi 6.Mensubsidi pupuk yang


rutin diperlukan bagi tanaman BBN

11.Take control action


10.Monitoring

Gambar 4.6
9.Menentukan kriteria 3E Model Konseptual Konservasi Energi dan Aspek Lingkungan

126
4.4.5.3. Membandingkan model konseptual dengan dunia nyata
4.4.5.3.1. DME sebagai bagian dari ketahanan energi nasional

Tabel 4.9
Komparasi model konseptual Kebijakan DME sebagai program pemenuhan kebutuhan energi nasional dan ketahanan energi nasional
No. Tahapan model konseptual Hasil identifikasi
1 Mengidentifikasi dan pemetaan potensi sumber Peta potensi sumber energi baru terbarukan di masing-masing desa di
energi baru dan terbarukan di seluruh wilayah Indonesia belum ada.
Indonesia.
2 Pemberian bantuan riset energi baru terbarukan Penelitian dan pengembangan energi baru terbarukan selama ini pada
yang sesuai dengan kondisi pedesaan di dasarnya sudah mulai banyak dilakukan. Tidak hanya oleh pemerintah,
Indonesia. namun juga telah dilakukan oleh berbagai perusahaan besar.
3 Penentuan pengembangan DME di masing- Belum adanya pemetaan potensi menyebabkan tidak dapat ditentukan
masing daerah di Indonesia sesuai dengan potensi rencana pengembangan DME secara menyeluruh. Meski demikian secara
sumberdaya masing-masing desa. parsial beberapa desa di Indonesia juga sudah berhasil dikembangkan
sebagai DME sesuai dengan potensi daerah dan kebutuhan daerah
setempat.
4 Penghapusan subsidi BBM secara bertahap. Kebijakan subsidi BBM masih dilakukan. Hingga tahun anggaran
(APBNP) 2014, jumlah subsidi BBM mencapai Rp 246,5 triliun
5 Pelaksanaan kebijakan program nasional Beberapa proyek DME berjalan karena dilakukan dengan memperhatikan
pengembangan DME dengan dibiayai dan dibina potensi daerah yang sudah ada.
oleh BUMN dan perusahaan swasta lain melalui
program CSR dan PKBL.
6 Evaluasi rutin Tidak ada
7 Menentukan kriteria 3 E Tidak ada
8 Pemantauan Tidak ada
9 Pengendalian (take control action) Tidak ada
Sumber: olahan peneliti

127
4.4.5.3.2. Konservasi energi dan pertanian berkelanjutan
Tabel 4.10
Komparasi model konseptual konservasi energi dan usaha pertanian berkelanjutan dengan kondisi DME
No. Tahapan model konseptual Hasil identifikasi
1 Mengidentifikasi potensi lahan dan tanaman
sumber BBN yang cocok bagi DME
bersangkutan Tidak ada; karena sejak awal jenis tanaman yang akan dikembangkan sebagai
2 Menentukan jenis tanaman dan teknik sumber biofuel sudah ditentukan oleh PT. Enhil, yaitu tanaman jarak pagar.
pembudidayaan yang cocok dengan kondisi
lingkungan dengan DME bersangkutan
3 Melakukan ujicoba pembudidayaan tanaman Ujicoba dan pembudidayaan dilakukan oleh PT Enhil
sumber BBN
4 Menyediakan bantuan bibit tanaman Penyediaan bibit tanaman jarak telah dilakukan oleh PT Enhil sebagai bentuk
bantuan bibit kepada para petani. Bibit jarak dibagikan secara gratis oleh PT
Enhil
5 Melatih petani dalam pembudidayaan Tidak ada pelatihan khusus yang diberikan kepada petani khususnya untuk
tanaman sumber BBN berdasarkan prinsip- penanaman jarak.
prinsip pertanian berkelanjutan
6 Mensubsidi pupuk yang diperlukan bagi Tidak ada subsidi atau bantuan pupuk lainnya yang diberikan kepada petani.
tanaman BBN
7 Mendampingi petani dalam pembudidayaan Pendampingan terhadap petani ada setelah adanya “proyek” baru dari PT
tanaman BBN Pertamina. Setiap hari petani didatangi oleh 2 orang dari PT Pertamina untuk
meninjau apa yang dilakukan oleh para petani.
8 Evaluasi rutin Tidak ada evaluasi rutin terkait dengan dampak pembudidayaan tanaman jarak
terhadap kondisi lingkungan.
9 Menentukan kriteria Tidak ada kriteria khusus terkait dengan konservasi energi minyak tanaman
jarak.

128
Tabel 4.10 (lanjutan)
Komparasi model konseptual konservasi energi dan usaha pertanian berkelanjutan dengan kondisi DME
10 Pemantauan Pemantauan dilakukan oleh pihak PT Pertamina dan Bappeda selaku penghubung
antara Pemda dengan Pemerintah Pusat dan PT Pertamina terkait dengan
pembudidayaan tanaman jarak oleh para petani.
11 Take control action Tidak ada
Sumber: olahan peneliti

129
4.4.5.4. Penyesuaian dan melaksanakan rekonstruksi

Berdasarkan hasil model konseptual dan hasil perbandingan dengan dunia nyata,
penyesuaian dan pelaksanaan rekonstruksi pada aspek lingkungan haruslah
dilakukan dengan melihat kembali kondisi daya dukung lingkungan Kabupaten
Grobogan. Selama ini, Kabupaten Grobogan merupakan salah satu sentra
produsen tanaman jagung. Sebagai sumber bahan baku energi alternatif, jagung
selama ini memang telah banyak dikembangkan.

Terkait dengan pengembangan DME, maka diperlukan sebuah skema pertanian


berkelanjutan lain yang bertujuan untuk menciptakan harmonisasi antara
pengembangan BBN dengan kondisi lingkungan dan alam Kabupaten Grobogan.
Salah satu caranya adalah bagaimana pembudidayaan tanaman jagung tersebut
kemudian tidak berdampak pada kerusakan lingkungan khususnya di Kabupaten
Grobogan. Sebab, seperti kasus seperti di Brazil, peningkatan kerusakan hutan
Amazon terjadi seiring dengan program bioetanol dan biodiesel di Brazil.
(http://www.tristatebiodiesel.com/deforestation_report.pdf, diakses 2 Oktober
2014, jam: 20.15). Dalam kerangka untuk mencegah perubahan alih fungsi lahan
hutan menjadi pekebunan jagung secara masif, serta merujuk pada hasil
identifikasi perbandingan model konseptual konservasi energi dan pertanian
berkelanjutan, maka perubahan dapat dilakukan adalah mengembangkan pertanian
berkelanjutan. Dengan demikian pengelolaan sumberdaya dalam upaya
pemenuhan kebutuhan pokok manusia khususnya energi dan pangan dapat
berjalan beiringan dengan tetap mempertahankan dan meningkatkan kualitas
lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam.

Pelaksanaan pertanian berkelanjutan dalam konsep DME pada dasarnya


merupakan upaya untuk menjamin keberlanjutan dan kesesuaian daya dukung
lingkungan di Kabupaten Grobogan. Secara umum pertanian berkelanjutan
sebenarnya juga telah menjadi salah satu perhatian dari pemerintah daerah
Kabuoaten Grobogan. Salah satu bentuknya ialah adanya skema pertanian
berkelanjutan dari Dinas Pertanian Kabupaten Grobogan. Dalam skema tersebut
petani diharuskan punya ternak, baik sapi, kambing, unggas dan lain-lain. Apabila
para petani punya ternak, maka diharapkan sudah punya pabrik pupuk organik

130
sendiri. Pupuk tersebut berasal kotoran maupun urine bisa untuk bahan baku
untuk pembuatan pupuk organik cair (http://dinpertan.grobogan.go.id/komoditas-
136-skema-pertanian-berkelanjutan.html, diakses 3 Oktober 2014, jam: 21.05)
Terkait dengan pengembangan DME, maka diperlukan sebuah skema pertanian
berkelanjutan lain yang bertujuan untuk menciptakan harmonisasi antara
pengembangan BBN dengan kondisi lingkungan dan alam Kabupaten Grobogan.

Merujuk pada 5 aspek pertanian berkelanjutan yang disampaikan oleh Gips (1986,
dalam Arsyad dan Rustiadi, 2012, hal: 9), pengolahan lahan berkelanjutan (Lal,
1995, dalam Arsyad dan Rustiadi, ibid., hal:11), daya dukung lingkungan serta
deskripsi kondisi Kabupaten Grobogan, maka skema pertanian berkelanjutan
untuk mendukung DME dilakukan dengan menetapkan kawasan khusus
pengembangan BBN tingkat kabupaten. Melalui penetapan kawasan khusus ini,
maka membantu pengendalian produksi jagung yang akan digunakan untuk
pangan dan bioetanol maupun perlindungan kawasan hutan yang kini ada di
Kabupaten Grobogan. Sampai dengan tahun 2012 luas hutan rakyat di Kabupaten
Grobogan adalah 4420 hektar (BPS Kab Grobogan, 2013). Luasan ini meningkat
dibandingkan tahun 2011 yaitu seluas 4399 hektar (BLH Grobogan, 2012).
Dengan keberadaan luas hutan rakyat tersebut, maka harus ada sebuah mekanisme
yang dapat menjaga keberadaan hutan tersebut.

Penetapan kawasan BBN kabupaten inilah yang diatur dalam peraturan desa
(Perdes) dan Peraturan daerah (Perda) di tingkat Kabupaten. Melalui Perdes dan
Perda, ditetapkan kawasan mana dan jumlah luasan yang akan menjadi kawasan
BBN tingkat kabupaten. Konsep kawasan khusus pengembangan BBN pada
dasarnya telah disampaikan oleh tim nasional pengembangan BBN (2006). Dalam
konsep ini definisi mengenai kawasan khusus pengembangan BBN adalah
kawasan strategis terpilih untuk Pengembangan BBN yang berbasis kepada
industri perkebunan/pertanian (Tim Nasional BBN, 2006). Penetapan kawasan
strategis inilah yang kemudian diturunkan ke tingkat Kabupaten dalam bentuk
Perda dan Perdes.

131
4.4.6. Rekonstruksi aspek ekonomi
4.4.6.1.Pendefinisian akar permasalahan (Root Definition of Relevant Purposeful
Activity)
4.4.6.1.1. Pendefinisian akar permasalahan aspek Ekonomi dan Bisnis DME

Sistem Aktivitas Manusia:

“Sebuah sistem yang dimiliki dan dioperasikan oleh warga Desa Tanjungharjo,
perangkat desa dan Pemda Kabupaten Grobogan (Q) untuk penghematan energi,
dengan cara memproduksi, memanfaatkan BBN untuk keperluan rumah tangga
dan memasarkan produk BBN (P), untuk meningkatkan pendapatan masyarakat
desa Tanjungharjo dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang sesuai dengan
prinsip pembangunan berkelanjutan berbasis lingkungan hidup (R)”.

Tabel 4.11
Analisis CATWOE aspek ekonomi dan bisnis desa mandiri energi
Customers Warga Desa Tanjungharjo, Perangkat desa dan Pemda
Kabupaten Grobogan
Actor Warga Desa Tanjungharjo, Perangkat desa dan Pemda
Kabupaten Grobogan
Transformation Meningkatkan pendapatan warga desa Tanjungharjo
dan penduduk Kabupaten Grobogan dengan cara
mengurangi pengeluaran belanja energi rumah tangga,
memproduksi, memanfaatkan dan memasarkan produk
BBN.
World view Peluang memproduksi dan memasarkan BBN sebagai
merupakan kesempatan untuk meningkatkan
pendapatan dan pertumbuhan ekonomi Desa
Tanjungharjo.
Owner Warga Desa Tanjungharjo, Perangkat desa dan Pemda
Kabupaten Grobogan
Enviroment Keterbatasan waktu, anggaran dan narasumber.

4.4.6.2. Penyusunan model konseptual


4.4.6.2.1. Penyusunan model konseptual ekonomi dan bisnis DME

Berangkat dari teori pertumbuhan ekonomi (Joseph Schumpeter dalam Jhingan,


1988 dan Budiono, 1999), resource based value (Muafi, 2010; Absah, 2008),
maka beberapa kegiatan yang ditawarkan adalah sebagai berikut:

132
1. Mengidentifikasi potensi pasar produk biofuel dan produk olahan
turunan lainnya. Proses identifikasi dilakukan sebagai pertimbangan
apakah produk yang akan dihasilkan benar-benar memiliki daya saing
yang baik di pasar. Identifikasi dilakukan dengan melihat potensi
pasar dan harga BBM sebagai barang subtitusinya.
2. Menentukan jenis dan harga produk yang akan dihasilkan. Dari hasil
identifikasi, dilakukan penentuan harga jual atas produk BBN yang
dihasilkan. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan daya saing
produk terhadap jenis BBN lain dan BBM.
3. Membentuk badan usaha pemasaran produk. Badan usaha ini
diperlukan sebagai pengejawantahan modal sosial dalam kegiatan
ekonomi, khususnya produksi, distribusi dan pemasaran produk BBN.
4. Pelatihan dilakukan bekerjasama dengan perguruan tinggi lokal atau
LSM yang kompeten.
5. Melatih orang-orang yang akan terlibat dalam produksi dan
manajemen usaha. Pelatihan dilakukan bekerjasama dengan perguruan
tinggi lokal atau LSM yang kompeten.
6. Menentukan lokasi usaha dan pergudangan. Sebagai bagian dari rantai
pasok, penentuan lokasi usaha dan pergudangan dilakukan dengan
mempertimbangkan kondisi alam (kelembaban dan sebagainya), jarak
dari kebun ke lokasi penyimpanan dan produksi, infrastruktur, metode
distribusi dan sebagainya. Dalam penentuan ini, dapat melibatkan
perguruan tinggi sebagai masukan.
7. Memberikan bantuan mesin pengolah minyak dan produk lainnya.
Bantuan diberikan dengan mempertimbangkan UU No.19 Tahun 2013
Tentang Perlindungan & Pemberdayaan Petani dan UU No.6 Tahun
2014 Tentang Desa.
8. Memberikan bantuan permodalan. Bantuan diberikan dengan
mempertimbangkan UU No.19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan &
Pemberdayaan Petani dan UU No.6 Tahun 2014 Tentang Desa.
9. Mendampingi pengurus dalam pengelolaan usaha. Proses pendapingan
dilakukan oleh Perguruan Tinggi lokal atau LSM yang kompeten.

133
10. Melibatkan kerjasama Pemda dalam pemasaran hasil produk.
Keterlibatan pemda menjadi penting sebagai upaya yang tidak
terpisahkan dari rencana pembangunan daerah dan penggunaan
APBD.
11. Evaluasi rutin
12. Menentukan kriteria 4E (efficacy, efficiency, effectiveness,
ethicality):
a) Keberhasilan (Efficacy): produk BBN yang dihasilkan dan
digunakan sendiri untuk mencapai kemandirian energi warga desa
dan dapat dijual atau dipasarkan untuk menambah pendapatan
warga desa.
b) Efisiensi: bekerjasama dengan pemda kabupaten dan dalam
jaringan (daring) untuk hal pemasaran hasil produk.
c) Efektivitas:
1. Mengikuti pameran berkala
2. Terbangun website produk
d) Keetikaan: kejujuran, kesetiaan, komitmen, penghormatan
terhadap nilai-nilai kemanusiaan, saling menghargai pendapat,
perbedaan budaya dan kepercayaan.

13. Pemantauan
14. Pengendalian

134
1.Mengidentifikasi
potensi pasar produk 2.Menentukan jenis
biofuel dan produk dan harga produk
10.Melibatkan 11.Evaluasi
olahan turunan lainnya yang akan dihasilkan
pemda dalam rutin
pemasaran produk

9.Mendampingi
4.Melatih pengurus mengenai 3.Membentuk badan 6.Menentukan lokasi pengurus koperasi
metode penyimpanan dan
usaha usaha dan gudang dalam pengelolaan
pemasaran produk
usaha

5.Melatih orang-orang yang 7.Memberikan 8. Memberikan


akan terlibat dalam produksi dan bantuan mesin bantuan
manajemen usaha pengolah minyak permodalan
dan produk lainnya

13.Monitoring 14.Take control action

12.Menentukan kriteria 3E Gambar 4.7


Model Konseptual Aspek Ekonomi dan Bisnis DME

135
4.4.6.3. Membandingkan model konseptual dengan dunia nyata
4.4.6.3.1. Ekonomi dan bisnis DME
Tabel 4.12
Komparasi model konseptual ekonomi dan bisnis DME dengan kondisi DME
No. Tahapan model konseptual Hasil identifikasi
1 Mengidentifikasi potensi pasar produk Tidak dilakukan; karena sejak awal jenis tanaman yang dikembangkan sudah
biofuel dan produk olahan turunan ditentukan, yaitu tanaman jarak pagar.
lainnya
2 Menentukan jenis dan harga produk Penentuan harga dilakukan oleh PT Enhil, yaitu sebesar Rp500 per kg. Harga ini
yang akan dihasilkan kemudian ditetapkan melalui MOU dengan pihak Pemda Kabupaten Grobogan.
3 Membentuk badan usaha Tidak ada. Badan usaha yang ada adalah PT Enhil sebagai sebuah perusahaan
swasta. Namun dalam perkembangannya juga ada sejumlah pabrik pengolahan lain
di Kecamatan Toroh yang dibiayai oleh PT. Pertamina.
4 Melatih pengurus koperasi mengenai Tidak ada; karena penyimpanan produk dan pemasaran dilakukan sepenuhnya oleh
metode penyimpanan dan pemasaran PT Enhil.
produk
5 Melatih orang-orang yang akan terlibat Tidak ada; karena pengelolaan usaha dilakukan sepenuhnya oleh PT Enhil.
dalam manajemen usaha pabrik
6 Menentukan lokasi usaha dan gudang Tidak ada. Penentuan usaha yang ada hanyalah sebatas pada permintaan PT Enhil
kepada pihak perangkat desa untuk mencarikan tanah untuk keperluan membangun
pabrik pengolahan minyak jarak.
7 Memberikan bantuan mesin pengolah Tidak ada bantuan mesin. Mesin yang ada adalah milik dari PT Enhil. Namun
minyak tdalam perkembangannya, “proyek” baru DME tanaman jarak yang dibiayai oleh
Pertamina di Kecamatan Toroh desa Bandungharjo juga menyediakan mesin
pengolah minyak tanaman jarak baru.
8 Memberikan bantuan permodalan Bantuan permodalan yang ada adalah janji dari presiden untuk diberikan kepada
kelompok tani dengan total sebesar Rp10 milyar. Dana tersebut berasal dari
“BUMN Peduli”, yaitu PT RNI, Pertamina dan PGN.

136
Tabel 4.12 (lanjutan)
Komparasi model konseptual Ekonomi dan bisnis DME dengan kondisi DME
9 Mendampingi pengurus koperasi dalam Tidak ada pendampingan; karena tidak ada koperasi atau badan usaha yang
pengelolaan dibentuk.
10 Melibatkan pemda dalam pemasaran Tidak ada pelibatan Pemda. Pemasaran sepenuhnya dilakukan oleh PT Enhil.
produk
11 Evaluasi rutin Tidak ada evaluasi terkait pemasaran produk yang melibatkan masyarakat.
12 Menentukan kriteria Tidak ada kriteria yang jelas untuk menilai keberhasilan bisnis minyak tanaman
jarak. Penilaian dari aspek bisnis sepenuhnya dilakukan oleh PT Enhil.
13 Pemantauan Pemantauan dilakukan oleh Pertamina dan Bappeda. Namun pemantauan ini baru
dilakukan setelah PT Pertamina membangun pabrik di Kecamatan Toroh.
14 Take control action Tidak ada
Sumber: olahan peneliti

137
4.4.6.4. Penyesuaian dan melaksanakan rekonstruksi ekonomi dan bisnis

Dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, maka keberlanjutan ekonomi menjadi


salah satu fokus dalam pelaksanaan rekonstruksi. Keberlanjutan ekonomi pada konteks
DME adalah sebuah mekanisme yang mampu menjamin memberikan peningkatan
kesejahteraan bagi masyarakat DME dalam jangka panjang. Berangkat dari prinsip ini,
maka pada tataran makro, penyesuaian dan perubahan pertama yang harus dilakukan
adalah kebijakan mengenai subsidi BBM harus dikurangi secara bertahap hingga pada
akhirnya dihapuskan. Hal ini pada dasarnya terkait bahwa kebijakan subsidi BBM telah
menciptakan distorsi pada harga energi di Indonesia. Sebagai dampaknya, berbagai
sumber energi alternatif lainnya (termasuk BBN), menjadi tidak kompetitif. Hasil
wawancara dengan PT Pertamina (tanggal 19 Mei 2014), menyebutkan bahwa, salah
satu penyebab kegagalan DME berbasis minyak tanaman jarak adalah adanya subsidi
BBM. Dampaknya adalah, minyak tanaman jarak yang dihasilkan menjadi tidak
kompetitif. Masyarakat desa juga lebih memilih menggunakan BBM khususnya minyak
solar bersubsidi karena lebih mudah mendapatkannya. Masyarakat hanya perlu membeli
minyak solar tersebut di SPBU.

Penyesuaian kedua yang harus dilakukan adalah perlunya peninjauan ulang terhadap
kebijakan mengenai subsidi LPG. Semenjak dikeluarkannya program konversi minyak
tanah ke LPG 3 kg, masyarakat desa lebih banyak menggunakan LPG 3 kg untuk
keperluan rumah tangganya. Dalam perkembangannya, program ini juga telah
mendorong peningkatan permintaan kebutuhan akan LPG nasional. Akibatnya,
Indonesia saat ini lebih banyak mengimpor LPG dari Timur Tengah. Tahun 2013
konsumsi LPG nasional sebesar 5,7 juta metrik ton. Tahun 2014 diperkirakan naik
menjadi 6,1 juta metrik ton. Dampaknya, impor naik dari 3,3 juta ton menjadi 3,7 juta
ton. Artinya dengan jumlah tersebut 60% kebutuhan LPG nasional dipenuhi dengan
cara impor. Besarnya impor LPG ini juga dapat dipahami dengan melihat proses
produksinya. LPG merupakan gas hidrokarbon dari kilang minyak dan kilang gas
dengan komponen utama gas propane (C3H8) dan butane (C4H10). Sementara, gas
yang banyak dihasilkan oleh Indonesia adalah gas metana (CH4) dan butane. Sehingga

138
tidak mengherankan apabila ada kebutuhan yang besar terhadap impor untuk memenuhi
kebutuhan LPG dalam negeri.

Ketergantungan yang tinggi terhadap impor LPG dan fluktuasi nilai tukar, pada
akhirnya menyebabkan pada harga LPG yang cenderung terus meningkat. Dalam
konteks inilah, maka diperlukan perubahan dengan dengan pemilihan jenis energi BBN
yang benar-benar memiliki tingkat keekonomian yang tinggi.

Mencermati pengalaman kasus desa Tanjungharjo, hasil wawancara dengan kelompok


tani menunjukan bahwa petani memiliki harapan yang berlebih terhadap minyak jarak
sebagai sumber pendapatan. Kondisi seperti ini pada dasarnya menjadi sangat dapat
dipahami mengingat kondisi petani yang relatif masih banyak hidup dibawah garis
kemiskinan. Tanpa adanya jaminan pendapatan, petani akan selalu berupaya mencari
komoditas yang sekiranya mampu menjadi sumber pendapatan yang lebih baik bagi
mereka. Kehadiran minyak jarak atau minyak BBN lainnya, tentunya juga diharapkan
petani akan menjadi sumber pendapatan baru yang mampu meningkatkan kesejahteraan
mereka. Persoalannya sekarang adalah bagaimana mengelola harapan tersebut hingga
menjadi sebuah kenyataan.

Berangkat dari teori pertumbuhan ekonomi yang disampaikan oleh Schumpeter (op.cit),
sebenarnya pengenalan minyak tanaman jarak sebagai biodiesel pada dasarnya memang
merupakan sebuah inovasi baru yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hasil
wawancara dan observasi lapangan ke pabrik pengolahan minyak jarak di kecamatan
Toroh, secara umum juga sangat memungkinkan untuk dilakukan pada tingkat
menengah dan kecil. Meski dalam jumlah yang terbatas, namun pada dasarnya
pengolahan dan pemasaran minyak BBN bukannya tidak mungkin dilakukan oleh
masyarakat dalam skala menengah dan kecil. Hal ini dapat dilakukan dengan prasyarat
bahwa, orientasi masyarakat tidak dimulai dengan mengejar keuntungan bisnis semata
dan dalam jumlah yang besar. Meski dapat diproduksi dalam skala menengah, namun
merujuk pada hasil studi yang dilakukan oleh Hadi et al. (2006) yang membandingkan
dengan solar, menunjukkan bahwa pengembangan biodiesel dari bahan jarak pagar
(Jatropha curcas, Linn) masih harus mendapat subsidi benih secara penuh. Dalam

139
pengembangan jarak sebagai sumber biodiesel sangat dipengaruhi oleh harga minyak
mentah dunia, rendemen biji-CJO dan pemberian subsidi serta nilai tukar rupiah. Studi
ini juga menunjukan bahwa pengembangan jarak sebagai tanaman biodiesel belum
dapat dilakukan oleh petani. Pengembangan biodiesel dari minyak jarak baru
dimungkinkan jika dilakukan oleh perusahaan besar dengan modal yang cukup besar
pula, sehingga memungkinkan untuk membangun sebuah perkebunan jarak sendiri.
Sementara di tingkat petani, hal tersebut belum memungkinkan. Hal ini juga disebabkan
belum adanya teknologi mampu dijalankan oleh para petani. Masih adanya
kemungkinan untuk terjadinya penurunan harga minyak mentah juga menyebabkan
adanya keengganan dari para petani untuk menanam pohon jarak karena khawatir
terjadi penurunan harga (Hadi et al., 2006).

Merujuk pada teori Resource Based Value (Muafi, 2010; Absah, 2008; Barney, 1991
dalam Absah, 2008), maka dalam proses rekonstruksi DME di Kabupaten Grobogan,
perlu dipilih sumber daya atau bahan mentah energi alternatif yang memang memiliki
nilai ekonomis paling tinggi. Dengan demikian diharapkan akan menjadi inovasi baru
untuk pertumbuhan ekonomi sebagaimana disampaikan oleh Schumpeter. Berangkat
dari penjelasan berbagai bahan baku biodiesel dan BBN lain dan dikaitkan dengan
deskripsi kondisi Kabupaten Grobogan, maka salah satu jenis bahan bakar nabati yang
dapat dikembangkan di desa-desa di Kabupaten Grobogan adalah bioetanol dari jagung.
Potensi pengembangan ini sangat besar mengingat Kabupaten Grobogan merupakan
salah satu sentra produksi jagung, khususnya di Jawa Tengah. Sampai dengan tahun
2010, berdasarkan data BPS yang dikutip Nedi et al. (2013), luas panen jagung di
Kabupaten Grobogan mencapai 131.103 hektar, dengan produksi sebesar 708.013 ton.
Rata-rata produktivitasnya mencapai 5,4 ton per hektar (ibid). Hasil penelitian Nedi et
al. yang dilakukan pada Musim Tanam II yaitu 15 September sampai dengan 24
Nopember 2012 (ibid), menunjukan bahwa produksi jagung MT II 2012 di Kabupaten
Grobogan seluas 63,47 ha adalah sebesar 244.840 kg dengan rata-rata produksi per
usaha tani sebesar 2.040,33 kg. Sedangkan produksi per hektar adalah sebesar 3.857,57
kg. Hasil produksi jagung petani adalah 3-5 ton per hektar pipilan kering. Dengan
produksi tersebut, biaya produksi yang diperlukan adalah Rp 1,4 juta usaha per tani atau

140
Rp 2,4 juta per hektar. Sementara penerimaan per tani sebesar Rp 4,8 juta dan per hektar
sebesar Rp 9,2 juta. Hasil perhitungan rasio B/C penelitian ini juga menunjukan hasil
sebesar 2,74 yang lebih besar dari 1. Dengan demikian, jagung masih berpotensi untuk
menjadi komoditas utama Kabupaten Grobogan.

Tanaman jagung adalah tanaman semusim determinat, dan satu siklus hidupnya
diselesaikan dalam 80-150 hari. Paruh pertama dari siklus merupakan tahap
pertumbuhan vegetatif dan paruh kedua untuk pertumbuhan generatif (Iriany et.al.
http://balitsereal.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/tiga.pdf, diunduh 17 Februari
2015, jam: 12.34). Taksonomi untuk tanaman jagung adalah sebagai berikut (ibid):

Kingdom : Plantae

Divisi: Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledoneae

Ordo : Graminae

Famili : Graminaceae

Genus : Zea

Spesies : Zea mays L.

Dalam pengembangan bioetanol berbahan jagung ini, secara umum diperlukan 2,4 kg
jagung untuk menghasilkan 1 liter bioetanol (Prihandana dan Roy, 2008). Jika
kemudian Kabupaten Grobogan ini mengembangkan bioetanol dengan berbahan jagung,
maka dengan jumlah produksi tersebut (dengan asumsi maksimal hanya 25% hasil
panen jagung diolah untuk bioetanol), maka dapat dihasilkan 73.751.354 liter potensi
bioetanol jagung yang dapat dihasilkan oleh Kabupaten Grobogan. Apabila dengan
asumsi bahwa harga bioetanol saat ini adalah Rp 7700 per liter, maka potensi
penerimaan kotor yang dapat diterima oleh Kabupaten Grobogan adalah sebesar Rp
567.885.427.083 per tahun. Jika kemudian rata-rata biaya produksi bioetanol jagung per
liter sebesar Rp 5000 (biaya ini termasuk biaya distribusi dan keuntungan produsen)
(Prihandana dan Roy, 2008), maka total biaya yang dikeluarkan adalah sebesar Rp

141
368.756.770.833. Sehingga potensi pendapatan bersih dari bioetanol adalah sebesar Rp
199.128.656.250.

Kekhawatiran mengenai kebutuhan jagung sebagai bahan pangan, pada dasarnya


dikendalikan dengan regulasi kuota. Hal ini dapat diatur dalam sebuah Perdes dan Perda
yang mengatur besaran maksimal jumlah panen jagung yang dikonversi menjadi
bioetanol. Melalui kebijakan kuota tersebut, maka jumlah panen jagung yang dihasilkan
untuk kepentingan pangan akan tetap bisa terjaga. Tahun 2013 produksi jagung
nasional adalah sebesar 18,51 juta ton. Jumlah tersebut mengalami penurunan dari tahun
2012 yang mencapai 19,39 juta ton. Sementara kebutuhan jagung nasional masih
sebesar 14,4 juta ton. Terjadinya surplus produksi jagung ini artinya memberikan ruang
untuk pengembangan bioetanol berbahan dasar jagung

142
4.4.7. Rekonstruksi aspek sosial
4.4.7.1. Pendefinisian akar permasalahan (Root Definitions of Relevant Purposeful
Activity)
4.4.7.1.1. Pendefinisian akar permasalahan Perubahan Pemahaman dan Cara Pandang
Sistem Aktivitas Manusia:

“Sebuah sistem yang dimiliki dan dioperasikan oleh warga Desa Tanjungharjo,
perangkat desa dan Pemda Kabupaten Grobogan (Q) dalam merekonstruksi konsep
pemahaman dan cara pandang tentang DME, dengan cara memahami keterkaitan
konsep DME dengan ketahanan energi nasional (P), untuk mencapai pemahaman yang
menyeluruh tentang DME yang sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan berbasis lingkungan hidup (R)”.

Tabel 4.13
Analisis CATWOE perubahan pemahaman dan cara pandang
Customers Peneliti, Promotor dan Ko-Promotor serta UI
Actor Warga Desa Tanjungharjo, Perangkat desa dan Pemda
Kabupaten Grobogan
Transformation Rekonstruksi konsep model pemahaman tujuan DME dalam
kerangka ketahanan energi nasional agar sesuai dengan
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan
World view Pemahaman yang menyeluruh dari masyarakat melalui
intervensi sosial akan menentukan keberhasilan dalam
pelaksanaan prinsip pembangunan berkelanjutan di suatu
DME.
Owner Masyarakat desa, perangkat desa dan Pemda Kabupaten
Grobogan
Enviroment Keterbatasan waktu, anggaran dan birokratis.

4.4.7.1.2. Pendefinisian akar permasalahan Pengorganisasian dan Pemberdayaan


Masyarakat
Sistem Aktivitas Manusia:
“Sebuah sistem yang dimiliki dan dioperasikan oleh warga Desa Tanjungharjo,
Perangkat Desa dan Pemda Kabupaten Grobogan (Q) dalam merekonstruksi konsep
pengorganisasian dan pemberdayaan masyarakat pada DME, dengan cara

143
mengidentifikasi faktor-faktor keberhasilan dari sisi sosial dan politik yang harus
dimiliki oleh sebuah desa (P), untuk mencapai model pemberdayaan masyarakat DME
yang sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan berbasis lingkungan
hidup (R)”.
Tabel 4.14
Analisis CATWOE sosial, pengorganisasian dan pemberdayaan masyarakat
Customers Peneliti, Promotor dan Ko-Promotor serta UI
Actor Warga Desa Tanjungharjo, Perangkat Desa dan Pemerintah
Daerah Kabupaten Grobogan
Transformation Rekonstruksi konsep model pengorganisasian dan
pemberdayaan masyarakat pada DME agar sesuai dengan
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan
World view Partisipasi masyarakat melalui pengorganisasian dan
pemberdayaan akan menentukan keberhasilan dalam
pelaksanaan prinsip pembangunan berkelanjutan di suatu
desa.
Owner Masyarakat desa, Perangkat Desa dan Pemerintah Daerah
Kabupaten Grobogan
Enviroment Keterbatasan waktu, anggaran dan birokratis.

4.4.7.2. Penyusunan model konseptual

4.4.7.2.1. Penyusunan model konseptual perubahan Perubahan Pemahaman dan cara


pandang

Menyusun model konseptual intervensi perubahan pemahaman dan cara pandang

Berdasarkan teori 3 tahap perubahan yang disampaikan oleh Kurt Lewin (1951),
persuasi (Goldstein et al., 2008) kegiatan yang ditawarkan ialah:
1. Memberikan pemahaman/sosialisasi tentang jumlah BBM dan LPG yang
jumlahnya semakin menipis, serta harus melakukan impor. Jika tidak
mengembangkan energi alternatif berbasis sumber daya lokal, maka masyarakat
pada suatu saat akan mengalami krisis energi (membeli energi dengan harga
mahal).
2. “Menantang” sebagai bentuk stimulasi masyarakat, apakah mereka bisa
mengembangkan energi alternatif yang dapat memenuhi kebutuhan energi

144
rumah tangga mereka sehari-hari, dan sisanya bisa dijual untuk menambah
pendapatan.
3. Menentukan tujuan rencana pengembangan energi alternatif berbasis
sumberdaya lokal. Gunakan para inisiator berpengalaman untuk melakukan hal
ini. Inisiator berfungsi untuk menuntun warga desa dalam setiap kegiatan yang
akan mereka lakukan. Para warga desa juga diberikan peran penting dalam
pengembangan energi alternatif sesuai kemampuan dan keinginan mereka.
4. Melakukan perayaan/syukuran pada setiap tahapan keberhasilan pengembangan
energi alternatif berbasis sumberdaya lokal. Berikan penghargaan bagi mereka
yang berprestasi
5. Memberikan tantangan baru kepada masyarakat desa mengenai pengembangan
energi alternatif berbasis sumberdaya lokal di masa berikutnya.
6. Evaluasi rutin
7. Menentukan kriteria 3 E (efficacy, efficiency, effectiveness):
a) Keberhasilan (Efficacy): perubahan cara pandang dan pemahaman masyarakat
tentang pentingnya pengembangan energi baru dan terbarukan yang ramah
lingkungan sebagai pengganti energi yang mereka gunakan selama ini..
b) Efisiensi: masyarakat dapat secara sukarela menerima pemahaman baru
mengenai perlunya mengembangkan energi baru dan terbarukan yang ramah
lingkungan untuk pemenuhan energinya sendiri secara subsisten dalam waktu
yang singkat.
c) Efektivitas: bertambah banyaknya jumlah masyarakat yang mau terlibat dalam
pengembangan energi baru dan terbarukan.
8. Pemantauan
9. Pengendalian (take control action).

145
1.Memberikan sosialiasi 2.Memberikan tantangan kepada
mengenai kondisi jumlah warga desa apakah mereka bisa 3.Menentukan tujuan
BBM dan LPG yang terus mengembangan energi alternatif rencana pengembangan
menipis dan impor yang yang bisa memenuhi kebutuhan energi alternatif
meningkat energi rumah tangga mereka berbasis sumberdaya
sehari-hari, dan sisanya bisa dijual lokal.
untuk menambah pendapatan.

4.Melakukan perayaan/syukuran pada setiap


5.Memberikan tantangan baru
tahapan keberhasilan pengembangan energi
kepada masyarakat desa mengenai
alternatif berbasis sumberdaya lokal.
6.Evaluasi rutin pengembangan energi alternatif
Berikan penghargaan bagi mereka yang
berbasis sumberdaya lokal di masa
berprestasi
berikutnya.

8.Monitoring 9.Take control action

7.Menentukan kriteria 3E
Gambar 4.8
Model konseptual perubahan pemahaman dan cara pandang

146
4.4.7.2.2. Penyusunan model konseptual Pengorganisasian dan Pemberdayaan
Masyarakat

Berangkat dari teori intervensi komunitas yang disampaikan oleh Rothmans (1995
dalam Adi 2007), konsep pemberdayaan menurut Jim Ife (dalam Alfitri, 2011), Swift
dan Levin (Alfitri, ibid.), elemen kunci partisipasi masyarakat (Mitchell, Setiawan dan
Dwita, 2010) serta 8 tingkatan partisipasi masyarakat (Arstein, 1969), perubahan sosial
(Gillin dan Gilin serta MacIver dan Page dalam Kumar, 2001), maka beberapa kegiatan
yang ditawarkan adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi jumlah dan jenis organisasi sosial kemasyarakatan yang


ada di DME bersangkutan. Kegiatan ini dilakukan untuk melihat dan
mengidentifikasi kelompok-kelompok apa saja yang ada di desa tersebut.
Melalui identifikasi ini pula, diharapkan membantu inisiator dalam
menentukan pihak-pihak mana saja yang dinilai dapat terlibat dalam DME.
2. Melakukan pemetaan relasi sosial yang ada di DME bersangkutan. Sebagai
kelanjutan dari proses identifikasi kelompok sosial, pemetaan sosial juga
diharapkan mampu menilai secara lebih mendalam mengenai bentuk-bentuk
kepercayaan (trust) sosial yang ada di masyarakat. Adanya pengetahuan
tingkat kepercayaan ini, akan membantu inisiator dalam penentuan bentuk
kerja bagi para pihak yang terlibat.
3. Membentuk kelompok/organisasi yang akan terlibat dalam pembudidayaan
tanaman. Pembentukan kelompok masyarakat ini pada dasarnya dilakukan
melalui inisiatif dan pertemuan-pertemuan yang dihadiri oleh para pihak.
Kelompok masyarakat yang berhasil dibentuk memiliki tanggung jawab
utama dalam melakukan sosialisasi kepada masyarakat lain secara lebih luas
mengenai manfaat pengembangan energi alternatif bagi lingkungan desanya
serta manfaat ekonomi yang akan diperoleh jika masyarakat mau
mengembangkan energi alternatif. Kelompok-kelompok masyarakat ini
pada dasarnya merupakan inisiator di tingkat lokal yang menjadi penggerak
utama perubahan di desanya.

147
4. Menentukan orang-orang yang akan terlibat dalam manajemen usaha BBN
dan produk olahan lainnya. Sama dengan pembentukan kelompok
masyarakat, penentuan orang-orang yang akan mengelola usaha ini
merupakan hasil dari inisiatif dan pertemuan para pihak. Kelompok ini
bertanggung jawab dalam pengelolan usaha yang berbasiskan pada
masyarakat/petani.
5. Merumuskan/konsultasi permasalahan bersama dan rencana kegiatan
bersama. Proses konsultasi ini merupakan inti dari proses pengorganisasian
dan pemberdayaan masyarakat. Karena pada proses inilah, masyarakat
“dipaksa” untuk mampu mengidentifikasi apa yang menjadi permasalahan,
kebutuhan dan kapasitas sumberdaya (alam, manusia dan sosial) terkait
dengan DME; bukan pada keinginan atau kepentingan kelompok, atau
bahkan individu.
6. Sosialisasi rencana kegiatan ke Pemda dan masyarakat dengan yang lain.
Rumusan permasalahan dan rencana kegiatan disampaikan kepada pihak
Pemda sebagai sebuah bentuk inisiatif dan kemitraan.
7. Pembentukan kelembagaan bersama. Kelembagaan dalam kerangka
institusional diperlukan dimana modal sosial tertambat. Kelembagaan ini
dibentuk sebagai upaya merangkai berbagai kapasitas yang tersebar di desa.
Salah satu bentuk yang ditawarkan adalah Dewan Energi Desa (DED).
8. Evaluasi rutin
9. Menetukan kriteria 4 E (Efficacy, Efficiency, Effectiveness, Ethicality):
a) Keberhasilan (Efficacy): masyarakat desa terlibat secara aktif mulai dari
tahap identifikasi permasalahan, perencanaan, pelaksanaan kegiatan dan
kendali atas hasil-hasil yang telah dicapai.
b) Efisiensi: masyarakat secara sadar berswadaya untuk mengorganisir diri
untuk merencanakan berbagai aktivitas terkait program DME.
c) Efektivitas: terbentuknya kelompok-kelompok tani di tiap daerah di desa
tersebut
d) Keetikaan: penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, saling
menghargai pendapat, perbedaan budaya dan kepercayaan.

148
10. Pemantauan
11. Pengendalian (take control action)

149
1.Mengidentifikasi jumlah 2.Melakukan pemetaan 3.Membentuk kelompok/
dan jenis organisasi sosial sosial relasi sosial yang organisasi yang akan
kemasyarakatan yang ada ada di DME bersangkutan menjadi inisiator lokal
di DME bersangkutan dalam sosialisasi tujuan
manfaat DME

4.Menentukan orang-orang yang


5.Merumuskan/ konsultasi permasalahan
akan terlibat dalam manajemen
dan rencana kegiatan pelatihan dan
usaha BBN dan produk olahan
pendampingan bersama
lainnya

6.Sosialisasi rencana kerja


7.Pembentukan kelembagaan
ke pemda dan masyarakat
8.Evaluasi rutin bersama Dewan Energi Desa
desa
(DED)

10.Monitoring 11.Take control action

9.Menentukan kriteria
3E Gambar 4.9
Model konseptual Pengorganisasian dan Pemberdayaan Masyarakat

150
4.4.7.3. Membandingkan model konseptual dengan dunia nyata
4.4.7.3.1. Perubahan pemahaman dan cara pandang
Tabel 4.15
Komparasi model konseptual perubahan dan cara pandang terhadap DME
No. Tahapan model konseptual Hasil identifikasi
1 Memberikan pemahaman/sosialisasi tentang jumlah Penjelasan dan sosialisasi mengenai jumlah BBM yang semakin
BBM dan LPG yang jumlahnya semakin menipis, menipis dilakukan secara terbatas. Pengenalan minyak tanaman jarak
serta harus melakukan impor. Jika tidak sebagai bahan bakar alternatif pengganti BBM dilakukan tidak dalam
mengembangkan energi alternatif berbasis sumber kerangka ketahanan energi nasional. Sementara pemahaman dan
daya lokal, maka masyarakat pada suatu saat akan sosialisasi peningkatan konsumsi LPG yang meningkat semenjak
mengalami krisis energi (membeli energi dengan dikeluarkannya kebijakan LPG bersubsidi, Indonesia kini juga harus
harga mahal). melakukan impor LPG belum ada. Hal ini disebabkan kebijakan LPG
3 kg baru dikeluarkan pada tahun 2007.
2 “Menantang” sebagai bentuk stimulasi masyarakat, Bentuk yang ada adalah ajakan untuk menanam jarak sebagai bahan
apakah mereka bisa mengembangan energi alternatif baku minyak tanaman jarak. Tanpa pemahaman yang luas dan
yang bisa memenuhi kebutuhan energi rumah tangga mendalam mengenai pentingnya pengembangan energi alternatif,
mereka sehari-hari, dan sisanya bisa dijual untuk masyarakat desa hanya melihatnya sebagai komoditas baru untuk
menambah pendapatan. menambah pendapatan.
3 Menentukan tujuan rencana pengembangan energi Tiadanya pemahaman yang luas dan mendalam mengenai pentingnya
alternatif berbasis sumberdaya lokal.Tujuan pengembangan energi alternatif, menyebabkan masyarakat dan petani
pengembangan energi alternatif adalah mengurangi menjadi tidak paham mengenai tujuan sebenarnya dari DME. Hal
pengeluaran belanja energi rumah tangga. Gunakan menyebabkan munculnya sikap pragmatis dari masyarakat dan petani,
para inisiator berpengalaman untuk melakukan hal ini. bahwa minyak tanaman jarak bisa menjadi tambahan pendapatan bagi
Inisiator berfungsi untuk menuntun warga desa dalam mereka. Terlebih ketika mereka mendapat janji bantuan dari Presiden
setiap kegiatan yang akan mereka lakukan. Para warga SBY, mereka sangat mengharapkan bantuan tersebut segera cair.
desa juga diberikan peran penting dalam
pengembangan energi alternatif sesuai kemampuan
dan keinginan mereka.

151
Tabel 4.15 Lanjutan
Komparasi model konseptual perubahan dan cara pandang terhadap DME
No. Tahapan model konseptual Hasil identifikasi
4 Melakukan perayaan/syukuran pada setiap tahapan Rendahnya rasa memiliki atas pengembangan BBN minyak tanaman
keberhasilan pengembangan energi alternatif jarak, menyebabkan petani dan masyarakat hanya melihat pengembangan
berbasis sumberdaya lokal. Berikan penghargaan minyak tanaman jarak sebagai sebuah kegiatan bisnis semata. Jadi setiap
bagi mereka yang berprestasi keberhasilan yang terjadi dalam pengembangan minyak tanaman jarak
oleh PT Enhil dianggap bukan sebagai keberhasilan atas program DME
yang melibatkan masyarakat secara luas. Sehingga tidak ada kegiatan
syukuran atas tiap-tiap tahapan yang berhasil dilalui.
5 Memberikan tantangan baru kepada masyarakat Kegagalan pengembangan minyak tanaman jarak pada proyek DME
desa mengenai pengembangan energi alternatif tersebut, menyebabkan munculnya kekecewaan di kalangan petani.
berbasis sumberdaya lokal di masa berikutnya. Namun demikian, dari hasil wawancara dengan petani terungkap bahwa
mereka pada dasarnya masih sangat mengharapkan adanya sumber BBN
lain yang dapat dikembangkan di desanya.
6 Evaluasi rutin Tidak ada
7 Menentukan kriteria 3 E Tidak ada
8 Pemantauan Tidak ada
9 Pengendalian (take control action) Tidak ada
Sumber: olahan peneliti

152
4.4.7.3.2. Pengorganisasian dan pemberdayaan masyarakat
Tabel 4.16
Komparasi model konseptual pengorganisasian dan pemberdayaan masyarakat dengan kondisi DME
No. Tahapan model konseptual Hasil identifikasi
1 Mengidentifikasi jumlah dan jenis Tidak dilakukan. Identifikasi yang dilakukan hanya sebatas pada orang-orang/
organisasi sosial kemasyarakatan yang petani yang diperkirakan dapat diangkat sebagai ketua kelompok tani.
ada di DME bersangkutan
2 Melakukan pemetaan sosial relasi sosial Tidak dilakukan. Sebagai konsekuensi tidak adanya identifikasi awal kelompok-
yang ada di DME bersangkutan kelompok sosial, maka tidak dilakukan pemetaan relasi sosial yang ada di desa
tersebut.
3 Membentuk kelompok/ organisasi yang Pembentukan kelompok tani yang ada selama ini adalah hasil bentukan dari Pemda
akan menjadi inisiator lokal yang Kabupaten Grobogan. Hasil wawancara dengan kelompok tani menunjukkan
terlibat dalam penyadaran tujuan dan bahwa, keberadaan kelompok tani jarak adalah hasil dari permintaan Pemda
manfaat DME . Kabupaten Grobogan dengan dibantu oleh Perum Perhutani, yang selama ini
memang menjadi tempat kerja petani.
4 Menentukan orang-orang yang akan Tidak ada penentuan orang-orang yang terlibat dalam usaha produksi, manajemen
terlibat dalam manajemen usaha BBN usaha ataupun pemasaran. Hal ini disebabkan karena sebelumnya usaha pengolahan
dan produk olehan lainnya minyak BBN yang ada sepenuhnya merupakan milik swasta.
5 Merumuskan/ konsultasi persoalan dan Tidak ada perumusan permasalahan dan agenda kegiatan bersama. Hal ini
rencana kegiatan pelatihan dan disebabkan bentuk dari kebijakan DME itu sendiri yang bersifat top-down. Hal ini
pendampingan bersama pula yang menyebabkan masyarakat dan petani desa tidak ikut merasa memiliki
proyek DME tersebut.
6 Sosialisasi rencana kerja ke pemda dan Tidak ada. Sosialisasi yang ada hanya sebatas pada rencana peresmian DME oleh
masyarakat desa presiden.
7 Pembentukan kelembagaan bersama Tidak ada. Kelembagaan yang ada hanya sebatas pada pembentukan 15 kelompok
tani jarak.
8 Membagikan kompor BBN kepada Ada. Pembagian kompor minyak tanaman jarak sebagai bagian dari program DME
rumah tangga dilakukan sebagai upaya untuk memasyarakatkan pemanfaatan energi yang
bersumber dari desa setempat. Namun dalam implementasinya, kompor tidak.

153
Tabel 4.15 (lanjutan)
Komparasi model konseptual pengorganisasian dan pemberdayaan masyarakat dengan kondisi DME
No. Tahapan model konseptual Hasil identifikasi
banyak digunakan akibat kurangnya minyak tanaman jarak yang dihasikan
9 Evaluasi rutin Tidak ada evaluasi yang dilakukan secara rutin
10 Menentukan kriteria Tidak ada kriteria yang digunakan untuk menilai keberhasilan DME
11 Pemantauan Pemantauan dilakukan tim dari PT Pertamina, dengan mendatangi petani secara
rutin.
12 Take control action Tidak ada
Sumber: olahan peneliti

154
4.4.7.4. Penyesuaian dan melaksanakan rekonstruksi sosial

Dalam melaksanakan rekonstruksi DME dengan mengacu pada model konseptual


sebagaimana disampaikan sebelumnya, maka prinsip utama yang harus diingat
adalah keberlanjutan. Terkait soal keberlanjutan tersebut, salah satu hal yang
perlu diperhatikan adalah pentingnya modal sosial dalam sebuah keberlanjutan
ekologi sebagaimana disampaikan oleh Cook (2004). Dengan melibatkan modal
sosial dalam rekonstruksi sosial DME, maka diharapkan juga akan menciptakan
keberlanjutan sosial.

Sebagai bagian dari konsep pembangunan berkelanjutan, yang diartikan


keberlanjutan sosial adalah menciptakan sebuah mekanisme yang mampu secara
sosial menjamin DME dapat terus berjalan, dengan menjadikan masyarakat
sebagai aktor utama. Sebagai aktor utama, maka diharapkan akan muncul rasa
“turut memiliki” di dalam masyarakat, yang pada akhirnya menciptakan
kesadaran dan gerakan sosial, serta berujung pada sebuah model pengorganisasian
dan pemberdayaan DME yang berkelanjutan. Hal inilah yang menjadi dasar
dalam rekonstruksi model DME. Sebagai instrumen utama untuk mencapai itu
semua, maka diperlukan inisiator lokal yang juga dihasilkan atas kesepakatan
bersama masyarakat. Dengan demikian, diharapkan pada pelaksanaan inisiasi dan
sosialiasi, masyarakat tidak merasa asing dengan kehadiran para inisiator tersebut.
Sehingga dapat membantu melahirkan kepercayaan di masyarakat.

Berangkat dari prinsip keberlanjutan sosial tersebut, pada tataran mikro,


perubahan orientasi dan pemahaman pentingnya pengembangan energi alternatif
sebagai solusi krisis energi, adalah prasyarat pertama yang harus dilakukan.
Pengembangan energi alternatif berbasis sumber daya lokal untuk pemenuhan
energi masyarakat desa secara subsisten, menjadi utama sebelum sisanya
dipasarkan ke luar daerah. Hal ini harus terus ditanamkan kepada masyarakat
hingga mereka mau memenuhi “tantangan” untuk mengembangan energi
alternatif berbasis sumber daya lokal yang berguna untuk memenuhi kebutuhan
energi mereka. Selain itu, diperlukan pemberian pemahaman yang menyeluruh
kepada warga masyarakat desa, bahwa apa yang dilakukan mereka pada dasarnya
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah kebijakan energi nasional.

155
Karenanya dalam teknis pelaksanaan awal rekonstruksi, tahap unfreezing
sebagaimana disampaikan oleh Lewin (1951) dapat dilakukan dengan teknik
burning platform. Teknik ini dilakukan dengan membangun pemahaman
mengenai krisis energi yang dihadapi oleh Indonesia, tidak terkecuali warga Desa
Tanjung Harjo. Krisis energi ini terjadi akibat semakin berkurangnya cadangan
dan produksi minyak mentah nasional dan LPG yang saat ini sudah 60% dipenuhi
dengan cara melakukan impor. Krisis energi ini apabila dibiarkan akan
mengakibatkan semakin mahalnya harga energi, termasuk untuk kebutuhan rumah
tangga. Tahap unfreezing ini pada dasarnya merupakan prasyarat untuk
pelaksanaan model konseptual pengorganisasian dan pemberdayaan masyarakat.
Karena, untuk mencapai pengorganisiran diperlukan pemahaman yang sama
diantara para pemilik isu. Isu utama penyadaran adalah adanya kebutuhan
pengembangan energi baru terbarukan sebagai bagian dari ketahanan energi
nasional dan pengelolaan lingkungan berkelanjutan kepada masyarakat. Meski
saat ini masyarakat dengan mudah menggunakan gas LPG 3 kg atau kayu bakar
sebagai sumber energi rumah tangga, namun hal tersebut tidak dapat terus
dipertahankan. Semakin berkurangnya cadangan minyak, termasuk di dalamnya
LPG, memerlukan sebuah terobosan baru yang mampu memenuhi kebutuhan
energi secara berkelanjutan. Begitu pula dengan penggunaan kayu bakar.
Penggunaan kayu bakar secara luas dan tidak terkendali, dapat mengakibatkan
rusaknya hutan yang ada selama ini. Melalui proses penyadaran kebutuhan energi
berkelanjutan inilah, proses pengorganisasian dan pemberdayaan masyarakat
dimulai. Sehingga pada akhirnya diharapkan akan mendorong partisipasi
masyarakat secara lebih luas.

Metode dalam penyampaiannya bisa dilakukan dengan menggunakan teknik


drama seperti wayang atau penyuluhan sosialisasi pada saat diadakan pagelaran
budaya lokal seperti tayub. Sosialisasi juga dapat dilakukan melalui radio atau
televisi lokal secara terus menerus. Merujuk pada metode persuasi yang
disampaikan oleh Goldstein et al. (2008), maka beberapa metode yang dapat
dilakukan ialah membangun ketakutan yang sering melumpuhkan (fear often
paralyzes). Ketakutan ini diharapkan akan membangkitkan komunikasi dan
merangsang warga masyarakat desa untuk mengambil tindakan untuk mengurangi

156
ancaman tersebut. Ketakutan yang disampaikan adalah bahwa ada saatnya di masa
depan bahwa masyarakat desa tidak dapat lagi mendapatkan energi dengan mudah
dan murah ketika BBM dan LPG sudah habis. Begitu pula jika hutan habis karena
kayunya digunakan terus untuk kayu bakar. Selanjutnya inisiator menawarkan
masyarakat untuk membantu menyelesaikan permasalahan tersebut dengan cara
menawarkan bantuan pada orang-orang (do favors for people). Inisiator dalam
melakukan persuasi tersebut kiranya lebih melakukan komunikasi dengan kalimat
“siapa yang dapat membantu saya untuk menyelesaikan persoalan energi ini?”
Dengan demikian, diharapkan masyarakat menerima ajakan untuk
mengembangkan energi alternatif tidak dengan terpaksa. Jika diperlukan, untuk
melakukan persuasi kepada beberapa pihak yang dianggap memiliki pengaruh
cukup besar terhadap keberhasilan DME, dapat dilakukan dengan permintaan
secara personal. Sehingga diharapkan mereka merasa lebih “dihargai” dan mau
untuk ikut serta dalam kegiatan DME.

Pada tahap selanjutnya, inisiator juga memerlukan kepastian dari para warga
masyarakat, khususnya kepada para pemilik isu, seperti ketua kelompok tani,
pemerintah dan kepala desa mengenai komitmennya dalam pengembangan DME.
Jika diperlukan inisiator bersama para pemilik isu membuat komitmen tertulis
tentang tujuan dan hal-hal apa saja yang akan dilakukan terkait dengan
pengembangan energi alternatif dan DME.

Jika komitmen dari para pemilik isu sudah terbentuk, maka inisiator harus dapat
memastikan bahwa 6 elemen kunci sebagai dasar mendorong partisipasi
masyarakat dapat dipenuhi dalam setiap langkah yang dilakukan. Hal ini
dilakukan untuk memulai tahap kedua yang disampaikan Lewin yaitu perubahan.
Membangun kecocokan yang dibangun atas dasar kepercayaan antar sesama
warga desa, pada dasarnya dapat dimulai dari proses identifikasi dan pemetaan
relasi sosial yang ada di desa tersebut. Atas dasar hasil kedua proses inilah
sebenarnya pembangunan rasa saling percaya yang lebih luas bisa dilakukan.
Berbagai cara bisa dilakukan oleh para inisiator dalam proses identifikasi dan
pemetaan relasi sosial ini. Diskusi informal, pada dasarnya adalah cara yang
paling efektif untuk mencapai tujuan tersebut. Sebab melalui diskusi informal,

157
para pemangku kepentingan khususnya warga masyarakat menjadi merasa tidak
terbebani atas kegiatan yang dilakukan. Melalui diskusi informal ini pula
sebenarnya dihasilkan apa yang menjadi kepentingan dari masing-masing
pemangku kepentingan. Sehingga proses identifikasi apa yang menjadi
keuntungan dari masing-masing pihak dapat dihasilkan.

Mengingat peran penting dari keberadaan inisiator, maka seorang inisiator lokal
pada dasarnya harus memiliki beberapa kapasitas, khususnya terkait perannya
sebagai pelaku perubahan dan pemberdayaan. Mengadopsi dari 7 peran
konvensional yang dimiliki oleh pekerja komunitas yang disampaikan oleh Adi
(2013), maka setidaknya ada 4 kemampuan yang harus dimainkan oleh para
inisiator DME ini:

1) Pemercepat perubahan. Dalam peran ini, inisiator harus bisa membantu


masyarakat untuk dapat mengartikulasikan kebutuhan, mengidentifikasi
masalah dan mengembangkan kapasitas untuk menyelesaikan
permasalahan secara efektif, khususnya terkait dengan program DME.
2) Pendidik. Sebagai pendidik, inisiator diharapkan mampu
menyampaikan berbagai informasi kepada masyarakat mengenai DME
tersebut secara baik dan jelas. Dengan demikian, ada pemahaman
informasi yang sama di antara warga desa, perangkat desa dan Pemda.
3) Peran sebagai tenaga ahli. Inisiator haruslah mampu memberikan
berbagai masukan, saran serta bentuk dukungan informasi. Termasuk di
dalamnya struktur organisasi yang dibutuhkan dan dapat
dikembangkan, sesuai dengan isu-isu terkait DME dan pengelolaan
lingkungan berkelanjutan.
4) Perencana sosial. Sebagai perencana sosial, inisiator diharapkan
mampu mengumpulkan data dan permasalahan yang ada, menganalisis
dan menyampaikan berbagai alternatif solusi kepada masyarakat terkait
DME.

Melalui proses identifikasi dan pemetaan relasi sosial pula sebenarnya tingkat
partisipasi masyarakat telah mencapai tingkat 3 sebagaimana disampaikan oleh
Arstein (1969, dalam Mitchell, B Setiawan dan Dwita, 2010, op.cit). Berbagai hal

158
yang menjadi keinginan masyarakat sudah mulai teridentifikasi. Bahkan dalam
beberapa hal, proses ini juga telah mencapai tingkat konsultasi (Tingkat 4).
Dengan pencapaian ini, diharapkan masyarakat desa sudah mulai dapat
memahami apa yang menjadi kebutuhan mereka dan hal-hal apa saja yang dapat
dilakukan secara bersama-sama oleh mereka, terkait dengan program DME.
Termasuk pula di dalamnya kesadaran atas berbagai sumberdaya yang dimiliki
oleh desa, sebagai modal yang dapat dikembangkan untuk mencapai peningkatan
kesejahteraan sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.

Berangkat dari kesadaran ini pula, diharapkan akan membentuk instrumen


perwalian yang seimbang dari masing-masing pihak. Terkait dengan DME,
beberapa kelompok yang dapat diidentifikasi sebagai pemangku kepentingan
utama ialah warga desa penerima kompor BBN, kelompok tani dan pengelola
badan usaha. Jika diletakkan pada kerangka organisasional, maka perlu dibentuk
sebuah kelembagaan yang disebut dengan Dewan Energi Desa (selanjutnya
disebut DED). Dewan ini bertugas sebagai lembaga yang menjembatani
lingkungan institusional dengan kelompok sosial yang ada di desa sebagaimana
digambarkan oleh Nee (2003, op.cit). Diluar pihak-pihak dalam masyarakat yang
menjadi pemangku kepentingan utama dalam DED, terdapat pemda dan perangkat
desa serta perguruan tinggi lokal (civil society). Mereka berfungsi sebagai mitra
diskusi kepada DED. Meski demikian, mereka tidak memiliki hak dalam
pengambilan keputusan dalam DED. Dengan demikian diharapkan akan
melahirkan sebuah mekanisme komunikasi antara pemangku kepentingan yang
dapat menjembatani berbagai kepentingan yang dimiliki oleh masing-masing
pihak.

Pada kerangka teoritis dengan mengacu pada model NIES yang disampaikan oleh
Nee (2003), maka skema DED dalam konteks rekonstruksi DME di Kabupaten
Grobogan dapat digambarkan sebagai berikut:

159
Lingkungan
institusional
Insentif:
Mekanisme pasar; Bantuan/
Aksi kolektif
regulasi negara subsidi

Produksi BBN
Perguruan (biodiesel/ bioetanol)
Tinggi Lokal/ Pemda dan
civic society perangkat desa
Dewan Energi Desa

Keterlibatan Pemantauan; penegakan


aktif peraturan

Kelompok tani

Individu

Gambar 4.10
Skema New Institutional Economics and Sociology Dewan Energi Desa
DME
Sumber: modifikasi dari Nee, 2003

Salah satu hal yang membedakan dari Nee (ibid), dalam konteks DME ini, melalui
model skema dewan energi ini kerangka institusional (institutional framework)
menjadi menjadi tidak relevan. Bentuk hubungan yang terjadi antar institusi,
lingkungan institusi (institutional enviroment) dengan individu-individu atau
kelompok sosial yang ada akan bertemu pada DED. Hal ini menjadi penting
sebagai instrumen peningkatan posisi tawar warga desa dengan aturan dan pasar.
Begitu pula dengan berbagai insentif yang diberikan, tidak dapat dilakukan
langsung kepada kelompok-kelompok sosial atau individu. Berangkat dari
pengalaman yang terjadi pada janji bantuan presiden dan mekanisme bantuan

160
yang disampaikan oleh PT Pertamina yang memberikan bantuan langsung kepada
rekening kelompok tani, maka melalui mekanisme DED, hal tersebut dapat
dicegah.

Persoalan yang muncul kemudian adalah, seringkali perwakilan masyarakat


menjadi tidak berfungsi. Keberadaan perwakilan masyarakat dengan segala
keterbatasannya seperti tingkat pendidikan, melek informasi dan sebagainya,
seringkali mengakibatkan perwakilan masyarakat hanya sebatas legitimasi bahwa
kegiatan yang dilakukan sudah melibatkan masyarakat. Persoalan lain yang perlu
diantisipasi adalah, orang-orang yang duduk dalam perwakilan masyarakat
tersebut menjadi sangat elitis. Mereka seringkali mengambil keputusan tanpa
berkonsultasi dengan masyarakat luas yang telah memilihnya. Kondisi-kondisi
seperti ini menjadikan proses pemilihan perwakilan masyarakat dalam DED
menjadi sangat penting dan ketat. Dalam penentuan calon tersebut, persoalan
integritas dan kapabilitas menjadi pertimbangan utama. Oleh karena itu pula,
kriteria keetikaan menjadi sangat penting dalam model konseptual ini. Proses
pemilihan perwakilan masyararakat yang akan duduk di DED ini dapat dilakukan
melalui musyawarah desa. Pemilihan melalui musyawarah ini juga dilakukan
secara berkala, sebagai bagian dari proses monitoring dan evaluasi atas orang-
orang yang duduk dalam DED. Dengan demikian, melalui musyawarah desa ini
pula, diharapkan partisipasi masyarakat dalam DME mulai dari tahap pra
perencanaan hingga evaluasi dapat terlaksana.

Keberadaan DED ini pada dasarnya merupakan instrumen tata kelola


(governance). Melalui DED ini pula diharapkan aksi kolektif seperti lobi terhadap
berbagai regulasi dapat dilakukan. Sehingga berbagai hal yang menjadi
kepentingan bersama dalam sebuah DME dapat tercapai. Dewan energi ini
sekaligus pula merupakan wujud nyata atas modal sosial yang ada. Pertarungan
kepentingan dan kepercayaan berbagai pihak, dapat difasilitasi hingga tercapainya
tujuan program DME. Melalui keberadaan DED ini pula, Tingkat 5 (Plaction)
dapat tercapai, yang artinya masyarakat telah mampu mempengaruhi kebijakan.

Melalui DED ini pula kemudian dapat dirumuskan dan dikonsultasikan apa yang
menjadi permasalahan bersama dan alternatif pemecahannya. Kegiatan yang

161
dirumuskan pada dasarnya adalah hasil negosiasi antar pihak, dalam hal ini
perwakilan warga desa selaku penerima manfaat, kelompok tani, pengelola usaha
dan perwakilan Pemda. Dalam pelaksanaan konsultasi dan perumusan kegiatan
tersebut, setidaknya ada 3 aspek yang harus diperhatikan. Pertama ialah normatif,
yaitu dimana keputusan diambil untuk menentukan apa yang seharusnya
dilakukan. Kedua, strategic, yaitu keputusan dibuat untuk menentukan sesuai
yang dapat dilakukan. Ketiga, ialah operasional, yaitu keputusan dibuat untuk
menentukan apa saja yang akan dilakukan (Mitchell, Setiawan dan Dwita, 2010,
op.cit). Hal lain yang harus menjadi perhatian dalam perumusan kegiatan ini ialah,
bahwa seluruh perencanaan haruslah sesuai dengan Pasal 5 ayat 1, 2 dan 3 UU
No.19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Dalam pasal 5
ayat 1 tersebut, disebutkan bahwa Perencanaan Perlindungan dan Pemberdayaan
Petani dilakukan secara sistematis, terpadu, terarah, menyeluruh, transparan, dan
akuntabel. Dalam ayat 2 juga disebutkan bahwa pelaksanaannya dilakukan dengan
didasarkan pada:

a) daya dukung sumber daya alam dan lingkungan


b) rencana tata ruang wilayah;
c) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
d) tingkat pertumbuhan ekonomi;
e) jumlah petani;
f) kebutuhan prasarana dan sarana; dan
g) kelayakan teknis dan ekonomis serta kesesuaian dengan
kelembagaan dan budaya setempat.
Pada pelaksanaannya, sebagaimana diatur dalam ayat 3, disebutkan bahwa
kesemuanya haruslah sesuai dengan dengan rencana pembangunan yang lebih
besar. Rencana pembangunan yang dimaksud ialah rencana pembangunan
nasional, daerah, pertanian, APBN dan APBD.
Didasarkan pada ketiga aspek tersebut dan pasal 5 UU No.19 tahun 2013 tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, masyarakat dapat dilibatkan; mulai dari
apakah benar masyarakat membutuhkan pengembangan BBN sebagai alternatif
kebutuhan energi, penentuan sumberdaya yang dibutuhkan hingga lokasi usaha
dan pembudayaan tanaman BBN. Meski seringkali proses ini dinilai banyak

162
kalangan membuang waktu dan butuh biaya yang banyak, namun perlu dipahami
bahwa dari proses panjang ini, hasil yang dicapai adalah kesadaran masyarakat
dalam kerangka kemitraan dan partisipasi masyarakat.

Terkait dengan definisi kebutuhan masyarakat ini, Goodin (1990, dalam Adi,
2013, op.cit), menyebutkan bahwa ada 2 aspek penting yang harus diperhatikan,
yaitu prioritas dan kerelatifan. Aspek prioritas menjadi penting terkait adanya
keinginan dan kebutuhan masyarakat. Tidak dapat dipungkiri, seringkali dalam
penentuan kebutuhan ini, keinginan dari kelompok masyarakat tidak selalu sejalan
dangan apa yang mereka butuhkan. Karenanya, proses assessment kebutuhan
masyarakat harus dilakukan dengan membantu masyarakat untuk benar-benar
mengenali apa yang sesungguhnya mereka butuhkan. Di sinilah proses diskusi
informal tersebut kembali diperlukan dalam menentukan apa yang menjadi
kebutuhan masyarakat. Aspek relatif yang dimaksudkan di sini terkait dengan
bentuk kebutuhan itu sendiri. Pada umumnya hal ini terkait dengan kondisi dan
lingkungan di mana desa itu berada. Desa yang berada di area pegunungan tentu
berbeda dengan yang berada di pesisir. Hal ini menyebabkan bentuk kebutuhan
masing-masing masyarakat menjadi berbeda meski pada jenis yang sama.

Aspek regulasi lainnya yang perlu menjadi pertimbangan dalam pengembangan


DED adalah UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Secara umum di dalam UU ini
diatur berbagai aturan yang menyangkut penyelenggaraan pemerintah desa,
termasuk di dalamnya adalah Asas Pengaturan, Kedudukan dan Jenis Desa,
Penataan Desa, Kewenangan Desa, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Hak dan
Kewajiban Desa dan Masyarakat Desa, Peraturan Desa, Keuangan Desa dan Aset
Desa, Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan Perdesaan, Badan Usaha
Milik Desa, Kerja Sama Desa, Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga
Adat Desa, serta Pembinaan dan Pengawasan. Sebagai petunjuk implementasinya,
pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 2014 Tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa.

Terkait dengan DED sebagai instrumen pemberdayaan masyarakat desa di bidang


energi baru terbarukan, UU No.6 Tahun 2014 Tentang Desa serta PP No.43
Tahun 2014, pada dasarnya telah memberikan ruang kepada masyarakat desa

163
dibantu dan difaslitasi oleh kepala dan perangkat desa serta pemerintah desa untuk
bisa mandiri dalam mengelola kekayaan dan aset yang dimiliki oleh desa tersebut.
Termasuk diantaranya adalah investasi sebagaimana diatur dalam pasal 54 ayat 2
UU No.6 Tahun 2014 Tentang Desa. Sebagai sebuah kelembagaan baru di tingkat
desa yang berkepentingan dalam pengembangan dan pengelolaan energi baru dan
terbarukan di desa, investasi menjadi salah satu permasalahan krusial yang
memerlukan kesepakatan banyak pihak. Mengacu pada kasus yang terjadi pada
PT Enhil yang membuka pabrik di desa Tanjungharjo Kecamatan Ngaringan,
maka penetapan sebuah investasi khususnya di bidang energi baru dan terbarukan
dilakukan melalui kesepakatan musyawarah desa. Harapannya adalah masyarakat
memahami tujuan dari rencana investasi dan bentuk partisipasi apa yang bisa
melibatkan masyarakat desa secara luas. Kesalahpahaman yang terjadi di
masyarakat, yang menyebabkan banyak masyarakat berharap akan direkrut
sebagai pegawai di PT Enhil, merupakan bukti bahwa kehadiran PT Enhil tidak
lebih dari sebuah perusahaan yang hadir di sebuah desa. Melihat kejadian
tersebut, dengan pemahaman yang sangat terbatas, tentunya masyarakat desa
menjadi sangat berharap akan memperoleh lapangan kerja di perusahaan tersebut.
Akibatknya, kondisi tersebut menjadi rawan terhadap orang-orang yang mencari
“keuntungan” dengan cara menipu masyarakat. Melalui musyawarah desa,
pembentukan DED dapat difasilitasi untuk mendorong partisipasi masyarakat.

Selain itu, dalam pasal 26 ayat 4 juga telah diatur mengenai kewajiban Kepala
Desa, diantaranya adalah memberdayakan masyarakat dan lembaga
kemasyarakatan di desa (butir n) dan mengembangkan potensi sumberdaya alam
dan melestarikan lingkungan hidup (butir o). Dengan kewajiban tersebut, maka
kepala desa pada dasarnya memiliki kewajiban melibatkan partisipasi masyarakat
secara aktif dalam setiap kebijakan yang akan diambil dan dilaksanakan di tingkat
desa. Termasuk di dalamnya adalah pelestarian lingkungan hidup.

Kelembagaan dewan energi desa ini pada dasarnya bukan hal yang baru. Lembaga
serupa dengan nama yang sama, yaitu “the rural energy board” juga telah
diterapkan di Tanzania (http://www.rea.go.tz/AboutUs/TheRuralEnergyBoard/

164
tabid/147/Default.aspx, diakses 10 Juli 2014, jam 19.36). Kelembagaan ini berdiri
dengan berdasarkan pada UU Energi Desa (The Rural Energy Act) 2005, dengan
tujuan mempromosikan pembangunan sosioekonomi pedesaaan dengan
memfasilitasi perluasan akses terhadap pelayanan energi modern. Sehingga dapa
digunakan untuk berbagai kegiatan ekonomi produktif, kesehatan, pendidikan, air
bersih, keamanan sipil dan kebutuhan domestik (rumah tangga) lainnya. Ada 3
fungsi utama dari lembaga ini, yaitu:
1. Mendukung penyediaan pelayanan energi modern melalui berbagai
proyek yang dikembangkan oleh swasta, entitas publik, koperasi dan
organisasi komunitas lokal.
2. Memfasilitasi penyediaan asistensi teknis untuk memenuhi syarat
pengembang dalam berkontribusi untuk penyediaan pelayanan energi
modern di daerah pedesaan.
3. Mengalokasikan berbagai bentuk hibah dengan cara yang kompetitif dan
efisien untuk mensubsidi biaya proyek, memberikan berbagai
pertimbangan terkait dengan manfaat sosial dan ekonomi, alokasi
sumberdaya pembiayaan dan keberlanjutan proyek.
Secara organisasional, kelembagaan ini juga terdiri atas berbagai pemangku
kepentingan. Diantaranya ialah:
a) Perwakilan kementerian energi
b) Perwakilan kementerian keuangan
c) Perwakilan dari dinas kementerian terkait di pemerintah daerah
d) Perwakilan sektor swasta
e) Perwakilan perbankan Tanzania
f) Perwakilan LSM (civic society)/perguruan tinggi setempat
g) Perwakilan mitra pembangunan
h) Perwakilan dari konsumen/masyarakat.

Dengan demikian, dapat pula disebutkan bahwa DED pada dasarnya juga
merupakan sebuah bentuk dari sebuah triple helix, dimana kepentingan
perusahaan, kebijakan pemerintah dan akademisi bertemu (Etzkowitz and
Leydesdorff, 2000). Sebagai sebuah bentuk pengejawantahan triple helix, DED
memiliki kemampuan untuk dapat memfasilitasi kepentingan semua pemangku

165
kepentingan (pemilik isu) dalam proses rekonstruksi. Sehingga, berbagai inovasi
dalam pengembangan energi baru dan terbarukan yang ramah lingkungan dapat
dilaksanakan dalam rekonstruksi DME di Kabupaten Grobogan. Melalui inovasi
di bidang energi terbarukan yang disampaikan, maka diharpkan akan mendorong
pertumbuhan ekonomi seperti yang telah disampaikan oleh Schumpeter (Jhingan,
1988). Meski demikian, sinergi diantara ketiga komponen tersebut pada dasarnya
adalah pendukung dalam pelaksanaan rekonstruksi. Aktor utama dalam
rekonstruksi tetap berada pada masyarakat desa itu sendiri. Konsep triple helix
DED dalam konteks rekonstruksi DME di Kabupaten Grobogan, pada dasarnya
justru tidak boleh menjadi sesuatu yang dominan. Karena hal tersebut justru akan
menghilangkan peran dan partisipasi masyarakat itu sendiri. Sehingga DED tetap
dapat menjadi modal sosial dalam bentuk organisasi sosial seperti disampaikan
oleh Coleman.

Peran dan fungsi triple helix untuk memperkenalkan sebuah inovasi, pada
dasarnya juga merupakan salah satu kunci adanya perubahan pemahaman dan cara
pandang masyarakat terhadap konsep DME. Pada rekonstruksi DME terutama
aspek sosial, triple helix adalah aktor awal untuk memperkenalkan, mendorong,
hingga mendampingi kerja inisiator lokal sampai terbentuknya DED. Meski
demikian, hal tersebut juga tidak berarti mengabaikan berbagai inovasi yang
muncul dari masyarakat. Sebaliknya, berbagai inovasi dari masyarakat justru
menjadi perhatian utama dalam pengenalan inovasi baru tersebut.

Seiring dengan pengembangan kelembagaan DED tersebut, maka dalam kerangka


pengorganisasian dan pemberdayaan masyarakat, salah satu hal yang menjadi
perhatian adalah keberlangsungan atas kegiatan yang telah dilaksanakan. Salah
satu penunjangnya adalah bagaimana pembiayaan atas berbagai kegiatan tersebut.
Karena itulah, maka masyarakat diharapkan mampu membiayai kegiatannya
sendiri dengan menjalankan sebuah unit usaha mandiri. Masih terkait dengan
modal sosial khususnya kegiatan ekonomi dan pengembangan bisnis komunitas,
maka salah satu bentuk yang dapat dikembangkan adalah Badan Usaha Milik
Desa (BUMDes). BUMDes pada dasarnya merupakan lembaga yang dibentuk
oleh perangkat desa dan masyarakat desa. Bersifat komunal dan bukan tidak

166
dimiliki oleh orang perorang (Boon, 2013). Keberadaan BUM Desa pada dasarnya
telah diatur dalam Pasal 213 UU No.32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
junto Pasal 78-81 PP Nomor 72 Tahun 2005 (Ibid).

Pendirian BUM Desa sebagai sebuah unit usaha komunitas atau petani secara
umum dibedakan dengan Badan Usaha Milik Petani (BUMP) yang kini juga
banyak berkembang. Badan usaha ini merupakan salahan satu bentuk usaha yang
dimiliki bersama masyarakat, khususnya petani. Dilihat dari statusnya, maka
BUMP ini bentuknya ada yang perseroan terbatas (PT) atau koperasi, bersifat
terbuka dan dimiliki oleh banyak orang.

Berangkat dari kebutuhan pemilihan jenis unit usaha yang tepat bagi masing-
masing desa inilah, maka proses penentuan dan sumberdaya manusia yang akan
terlibat menjadi sangat penting. Terlepas dari kelebihan dan kekurangan kedua
jenis bentuk badan usaha tersebut, salah satu persoalan mendasar yang berpotensi
muncul adalah integritas para calon pengurus. Baik BUMP maupun BUM Desa
dibentuk dengan didasarkan pada kepercayaan yang sangat tinggi kepada
kapasitas dan integritas para pengurus. Terlebih BUMP tidak melibatkan aparat
desa dalam struktur kepemilikan. Hal ini menyebabkan BUMP menjadi sangat
rentan terhadap persoalan-persoalan seperti pelarian modal atau keuntungan oleh
para pengurus, penanggung jawab jika terjadi kebangkrutan dan lain sebagainya.
Meski tidak menuntup kemungkinan hal yang sama juga terjadi pada BUM Desa.
Keterlibatan perangkat desa dalam Badan Usaha Desa, memungkinan terjadinya
permainan yang melibatkan elit desa demi kepentingan pribadi atau golongan.
Karenanya kriteria keetikaan juga menjadi sangat penting dalam model
konseptual yang diajukan.

Keberadaan BUM Desa ini pada dasarnya juga telah diatur dalam UU No.6 Tahun
20014 Tentang Desa. Dalam Pasal 1 ayat 6 UU ini, keberadaan BUM Desa adalah
Badan Usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa
melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang
dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-
besarnya kesejahteraan masyarakat Desa.

167
Setelah terbentuknya badan usaha, berbagai aspek teknis diperlukan sebagai
upaya pengembangan bisnis komunitas. Sebagai rangkaian selanjutnya adalah
pelatihan peningkatan kapasitas pengurus. Proses ini pada dasarnya dapat
dilakukan bekerjasama dengan perguruan tinggi lokal atau LSM lokal yang
kompeten. Peningkatan kapasitas ini khususnya terkait dengan berbagai aspek
yang terkait dengan rantai pasok, yaitu proses produksi, penyimpanan,
pendistribusian hingga pemasaran BBN.

Dalam kerangka keberlanjutan sosial, keberadaan BUMDes yang didukung oleh


DED ini pula bertujuan sebagai organisasi sosial sebagai bentuk adanya ikatan
modal sosial. Melalui keberadaan DED dan BUMDes ini diharapkan akan
membantu memudahkan masyarakat desa untuk saling berhubungan di dalamnya
untuk mencapai tujuannya atau memurahkan apa yang diistilahkan oleh
Williamson sebagai biaya transaksi. Karenanya, seperti yang ditekankan oleh
Fukuyama, maka kedua lembaga ini juga harus dibangun dengan prinsip-prinsip
kebajikan-kebajikan sosial yang umum, seperti kejujuran dan kesetiaan. Dengan
demikian, setiap kegiatan yang dilaksanakan kedua lembaga tersebut dapat
berlangsung secara efektif dan efisien.

Sebagai sebuah bentuk dan instrumen modal sosial, keberadaan kedua lembaga ini
juga harus mampu memfasilitasi segala yang disebut Putnam sebagai bentuk
kontak personal, jaringan multi personal, dan norma-norma timbal balik serta
kepercayaan yang memfasilitasi kerjasama sosial yang saling menguntungkan
atau sebagai jaringan ikatan sipil (Ikeda, 2008, op. cit., hal: 169). Agar berbagai
tujuan tersebut tercapai, maka mulai dari pembentukan hingga pengelolaan kedua
lembaga ini harus didasarkan pada adanya kesadaran dari para warga masyarakat,
bahwa tanpa adanya kerjasama sosial mustahil akan terbentuk DME yang
berkelanjutan. Kerena itu pula, berbagai tahapan yang disampaikan dalam kedua
model konseptual aspek sosial sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, menjadi
sangat penting untuk dilalui. Karena penyusunan kedua model konseptual sosial
tersebut, telah didasarkan pada berbagai hal dalam modal sosial yang disebut
Mawardi (2007) sebagai 5 unsur pokok dalam modal sosial.

168
Dengan menjadikan modal sosial (termasuk kedua instrumen tersebut) sebagai
kerangka dasar rekonstruksi DME, maka diharapkan akan menciptakan sebuah
konstruksi baru DME di Kabupaten Grobogan yang berkelanjutan. Sebab DME
baru tersebut tidak hanya didasarkan pada kepentingan investasi perusahaan atau
program pemerintah semata, namun lebih dari itu, DME di Kabupaten Grobogan
adalah bagian dari kebutuhan masyarakat itu sendiri. Dimana pada gilirannya
akan melibatkan masyarakat dan lebih berkelanjutan.

169
5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan pada pertanyaan dalam penelitian ini, ada beberapa hal yang dapat
disimpulkan:

1. Ditinjau dari 3 aspek pembangunan berkelanjutan, maka kegagalan DME di


Desa Grobogan, Kecamatan Ngaringan Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah,
adalah sebeagai berikut:
a) Ditinjau dari aspek lingkungan menunjukan bahwa pemilihan jarak pagar
(Jatropha curcas L) sebagai bahan baku biodiesel pada dasarnya memiliki
potensi yang cukup besar, sejauh tanaman tersebut merupakan hasil
budidaya lokal. Penbudidayaan tanaman jarak sebagai bahan baku biodiesel
selama berlangsungnya DME dengan mengambil bibit yang berasal dari
Balai Tanaman Industri dan Penyegar (Balittri) Kementerian Pertanian di
Sukabumi, pada kenyataannya justru tidak mampu menghasilkan panen
yang optimal. Hal ini berbeda dengan hasil pembudidayaan yang dilakukan
oleh PT. Enhil yang mengambil bibit dari tanaman jarak lokal. Perbedaan
iklim Sukabumi dimana Balittri berada dan Kabupaten Grobogan,
menyebabkan produktivitas tanaman jarak yang berasal dari Sukabumi
menjadi berkurang.
b) Ditinjau dari aspek ekonomi, kegagalan DME scara makro dipengaruhi
adanya kebijakan subsidi BBM dan dikeluarkannya kebijakan LPG 3 kg.
Hal ini menyebabkan harga atas biodiesel yang dihasilkan menjadi tidak
kompetitif. Sementara dari sisi efisiensi pembudidayaan, jika didasarkan
pada hasil penelitian Robert Manurung, diperlukan lahan yang cukup luas
untuk memperoleh hasil panen yang ekonomis untuk bahan baku biodiesel.
Sementara, di lapangan yang terjadi tanaman jarak dibudidayakan sebagai
sampingan atas komoditas utama yang ada (padi dan jagung). Akibatnya,
produk biji yang dihasilkan juga tidak mencukupi kebutuhan produksi
biodiesel.
c) Berdasarkan aspek sosial, kegagalan DME di Kabupaten Grobogan berawal
dari perbedaan pemahaman mengenai konsep DME. Pada pemahaman
masyarakat, diperkenalkannya biodiesel tanaman jarak adalah harapan baru

170
untuk menambah pendapatan. Bukan sebagai bentuk untuk mengurangi
pengeluaran. Kehadiran PT.Enhil sebagai investor swasta pada dasarnya
tidak menjadikan masyarakat sebagai aktor utama dalam pengembangan
biodiesel jarak. Masyarakat hanya dilibatkan sebagai pemasok bahan baku
produksi (biji jarak).
2. Bentuk model pemberdayaan masyarakat yang mampu memenuhi kebutuhan
energi secara mandiri dalam DME yang sesuai dengan prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan adalah dengan merubah pemahaman masyarakat
tentang pentingnya pengembangan energi baru terbarukan sebagai bagian dari
pemenuhan kebutuhan energi secara subsisten di desanya dan ketahanan
energi nasional secara lebih luas. Sebagai sebuah bentuk triple helix,
penyadaran awal dilakukan oleh seorang atau tim inisiator awalyang dari
kalangan akademisi (perguruan tinggi). Melalui inisiator awal yang berasal
dari perguruan tinggi ini pula, proses penyadaran akan pentingnya
pengembangan DME sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ketahanan
energi nasional dan energi ramah lingkungan, akan lebih mudah. Inisiator ini
pula yang akan melahirkan inisiator lokal yang menjadi penggerak utama
dalam proses pengorganisasian masyarakat. Selanjutnya, masyarakat diajak
untuk merencanakan dan mengembangkan potensi sumberdaya energi baru
terbarukan di desanya dengan cara membentuk DED sebagai institusi modal
sosial. Melalui instrumen dewan energi desa yang beranggotakan seluruh
perwakilan pemilik isu DME, maka diharapkan masyarakat bisa terlibat
secara aktif dalam program DME. Melalui DED ini pula, diharapkan akan
ada proses tawar yang lebih kuat dari masyarakat terhadap mekanisme pasar
khususnya di bidang energi baru terbarukan dan lingkungan institusional.
Namun sebagai prasyaratnya adalah adanya pemahaman yang menyeluruh
khususnya pada masyarakat desa, akan pentingnya pengembangan energi
baru terbarukan sebagai pengganti sumber energi (LPG) yang mereka
gunakan selama ini. Tujuan utama pengembangan energi baru terbarukan
tersebut adalah untuk pemenuhan energi rumah tangga masyarakat desa dan
bukan sebagai sumber komoditas baru. Meski tidak menutup kemungkinan
bahwa kelebihan produksi BBN yang dihasilkan oleh desa bisa dipasarkan

171
secara terbatas dengan melibatkan pihak pemda. Dalam pemasaran produk
lebihan inilah, perlu dibentuk kelembagaan badan usaha milik desa
(BUMDes). Sebagai kelembagaan yang dibentuk oleh perangkat desa dan
masyarakat serta bersifat komunal, pemilihan bentuk BUMDes diharapkan
akan meminimalisir praktek-praktek kecurangan para pengelola lembaga.
Keterlibatan perangkat desa dan pemilik isu lain seperti LSM/perguruan
tinggi lokal akan menciptakan mekanisme kontrol terhadap setiap kegiatan
yang dilakukan oleh pengurus BUMDes tersebut. Badan usaha ini dapat
bekerjasama dengan BUMN seperti PT. Pertamina dalam pemasaran produk.
5.2 Saran
1. Penyusunan peta potensi DME nasional sebagai dasar program DME
nasional oleh pemerintah.
2. Perlu dibentuk undang-undang atau regulasi tentang DED sebagai payung
hukum pembentukan DED.
3. Dalam pengembangan DME diperlukan studi kelayakan terlebih dahulu
terkait dengan kondisi sosial dan ekonomi serta lingkungan pada masing-
masing desa yang akan diprogramkan menjadi DME.
4. Perlu dibuat peraturan yang mengatur kuota maksimal hasil panen jagung
yang bisa dikonversi menjadi bioetanol.

172
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah dan Khairuddin. (2009). “Emisi Gas Rumah Kaca dan Pemanasan
Global”, Jurnal Biocelebes, Vol.3 Juni 2009.
Abdurrahman. (2003). Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Sumber
Daya Alam Indonesia, Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional
VII, Denpasar 14-18 Juli 2003.
Absah, Yeni. (2008). “Kompetensi:Sumberdaya Pendorong Keunggulan Bersaing
Perusahaan”, dalam Jurnal Manajemen Bisnis, Volume 1, Nomor 3,
September 2008.
Adi, Isbandi Rukminto. (2007). Perencanaan Partisipatoris Berbasis Aset
Komunitas, Fisip UI Press, Jakarta.
Afgan, et al. (1998). “Sustainable energy Development”, dalam Renewable &
Sustainable Energy Review No 2, 1998, Pergamon.
Alfitri. (2011). Community Development, Teori dan Aplikasi, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
Arstein, Sherry R. (1969). “A Ladder of Citizen Participation”, Journal of the
American Instutute of Planners 35 (4), July, 1969, Boston, American
Instutute of Planners.
Beamon, Benita M. (1998). “Supply chain design and analysis: Models and
methods”, dalam International journal of Production Economics Vol 55,
No.3, Elsevier B.V
Checkland, P and J. Poulter. (2006). Learning for Action: A Short Definitive
Account of Soft System Methodology and Its Use for Practitioners,
Teachers and Students, Chichester, Hohn Wiley and Sons.
Coase, R.H. (1937). “Nature of Firm”, dalam Economica New Series, Vol. 4, No.
16. (Nov., 1937)
Cook, D. (2004) The Natural Step: A Framework for Sustainability, Schumacher
Briefings, Green Books, Totnes, UK
Creswell, John. W. (2010). Research Design, Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif,
dan Mixed, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Delanty, Gerard. (2003). Community, Routledge, New York.
Dadan. (2014, Juni 17). Personal interview.

173
Didik (2014, Mei 19). Personal interview.
Earth Policy Institute - www.earthpolicy.org
Elliot, Jenifer A. (2006). Introduction to Sustainable Development, New York,
Routledge
ESDM. (2011). Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia 2011,
Jakarta, Kementerian ESDM
Etzkowitz, H and L. Leydesdorff. (2000). The Dynamics of Innovation: from
National Systems and ‘Mode 2’ to a Triple Helix of University-Industry-
government. Research Policy 29.
FAO. (2011). Energy-Smart Food for People and Climate, Issue paper, Roma.
Garriga, Elisabet and D. Melé. (2004). Corporat Social Responsibility Theories:
Mapping the Territory, Journal of Business Ethics 53, Kluwer Academic
Publishers, Netherland.
Forests, Proceedings of the German Development Economics Conference,
Hannover. (2010). No. 21.
Forest Watch Indonesia. (2011). Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode Tahun
2000-2009, Jakarta.
Gao, Y.et al. (2011). A global analysis of deforestation due to biofuel
development. Working Paper 68. CIFOR, Bogor, Indonesia
Goldstein, Noah J., Martin, S. J. , Cialdini, R. B. (2009), Yes!: 50 Scientifically
Proven Ways to Be Persuasive, New York, Free Press.
Harriss, John, Janet Hunter and Colin M. Lewis. (1995). The New Institutional
Economics and Third World Development, London, Routledge.
Hardjosoekarto, Sudarsono. (2012). Soft System Methodology (Metode Serba
Sistem Lunak), Jakarta, UI Press.
Havendri, Adly. (2008). “Kaji Eksperimental Prestasi Dan Emisi Gas Buang
Motor Bakar Diesel Menggunakan Variasi Campuran Bahan Bakar
Biodiesel Minyak Jarak (Jatropha Curcas L) Dengan Solar”, dalam
Teknika No.29 Vol.1 Thn XV April 2008, Surabaya, Universitas Negeri
Surabaya.
Hartono. (2014, February 15). Personal interview.

174
Heruhadi, Bambang. (2008). “Pengembangan Teknologi Proses Pengolahan Jarak
Pagar (Pure Jatropha Oil) Kapasitas 6 Ton Biji/Hari”, Jurnal Sains dan
Teknologi Indonesia Vol.10 No.3 Desember 2008, Jakarta, BPPT.
Horton, Paul B & Chester L Hunt. (1993). Sosiologi Jilid 1, Jakarta, Erlangga.
-----------------------------------------. (1999). Sosiologi Jilid 2, Jakarta, Erlangga.
Howarth R.W, et al. (2009). dalam Howarth, RW and Stefan Bringezu (ed),
Biofuels: Enviromental Consequences and Interactions with Changing
Land Use, SCOPE Rapid Assessment, New York, Cornell Ithaca
http://kumpulanmakalah.com/pembangunan-berkelanjutan-dalam-pengelolaan-
sumber-daya-alam-indonesia.html, diunduh 19 Maret 2012 Pukul: 07:53
WIB.
http://www.tristatebiodiesel.com/deforestation_report.pdf, diunduh 1 Oktober
2012, pukul 11:11
http://pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/wr304082.pdf, diunduh 10 Oktober
2012 pkl:9:23
http://www.dephut.go.id/files/SAMBUTAN%20MENHUT%20HARI%20DEGR
ADASI%201706.pdf, diunduh 21 Oktober 2012, pukul 18:20
http://lomboktimurkab.go.id/files/Lap%20Desa%20Mandiri%20Energi.pdf,
diunduh 28 Desember 2012
http://balittas.litbang.deptan.go.id/ind/images/pdf/jp39.pdf, diunduh 30 Desember
2012, pukul 08:55 WIB.
http://www.harianjogja.com/baca/2012/03/20/tajuk-masih-ada-harapan-untuk-
jarak-172002, diunduh 2 Januari 2013, pukul: 09.30
http://elib.unikom.ac.id/download.php?id=45788, diunduh 11 Februari 2013,
pukul 15.35 WIB
Ife, J dan F. Tesoriero. (2008). Community Development; Alternatif
Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar.
Harrison, L. E and S. P. Huntington, (Ed). (2000). Culture Matters; How Values
Shape Human Progress, Basic Books.
Inglehart, R, &. Abramson, P. R. ( 1994). “Economic security and value change”,
American Political Science Review, Vol. 88, No.2 June.

175
Jhingan, M.L. (1988). Ekonomi pembangunan dan perencanaan, Jakarta, Rajawali
Press.
Jhonson, James C & D. F. Wood. (1996). Comtemporary Logistics. New Jersey,
Prentice Hall.
Kaplinsky, R. and Mike, M. (2002). A Handbook for Value Chain Research.
Institute of Development Studies
Kluyver, C. A. De and Pearce II, J. A. (2003). Strategy: A View From The Top,
New Jersey, Prentice Hall.
Kumar, A. (2001). Social Transformation in Modern India, New Delhi, Sarup &
Sons
Kusumawardani, D. (2009). “Emisi CO2 dari Penggunaan Energi di Indonesia:
Perbandingan Antar Sektor”, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Vol. 8, No. 3,
Desember 2009.
Lewin, K. (1951), Field Theory in Social Science: Selected Theoretical Papers,
Harper & Brothers. First Harper
Legowo, Evita. (2014, Mei 16). Personal interview.
Lipczynski, J., and Wilson, J. (2001). Industrial Organisation; An Analysis of
Competitive Markets, Singapore, Pearson Education Limited.
Lusa, Sofian dan Mario Iskandar, 2010, “Kajian Penerapan Aplikasi Open Source
di Perguruan Tinggi Dengan Pendekatan Soft System Methodology Studi
kasus Pengembang software Akademik Sisfokampus”, Seminar Nasional
Multidisiplin Ilmu (SENMI-2010) Universitas Budi Luhur)
(http://jsofian.files.wordpress.com/2011/10/kajian-penerapan-aplikasi-
open-source-di-perguruan-tinggi_-sofian-lusa.pdf, diunduh 13 November
2012)
http://bulletin.penataanruang.net/upload/data_artikel/data%20bltn%202009.pdf
diunduh 18 Maret 2012
Mahmud, Nur Robi’ah Adawiyah, Abi Dwi Hastono dan Anton Prasetyo. (2010).
“Penentuan Nilai Kalor Berbagai Komposisi Campuran Bahan Bakar
Minyak Nabati”, dalam Alchemy, Vol 1, No 2, Maret 2010, Malang, UIN
Maulana Malik Ibrahim.

176
Mawardi, M.J. (2007). Peranan Sosial Capital Dalam Pemberdayaan Masyarakat.
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam 2, Yogyakarta.
McCormick, J. (1986). “The Origins of the World Conservation Strategy”.
Journal Environmental Review: ER Vol. 10, No. 3 (Autumn, 1986).
McKay, J., and Marshall, P. (2001). “The Dual Imperatives of Action Research”.
Information Technology & People Vol.14 No.1, 2001, MCB University
Press
Mitchell, Bruce, B Setiawan, Dwita Hadi Rahmi. (2010). Pengelolaan
Sumberdaya dan Lingkungan, Yogyakarta, Gajah Mada University Press.
Muafi. (2010). “Pengaruh Strategic Human Capital Terhadap Kinerja
Enterpreneurial Pada Organisasi Sektor Publik”. Jurnal Akuntansi,
Manajemen Bisnis dan Sektor Publik (JAMBSP), Volume 6 No.2-
Februari 2010, Surabaya, STIESIA
Nadi, B., S. Supardi, J. Sutrisno (2013), “Analisis usaha tani jagung di Kabupaten
Grobogan Provinsi Jawa Tengah”. Agribusiness review Vol 1, No.1
Desember 2013.
Nash, M., Munford, R., & O’Donoghue, K. 2005. Social Work Theories in Action,
London, Jessica Kingsley Publishers.
Nee, V. (2003). The New Institutionalism in Economics and Sociology, CSES
Working Paper #4, November 2003.
Neuman, W. L. (2007). Basic of Social Research, Qualitative and Quantitative
Approaches 2nd edition, Pearson Education.
Ngadiman. (2014, Juni 19). Personal interview.
North, D.C. (1991). Institutions. Journal of Economic Perspectives, 5, 1.
Raharja, S. J. (2008). Model Kolaborasi Dalam Pengelolaan Aliran Sungai
Citarum, Disertasi Ilmu Administrasi Fisip UI, Depok, tidak
dipublikasikan.
Rees, W. E. (1996), Revisiting Carrying Capacity: Area Based Indicators of
Sustainability, dalam Population and Enviroment: A Journal of
Interdiciplinary Studies, Volume 17 No. 3 January 1996.
Report, IPCC Plenary XXVIII, Valencia, 12-17 November 2007.
Saptono, Agus. (2014, Februari 5). Personal interview.

177
Sunarto, K. (2004). Pengantar Sosiologi edisi revisi, Jakarta, Lembaga Penerbit
FEUI.
Syakir, M. (2010). “Prospek dan Kendala Pengembangan Jarak Pagar (Jatropha
curcas L.) Sebagai Bahan Bakar Nabati di Indonesia”. Perspektif Vol. 9
No. 2 /Desember 2010.
Puradinata, D.S. (2012). Pembelajaran Interorganisasional dan Penciptaan
Pengetahuan Dalam Pengembangan Bioethanol di Indonesia (Sebuah
Pendekatan Soft System Methodology di PT Medco Ethanol Lampung),
Disertasi FISIP UI Program Studi Ilmu Administrasi, Depok, tidak
dipublikasikan.
Prihandana, R (2007). Dari Energi Fosil Menuju Energi Hijau, Jakarta,
Proklamasi Publishing House.
Sastiawan, Rudi. (2014, Mei 20). Personal interview.
Subekti, et.al. (2007). “Biodiesel dan Bioethanol: Solusi Kelangkaan Energi
Transportasi Indonesia”. Pevote, Vol 2. No.203, April-September 2007:
47-56, Jakarta, FT UNJ.
Sugiyono. (2014, February 15). Personal interview.
Suhari. (2014, February 14). Personal interview.
Susanto, Heri. (2014, Februari 14). Personal interview.
Susilo (2014, February 15). Personal interview.
Soemarwoto, O. (1983). Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta,
Djambatan.
Soerjani, et.al. (2007). Lingkungan Hidup; Pendidikan, Pengelolaan Lingkungan
dan Kelangsungan Pembangunan, Jakarta, Yayasan Institut Pendidikan
dan Pengembangan Lingkungan (IPPL).
Soetomo. (2011). Pemberdayaan Masyrakat, mungkinkah muncul antitesisnya?,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar
Tim Nasional Pengembangan BBN. (2008). Bahan Bakar Nabati: Bahan Bakar
Alternatif Dari Tumbuhan Sebagai Pengganti Minyak Bumi dan Gas,
Depok, Penebar Swadaya.
Tönnies, F. (2001). Community and Civil Society, Cambridge, Cambridge
University Press.

178
Winzer, C. (2011). “Conceptualizing Energy Security”, Cambridge Working
Paper in Economics 1151, July 2011
Yergin, D. (2006). “Ensuring Energy Security”. Foreign Affair, Volume 85 No.2
March/April 2006.

179
LAMPIRAN 1 PEDOMAN WAWANCARA

PEDOMAN WAWANCARA

PT RNI

1. Hambatan industri minyak jarak


2. Potensi pasar biofuel minyak jarak di Indonesia
3. Hubungan dan dukungan pemerintah pusat
4. Hubungan dan dukungan pemerintah daerah
5. Hubungan sosial dengan masyarakat desa
6. Harapan pengembangan minyak jarak kepada pemerintah pusat dan daerah
7. Tawaran solusi pengembangan biodiesel minyak jarak

Pemerintah pusat (Direktorat Energi baru terbarukan Kementerian ESDM)

Hubungan dengan pemerintah daerah terkait dengan DME


Hubungan dengan PT RNI
Hubungan dengan masyarakat
Persoalan teknis pengembangan biodiesel berbasis jarak
Tawaran solusi pengembangan biodisel jarak

Pertamina

1. Kualitas biodisel minyak jarak produksi masyarakat


2. Potensi pasar biofuel minyak jarak di Indonesia
3. Hambatan pengembangan biofuel (khususnya jarak) di Indonesia
4. Hubungan dan dukungan dengan pemerintah pusat dan daerah dalam
pengembangan biodisel berbasis jarak
5. Harapan pengembangan biofuel kepada pemerintah
6. Tawaran solusi pengembangan biodiesel jarak

Asosiasi produsen

1. Potensi pengembangan biofuel minyak jarak di Indonesia


2. Hambatan pengembangan biofuel (khususnya jarak) di Indonesia
3. Hubungan dan dukungan dengan pemerintah pusat dan daerah dalam
pengembangan biodisel berbasis jarak
4. Harapan pengembangan biofuel kepada pemerintah
5. Tawaran solusi pengembangan biodiesel jarak

Pemerintah Kabupaten Grobogan

1. Potensi daerah Kabupaten Grobokan


2. Hambatan pembangunan di Kabupaten Grobokan

180
3. Hubungan dengan pemerintah pusat
4. Manfaat yang diterima dari DME
5. Pemahaman mengenai tanaman jarak
6. Pemberdayaan masyarakat yang pernah ada di Kabupaten Grobokan
7. Hambatan pengembangan DME berbasis jarak
8. Tawaran solusi pengembangan biodisel jarak

Masyarakat Desa Tanjungharjo

1. Jenis energi utama yang digunakan sehari-hari untuk keperluan rumah


tangga
2. Jenis energi alternatif yang pernah digunakan
3. Pemahaman mengenai DME
4. Peta sosial DesaTanjungharjo
5. Keterlibatan dalam pengembangan DME
6. Pemberdayaan masyarakat yang pernah ada di desa Tanjungharjo
7. Kegiatan sosial yang biasanya dilakukan oleh masyarakat di daerah ini.
8. Pemahaman mengenai tanaman jarak
9. Harapan dan keinginan masyarakat terhadap pengembangan minyak jarak
10. Tawaran solusi pengembangan biodisel jarak

181
LAMPIRAN 2 PETA KABUPATEN GROBOGAN

Sumber: http://grobogan.go.id/profil-daerah/kondisi-geografi/peta-kabupaten-
grobogan.html

182
183
184

Anda mungkin juga menyukai