Id Wikipedia Org Wiki Aksara Jawa
Id Wikipedia Org Wiki Aksara Jawa
Halaman Utama
Perubahan terbaru
Artikel pilihan Aksara Jawa
Peristiwa terkini
Halaman baru Artikel ini memuat aksara Jawa. Tanpa dukungan multibahasa, Anda mungkin akan melihat tanda tanya, tanda kotak, atau karakter lain selain dari aksara Jawa .
Halaman sembarang
Aksara Jawa, juga dikenal sebagai Hanacaraka, Carakan,[1] atau Dentawyanjana,[2] adalah salah satu aksara tradisional
Aksara Jawa
Komunitas Indonesia yang berkembang di pulau Jawa. Aksara ini terutama digunakan untuk menulis bahasa Jawa, namun dalam
ꦲꦏ ꦫꦗꦮ
Warung Kopi perkembangannya juga digunakan untuk menulis beberapa bahasa daerah lainnya seperti bahasa Sunda, Madura, Sasak, dan
Portal komunitas Melayu, serta bahasa historis seperti Sanskerta dan Kawi. Aksara Jawa merupakan turunan dari aksara Brahmi India melalui
Bantuan perantara aksara Kawi dan berkerabat dekat dengan aksara Bali. Aksara Jawa aktif digunakan dalam sastra maupun tulisan Jenis abugida
sehari-hari masyarakat Jawa sejak pertengahan abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-20 sebelum fungsinya berangsur- aksara
Wikipedia
angsur tergantikan dengan huruf Latin. Aksara ini masih diajarkan di DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur sebagai Bahasa Jawa, Sunda, Madura, Sasak,
Tentang Wikipedia Melayu, Kawi, Sanskerta
Pancapilar bagian dari muatan lokal, namun dengan penerapan yang terbatas dalam kehidupan sehari-hari.[3][4]
Periode abad ke-15 hingga sekarang
Kebijakan Aksara Jawa adalah sistem tulisan abugida yang terdiri dari sekitar 20 hingga 33 aksara dasar, tergantung dari penggunaan
Silsilah Menurut hipotesis hubungan
Menyumbang antara abjad Aramea dengan
bahasa yang bersangkutan. Seperti aksara Brahmi lainnya, setiap konsonan merepresentasikan satu suku kata dengan vokal
Hubungi kami Brahmi, maka silsilahnya sebagai
inheren /a/ atau /ɔ/ yang dapat diubah dengan pemberian diakritik tertentu. Arah penulisan aksara Jawa adalah kiri ke kanan. berikut:
Bak pasir
Secara tradisional aksara ini ditulis tanpa spasi antarkata (scriptio continua) namun umum diselingi dengan sekelompok tanda Abjad Proto-Sinai
Bagikan Abjad Fenisia
baca yang bersifat dekoratif.
Abjad Aramea
Facebook
Daftar isi [sembunyikan] Aksara Brahmi
Twitter
Dari aksara Brahmi diturunkanlah:
1 Sejarah
Perkakas Aksara Pallawa
2 Media
Aksara Kawi
Pranala balik
3 Penggunaan
Perubahan terkait Aksara Jawa
3.1 Kemunduran
Halaman istimewa Aksara Bali
3.2 Penggunaan kontemporer kerabat
Pranala permanen Batak
Informasi halaman 4 Bentuk Baybayin
Item di Wikidata 4.1 Aksara Bugis
Kutip halaman ini 4.1.1 Wyanjana Buhid
Pranala menurut ID Hanunó'o
4.1.2 Swara
Kulitan
Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
4.1.3 Rékan Lampung
Dalam proyek lain
4.2 Diakritik Makassar
Wikimedia Commons Rejang
4.2.1 Swara
Rencong
Cetak/ekspor 4.2.2 Panyigeging wanda Sunda Kuno
Buat buku 4.2.3 Wyanjana Tagbanwa
Unduh versi PDF 4.3 Pasangan Arah Kiri-ke-kanan
Versi cetak 4.4 Angka penulisan
Aksara Jawa merupakan salah satu aksara turunan Brahmi di Indonesia yang sejarahnya dapat ditelusuri dengan runut karena banyaknya peninggalan-peninggalan yang
memungkinkan penelitian epigrafis secara mendetail. Akar paling tua dari aksara Jawa adalah aksara Brahmi di India yang berkembang menjadi aksara Pallawa di Asia
Selatan dan Tenggara antara abad ke-6 hingga 8. Aksara Pallawa kemudian berkembang menjadi aksara Kawi yang digunakan sepanjang periode Hindu-Buddha Indonesia
antara abad ke-8 hingga 15. Di berbagai daerah Nusantara, aksara Kawi kemudian berkembang menjadi aksara-aksara tradisional Indonesia yang salah satunya adalah
aksara Jawa.[5] Aksara Jawa modern sebagaimana yang kini dikenal berangsur-angsur muncul dari aksara Kawi pada peralihan abad ke-14 hingga 15 ketika ranah Jawa mulai
menerima pengaruh Islam yang signifikan.[6][7]
Selama kurang lebih 500 tahun antara abad ke-15 hingga awal abad ke-20, aksara Jawa aktif digunakan sebagai tulisan sehari-hari maupun sastra Jawa dengan cakupan
yang luas dan beragam. Pada silang waktu tersebut, banyak daerah Jawa yang saling terpencil dan sulit berkomunikasi antara satu sama lainnya, sehingga aksara Jawa
berkembang dengan berbagai macam variasi dan gaya penulisan yang digunakan silih-bergantian sepanjang sejarah penggunaannya.[8][a] Tradisi tulis aksara Jawa terutama
terpupuk di lingkungan keraton pada pusat-pusat budaya Jawa seperti Yogyakarta dan Surakarta, namun naskah beraksara Jawa dibuat dan dipakai dalam berbagai lapisan
masyarakat dengan intensitas penggunaan yang bervariasi antardaerah. Di daerah Jawa Barat, semisal, aksara Jawa terutama digunakan oleh kaum ningrat Sunda (ménak)
Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
akibat pengaruh politik dinasti Mataram.[9] Namun begitu, kebanyakan masyarakat Sunda pada periode waktu yang sama lebih umum menggunakan abjad Pegon yang
diadaptasi dari abjad Arab.[10] Sebagian besar tulisan sastra Jawa tradisional dirancang untuk dilantunkan dalam bentuk tembang, sehingga teks sastra tidak hanya dinilai dari
isi dan susunannya, namun juga dari pelantunan dan pembawaan sang pembaca.[11] Tradisi tulis Jawa juga mengandalkan penyalinan dan penyusunan ulang secara berkala
karena media tulis yang rentan terhadap iklim tropis; akibatnya, kebanyakan naskah fisik yang kini tersisa merupakan salinan abad ke-18 atau 19 meski isinya sering kali dapat
ditelusuri hingga purwarupa yang beberapa abad lebih tua.[7]
Sepanjang sejarahnya, aksara Jawa ditulis dengan sejumlah media yang berganti-ganti seiring waktu. Aksara Kawi yang menjadi
nenek moyang aksara Jawa umum ditemukan dalam bentuk prasasti batu dan lempeng logam. Tulisan Kawi sehari-hari dituliskan
menggunakan media lontar, yakni daun palem tal (Borassus flabellifer, disebut juga palem siwalan) yang telah diolah sedemikian
rupa hingga dapat ditulisi. Lembar lontar memiliki bentuk persegi panjang dengan lebar sekitar 2,8 hingga 4 cm dan panjang yang
Serat Yusuf dalam naskah lontar, koleksi bervariasi antara 20 hingga 80 cm. Tiap lembar lontar hanya dapat memuat beberapa baris tulisan, umumnya sekitar empat baris,
Tropenmuseum
yang digurat dalam posisi horizontal dengan pisau kecil kemudian dihitamkan dengan jelaga untuk meningkatkan keterbacaan.
Media ini memiliki rekam jejak penggunaan yang panjang di seantero Asia Selatan dan Asia Tenggara.[12]
Pada abad ke-13, kertas mulai diperkenalkan di Nusantara, hal ini berkaitan dengan penyebaran agama Islam yang tradisi
tulisnya didukung oleh penggunaan kertas dan format buku kodeks. Ketika Jawa mulai menerima pengaruh Islam yang signifikan
pada abad ke-15, bersamaan ketika aksara Kawi mulai bertransisi menjadi aksara Jawa modern, kertas menjadi lebih lumrah
digunakan di Jawa dan penggunaan lontar hanya bertahan di beberapa tempat.[13] Terdapat dua jenis kertas yang umum
ditemukan dalam naskah beraksara Jawa: kertas produksi lokal yang disebut daluang, dan kertas impor. Daluang (bahasa Jawa:
dluwang) adalah kertas yang terbuat dari tumbukan kulit pohon saéh (Broussonetia papyrifera, disebut juga pohon glugu). Secara
tampak, daluang cukup mudah dibedakan dengan kertas biasa dari warna cokelatnya yang khas dan tampilannya yang berserat-
serat. Daluang yang dibuat dengan telaten akan memiliki permukaan yang mulus dan tahan lama dari macam-macam bentuk
Serat Yusuf dalam naskah kertas, koleksi
Museum Sonobudoyo degradasi (terutama serangga), sementara daluang yang tidak bagus memiliki permukaan yang tidak rata dan mudah rusak.
Daluang umum digunakan dalam naskah yang ditulis di keraton dan pesantren Jawa antara abad ke-16 dan 17.[13][14]
Sebagian besar kertas impor yang digunakan di naskah-naskah Nusantara didatangkan dari Eropa. Pada awalnya, kertas Eropa
hanya digunakan oleh sebagian kecil juru tulis Jawa karena harganya yang mahal – kertas yang dibuat dengan teknik Eropa pada masa itu hanya bisa diimpor dalam jumlah
terbatas.[b] Dalam administrasi kolonial sehari-hari, penggunaan kertas Eropa perlu disuplementasikan dengan kertas daluang Jawa serta kertas impor Tiongkok setidaknya
hingga abad ke-19.[14] Seiring meningkatnya jumlah kertas impor dan pengiriman yang lebih berkala, juru tulis di keraton dan permukiman urban makin memilih kertas Eropa
sebagai media tulis utama sementara daluang kian diasosiasikan dengan naskah yang dibuat di pesantren dan desa.[13] Bersamaan dengan meningkatnya impor kertas Eropa,
teknologi cetak aksara Jawa juga mulai dirintis oleh sejumlah tokoh Eropa dan mulai digunakan secara luas pada tahun 1825. Dengan adanya teknologi cetak, materi
beraksara Jawa dapat diperbanyak secara massal dan menjadi lumrah digunakan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa pra-kemerdekaan, seperti surat-surat,
buku, koran, majalah, hingga pamflet, iklan, dan uang kertas.[15]
Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
Dokumen kekancingan Serat Babad Tuban yang
Halaman pembuka Serat Jatipustaka yang disalin pada Halaman pembuka Babad Contoh aksara Jawa cetak Sampul majalah Kajawèn edisi yang dikeluarkan Keraton diterbitkan oleh Tan Khoen
tahun 1830, koleksi Museum Denver Tanah Jawi yang disalin dalam katalog pabrik huruf 65, tanggal 16 Agustus 1933 Yogyakarta pada tahun Swie pada tahun 1936
pada tahun 1862, koleksi "Amsterdam" tahun 1910 1935, koleksi Museum
Perpustakaan Kongres Dewantara Kirti Griya
Amerika
Selama kurang lebih 500 tahun antara abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-20, aksara Jawa aktif
digunakan dalam berbagai lapisan masyarakat Jawa sebagai tulisan sehari-hari maupun sastra dengan
cakupan yang luas dan beragam. Karena pengaruh tradisi lisan yang kuat, teks sastra tradisional Jawa
hampir selalu disusun dalam bentuk tembang yang dirancang untuk dilantukan, sehingga teks Jawa tidak
hanya dinilai dari isi dan susunannya, namun juga dari irama dan nada pelantunan.[11] Pujangga sastra
Jawa umumnya tidak dituntut untuk menciptakan cerita dan karakter baru, peran pujangga adalah untuk
menulis dan menyusun ulang cerita-cerita yang telah ada ke dalam gubahan yang sesuai dengan selera
lokal dan perkembangan zaman. Akibatnya, karya sastra Jawa seperti Cerita Panji bukanlah sebuah teks
dengan edisi otoriter yang menjadi rujukan teks lainnya, melainkan kumpulan variasi cerita dengan
benang merah tokoh Panji.[16] Genre sastra dengan akar paling kuno adalah wiracarita atau epos
Sanskerta seperti Ramayana dan Mahabharata yang telah disadur sejak periode Hindu-Buddha dan
memperkenalkan tokoh-tokoh pewayangan seperti Arjuna, Srikandi, Gatotkaca, dan puluhan karakter
lainnya yang kini akrab dalam masyarakat Jawa. Sejak masuknya Islam di Jawa, tokoh-tokoh dari sumber
Timur Tengah seperti Amir Hamzah dan Nabi Yusuf juga menjadi salah satu subjek yang sering dituliskan.
Terdapat pula tokoh-tokoh lokal yang sering kali mengambil latar semi legendaris di Jawa masa lampau, Detail salah satu halaman dalam Serat Selarasa yang disalin pada
misal Pangeran Panji, Damar Wulan, dan Calon Arang.[17] tahun 1804 di Surabaya. Dua figur di paling kiri terlihat sedang
melantunkan bacaan beraksara Jawa
Ketika kajian mendalam mengenai bahasa dan sastra Jawa mulai menarik perhatian kalangan Eropa pada
abad ke-19, timbullah keinginan untuk menciptakan aksara Jawa cetak agar materi sastra Jawa dapat
mudah diperbanyak dan disebarluaskan. Upaya paling awal untuk menghasilkan aksara Jawa cetak dirintis oleh Paul van Vlissingen yang aksara Jawa cetaknya pertama kali
digunakan dalam surat kabar Bataviasch Courant edisi bulan Oktober 1825.[18] Meski diakui sebagai suatu pencapaian teknis yang patut dipuji pada masa itu, aksara Jawa
cetak Vlissingen dinilai memiliki gubahan bentuk yang canggung, sehingga upaya awal ini kemudian diteruskan oleh berbagai pihak seiring dengan berkembanganya kajian
sastra Jawa.[19] Pada tahun 1838, Taco Roorda menyelesaikan fon cetak untuk aksara Jawa yang ia gubah berdasarkan langgam penulisan Surakarta[c] dengan sedikit
Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
campuran elemen tipografi Eropa. Rancangan Roorda disambut dengan baik dan dengan cepat menjadi pilihan utama untuk mencetak segala tulisan yang beraksara Jawa.
Sejak itu, bacaan beraksara Jawa, dengan fon Jawa yang digubah Roorda, menjadi lumrah beredar di khalayak umum dan diterapkan pula dalam berbagai materi selain
sastra. Hadirnya teknologi cetak menumbuhkan industri percetakan yang selama seabad ke depan menghasilkan berbagai macam bacaan sehari-hari dalam aksara Jawa, dari
surat administratif, buku pelajaran, hingga media massa populer seperti majalah Kajawèn yang seluruh kolom dan artikelnya dicetak dengan aksara Jawa.[15][21] Pada tingkat
pemerintahan, salah satu bentuk penerapan aksara Jawa adalah penggunaannya sebagai salah satu teks legal multi-bahasa dalam uang kertas Gulden yang disirkulasikan De
Javasche Bank.[22]
Seiring dengan meningkatnya permintaan bacaan masyarakat pada awal abad ke-20, penerbit Jawa mengurangi produksi materi beraksara Jawa karena alasan ekonomis:
mencetak materi apa pun dengan aksara Jawa pada waktu itu memerlukan dua kali lebih banyak bidang kertas dibanding mencetak materi yang sama dengan alih aksara
Latin, sehingga produksi bacaan beraksara Jawa memakan lebih banyak waktu dan biaya. Dalam rangka menekan biaya dan menjaga agar harga buku tetap terjangkau bagi
masyarakat, berbagai penerbit seperti Balai Pustaka kian mengutamakan penerbitan materi berhuruf Latin.[23][d] Meskipun begitu, masyarakat Jawa di awal abad ke-20
cenderung tetap menggunakan aksara Jawa dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam kegiatan surat-menyurat, misal, penggunaan aksara Jawa dianggap lebih halus dan
sopan daripada penggunaan huruf Latin, terutama dalam surat untuk orang yang lebih tua. Berbagai penerbit, termasuk Balai Pustaka sendiri, tetap mencetak buku, koran, dan
majalah dalam aksara Jawa karena adanya minat pembaca yang memadai meski perlahan-lahan menurun. Penggunaan aksara Jawa baru mengalami kemunduran yang
signifikan ketika Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942.[25] Beberapa penulis menyebutkan adanya aturan Jepang yang melarang penggunaan aksara Jawa dalam
ranah publik, meski hingga kini belum ditemukan dokumentasi atau catatan resmi dari larangan tersebut.[e] Namun tidak dipungkiri bahwa penggunaan aksara Jawa memang
mengalami kemunduran yang signifikan pada zaman pendudukan Jepang dan tidak kembali sebagaimana semula pada periode pasca-kemerdekaan.[27]
Dalam ranah kontemporer, aksara Jawa hingga kini masih menjadi bagian dari pengajaran muatan lokal di DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Beberapa surat kabar
dan majalah lokal memiliki kolom yang menggunakan aksara Jawa, dan aksara Jawa dapat ditemukan pada papan nama tempat-tempat umum tertentu. Akan tetapi, banyak
upaya kontemporer untuk menerapkan aksara Jawa hanya bersifat simbolik dan tidak fungsional; tidak ada lagi, sebagai contoh, publikasi berkala seperti majalah Kajawèn
yang isi substansialnya menggunakan aksara Jawa. Kebanyakan masyarakat Jawa hanya sadar akan keberadaan aksara Jawa dan mengenal beberapa huruf, namun jarang
ada yang mampu membaca atau menulisnya secara substansial,[28][29] sehingga sampai tahun 2019 tidak jarang ditemukan papan nama di tempat umum yang penulisan
aksara Jawa-nya memiliki banyak kesalahan dasar.[30][31] Beberapa kendala dalam upaya revitalisasi penggunaan aksara Jawa termasuk perangkat elektronik yang sering kali
mengalami kendala teknis untuk menampilkan aksara Jawa tanpa galat, sedikitnya instansi dengan kompetensi memadai yang dapat dikonsultasikan, dan kurangnya
eksplorasi tipografi yang menarik bagi masyarakat.[28][32] Meskipun begitu, upaya revitalisasi terus digeluti oleh sejumlah komunitas dan tokoh masyarakat yang aktif
memperkenalkan kembali aksara Jawa dalam penggunaan sehari-hari, terutama dalam sarana digital.[32] Pada bulan Februari 2020, PANDI yang bekerja sama dengan
Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, mengajukan proposal kepada ICANN untuk membuat nama domain dengan aksara Jawa.
Menurut PANDI, domain ini diperkirakan dapat digunakan pada pertengahan tahun 2020.[33][34]
Aksara merupakan huruf dasar yang merepresentasikan satu suku kata. Aksara Jawa memiliki sekitar 45 aksara dasar, namun tidak semuanya digunakan dengan setara.
Dalam perkembangannya, terdapat aksara yang tidak lagi digunakan sementara beberapa lainnya hanya digunakan pada konteks tertentu sehingga huruf-huruf dalam aksara
Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
Jawa dikelompokkan ke dalam beberapa jenis berdasarkan fungsi dan penggunaannya.
Aksara wyanjana (ꦲꦏ ꦫꦮꦾꦚꦤ) adalah aksara konsonan dengan vokal inheren /a/ atau /ɔ/. Sebagai salah satu aksara turunan Brahmi, aksara Jawa pada awalnya memiliki
33 aksara wyanjana untuk menuliskan 33 bunyi konsonan yang digunakan dalam bahasa Sanskerta dan Kawi. Bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:[35][36]
Velar ꦏ ꦑ ꦒ ꦓ ꦔ ꦲ
Palatal ꦕ ꦖ ꦗ ꦙ ꦚ ꦪ ꦯ
Retrofleks ꦛ ꦜ ꦝ ꦞ ꦟ ꦫ ꦰ
Dental ꦠ ꦡ ꦢ ꦣ ꦤ ꦭ ꦱ
ta tha da dha na la sa
Labial ꦥ ꦦ ꦧ ꦨ ꦩ ꦮ
pa pha ba bha ma wa
Catatan
^1 /ŋa/ sebagaimana nga dalam kata "mengalah"
^2 /ɲa/ sebagaimana nya dalam kata "menyanyi"
^3 /ʈa/ sebagaimana tha dalam kata bahasa Jawa "kathah"
^4 /ɖa/ sebagaimana dha dalam kata bahasa Jawa "padha"
^5 berperan ganda sebagai fonem /ha/ dan /a/ dalam bahasa Kawi
Pelafalan berikut tidak digunakan dalam bahasa Jawa modern:
Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
Dalam perkembangannya, bahasa Jawa modern tidak lagi menggunakan keseluruhan aksara wyanjana dalam deret Sanskerta-Kawi. Aksara Jawa modern hanya
ꦼ ꦒ
menggunakan 20 bunyi konsonan dan 20 aksara dasar yang kemudian disebut sebagai aksara nglegena (ꦲꦏ ꦫꦔ ꦼ ꦤ). Sebagian aksara yang tersisa kemudian
dialihfungsikan sebagai aksara murda (ꦲꦏ ꦫꦩꦸ ꦶ ꦩ) maupun nyata (misal
ꦂ ꦢ) untuk menuliskan gelar dan nama yang dihormati, baik nama tokoh legenda (misal Bima ditulis ꦨ
Pakubuwana ditulis ꦦꦑꦸꦨꦸꦮꦟ).[37] Dari 20 aksara nglegena, hanya 9 aksara yang mempunyai bentuk murda, oleh karena itu penggunaan murda tidak identik dengan
penggunaan huruf kapital di dalam ejaan Latin;[37] apabila suku kata pertama suatu nama tidak memiliki bentuk murda, maka suku kata kedua yang menggunakan murda.
Apabila suku kata kedua juga tidak memiliki bentuk murda, maka suku kata ketiga yang menggunakan murda, begitu seterusnya. Nama yang sangat dihormati dapat ditulis
seluruhnya dengan murda apabila memungkinkan. Dalam penulisan tradisional, penerapan murda tidaklah selalu konsisten dan pada dasarnya bersifat pilihan, sehingga nama
ꦶ (tanpa murda), ꦓꦤ
seperti Gani dapat dieja ꦒꦤ ꦶ (dengan murda di awal), atau ꦓꦟ
ꦶ (seluruhnya menggunakan murda) tergantung dari latar belakang dan konteks penulisan
yang bersangkutan. Sisa aksara yang tidak termasuk nglegena maupun murda adalah aksara mahaprana. Aksara mahaprana tidak memiliki fungsi dalam penulisan Jawa
modern dan hanya digunakan dalam penulisan bahasa Sanskerta-Kawi.[35][f]
Nglegena
ꦲ ꦤ ꦕ ꦫ ꦏ ꦢ ꦠ ꦱ ꦮ ꦭ ꦥ ꦝ ꦗ ꦪ ꦚ ꦩ ꦒ ꦧ ꦛ ꦔ
Murda
ꦟ ꦖ[2] ꦬ[3] ꦑ ꦡ ꦯ ꦦ ꦘ ꦓ ꦨ
Mahaprana
ꦣ ꦰ ꦞ ꦙ ꦜ
Catatan
^1 berperan ganda sebagai fonem /ha/ dan /a/ tergantung kata yang bersangkutan
^2 ca murda hanya teratestasi dalam bentuk pasangan,[4] bentuk aksara dasarnya merupakan rekonstruksi kontemporer
^3 ra agung, memiliki fungsi yang serupa dengan aksara murda lainnya namun tidak dikenal secara luas karena penggunaannya yang terbatas di lingkungan kraton[35]
Aksara swara (ꦲꦏ ꦫꦱꦫ) adalah aksara yang digunakan untuk menulis suku kata yang tidak memiliki konsonan di awal, atau dalam kata lain suku kata yang hanya terdiri
vokal. Pada awalnya, aksara Jawa memiliki 14 aksara vokal yang diwarisi dari tradisi tulis Sanskerta. Bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:[36]
Aksara Swara
Tempat pelafalan Velar Palatal Labial Retrofleks Dental Velar-Palatal Velar-Labial
Pendek
ꦄ ꦆ ꦈ ꦉ ꦊ ꦌ ꦎ
a i u ̣ [1]
r/re ̣ [2]
l/le é[3] o
Panjang
Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
ꦄꦴ ꦇ ꦈꦴ ꦉꦴ ꦋ ꦍ ꦎꦴ
ā ī ū ṝ/reu[4a][4b] ḹ/leu[5a][5b] ai6 au7
Catatan
^1 pa cerek, /rə/ sebagaimana re dalam kata "remah"
^2 nga lelet, /lə/ sebagaimana le dalam kata "lemah"
^3 /e/ sebagaimana e dalam kata "enak"
Pelafalan berikut tidak digunakan dalam bahasa Jawa modern:
^4a pa cerek dirgha, dalam bahasa Sanskerta sebenarnya hanya digunakan sebagai pelengkap sistem fonologi Pāṇini[40]
^4b dalam penulisan Sunda digunakan untuk /rɨ/ sebagaimana reu dalam kata bahasa Sunda "pireu"[41]
^5a nga lelet raswadi, dalam bahasa Sanskerta sebenarnya hanya digunakan sebagai pelengkap sistem fonologi Pāṇini[40]
^5b dalam penulisan Sunda digunakan untuk /lɨ/ sebagaimana leu dalam kata bahasa Sunda "deuleu"[41]
^6 diftong /aj/ sebagaimana ai dalam kata "sungai"
^7 diftong /aw/ sebagaimana au kata "pantau"
Sebagaimana aksara wyanjana, bahasa Jawa modern tidak lagi menggunakan keseluruhan aksara swara dalam deret Sanskerta-Kawi, dan kini hanya aksara untuk vokal
pendek yang umumnya diajarkan. Dalam penulisan modern, aksara swara digunakan untuk menggantikan aksara wyanjana ha ꦲ (yang pelafalannya bisa jadi ambigu karena
berperan ganda sebagai fonem /ha/ dan /a/) pada nama atau istilah asing yang pelafalannya perlu diperjelas.[42]
Pa cerek ꦉ, pa cerek dirgha ꦉꦴ, nga lelet ꦊ, dan nga lelet raswadi ꦋ adalah konsonan silabis yang dalam bahasa Sanskerta-Kawi dianggap sebagai huruf vokal.[40][43] Ketika
digunakan untuk bahasa selain Sanskerta, pelafalan keempat aksara ini sering kali bervariasi. Dalam perkembangan bahasa Jawa modern, hanya pa cerek dan nga lelet yang
digunakan; pa cerek dilafalkan /rə/ (sebagaimana re dalam kata "remah") sementara nga lelet dilafalkan /lə/ (sebagaimana le dalam kata "lemah"). Dalam pengajaran modern,
aksara ini sering kali dipisahkan dari aksara swara menjadi kategori sendiri yang disebut aksara gantèn. Kedua aksara ini wajib digunakan untuk mengganti tiap kombinasi
ꦼ → ꦉ) serta la+pepet (ꦭ
ra+pepet (ꦫ ꦼ → ꦊ) tanpa terkecuali.[44]
Aksara rékan (ꦲꦏ ꦫꦺꦫꦏꦤ꧀) adalah aksara tambahan yang digunakan untuk menulis bunyi asing.[45] Aksara ini pada awalnya dikembangkan untuk menuliskan kata
serapan dari bahasa Arab, kemudian diadaptasi untuk kata serapan dari bahasa Belanda, dan dalam penggunaan kontemporer juga digunakan untuk menulis kata-kata
bahasa Indonesia dan Inggris. Sebagian besar aksara rékan dibentuk dengan menambahkan diakritik cecak telu pada aksara yang bunyinya dianggap paling mendekati
꦳ dibentuk dengan menambahkan cecak telu pada aksara wyanjana pa ꦥ. Kombinasi wyanjana dan
dengan bunyi asing yang bersangkutan. Sebagai contoh, aksara rékan fa ꦥ
ekivalen bunyi asing tiap rékan bisa jadi berbeda antarpenulis. Beberapa aksara rékan dapat dilihat sebagaimana berikut:[46]
Aksara Rékan
hạ kha qa dza sya fa/va za gha 'a
Aksara
Jawa ꦳
ꦲ ꦳
ꦏ ꦐ[1] ꦳
ꦢ ꦳
ꦱ ꦳
ꦥ ꦳
ꦗ ꦳
ꦒ ꦳
ꦔ
Abjad ح خ ق ذ ش ف ز غ ع
Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
Arab
Catatan
^1 ka sasak, hanya digunakan dalam penulisan bahasa Sasak
Diakritik (sandhangan ꦱꦤꦔꦤ꧀) adalah tanda yang melekat pada aksara untuk mengubah vokal inheren aksara yang bersangkutan. Sebagaimana aksara, diakritik Jawa juga
dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok tergantung dari fungsi dan penggunaannya.
Sandhangan swara (ꦱꦤꦁ ꦔꦤ ꦫ) adalah sandhangan yang digunakan untuk merubah vokal inheren /a/ menjadi vokal lainnya, sebagaimana berikut:[47]
Sandhangan Swara
Pendek Panjang
-a -i -u -é[1] -o -e[2] -ā -ī -ū -ai[3] -au[4] -eu[5a][5b]
-
◌ꦶ ◌ꦸ ꦺ◌ ꦺ◌ꦴ ꦼ◌ ◌ꦴ ◌ꦷ ◌ꦹ ꦻ◌ ꦻ◌ꦴ ꦼ ◌ꦴ
dirga
taling- wulu suku dirga pepet-
- wulu suku taling pepet tarung muré-
tarung melik mendut muré tarung
tarung
ka ki ku ké ko ke kā kī kū kai kau keu
ꦏ ꦶ
ꦏ ꦏꦸ ꦺꦏ ꦺꦏꦴ ꦼ
ꦏ ꦏꦴ ꦷ
ꦏ ꦏꦹ ꦻꦏ ꦻꦭꦴ ꦼ ꦴ
ꦏ
Catatan
^1 /e/ sebagaimana e dalam kata "enak"
^2 /ə/ sebagaimana e dalam kata "empat", bunyi bahasa Kawi yang tidak berasal dari Sanskerta
Sebagaimana aksara swara, hanya sandhangan vokal pendek yang umumnya diajarkan dan digunakan dalam bahasa Jawa kontemporer, sementara sandhangan vokal
panjang digunakan dalam penulisan bahasa Sanskerta dan Kawi.
ꦶ ꦒ
Sandhangan panyigeging wanda (ꦱꦤꦁ ꦔꦤ ꦚ ꦼ ꦒꦮꦤ) digunakan untuk menutup suatu suku kata dengan konsonan, sebagaimana berikut:[48]
Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
Sandhangan Panyigeging Wanda
nasal[1] -ng -r -h pemati[2]
ꦀ◌ ◌ꦁ ◌ꦂ ◌ꦃ ꧀
panyangga cecak layar wignyan pangkon
kam kang kar kah k
ꦏ
ꦀ ꦁ
ꦏ ꦏ
ꦂ ꦏꦃ ꦏ꧀
Catatan
^1 umumnya hanya ditemukan dalam salinan lontar Bali untuk menuliskan kata
keramat seperti ong ꦎ
ꦀ
^2 tidak digunakan untuk suku kata tertutup yang terjadi di tengah kata atau
kalimat (lihat pasangan)
Sandhangan wyanjana (ꦱꦤꦁ ꦔꦤꦚꦤ) digunakan untuk menuliskan gugus konsonan dengan semivokal dalam satu suku kata, sebagaimana berikut:[49]
Sandhangan Wyanjana
-re -y- -r- -l- -w-
◌ꦽ ◌ꦾ ◌ꦿ ◌ ◌
keret pengkal cakra panjingan la gembung
kre kya kra kla kwa
ꦏꦽ ꦏꦾ ꦏꦿ ꦏ ꦏ
Vokal inheren dari tiap aksara dasar dapat dimatikan dengan penggunaan diaktrik pangkon. Akan tetapi, pangkon normalnya tidak digunakan di tengah kata atau kalimat,
sehingga untuk menuliskan suku kata tertutup di tengah kata dan kalimat, digunakanlah bentuk pasangan (ꦥꦱꦔꦤ꧀). Berbeda dengan pangkon, pasangan tidak hanya
mematikan konsonan yang diiringinya tetapi juga menunjukkan konsonan selanjutnya. Sebagai contoh, aksara ma (ꦩ) yang diiringi bentuk pasangan dari pa ( ◌ ) menjadi mpa
(ꦩ ). Bentuk pasangan setiap aksara ada di tabel berikut:[50]
Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
ꦲ ꦤ ꦕ ꦫ ꦏ ꦢ ꦠ ꦱ ꦮ ꦭ ꦥ ꦝ ꦗ ꦪ ꦚ ꦩ ꦒ ꦧ ꦛ ꦔ
Pasangan
◌ ◌ ◌ ◌ ◌ ◌ ◌ ◌ ◌ ◌ ◌ ◌ ◌ ◌ ◌ ◌ ◌ ◌ ◌ ◌
Aksara
ꦟ ꦖ ꦬ ꦑ ꦡ ꦯ ꦦ ꦘ ꦒ ꦨ
Murda
Pasangan
ꦟ ◌[1] ◌ ◌ ◌ ◌ ◌ ◌ ◌ ◌
Aksara
ꦣ ꦰ ꦞ ꦙ ꦜ
Mahaprana
Pasangan
◌ ◌ ◌ ◌ ◌
Catatan
tanda bulat (◌) pada karakter bukanlah bagian dari pasangan, tetapi mengindikasikan posisi aksara yang diiringinya
^1 kerap digunakan sebagai bagian dari pepadan yang tidak memiliki fungsi fonetis
^2 pasangan dalam tabel ini merupakan bentuk yang digunakan dalam penulisan Jawa modern. Beberapa aksara memiliki bentuk pasangan yang berbeda dalam penulisan Sanskerta-Kawi
Aksara Jawa memiliki lambang bilangannya sendiri yang berlaku selayaknya angka Arab, namun sebagian bentuknya memiliki rupa yang persis sama dengan beberapa aksara
Jawa, semisal angka 1 ꧑ dengan aksara wyanjana ga ꦒ, atau angka 8 ꧘ dengan aksara murda pa ꦦ. Karena persamaan bentuk ini, angka yang digunakan di tengah kalimat
ꦶ
ꦁ ꦒꦭ꧀꧇꧑꧗꧇ꦗꦸꦤ
perlu diapit dengan tanda baca pada pangkat atau pada lingsa untuk memperjelas fungsinya sebagai lambang bilangan. Semisal, "tanggal 17 Juni" ditulis ꦠ
ꦶ . Pengapit ini dapat diabaikan apabila fungsi lambang bilangan sudah jelas dari konteks, misal nomor halaman di pojok kertas. Bentuknya dapat dilihat
ꦁ ꦒꦭ꧀꧈꧑꧗꧈ꦗꦸꦤ
atau ꦠ
sebagaimana berikut:[51][52]
Angka
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
꧐ ꧑ ꧒ ꧓ ꧔ ꧕ ꧖ ꧗ ꧘ ꧙
Teks tradisional Jawa ditulis tanpa spasi antarkata (scriptio continua) dan memiliki sejumlah tanda baca yang disebut pada (ꦥꦢ). Bentuknya sebagaimana berikut:
Pada
surat koreksi
adeg-
lingsa lungsi adeg pisèlèh rerenggan pangkat rangkap tirta isèn-
adeg andhap madya luhur guru pancak
tumètès isèn
Dalam pengajaran modern, tanda baca yang paling sering digunakan adalah pada adeg-adeg, pada lingsa, dan pada lungsi, yang masing-masing berfungsi untuk membuka
paragraf (sebagaimana pillcrow), memisahkan kalimat (sebagaimana koma), dan mengakhiri kalimat (sebagaimana titik). Pada adeg dan pada pisèlèh umumnya digunakan
untuk mengapit sisipan di tengah teks seperti kurung atau petik, sementara pada pangkat berfungsi seperti titik dua. Pada rangkap kadang digunakan sebagai tanda
pengulangan kata yang dalam bahasa Indonesia informal setara dengan penggunaan angka 2 untuk kata berulang (misal kata-kata ꦏꦠꦏꦠ → kata2 ꦏꦠꧏ).[53]
Beberapa tanda baca tidak memiliki ekivalen dalam ejaan latin dan sering kali bersifat dekoratif, karena itu bentuk dan penggunaannya cenderung bervariasi antarpenulis,
semisal rerenggan yang kadang digunakan untuk mengapit judul. Dalam surat-menyurat, seperangkat tanda baca digunakan di awal surat sebagai tanda pembuka dan kadang
digunakan pula sebagai penanda status sosial dari sang pengirim surat; dari pada andhap yang rendah, pada madya yang menengah, hingga pada luhur yang tinggi. Pada
guru kadang digunakan sebagai pilihan netral yang tidak memiliki konotasi sosial, sementara pada pancak digunakan untuk mengakhiri surat. Namun perlu diperhatikan bahwa
bentuk dan fungsi ini merupakan kaidah yang digeneralisasi. Sebagaimana rerenggan, tanda baca pemulai dan pengakhir surat dalam prakteknya bersifat dekoratif dan
opsional, dengan beragam susunan bentuk yang bervariasi antara daerah dan juru tulis.[53]
Ketika terjadi kesalahan dalam penulisan naskah, beberapa juru tulis keraton menggunakan tanda koreksi khusus alih-alih mencoret bagian yang salah: tirta tumétès yang
ditemukan di naskah-naskah Yogyakarta, dan isèn-isèn yang ditemukan di naskah Surakarta. Tanda koreksi ini langsung dibubuhkan mengikuti bagian yang salah sebelum
penulis melanjutkan dengan penulisan yang benar. Semisal seorang juru tulis ingin menulis pada luhur ꦥꦢꦭꦸꦲ
ꦂ ꦸ namun terlanjur menulis pada hu ꦥꦢꦲꦸ sebelum ia sadar
kesalahannya, maka kata ini dapat dikoreksi menjadi pada hu···luhur ꦥꦢꦲꦸ꧞꧞꧞ꦭꦸꦲ ꦂ ꦸ.[54]
ꦂ ꦸ atau ꦥꦢꦲꦸ꧟꧟꧟ꦭꦸꦲ
ꦼ ꦥꦢꦤ꧀), yakni seperangkat tanda baca penanda sajak yang bentuk dan pengerjaannya
Selain tanda baca biasa, salah satu ciri khas penulis aksara Jawa adalah pepadan (ꦥ
sering kali memiliki nilai artisik tinggi. Beberapa bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:
Pepadan
pada kecil pada besar
Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
꧅ ꧅ꦧ꧅
Perangkat tanda baca pepadan dapat dikenal dengan berbagai nama dalam teks-teks tradisional. Behrend (1996) membagi pepadan ke dalam dua kelompok umum: pada
kecil yang merupakan tanda baca tunggal, serta pada besar yang sering kali disusun berderet dari beberapa tanda baca. Pada kecil digunakan untuk menandakan pergantian
bait yang biasanya muncul setiap 32 hingga 48 suku kata tergantung metrum yang digunakan. Pada besar digunakan untuk menandakan pergantian tembang (diikuti pula oleh
metrum, irama, dan citra pelantunan) yang biasanya muncul tiap 5 hingga 10 halaman, meski hal ini sangat tergantung dari susunan naskah yang bersangkutan.[55] Pedoman
penulisan aksara Jawa sering kali membagi pada besar menjadi tiga jenis pada, purwa pada ꧅ ꦧ ꧅ yang digunakan di awal tembang pertama, madya pada ꧅ ꦟ
꧅ yang digunakan di pergantian tembang, dan wasana pada ꧅ ꦆ ꧅ yang digunakan di penutup tembang terakhir.[53] Namun karena bentuknya yang sangat
bervariasi antarnaskah, tiga tanda baca ini sering kali melebur dan dianggap satu dalam praktek penulisan sebagian besar naskah Jawa.[56]
Pepadan merupakan elemen aksara yang paling menonjol dalam naskah Jawa dan hampir selalu ditulis dengan kemampuan artisik tinggi yang meliputi kaligrafi, pewarnaan,
hingga penyepuhan dengan kertas emas.[57] Dalam sejumlah naskah mewah, bentuk pepadan bahkan bisa menjadi petunjuk untuk tembang yang digunakan; pepadan dengan
elemen sayap atau figur burung yang menyerupai gagak (dhandhang dalam bahasa Jawa) merujuk pada tembang dhandhanggula, sementara pepadan dengan elemen ikan
mas merujuk pada tembang maskumambang (secara harfiah berarti "emas mengambang di air"). Salah satu pusat penulisan naskah dengan gubahan pepadan yang paling
indah adalah skriptorium Kadipaten Pakualaman di Yogyakarta.[56][58]
Aksara Jawa modern umum diurutkan menggunakan deret Hanacaraka yang dinamakan berdasarkan lima aksara pertama dalam deret tersebut.[g] Dalam urutan tersebut, ke-
20 aksara dasar yang digunakan dalam bahasa Jawa modern membentuk sebuah pangram yang sering kali dikaitkan dengan legenda Aji Saka.[59][60] Asal-usul deret ini tidak
diketahui dengan pasti, namun deret Hanacaraka diperkirakan telah digunakan oleh masyarakat Jawa pra-kemerdekaan setidaknya sejak abad ke-15 ketika ranah Jawa mulai
menerima pengaruh Islam yang signifikan.[61][62] Terdapat berbagai macam tafsiran mengenai makna filosofis dan esoteris yang konon terkandung dalam urutan
hanacaraka.[63][64]
Deret Hanacaraka
Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
ꦲꦤꦕꦫꦏ ꦢꦠꦱꦮꦭ ꦥꦝꦗꦪꦚ ꦩꦒꦧꦛꦔ
(h)ana caraka data sawala padha jayanya maga bathanga
ada dua utusan yang berselisih pendapat sama kuatnya inilah mayat mereka
Deret hanacaraka bukanlah satu-satunya cara untuk mengurutkan aksara Jawa. Untuk penulisan bahasa Sanskerta dan Kawi yang memerlukan 33 aksara dasar, aksara Jawa
dapat diurutkan berdasarkan tempat pelafalannya (warga) menurut prinsip fonologi Sanskerta yang pertama kali dijabarkan oleh Pānị ni.[36][61] Deret ini, yang kadang disebut
deret Kaganga berdasarkan tiga aksara pertamanya, merupakan deret standar dalam aksara-aksara turunan Brahmi yang masih bisa digunakan untuk menulis bahasa
Sanskerta, seperti aksara Dewanagari, Tamil, dan Khmer.
Ardhasuara Ūsma
̣ Wisarga
Berikut adalah cuplikan Serat Katuranggan Kucing yang dicetak pada tahun 1871 dengan bahasa dan ejaan Jawa modern.[65]
Bahasa Jawa
Pada Bahasa Indonesia
Aksara Jawa Latin
꧅ꦭꦩꦸꦤ ꦶ ꦫꦔ
ꦶ ꦔꦸꦏꦸꦕ꧈
ꦶ ꦉꦁꦱꦢꦪ꧈ ꦭꦩꦁ ꦏ
ꦲꦮꦺꦏꦲ ꦶ ꦮꦺꦠꦺꦩꦴꦁꦥꦸꦠ
ꦶ ꦃ꧈ Lamun sira ngingu kucing, awaké ireng sadaya, Kucing yang berwarna hitam semua tetapi perut sebelah kirinya
lambung kiwa tèmbong putih, leksanira prayoga, terdapat tèmbong (bercak) putih disebut wulan krahinan. Kucing
7 ꦶ ꦫ ꦥꦺꦪꦴꦒ꧈ ꦲꦫꦤꦭꦤꦲ
ꦊꦏ ꦤꦤ ꦶ ꦤꦤ꧀꧈
aran wulan krahinan, tinekanan sasedyanira ini membawa kebaikan berupa tercapainya semua keinginan.
ꦶ ꦤ
ꦠ ꦼ ꦏꦤꦤ ꦱ ꦶ ꦥꦸꦤ꧀꧈
ꦼ ꦢꦾꦤ ipun, yèn bundhel langkung utama Lebih baik jika ekornya bund
̣ e
̣ l (membulat).
ꦼ ꦭ
ꦺꦪꦤꦟ ꦁ ꦏꦸ
ꦁ ꦲꦸꦠꦩ꧈
8 ꦶ ꦫꦔ
꧅ꦲꦗꦱ ꦶ ꦔꦸꦏꦸꦕ꧈ Aja sira ngingu kucing, lurik ireng buntut Kucing dengan bulu lurik hitam berekor panjang jangan
panjang, punika awon lamaté, sekelan sring dipelihara. Kucing itu disebut dhadhang sungkawa.
ꦶ ꦏ ꦶ ꦉꦁꦧꦸꦤꦠ ꦚ
ꦭꦸꦫ ꦁ ꧈
Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
ꦶ ꦏꦲꦺꦮꦴꦤꦩꦺꦠ꧈
ꦥꦸꦤ tukaran, aran dhadhang sungkawa, pan adoh Kehidupanmu akan sering bertengkar dan jauh dari rizki. Apabila
rijeki nipun, yèn bundhel nora ngapa ekornya bund
̣ e
̣ l, maka tidak masalah.
ꦼ ꦏ
ꦱ ꦼ ꦭꦤ ꦿ ꦠꦸꦏ ꦁ ꦱꦸ
ꦂ ꦫꦤ꧀꧈ ꦲꦫꦤꦣ ꦁ ꦏꦮ꧈
ꦥꦤ ꦶ ꦗ
ꦺꦢꦴꦃꦫ ꦶ ꦤ
ꦼ ꦏ ꦶ ꦥꦸꦤ꧀꧈
ꦼ ꦺꦭꦴꦫꦔꦥꦲ꧈
ꦺꦪꦤꦟ
Berikut adalah cuplikan dari Kakawin Rāmāyanạ yang dicetak pada tahun 1900 dengan bahasa dan ejaan Kawi.[66]
Bahasa Jawa
Pada Bahasa Indonesia
Aksara Jawa Latin
ꦷ ꦪꦴꦲꦠꦭꦒꦏꦢ
꧅ꦗꦲ ꦶ ꦭꦔ
ꦶ ꦠ꧀꧈
Kerabat paling dekat dari aksara Jawa adalah aksara Bali. Sebagai keturunan langsung aksara Kawi, aksara Jawa dan Bali masih memiliki banyak kesamaan dari segi struktur
dasar masing-masing huruf. Salah satu perbedaan mencolok antara aksara Jawa dan Bali adalah sistem tata tulis; Tata tulis Bali cenderung bersifat konservatif dan
mempertahankan banyak aspek dari ejaan Kawi yang tidak lagi digunakan dalam aksara Jawa. Sebagai contoh, kata desa dalam aksara Jawa kini ditulis ꦺꦢꦱ. Dalam tata tulis
Bali kontemporer, ejaan ini dianggap sebagai ejaan kasar atau kurang tepat, karena desa merupakan kosakata serapan Sanskerta yang seharusnya dieja sesuai pengucapan
Sanskerta aslinya: deśa ꦺꦢꦯ, menggunakan aksara sa murda alih-alih aksara sa nglegena. Seperti bahasa Jawa, bahasa Bali juga tidak lagi membedakan pelafalan seluruh
aksara dalam deret Sanskerta-Kawi, termasuk antara sa nglegena dan sa murda, namun ejaan asli selalu dipertahankan kapan pun memungkinkan. Salah satu alasannya agar
sejumlah kata serapan dari bahasa Sanskerta-Kawi yang bunyinya sama dalam bahasa Bali dapat tetap dibedakan dalam tulisan, misal antara kata pada (ꦥꦢ, tanah/bumi),
pāda (ꦥꦴꦢ, kaki), dan padha (ꦥꦣ, sama), serta antara kata asta (ꦲꦱ, adalah), astha (ꦲꦱ, tulang), dan asṭ ạ (ꦄꦰ, delapan).[67][68][69]
Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
Jawa ꦄ ꦄꦴ ꦆ ꦇ ꦈ ꦈꦴ ꦉ ꦉꦴ ꦊ ꦋ ꦌ ꦍ ꦎ ꦎꦴ
Bali ᬅ ᬆ ᬇ ᬈ ᬉ ᬊ ᬋ ᬌ ᬍ ᬎ ᬏ ᬐ ᬑ ᬒ
Catatan
^1/e/ sebagaimana e dalam kata "enak"
^2 diftong /aj/ sebagaimana ai dalam kata "sungai"
^3 diftong /aw/ sebagaimana au dalam kata "pantau"
Diakritik
-a -ā -i -ī -u -ū -r ̣ -ṝ -é[1] -ai[2] -o -au[3] -e[4] -eu[5] -m -ng -r -h pemati
Jawa - ◌ꦴ ◌ꦶ ◌ꦷ ◌ꦸ ◌ꦹ ◌ꦽ ◌ꦽꦴ ꦺ◌ ꦻ◌ ꦺ◌ꦴ ꦻ◌ꦴ ꦼ◌ ꦼ ◌ꦴ ꦀ◌ ◌ꦁ ◌ꦂ ◌ꦃ ꧀
Bali - ◌ᬵ ◌ᬶ ◌ᬷ ◌ᬸ ◌ᬹ ◌ᬺ ◌ᬻ ᬾ◌ ᬿ◌ ᬾ◌ᬵ ᬿ◌ᬵ ◌ᭂ ◌ᭃ ◌ᬁ ◌ᬂ ◌ᬃ ◌ᬄ ᭄
ka kā ki kī ku kū kr ̣ kṝ ké kai ko kau ke keu kam kang kar kah k
ꦶ
Jawa ꦏ ꦏꦴ ꦏ ꦷ
ꦏ ꦏꦸ ꦏꦹ ꦏꦽ ꦏꦽꦴ ꦺꦏ ꦻꦏ ꦺꦏꦴ ꦻꦭꦴ ꦼ
ꦏ ꦼ ꦴ
ꦏ ꦏ
ꦀ ꦁ
ꦏ ꦏ
ꦂ ꦏꦃ ꦏ꧀
Bali ᬓ ᬓᬵ ᬓᬶ ᬓᬷ ᬓᬸ ᬓᬹ ᬓᬺ ᬓᬻ ᬾᬓ ᬿᬓ ᬾᬓᬵ ᬿᬓᬵ ᬓᭂ ᬓᭃ ᬓᬁ ᬓᬂ ᬓᬃ ᬓᬄ ᬓ᭄
Catatan
^1 /e/ sebagaimana e dalam kata "enak"
^2 diftong /aj/ sebagaimana ai dalam kata "sungai"
^3 diftong /aw/ sebagaimana au dalam kata "pantau"
^4 /ə/ sebagaimana e dalam kata "empat"
^5 /ɨ/ sebagaimana eu dalam kata bahasa Sunda "peyeum". Dalam alih aksara bahasa Kawi, diromanisasi menjadi ö[36]
Angka
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jawa ꧐ ꧑ ꧒ ꧓ ꧔ ꧕ ꧖ ꧗ ꧘ ꧙
Bali ᭐ ᭑ ᭒ ᭓ ᭔ ᭕ ᭖ ᭗ ᭘ ᭙
Tanda Baca
pada lingsa pada lungsi pada pangkat pada adeg-adeg pada luhur
Jawa
꧈ ꧉ ꧇ ꧋ ꧅
carik siki carik parérén carik pamungkah panti pamada
Bali
᭞ ᭟ ᭝ ᭚ ᭛
ꦷ ꦪꦴꦲꦠꦭꦒꦏꦢ
Jawa ꧅ꦗꦲ ꦶ ꦭꦔ
ꦶ ꦠ꧀꧈ ꦩꦩꦁ ꦠ ꦶ ꦏꦴ꧈ ꦮ
ꦁ ꦥꦴꦱꦭꦤꦸꦥꦩꦤ ꦶ ꦤꦁ ꦠꦸꦭ
ꦁ ꦏꦸ ꦶ ꦏꦢ
ꦁ ꦱꦫ
ꦾ ꦱꦸꦩꦪꦱꦸꦩꦮꦸꦫ꧀꧈ ꦭꦸꦩꦴꦺꦥꦏ ꦶ ꦗꦭꦢ꧉
Bali
Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
᭛ᬚᬳᬷᬬᬵᬳᬶᬂ ᬢᬮᬕᬓᬤᬶᬮᬗᬶ ᬢ᭄᭞ ᬫᬫᬂᬢᬂᬧᬵᬲᬮᬦᬸ
ᬸ ᬧᬫᬦᬶᬓᬵ᭞ ᬯᬶᬦᬂ ᬢᬸᬮᬂ ᬓᬸᬲᬫ
ᬸ ᬬᬲᬸᬫᬯᬳᬸᬭ᭄᭞ ᬮᬸᬫᬾᬧᬓᬂ ᬲᬭᬶᬓᬤᬶᬚᬮᬤ᭟
Jahnī yāhning talaga kadi langit, mambang tang pās wulan upamanikā, wintang tulya ng kusuma ya sumawur, lumrā pwékang sari kadi jalada.
(Kakawin Rāmāyana
̣ XVI.31)
Aksara Jawa resmi dimasukkan ke dalam Unicode sejak Oktober 2009 dengan dirilisnya Unicode versi 5.2. Blok Unicode aksara Jawa terletak pada kode U+A980–U+A9DF.
Terdapat 91 kode yang mencakup 53 huruf, 19 tanda baca, 10 angka, dan 9 vokal. Sel abu-abu menunjukkan titik kode yang belum terpakai.
Javanese[1][2]
Bagan kode resmi Unicode Consortium (PDF)
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A B C D E F
U+A98x ꦀ◌ ◌ꦁ ◌ꦂ ◌ꦃ ꦄ ꦅ ꦆ ꦇ ꦈ ꦉ ꦊ ꦋ ꦌ ꦍ ꦎ ꦏ
U+A99x ꦐ ꦑ ꦒ ꦓ ꦔ ꦕ ꦖ ꦗ ꦘ ꦙ ꦚ ꦛ ꦜ ꦝ ꦞ ꦟ
U+A9Ax ꦠ ꦡ ꦢ ꦣ ꦤ ꦥ ꦦ ꦧ ꦨ ꦩ ꦪ ꦫ ꦬ ꦭ ꦮ ꦯ
U+A9Bx ꦰ ꦱ ꦲ ◌꦳ ◌ꦴ ◌ꦵ ◌ꦶ ◌ꦷ ◌ꦸ ◌ꦹ ꦺ◌ ꦻ◌ ꦼ◌ ◌ꦽ ◌ꦾ ◌ꦿ
U+A9Cx ꧀ ꧁ ꧂ ꧃ ꧄ ꧅ ꧆ ꧇ ꧈ ꧉ ꧊ ꧋ ꧌ ꧍ ꧏ
U+A9Dx ꧐ ꧑ ꧒ ꧓ ꧔ ꧕ ꧖ ꧗ ꧘ ꧙ ꧞ ꧟
Catatan
1.^Per Unicode versi 13.0
Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
2.^Abu-abu berarti titik kode kosong
Lihat pula Tabel alternatif Unicode aksara Jawa yang diurutkan berdasarkan hanacaraka
Halaman judul buku kenang- Salah satu halaman Serat Bratayudha yang disalin Halaman pembuka Serat Damar
kenangan yang merayakan pada tahun 1902, koleksi Widya Budaya Wulan yang disalin sekitar abad
Lembar obligasi pemerintahan Hindia Belanda seharga 5 Koran Bromartani, koran
kenaikan Ratu Wilhelmina, ke-18, koleksi British Library
Gulden/Rupiah tahun 1846, dengan nominal yang dieja pertama berbahasa dan
dicetak di Semarang tahun
dengan huruf Latin, abjad Pégon, dan aksara Jawa beraksara Jawa yang terbit
1898
antara tahun 1855 hingga
1856
Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
Iklan Droste's Cacao
Iklan Lampoe Osram Bocah Mangkunagaran (1937), Uang kertas 5 Gulden yang dikeluarkan De Prasasti Pakubuwana X yang
kumpulan cerita dan informasi Javasche Bank tahun 1937, dengan memperingati pembangunan
mengenai wilayah peringatan pemalsuan multiaksara yang sejumlah gapura di Surakarta
Mangkunegara termasuk aksara Jawa pada tahun 1938
Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
Lambang Kesultanan Yogyakarta dengan
Papan nama jalan di Cirebon Merchandise kontemporer stilisasi aksara Jawa di bidang tengahnya
dengan elemen desain aksara
Jawa
Bahasa Jawa
Sastra Jawa
Aksara Nusantara
Javanese script was used over the entire period of Modern Javanese literature, and Aksara Jawa digunakan sepanjang periode sastra Jawa modern, dan digunakan di
throughout the island, at a time when there was no easy means of communication seantero pulau Jawa, di masa ketika komunikasi antarwilayah sering kali sulit dan tidak
between remote areas and no impulse towards standardization. As a result, there is a terdapat dorongan untuk menstandarisasi aksara Jawa. Akibatnya, aksara Jawa memiliki
huge variety in historical and local styles of Javanese writing throughout the ages. berbagai langgam historis dan kedaerahan yang digunakan silih-berganti seiring waktu.
The ability of a person to read a bark-paper manuscript from the town of Demak, say, Kemampuan seseorang untuk membaca naskah dluwang dari Demak yang ditulis pada
written around 1700, is no guarantee that that person would also be able to make tahun 1700-an, semisal, tidak menjadi jaminan orang yang sama dapat memahami
sense of a palm-leaf manuscript written at the same time only 50 miles away on the aksara pada naskah lontar dari kaki gunung Merapi (sekitar 80 km dari Demak) yang
slopes of mount Merapi. The great differences between regional styles almost makes ditulis pada periode waktu yang sama. Perbedaan yang sangat besar antara langgam-
it seem that "Javanese script" is in fact a family of script, and not just one.[8] langgam daerah memberikan kesan bahwa "aksara Jawa" adalah sekumpulan aksara,
alih-alih sebuah aksara tunggal.
—Behrend (1996:162)
b. ^ VOC berupaya untuk mendirikan pabrik kertasnya sendiri di Jawa yang beroperasi antara tahun 1665–1681. Namun pabrik tersebut tidak mampu memenuhi semua permintaan kertas di
Jawa, sehingga suplai kertas terus mengandalkan pengiriman dari Eropa.[14]
c. ^ Bagi kalangan Eropa abad ke-19, tulisan tangan Surakarta disetujui sebagai langgam aksara Jawa yang paling indah sehingga tokoh seperti J.F.C. Gericke menyarankan agar langgam
Surakarta dijadikan panutan untuk membuat rancangan aksara Jawa yang layak.[20]
d. ^ Pada tahun 1920, direktur Balai Poestaka D.A. Rinkes menulis dalam kata sambutannya untuk katalog buku-buku Jawa koleksi Bataviaasch Genootschap sebagaimana berikut:
Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
Bovendien is voor den druk het Latijnsche lettertype gekozen, hetgeen de zaak Selain itu, huruf Latin dipilih untuk pencetakan [buku berbahasa Jawa], hal ini tidak hanya
voor Europeesche gebruikers aanzienlijk vergemakkelijkt, voor Inlandsche memudahkan bagi pembaca Eropa, namun juga tidak dikeluhkan oleh pembaca Pribumi,
belangstellended geenszins een bezwaar oplevert, aangezien de Javaansche taal, karena bahasa Jawa, sebagaimana bahasa Melayu dan bahasa Sunda, terbukti tetap dapat
evenals bereids voor het Maleisch en het Soendaneesch gebleken is, zeker niet dipahami dengan baik ketika ditulis menggunakan huruf Latin dan tidak kalah jelas
minder duidelijk in Latijnsch type dan in het Javaansche schrift is weer te geven. dibanding penulisan yang menggunakan aksara Jawa. Dengan begitu, biaya dapat ditekan
Daarbij zijn de kosten daarmede ongeveer ⅓ van druk in Javaansch karakter, hingga ⅓ dari biaya cetak aksara Jawa, mengingat bahwa mencetak dengan aksara Jawa,
aangezien drukwerk in dat type, dat bovendien niet ruim voorhanden is, 1½ à 2 x yang peralatannya tidak selalu tersedia, bisa jadi 1½ hingga 2 kali lipat memakan lebih
kostbaarder (en tijdroovender) uitkomt dan in Latijnsch type, mede doordat het niet banyak biaya (dan waktu) dibanding mencetak dengan huruf Latin, dan mengingat pula
op de zetmachine kan worden gezet, en een pagina Javaansch type sleechts aksara Jawa tidak dapat dicetak menggunakan mesin setting, dan selembar teks beraksara
ongeveer de helft aan woorden bevat van een pagina van denzelfden tekst in Jawa hanya dapat memuat sekitar setengah jumlah kata dibanding lembar teks sama yang
Latijnsch karakter.[24] telah dialihaksarakan menjadi huruf Latin.
e. ^ Sebagai perbandingan, pemerintahan Jepang yang menduduki Kamboja pada periode waktu yang sama justru menghapus upaya penggunaan huruf Latin yang dimulai pemerintahan
kolonial Kamboja Prancis dan mengembalikan penggunaan aksara Khmer sebagai aksara resmi Kamboja.[26]
f. ^ Contoh kata dengan aksara mahaprana yang digunakan dalam penulisan Kawi misal as ̣tạ (ꦄꦰ, delapan)[38] dan nirjhara (ꦤꦙꦫ, air terjun).[39]
g. ^ Setara dengan kata "alfabet" yang berasal dari nama dua huruf pertama dalam alfabet Yunani (A-B, alfa-beta) serta kata "abjad" yang berasal dari empat huruf pertama dalam abjad Arab
(د-ج-ب-ا, alif-ba-jim-dal).
10. ^ Moriyama 1996, hlm. 167. 23. ^ Robson 2011, hlm. 25.
11. ^ ab Behrend 1996, hlm. 167-169. 24. ^ Molen 1993, hlm. 83.
12. ^ Hinzler, H I R (1993). "Balinese palm-leaf manuscripts" . Bijdragen tot de Taal-, Land- 25. ^ Hadiwidjana, R. D. S. (1967). Tata-sastra: ngewrat rembag 4 bab: titi-wara tuwin
en Volkenkunde. 149 (3). doi:10.1163/22134379-90003116 . aksara, titi-tembung, titi-ukara, titi-basa . U.P. Indonesia. hlm. 9.
13. ^ abc Behrend 1996, hlm. 165-167. 26. ^ Chandler, David P (1993). A History of Cambodia . Silkworm books.
ISBN 9747047098.
14. ^ a b c Teygeler, R (2002). "The Myth of Javanese Paper". Dalam R Seitzinger. Timeless
Paper (dalam bahasa Inggris). Rijswijk: Gentenaar & Torley Publishers. 27. ^ Robson 2011, hlm. 27-28.
ISBN 9073803039.
Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
28. ^ a b Wahab, Abdul (Oktober 2003). Masa Depan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah 47. ^ Darusuprapta 2002, hlm. 19-24.
(PDF). Kongres Bahasa Indonesia VIII. Kelompok B, Ruang Rote. Pusat Bahasa 48. ^ Darusuprapta 2002, hlm. 24-28.
Departemen Pendidikan Indonesia. hlm. 8-9. 49. ^ Darusuprapta 2002, hlm. 29-32.
29. ^ Florida, Nancy K (1995). Writing the Past, Inscribing the Future: History as Prophesy in 50. ^ Everson 2008, hlm. 2.
Colonial Java . Duke University Press. hlm. 37. ISBN 9780822316220. 51. ^ Everson 2008, hlm. 4.
30. ^ Mustika, I Ketut Sawitra (12 Oktober 2017). Atmasari, Nina, ed. "Alumni Sastra Jawa 52. ^ Darusuprapta 2002, hlm. 44-45.
UGM Bantu Koreksi Tulisan Jawa pada Papan Nama Jalan di Jogja" . Yogyakarta: Solo 53. ^ a b c Everson 2008, hlm. 4-5.
Pos. Diakses tanggal 8 Mei 2020. 54. ^ Everson 2008, hlm. 5.
31. ^ Eswe, Hana (13 Oktober 2019). "Penunjuk Jalan Beraksara Jawa Salah Tulis Dikritik 55. ^ Behrend 1996, hlm. 188.
Penggiat Budaya" . Grobogan: Suara Baru. Diakses tanggal 8 Mei 2020.
56. ^ a b Behrend 1996, hlm. 190.
32. ^ a b Siti Fatimah (27 Februari 2020). "Bangkitkan Kongres Bahasa Jawa Setelah Mati
57. ^ Behrend 1996, hlm. 189-190.
Suri" . Bantul: Radar Jogja. Diakses tanggal 25 Mei 2020.
58. ^ Saktimulya, Sri Ratna (2016). Naskah-naskah Skriptorium Pakualaman. Jakarta:
33. ^ Fauzan Jamaludin (31 Januari 2020). "PANDI Siapkan Domain Aksara Jawa Bisa
Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 602424228X.
Digunakan Pertengahan Tahun 2020" . Merdeka.com. Diakses tanggal 1 Februari
59. ^ Robson 2011, hlm. 13-14.
2020.
60. ^ Rochkyatmo 1996, hlm. 8-11.
34. ^ Arindra Meodia (31 Januari 2020). Pasaribu, Alviansyah, ed. "PANDI berencana buat
61. ^ a b Everson 2008, hlm. 5-6.
nama domain aksara Jawa" . ANTARA News. Diakses tanggal 1 Februari 2020.
62. ^ Ricci, Ronit (Desember 2015). "Reading a History of Writing: heritage, religion and
35. ^ a b c Everson 2008, hlm. 1-2.
script change in Java" . Itinerario. Leiden. 39 (03): 424.
36. ^ a b c d Poerwadarminta, W J S (1930). Serat Mardi Kawi (PDF). 1. Solo: De Bliksem.
doi:10.1017/S0165115315000868 .
hlm. 9-12.
63. ^ Rochkyatmo 1996, hlm. 35-41.
37. ^ a b Darusuprapta 2002, hlm. 11-13.
64. ^ Rochkyatmo 1996, hlm. 51-58.
38. ^ Zoetmulder, Petrus Josephus (1982). Robson, Stuart Owen, ed. Old Javanese-English
Dictionary . Nijhoff. hlm. 143, entri 4. ISBN 9024761786. ꦼ ꦫꦠꦠꦸꦫꦁꦒꦤꦏꦸꦠ)
65. ^ Serat Katoerangganing ning Koetjing (ꦱ , diterbitkan oleh
39. ^ Zoetmulder, Petrus Josephus (1982). Robson, Stuart Owen, ed. Old Javanese-English Percetakan GCT Van Dorp & Co di Semarang, tahun 1871. Pindaian Google Books dari
Dictionary . Nijhoff. hlm. 1191, entri 11. ISBN 9024761786. koleksi Perpustakaan Nasional Belanda, No 859 B33.
40. ^ a b c Woodard, Roger D (2008). The Ancient Languages of Asia and the Americas . 66. ^ Kern, Hendrik (1900). Rāmāyan ̣a Kakawin. Oudjavaansch heldendicht. ’s Gravenhage:
Cambridge University Press. hlm. 9. ISBN 0521684943. Martinus Nijhoff.
41. ^ a b Everson 2008, hlm. 18. 67. ^ Tinggen, I Nengah (1993). Pedoman Perubahan Ejaan Bahasa Bali dengan Huruf Latin
42. ^ Darusuprapta 2002, hlm. 13-15. dan Huruf Bali. Singaraja: UD. Rikha. hlm. 7.
43. ^ Poerwadarminta 1930, hlm. 11. 68. ^ Medra, I Nengah (1998). Pedoman Pasang Aksara Bali . Denpasar: Dinas
44. ^ Darusuprapta 2002, hlm. 20. Kebudayaan Pemerintah Daerah Tingkat I Bali. hlm. 44.
45. ^ Darusuprapta 2002, hlm. 16-17. 69. ^ Sutjaja, I Gusti Made (2006). Kamus Inggris, Bali, Indonesia . Lotus Widya Suari
46. ^ Hollander, J J de (1886). Handleiding bij de beoefening der Javaansche Taal en bekerjasama dengan Penerbit Univ. Udayana. ISBN 9798286855.
Letterkunde . Leiden: Brill. hlm. 3.
Poerwadarminta, W.J.S (1939). Baoesastra Djawa (dalam bahasa Jawa). Batavia: J.B. Wolters. ISBN 0834803496.
Arps, B (1999). "How a Javanese Gentleman put his Library in Order" . Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 155 (3): 416-469.
Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
Behrend, T E (1993). "Manuscript Production in Nineteenth Century Java. Codicology and the Writing of Javanese Literary History" . Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde. 149 (3): 407–437. doi:10.1163/22134379-90003115 .
Behrend, T E (1996). "Textual Gateways: the Javanese Manuscript Tradition". Dalam Ann Kumar; John H. McGlynn. Illuminations: The Writing Traditions of Indonesia
(dalam bahasa Inggris). Jakarta: Lontar Foundation. ISBN 0834803496.
Everson, Michael (6 Maret 2008). "Proposal for encoding the Javanese script in the UCS" (PDF). ISO/IEC JTC1/SC2/WG2. Unicode (N3319R3).
Molen, Willem van der (1993). Javaans Schrift . Vakgroep Talen en Culturen van Zuidoost-Azië en Oceanië, Rijksuniversiteit te Leiden (dalam bahasa Belanda). Semaian
8. Leiden: Rijksuniversiteit te Leiden. ISBN 90 73084 09 1.
Molen, Willem van der (2000). "Hoe Heft Zulks Kunnen Geschieden? Het Begin van de Javaanse Typograe". Dalam Willem van der Molen. Woord en Schrift in de Oost.
De betekenis van zending en missie voor de studie van taal en literatuur in Zuidoost-Azie (dalam bahasa Belanda). Semaian 19. Leiden: Vakgroep Talen en Culturen van
Zuidoost-Azië en Oceanië, Rijksuniversiteit te Leiden. hlm. 132-162. ISBN 9074956238.
Moriyama, Mikihiro (Juni 1996). "Discovering the 'Language' and the 'Literature' of West Java: An Introduction to the Formation of Sundanese Writing in 19th Century West
Java" (PDF). Southeast Asian Studies. 34 (1): 151–183.
Robson, Stuart Owen (2011). "Javanese script as cultural artifact: Historical background" . RIMA: Review of Indonesian and Malaysian Affairs. 45 (1-2): 9-36.
Rochkyatmo, Amir (1 Januari 1996). Pelestarian dan Modernisasi Aksara Daerah: Perkembangan Metode dan Teknis Menulis Aksara Jawa (PDF). Direktorat Jenderal
Kebudayaan.
Bahasa Sunda
Holle, K F (1862). Soendasch spel- en lees boek, met Soendasche letter . Batavia: Lands-drukkerij.
Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
Southeast Asia Digital Library kompilasi Northern Illinois University Wikimedia Commons memiliki
media mengenai Publikasi
Cetak Aksara Jawa.
Naskah digital [ sunting | sunting sumber ]
Ha Na Ca Ra Ka Da Ta Sa Wa La
Aksara murda
(Huruf kapital) Na Ka Ta Sa Pa Nya Ga Ba
Aksara mahaprana
(Huruf arkaik)
Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
Sa Dha Ja Tha
Aksara swara
(Huruf vokal)
A I U E O Ai Au
Aksara gantèn
(Huruf pengganti)
Nga lelet Pa cerek
Bahasa Ngoko (ngoko lugu, ngoko alus) · Krama (krama lugu, krama alus)
Tingkatan
Kosakata Ngoko · Krama-ngoko · Krama (krama madya) · Krama inggil (krama andhap)
Dialek Bagian Tengah Pekalongan · Kedu · Bagelan · Semarang · Muria · Blora · Mataram (Surakarta dan Yogyakarta) · Mataraman
Bahasa terkait Bagongan · Jawa Kuno (Kawi (kesusastraan)) · Suriname · Tengger · Cirebon
Topik terkait Angka · Jawanisme · Sastra Jawa · Kongres Bahasa Jawa · Wikipedia · Blok Unicode
Kategori: Aksara dengan kode empat huruf ISO 15924 Aksara Jawa Aksara Nusantara Rumpun aksara Brahmi Bahasa Jawa
Teks tersedia di bawah Lisensi Atribusi-BerbagiSerupa Creative Commons; ketentuan tambahan mungkin berlaku. Lihat Ketentuan Penggunaan untuk lebih jelasnya.
Kebijakan privasi Tentang Wikipedia Penyangkalan Pengembang Statistik Pernyataan kuki Tampilan seluler
Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD