Anda di halaman 1dari 3

HUKUM TIDAK MEMANDIKAN JENAZAH PASIEN COVID-19

(STUDI KOMPARASI MUHAMMADIYAH DAN NAHDLATUL ULAMA)

DISUSUN DAN DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA UNTUK
MEMENUHI SEBAGIAN SYARAT PENGAJUAN JUDUL SKRIPSI

OLEH:

GINA NADIA SWARI


17103060011

PRODI PERBANDINGAN MAZHAB

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2020
ABSTRAK

Skripsi ini akan membahas tentang problema yang terjadi saat ini yaitu merebaknya
wabah virus Covid-19 atau sering di sebut Virus corona. Virus ini sangat meresahkan dunia
dikarenakan penyebarannya sangat cepat dan tidak nampak. banyaknya warga yang terkena
dampak virus corona ini mengharuskan dirinya untuk isolasi dan rawat inap hingga tidak boleh
berinteraksi dengan masyarakat lainnya. dengan penyebarannya yang sangat cepat sehingga
menyebabkan masyarakat terifeksi virus corona bahkan jumlah pasien yang meninggal karena
virus ini sangat banyak. Dikarnakan tidak boleh saling bersentuhan dan jaga jarak dengan
masyarakat lain untuk menangani jenazah pasien virus corona ini hanya dilakukan oleh tim
medis dan tidak bisa di bawa pulang oleh keluarganya. untuk mencegah penularan virus corona
ini jenazah yang meninggal dunia itu tidak dimandikan bahkan disholatkan.

Oleh karena itu penyusun ingin meneliti tentang Hukum Tidak Memandikan Jenazah
Pasien Covid-19 Menurut Perbandingan Nahdlatul Ulama Dan Muhammadiyah. Hal ini menarik
untuk diteliti karena, masalah ini merupakan problema yang sedang terjadi saat ini, dan semua
ulama berijtihad tentang hukum tidak memandikan jenazah pasien Covid-19. Hal ini berdasarkan
Fatwa Muhammadiyah dalam Surat Edaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor :
02/EDR/I.0/E/2020 Tentang Tuntunan Ibadah Dalam Kondisi Darurat Covid-19 yang
dikeluarkan pada 29 rajab 1441 H atau 24 Maret 2020 pada Pasal 16 menjelaskan bahwasannya
Apabila dipandang darurat dan mendesak, jenazah dapat dimakamkan tanpa dimandikan dan
dikafani, dalam rangka menghindarkan tenaga penyelenggara jenazah dari paparan Covid-19
dengan pertimbangan asas-asas hukum syariah bahwa Allah tidak membebani hamba-Nya
kecuali sejauh yang mampu dilakukannya, apa yang diperintahkan Nabi saw dilaksanakan sesuai
dengan kemampuan, tidak ada kemudaratan dan pemudaratan, kemudaratan harus dihilangkan,
kesulitan memberikan kemudahan, keadaan mendesak dipersamakan dengan keadaan darurat,
dan kemudaratan dibatasi sesuai dengan kadarnya, dan mencegah mudarat lebih diutamakan
daripada mendatangkan maslahat. Kewajiban memandikan dan mengafani jenazah adalah hukum
kondisi normal, sedangkan dalam kondisi tidak normal dapat diberlakukan hukum darurat.
Kemudian LBM PBNU juga mengeluarkan hasil Bahtsul Masail yang berbentuk sebuat produk
fiqih tentang Pemulasaraan Jenazah Pasien Covid-19 yang disahkan di Jakarta pada tanggal 21
Maret 2020 pada fiqih tersebut dalam pasal 3 menyebutkan 3(tiga) ketentuan memandikan
jenazah pasien covid-19 sebagai berikut :

1. Jika menurut ahli memandikan jenazah Covid-19 dengan cara standar tersebut
masih membahayakan bagi yang memandikan atau penyebaran virusnya, maka
jenazah tersebut boleh dimandikan dengan cara menuangkan air ke badan jenazah
saja, tanpa dalku (digosok).
2. Jika hal itu tidak bisa dilakukan juga, maka boleh tidak dimandikan dan diganti
dengan ditayamumkan.
3. Dan jika hal itu juga tidak dapat dilakukan karena dalam kondisi darurat, maka
jenazah boleh langsung dikafani dan disholati, tanpa dimandikan atau
ditayamumkan. Karena kondisi darurat atau sulit tersebut, maka boleh mengambil
langkah kemudahan (al-masyaqqoh tajlibut taisir).

Kedua fatwa diatas merujuk kepada fatwa MUI Nomor : 18 Tahun 2020 Tentang Pedoman
Pengurusan Jenazah (Tajhiz Al-Jana’iz) Muslim Yang Terinfeksi Covid-19.

Metode penelitian yang akan digunakan adalah Library Research menggunakan teori
Maqasid Syari’ah dan Mashlahah Mursalah. Dan untuk menambah data akan dilakukan
observasi, dokumentasi dan wawancara.

Adapun penelitian sebelumnya yaitu pada tahun 2019 tentang “Hukum Tidak
Menyalatkan Mayit Pelaku Korupsi Study Perbandingan Mazhab Syafi’I dan Mazhab Hambali”
dan yang membedakan dengan penelitian ini yaitu dari segi masalah yang diambil, teori yang di
pakai hingga perbandingan hukum yang digunakan.

Anda mungkin juga menyukai