Anda di halaman 1dari 5

ARTIKEL AHLAK KEBUDAYAAN BUTON

MARTABAT TUJUH DAN KONSTITUSI KESULTANAN BUTON

Martabat Tujuh ialah merupakan salah satu doktrin terpenting dalam mistisme Islam.
Tak kecuali di Nusantara, bahkan bisa jadi konsep Martabat Tujuh ialah salah satu ajaran
terpopuler dalam tradisi keilmuan Islam di sini. Tema ini ditemukan dalam banyak naskah
klasik keagamaan di Aceh, Palembang, Jawa, Sunda, Banjar, Buton, dan sebagainya.
Ya, semua ini jelas tak terlepas karena sejarah masuknya Islam ke Nusantara yang disinyalir
kuat terjadi melalui mekanisme perdagangan dan jalan pendekatan sufisme atau tasawuf.
Mudahnya sufisme menjadi jalan masuk penyebaran Islam juga tak terlepas dari kuatnya latar
belakang tradisi kepertapaan (ascetism) atau mistisme dalam masyarakat Nusantara. Dalam
konteks inilah, ajaran Martabat Tujuh turut masuk dan kemudian menjadi begitu populer di
Nusantara.

Apa yang menarik dari ajaran Martabat Tujuh? Ajaran ini berusaha memecahkan
problem filosofis tentang relasi antara Tuhan sebagai ‘yang mutlak’ dan manusia sebagai
‘yang nisbi’, antara ‘yang esa’ dan ‘yang banyak’. Dalam ilmu tasawuf sering dinamai
sebagai teori manifestasi Tuhan (tajalli), atau dalam ilmu filsafat disebut dengan istilah teori
emanasi.

Ajaran ini mengajukan sebuah teori penciptaan yang berasal dari manifestasi esensi diri
Tuhan sendiri. Tuhan menciptakan seluruh makhluk-Nya sebagai objek cinta-Nya. Seluruh
makhuk-makhluk ciptaan-Nya ini bukanlah muncul dari ketiadaan (creation exnihilo),
melainkan justru melalui determinasi sifat Tuhan terhadap esensi diri-Nya sendiri.
Manifestasi Tuhan ini terjadi melalui gradasi dan hirarki wujud yang terdiri dari tujuh
tingkatan wujud, di mana penciptaan manusia merupakan tahap terakhir dari manifestasi
Tuhan.
Martabat Tujuh pertama kali mengemuka dari teks tasawuf, At-Tuhfah al-Mursalah Ila
Ruh an-Nabiy, dikarang oleh Muhammad Ibnu Fadhlillah al-Burhanfuri al-Hindi, seorang sufi
kenamaan dari Gujarat (w. 1620 M). Kitab ini berisi tentang tujuh martabat ilahiah yang
didasarkan atas pemikiran falsafi Ibnu Arabi dan Abdul Karim Al-Jili.
Pemikiran mistik ini ditengarai masuk ke Nusantara melalui jaringan intelektual ulama
Nusantara, dan telah muncul di era awal pengislaman melalui pemikiran Hamzah Fansuri,
Syekh Syamsuddin al-Sumatrani, Abdul Rauf Singkel di Sumatra, atau Muhammad Arsyad
al-Banjari di Banjar (Kalimantan), Syeikh Abdul Wahid dan Firus Muhammad di Buton
(Sulawesi), dan bahkan hingga abad ke-20 melalui Rangga Warsita di Jawa atau Haji Hasan
Mustapa di Sunda; dan masih banyak tokoh lainnya.
Tulisan kali ini bermaksud bicara perihal ajaran Martabat Tujuh. Namun fokus tulisan ini
bukanlah hendak mendedah ajaran Martabat Tujuh dan mencermati sejauh mana signifikansi
pengaruhnya ke dalam literatur mistisisme Islam di Nusantara.
Fokus tulisan hendak memaparkan bagaimana ajaran Martabat Tujuh ternyata berpengaruh
kuat ke dalam pembentukan konstitusi undang-undang sebuah kerajaan di Nusantara,
Kasultanan Buton.

Nilai-nilai Demokrasi Lokal

Merujuk artikel Muhammad Roy Purwanto (2017), “Sistem Pemerintahan Islam dan Undang-
undang Kesultanan Buton di Sulawesi Tenggara”, disebutkan Kerajaan Buton berdiri tahun
1332 M. Awal pemerintahan dipimpin seorang perempuan bergelar Ratu Wa Kaa Kaa.
Kemudian raja kedua pun perempuan, Ratu Bulawambona. Setelah dua raja perempuan,
dilanjutkan Raja Bataraguru, Raja Tuarade, Raja Rajamulae, dan Raja Murhum.
Ya, Kerajaan Buton resmi menjadi sebuah kerajaan Islam di masa Raja Buton ke-6. Bernama
Timbang Timbangan atau Lakilaponto atau Halu Oleo, namun nantinya lebih sohor dengan
nama Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul. Raja ini diislamkan oleh Syeikh Abdul Wahid
dari Johor. Demikianlah, Kerajaan Buton sejak itu berubah menjadi Kesultanan Buton, dan
Raja Murhum ini menjadi Sultan yang pertama.
Sejak itu Kesultanan Buton, perlahan namun pasti, mulai melembagakan nilai-nilai Islam ke
dalam sistem sosial, politik, dan kebudayaan mereka. Namun barulah di masa sultan keempat,
yaitu Sultan La Elangi Dayanu Ikhsanuddin (1597-1631), lahirlah sebuah konstitusi yang
dibuat berdasarkan konsensus dari para stakeholder Kesultanan Buton.
Pada masa inilah, Kesultanan Buton untuk pertama kalinya memiliki konstitusi tertulis. J
Couvreur (2001) dalam Sejarah dan Kebudayaan Kerajaaan Muna juga mencatat, dari Sultan
Rum dan Raja Mekah, sultan keempat juga memperoleh gelar Khalifatul Khamis, yaitu
sebagai wakil urusan agama Islam di Timur.
Konstitusi ini berisi perpanduan antara unsur nilai-nilai lokal yaitu filsafat ‘Binci-binciki
kuli’ dan unsur nilai-nilai Islam. Binci-Binciki Kuli sendiri berarti “cubit kulit”. Dalam
pandangan hidup orang Buton, maknanya ialah kalau masing-masing orang mencubit kulitnya
sendiri terasa sakit maka pasti juga akan terasa sakit apabila mencubit kulit orang lain. Pesan
sederhananya kira-kira ialah, jika tidak mau disakiti maka janganlah menyakiti orang lain.

Menariknya, falsafah Binci-binciki kuli tetap dipertahankan dan menjadi norma dasar dalam


pembentukan konstitusi Kesultanan Buton, di mana posisinya ditempatkan pada pasal
pertama konstitusi tersebut. Falsafah dan nilai-nilai lokal masyarakat Buton  ini tetap
dipertahankan, karena dianggap bersesuaian dengan nilai-nilai ajaran sufisme Islam.
Merujuk Muhammad Attar Hasimin (2009), Pengaruh Nilai-nilai Tasawuf Dalam Tata
Negara Adat (Studi Konstitusi Murtabat Tujuh Kesultanan Buton), konsep ‘Binci-binciki
kuli’ secara sinkretis dipadukan dengan nilai-nilai Islam dan melahirkan empat pemahaman
dasar yang menjadi ikatan bersama masyarakat Buton. Keempat pemahaman dasar itu, ialah:
Pertama, Pomae-maeka artinya saling takut melanggar rasa kemanusiaan antarsesama
anggota masyarakat. Kedua, Pomaa-maasiaka artinya saling menyayangi antarsesama
anggota masyarakat. Ketiga, Popia-piara artinya saling memelihara antarsesama anggota
masyarakat. Dan terakhir atau keempat, Poangka-angkataka artinya saling mengangkat
derajat antarsesama anggota masyarakat, terutama untuk mereka yang telah berjasa kepada
negara.
Sekalipun belum eksplisit terlihat adanya konsepsi HAM sebagaimana dikenal saat ini,
menyimak norma atau nilai-nilai tersebut jelas telah terkandung pengakuan bahwa semua
manusia itu hakikatnya mempunyai perasaan yang sama, harga diri yang sama, dan juga hak-
hak yang sama pula.
Menariknya, konstitusi ini dalam istilah lokal masyarakat Buton dinamai Undang-Undang
Murtabat Tujuh Sara Wolio, atau lebih populer disebut Undang-undang Martabat Tujuh. Dari
namanya saja sangat jelas, bahwa pengaruh Islam melalui tradisi sufisme atau mistisisme
khususnya melalui ajaran Martabat Tujuh terlihat kuat mewarnai tradisi Kesultanan Buton ini.
Kembali merujuk artikel Purwanto, Undang-Undang Martabat Tujuh terdiri dari 11 bab, 21
Pasal, yang jika terperinci bisa menjadi 46 pasal. Konstitusi Kasultanan Buton ini diawali
dengan hadis Nabi yang sangat termahsyur di kalangan para pengikut sufisme, “barang siapa
mengenali dirinya, maka ia akan mengenal Allah.”
Sedang merujuk Hasimin (2009), tercatat konstitusi ini sebagai salah satu konstitusi adat
tertulis, dipraktikkan kurang lebih lima abad, dengan 38 periodisasi masa kepemimpinan
Sultan. Sebagai hukum positif, konstitusi Martabat Tujuh ini praktis baru tidak berfungsi
ketika Kesultanan Buton turut meleburkan diri menjadi bagian dari wilayah Republik
Indonesia.
Apa yang menarik dicatat di sini ialah, bahwa sejalan terjadinya perubahan sistem
pemerintahan dari kerajaan ke kesultanan juga mempengaruhi perubahan pola kehidupan
sosial politik bagi masyarakat Buton. Perjalanan sejarah ketatanegaraan Buton berkembang
secara progresif setelah diundangkannya konstitusi Martabat Tujuh. Di bidang politik terjadi
perubahan tata cara pemilihan pejabat, termasuk tentu saja pada pemilihan seorang raja.
Ya, sebelum lahirnya konstitusi Martabat Tujuh di Buton, posisi raja yaitu dari raja pertama
hingga Sultan Ketiga—yang berarti sudah sembilan raja—selalu menggunakan sistem
monarki absolut. Posisi raja selalu diwariskan kepada putra mahkota secara turun-temurun.
Namun pascalahirnya konstitusi Martabat Tujuh, maka proses pengangkatan raja diubah dan
harus didasarkan pada persetujuan dari Pata Limbona. Sistem pemilihan raja, konon juga
dilakukan melalui proses yang sangat rahasia dan sakral.
Kembali merujuk tesis Hasimin. Setelah mendedah dan memaparkan hubungan antarlembaga
secara terperinci, Hasimin tiba pada kesimpulan bahwa dengan keharusan adanya persetujuan
dari Pata Limbona, di mana proses pencapaian konsensus dilakukan melalui prosedur adat
yang disebut Faali atau Afaalia, maka hasil keputusan politik dari dewan tersebut jelas
bermakna sebagai basis legimatasi kuasa raja.
Menyimak fungsi Pata Limbona ini, maka bicara bentuk pemerintahan Buton jelas bukanlah
lagi bersifat monarki absolut melainkan lebih menyerupai sistem monarki parlementer.
Dikatakan demikian, menurut Hasimin, karena proses pengangkatan raja tidaklah serta-merta
didasarkan pada kehendak raja melainkan harus melalui mekanisme musyawarah mufakat.
Dalam konteks inilah, posisi Pata Limbona, yang pada perkembangannya menjadi Sio
Limbona yaitu Majelis Syara Kesultanan Buton, maka secara kelembagaan jelas berfungsi
sebagai semacam parlemen.
Tak aneh, posisi sultan secara politik diawasi oleh Sio Limbona dan sultan juga sekaligus
bertanggung jawab kepada lembaga ini. Laiknya sistem demokrasi di zaman sekarang,
sekiranya sultan dianggap melakukan pelanggaran atas konstitusi, maka Sio Limbona bukan
hanya bisa mengkritisi, juga bisa mengambil tindakan pemecatan (impeachment) sang raja.
Sekalipun memiliki kewenangan melakukan keputusan pemecatan atas posisi sultan,
kebijakan itu tidaklah serta-merta sepenuhnya ditentukan oleh Sio Limbona. Keputusan Sio
Limbona juga harus dikonsultasikan dengan Bonto Ogena, yang menurut perspektif
ketatanegaraan kini lembaga itu berfungsi sebagai dewan pertimbangan agung.
Dalam konteks pemecatatan raja, sejarah Kesultanan Buton pernah mencatat momen itu.
Adalah Sultan Kedelapan yaitu Mardan Ali (1647-1654). Karena dianggap banyak melakukan
kesalahan fatal dan melanggar ketentuan konstitusi Martabat Tujuh, musyawarah Sio
Limbona menyepakati agar Sultan Mardan Ali harus diturunkan demi menyelamatkan negeri
dari malapetaka besar.
Bahkan bukan hanya dipecat, lebih jauh sang raja ini dan pejabat Sapati (Perdana Menteri)
yang dianggap bersalah ikut menompang kejahatan raja, akhirnya bahkan dijatuhi hukuman
mati. Kasus hukuman mati ini dikenang oleh masyarakat Buton dengan memberi raja tersebut
gelar Sultan Yigogoli I-liwuto, yang artinya Sultan yang dihukum mati di Liwuto (artinya:
pulau).
Ya, seturut konstitusi Martabat Tujuh, bicara upaya penegakan hukum (law enforcement)
ketika itu bisa dikatakan tidaklah tebang pilih. Siapapun yang terbukti secara hukum bersalah
bakalan diganjar sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Tak terkecuali, sultan atau raja
sekalipun. (W-1)

Anda mungkin juga menyukai