Anda di halaman 1dari 267

TUGAS MERANGKUM MATERI KMB

Disusun Oleh :
RIFKI ILHAM MAULANA
Kelas: A
P07120119037

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK


KESEHATAN MATARAM JURUSAN KEPERAWATAN PRODI DIII KEPERAWATAN
2020/2021

i
DAFTAR ISI

MATERI BUK LALE WISNU ANDRAYANI,M.KEP.

1. HIPERTENSI
2. PENYAKIT KATUP JANTUNG
3. KARDIOMIOPATI

MATERI BUK NI PUTU SUMARTINI,M.KEP

1. DM
2. APENDISITIS
3. ANAMNESA GANGGUAN SISTEM PENCERNAAN

MATERI PAK AKHMAD FATHONI,S.KEP.,M.KES

1. ASMA
2. BRONKITIS KRONIS
3. EFUSI PLEURA

MATERI PAK HADI KUSUMA ATMAJA.SST.,M.KES.

1. GAGAL GINJAL
2. PYELONEPRITIS

ii
DAFTAR ISI
Halaman judul ......................................................................................................................... i

Daftar isi .................................................................................................................................. ii

Kata Pengantar ...................................................................................................................... iii

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar belakang ............................................................................................................ 1

B. Rumusan masalah ....................................................................................................... 2

C. Tujuan ...........................................................................................................................3

BAB 2 PEMBAHASAN

A. Pengertian Hipertensi ................................................................................................. 4

B. Patofisiologi ................................................................................................................ 5

C. Etiologi ......................................................................................................................... 6

D. Farmakoterapi ............................................................................................................ 7

JURNAL KESEHATAN ....................................................................................................... 8

DAFTAR PUSTAKA

iii
iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tekanan darah tinggi/hipertensi adalah kondisi medis di mana terjadi peningkatan

tekanan darah secara kronis (jangka waktu lama). Penyakit ini adalah salah stu jenis

penyakit yang sangat berbahaya.

Penderita hipertensi di dunia saat ini diperkirakan mencapai lebih dari 800 juta orang.

Sebanyak 10-30 % dari jumlah penduduk dewasa hampir di setiap Negara. Berdasarkan

data Lancet (dalam McMarthy, 2010), jumlah penderita hipertensi di seluruh dunia terus

meningkat. Di India, penderita hipertensi mencapai 60,4 juta orang pada tahun 2002 dan

diperkirakan 107,3 juta orang pada tahun 2025. Di China, 98,5 juta orang dan bakal jadi

151,7 juta orang pada tahun 2025. Di bagian lain di Asia, tercatat 38,4 juta penderita

hipertensi pada tahun 2000 dan diperkirakan menjadi 67,4 juta orang tahun 2025. Di

Indonesia, mencapai 17-21% dari populasi penduduk dan kebanyakan tidak

terdeteksi.(wir-nursing.blogspot.com/2011/04/antara-kopi-rokok-dan-tekanan-

darah.html) Di Indonesia banyaknya penderita Hipertensi diperkirakan 15 juta orang tetapi

hanya 4% yang merupakan hipertensi terkontrol. Prevalensi 6-15% pada orang dewasa,

50% diantaranya tidak menyadari sebagai penderita hipertensi sehingga

mereka cenderung untuk menjadi hipertensi berat karena tidak menghindari dan tidak

mengetahui factor risikonya, dan 90% merupakan hipertensi esensial.

Hari hipertensi di dunia diperingati setiap tanggal 17 Mei. Tanggal ini ditetapkan oleh

WHO sejak 2005.

1
B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian hipertensi ?

2. Patofisiologi hipertensi ?

3. Etiologi hipertensi ?

4. Farmakoterapi ?

5. Bagaimana pencegahan hipertensi ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian hipertensi

2. Untuk mengetahui gejala hipertensi

3. Untuk mengetahui penyebab hipertensi

4. Untuk mengetahui pengobatan hipertensi

5. Untuk mengetahui pencegahan hipertensi

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN HIPERTENSI

Tekanan darah tinggi (hipertensi) adalah peningkatan tekanan darah didalam arteri.

Arteri adalah pembuluh darah yang mengangkut darah dari jantung dan dialirkan ke

seluruh jaringan dan organ tubuh. Tekanan darah tinggi (hipertensi) bukan berarti emosi

yang berlebihan, walaupun emosi dan stres dapat meningkatkan tekanan darah untuk

sementara waktu.

Seseorang dikatakan terkena hipertensi mempunyai tekanan dara sistolik

≥140mmHg dan tekanan darah diastoltik ≥90mmHg. Seseorang dikatakan terkena

hipertensi tidak hanya dengan 1 kali pengukuran, tetapi 2 kali atau lebih pada waktu yang

berbeda. Waktu yang paling baik saat melakukan tekanan darah adalah saat istirahat dan

dalam keadaan duduk atau berbaring. Klasifikasi tekanan darah menurut WHO

Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Normotensi <140 <90

Hipertensi ringan 140-180 90-105

Hipertensi perbatasan 140-160 90-95

Hipertensi sedang dan berat >180 >105

Hipertensi sistolik terisolasi >140 <90

Hipertensi sistolik 140-160 <90

perbatasan

sedangkan berdasarkan The Sixth Report Of the Joint National Committee on

Preventation,Detection,Evaluation and Treatment of High Bload Pressure,1997 klafisikasi

hipertensi yaitu :
3
Kategori Sistolik Diastolik Rekomendasi

(mmHg) (mmHg)

Normal <130 <85 Periksa ulang dalam 2 tahun

Perbatasan 130-139 85-89 Periksa ulang dalam 1 tahun

Hipertensi 140-159 90-99 Konfirmasi dalam 1/2 bulan.

tingkat 1 Anjurkan modifikasi gaya hidup

Hipertensi 160-179 100-109 Evaluasi/rujuk dalam 1 bulan

tingkat 2

Hipertensi ≥180 ≥110 Evaluasi/rujuk segera dalam 1

tingkat 3 minggu berdasarkan kondisi medis

Hipertensi adalah salah satu faktor resiko untuk terjadinya stroke, serangan

jantung,gagal jantung, dan merupakan penyebab utama terjadinya gagal jantung kronis.

Sejalan dengan bertambahnya usia hampir setiap orang mengalami kenaikan

tekanan darah. Tekanan darah sistolik terus meningkat sampai usia 80 tahun, sedangkan

tekanan darah diastolic terus meningkat sampai usia 55-60 tahun,kemudian berkurang

secara perlahan/bahkan menurun drastis.

4
B. PATOFISIOLOGI

Mekanisme yang mengontrol konnstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak

dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf

simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla

spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen.

Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah

melalui system saraf simpatis ke ganglia simpatis.

Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut

saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya noreepineprin

mengakibatkan konstriksi pembuluh darah.

Berbagai factor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhirespon

pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat

sensitive terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal

tersebut bisa terjadi.

Pada saat bersamaan dimana system saraf simpatis merangsang pembuluh

darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan

tambahan aktivitas vasokonstriksi.

Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks

adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respons

vasokonstriktor pembuluh darah.

Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan

pelepasan rennin. Rennin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah

menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang

sekresi aldosteron oleh korteks adrenal.

Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan

5
peningkatan volume intra vaskuler. Semua factor ini cenderung mencetuskan keadaan

hipertensi.

Untuk pertimbangan gerontology. Perubahan structural dan fungsional pada system

pembuluh perifer bertanggungjawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia

lanjut.

Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan

penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan

kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah.

C. ETIOLOGI

Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 yaitu :

1. Hipertensi primer/esensial

hipertensi yang tidak atau belum di ketahui penyebabnya, disebut juga hipertensi

idiopaik. Tedapat 95% kasus. Banyak faktor yang mempengaruhi seperti

genetik,lingkungan,hiperativitis susunan simpatis,system renin-angiotensis,defek

dalam ekskresi Na,peningkatan Na dan Ca intraselular,dan factor-faktor yang

meningkatkan risiko,seperti obesitas, alcohol,merokok serta polisitemia.

2. Hipertensi sekunder

Terdapat sekitar 5% kasus. Penyebab spesifiknya diketahui seperti penggunaan

estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vascular renal, hiperaldosteronisme primer,

dan sindrom cushing, feokromositomo, koarktasio aorta, hipertensi yang

berhubung dengan kehamilan, dan lain-lain.

6
D. FARMAKOTERAPI

1. DIURETIK

Thiazid à Golongan untuk menangani hipertensi. Efektif pada pasien dengan

fungsi ginjal yang kurang baik (GFR > 30 ml/menit).

Diuretik Hemat Kalium à Memiliki efek antihipertensi yang lemah bila

digunakan dalam dosis tunggal, namun memberikan efek hipotensi aditif bila

dikombinasi dengan diuretik thiazid atau loop. Obat ini dapat mengatasi

kekurangan kalium dan natrium.

Antagonis Aldosteron à merupakan diuretik hemat kalium dengan onset aksi yang

lama (hingga 6 minggu)

2. GOLONGAN ACE-INHIBITOR

Yaitu 'Angiotensin-Converting Enzyme' (ACE) Inhibitor. Obat ini mencegah

'konstriksi' (pengkerutan) pembuluh darah akibat formasi hormon 'angiotensin II'

dengan cara memblokade enzim ACE, mencegah pembentukan angiotensin I

menjadi angiotensin II.Contoh obat golongan ini : Kaptopril.

3. GOLONGAN ANGIOTENSIN-II RECEPTOR BLOCKERS

Obat ini akan secara langsung memblokade aksi hormon angiotensin II. Obat ini

dapat digunakan bila penggunaan ACE inhibitor menimbulkan keluhan / efek

samping.Contoh obat golongan ini : Valsartan, Telmisartan, Olmesartan.

4. GOLONGAN ‘BETA BLOCKER’ (PENYEKAT BETA)

Obat golongan ini memblokade aksi 'adrenalin' pada sistem saraf otonom, sehingga

menurunkan frekuensi jantung (heart's rate) dan curah jantung (heart's output).

7
Golongan 'beta blocker' juga akan mengurangi beban jantung.Contoh obat

golongan ini : Propanolol, Atenolol.

5. GOLONGAN ‘CALCIUM CHANNEL BLOCKER’

Obat ini melebarkan pembuluh darah sehingga tekanan kapiler menurun. Obat ini

mencegah masuknya 'Calsium' ke jaringan melalui 'Calcium Channel' sehingga

akan me'relaksasi' (mengendurkan) dinding pembuluh darah arteri dan menurunkan

kontraksi jantung.Contoh obat golongan ini : Amlodipin,Verapamil, Diltiazem,

Nifedipine.

6. GOLONGAN ‘DIRECT RENIN INHIBITOR’ (DRI)

Obat golongan ini merupakan obat anti hipertensi terbaru, memiliki efek

menghambat hormon renin dari ginjal.Contoh obat golongan ini: Aliskiren.

7. GOLONGAN ALFA BLOKER

mekanisme dengan cara vasodilatasi langsung otot polos vascular.Contoh Prasozin

dan terasozin.

8. Pengaruh langsung pada kontrol saraf terhadap tekanan darah

contoh : klonidin,metildopa,reserpin.

9. VASODILATOR

mekanismenya adalah melebarkan vascular.

contoh : hidralazin dan dihidralazin

8
JURNAL KESEHATAN

JURNAL KESEHATAN Vol 11 No 1 Tahun 2018 P-ISSN : 2086-2555; E-ISSN :

2622-7363

PENGARUH PENGETAHUAN, SIKAP DAN

DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP DIET HIPERTENSI DI DESA HULU

KECAMATAN PANCUR BATU TAHUN 2016

Almina Rospitaria Tarigan1, Zulhaida Lubis2, Syarifah3

1
Alumni Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara 2Staf Pengajar

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara *regaar56@yahoo.co.id

DOI : 10.24252/jkesehatan.v11i1.5107

Abstrak

Hipertensi merupakan faktor risiko utama penyebab kematian. Desa Hulu adalah desa yang

memiliki jumlah penderita hipertensi tertinggi di Puskesmas Pancur Batu, Kabupaten Deli

Serdang. Penderita hipertensi pada tahun 2014, berjumlah 44, 2015, berjumlah 56 orang dan pada

tahun 2016 berjumlah 108 orang. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh pengetahuan,

sikap dan dukungan keluarga terhadap pelaksanaan diet hipertensi di desa kecamatan Batu Pancur

Hulu. Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan pendekatan explanatory.

Penelitian ini dilakukan antara bulan April dan Juni 2016 dengan populasi dalam penelitian ini

adalah semua pasien hipertensi di desa kecamatan Batu Pancur Hulu berjumlah 108 orang dan

seluruh populasi dijadikan sampel. Data diperoleh dengan wawancara kuesioner, dianalisis dengan
9
regresi logistik ganda pada α = 0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik

pengetahuan (hipertensi diet, hipertensi asupan makanan) dan sikap terhadap (hipertensi diet, diet

hipertensi diet) dan dukungan keluarga meliputi (dukungan harapan, dukungan nyata, dukungan

informasi, dukungan emosional) pengaruh yang signifikan terhadap pelaksanaan dari diet

hipertensi di desa Hulu kecamatan Batu Pancur. Pengaruh variabel pengetahuan lebih besar pada

pelaksanaan diet hipertensi.

Kata Kunci : Pengetahuan, Sikap, Dukungan Keluarga, Diet Hipertensi.

Abstract

Hypertension is a major risk factor causes of death. Hulu village is a village that has the

highest number of hypertensive patients in Puskesmas Pancur Batu, Deli Serdang regency.

Patients with hypertension in 2014, totaling 44, 2015, amounted to 56 people and in 2016

amounted to 108 people. This study aimed to analyze the influence of knowledge, attitude and

family support for the implementation of hypertension diet in the village of Batu Pancur Hulu

subdistrict. The study was cross-sectional study with explanatory approach. This study was

conducted between April and June 2016. The population in the study were all patients with

hypertension in the village of Batu Pancur Hulu subdistrict totaled 108 people and the entire

population sampled. The data were obtained by questionnaire interviews, analyzed by multiple

logistic regression at α = 0.05. The results showed that statistically the knowledge of (diet

hypertension, food intake hypertension) and attitudes toward (diet hypertension, dietary diet

hypertension) and family support include (support hope, real support, information support,

emotional support) a significant effect on the implementation of the diet hypertension in the village

of

10
JURNAL KESEHATAN Vol 11 No 1 Tahun 2018 P-ISSN : 2086-2555; E-ISSN :

2622-7363

Hulu subdistrict Pancur Stone. Variables knowledge greater impact on the implementation of

hypertension diet.

Keywords : Knowledge, Attitude, Family Support, Implementation Hypertension Diet

PENDAHULUAN

Hipertensi atau yang dikenal dengan nama penyakit darah tinggi adalah suatu keadaan dimana

terjadi peningkatan tekanan darah di atas ambang batas normal yaitu 120/80 mmHg. Menurut

WHO (Word Health Organization), batas tekanan darah yang dianggap normal adalah kurang dari

130/85 mmHg. Bila tekanan darah sudah lebih dari 140/90 mmHg dinyatakan hipertensi (batas

tersebut untuk orang dewasa di atas 18 tahun) (Adib, 2009).

Hipertensi dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis, yaitu hipertensi primer atau esensial (90%

kasus hipertensi) yang penyebabnya tidak diketahui dan hipertensi sekunder (10%) yang

disebabkan oleh penyakit ginjal, penyakit endokrin, penyakit jantung dan gangguan ginjal.

Menurut JNC VII Report 2003, diagnosis hipertensi ditegakkan apabila didapatkan tekanan darah

sistolik (TDS) ≥140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik (TDD) ≥ 90 mmHg pada dua kali

pengukuran dalam waktu yang berbeda (Indrayani, 2009).

Penyakit hipertensi tahun demi tahun terus mengalami peningkatan. Tidak hanya di Indonesia,

namun juga di dunia. Sebanyak 1 milyar orang di dunia atau 1 dari 4 orang dewasa menderita

penyakit ini. Bahkan, diperkirakan jumlah penderita hipertensi akan meningkat menjadi 1,6 milyar

menjelang tahun 2025. Kurang lebih 10-30% penduduk dewasa di hampir semua negara
11
mengalami penyakit hipertensi, dan sekitar 50-60% penduduk dewasa dapat dikategorikan sebagai

mayoritas utama yang status kesehatannya akan menjadi lebih baik bila dapat dikontrol tekanan

darahnya (Adib, 2009).

Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan jumlah penderita hipertensi akan terus

meningkat seiring dengan jumlah penduduk yang bertambah pada 2025 mendatang diperkirakan

sekitar 29% warga dunia terkena hipertensi. WHO menyebutkan negara ekonomi berkembang

memiliki penderita hipertensi sebesar 40% sedangkan negara maju hanya 35%, kawasan Afrika

memegang posisi puncak penderita hipertensi, yaitu sebesar 40%. Kawasan Amerika sebesar 35%

dan Asia Tenggara 36%. Kawasan Asia penyakit ini telah membunuh 1,5 juta orang setiap

tahunnya. Hal ini menandakan satu dari tiga orang menderita hipertensi. Sedangkan di Indonesia

cukup tinggi, yakni mencapai 32% dari total jumlah penduduk (Widiyani, 2013).

12
JURNAL KESEHATAN Vol 11 No 1 Tahun 2018 P-ISSN : 2086-2555; E-ISSN :

2622-7363

Menurut laporan Kemenkes (2013), bahwa hipertensi merupakan penyebab kematian nomor

3 setelah stroke dan tuberkulosis, dimana proporsi kematiannya mencapai 6,7% dari populasi

kematian pada semua umur di Indonesia. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Balitbangkes

tahun 2013 menunjukkan prevalensi hipertensi secara nasional mencapai 25,8%. Penderita

hipertensi di Indonesia diperkirakan sebesar 15 juta tetapi hanya 4% yang hipertensi terkendali.

Hipertensi terkendali adalah mereka yang menderita hipertensi dan mereka tahu sedang berobat

untuk itu. Sebaliknya sebesar 50% penderita tidak menyadari diri sebagai penderita hipertensi,

sehingga mereka cenderung untuk menderita hipertensi yang lebih berat.

Hasil Riskesdas tahun 2013 melaporkan bahwa prevalensi hipertensi di Sumatera Utara

sebesar 45,69% pada kelompok umur di atas 60 tahun untuk penderita rawat jalan. Berdasarkan

penyakit penyebab kematian pasien rawat inap di Rumah Sakit Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera

Utara, hipertensi menduduki peringkat pertama dengan proporsi kematian sebesar 27,02% (1.162

orang), pada kelompok umur ≥ 60 tahun sebesar 20,23% (1.349 orang) (Kemenkes RI, 2013).

Berdasarkan survei awal pada bulan Januari 2015 di Puskesmas Pancur Batu yang memiliki

wilayah kerja 22 desa ditemukan jumlah penderita hipertensi yang di rawat inap tahun 2013-2015

terus mengalami peningkatan. Jumlah penderita hipertensi tahun 2013, sebanyak 2.841 penderita,

tahun 2014 sebanyak 2.855 penderita dan tahun 2015 sampai dengan bulan Juni sebanyak 1.250

penderita. Jumlah penderita hipertensi terbanyak di wilayah Kerja Puskesmas Pancur Batu tahun

dari tahun 2013-2015 terdapat di Desa Hulu, yaitu tahun 2013 berjumlah 44 orang, tahun 2014

berjumlah 56 orang dan tahun 2015 berjumlah 108 orang. Dari 108 orang penderita hipertensi

terdapat 38 orang penderita hipertensi yang berusia di atas 45 tahun, 4 orang penderita hipertensi

13
diantaranya mengalami stroke ringan dan 1 orang penderita hipertensi mengalami stroke berat

(Profil Puskesmas Pancur Batu, 2015).

Berdasarkan hasil wawancara terhadap beberapa penderita hipertensi terkait dengan

terjadinya penyakit hipertensi sebagian besar tidak terlalu memahami asupan makanan yang harus

di konsumsi, tingkat pendidikan tergolong rendah dan jarang terpapar dengan sumber informasi

atau penyuluhan kesehatan yang harusnya dilakukan oleh petugas kesehatan atau kader

puskesmas, ada pula penderita yang mengatakan agak repot kalau harus membuat makanan yang

terpisah dari anggota keluarga lainnya, bahkan sebagian besar penderita tidak terlalu perduli

dengan hipertensi yang dideritanya karena belum mengganggu aktivitas sehari-hari dan

beranggapan tekanan darahnya akan normal kembali dalam beberapa hari, selain itu penyakit

hipertensi di dapat juga sebagian dari faktor keturunan, sehingga tidak memanfaatkan fasilitas

kesehatan walaupun jarak tempat tinggal dengan fasilitas kesehatan tidak terlalu jauh.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka perlu dilakukan penelitian tentang

pengaruh pengetahuan, sikap dan dukungan keluarga terhadap pelaksanaan

14
JURNAL KESEHATAN Vol 11 No 1 Tahun 2018 P-ISSN : 2086-2555; E-ISSN :

2622-7363

diet hipertensi di Desa Hulu Kecamatan Pancur Batu tahun 2015. Sehingga penulis merumuskan

bahwa apakah ada pengaruh pengetahuan, sikap dan dukungan keluarga terhadap pelaksanaan diet

hipertensi di Desa Hulu Kecamatan Pancur Batu tahun 2015?

Adapun tujuan penelitian ini, yaitu untuk mengidentifikasi pengaruh pengetahuan, sikap

dan dukungan keluarga terhadap pelaksanaan diet hipertensi di Desa Hulu Kecamatan Pancur Batu

Tahun 2015.

METODOLOGI PENELITIAN

Jenis penelitian adalah Cross-Sectional Study dengan pendekatan explanatory. Penelitian ini

dilaksanakan bulan April sampai Juni 2016. Populasi dalam penelitian adalah seluruh penderita

hipertensi di Desa Hulu Kecamatan Pancur Batu berjumlah 108 orang dan seluruh populasi

dijadikan sampel. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dianalisis dengan

regresi logistik berganda pada α=0,05.

15
HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik responden dapat dilihat sebagai berikut :

Tabel 1.Distribusi Berdasarkan Karakteristik

Karakteristik n %

Umur

30 - 36 tahun 18 16,7

37 - 43 tahun 46 42,6

44 - 50 tahun 44 40,7

Jenis kelamin

Perempuan 58 53,7

Laki-laki 50 46,3

Pendidikan

Tamat SD 7 6,5

SLTP 44 40,8

SLTA 52 48,1

Akademi/S1 5 4,6

Pekerjaan

Ibu Rumah Tangga 35 32,4

Petani 49 45,4

PNS/TNI/ Polri/ Pegawai swasta/ 6, 10 9,2

16
Pensiunan

Wiraswasta/ Pedagang 14 13,0

Jumlah 108 100,0

Karakteristik responden meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa responden dengan umur terbanyak 37-43 tahun, yaitu sebanyak 46

orang (42,6%). Jenis kelamin lebih banyak perempuan, yaitu

17
JURNAL KESEHATAN Vol 11 No 1 Tahun 2018 P-ISSN : 2086-2555; E-ISSN :

2622-7363

sebanyak 58 orang (53,7%). Pendidikan lebih banyak tingkat pendidikan SLTA, yaitu sebanyak

52 orang (48,1%) dan berdasarkan pekerjaan lebih banyak petani, yaitu sebanyak 49 orang

(45,4%).

Analisis Bivariat

Pengaruh masing-masing variabel bebas, yaitu pengetahuan dan sikap serta dukungan

keluarga. Adapun hasil uji secara statistik sebagai berikut

18
Tabel 2. Pengaruh Variabel Bebas dengan Variabel Terikat

Pelaksanaan Diet

Jumlah P

Variabel Tidak Baik Baik

n % n % n %

Pengetahuan

Tidak baik 64 91,4 6 8,6 70 100,0 0,001

Baik 12 31,6 26 68,4 38 100,0

Sikap

Negatif 62 84,9 11 15,1 73 100,0 0,001

Positif 14 40,0 21 60,0 35 100,0

Dukungan

Keluarga

0,001

Tidak baik 70 82,4 15 17,6 85 100,0

Baik 6 26,1 17 73,9 23 100,0

19
Pengaruh Sikap dengan Pelaksanaan Diet Hipertensi

Dari hasil penelitian pengaruh sikap dengan pelaksanaan diet hipertensi hasil uji statistik Chi-

square diperoleh p<0,05, hal ini menunjukkan ada pengaruh yang signifikan antara sikap dengan

pelaksanaan diet hipertensi, artinya semakin positif sikap responden maka semakin baik

pelaksanaan diet hipertensi. Hasil penelitian pengaruh dukungan keluarga dengan pelaksanaan diet

hipertensi hasil uji statistik Chi-square diperoleh p<0,05, hal ini menunjukkan ada pengaruh yang

signifikan antara dukungan keluarga dengan pelaksanaan diet hipertensi, artinya semakin baik

dukungan keluarga maka semakin baik pelaksanaan diet hipertensi

Analisis Multivariat

Analisis multivariat model regresi logistik berganda harus memenuhi persyaratan hasil

pengujian. Persyaratan yang dimaksud, yaitu variabel independen yang disertakan ke dalam uji

multivariat harus memiliki nilai uji statistik p<0,25 pada uji bivariat. Berdasarkan hasil uji bivariat

dengan metode chi-square variabel pengetahuan, sikap dan dukungan keluarga memiliki nilai

p<0,25, sehingga variabel pengetahuan, sikap dan dukungan keluarga disertakan dalam uji regresi

logistik.

20
JURNAL KESEHATAN Vol 11 No 1 P-ISSN : 2086-2555; E-ISSN :

Tahun 2018 2622-7363

Tabel 3. Hasil Uji Regresi Logistik

95% CI For

No Variabel B df Sig. Exp.B Exp.B

Lower Upper

1 Pengetahuan 3,810 1 0,001 45,170 8,710 234,253

2 Sikap 2,267 1 0,008 9,655 1,826 51,051

3 Dukungan keluarga 1,866 1 0,020 6,463 1,348 30,982

Constant -4,193 1 0,000 0,015

Pengetahuan mempunyai nilai Exp (B) sebesar 45,170, artinya responden yang memiliki

pengetahuan baik mempunyai peluang 45 kali pelaksanaan diet hipertensi dengan baik

dibandingkan dengan responden yang memiliki pengetahuan tidak baik. Nilai B = Logaritma

Natural dari 45,170=3,810. Oleh karena Nilai B bernilai positif maka pengetahuan mempunyai

pengaruh positif terhadap pelaksanaan diet hipertensi. Sikap mempunyai nilai Exp (B) sebesar

9,655 artinya responden yang memiliki sikap positif mempunyai peluang 10 kali pelaksanaan diet

hipertensi dengan baik dibandingkan dengan responden yang memiliki sikap negatif.

Nilai B = Logaritma Natural dari 9,655=2,267. Oleh karena Nilai B bernilai positif maka sikap

mempunyai pengaruh positif terhadap pelaksanaan diet hipertensi.

21
Dukungan keluarga mempunyai nilai Exp (B) sebesar 6,463 artinya responden yang

menyatakan dukungan keluarga baik mempunyai peluang 6 kali pelaksanaan diet hipertensi

dengan baik dibandingkan dengan responden yang menyatakan dukungan keluarga tidak baik.

Nilai B = Logaritma Natural dari 6,463=1,866. Oleh karena Nilai B bernilai positif maka sikap

mempunyai pengaruh positif terhadap pelaksanaan diet hipertensi.

Dari ketiga Variabel pengetahuan, sikap dan dukungan keluarga yang mempunyai pengaruh

lebih besar terhadap pelaksanaan diet hipertensi adalah pengetahuan.

Pengaruh Pengetahuan terhadap Pelaksanaan Diet Hipertensi

Berdasarkan uji statistik Chi-square menunjukkan ada pengaruh yang signifikan antara

pengetahuan tentang pengertian diet hipertensi (pengaturan makanan) dan asupan makanan

penderita hipertensi (p<0,05). Hasil uji statistik multivariat pengetahuan berpengaruh positif dan

signifikan terhadap pelaksanaan diet hipertensi (p<0,05); Exp (B) = 45,170; CI For Exp (B) (8,710

– 234,253). Hal ini memberikan makna bahwa responden yang memiliki pengetahuan baik tentang

pengertian diet hipertensi (pengaturan asupan makanan) dan asupan makanan penderita hipertensi

mempunyai peluang 45 kali pelaksanaan diet hipertensi dengan baik.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Abubakar (2007), Kusumawati (2014) dan

Saputro (2009) menyimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan penderita

hipertensi dengan pola makan sehari – hari, dari penelitian

22
JURNAL KESEHATAN Vol 11 No 1 Tahun 2018 P-ISSN : 2086-2555; E-

ISSN : 2622-7363

tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pengetahuan seseorang mempengaruhi tindakan

yang akan dilakukan terkait dengan diet hipertensi. Demikian juga pada hasil penelitian

Ginting (2006) dan Novian (2013) menyimpulkan bahwa ada hubungan antara tingkat

pengetahuan dengan kepatuhan diet pasien hipertensi. Hasil penelitian ini didukung teori

Green dalam Notoatmodjo (2010) yang menyatakan bahwa pengetahuan datang dari

pengalaman dapat diperoleh dengan informasi yang didapat dan akan mempengaruhi sikap.

Jika mempunyai pengetahuan tinggi, secara otomatis orang tersebut bersikap dan berperilaku

yang sesuai dengan pengetahuannya.

Pengaruh Sikap terhadap Pelaksanaan Diet Hipertensi

Berdasarkan uji statistik Chi-square menunjukkan ada pengaruh yang signifikan antara

sikap dengan pelaksanaan diet hipertensi (p<0,05). Hasil uji statistik multivariat sikap

berpengaruh positif dan signifikan terhadap pelaksanaan diet hipertensi (p<0,05); nilai Exp

(B) = 9,655; CI For Exp (B) (1,826 51,051). Hal ini memberikan makna bahwa responden

yang memiliki sikap positif terhadap diet hipertensi (pengaturan asupan makanan) dan

23
pengaturan makanan diet hipertensi mempunyai peluang 10 kali pelaksanaan diet hipertensi

dengan baik.

Hasil penelitian ini didukung hasil penelitian Busari, et al. (2010) di Nigeria

menyimpulakn bahwa pengetahuan dan sikap pasien hipertensi mempengaruhi kepatuhan

pengontrolan tekanan darah, dan angka morbiditas serta mortalitas penyakit hipertensi.

Pasien yang memiliki pengetahuan baik tentang hipertensi dapat meningkatkan

kepatuhannya dalam pelaksanaan program terapi. Demikian juga dalam hasil penelitian

Runtukahu (2015), Puspita (2011) dan Ginting (2008) menyimpulkan bahwa terdapat

pengaruh sikap terhadap kepatuhan diet hipertensi dengan tekanan darah pada penderita

hipertensi. Hasil Penelitian ini juga didukung oleh teori Green dalam Notoatmodjo (2007)

yang menyatakan bahwa sikap merupakan bagian dari faktor predisposisi yang berpengaruh

dalam membentuk perilaku seseorang.

Pengaruh Dukungan Keluarga terhadap Pelaksanaan Diet Hipertensi

Berdasarkan uji statistik Chi – square menunujukkan ada hubungan yang signifikan

antara dukungan keluarga dengan pelaksanaan diet hipertensi (p<0,05). Hasil uji statistik

multivariat dukungan keluarga berpengaruh positif dan signifikan terhadap pelaksanaan diet

hipertensi (p<0,05); nilai Exp (B) = 6,463; CI For Exp ( B) (11,348 – 30,982). Hal ini

24
memberikan makna bahwa responden yang mendapat dukungan keluarga dengan baik

mempunyai peluang 6 kali pelaksanaan diet hipertensi dengan baik.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Nainggolan (2012) terkait

pengendalian hipertensi yang dilakukan oleh keluarga terhadap 45 orang penderita hipertensi

di poliklinik RSUD Tugurejo Semarang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang

signifikan antara dukungan keluarga dengan pelaksanaan diet rendah

JURNAL KESEHATAN Vol 11 No 1 Tahun 2018 P-ISSN : 2086-2555; E-ISSN : 2622-

7363

garam. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa dukungan keluarga sangat berperan

dalam pengendalian hipertensi. Demikian juga pada hasil penelitian Kusumawati (2014) di

wilayah kerja Puskesmas Mojopanggung Banyuwangi menyimpulkan bahwa terdapat

hubungan yang positif dan signifikan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan diet

hipertensi.

Pelaksanaan Diet Hipertensi

Berdasarkan karateristik responden penderita hipertensi, yaitu sebanyak 46 orang

(42,6%) berumur 37 - 43 tahun dan sebanyak 44 orang (40,7%) berumur 44 – 50 tahun (90

orang berumur 37 – 50 tahun). Hipertensi tidak berbeda dengan penyakit degeneratif lain

yang sering dialami seseorang sehubungan dengan bertambahnya usia. Hipertensi yang

dianggap sebagai silent killer memang baru dirasakan akibatnya saat seseorang mengalami

25
komplikasi dari meningkatnya tekanan darah dengan gejala – gejala yang dianggap sepele

seperti sakit kepala atau nyeri tengkuk. Hal ini sejalan dengan pendapat Mansjoer (2001)

menyatakan bahwa umur lebih dari 40 tahun mempunyai resiko terkena hipertensi. Arteri

kehilangan elastisitasnya atau kelenturannya dan tekanan darah seiring bertambahnya usia,

kebanyakan orang mengalami hipertensi ketika berumur lima puluhan atau enam puluhan

(Staessen et al, 2003).

Berdasarkan jenis kelamin penderita hipertensi lebih banyak perempuan, yaitu sebanyak

58 orang (53,7%). Hal ini sejalan dengan pendapat Sustarani (2004) mengungkapkan bahwa

wanita penderita hipertensi lebih banyak daripada laki – laki. Tetapi wanita lebih tahan

daripada laki – laki tanpa kerusakan jantung dan pembuluh darah. Pria lebih banyak

mengalami kemungkinan menderita hipertensi daripada wanita. Pada pria hipertensi lebih

banyak disebabkan oleh pekerjaan, seperti perasaan kurang nyaman terhadap pekerjaan.

Sampai usia 55 tahun pria berisiko lebih tinggi terkena hipertensi dibandingkan wanita

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data dan hasil penelitian maka diperoleh kesimpulan dalam

penelitian ini yaitu ada pengaruh yang signifikan antara pengetahuan dan sikap serta

dukungan keluarga terhadap pelaksanaan diet hipertensi yang dilihat dari nilai signifikan

(p=0.001), sehingga (p<0.005), maka Ha diterima dan Ho ditolak, dengan kata lain

pengetahuan responden yang baik dan sikap positif serta dukungan keluarga yang baik akan

memiliki peluang pelaksanaan diet hipertensi dengan baik.

26
DAFTAR PUSTAKA

Adib., M., (2009). Cara Mudah Memahami dan Menghindari Hipertensi Jantung dan

Stroke.

Dianloka Dianloka Pustaka Populer, Yogyakarta.

Bustan, M.N., (2007). Epidemilogi Penyakit Tidak Menular. Rineka Cipta, Jakarta.

Kemenkes RI, (2013). “Direktorat Jenderal PPM&PLP, Pemberantasan Penyakit Menular

dan Penyehatan Lingkungan” Jakarta.

Kusumawati, D. (2014). “Hubungan Pengetahuan Dan Dukungan Keluarga Dalam

Pengaturan Diit Hipertensi Dengan Kepatuhan Diit Penderita Hipertensi Diwilayah

Kerja Puskesmas Mojopanggung Banyuwangi”. TESIS. Program Studi Magister

Kedokteran Keluarga, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Nainggolan, DFP. (2012). “Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Diit Rendah

Garam dan Keteraturan Kontrol Tekanan Darah Pada Penderita Hipertensi di Poliklinik

RSUD Tugurejo Semarang”. Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan. 1(2) Desember.

27
Notoadmodjo. (2010). Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta, Jakarta.

Puspita, A, (2011). “Sikap Terhadap Kepatuhan Diit Hipertensi Dengan Tekanan Darah pada

Penderita Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Doro II Kabupaten Pekalongan.

Seminar Nasional Keperawatan PPNI Jawa Tengah”. jurnal.unimus.ac.id.

Runtukahu, R.F. (2015). “Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan

Melaksanakan Diet Pada Penderita Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Wolaang

Kecamatan Langowan Timur”. Ejournal Keperawatan (e-Kp). 3(2) Mei.

Saputro, H.T, (2009). “Hubungan Tingkat Pengetahuan Pasien Tentang Hipertensi Dengan

Sikap Kepatuhan Dalam Menjalankan Diit Hipertensi Di Wilayah Puskesmas Andong

Kabupaten Boyolali”. Skripsi. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah

Surakarta.

Widiyani, R., (2013). “Penderita Hipertensi Terus Meningkat”.

http://health.kompas.com/read/2013/04/05/1404008/Penderita.Hipertensi.Terus

.Meningkat . Tanggal akses 21 Nopember 2014.

Varney, H, dkk. (2007). Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta : EGC.

Walyani, E. S. (2015). Asuhan Kebidanan pada Kehamilan. Yogyakarta: Pustaka Barupess.

28
DAFTAR ISI

HAL
DAFTAR ISI ................................................................................................ ii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Definisi penyakit ........................................................................... 1
1.2. Patofisiologi .................................................................................. 2
1.3. Etiologi .......................................................................................... 3
1.4. Klasifikasi……………………………………………………….. 4
1.5. Tanda dan Gejala………………………………………………... 5
1.6. Komplikasi………………………………………………………. 6
1.7. Pemeriksaan penunjang………………………………………….. 7
1.8. Penatalaksanaan medis…………………………………………... 8

BAB II. PENGKAJIAN


2.1. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji ................................... 9
2.2. Analisa data ............................................................................................ 10
2.3. Diagnosa keperawatan................... ......................................................... 11
2.4. Rencana keperawatan ............................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA

29
LAPORAN PENDAHULUAN
BAB I
A. DEFINISI PENYAKIT
1. Penyakit katup jantung merupakan kelainan aliran darah melintasi katup jantung.
Katup normal adalah aliran searah dan aliran yg tidak terhalangi. Katup membuka
merupakan tekanan proximal katup lebih tinggi dari tekanan dalam ruang atau
pembuluh darah sebelah katup. Katup menutup merupakan tekanan distal lebih
tinggi dari tekanan dalam ruang proximal katup (Purnomo, 2003).

2. Penyakit jantung katup merupakan salah satu penyakit jantung yang


dapat berakhir pada keadaan gagal jantung. Kelainan katup yang terjadi dapat
disebabkan oleh infeksi, kelainan bawaan, ataupun trauma. Jantung memiliki 4
katup, dan kesemua katup dapat mengalami kerusakan. Satu kerusakan katup
dapat menyebabkan kerusakan katup yang lain (Depkes RI, 2009).

B. PATOFISIOLOGI
Demam reumatik – inflamasi akut dimediasi – imun yang menyerang katup
jantung akibat reaksi silang antara antigen streptokokus hemolitik-α grup A dan
protein jantung. Penyakit dapat menyebabkan penyempitan pembukaan katup
(stenosis) atau tidak dapat menutup sempurna (inkompetensi atau regurgitasi) atau
keduanya.
Disfungsi katup akan meningkatkan kerja jantung. Insufisiensi katup
memaksa jantung memompa darah lebih banyak untuk menggantikan jumlah darah
yang mengalami regurgitasi atau mengalir balik sehingga meningkatkan volume kerja
jantung. Stenosis katup memaksa jantung meningkatkan tekanannya agar dapat
mengatasi resistensi terhadap aliran yang meningkat, karena itu akan meningkatkan
tekanan kerja miokardium. Respon miokardium yang khas terhadap peningkatan
volume kerja dan tekanan kerja adalah dilatasi ruang dan hipertrofi otot. Dilatasi

30
miokardium dan hipertrofi merupakan mekanisme kompensasi yang bertujuan
meningkatakan kemampuan pemompa jantung.
1. Stenosis Mitral

Stenosis mitral terjadi karna adanya fibrosis dan fusikomisura katub mitral pada
waktu fase penyembuhan demam reumatik.Terbentuknya sekat jaringan ikat
tanpa pengapuran mengakibatkan lubang katub mitral pada waktu diastolic lebih
kecil dari normal.
Berkurangnya luas efektif lubang mitral menyebabkan berkurangnya daya alir
katub mitral. Hal ini akan meningkatkan tekanan diruang atrium kiri, sehingga
timbul perbedaan tekanan antara atrium kiri dan ventrikel kiri waktu diastolik.
Jika peningkatan tekanan ini tidak berhasil mengalirkan jumlah darah yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan tubuh, akan terjadi bendungan pada atrium kiri dan
selanjutnya akan menyebabkan bendungan vena dan kapiler paru. Bendungan ini
akan menyebabkan terjadinya sembab interstitial kemudian mungkin terjadi
sembab alveolar. Pecahnya vena bronkialis akan menyebabkan hemoptysis.

31
Pada tahap selanjutnya tekanan arteri pulmonal akan meningakat, kemudian
terjadi pelebaran ventrikel kanan dan insufisiensi pada katub tricuspid atau
pulmonal. Akhirnya vena-vena sistemik akan mengalami bendungan pula.
Bendungan hati yang berlangsung lama akan menyebabkan gangguan fungsi hati.
Kompensasi pertama tubuh untuk menaikkan curah jantung adalah takikardi.
Tetapi konpensasi ini tidak selamanya menambah curah jantung karena pada
tingkat tertentu akan mengurangi masa pengisian diastolic. Regangan pada otot-
otot atrium dapat menyebabkan gangguan elektris sehingga terjadi fibrilasi
atrium. Hal ini akan mengganggu pengisian ventrikel dari atrium dan
memudahkan pembentukan thrombus di atrium kiri.

2. Isufisiensi Mitral

Regurgitasi mitralis memungkinkan aliran darah berbalik dari ventrikel kiri ke


atrium kiri akibat penutupan katub yang tidak sempurna. Selama sistolik ventrikel
secara bersamaan mendorong darah kedalam aorta dan kembali kedalam atrium
kiri. Kerja ventrikel kiri dan atrium kiri harus ditingkatkan agar dapat

32
mempertahankan curah jantung. Ventrikel kiri harus memompakan darah yang
cukup guna mampertahankan aliran darah normal ke aorta dan darah yang
kembali melalui katup mitralis. Beban volume tambahan yang ditimbulkan oleh
katup yang mengalami insufisiensi akan mengakibatkan dilatasi ventrikel(1).
Dilatasi dinding ventrikel akan meningkatkan kontraksi miokardium dan
menyebabkan dinding ventrikel mengalami hipertrofi sehingga meningkatkan
kontraksi selanjutnya. Regurgitasi tidak hanya menimbulkan beban volume bagi
ventrikel kiri namun juga atrium kiri. Atrium kiri berdilatasi untuk
memungkinkan peningkatan volume dan kekuatan kontraksi atrium. Selanjutnya
atrium mengalami hipertrofi untuk meningkatkan kekuatan kontraksi dan curah
atrium.
Regurgitasi mitralis merupakan lesi yang berlangsung secara terus menerus. Saat
volume dan ukuran ventrikel semakin meningkat maka fungsi Stenosis Aorta
katup makin memburuk. Bila lesi semakin parah, atrium kiri tidak mampu lagi
untuk meregang dan melindungi paru-paru. Ventrikel kiri mendapat beban yang
terlalu berat dan aliran darah melalui aorta menjadi berkurang. Pada saat yang
bersamaan dimungkinkan terjadi kongesti kebelakang secara bertahap. Mulai dari
kongesti vena pulmonalis, kongesti paru, hipertensi arteria pulmonalis, sampai
hipertrofi ventrikel kanan. Insufisiensi mitralis juga dapat menyebabkan gagal
jantung kanan, walaupun lebih jarang dari pada stenosis mitralis.

3. Stenosis Aorta
Stenosis aorta menghalangi aliran darah dari ventrikel kiri ke aorta. Dengan
meningkatnya resistensi terhadap ejeksi ventrikel, maka beban tekanan ventrikel
semakin meningkat dan mengakibatkan ventrikel kiri mengalami hipertrofi. Hal
ini menyebabkan perbedaan tekanan yang mencolok antara ventrikel kiri dan
aorta. Untuk mengompensasi dan mempertahankan curah jantung, ventrikel kiri
memperbesar tekanan dan memperpanjang masa ejeksi. Meskipun terjasi

33
peningkatan kerja pada ventrikel, efisiensi mekanis jantung masih dapat
dipertahankan dalam waktu yang lama.

Namun saat kemampuan ventrikel kiri untuk menyesuaikan diri terlampaui, akan
timbul gejala-gejala progresif yang menandai titik kritis perjalanan stenosis aorta.
Trias gejala khas tersebut adalah angina, sinkop, dan kegagalan ventrikel kiri.
Angina ditimbulkan oleh ketidakseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan
oksigen miokardium. Sinkop terjadi saat beraktivitas akibat aritmia atau
kegagalan untuk meningkatkan curah jantung yang memedai untuk
mempertahankan perfusi otak. Kegagalan ventrikel kiri merupakan indikasi
dekompensasi jantung.

4. Regurgitasi Aorta
Regurgitasi aorta menyebabkan refluks darah dari aorta ke ventrikel kiri. Pada
saat kontraksi, ventrikel harus mampu mengeluarkan sejumlah darah yang sama
dengan volume normal ditambah regurgitasi. Akibatnya ventrikel kiri mengalami
dilatasi berat yang memicu terjadinya hipertrofi pada ventrikel kiri, sehingga

34
bentuknya berubah menjadi seperti bola. Kemampuan kompensasi ventrikel kiri
yang tinggi disertai dengan katup mitralis yang kompeten dapat mempertahankan
fungsi ventrikel dalam jangka waktu yang lama. Gejala regurgitasi kronis akan
timbul setelah dekompensasi ventrikel kiri, yang terkadang disertai regurgitasi
katup mitralis. Ejeksi ventrikel kiri yang berkekuatan besar dan bervolume tinggi
dan diikuti dengan aliran darah yang cepat menuju perifer dan ventrikel kiri
melalui katup yang bocor dapat mengakibatkan peregangan cepat pembuluh darah
yang menyebabkan pengosongan mendadak pada sirkulasi perifer.

35
C. ETIOLOGI
Penyakit katup jantung dahulu dianggap sebagai peyakit yang hampir selalu
disebabkan oleh rematik, tetapi sekarang telah lebih banyak ditemukan penyakit
katup jenis baru. Penyakit katup jantung yang paling sering dijumpai adalah penyakit
katup degeneratif yang berkaitan dengan meningkatnya masa hidup rata-rata pada
orang-orang yang hidup di negara industri dibandingkan dengan yang hidup di negara
berkembang. Meskipun terjadi penurunan insidensi penyakit demam rematik, namun
penyakit rematik masih merupakan penyebab lazim deformitas katup yang
membutuhkan koreksi bedah.
1. Stenosis Mitral
Berdasarkan etiologinya stenosis katup mitral terjadi terutama pada orang tua
yang pernah menderita demam rematik pada masa kanak-kanak dan mereka
tidak mendapatkan antibiotik. Di bagian dunia lainnya, demam rematik sering
terjadi dan menyebabkan stenosis katup mitral pada dewasa, remaja dan kadang
pada anak-anak. Yang khas adalah jika penyebabnya demam rematik, daun katup
mitral sebagian bergabung menjadi satu.
a. Stenosis katup mitral hampir selalu disebabkan oleh demam rematik.
b. Stenosis katup mitral juga bisa merupakan suatu kelainan bawaan.
c. Miksoma (tumor jinak di atrium kiri) atau bekuan darah dapat menyumbat
aliran darah ketika melewati katup mitral dan menyebabkan efek yang sama
seperti stenosis katup mitral.
2. Insufisiensi Mitral
Berdasarkan etiologinya insufisiensi atau regurgitasi mitral dapat dibagi atas
reumatik dan non reumatik (degenaratif, endokarditis, penyakit jantung
koroner, penyakit jantung bawaan, trauma dan sebagainya). Di negara
berkembang seperti Indonesia, penyebab terbanyak insufisiensi mitral adalah
demam reumatik.

36
3. Stenosis Aorta
Berdasarkan etiologinya stenosis katup aorta merupakan penyakit utama pada
orang tua, yang merupakan akibat dari pembentukan jaringan parut dan
penimbunan kalsium di dalam daun katup. Stenosis katup aorta seperti ini
timbul setelah usia 60 tahun, tetapi biasanya gejalanya baru muncul setelah usia
70-80 tahun.
Stenosis katup aorta juga bisa disebabkan oleh demam rematik pada masa kanak-
kanak. Pada keadaan ini biasanya disertai dengan kelainan pada katup mitral baik
berupa stenosis, regurgitasi maupun keduanya. Pada orang yang lebih muda,
penyebab yang paling sering adalah kelainan bawaan. Pada masa bayi, katup
aorta yang menyempit mungkin tidak menyebabkan masalah, masalah baru
muncul pada masa pertumbuhan anak. Ukuran katup tidak berubah, sementara
jantung melebar dan mencoba untuk memompa sejumlah besar darah melalui
katup yang kecil. Katup mungkin hanya memiliki dua daun yang seharusnya tiga,
atau memiliki bentuk abnormal seperti corong.Lama-lama, lubang/pembukaan
katup tersebut, sering menjadi kaku dan menyempit karena terkumpulnya
endapan kalsium.
4. Isufisiensi Aorta
Penyebab terbanyak adalah demam reumatik dan sifilis. Kelainan katub dan
kanker aorta juga bisa menimbulkan isufisiensi aorta. Pada isufisiensi aorta
kronik terlihat fibrosis dan retraksi daun-daun katub, dengan atau tanpa
klasifikasi, yang umumnya merupakan skuele dari demam reumatik.
5. Penyakit Katup Trikuspidalis
Regurgitasi trikuspidalis murni biasanya disebabkan gagal jantung kiri yang
sudah lajut atau hipertensi pulmonalis berat.
6. Penyakit Katup Pulmonaris
Stenosis katup pulmonalis biasanya merupakan kelainan congenital, bukan
akibat penyakit rematik jantung.
7. Penyakit Katup Campuran

37
Penyakit katup campuran sering terjadi, yaitu terdiri atas stenosis dan regurgitasi
pada katup yang sama. Penyakit katup campuran merupakan gabungan disfungsi
katup murni yang dapat mengubah konsekuensi fisiologisnya.

D. KLASIFIKASI
Penyakit katup jantung menyebabkan kelainan-kelainan pada aliran darah
yang melintasi katup jantung. Katup yang terserang penyakit dapat mengalami dua
jenis gangguan fungsional: (1) regurgitasi-daun katup tidak dapat menutup rapat
sehingga darah dapat mengalir balik (sinonim dengan insufisiensi katup dan
inkompetensi katup); dan (2) stenosiskatup-lubang katup mengalami penyempitan
sehingga aliran darah mengalami hambatan. Insufisiensi dan stenosis dapat terjadi
bersamaan pada satu katup, dikenal sebagai ”lesi campuran” atau terjadi sendiri yang
disebut sebagai lesi murni.” Berikut tipe-tipe gangguan katub :
1. Sindrom Prolaps Katup Mitral
Sindrom prolaps katup mitral adalah disfungsi bilah–bilah katup mitral yang
tidak dapat menutup dengan sempurna dan mengakibatkan regurgutasi katup,
sehingga darah merembes dari ventrikel kiri ke antrium kiri. Sindrom ini kadang
tidak menimbulkan gejala atau dapat juga berkembang cepat dan menyebabkan
kematian mendadak. Pada tahun–tahun belakangan sindrom ini semakin banyak
dijumpai, mungkin karena metode diagnostic yang semakin maju.
2. Stenosis Mitral
Stenosis mitral adalah penebalan progresif dan pengerutan bilah–bilah katup
mitral, yang menyebabkan penyempitan lumen dan sumbatan progresif aliran
darah. Secara normal pembukaan katup mitral adalah selebar tiga jari. Pada kasus
stenosis berat menjadi penyempitan lumen sampai selebar pensil. Ventrikel kiri
tidak terpengaruh, namun antrium kiri mengalami kesulitan dalam
menggosongkan darah melalui lumen yang sempit ke ventrikel kiri. Akibatnya
antrium akan melebar dan mengalami hipertrofi karena tidak ada katup yang
melindungi vena pulmonal terhadap aliran balik dari antrium, maka sirkulasi

38
pulmonal mengalami kongesti. Akibatnya ventrikel kanan harus menanggung
beban tekanan arteri pulmonal yang tinggi dan mengalami peregangan berlebihan
yang berakhir gagal jantung.
Stenosis mitral diklasifikasikan menjadi tiga kelas dari ringan hingga berat sesuai
dengan mitral valve area (MVA). Klasifikasi stenosis mitral : Klasifikasi Mitral
Valve Area (MVA)
Ringan >1,5 cm2
Sedang 1,0-1,5 cm2
Berat <1,0 cm2.
3. Insufisiensi Mitral (Regurgitasi)
Insufisiensi mitral terjadi bilah-bilah katup mitral tidak dapat saling menutup
selama systole. Chordate tendineae memendek, sehingga bilah katup tidak dapat
menutup dengan sempurna, akibatnya terjadilah regurgitasi aliran balik dari
ventrikel kiri ke antrium kiri. Pemendekan atau sobekan salah satu atau kedua
bilah katup mitral mengakibatkan penutupan lumen mitral tidak sempurna saat
ventrikel kiri dengan kuat mendorong darah ke aorta, sehingga setiap denyut,
ventrikel kiri akan mendorong sebagaian darah kembali ke antrium kiri. Aliran
balik darah ini ditambah dengan darah yang masuk dari paru, menyebabkan
antrium kiri mengalami pelebaran dan hipertrofi. Aliran darah balik dari ventrikel
akan menyebabkan darah yang mengalir dari paru ke antrium kiri menjadi
berkurang. Akibatnya paru mengalami kongesti, yang pada giliranya menambah
beban ke ventrikel kanan. Maka meskipun kebocoran mitral hanya kecil namun
selalu berakibat terhadap kedua paru dan ventrikel kanan.
4. Stenosis Katup Aorta
Stenosis katup aorta adalah penyempitan lumen antara ventrikel kiri dan aorta.
Pada orang dewasa stenosis bisa merupakan kelainan bawaan atau dapat sebagai
akibat dari endokarditisrematik atau kalsifikasi kuspis dengan penyebab yang
tidak diketahui. Penyempitan terjadi secara progresif selama beberapa tahun atau
beberapa puluh tahun. Bilah–bilah katup aorta saling menempel dan menutup

39
sebagaian lumen diantara jantung dan aorta. Ventrikel kiri mengatasi hambatan
sirkulasi ini dengan berkontraksi lebih lambat tapi dengan energi yang lebih besar
dari normal, mendorong darah melalui lumen yang sangat sempit. Mekanisme
kompesansi jantung mulai gagal dan munculah tanda–tanda klinis. Obstruksi
kalur aliran aorta tersebut menambahkan beban tekanan ke ventrikel kiri, yang
mengakibatkan penebalann dinding otot. Otot jantung menebal (hipertrofi)
sebagai respons terhadap besarnya obstruksi; terjadilah gagal jantung bila
obsruksinya terlalu berat.
5. Insufiensi Aorta (Regurgitasi)
Insufisiensi aorta disebabkan oleh lesi peradangan yang merusak bentuk bilah
katup aorta, sehingga masing-masing bilah tidak bisa menutup lumen aorta
dengan rapat selama diastole dan akibatnya menyebabkan aliran balik darah dari
aorta ke ventrikel kiri. Defek katup ini bisa disebabkan oleh endokarditis,
kelainan bawaan, atau penyakit seperti sifilis dan pecahnya aneurisma yang
menyebabkan dilatasi atau sobekan aorta asendens. Karena kebocoran katup
aorta saat diastole, maka sebagaian darah dalam aorta, yang biasanya bertekanan
tinggi, akan mengalir ke ventrikel kiri, sehingga ventrikel kiri harus mengatasi
keduanya yaitu mengirim darah yang secara normal diterima dari atrium kiri ke
ventrikel melalui lumen ventrikel, maupun darah yang kembali dari aorta.
Ventrikel kiri kemudian melebar dan hipertrofi untuk mengakomodasi
peningkatan volume ini, demikian juga akibat tenaga mendorong yang lebih
normal untuk memompa darah, menyebabkan tekanan darah sistolik meningkat.
Sistem kardiovaskuler berusaha mengkompesansi melalui refleks dilatasi
pembuluh darah arteri perifer melemas sehingga tahanan perifer turun dan
tekanan diastolic turun drastis.

6. Penyakit Katup Trikuspidalis


Stenosis katup trikuspidalis akan menghambat aliran darah dari atrium kanan ke
ventrikel kanan selama diastolik. Biasanya berkaitan dengan penyakit katup

40
mitralis dan aorta yang terjadi akibat penyakit jantung rematik berat. Stenosis
katup trikuspidalis meningkatkan beban kerja atrium kanan, memaksa
pembentukan tekanan yang lebih besar untuk mempertahankan aliran normal
melalui katup yang tersumbat. Kemampuan kompensasi atrium kanan terbatas
sehingga atrium akan mengalami dilatasi dengan cepat. Peningkatan volume dan
tekanan atrium kanan mengakibatkan penimbunan darah pada vena sistemik dan
peningkatan tekanan. Temuan klasik gagal jantung kanan diantaranya
peregangan vena yang besar, edema perifer, asites, pembesaran hati, serta nausea
dan anoreksia akibat bendungan darah pada saluran cerna.
7. Penyakit Katup Pulmonaris
8. Penyakit Katup Campuran

E. TANDA DAN GEJALA


Jika stenosisnya berat, tekanan darah di dalam atrium kiri dan tekanan darah di dalam
vena paru-paru meningkat, sehingga terjadi gagal jantung, dimana cairan tertimbun
di dalam paru-paru(edema pulmoner). Penderita yang mengalami gagal jantung akan
mudah merasakan lelah dan sesak nafas. Pada awalnya, sesak nafas terjadi hanya
sewaktu melakukan aktivitas, tetapi lama-lama sesak juga akan timbul dalam keadaan
istirahat.
Sebagian penderita akan merasa lebih nyaman jika berbaring dengan disangga oleh
beberapa buah bantal atau duduk tegak. Warna semu kemerahan di pipi menunjukkan
bahwa seseorang menderita stenosis katup mitral. Tekanan tinggi pada vena paru-
paru dapat menyebabkan vena atau kapiler pecah dan terjadi perdarahan ringan atau
berat ke dalam paru-paru. Pembesaran atrium kiri bisa mengakibatkan fibrilasi
atrium, dimana denyut jantung menjadi cepat dan tidak teratur.
1. Stenosis Mitral
Sangat letih, lemah, dyspnea, letih bila ada kegiatan fisik, nocturnal dyspnea,
batuk kering, bronchitis, rales, edema paru-paru, hemoptysis/batuk darah,

41
kegagalan pada sebelah kanan jantung. Auskultasi: peningkatan bunyi. Murmur
: lemah, nada rendah, rumbling/gemuruh, diastolic pada apex.
Dengan menggunakan stetoskop, akan terdengar murmur jantung yang khas
ketika darah mengalir atau menyembur melalui katup yang menyempit dari
atrium kiri. Tidak seperti katup normal yang membuka tanpa suara, pada kelainan
ini katup sering menimbulkan bunyi gemertak ketika membuka untuk
mengalirkan darah ke dalam ventrikel kiri.
2. Isufisiensi Mitral
Sangat letih, lemah, kehabisan tenaga, berat badan turun, napas sesak bila terjadi
kegiatan fisik, ortopneu, paroxysma noktural dipsneu rales. Tingkat lanjut:
edema paru-paru, kegagalan jantung sebelah kanan.Auskultasi: terasa getaran
pada raba apex, S1 tidak ada, lemah, murmur. Murmur: bernada tinggi,
menghembus, berdesis, selama systoll(pada apex) S3 nada rendah.
Kelainannya bisa dikenali hanya jika dokter melakukan pemeriksaan
denganstetoskop, dimana terdengar murmur yang khas, yang disebabkan
pengaliran kembali darah ke dalam atrium kiri ketika ventrikel kanan
berkontraksi. Regurgitasi katup mitral biasanya diketahui melalui murmur yang
khas, yang bisa terdengar pada pemeriksaan dengan stetoskop ketika ventrikel
kiri berkontraksi.
3. Stenosis Aorta
Angina, syncope, capai, lemah, sesak napas saat ada kegiatan ortopneu,
paroxysm, mal nokturial, edema paru-paru, rales. Tingkat lanjut: kegagalan
sebelah kanan jantung. Murmur: nada rendah, kasar seperti kerutan, systoll(pada
basis atau carctis) gemetar systoll pada basis jantung.

4. Isufisiensi Aorta
Palpitasi, sinus tacikardi, sesak napas bila beraktifitas ortopnew, paroxysmal
noktural dyspnea, diaphoresis hebat, angina. Tingkat lanjut: kegagalan jantung

42
sebelah kiri dan kanan.Murmur: nada tinggi, menghembus diastole (sela iga ke3)
murmur desakan systoll pada basis.

F. KOMPLIKASI
Komplikasi-komplikasi yang terjadi pada kelainan katup.
1. Angina pectoris
2. Bedah jantung
3. Gagal jantung kongestif
4. Disritmia
5. Kondisi inflamasi jantung
6. Aspek-aspek psikososial perawatan akut
7. Penyakit jantung rematik
8. Penyakit jantung iskemik

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Kateterisasi jantung : Untuk menentukan luas dan jenis penyumbatannya. Gradien
tekanan (pada distole) antara atrium kiri dan ventrikel kiri melewati katup mitral,
penurununan orivisium katup (1,2 cm), peninggian tekanan atrium kiri, arteri
pulmunal, dan ventrikel kanan ; penurunan curah jantung.
2. Ventrikulografi kiri : Digunakan untuk mendemontrasikan prolaps katup mitral.
3. ECG : Pembesaran atrium kiri ( P mitral berupa takik), hipertropi ventrikel kanan,
fibrilasi atrium kronis.
4. Sinar X dada : Pembesaran ventrikel kanan dan atrium kiri, peningkatan vaskular,
tanda-tanda kongesti/edema pulmunal.
5. Ekokardiogram : Dua dimensi dan ekokardiografi doppler dapat memastikan
masalah katup. Pada stenosis mitral pembesaran atrium kiri, perubahan gerakan
daun-daun katup.
6. Elektrokardiogram (teknik penggambaran jantung dengan menggunakan
gelombang ultrasonik).

43
H. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Stenosis Mitral
Terapi antibiotic diberikan untuk mencegah berulangnya infeksi. Penatalaksanaan
gagal jantung kongesti adalah dengan memberikan kardiotinikum dan diuritik.
Intervensi bedah meliputi komisurotoomi untuk membuka atau “menyobek”
komisura katub mitral yang lengket atau mengganti katub miral dengan katub
protesa. Pada beberapa kasus dimana pembedahan merupakan kontraindikasi dan
terapi medis tidak mampu menghasilkan hasil yang diharapkan, maka dapat
dilakukan valvuloplasti transluminal perkutan untuk mengurang beberapa gejala.
2. Insufisiensi Mitral
Penatalaksanaannya sama dengan gagal jantung kongestif, intervensi bedah
meliputi penggantian katup mitral.
3. Stenosis Aorta
Penatalaksanaan yang sesuai untuk stenosis aorta adalah penggantian katub aorta
secara bedah. Terdapat resiko kematian mendadak pada pasien yang diobati saja
tanpa tindakan bedah. Keadaan yang tak dikoreksi tersebut dapat menyebabkan
gagal jantung permanen yang tidak berespon terhadap terapi medis.
4. Insufisiensi Aorta
Penggantian katub aorta adalah terapi pilihan, tetapi kapan waktu yang tepat
untuk penggantian katub masih kontroversial. Pembedahan dianjurkan pada
semua pasien dengan hipertropi ventrikel kiri tanpa memperhatikan ada atau
tidaknnya gejala lain. Bila pasien mengalami gejala gagal jantung kongestif, harus
diberikan penatalaksanaan medis sampai dilakukannya pembedahan.
BAB II
1. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI
1. Masalah Keperawatan
1) Gangguan pertukaran gas
2) Resiko tinggi menurunanya curah jantung

44
3) Nyeri dada
4) Ansietas
5) Defisit pengetahuan

2. Data Yang Perlu Dikaji


1) Identitas Klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS,
nomor register, dan diagnosis medis.
2) Riwayat penyakit sekarang
Kapan waktu timbulnya penyakit? Jam berapa? Bagaimana awal
munculnya?Berangsur-angsur? Keadaan penyakit, apakah sudah membaik,
parah atau tetapsama dengan sebelumnya.Usaha yang dilakukan untuk
mengurangi keluhan, Kondisi saat dikaji P Q R S T
3) Riwayat penyakit dahulu
Penyakit pada masa anak-anak dan penyakit infeksi yang pernah dialami,
imunisasi yang pernah diberikan, kecelakaan yang pernah dialami, prosedur
operasi dan perawatan rumah sakit alergi (makanan, obat-obatan,
zat/substansi, textil), pengobatan dini (konsumsi obat-obatan bebas).
4) Riwayat penyakit keluarga
Identifikasi berbagai penyakit keturunan yang umumnya
menyerang.Anggotakeluarga yang terkena alergi, asma, TBC, hipertensi,
penyakit jantung, stroke, anemia, hemopilia, arthritis, migrain, DM, kanker
dan gangguan emosional.
5) Data Dasar Pasien
a. Aktivitas / Istirahat
a) Gejala : Kelemahan, kelelahan. Pusing, rasa berdenyut. Dispenea

45
karena kerja, palpitasi. Gangguan tidur (ortopnea, dispnea
paroksimal noktural, nokturia, keringatmalam hari.)
b) Tanda : Takikardi, gangguan pada TD. Pingsan karena kerja.
Takipnea, dispnea.
b. Sirkulasi
a) Gejala : Riwayat kondisi pencetus, contoh: Demam reumatik,
Endokarditis bakterial subakut, infeksi streptokokal;
hipertensi, kondisi kongenital (contoh kerusakan Atrial-
septal, sindrom marfun), trauma dada, hipertensi pulmonal.
Riwayat murmur jantung, palpitasi. Serak, hemoptisis.
Batuk tanpa produksi sputum.
b) Tanda : Sistolik TD menurun (AS lambat).Tekanan nadi:
Penyempitan (SA); luas(IA)Nadi karotid: lambat dengan
volume nadi kecil (SA); bendungan dengan pulsasi arteri
terlihat (IA).Nadi apikal: PMI kuat dan terletak di bawah
dan kekiri(IM); secara lateral kuat dan perpindahan tempat
(IA).
c) Getaran : Getaran diastolik pada aspek (SM). Getaran systolik
pada dasar (SA) Getaran systolik senjang batas sternal
kiri; getaran systolik pada titik jagular dan sepanjang
arteri karotis(IA).
Dorongan: Dorongan apikal selama systolik(SA). Bunyi jantung:
S1 keras, pembukaan yang keras (SM). Penurunan atau
tak ada S1, bunyi robekan luas, adanya S3(IM berat).
Bunyi ejeksi sistolik (SA). Bunyi sistolik, ditonjolkan
oleh berdiri/jongkok (MVP).
Kecepatan : Takikardi (MVP) ; takikardi pada istirahat (SM).
Irama : Tak teratur, fibrilasi atrial (SM dan IM). Disritmia dan
derajat pertamaBlok AV (SA).

46
Murmur : Murmur diastolik pada area pulmonalik (IP). Bunyi
rendah, murmur diastolik gaduh(SM). Murmur sistolik
terdengar baik pada apek (MR). Murmur sistolik terdengar
baik pada dasar dengan penyebaran ke leher (SA).Murmur
sistolik pada dasar kiri batas sternal (SP) meningkat
selama inspirasi (IT). Murmur diastolik (tiupan), bunyi
tinggi dan terdengar baik pada dasar (IA). Murmur
diastolik pada dasar kiri strenal meningkat dengan
inspirasi ( ST).
Warna / Sianosis : Kulit hangat, lembab dan kemerahan (IA).
Kapiler kemerahan dan pucat pada tiap nadi
(IA).
c. Integritas Ego
a) Gejala : Tanda kecemasan. Contoh gelisah, pucat, berkeringat,
fokus menyempit, gemetar.
d. Makanan / Cairan
a) Gejala: Disfagia (IM Kronis)Perubahan berat badan. Penggunaan
diuretik.
b) Tanda: Edema umum / dependen. Hepatomegali dan asites ( SM, IM,
IT) Hangat, kemerahan dan kulit lembab (IA). Pernafasan payah dan
bising dengan terdengar krekels dan mengi.
e. Neurosensori
a) Gejala: Episode pusing/ pingsan berkenaan dengan beban kerja.
f. Nyeri / Kenyamanan
a) Gejala: Nyeri dada , angina (SA,IA). Nyeri dada non angina / tidak
khas (MVP).
g. Pernafasan
a) Gejala:Dispenia (Kerja, ortopnea, paroksismal, nokturnal). Batuk
menetap ataunokturnal ( sputum mungkin/ tidak produktif).

47
b) Tanda: Takipnea. Bunyi napas adventisius (krekels dan mengi).
Sputum banyak dan berbecak darah ( Edema pulmonal). Gelisah/
ketakutan ( Pada adanya edema pulmonal).
h. Keamanan
a) Gejala: Proses infeksi/ sepsis, kemoterapi radiasi. Adanya perawatan
gigi (pembersihan, pengisian, dsb).
b) Tanda: Perlu perawatan gigi / mulut.
6) Riwayat Psikososial
a. Identifikasi klien tentang kehidupan sosialnya
b. Identifikasi hubungan klien dengan yang lain dan kepuasan diri sendiri
c. Kaji lingkungan rumah klien, hubungkan dengan kondisi RS
d. Tanggapan klien tentang beban biaya RS
e. Tanggapan klien tentang penyakitnya
7) Riwayat Spiritual
a. Kaji ketaatan klien beribadah dan menjalankan kepercayaannya :
b. Support system dalam keluarga :
c. Ritual yang biasa dijalankan :
8) Aktifitas Sehari-hari
a. Nutrisi :
Selera makan, menu makan dalam 24 jam. Frekuensi makan dalam 24
jam. Makanan yang disukai dan makanan pantangan. Pembatasan pola
makanan. Cara makan (bersama keluarga, alat makan yang digunakan).
Ritual sebelum makan, dll.
b. Cairan :
Jenis minuman yang dikonsumsi dalam 24 jam, frekuensi minum,
kebutuhan cairan dalam 24 jam.
c. Eliminasi (BAB & BAK):
Tempat pembuangan, frekuensi? kapan? teratur?, konsistensi, kesulitan
dan cara menanganinya, obat-obat untuk memperlancar BAB/BAK.

48
d. Istirahat Tidur
Apakah cepat tertidur, jam tidur (siang/malam), bila tidak dapat tidur
apa yang dilakukan, apakah tidur secara rutin.
e. Olahraga
Program olahraga tertentu, berapa lama melakukan dan jenisnya,
perasaan setelah melakukan olahraga.
f. Rokok / alkohol dan obat-obatan
Apakah merokok? jenis? berapa banyak? kapan mulai merokok? Apakah
minum minuman keras? berapa minum /hari/minggu? jenis minuman?
apakah banyak minum ketika stress?
g. Personal hygiene
Mandi (frekuensi, cara, alat mandi, kesulitan, mandiri/dibantu), cuci
rambut, gunting kuku, gosok gigi.
9) Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum klien :
Tanda-tanda dari distress, penampilan dihubungkan dengan usia, ekspresi
wajah, bicara, mood, berpakaian dan kebersihan umum, tinggi badan, BB,
gaya berjalan.
2. Tanda-tanda vital :
Suhu, nadi, pernafasan, tekanan darah.

3. Sistem pernafasan
Hidung : Kesimetrisan, pernafasan cuping hidung, adanya sekret / polip,
passaseudara.
Leher : Pembesaran kelenjar, tumor.
Dada : Bentuk dada (normal,barrel,pigeon chest). Perbandingan
ukuran anterior posterior dengan transversi. Gerakan dada (kiri dan
kanan, apakah ada retraksi). Keadaan proxsesus xipoideus.Suara nafas

49
(trakhea, bronchial, bronchovesikular).Apakah ada suara nafas tambahan.
Apakah ada clubbing finger.
4. Sistem kardiovaskuler
Conjunctiva (anemia/tidak), bibir (pucat, cyanosis), arteri carotis, tekanan
vena jugularis, ukuran jantung, ictus cordis/apex, suara jantung
(mitral,tricuspidalis, S1, S2, bising aorta, murmur,gallop), capillary refill
time.
5. Sistem perncernaan
Sklera (ikterus/tidak), bibir (lembab, kering, pecah-pecah, labio skizis),
mulut (stomatitis, apakah ada palatoskizis, jumlah gigi, kemampuan
menelan, gerakan lidah), gaster (kembung, gerakan peristaltik), abdomen
(periksa sesuai dengan organ dalam tiap kuadran), anus (kondisi, spinkter
ani, koordinasi).
6. Sistem saraf
a) Fungsi cerebral: status mental (orientasi, daya ingat, perhatian dan
perhitungan, bahasa), kesadaran (eyes, motorik, verbal) dengan gcs,
bicara (ekspresive dan resiptive)
b) Fungsi kranial (saraf kranial I s/d XII)
c) Fungsi motorik (massa, tonus dari kekuatan otot)
d) Fungsi sensorik (suhu, nyeri, getaran posisi dan diskriminasi)
e) Fungsi cerebellum (koordinasi dan keseimbangan)
f) Refleks (ekstremitas atas, bawah dan superficial)
g) Iritasi meningen (kaku kuduk, lasaque sign, kernig sign, brudzinski
sign)
7. Sistem musculoskeletal
Kepala (bentuk kepala), vertebrae (bentuk, gerakan, rom), pelvis (thomas
test, trendelenberg test, ortolani/barlow test, rom), lutut (mc murray test,
ballotement, rom), kaki (keutuhan ligamen, rom), bahu, tangan.
8. Sistem perkemihan

50
Edema palpebra, moon face, edema anasarka, keadaan kandung kemih,
nocturia, dysuria, kencing batu, penyakit hubungan sexual.

9. Sistem immune
Allergi (cuaca, debu, bulu binatang, zat kimia), Immunisasi, Penyakit
yang berhubungan dengan perubahan cuaca, Riwayat transfusi dan
reaksinya.

2. ANALISA DATA
No. Data Etiologi Masalah
1. DO : Odema Paru Gangguan
Sianosis Pertukaran Gas
Dispnea
Tachikardia
Gas darah arteri abnormal
pH arteri abnormal
DS :
Pasien mengatakan sakit
kepala saat bangun.
Nafas cuping hidung
Warna kulit abnormal
(pucat, kehitaman)
2. DO : Penurunan Risiko/Actual
Aritmia Kontraktilitas, Tinggi
Brakikardia Ventrikel Kiri Menurunnya
Perubahan EKG Curah Jantung
Takikardia

51
Penurunan tekanan vena
Murmur
DS:
Pasien mengatakan mulai
batuk-batuk
Pasien terlihat letih
3. DO: Iskemia miokard Nyeri dada
Perubahan denyut jantung
Perubahan frekuensi
pernafasan
Kedok wajah (merengek,
gelisah
Perubahan pola makan
DS:
Pasien mengatakan nyeri
di area dada
Pasien mengatakan pola
tidur berubah
4. DO: Situasi Kritis, Ansietas
Mulut kering Takut akan
DS: Kematian
Pasien mengatakan tidak
nafsu makan
Pasien terlihat cemas
Kontak mata buruk
5. DS: Kurangnya Defisit
Sering bertanya Informasi, Pengatahuan
Salah instruksi

52
Perilaku hiperbola Keterbatasan
Kognitif.

3. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Gangguan pertukaran gas b/d odema paru ditandai dengan sianosis dan dispnea.
2) Resiko tinggi menurunanya curah jantung b/d penurunan kontraktilitas ventrikel
kiri ditandai dengan aritmia dan perubahan EKG.
3) Nyeri dada b/d iskemia jaringan myokard ditandai dengan perubahan denyut
jantung dan ekspresi kesakitan.
4) Ansietas b/d situasi kritis ditandai dengan ketakutan dan peningkatan tegangan.
5) Defisit pengetahuan b/d kurangnya informasi tentang katup jantung ditandai
dengan permintaan informasi kepada perawat dan ahli profesi kesehatan lainnya

53
4. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
No Dx NIC NOC
Rasional
1. Gangguan Setelah dilakukan tindakan keperawatan, 1. Kaji suara paru, frekuensi nafas, kedalaman, dan usaha
pertukaran gas gas darah arteri normal dalam jangka nafas, dan produksi sputum sebagai indicator keefektian
b/d odema paru waktu 1 x 24 jam penggunaan alat penunjang.
ditandai dengan DO: 2. Awasi dan laporkan pada data pengkajian terkait
sianosis dan Menunjukan perbaikan (sensorium pasien, suara nafas, pola nafas, analisis gas
dispnea ventilasi/oksigenasi sebagai bukti adalah darah arteri, sputum, efek obat).
frekuensi pernapasan dalam rentang 3. Membantu dalam posisi, batuk, dan nafas dalam.
normal, tak ada sianosis, dan 4. Jelaskan pada pasien mengenai penggunaan alat bantu
penggunaaan otak aksesoris, bunyi nafas yang diperlukan (oksigen, pengisap, spirometer)
normal.
DS:
Sudah tidak terlihat pernafasan cuping
hidung
Warna kulit pasien kembali dalam
keaadaan normal
2. Resiko tinggi Setelah dilakukan tindakan keperawatan, 1. Berikan oksigen tambahan dengan nasal kanal/
menurunanya Penurunan curah jantung dapat teratasi masker sesuai dengan indikasi.
curah jantung dan menunjukkan tanda vital dalam batas

54
b/d penurunan yang dapat diterima, disritmia terkontrol 2. Berikan istirahat psikologi dengan lingkungan yang
kontraktilitas atau hilang dan bebas gejala gagal tenang.
ventrikel kiri jantung dalam jangka waktu 3x24 jam. 3. Pantau tanda kelebihan cairan.
ditandai dengan DO: 4. PemberianIV ,pembatasan jumlah total sesuai dengan
aritmia dan Tekanan darah dalam batas normal indikasi. Hindari cairan garam.
perubahan (120/80 mmHg, nadi 80x/menit). 5. Kolaborasi pemberian obat.
EKG. Tidak terjadi aritmia dan irama jantung
teratur, CRT kurang dari 3 detik.
DS:
Klien akan melaporkan penurunan
episode dispnea, berperan dalam aktivitas
mengurangi beban kerja jantung.

3. Nyeri dada b/d Setelah dilakukan tindakan 1. Gunakan skala nyeri 0-10 untuk rentang intensitas.
iskemia jaringan keperawatan,Pasien mengatakan bahwa 2. Catat ekspresi verbal atau non verbal, respon
myokard nyeri dada telah hilang/terkontrol dalam otomatis terhadap nyeri(berkeringat,TD dan nadi
ditandai dengan jangka waktu 3x24 jam berubah,peningkatan atau penurunan frekuensi
perubahan DO: pernafasan).
denyut jantung Denyut jantung dan frekuensi pernafasan 3. Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakolog
dan ekspresi kembali dalam keadaan normal. (misalnya: TENS, hypnosis, relaksasi, masase, dll)
kesakitan. 4. Evaluasi respon terhadap obat.

55
Pola makan pasien kembali dalam 5. Berikan lingkungan istirahat dan batasi aktifitas
keadaan normal. sesuai kebutuhan.
DS:
Pasien mengatakan nyeri di area dada
sedah menghilang.
Pasien mengatakan pola tidur kembali
normal.
Ekspresi wajah pasien tenang.
4. Ansietas b/d Setelah dilakukan tindakan keperawatan, 1. Kaji dan dokumentai tingkat kecemasan pasien,
situasi kritis Pasien merasa tenang dalam jangka termasuk reaksi fisik pasien.
ditandai dengan waktu 1x24 jam. 2. Ajarkan dan anjurkan pasien melakukan teknik
ketakutan dan DO: relaksasi, contoh napas dalam, bimbingan imajinasi,
peningkatan Mulut kembali dalam keadaan normal, relaksasi progresif.
tegangan. tidak kering 3. Berikan tindakan kenyamanan contoh, mandi, gosokan
DS: punggung, perubahan posisi.
Pasien mengatakan nafsu makan sudah 4. Koordinasikan waktu istirahat dan aktivitas saat
kembali normal. senggang tepat untuk kondisi.
Pasien tidak terlihat cemas lagi. 5. Libatkan orang terdekat dalam rencana perawatan dan
Kontak mata dengan pasien kembali dorong partisipasi maksimum pada rencan pengobatan.
normal.

56
5. Defisit Setelah dilakukan tindakan keperawatan, 1. Jelaskan dasar patologi abnormalitas katub.
pengetahuan b/d Pasien mengerti tentang kelainan katub 2. Jelaskan rasional pengobatan, dosis, efek samping, dan
kurangnya jantung dalam jangka waktu 1x24 jam pentingnya minum obat sesuai resep.
informasi DS: 3. Anjurkan dan biarkan pasien menunjukkan ketrampilan
tentang katup Pasien menyatakan pemahaman proses pemantauan sendiri nadi bila pasien pulang dengan
jantung ditandai penyakit, program pengobatan dan digitalis.
dengan potensial komplikasi.
permintaan Pasien mampu mengenali kebutuhan
informasi untuk kerja sama dan mengikuti
kepada perawat perawatan.
dan ahli profesi
kesehatan
lainnya.

57
DAFTAR PUSTAKA

Guyton & Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC.

Herdman, Heather. 2010. NANDA Internasional Diagnosis Keperawatan: Definisi


dan Klasifikasi 2009-2011. Jakarta: EGC.

Muttaqin, Arif. 2009. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem


Kardiovaskular dan Hematologi. Jakarta: EGC.

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth Vol 2.Edisi 8. Jakarta: EGC.

Syarifuddin.2006. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan.Edisi 3.


Jakarta: EGC.

Wahab, Samik A. 2009. Kardiologi Anak: Penyakit Jantung Kongenital yang Tidak
Sianotik. Jakarta: EGC.

Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan denga Intervensi


NIC dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta: EGC.

lviii
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmaanirrohiim.
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah semesta alam yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini tepat pada waktunya. Tak lupa sholawat serta salam semoga senantiasa
tercurahlimpahkan kepada junjungan besar Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam, kepada keluarganya, para sahabat, tabi’it dan tabi’im serta dapat sampai
kepada kita selaku umatnya hingga akhir zaman nanti.
Makalah ini berisikan mengenai pemaparan tentang “Kardiomiopati” makalah ini
di susun untuk tujuan memberikan pengatahuan tentang Kardiomiopati kepada
pembaca. Pepatah lama mengatakan bahwa tak ada gading yang tak retak, begitu
pula dengan makalah yang telah disusun ini tentunya masih menyimpan kesalahan
dan kekurangan di sana-sini dikarenakan kurang luasnya referensi atau bahkan
kurang jelinya penulis untuk menangkap isu-isu detil dari sebuah fenomena yang
muncul. Karenanya, kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan bagi
perbaikan penyusunan makalah-makalah selanjutnya.

Penyusun

lix
DAFTAR ISI

Kata pengantar ...................................................................................................... 1

Daftar Isi................................................................................................................ 2

Bab I Pendahuluan

A. Latar belakang .................................................................................................. 3

B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 4

C. Tujuan ............................................................................................................... 4

Bab II Pembahasan

A. Pengertian Kardiomiopati ................................................................................ 5

B. Macam-Macam Kardiomiopati ....................................................................... 5

1. Kardiomiopati Hipertropi ............................................................................. 7

2. Kardiomiopati Restriktif .............................................................................. 20

3. Kardiomiopati Dilatasi ................................................................................. 24

Bab III Penutup

A. Kesimpulan ...................................................................................................... 31

Bab IV Asuhan Keperawatan Kardiomiopati

A.Pengkajian ......................................................................................................... 33

B.Diagnosa ............................................................................................................ 36

C. Perencanaan ...................................................................................................... 37

D.Implementasi ..................................................................................................... 51

E. Evaluasi............................................................................................................. 51

Daftar Pustaka ....................................................................................................... 52

lx
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kehidupan manusia tak lepas dari yang namanya kesehatan , kesehatan hanya
dapat terjadi jika seluruh komponen mulai dari sel sampai dengan individu berjalan
sesuai anatomi dan fisiologinya, organ yang bekerja paling penting dalam tubuh
adalah otak dan kemudian jantung kenapa demikian, karena fungsi dari otak adalah
mengorganisir semua kegiatan yang ada dalam tubuh sementara jantung memberi
makan organ seluruh tubuh karena fungsinya sebagai pemompa darah ke seluruh
tubuh.
Dalam pembahasan kali ini kita akan mengupas kerdiomiopati dimana itu
adalah salah satu kelainan jantung. Jantung (bahasa Latin, cor) adalah sebuah
rongga, rongga organ berotot yang memompa darah lewat pembuluh darah oleh
kontraksi berirama yang berulang. Istilah kardiak berarti berhubungan dengan
jantung, dari kata Yunani cardia untuk jantung. Jantung adalah salah satu organ
manusia yang berperan dalam sistem peredaran darah. Ukuran jantung manusia
kurang lebih sebesar kepalan tangan. Jantung adalah satu otot tunggal yang terdiri
dari lapisan endothelium. Jantung terletak di dalam rongga torakik, di balik tulang
dada. Struktur jantung berbelok ke bawah dan sedikit ke arah kiri.
Jantung hampir sepenuhnya diselubungi oleh paru-paru, namun tertutup oleh
selaput ganda yang bernama perikardium, yang tertempel pada diafragma. Lapisan
pertama menempel sangat erat kepada jantung, sedangkan lapisan luarnya lebih
longgar dan berair, untuk menghindari gesekan antar organ dalam tubuh yang
terjadi karena gerakan memompa konstan jantung.
Jantung dijaga di tempatnya oleh pembuluh-pembuluh darah yang meliputi
daerah jantung yang merata/datar, seperti di dasar dan di samping. Dua garis
pembelah (terbentuk dari otot) pada lapisan luar jantung menunjukkan di mana
dinding pemisah di antara serambi & bilik jantung. Sementara Kelainan fungsi otot
jantung dengan penyebab yang tidak diketahui dan bukan diakibatkan oleh penyakit
arteri koroner, kelainan jantung bawaan (congenital), hipertensi atau penyakit
katup. Kardiomiopati yang secara harfiah berarti penyakit miokardium, atau otot

lxi
jantung, ditandai dengan hilangnya kemampuan jantung untuk memompa darah dan
berdenyut secara normal

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kardiomiopati ?
2. Apa macam-macam kardiomiopati ?
3. Bagaimana etiologi dari kardiomiopati ?
4. Bagaimana manifestasi klinis dari kardiomiopati ?
5. Bagaimana pemeriksaan penunjang dari kardiomiopati ?
6. Bagaimana cara pengobatan dari kardiomiopati ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian kardiomiopati
2. Untuk mengetahui macam-macam kardiomiopati
3. Untuk mengetahui etiologi kardiomiopati
4. Untuk mengetahui manifestasi klinis kardiomiopati
5. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang kardiomiopati
6. Untuk mengetahui cara pezngobatan kardiomiopati

lxii
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kardiomiopati
Kelainan fungsi otot jantung dengan penyebab yang tidak diketahui dan
bukan diakibatkan oleh penyakit arteri koroner, kelainan jantung bawaan
(congenital), hipertensi atau penyakit katup. Kardiomiopati yang secara harfiah
berarti penyakit miokardium, atau otot jantung, ditandai dengan hilangnya
kemampuan jantung untuk memompa darah dan berdenyut secara normal.
Kondisi semacam ini cenderung mulai dengan gejala ringan, selanjutnya
memburuk dengan cepat. Pada keadaan ini terjadi kerusakan atau gangguan
miokardium, sehingga jantung tidak mampu berkontraksi secara normal.
Sebagai kompensasi, otot jantung menebal atau hipertrofi dan rongga jantung
membesar. Bersama dengan proses pembesaran ini, jaringan ikat berproliferasi
dan menginfiltrasi otot jantung. Miosit jantung (kardiomiosit) mengalami
kerusakan dan kematian, akibatnya dapat terjadi gagal jantung, aritmia dan
kematian mendadak. Oleh karena itu kardiomiopati dianggap sebagai penyebab
utama morbiditas dan mortilitas kardiovaskular.
Kebanyakan kardiomiopati terjadi sebagai akibat komplikasi
penyakit arteri koroner yang menyebabkan tersumbatnya aliran darah ke otot
jantung. Kelainan ini mengenai 1 dari 100 orang pasien, biasanya laki-laki di
atas umur 65 th. Pada pasien yang lebih tua biasanya lebih banyak terjadi pada
perempuan. Sementara itu, kardiomiopati bukan sebagai akibat penyakit arteri
koroner cukup jarang dan total diderita oleh 50.000 pasien di USA. Tetapi
kelainan ini sering dijumpai pada orang muda dan merupakan alasan utama
untuk transplantasi jantung. Kebanyakan kelainan ini disebabkan faktor genetis
dan cenderung dijumpai dalam keluarga.

B. Macam-macam Kardiomiopati
Pembagian kardiomiopati bermacam-macam, berdasarkan pada
etiologi, patologi, genetika, klinik, biokimia, fungsi hemodinamik dan
sebagainya, tetapi tidak ada satu pun yang memuaskan karena banyak tumpang

lxiii
tindih. Pembagian kardio-miopati yang banyak dianut saat ini adalah menurut
Goodwin yang berdasarkan kelainan struktur dan fungsi (patofisiologi), (i)
hypertrophic cardiomyopathy (HCM), (ii) dilated cardiomyopathy (DCM), (iii)
restrictive cardiomyopathy.

tabel 1. perbandingan kardiomiopati

Hipertropi Restriktif Dilatasi

Ejection Fraction
>60% 25%–50% <30%
(normal >55%)

Left Ventricular
Diastolic Seringkali
<60 mm ≥60 mm
Dimension menurun
(normal <55mm)

Left Ventricular Meningkat


Normal atau meningkat menurun
Wall Thickness secara nyata

Atrial Size meningkat Meningkat, dapat masif meningkat

Pada dekompensasi
mitral regurgitasi,
Valvular Regurgitasi Regurgitasi mitral dan
tahap lanjut terjadi
Regurgitation mitral trikuspid
regurgitasi
trikuspid

Exertional
Common First intolerance; Exertional
Exertional intolerance
Symptoms may have chest intolerance
pain

Kongesti kiri
Congestive Dyspnea saat Gejala kongesti kanan
sebelum kanan,
Symptoms aktifitas fisik seringkali melebihi kiri
kecuali pada usia

lxiv
Hipertropi Restriktif Dilatasi

muda lebih sering


kongesti kanan

Takiaritmia
Aritmia ventrikel sangat
ventrikel, blok
jarang kecuali
konduksi pada
Takiaritmia sarkoidosis, blok
Risk for penyakit chagas,
ventrikel dan konduksi pada
Arrhythmia giant cell
atrial fibrilasi sarkoidosis dan
myocarditis, dan
amiloidosis, atrium
familial, atrium
fibrilasi
fibrilasi
* Gejala kongesti pulmoner kiri : dyspnea saat aktifitas fisik, orthopnea, paroxysmal nocturnal
dyspnea. Gejala kongesti vena sistemik kanan : distensi abdomen dan hepar, edema perifer.
Source : Ferri FF. 2007. Practical Guide to the Care of the Medical Patient 7th ed. Mosby, An
Imprint of Elsevier. Philadelphia.

1. Kardiomiopati Hipertropi
Kardiomiopati hipertropi (KH) dikenal juga sebagai idiopathic
hypertrophic subaortic stenosis atau asymmetric septal hypertrophy
didefinisikan sebagai hipertropi dari miokardium dan penipisan septum
interventrikular dibandingkan dengan dinding bebas dari ventrikel kiri
(asimetris septal hipertropi) dengan ukuran ruangan ventrikel kiri yang
normal atau sedikit mengecil tanpa adanya hipertensi maupun stenosis
aorta.
Kardiomiopati hipertrofik memiliki lebih dari 75 nama lain seperti
Teare`s disease, Brock`s disease, asymmetrical hypertrophic
cardiomyopathy, hypertrophic obstructive cardio-miopathy, idiopathic
hypertrophic cardiomyopathy, idiopathic hypertrophic subaortic stenosis,
familial myocardial disease, namun demikian yang dipakai WHO adalah
hypertrophic cardiomyopathy.
Kardiomiopati hipertrofik didapatkan di seluruh dunia, kejadian
kurang lebih sama antara pria dan wanita, tetapi berbeda pada etnis atau ras

lxv
tertentu (banyak pada orang Jepang), paling banyak pada orang muda usia
20-30 tahun, namun bervariasi dari 6 bulan sampai lebih 60 tahun. Pada
populasi umum diperkirakan prevalensinya 1 : 500. Terdapat dua fitur utama
dari KH yaitu (1) hipertropi ventrikel kiri yang asimetris, seringkali terdapat
pada septum interventrikular, (2) tekanan aliran ventrikel kiri yang dinamis,
yang berhubungan dengan menyempitnya area subaorta sebagai
konsekuensi dari midsistolik apposition dari katup mitral anterior melawan
septum yang hipertropi. Contohnya systolic anterior motion (SAM) dari
katup mitral. Patofisiologis abnormalitasnya tidak pada sistolik namun pada
fungsi diastolik, dengan karakteristik meningkatnya kekakuan pada otot
jantung yang mengalami hipertropi. Hal ini mengakibatkan meningkatnya
tekanan pengisian diastolik. Pola hipertropi dari KH berbeda dengan yang
terlihat pada hipertropi sekunder (misalnya hipertensi). Kebanyakan pasien
mempunyai variasi pada ketebalan septum ventrikel yang tidak proporsional
ketika dibandingkan dengan dinding yang bebas. Pasien lainnya mungkin
memperlihatkan disproporsi dari apex atau dinding bebas ventrikel kiri, dan
hanya 10% pasien yang memiliki keterlibatan konsentris dari ventrikel.
Pada beberapa anak, kompresi sistolik segmen intramiokardial dari arteri
koroner dapat mengakibatkan iskemia dan kematian.

a. Etiologi
Penyebab KH tidak diketahui, diduga disebabkan oleh kelainan
faktor genetik, familial, rangsangan katekolamin, kelainan pembuluh darah
koroner kecil, kelainan yang menyebabkan iskemi miokard, kelainan
konduksi atrioventrikuler dan kelainan kolagen. Kardiomiopati hipertropi
mempunyai dua bentuk berdasarkan onset dan pertimbangan genetik, yaitu:
1. Bentuk familial, biasanya di diagnosa pada pasien yang berusia muda
dan gen-nya terpetakan pada kromosom 14q. sebuah kondisi
autosomal dominan yang disebabkan mutasi salah satu dari 10 gen
yang memiliki encoding protein dari sarkomer jantung.
2. Bentuk sporadik, biasanya muncul pada pasien yang berusia dewasa.

lxvi
b. Genetik
Kemajuan bidang biomolekuler mengungkapkan adanya mutasi gen
yang mengatur protein sarkomer jantung, setengah dari pasien KH
mempunyai riwayat keluarga positif dengan transmisi autosomal dominan.
Lebih dari 150 mutasi telah diketahui dari 10 lokasi yang berbeda yang
mengkode protein sarkomer. Sekitar 40% dari mutasi ini berhubungan
dengan gen B dari heavy chain cardiac myosin yang berada pada kromosom
14q11, 1q3, 15q2 dan 11p13-q13, dimana mesenger RNA dapat dikenali
dari limfosit perifer dari PCR, sehingga kelainan ini dapat dideteksi sebelum
adanya kelainan klinis yang nyata. Sekitar 15% mempunyai mutasi dari gen
troponin T cardiac (kromosom 11), 10 % mutasi pada myosin binding
protein C, 5% mutasi pada gen alfa tropomyosin. Penelitian dengan
menggunakan echokardiografi memperlihatkan bahwa sekitar sepertiga dari
keluarga terdekat dengan KH familial mempunyai kelainan ini, meskipun
banyak dari pasien ini mempunyai derajat hipertropi ringan, tidak ada
obstruksi aliran keluar, dan gejalanya tidak nyata. karakteristik KH
seringkali pertama kali muncul pada usia remaja dan mungkin tidak terlihat
pada saat anak anak, sebuah gambaran echocardiogram yang normal pada
seorang anak tidak dapat mengeksklusikan KH. Namun jika terdapat KH
pada bayi dan anak-anak harus dipertimbangkan kemungkinan bentuk
sekunder (berhubungan dengan penyakit sistemik). Banyak kasus sporadik
dari KH memperlihatkan adanya mutasi secara spontan.
c. Hemodinamik
Pada penyakit ini didapati hipertropi ventrikel yang masif terutama
pada septum ventrikel yang mengakibatkan pada waktu sistole septum
menonjol ke aliran keluar ventrikel kiri dan menyebabkan obstruksi.
Adakalanya ventrikel kanan dapat terkena. Beberapa tingkatan fibrosis
miokard dapat dijumpai. Katup mitral bergeser ke anterior karena hipertropi
muskulus papilaris dan ruang ventikel kiri diisi oleh hipertropi yang masif.
Kelainan hemodinamik yang terjadi akibat hipertropi, fibrosis, dan
kekakuan otot jantung berupa menurunnya distensibilitas jantung, sehingga

lxvii
terjadi resistensi dalam pengisian ventrikel kiri, tetapi fungsi pompa
diastolik tetap normal sampai akhir penyakit.
Obstruksi aliran ventrikel kiri dapat berkembang karena kelainan
letak daun anterior katup mitral yang berhadapan dengan septum yang
hipertropi dan peak systolik pressure gradient pada aliran keluar ventrikel
kiri bervariasi. Berbeda dengan obstruksi yang disebabkan oleh orifisium
yang menyempit secara permanen, seperti pada stenosis aorta, pada KH,
obstruksi jalur keluar ventrikel kiri merupakan hal yang dinamis dan dapat
berubah diantara pemeriksaan. Obstruksi muncul dari hasil penyempitan
aliran ventrikel kiri yang telah kecil sebelumnya oleh SAM dari katup mitral
terhadap septum yang hipertropi dan kontak midsistolik dengan septum
ventrikel. SAM seringkali ditemukan secara tidak sengaja pada berbagai
variasi kondisi disamping KH. Tiga mekanisme dasar yang terlibat dalam
produksi dan intensifikasi dari dynamic pressure gradient: (1)
meningkatnya kontraktilitas ventrikel kiri; (2) menurunnya volume
ventrikel (preload), dan (3) menurunnya tekanan dan impedansi dari aorta
(afterload). Intervensi yang meningkatkan kontraktilitas miokardium,
seperti aktifitas fisik, simpatomimetik amin dan digitalis. Dan yang
menurunkan volume ventrikel seperti manuver valsava, berdiri tiba tiba,
nitrogliserin, amil nitrit, atau takikardi, semuanya akan meningkatkan
gradient dan murmur. Berkebalikannya, peningkatan tekanan arterial oleh
phenilephrine, squat, leg raising pasif, dan ekspansi dari volume darah
semuanya akan meningkatkan volume ventrikel dan menrunkan gradient
and murmur. Delapan puluh persen pasien dengan KH mengalami gangguan
diastolik yaitu kelainan dalam relaksasi dan pengisian ventrikel. Sebaliknya
fungsi sistolik normal sampai super-normal. Kebanyakan pasien memiliki
fraksi ejeksi supernormal (75-80%). Iskemi miokard pada KH disebabkan
oleh peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang melebihi kemampuan
sistem koroner, berkurangnya aliran darah koroner karena penyempitan
lumen arteria koronaria intramural, relaksasi diastolik memanjang sehingga
tegangan dinding jantung meningkat. Hasegawa dkk. mendapatkan bahwa
brain natriuretic peptide (BNP), suatu hormon jantung, bersama dengan

lxviii
atrial natriuretic peptide (ANP) banyak didapatkan pada miosit ventrikel
pada pasien KH dengan gagal jantung kongestif. Pada gagal jantung
kongestif yang bukan disebabkan KH, ANP dan BNP memiliki efek
menguntungkan. Tetapi pada KH, kadar ANP dan BNP yang tinggi
menyebabkan penurunan preload dan afterload sehingga mengeksaserbasi
obstruksi.
d. Manifestasi klinis
Manifestasi dari KH sangat bervariasi, banyak pasien asimptomatik
atau simptomatik ringan dan pertama kali dievaluasi karena bising jantung.
Tetapi sayangnya manifestasi pertama kali dari penyakit dapat berupa
kematian mendadak, seringkali muncul pada anak-anak dan remaja 15-35
tahun yang asimptomatik, pada saat istirahat atau melakukan aktivitas
ringan, sepertiganya selama atau sesudah aktivitas berat. Faktor risiko
kematian mendadak adalah usia muda, penebalan dinding ventrikel kiri
yang hebat, riwayat keluarga positif dan takikardi ventrikel non-sustained
pada rekaman EKG 24 jam. Penyebab kematian mendadak meliputi
takiaritmi ventrikel, bradiaritmi, takikardi supraventrikel, iskemi miokard,
peningkatan obstruksi jalur keluar ventrikel kiri mendadak, disfungsi
diastolik, hipotensi yang diinduksi oleh latihan, aktivasi barorefleks
ventrikel dengan hipotensi.
Pada pasien yang memiliki gejala, keluhan utama yang paling sering
yaitu rasa sesak nafas, dikarenakan meningkatnya kekakuan dari dinding
ventrikel kiri, yang mengganggu pengisian ventrikel dan mengakibatkan
meningkatnya tekanan diastolik ventrikel kiri dan atrium kiri, gejala lainnya
termasuk nyeri dada tidak khas angina yang terjadi saat beristirahat dan
berakhir beberapa jam tanpa kenaikan enzim jantung, palpitasi, kelelahan,
gangguan kesadaran, pusing, pingsan atau hampir pingsan.
Gejala yang ada tidak berhubungan dengan adanya atau beratnya
derajat obstruksi aliran keluar ventrikel. Kebanyakan pasien dengan
obstruksi aliran keluar ventrikel memperlihatkan dua atau tiga impuls
precordial, denyut arteri karotis yang meningkat cepat karena adanya early
systolic ejection darah dari ventrikel dan suara jantung keempat.

lxix
Pemeriksaan fisik didapatkan impuls karotid bisferiens (peningkatan cepat
diikuti drop midsistolik) secara bergantian, diikuti oleh gelombang lebih
lambat. Jantung sedikit membesar. Pada impuls apikal didapatkan systolic
thrust yang keras, dan teraba S4 (sistolik atrial yang keras/systolic thrill)
pada 40% pasien. Bisa didapatkan hepatomegali yang kebanyakan pada
bayi dibandingkan anak yang lebih besar. Tanda utama dari KH obstruktif
adalah adanya murmur sistolik, yang bersifat kasar, berbentuk intan/berlian,
dan biasanya muncul setelah suara jantung pertama, karena ejeksi awal tidak
terhalangi pada awal sistol.
Murmur terdengar paling baik pada batas sternal kiri bawah dan
juga pada apex, dimana seringkali berkualitas holosistolik dan meniup, hal
ini dikarenakan mitral regurgitasi yang biasanya terdapat pada KH
obstruktif.

Gambar 1. Kardiomiopati hipertropik


e. Pemeriksaan Penunjang
Elektrokardiogram seringkali menunjukkan adanya hipertropi
ventrikel kiri dengan atau tanpa depresi segmen ST dan inversi gelombang
T, gelombang Q yang lebar dan dalam seperti terlihat pada miokard infark
yang lama. Kebanyakan pasien memperlihatkan adanya aritmia, baik atrium
(supraventrikuler takikardia atau atrial fibrilasi) maupun ventrikel (ventrikel
takikardi), selama ambulatory (Holter) monitoring. Namun pada 25%
penderita tanpa obstruksi aliran keluar ventrikel kiri, gambaran
elektrokardiografi dapat normal.
Gambaran roentgen thorax dapat normal, meskipun mungkin
terdapat peningkatan ringan sampai sedang dari bayangan jantung,

lxx
umumnya menggambarkan pembesaran atrium. Dasar diagnosa dari KH
adalah dengan menggunakan echocardiogram karena dapat
menggambarkan ketebalan ukuran ventrikel dan fungsi sistolik, yang
memperlihatkan hipertropi ventrikel kiri yang asimetris terutama mengenai

septum interventrikel, seringkali dengan septum 1,3 atau lebih dari


ketebalan dinding bebas ventrikel kiri bagian posterior. Septum dapat
memperlihatkan gambaran yang tidak lazim berupa “ground-glass”
appearance, yang mungkin berhubungan dengan struktur selular yang
abnormal dan fibrosis miokard. SAM dari katup mitral ditemukan pada
seseorang dengan obstruksi aliran keluar dan penutupan katup aorta yang
dini. Pada KH, cavitas ventrikel kiri biasanya berukuran kecil, dengan
gerakan dinding posterior yang vigorous tetapi menurunnya septal
excursion. Bentuk yang jarang dari KH, mempunyai karakteristik hipertropi
apikal, yang biasanya berhubungan dengan gelombang negatif T raksasa
pada elektrokardiogram (EKG) dan mempunyai gambaran cavitas ventrikel
kiri yang berbentuk “spade shaped” pada angiography; dan biasanya
mempunyai onset klinis yang jinak. Radionuclide scintigraphy dengan
thallium 201 seringkali menemukan bukti adanya defek perfusi miokard
meskipun pada pasien yang asimptomatik. meskipun kateter jantung tidak
diperlukan dalam mendiagnosa KH namun dapat ditemukan perbedaan
tekanan sistolik pada obstruksi aliran keluar ventrikel kiri bila terdapat
obstruksi.

Gambar 2. Panel A menunjukkan frame selama diastolik. Dapat terlihat meningkatnya


ketebalan septum, panel B menunjukkan frame selama sistolik. Systolic anterior motion

lxxi
dari katup mitral menyebabkan obstruksi dari ventrikel kiri . (Ao: aorta; PW: posterior
wall)
Sourced: Nishimura RA, Holmes DR. Hypertrophic Obstructive Cardiomyopathy. N Engl
M Med. 2004; 350:1320-7
f. Penatalaksanaan
Penatalaksanan ditujukan untuk memperbaiki kualitas hidup dengan
cara mengurangi keluhan dan komplikasi, membatasi gejala dan
memperlambat progresifitas penyakit dan mencegah kematian mendadak.
Terapi terhadap kardiomiopati hipertropi adalah dengan secara langsung
menghalangi efek dari katekolamin yang dapat mengakibatkan eksaserbasi
obstruksi dari aliran ventrikel kiri dan menghindari berbagai agen yang
dapat memperburuk obstruksi (contohnya vasodilator atau diuretik).
1. Karena kematian mendadak seringkali muncul selama atau setelah
melakukan aktifitas fisik, maka olahraga yang bersifat kompetitif
harus dihindari.
2. Disopyramide telah digunakan untuk menurunkan kontraktilitas
ventrikel kiri, obstruksi aliran keluar, aritmi ventrikel dan aritmia
supraventrikel. di samping itu juga memiliki efek inotropik negatif
sehingga mengurangi gradien subaortik, diberikan dengan dosis 3 x
100-300 mg/hari. Namun demikian disopyramide dapat
memperpendek waktu konduksi nodus atrioventrikuler sehingga
meningkatkan kecepatan ventrikel selama fibrilasi atrial paroksismal.
3. β-blockers bermanfaat untuk mengurangi denyut jantung, mengurangi
angina dengan penurunan kebutuhan oksigen miokard dan
menurunkan obstruksi aliran keluar ventrikel selama latihan fisik,
ketika reflek simpatetik meningkat, memperbaiki pengisian diastolik
ventrikel kiri dengan memperpanjang waktu diastolik dan
meningkatkan pengisian pasif ventrikel, efek antiaritmi, mengurangi
beban ventrikel kiri. Obat pilihan adalah propanolol dengan dosis 160-
320 mg/hari, kadang-kadang diperlukan dosis lebih tinggi (640
mg/hari). Alternatif lain metoprolol dan atenolol. Namun, β-blockers
tidak terlihat dapat melindungi dari kejadian kematian mendadak.

lxxii
4. Amiodaron efektif untuk mengatasi takiaritmi ventrikel dan
menurunkan frekuensi dari aritmia supraventrikel. Diduga mekanisme
kerjanya adalah melalui efek bradikardi, memperbaiki fungsi diastolik
dan efek inotropik negatif. Amiodaron hanya digunakan pada pasien
KH yang tidak membaik dengan penyekat beta dan penghambat
saluran kalsium, karena berpotensi memperburuk hemodinamik atau
keadaan klinis pada sebagian pasien. Dosis 600 mg/hari selama 5 hari
lalu 400 mg/hari dalam dosis terbagi dalam 5 hari berikutnya. Untuk
pencegahan kematian mendadak digunakan dosis 100-300 mg/hari.
5. Calcium chanel bloker digunakan pada KH karena bersifat inotropik
negatif dan kronotropik negatif serta memperbaiki komplians
diastolik (relaksasi dan pengisian ventrikel), mengurangi iskemia
miokard, menurunkan tekanan diastolik yang meningkat,
meningkatkan toleransi aktifitas fisik dan pada beberapa keadaan
dapat menurunkan derajat keparahan dari obstruksi aliran keluar.
Golongan penghambat saluran kalsium yang dipakai adalah verapamil
3 x 80 mg sampai 3 x 240 mg per hari. Verapamil dikatakan
memperbaiki keluhan angina lebih baik daripada penyekat beta, selain
itu bersifat antiaritmi dan mungkin memperbaiki kelainan
metabolisme kalsium yang diduga sebagai penyebab KH. Sebagai
altenatif dapat dipakai diltiazem, sedangkan penggunaan nifedipin
masih kontroversial.
6. Larutan salin intravena juga dapat diberikan sebagai tambahan
terhadap propanolol atau verapamil pada pasien dengan gagal jantung
kronik (CHF).
7. Pada beberapa pasien dilakukan penggantian katup mitral. Ini
dilakukan pada keadaan rerurgitasi mitral berat karena prolaps katup
mitral, obstruksi mid-cavity karena insersi abnormal muskulus
papilaris pada daun katup mitral anterior.
8. Terapi pembedahan (myotomy-myectomy) juga diindikasi pada
pasien dengan gejala yang hebat yang tidak dapat diatasi dengan terapi
medis dan obstruksi aliran keluar ventrikel kiri sedikitnya (≥ 50 mm

lxxiii
Hg) saat sistol dengan hipertrofi septum yang hebat.6 Pembedahan
dapat meredakan keluhan pada ¾ pasien. Tetapi resiko kematian
mendadak karena aritmia tidak berubah dengan pembedahan.
Tindakan pembedahan untuk KH pertama kali dilakukan tahun 1958.
Saat ini prosedur yang paling banyak dipakai adalah myotomy-
myectomy septum ventrikel; suatu bagian basal septum (sekitar 2-5
gram) direseksi lewat suatu aortotomi atau miotomi septum yaitu
suatu insisi dibuat pada area anatomi yang sama tetapi jaringan tidak
dikeluarkan. Tujuan intervensi bedah adalah menghilangkan obstruksi
aliran keluar ventrikel kiri dan menurunkan tekanan sistolik ventrikel
kiri.
9. Implant defibrillator sangat aman dan efektif untuk digunakan pada
pasien yang mempunyai kemungkinan terjadinya aritmia ventrikel.
Penggunakannya sangat direkomendasikan pada pasien dengan
riwayat henti jantung atau ventrikel takikardi spontan yang menetap.
Pacu jantung dual-chamber yang permanen dengan interval PR yang
pendek telah dilaporkan dapat memperbaiki gejala dan menurunkan
obstruksi aliran keluar pada beberapa pasien dengan gejala berat,
kemungkinan dengan merubah pola dari depolarisasi ventrikel dan
kontraksi, perbaikan gejala biasanya terlihat setelah 6-12 minggu,
tetapi perubahan selanjutnya terlihat sampai satu tahun berikutnya,
namun pada pengukuran objektif pacu jantung tersebut tidak
memperlihatkan perbaikan yang signifikan dari kapasitas latihan fisik.
10. Antibiotik profilaksis untuk bakterial endokarditis pada prosedur
pembedahan.
11. Hindari penggunaan digitalis, diuretik, nitrat, vasodilator dan
adrenergic agonists. Obat-obat dengan efek inotropik positif seperti
digoksin, epinefrin, dobutamin dan amrinon harus dihindari.
Pemakaian diuretik pada KH masih kontroversial karena efek
penurunan preload dapat mengeksaserbasi obstruksi aliran keluar,
namun demikian diuretik dikombinasi dengan penyekat beta atau

lxxiv
verapamil dapat mengurangi kongesti paru pada gagal jantung
kongestif sehingga memperbaiki keluhan sesak.
12. Hindari penggunaan alkohol; meskipun dalam jumlah yang sedikit,
karena dapat mengakibatkan meningkatnya obstruksi aliran keluar
ventrikel kiri.
g. Screening
1. Diindikasikan two-dimensional echocardiography dan
lectrocardiography untuk screening keluarga terdekat pasien dengan
KH. Screening secara berkala direkomendasikan untuk semua anak usia
12 – 18 tahun. Screening berkala pada semua keluarga terdekat dengan
interval 5 tahun direkomendasikan, karena hipertropi mungkin tidak
akan terdeteksi sampai dekade ke enam.
2. Tehnik screening dimasa yang akan datang mungkin akan melibatkan
identifikasi dari mutasi pada gen yang membawa kode protein
sarkomer. Subtype sarkomer yang paling sering terkena adalah
MYBPC3-HCM, yang melibatkan satu dari lima pasien. Prediksi secara
klinis dari genotype yang positif adalah adanya kebutuhan pemasangan
implant defibrillator, terdiagnosa pada usia muda, derajat hipertropi
ventrikel kiri yang besar, riwayat keluarga dengan kardiomiopati
hipertropi, mungkin dapat membantu untuk seleksi pasien yang akan
menjalani tes genetic.
h. Prognosis
Prognosa tergantung usia, umumnya bayi mempunyai prognosa
lebih buruk dibandingkan dewasa. Pada penelitian terakhir angka mortalitas
KH 1% per tahun, sama dengan populasi normal pasien dewasa. Prognosis
sebagian besar ditentukan oleh kecenderungan terjadinya kematian
mendadak (50-70% dari seluruh kematian), yang mungkin dapat muncul
pada pasien asimptomatik atau menginterupsi pasien simptomatik yang
stabil. Kematian mendadak banyak terjadi pada usia <30 tahun. Pasien yang
memiliki risiko tinggi kematian mendadak adalah mereka dengan episode
ventrikel takikardi pada monitoring berkelanjutan atau pada tes
elektrofisiologi, riwayat resusitasi dari henti jantung, hipertropi ventrikel

lxxv
yang hebat, ketebalan ventrikel septal 30 mm, riwayat sinkop (terutama
pada anak anak), mutasi genetik, tekanan darah yang abnormal pada respon
terhadap aktifitas fisik, dan riwayat keluarga dengan kematian mendadak.
pada bayi yang asimptomatik dengan gejala gagal jantung dan sianosis,
tingkat mortalitas sebesar 85% dalam 5 tahun pertama. Tidak ada hubungan
antara resiko kematian mendadak dan beratnya gejala yang ada, tetapi
terdapat peningkatan resiko untuk meninggal pada pasien dengan obstruksi
aliran keluar.

Gambar 3. Echocardiogram KH. Jantung normal di sebelah kiri dan KH di


sebelah kanan. Dapat terlihat meingkatnya ketebalan dinding
ventrikel kiri
Penyebab kematian lain adalah gagal jantung kongestif, emboli
sistemik, endokarditis infektif, infark miokard masif. Infektif endokarditis
dapat muncul pada 10% pasien, tetapi profilaksis endokarditis diindikasikan
terutama pada pasien dengan obstruksi aliran keluar pada saat istirahat dan
regurgitasi mitral. Progresi KH menuju disfungsi dan dilatasi ventrikel kiri
dengan penyempitan dinding tanpa obstruksi aliran keluar muncul pada 5
sampai 10% pasien. Sebagian pasien keadaannya stabil atau malah membaik
dalam jangka waktu 10 tahun. Pasien yang dapat bertahan sampai usia lanjut
(>50 tahun) sering mengalami penipisan dinding ventrikel yang hipertrofi
(karena nekrosis miokard) sehingga terjadi dilatasi dan disfungsi ventrikel
kiri tanpa obstruksi aliran keluar (5-10%). Pasien dengan mutasi gen Arg
403 Gln sering mengalami pengurangan masa hidup yang mencolok. Pasien

lxxvi
KH dengan mutasi gen ini , dapat melewati usia 45 tahun tidak lebih dari
50%.

Gambar 4. Surgical septal myectomy. Sebelum operasi, terdapat hipertropi berat


dari septum, dengan systolic anterior motion dari katup mitral (panel
A). Hal ini mengakibatkan obstruksi aliran keluar ventrikel kiri dan
regurgitasi mitral. Selama pembedahan (panel B), bagian dari septum
basal yang mengarah pada jelur aliran keluar dipotong dengan skalpel,
yang mengakibatkan menghilangnya dari obstruksi aliran keluar dan
regurgitasi mitral.
Sourced: Nishimura RA, Holmes DR. Hypertrophic Obstructive Cardiomyopathy.
N Engl M Med. 2004; 350:1320-7

2. Kardiomiopati Restriktif
Karakteristik utama dari kardiomiopati restriktif (KR) adalah fungsi
yang abnormal dari diastolik, yang disebabkan kekakuan dinding ventrikel
dan hambatan pengisian ventrikel sehingga menurunnya volume diastolik,

lxxvii
namun ketebalan miokardium ventrikel kiri normal dan fungsi diastolik
juga normal, biasanya sekunder dikarenakan infilrasi dari miokardium.
a. Etiologi
Etiologi dari KR terbagi menjadi 2 kelompok, pertama yaitu
idiopatik, kebanyakan pasien yang diklasifikasikan menjadi KR
mempunyai mutasi pada gen untuk troponin I, dan KR biasanya
saling tumpang tindih dengan KH pada kasus familial. Bentuk yang
kedua yaitu sekunder karena penyakit penyakit seperti:
1. Infiltratif dan storage disorders
a. Amyloidosis, merupakan penyakit sistemik tersering yang
menyebabkan KR.
b. Glycogen storage disease
c. Sarcoidosis
d. Hemochromatosis
2. Scleroderma
3. Radiation
4. Endocardial fibroelastosis
5. Endomyocardial fibrosis
6. Toxic effects of anthracycline
7. Carcinoid heart disease, metastatic cancers
8. Diabetic cardiomyopathy
9. Eosinophilic cardiomyopathy (Löffler’s endocarditis)
b. Hemodinamik
Patofisiologi dari KR adalah menurunnya curah jantung,
meningkatnya tekanan vena jugular dan kongesti pulmoner. Pada
berbagai kondisi dimana terdapat hubungan keterlibatan
endokardium, obliterasi parsial dari ruang ventrikel oleh jaringan
fibrous dan thrombus meningkatkan resistensi pengisian ventrikel.
Komplikasi dikarenakan tromboemboli muncul pada sepertiga
pasien dengan KR. Ventrikel tidak mampu memenuhi kebutuhan
curah jantung (cardiac output) dan meningkatnya tekanan pengisian
ventrikel, mengakibatkan intoleransi aktifitas fisik dan dyspneu,

lxxviii
yang merupakan gejala utamanya. Sebagai akibat dari meningkatnya
tekanan vena yang terus menerus maka pasien dengan KR biasanya
mempunyai edema, asites dan hepar yang membesar. Tekanan vena
jugularis juga meningkat atau meningkat ketika inspirasi
(Kussmaul’s sign). Suara jantung dapat terdengar jauh, dan dapat
terdengar suara jantung ketiga dan keempat.
c. Manifestasi klinis
Gejala klinis dari kardiomiopati restriktif sama dengan
gejala gejala yang ada pada gagal jantung kiri dan kanan, yaitu:
1. Edema, asites, hepatomegali, distensi vena leher.
2. Kelelahan dan kelemahan dikarenakan menurunnya curah
jantung.
3. bisa terdapat Kussmaul’s sign.
4. sering terdapat murmur regurgitasi.
5. impuls apikal yang kuat.
6. sering terdengar suara jantung ketiga pada awal diastolik.
d. Pemeriksaan penunjang
Gambaran ECG sangat bervariasi, dapat memperlihatkan
gelombang T yang prominen, voltage QRS selalu normal, segmen
ST yang depresi dan gelombang T yang inversi, lebih sering
menunjukkan LBBB (left bundle branch blocks) daripada RBBB,
menurunnya voltage dengan perubahan gelombang ST-T (terutama
pada amyloidosis), dan variasi yang luas dari disritmia (terutama
pada penyakit infiltratif), deviasi kekiri, dan atrial fibrilasi. Roentgen
thorax seringkali menunjukkan adanya kongesti vaskuler pulmoner
dan kardiomegali sedang (tanda-tanda gagal jantung).
Echocardiogram merupakan pemeriksaan yang penting untuk
menyingkirkan etiologi dari gejala-gejala yang terdapat pada pasien,
dan untuk menilai derajat pengisian dan tekanan ventrikel, dan dapat
memperlihatkan meningkatnya ketebalan dinding dan menipisnya
katup (terutama pada pasien amyloidosis), pada echocardiogram
dapat terlihat pembesaran kedua atrium sedangkan kedua ventrikel

lxxix
normal dengan fungsi sistolik yang berubah ubah, dimensi end
diastolik ventrikel kiri dan kanan normal, sedangkan fraction
ventrikel kiri biasanya normal atau berkurang. CT dan MRI sangat
membantu dalam membedakan diagnosa diferensial KR yang paling
penting yaitu perikarditis konstriktif (PK) dengan menilai ketebalan
dari pericardium (pada PK ketebalan pericardium ≥ 5 mm).
Kateterisasi jantung merupakan hal yang penting untuk
mengidentifikasikan parameter hemodinamik dan untuk melakukan
biopsi endomiokardial. Jika sangat sulit untuk membedakan antara
KR dan PK maka seringkali dilakukan pembedahan eksplorasi dan
perikardektomi empiris.
Perbedaan antara KR dan PK dari kateterisasi jantung adalah:
1. Perikarditis konstriktif biasanya melibatkan kedua ventrikel dan
menghasilkan plateu dari peningkatan tekanan pengisian ventrikel.
a. PCWP sama antara tekanan atrium kanan dan tekanan akhir
diastolik ventrikel kanan.
b. Tekanan sistolik arteri pulmoner <50 mmHg.
c. Tekanan akhir diastolik ventrikel kanan lebih besar daripada
sepertiga tekanan sistolik ventrikel kanan.
2. kardiomiopati restriktif lebih mengganggu ventrikel kiri daripada
ventrikel kanan.
a. PCWP lebih besar dari tekanan atrium kanan.
b. Tekanan sistolik arteri pulmoner >50 mmHg.
e. Penatalaksanaan
1. Tidak ada terapi yang efektif untuk kardiomiopati restriktif.
Kematian biasanya disebabkan gagal jantung atau aritmia, oleh
karena itu terapi ditujukan untuk mengontrol gagal jantung
dengan pembatasan asupan natrium, pemberian diuretik dan
penanganan aritmia yang potensial letal. Tetapi perhatian harus
diberikan untuk menghindari penurunan preload untuk
menghindari penurunan curah jantung lebih jauh.

lxxx
2. Jika fungsi sistolik normal, maka penggunaan digitalis harus
dihindari karena efeknya berupa proaritmia.
3. Untuk mempertahankan irama sinus lebih diutamakan pemakaian
amiodaron.
4. Pada keadaan hemokromatosis dapat ditangani dengan
deferoxamine dan phlebotomies berulang untuk menurunkan
deposit besi, pada Fabry’s disease dapat diberikan infus galaktosa
untuk menstimulasi enzim yang terdapat defisiensi sehingga
membantu memperbaiki fungsi jantung. terapi kortikosteroid
dapat diberikan pada penyakit sarkoidosis. kortikosteroid dan
obat sitotoksik dapat meningkatkan survival pada pasien dengan
eosinophilic cardiomyopathy.
5. Penggunaan antikoagulan direkomendasikan untuk mengurangi
resiko emboli dari jantung.
6. Penggunaan implan pacu jantung direkomendasikan pada keadaan
dimana terdapat abnormalitas konduksi yang signifikan secara
klinis dan refrakter terhadap medikamentosa.
7. Sebagai langkah terakhir, transplantasi jantung harus
dipertimbangkan pada pasien dengan gejala refrakter pada
kardiomiopati restriktif idiopatik atau familial. Tetapi
prognosisnya buruk pada amyloidosis dan sarcoidosis, karena
penyakit ini mempunyai kecenderungan untuk kembali pada
jantung yang ditransplantasikan.

3. Kardiomiopati Dilatasi
Kardiomiopati dilatasi (KD) mempunyai karakteristik peningkatan
volume sistolik dan diastolik ventrikel kiri yang ditandai dengan
terdilatasinya kedua ventrikel terutama ventrikel yang kiri, jarang yang

lxxxi
kanan, yang berakibat menurunnya kontraktilitas miokardium sehingga
menurunkan curah jantung.
a. Etiologi
1. Idiopatik, merupakan tipe yang paling sering, pada pemeriksaan secara
histologi memperlihatkan hipertropi miosit dan fibrosis interstitial.
2. Familial
a. Heredofamilial neuromuscular disease
b. Ventricular dysplasia merupakan bentuk KD yang unik dengan
karakteristik penggantian progresif dari dinding ventrikel kanan
dengan jaringan adiposa. Sering dihubungkan dengan aritmia
ventrikel, tetapi perjalanan klinisnya bervariasi.
3. Toksik
a. Alcoholism (15 sampai 40% kasus di Negara barat)
b.Cobalt, lead, phosphorus, carbon monoxide, mercury,
doxorubicin, daunorubicin, mercury, antimony, gold, chromium.
c. Cocaine, heroin, organic solvents (“glue sniffer’s heart”)
d. Antiretroviral agents (zidovudine, didanosine, zalcitabine)
e. Phenothiazines
4. Metabolik
a. Collagen vascular disease (SLE, rheumatoid arthritis,
polyarteritis), dermatomyositis
b. Peripartum (trimester ketiga dari kehamilan atau 6 bulan
postpartum)
c. Nutrisi (beri-beri, defisiensi selenium, defisiensi karnitin,
defisiensi tiamin)
d. Acromegaly, osteogenesis imperfecta, myxedema, thyrotoxicosis,
diabetes, Hypocalcemia
e. Hematologi (e.g., sickle cell anemia, hemochromatosis)
f. Penyakit ginjal tahap akhir pada hemodialysis
g. Amyloid
h. Heat stroke
5. Infeksius

lxxxii
a. Postmyocarditis
b. virus (human immunodeficiency virus, coxsackievirus B),
rickettsial, mycobacterial, toxoplasmosis, trichinosis, Chagas’
disease, bacterial.
6. Kondisi sistemik seperti iskemia miokardium, hipertensi dan kelainan
katup jantung.
7. Irradiasi
8. Prolonged tachycardia
9. Takotsubo cardiomyopathy (sekunder karena stress berat atau latihan
fisik yang berlebihan).
b. Genetik
Setidaknya 20% dari pasien dengan bentuk familial dari KD
mempunyai mutasi yang berada pada gen yang mengkode protein
sitoskeletal (seperti distropin dan gen desmin), kontraktil, membran
nuclear (seperti gen lamin A/C), dan protein lainnya. Penyakit ini secara
genetic heterogenous namun paling sering ditransmisikan secara
autosomal dominant, autosomal resesif, mitokondrial (terutama pada
anak anak), dan X-linked inheritance.
c.Hemodinamik
Defek fisiologis yang utama berupa menurunnya kekuatan kontraksi
ventrikel kiri yang mengakibatkan stroke volume berkurang, ejection
fraction yang merendah, dan end systolic dan end dyastolic volume
bertambah. Ventrikel kiri berdilatasi dan tekanan atrium kiri meningkat
menyebabkan hipertensi pulmonal dan gagal jantung kanan.
d. Manifestasi klinis
Pasien dengan kardiomiopati dilatasi (KD) secara umum
mempunyai gejala klinis yang tidak jelas dan tiba-tiba didapati gejala
gagal jantung kongestif. mula-mula terdapat batuk karena kongesti paru,
dyspnea pada kerja ringan, kelemahan dan anoreksia yang memburuk
secara bertahap dalam hitungan bulan sampai tahun. Adakalanya didapati
aritmia (atrium fibrilasi dan aritmia ventrikel) yang mendahului gagal
jantung. Bila keadaan bertambah berat, kulit menjadi dingin dan pucat,

lxxxiii
volume nadi dan tekanan nadi berkurang, takikardia, tekanan vena
jugularis meningkat, hepatomegali dan edema kaki bisa didapati. Bising
pansistolik bisa didapati, karena insufisiensi katup trikuspid dan katup
mitral meskipun sangat jarang. pada limapuluh persen anak dapat
ditemukan demam dalam 3 bulan sejak terdapat gejala gagal jantung, dan
10-20% memiliki gejala neurologis (kejang, keterlambatan
pertumbuhan) dan gastroinestinal muntah, nyeri perut). gejala dapat
ditemukan pada limapuluh persen saat bayi dan 25% pada masa kurang
dari 24 jam. Beberapa pasien memiliki ventrikel kiri yang terdilatasi
beberapa bulan sampai tahun sebelum adanya gejala. Adanya angina
pectoris sangat jarang terjadi, jika ada maka kemungkinan berhubungan
penyakit jantung iskemik. Sinkop karena aritmia, emboli, dan kematian
mendadak dapat terjadi meskipun sangat jarang.

e. Pemeriksaan Penunjang
1. laboratorium
a. Laju endap darah
b. creatinine kinase (penapisan muskular distropi)
c. renal function test
d. liver function test
e. uji fungsi tiroid
f. viral serologi
2. Rontgen thorax

lxxxiv
a. Pembesaran jantung masif
b. Edema interstitial pulmoner
c. Khas pada roentgen siluet jantung membesar, kadang masif dan
jantung berbentuk “botol air” efusi perikardium.
3. ECG
a. Hipertropi ventrikel kiri dengan perubahan gelombang ST-T
djumpai pada 50% penderita bayi.
b. Khas, gelombang T rata atau inversi dengan ST depresi.
c. Sumbu QRS inferior pada 85% penderita.
d. Right bundle branch block (RBBB) or LBBB
e. Perubahan gelombang P yang mengindikasikan abnormalitas
atrium kiri, first-degree AV block
f. Abnormalitas konduksi atrioventrikular (sinus takikardi, atrial
fibrilasi, PVC, kontraksi atrium prematur, ventrikel takikardi,
ventrikel aritmia, supraventrikel disritmia)
4. Echocardiogram, menunjukkan pembesaran ruang jantung pada 50%
penderita dan 25% penderita memiliki EF yang rendah (disfungsi
sistolik) dengan global akinesia. Kriteria diagnostik adalah bila fraksi
ejeksi <0.45, fractional shortening <25%, dan volume akhir diastolik
ventrikel kiri >112%.
5. Doppler, dapat memeriksa dinamika ejeksi ventrikel kiri dan
mempunyai gambaran khas penurunan kecepatan dan percepatan
puncak pada saat istirahat maupun latihan fisik.
6. Kateterisasi jantung: peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri
atau kanan, curah jantung secara umum normal atau menurun tetapi
tidak signifikan pada saat aktifitas fisik. Angiography
memperlihatkan hipokinetik ventrikel kiri difus yang terdilatasi,
seringkali dengan adanya mitral regurgitasi.
7. Biopsi endomiokardial tidak diperlukan pada KD idiopatik atau
familial, namun dapat berguna untuk mencari penyebab yang dapat
diobati (contohnya sarcoidosis, hemochromatosis) dan diagnosa
definitif (contohnya amyloidosis) dari KD, namun biopsi secara

lxxxv
umum mempunyai cakupan diagnostik yang rendah, resiko perforasi
dan kematian sehingga membatasi penggunaannya.
Gambar 6. Echocardiogram KD. Jantung normal di sebelah kiri dan

KD di sebelah kanan. Dapat terlihat meingkatnya ruang ventrikel kiri


dengan dinding yang tipis.
f. Penatalaksanaan
Perbaikan secara spontan atau stabilisasi dapat muncul pada
sekitar seperempat pasien dengan KD. Kematian disebabkan gagal
jantung, takiaritmia ventrikel atau bradyaritmia ventrikel. Pemakaian
antikoagulan harus dipertimbangkan jika terdapat kemungkinan emboli
sistemik. Standar terapi untuk gagal jantung adalah restriksi natrium,
ACE inhibitor, diuretik, dan digitalis menghasilkan perbaikan gejala.
Pada KD sekunder yang disebabkan karena hipertensi atau penyakit
katup, penurunan afterload paling baik dengan menambahkan
hydralazine atau nitrat terhadap standar regimen terapi gagal jantung
kongestif. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kombinasi dari
angiotensin II receptor antagonis dengan ACE inhibitor lebih efektif
dibandingkan pemakaian monoterapi.
Pada pasien dengan gagal jantung kongestif fungsional kelas IV
dan Left Ventrikel Ejection Fraction <35%, penambahan 25 mg
spironolakton terhadap standar regimen gagal jantung kongestif telah
menurunkan tingkat mortalitas sebesar 30%. Beberapa pasien dengan
KD yang pada saat biopsi menunjukkan adanya inflamasi miokardium
harus diterapi dengan obat-obatan imunosupresif. Penggunaan alkohol
harus dihindari karena bersifat toksik bagi jantung, sebagaimana juga

lxxxvi
penggunaan calcium chanel bloker dan NSAID. obat antiaritmia
sebaiknya dihindari untuk menghindari proaritmia, kecuali dibutuhkan
untuk mengatasi pada aritmia yang serius.
Pada satu dari tiga pasien dengan keterlambatan konduksi
intraventrikuler (seperti LBBB atau RBBB), pemasangan pacu jantung
biventrikuler (resynchronization therapy) akan memperbaiki gejala,
menurunkan waktu rawat inap dan menurunkan mortalitas. Pemasangan
implant cardioverter-defibrillator sangat berguna pada pasien dengan
aritmia ventrikuler. Transplantasi jantung harus dipertimbangkan pada
pasien yang refrakter terhadap medikamentosa atau pasien dengan KD
idiopatik.
g. Prognosa
Menurut pengamatan, faktor-faktor yang menjelekkan prognosis
adalah kongesti vaskular paru pada roentgen, indeks jantung kurang dari
3 L/menit/m2, dan sumbu QRS kearah kanan dan superior pada EKG.
Faktor-faktor yang tidak meramalkan hasil yang jelek adalah ditemukan
sejak neonatus dan adanya gagal jantung kongestif, aritmia, atau
hipertrofi ventrikel kiri. Pengamatan ini membuat kesan klinik bahwa
sepertiga meninggal, sepertiga hidup dengan cedera permanen, dan
sepertiga sembuh menjadi benar-benar normal. Angka mortalitas sekitar
30%. Tanda yang jelek dari prognosis adalah regurgitasi mitral, sedang
gejala virus dalam 3 bulan disertai ketahanan hidup yang lebih baik.
Faktor-faktor yang tidak mempunyai arti prognostik adalah rasio jantung
thoraks, tanda EKG hipertropi ventrikel kiri, aritmia ventrikular, dan
kelainan segmen S-T, serta gelombang T, dan penurunan fungsi pada
echocardiogram.

lxxxvii
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Kardiomiopati
Kelainan fungsi otot jantung dengan penyebab yang tidak diketahui
dan bukan diakibatkan oleh penyakit arteri koroner, kelainan jantung
bawaan (congenital), hipertensi atau penyakit katup. Kardiomiopati yang
secara harfiah berarti penyakit miokardium, atau otot jantung, ditandai
dengan hilangnya kemampuan jantung untuk memompa darah dan
berdenyut secara normal. Kondisi semacam ini cenderung mulai dengan
gejala ringan, selanjutnya memburuk dengan cepat. Pada keadaan ini terjadi
kerusakan atau gangguan miokardium, sehingga jantung tidak mampu
berkontraksi secara normal.
Kardiomiopati secara garis besar di kelompokkan menjadi 3 macam:
1) Kardiomiopati Hipertropik: Kardiomiopati hipertropi (KH)
dikenal juga sebagai idiopathic hypertrophic subaortic
stenosis atau asymmetric septal hypertrophy didefinisikan
sebagai hipertropi dari miokardium dan penipisan septum
interventrikular dibandingkan dengan dinding bebas dari
ventrikel kiri (asimetris septal hipertropi) dengan ukuran
ruangan ventrikel kiri yang normal atau sedikit mengecil
tanpa adanya hipertensi maupun stenosis aorta.
2) kardiomiopati Restriktif: Karakteristik utama dari
kardiomiopati restriktif (KR) adalah fungsi yang abnormal
dari diastolik, yang disebabkan kekakuan dinding ventrikel
dan hambatan pengisian ventrikel sehingga menurunnya
volume diastolik, namun ketebalan miokardium ventrikel
kiri normal dan fungsi diastolik juga normal, biasanya
sekunder dikarenakan infilrasi dari miokardium.
3) Kardiomiopato Dilatasi: Kardiomiopati dilatasi (KD)
mempunyai karakteristik peningkatan volume sistolik dan

lxxxviii
diastolik ventrikel kiri yang ditandai dengan terdilatasinya
kedua ventrikel terutama ventrikel yang kiri, jarang yang
kanan, yang berakibat menurunnya kontraktilitas
miokardium sehingga menurunkan curah jantung

BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN KARDIOMIOPATI

A. Pengkajian
a. Pengumpulan Data
1) Data Demografi
Angka kejadian kardiomiopati dilatasi adalah 2 X terjadi pada laki-laki
dan terjadi pada usia pertengahan. (Ignatavicius et al, 1995:919)
2) Riwayat Kesehatan
a) Riwayat Kesehatan Sekarang
Umumnya klien datang dengan keluhan adanya sesak. Sesa yang
dirasakan bertambah bila dilakukan aktivitas dan tidur terlentang dan
berkurang bila diistirahatkan dan memakai 2-3 bantal. Sesak dirasakan
pada daerah dada dan seperti tertindih benda berat. Skala sesak 0-4 dan
dirasakan sering pada siang dan malam hari.
b) Riwayat Penyakit Dahulu
Kaji adanya Kelainan autoimun, Hipertensi sistemik, Autoantibodi
yaitu antimyocardial antibodies, Proses infeksi (infeksi bakteri/virus),
Gangguan metabolik (defisiensi thiamine dan scurvy), gangguan
imunitas (leukimia), Kehamilan dan kelainan post partum, toxic proses
(alkohol dan chemoterapi), proses infiltrasi (amyloidosis dan kanker)
c) Riwayat kesehatan keluarga

lxxxix
Kaji adanya anggota keluarga / lingkungan yang mempunyai penyakit
menular infeksi seperti TB dan hepatitis. Kaji adanya riwayat penyakit
hipertensi, jantung dan diabetes melitus di keluarga, bila ada cantumkan
dalam genogram.
3) Pola Aktivitas Sehari-hari
Nutrisi klien dikaji adanya konsumsi garam, lemak, gula dan kafein dan
jenis makanan. Klien mungkin akan merasa haus dan minum berlebihan
(4000-5000 mL) akibat sekresi aldosteron. Adanya penurunan aktivitas
dan aktivitas sehari-harinya (ADL) akibat adanya lemah, letih dan adanya
dispneu. Istirahat terganggu akibat dispneu dan sering terbangun pada
malam hari untuk eliminasi BAK.
4) Pemeriksaan Fisik
a) Sistem Pernafasan
Dispneu saat beraktivitas, Paroksimal Nokturnal Dispneu, tidur
sambil duduk atau dengan beberapa bnatal, Batuk dengan/ tanpa
pembentukan sputum, riwayat paru kronis, penggunaan bantuan
pernafasan (oksigen dan medikasi), nafas dangkal,takipneu,
penggunaan otot aksesori pernafasan.bunyi nafas mungkin tidak
terdengar, dengan krakels basilar dan mengi.
b) Sistem Kardiovaskular
Distensi vena jugularis, pembesaran jantung, adanya nyeri dada, suara
s3 dan s4 pada auskultasi jantung ,tekanan darah normal/turun,
takikardi, disritmia (fibril atrium, blok jnatung dll)nadi perifer
mungkin berkurang,;perubahan denyutan dapat terjadi;nadi sentral
mungkin kuat, punggung kuku pucat atau sianotik dengan pengisian
kapiler lambat.
c) Sistem Pencernaan
Kaji adanya peningkatan berat badan secara signifikan, mual dan
muntah, anorexia, adanya nyeri abdomen kanan atas, hepatomegali
dan asites
d) Sistem Muskuloskeletal

xc
Kelelahan, kelemahan, sakit pada otot dan kehilangan kekuatan/ tonus
otot.
e) Sistem Persyarafan
Kaji adanya rasa pening, perubahan prilaku, penurunana kesadaran
dan disorientasi
f) Sistem Perkemihan
Kaji adanya nokturia dan penurunanan berkemih, urine berwarna
gelap, penggunaan dan keadaan kateterisasi .

g) Sistem Integumen
Pittimg edema pada bagian tubuh bawah, dan kulit teraba dingin,
adanya kebiruan, pucat, abu-abu dan sianotik , dan adanya kulit yang
lecet.
5) Data psikologis
Kaji adanya kecemasan, gelisah dan konsep diri dan koping klien akibat
penyakit, keprihatinan finansial dan hospitalisasi.
6) Data sosial
Perlu dikaji tentang persepsi klien terhadap dirinya sehubungan dengan
kondisi sekitarnya, hubungan klien dengan perawat, dokter dan tim
kesehatan lainnya. Biasanya klien akan ikut serta dalam aktivitas sosial
atau menarik diri akibat adanya dispneu, kelemahan dan kelelahan.
7) Data spiritual
Kaji tentang keyakinan atau persepsi klien terhadap penyakitnya
dihubungkan dengan agama yang dianutnya.. Biasanya klien akan merasa
kesulitan dalam menjalankan ibadahnya.
8) Data Penunjang
(a) Pemeriksaan Laboratorium
Radiologi: Pada foto rontgen dada, terlihat adanya kardiomegali,
terutama ventrikel kiri. Juga ditemukan adanya bendungan paru dan
efusi pleura

xci
Elektrokardiografi: ditemukan adanya sinus takikardia, aritmia atrial
dan ventrikel, kelainan segmen ST dan gelombang T dan gangguan
konduksi intraventrikular. Kadang-kadang ditemukan voltase QRS
yang rendah, atau gelombang Q patologis, akibat nekrosis miokard.
Ekokardiografi : Tampak ventrikel kiri membesar, disfungsi ventrikel
kiri, dan kelainan katup mitral waktu diastolik, akibat complience dan
tekanan pengisian yang abnormal.
Bila terdapat insufisiensi trikuspid, pergerakan septum menjadi
paradoksal. Volume akhir diastolik dan akhir sistolik membesar dan
parameter fungsi pompa ventrikel, fraksi ejeksi (EF) mengurang.
Penutupan katup mitral terlambat dan penutupan katup aorta bisa
terjadi lebih dini dari normal. Trombus ventrikel kiri dapat ditemukan
dengan pemeriksaan 2D-ekokardiografi, juga aneurisma ventrikel kiri
dapat disingkirkan dengan pemeriksaan ini.
Radionuklear: pada pemeriksaan radionuklear tampak ventrikel kiri
disertai fungsinya yang berkurang.
Sadapan jantung: pada sadapan jantung ditemukan ventrikel kiri
membesar serta fungsinya berkurang, regurgitasi mitral dan atau
trikuspid, curah jantung berkurang dan tekanan pengisian
intraventrikular meninggi dan tekanan atrium meningkat.
Bila terdapat pula gagal ventrikel kanan, tekanan akhir diastolik
ventrikel kanan, atrium kanan dan desakan vena sentralis akan tinggi.
Dengan angiografi ventrikel kiri dapat disingkirkan dana neurisma
ventrikel sebagai penyebab gagal jantung.

B. Diagnosa
1) Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraktilitas
miokardial/perubahan inotropik, perubahan frekuensi,irama dan
konduksi listrik, perubahan structural ( mis kelainan katup, aneurisme
ventricular )

xcii
2) Aktivitas intoleran berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai oksigen/kebutuhan, kelemahan umum, tirah baring
lama/immobilisasi.
3) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan menurunnya laju filtrasi
glomerulus ( menurunnya curah jantung )/ meningkatnya produksi ADH
dan retensi natrium /air.
4) Resiko tinggi kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan (
perubahan membran kapiler-alveolus,cntoh pengumpulan/perpindahan
cairan kedalam area interstitial/alveoli )
5) Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tirah
baring lama, edema, penurunan perfusi jaringan.
6) Kurangnya pengetahuan mengenai kondisi, program pengobatan
berhubungan dengan kurang pemahaman/kesalahan persepsi tentang
hubungan fungsi jantung/penyakit/gagal.

C. Perencanaan
Perencanaan keperawatan adalah menyusun rencana tindakan keperawatan
yang dilaksanakan untuk menanggulangi masalah dengan diagnosa keperawatan
yang telah ditentukan dengan tujuan terpenuhinya kebutuhan pasien.Perawatan
pada klien dengan kardiomiopati sama dengan pasien dengan gagal jantung
(Ignatavicius et al, 1995: 919) Menurut Doengoes, (alih bahasa I Made Kariasa,
2000:762) adalah:
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraktilitas
miokardial/perubahan inotropik, perubahan frekuensi,irama dan konduksi
listrik, perubahan structural ( mis kelainan katup, aneurisme ventricular )
Tujuan : Curah jantung tidak menurun
Kriteria hasil :
- Menunjukkan tanda vital yang dapat diterima ( disritmia terkontrol atau
hilang )
- Menunjukan tanda gagal jantung ( mis: parameter hemodinamik dalam
batas normal, haluaran rine adekuat )
- Menunjukkan penurunan episode dipsnea

xciii
- Menunjukkan penurunan episode angina
- Ikur serta dalam aktivitas yang mengurangi beban kerja jantung
Intervensi Rasional
1) Auskultasi nadi apical : kaji 1. Biasanya terjadi takhikardi (
frekuensi, irama jantung ( meskipun pada saat istirahat )untuk
dokumentasikan disritmia bila mengkompensasi penurunan
tersedia telemetri ). kontraktilitas ventricular. Disritmia
2) Catat bunyi jantung ventricular yang tidak responsive
3) Palpasi nadi perifer terhadap obat didugaaneurisma
4) Pantau TD ventricular.
5) Kaji kulit terhadap pucat dan 2. S1 dan S2 mungkin lemah karena
sianosis menurunnya kerja pompa. Irama
6) Pantau haluaran urine, cata gallops umum ( S3 dan S4 )
penurunan haluaran dan dihasilkan sebagai aliran darah ke
kepekatan/konsentrasi dalam serambi yang distensi.
7) Kaji perubahan pada sensori, 3. Penurunan curah jantung dapat
contoh letargi, bingung, menunjukkan menurunnya nadi
disorientasi, cemas dan depresi radial, popliteal, dorsalis pedis dan
8) Atur posisi semi rekumben pada postibial. Nadi mungkin cepat
tempat tidur atau kursi hilang atau tidak teraturuntuk
9) Tinggikan kaki, hindari tekanan dipalpasi dan pulsus alternan (
pada bawah lutut denyut kuat lain dan denyut lemah
10) Periksa nyeri tekan betis, ) mungkin ada.
menurunnya nadi pedal, 4. Pada GJK dini, sedang dan kronis
pembengkakan, kemerahan local TD dapat meningkat sehubungan
atau pucat pada ekstreimitas dengan SVR. Pada GJK lanjut
11) Kolaborasi pemberian oksigen tubuh tidak mampu lagi
tambahan dengan kanula mengkompensasi dan hipotensi
nasal/masker sesuai indikasi tidak dapat normal lagi
12) Kolaborasi pemberian obat : 5. Pucat menunjukkan menurunnya
 Diuretik : contoh furosemid perfusi perifer sekunder terhadap
(lasix), asam etakrinik (Edecrin) tidak adekuatnya curah jantung,

xciv
,bumetamid (Bumex), vasokonstriktsi dan anemia.
spironolaton (Aldakton). Sianosis dapat terjadi sebagai
 Vasodilator : contoh nitrat (nitro- refaktoriGJK. Area yang sakit
dur, isodril), arteriodilator, contoh sering berwarna biru atau belang
hidralazin (Apresoline), kombinasi karena peningkatan kongestif vena.
obat, contoh prazosin (Minippres) 6. Ginjal berespon untuk menurunka
 Digoksin ( Lanoxin ) curah jantung dengan menahan
 Captopril ( Capoten ), lisinopril ( cairan dan natrium. Haluaran urine
Prinivil ), enalapril ( Vasotec ) biasanya menurun selama sehari
 Morfin Sulfat karena perpindahan cairan ke
 Transquilizer/sedatif jaringan tetapi dapat meningkat
 Antikoagulan, contoh heparin pada malam hari sehingga cairan
dosis rendah, warfarin ( Coumadin berpindah kembali ke sirkulasi bila
) pasien tidur.
13) Kolaborasi pemberian cairan IV, 7. Dapat menunjukkan tidak
pembatasan jumlah total sesuai adekuatnya perfusi serebral
indikasi. Hindari cairan garam sekunder terhadap penurunan curah
14) Kolaborasi pantau/ganti elektrolit. jantung.
15) Kolaborasi EKG dan perubahan 8. Istirahat fisik harus dipertahankan
foto dada. selama GJK akut atau refaktori
16) Kolaborasi,pemeriksaan untuk memperbaiki efisiensi
lboratorium, contoh BUN, kontraksi jantung dan menurunkan
kreatinin. Pemeriksaan fungsi hati kebutuhan / konsumsi oksigen
( AST, LDH ). miokard dan kerja berlebihan
PT/APTT/Pemeriksaan koagulasi 9. Menurunkan stasis vena dan dapat
menurunkan insiden
thrombus/pembentukan embolus
10. Menurunnya curah jantung.
Bendungan / stasis vena dan tirah
baring lama meningkatkan resiko
tromboflebitis

xcv
11. Meningkatkan sediaan oksegen
untuk kebutuhanmiokard melawan
efek hipoksia/iskemia.
12. Kolaborasi pemberian obat
 Tipe dan dosis diuretic tergantung
pada derajat gagal jantung dan
fungsi ginjal. Penurunan preload
paling banyak digunakan dalam
mengobati pasien dengan curah
jantung relatif normal ditambah
dengan gejala kongesti. Diuretik
blik reabsorbsi diuretic, sehingga
mempengaruhii reabsorbsi natrium
dan air.
 Vasodilator digunakan untuk
meningkatkan curah jantung,
menurunkan volume sirkulasi (
vasodilator ) dan tahanan vaskuler
sistemik ( arteriodilator ), juga
kerja ventrikel.
 Meningklatkan kekuatan kontraksi
miokard dan memperlambat
frekuensi jantung dengan
menurunkan konduksi dan
memperlama periode refaktori
pada hubungan AV untuk
meningkatkan efisiensi/curah
jantung.
 Inhibitor HCE dapat digunakan
untuk mengontrol gagal jantung
dengan menghambat konversi
angiotensin dalam paru dan

xcvi
menurunkan vasokonstriksi, SVR
dan tekanan darah.
 Penurunan tahan vaskuler dan
aliran balik vena menurunkan kerja
miokard. Menghilangkan cemas
dan mengistirahatkan siklus umpan
balik cemas/pengeluaran
katekolamin/cemas.
 Meningkatkan istirahat/relaksasi
dan menurunkan kebutuhan
oksegen dan kerja miokard.
Catatan : Ada ‘on trial’ oral yang
analog dengan amrinon ( inocor )
agen inotropik positif, disebut
milrinon yang dapat cock untuk
penggunaan jangka panjang.
 Dapat digunakan secara
profilaksisuntuk mencegah
pembentukkan thrombus/emboli
pada adanya factor resiko seperti
stasis vena,tirah baring, disritmia
jantung dan riwayat episode
trombolik sebelumnya.
13. Karena adanya peningkatan
tekanan ventrikel kiri, pasien tidak
dapat mentoleransi peningkatan
volume cairan ( preload ). Pasien
GJK juga mengeluarkan sedikit
natrium yang menyebabkan retensi
cairan dan meningkatkan kerja
miokard.

xcvii
14. Perpindahan cairan dan
penggunaan diuretic dapat
mempengaruhi elektrolot (
khususnya kalium dan klorida )
yang mempengaruhi irama jantung
dan kontraktilitas.
15. Depresi segmen ST dan datarnya
gelombang T dapat terjadi karena
peningkatan kebutuhan oksigen
miokard, meskipun tak ada
penyakit arteri koroner. Foto dada
dapat menunjukkan pembesaran
jantung dan perubahan kongestif
pulmonal.
16. peningkatan,BUN/Kreatinin,menu
njukkan hiperfungsi/gagal
ginjal.AST/LDH dapat meningkat
sehubungan dengan kongesti hati
dan menunjukkan kebutuhan untuk
obat dengan dosis lebih kecil yang
didetoksikasi oleh hati. Mengukur
perubahan pada proses koagulasi
atau keefektifan terapi
antikoagulan.

b. Aktivitas intoleran berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai


oksigen/kebutuhan, kelemahan umum, tirah baring lama/immobilisasi.
Tujuan : Aktivitas terpenuhi
Kriteria hasil :
- Berpartisipasi pada aktivitas yang diinginkan,
- Memenuhi kebutuhan perawatan diri sendiri.

xcviii
- Mencapai peningkatan toleransi aktivitas yang dapat diukur, dibuktikan
oleh menurunnya kelemahan dan kelelahan
- Tanda vital dalam batas normal selama aktivitas.

Intervensi Rasional
1. Periksa tanda vital sebelum 1) Hipotensi ortostatik dapat terjadi dengan
dan sesudah segera aktivitas, aktivitas karena efek obat ( vasodilasi ),
khususnya bila pasien perpindahan cairan ( diurestik ) atau
menggunakan vasodilator, pengaruh fungsi jantung.
diuretic, penyekat beta. 2) Penurunan/ketidakmampuan miokardium
2. Catat respon kardiopulmonal untuk meningkatkan volume sekuncup
terhadap aktivitas, catat selama aktivitas, dapat menyebabkan
takikardi, disritmia, dipsnea, peningkatan segera pada frekuensi jantung
berkeringat, pucat. dan kebutuhan oksigen, juga peningkatan
3. Kaji presipitator/penyebab kelelahan dan kelemahan.
kelemahan contoh 3) Kelemahan adalah efek samping beberapa
pengobatan, nyeri, obat. obat ( beta blocker, transquilizer dan
4. Evaluasi peningkatan sedatif ). Nyeri dan program penuh stress
intoleran aktivitas. juga dapat memerlukan energi dan
5. Berikan bantuan dalam menyebabkan kelemahan.
aktivitas perawatan diri 4) Dapat menunjukkan peningkatan
sesuai indikasi. Selingi dekompensasi jantung daripada kelebihan
periode aktivitas dengan aktivitas.
periode istirahat. 5) Pemenuhan kebutuhan perawatan diri
6. Kolaborasi program pasien tanpa mempengaruhi stress
rehabilitasi jantung/aktivitas. miokard/kebutuhan oksigen berlebihan.
6) Peningkatan bertahap pada aktivitas
menghindari kerja jantung/konsumsi
oksigen berlebihan. Penguatan dan

xcix
perbaikan fungsi jantung dibawah stress,
bila disfungsi jantung tidak dapat
membaik kembali.

c. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan menurunnya laju filtrasi


glomerulus ( menurunnya curah jantung )/ meningkatnya produksi ADH dan
retensi natrium /air.
Tujuan : volume cairan dalam batas normal/ adekuat
Kriteria hasil :
- Mendemonstrasikan volume cairan stabil dengan keseimbangan masukan
dan pengeluaran,
- Bunyi nafas bersih/jelas
- Tanda vital dalam rentang yang dapat diterima
- Berat badan stabil
- Tak ada edema
- Menyatakan pemahaman tentang/pembatasan cairan individual.

c
Intervensi Rasional
1. Pantau haluaran urine, catat jumlah 1. Haluaran urine mungkin sedikit
dan warna saat hari dimana diuresis dan pelkat ( khususnya selama sehari )
terjadi. karena penurunan perfusi ginjal. Posisi
2. Pantau/hitung keseimbangan telentang membantu diuresis : sehingga
pemasukkan dan pengeluaran selama 24 haluaran urine dapat ditingkatkan pada
jam. malam/selama tirah baring.
3. Pertahankan duduk atau tirah baring 2. Terapi diuretic dapat disebabkan
dengan posisi semifowler selama fase oleh kehilangan cairan tiba-tiba/
akut. berlebihan ( hipovolemia ) meskipun
4. Timbang berat badan tiap hari. edema/asites masih ada.
5. Kaji distensi leher dan pembuluh 3. Posisi telentang meningkatkan
perifer. Lihat area tubuh dependen filtrasi ginjal dan menurunkan produksi
untuk edema dengan/tanpa pitting ; cata ADH sehingga meningkatkan diuresis.
adanya edem tubuh umum ( anasarka ). 4. Peningkatan 2,5 kg menunjukkan
6. Ubah posisi dengan sering. kurang lebih 2 L cairan. Sebaliknya
Tinggikan kaki bila duduk. Lihat diuretic dapat mengakibatkan cepatnya
permukaan kulit, pertahankan tetap kehilangan/perpindahan cairan dan
kering dan berikan bantalan sesuai kehilangan berat badan.
indikasi. 5. Retensi cairan berlebihan dapat
7. Auskultasi bunyi nafas, catat dimanifestasikan oleh pembendungan
penurunan dan/atau bunyi tambahan. vena dan pembentukan edema. Edema
Contoh krekels, mengi. Catat adanya perifer mulai pada kaki/mata kaki ( atau
peningkatan dispnea, takipnea, area dependen ) dan meningkat sebagai
ortopnea, dipsnea nocturnal kegagalan paling buruk. Edema pitting
paroksismal, batuk persisten. adalah gambaran secara umum hanya
8. Selidiki keluhan dipsnea ektrem setelah retensi sedikitnya 5 kg cairan.
tiba-tiba, kebutuhan untuk bangun dari Peningkatan kongesti vascular (
duduk, sensasi sulit bernafas, rasa panik sehubungan dsengan gagal jantung
atau ruangan sempit. kanan ) secara nyata mengakibatkan
9. Pantau TD dan CVP ( bila ada ). edema jaringan sistemik.

ci
10. Kaji bising usus. Catat keluhan 6. Pembentukan edema, sirkulasi
anoreksia, mual, distensi abdomen dan melambat, gangguan pemasukan nutrisi
konstipasi. dan imobilisasi/tirah baring lama
11. Berikan makanan yang mudah merupakan kumpulan stressor yang
dicerna. Porsi kecil dan sering. mempengaruhi integritas kulit dan
12. Ukur lingkar abdomen sesuai memerlukan intervensi pengawasan
indikasi. ketat/pencegahan.
13. Dorong untuk menyatakan 7. Kelebihan volume cairan sering
perasaan sehubungan dengan menimbulkan kongesti paru. Gejala
pembatasan. edema paru dapat menunjukan gagal
14. Palpasi hepatomegali. Catat jantung kiri akut. Gejala pernafasan
keluhan nyeri abdomen kuadran kanan pada gagal jantung kanan ( dispnea,
atas/nyeri tekan. batuk, ortopnea ) dapat timbul lambat
15. Catat peningkatan lethargi, tetapi lebih sulit membaik.
hipotensi dan kram otot. 8. Dapat menunjukan terjadinya
16. Kolaborasi pemberian obat sesuai komplikasi ( edema paru/emboli ) dan
indikasi : diuretic, thiazid dan tambahan berbeda dari ortopnea dan dispnea
kalium . nocturnal paroksismal yang terjadi lebih
17. Pembatasan natrium sesuai cepat dan memerlukan intervensi segera.
indikasi. 9. Hipertensi dan peningkatan CVP
18. Konsul dengan ahli diet. menunjukan kelebihan volume cairan
19. Kolaborasi foto torak dan dapat menunjukan
terjadinya/peningkatan kongesti paru,
gagal jantung.
10. Kongesti visceral ( terjadi pada
GJK lanjut )dapat menganggu fungsi
gaster/intestinal.
11. Penurunan motilitas gaster dapat
berefek merugikan pada digestif dan
absorpsi. Makan sedikit tapi sering
meningkatkan digesti/mencegah
ketidaknyamanan abdomen.

cii
12. Pada gagal jantung kanan lanjut,
cairam dapat berpindah kedalam area
peritoneal, menyebabkan meningkatnya
lingkar abdomen ( asites ).
13. Ekspresi perasaan /masalah dapat
menurunkan stress/cemas, yang
mengeluarkan energi dan dapat
menimbulkan perasaan lemah.
14. Perluasan gagal jantung
menimbulkan kongesti vena,
menyebabkan distensi abdomen,
pembesaran hati dan nyeri. Ini akan
mengganggu fungsi hati dan
mengganggu/ memperpanjang
metabolisme obat.
15. Tanda defisit kalium dan natrium
yang dapat terjdai sehubungan dengan
perpindahan cairan dan terapi diuretic.
16. Meningkatkan laju aliran urine dan
dapat menghambat reabsorpsi
natrium/klorida pada tubulus ginjal.
Meningkatkan diuresis tanpa kehilangan
kalium berlebihan. Mengganti
kehilangan kalium sebagai efek samping
terapi diuretic yang dapat
mempengaruhi fungsi jantung.
17. Menurunkan air total
tubuh/mencegah reakumulasi cairan
18. Perlu memberikan diet yang dapat
diterima pasien yang memenuhi
kebutuhan kalori dalam pembatasan
cairan.

ciii
19. Menunjukan perubahan indikasif
peningkatan/perbaikan kongesti paru.

d. Resiko tinggi kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ( perubahan


membran kapiler-alveolus, contoh pengumpulan/perpindahan cairan kedalam
area interstitial/alveoli )
Tujuan : Tidak terjadi kerusakan pertukaran gas
Kriteria hasil :
- Mendemonstrasikan ventilasi dan oksigenasi adekuat pada jaringan
- GDA/oksimetri dalam rentang normal
- bebas gejala distress pernafasan
- Berpartisipasi dalam program pengobatan dalam batas kemampuan/situasi.
Intervensi Rasional
1. Auskultasi bunyi nafas, catat 1. Menyatakan adanya kongesti
krekels, mengi. paru/pengumpulan secret menunjukan
2. Anjurkan pasien batuk efektif, kebutuhan untuk intervensi lanjut.
nafas dalam. 2. Membersihkan jalan nafas dan
3. Dorong perubahan posisi sering. memudahkan aliran oksigen.
4. Pertahankan duduk di kursi/tirah 3. Membantu mencegah ateletaksis
baring dengan kepala tempat tidur tinggi dan pneumonia.
20-30 derajat, posisi semi fowler. 4. Menurunkan konsumsi
Sokong tangan dengan bantal. oksigen/kebutuhan dan meningkatkan
5. Kolaborasi pemeriksaan GDA, inflamasi paru maksimal.
nadi oksimetri. 5. Hipoksemia dapat menjadi berat
6. Kolaborasi pemberian oksigen selama edema paru. Perubahan
tambahan sesuai indikasi. kompensasi biasanya ada pada GJK
7. Berikan obat sesuai indikasi : kronis.
Diuretik dan bronkodilator 6. Meningkatkan konsentrasi oksigen
alveolar yang dapat memperbaiki
/menurunkan hipoksemia jaringan.

civ
7. Menurunkan kongesrti alveolar,
meningkatkan pertukaran gas.
Meningkatkan aliran oksigen dengan
mendilatasi jalan nafas kecil dan
mengeluarkan efek diuretic ringan
untuk menurunkan kongesti paru.

e. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama,
edema, penurunan perfusi jaringan.
Tujuan : Tidak terjadi kerusakan integritas kulit
Kriteria hasil :
- Mempertahankan integritas kulit
- Mendemonstrasikan perilaku/teknik mencegah kerusakan kulit
Intervensi Rasional
1. Kaji kulit , catat penonjolan 1. Kulit beresiko karena gangguan
tulang, adanya edema, area sirkulasinya sirkulasi perifer, immobilitas fisik dan
terganggu/pigmentasi, atau gangguan status emosi.
kegemukan/kurus. 2. Meningkatkan aliran darah,
2. Pijat area kemerahan atau yang meminimalkan hipoksia jaringan.
memutih. 3. Memperbaiki
3. Ubah posisi sering di tempat sirkulasi/menurunkan waktu satu area
tidur/kursi, bantu latihan rentang gerak yang mengganggu aliran darah.
pasif/aktif. 4. Terlalu kering atau lembab
4. Berikan perawatan kulit sering , merusak kulit dan mempercepat
meminimalkan dengan kerusakan.
kelembaban/ekskresi. 5. Edema dependen dapat
5. Periksa sepatu kesempitan/sandal menyebabkan sepatu terlalu sempit,
dan ubah sesuai kebutuhan. meningkatkan resiko tertekan dan
6. Hindari obat intramuskuler. kerusakan kulit pada kaki.
6. Edema interstitial dan gangguan
sirkulasi memperlambat absorpsi obat

cv
7. Kolaborasi berikan tekanan dan predisposisi untuk kerusakan
alternatif/kasur, kulit domba, kulit/terjadinya infeksi.
perlindungan siku/tumit. 7. Menurunkan tekanan pada kulit,
dapat memperbaiki sirkulasi.

f. Kurangnya pengetahuan mengenai kondisi, program pengobatan berhubungan


dengan kurang pemahaman/kesalahan persepsi tentang hubungan fungsi
jantung/penyakit/gagal.
Tujuan : Pengetahuan klien bertambah tentang kondisi dan program
pengobatan.
Kriteria hasil :
- Mengidentifikasi hubungan terapi ( program pengobatan ) untuk
menurunkan episode berulang dan mencegah komplikasi
- Menyatakan tanda dan gejala yang memerlukan intervensi cepat
- Mengidentifikasi stress pribadi/factor resiko dan beberapa teknik untuk
menangani
- Melakukan perubahan pola hidup/perilaku yang perlu.
Intervensi Rasional
1. Diskusikan fungsi jantung normal. 1. Pengetahuan proses penyakit dan
Meliputi informasi sehubungan dengan harapan dapat memudahkan ketaatan
perbedaan dari fungsi normal. Jelaskan pada program pengobatan.
perbedaan antra serangan jantung dan 2. Pemahaman program, obat dan
GJK pembatasan dapat meningkatkan
2. Kuatkan rasional pengobatan. kerjasama untuk mengontrol gejala.
3. Diskusikan pentingnya menjadi 3. Aktivitas fisik berlebihan dapat
seaktif mungkin tanpa menjadi kelelahan berlanjut menjadi melemahkan jantung,
dan istirshat diantara aktivitas. eksaserbasi kegagalan.
4. Diskusikan pentingnya 4. Pemasukkan diet natrium diatas
pembatasan natrium. 3 gr/hari akan menghasilkan efek
diuretic.

cvi
5. Diskusikan obat, tujuan dan efek 5. Pemahaman kebutuhan
samping. Berikan instruksi secara verbal terapeutik dan pentingnya upaya
dan tertulis. pelaporan efek samping obat dapat
6. Anjurkan makan diet pada pagi mencegah terjadinya komplikasi obat.
hari. 6. Memberikan waktu adekuat
7. Anjurkan dan lakukan demonstrasi untuk efek obat sebelum waktu tidur
ulang kemampuan mengambil dan untuk mencegah /membatasi
mencatat nadi harian dan kapan memberi menghentikan tidur.
tahu pemberi perawatan. 7. Meningkatkan pemantauan
8. Jelaskan dan diskusikan peran sendiri pada kondisi/efek obat. Deteksi
pasien dalam mengontrol factor resiko dini perubahan memungkinkan
(merokok) dan factor pencetus atau intervensi tepat waktu dan mencegah
pemberat( diet tinggi garam, tidak komplikasi seperti toksisitas digitalis.
aktif/terlalu aktif, terpajan pada suatu 8. Menambah pengetahuan dan
ekstrem ). memungkinkan pasien untuk membuat
9. Bahas ulang tanda/gejala yang keputusan berdasarkan informasi
memerlukan perhatian medik cepat, sehubungan dengan kontrol kondisi dan
contoh peningkatan kelelahan, batuk, mencegah berulang/komplikasi.
hemoptisis, demam. 9. Pemantauan sendiri
10. Berikan kesempatan pasien atau meningkatkan tanggung jawab pasien
orang terdekat untuk menanyakan, dalam pemeliharaan kesehatan dan alat
mendiskusikan masalah dan membuat mencegah komplikasi, contoh edema
perubahan pola hidup yang perlu. paru, pneumonia.
11. Tekankan pentingnya melaporkan 10. Kondisi kronis dan
tanda/gejala toksisitas digitalis, contoh berulang/menguatnya kondisi GJK
terjdainya gangguan GI dan penglihatan, sering melemahkan kemampuan koping
perubahan frekuensi nadi/irama, dan kapasitas dukungan pasien dan
memburuknya gagal jantung. orang terdekat, menimbulkan depresi.
12. Rujuk pada sumber di 11. Pengenalan dini terjadinya
masyarakat/kelompok pendukung sesuai komplikasi dan keterlibatan pemberi
indikasi. perawatan dapat mencegah
toksisitas/perawatan di rumah sakit.

cvii
12. Dapat menambahkan bantuan
dengan pemantauan
sendiri/penatalaksanaan di rumah.

D. Implementasi
Implementasi / pelaksanaan pada klien meningitis dilaksanakan sesuai dengan
perencanaan perawatan yang meliputi tindakan-tindakan yang telah direncanakan
oleh perawat maupun hasil kolaborasi dengan tim kesehatan lainnya serta
memperhatikan kondisi dan keadaan klien.

E. Evaluasi
Evaluasi dilakukan setelah diberikan tindakan perawatan dengan melihat respon
klien, mengacu pada kriteria evaluasi, tahap ini merupakan proses yang
menentukan sejauah mana tujuan telah tercapai.

cviii
Daftar Pustaka

Wynne J, Braunwald E. Cardiomyopathy and myocarditis. Dalam : Kasper DL et


al. Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th Edition. The McGraw-Hill
Companies, Inc. United States of America. 2005.

Taylor RB. 2005. Taylor’s cardiovascular diseases: a handbook. Springer Science,


Inc. United States of America.

Ferri FF. 2007. Practical Guide to the Care of the Medical Patient 7th ed. Mosby,
An Imprint of Elsevier. Philadelphia.

Sofro ASM. 2006. Aspek Genetik Kardiomiopati dalam simposium Apoptosis


Charming to Death. Hotel borobudur, Jakarta.

Siregar AA. 2005. Kardiomiopati Primer pada Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. (online),
(http://library.usu.ac.id/download/fk/anak-abdullah.pdf, diakses 8 agustus 2008).

Gunawan CA. 2004. Kardiomiopati Hipertrofik. Cermin Dunia Kedokteran. No.


143 hal 19.

Wahab AS. 2003. Penyakit Jantung Anak edisi 3. EGC: Jakarta

http://usebrains.wordpress.com/2008/09/12/kardiomiopati/

cix
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ................................................................................ i

KATA PENGANTAR ................................................................................. ii

DAFTAR ISI ................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1


A. Latar Belakang ........................................................................ 1
B. Tujuan Penulisan .................................................................... 2

BAB II KONSEP MEDIS ........................................................................ 3


A. Definisi ................................................................................... 3
B. Etiologi ................................................................................... 4
C. Manifestasi Klinis ................................................................... 6
D. Patofisiologi ............................................................................ 8
E. Penatalaksanaan Medis ........................................................... 10

BAB III KONSEP KEPERAWATAN ..................................................... 13


A. Pengkajian .............................................................................. 13
B. Diagnosa Keperawatan ........................................................... 16
C. Intervensi Keperawatan .......................................................... 17
D. Evaluasi .................................................................................. 20

BAB IV PENUTUP ................................................................................... 21


A. Kesimpulan ............................................................................. 21
B. Saran ....................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA

cx
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Diabetes merupakan permasalahan kesehatan serius di seluruh
dunia.Diperkirakan 15,7 juta orang di Amerika Serikat menderita diabetes mellitus.
Perkiraan tersebut, merupakan perhitungan antara diabetes yang terdiagnosa dan tidak
terdiagnosa, sebanyak 5,9 % populasi di Amerika Serikat menderita diabetes mellitus.
Diabetes Mellitus menyebabkan kematian lebih dari 162.200 jiwa pada tahun 1996.
Diabetes termasuk tujuh penyebab utama kematian pada daftar angka kematian di AS,
tapi diabetes diyakini termasuk kematian yang tidak tidak terlaporkan, antaranya adalah
kondisi dan penyebab kematian. Diabetes adalah penyebab utama dari kebutaan. Lebih
dari 60 sampai 65% penderita diabetes menderita hipertensi. Hal yang mengejutkan
biaya pengeluaran untuk pengobatan secara langsung dan tidak langsung untuk diabetes
pada tahun 1997 diperkirakan mencapai 98 juta dolar. Banyaknya biaya tidak
memberikan timbal balik yang kehidupan patien diabetes dan keluarganya.(Sharon n
Margaret 2000)
Penderita diabetes mellitus di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya, hal
ini dihubungkan dengan meningkatnya angka kesejahteraan. Persentase penderita
diabetes mellitus lebih besar di kota daripada di desa, 14,7% untuk dikota dan 7,2% di
desa. Indonesia menduduki peringkat keenam di dunia dalam hal jumlah terbanyak
penderita diabetes.
Dari penjelasan yang tersebut diatas peranan soerang perawat sangat penting
dalam pemberian asuhan keperawatan untuk menurunkan angka kesakitan dan angka
kematian yang disebabkan karena diabetes mellitus, sehingga diharapkan mahasiswa
keperawatan dapat memahami dan menguasai konsep asuhan keperawatan pada pasien
diabetes mellitus.

i
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari pembuatan makalah ini diharapkan mahasiswa
mampu memberikan asuhan keperawatan pada pasien diabetes mellitus.
2. Tujuan Khusus
Mahasiswa diharapkan mampu :
a. Memahami konsep medis diabetes mellitus
b. Memahami konsep keperawatan diabetes mellitus.

ii
BAB II
KONSEP MEDIS

A. Definisi
Diabetes Melllitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang
disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat
kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Arjatmo, 2002
dalam www.ilmukeperawatan.com).
Diabetes Melitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang
disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan
insulin baik absolut maupun relatif (Noer, 2003 dalam www.trinoval.web.id). Diabetes
mellitus adalah penyakit dimana penderita tidak bisa mengontrol kadar gula dalam
tubuhnya. Tubuh akan selalu kekurangan ataupun kelebihan gula sehingga
mengganggu system kerja tubuh secara keseluruhan (FKUI, 2001 dalam
www.trinoval.web.id).
Diabetes mellitus adalah sekelompok kelainan yang ditandai oleh peningkatan
kadar glukosa darah (hiperglikemia). Mungkin terdapat penurunan dalam kemampuan
tubuh untuk berespon terhadap insulin dan atau penurunan atau tidak terdapatnya
pembentukan insulin oleh pancreas. Kondisi ini mengarah pada hiperglikemia, yang
dapat menyebabkan terjadinya komplikasi metabolic akut seperti ketoasidosis diabetic.
Hiperglikema jangka panjang dapat menunjang terjadinya komplikasi mikrovaskular
kronis (penyakit ginjal dan mata) serta komplikasi neuropati. Diabetes juga berkaitan
dengan kejadian penyakit makrovaskuler, termasuk infark miokard, stroke, dan
penyakit vaskuler perifer.(brunner and suddarth, 2002: 109).

iii
B. Etiologi
Sesuai dengan klasifikasi yang telah disebutkan sebelumnya maka
penyebabnyapun pada setiap jenis dari diabetes juga berbeda. Berikut ini merupakan
beberapa penyebabdari penyakit diabetes mellitus:

1. Diabetes Melitus tipe 1 ( IDDM )


a. Faktor genetic
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi mewarisi
suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe I.
Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe
antigen HLA.
b. Faktor-faktor imunologi
Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal dimana antibodi
terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan
tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing. Yaitu
otoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen.
c. Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan
destruksi selbeta. (Price,2005)
2. Diabetes Melitus tipe 2 ( NIDDM )
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi
insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik memegang
peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.
Faktor resiko:
a. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65th
Sekitar 90% dari kasus diabetes yangdidapati adalah diabetes tipe 2. Pada
awlanya, tipe 2 muncul seiring dengan bertambahnya usia dimana keadaan
fisik mulai menurun.
b. Obesitas
Obesitas berkaitan dengan resistensi kegagalan toleransi glukosa yang
menyebabkan diabetes tipe 2. Hala ini jelas dikarenakan persediaan cadangan
glukosa dalam tubuh mencapai level yang tinggi. Selain itu kadar kolesterol
dalam darah serta kerja jantung yang harus ekstra keras memompa darah
keseluruh tubuh menjadi pemicu obesitas. Pengurangan berat badan sering

iv
kali dikaitkan dengan perbaikan dalam sensivitas insulin dan pemulihan
toleransi glukosa.
c. Riwayat keluarga
Indeks untuk diabetes tipe 2 pada kembar monozigot hamper 100%. Resiko
berkembangnya diabetes tipe 3 pada sausara kandubg mendekati 40% dan 33%
untuk anak cucunya. Jika orang tua menderita diabetes tipe 2, rasio diabetes
dan nondiabetes pada anak adalah 1:1 dan sekitar 90% pasti membawa carer
diabetes tipe 2.( Martinus,2005)
3. Diabetes gestasional (GDM )
Pada DM dengan kehamilan, ada 2 kemungkinan yang dialami oleh si Ibu:
a. Ibu tersebut memang telah menderita DM sejak sebelum hamil
b. ibu mengalami/menderita DM saat hamil
Klasifikasi DM dengan Kehamilan menurut Pyke:
Klas I : Gestasional diabetes, yaitu diabetes yang timbul pada waktu hamil
dan menghilang setelah melahirkan.
Klas II : Pregestasional diabetes, yaitu diabetes mulai sejak sebelum hamil
dan berlanjut setelah hamil.
Klas III : Pregestasional diabetes yang disertai dengan komplikasi penyakit
pembuluh darah seperti retinopati, nefropati, penyakit pemburuh darah panggul
dan pembuluh darah perifer. Pada saat seorang wanita hamil, ada beberapa hormon
yang mengalami peningkatan jumlah. Misalnya, hormon kortisol, estrogen,
dan human placental lactogen (HPL). Ternyata, saat hamil, peningkatan jumlah
hormon-hormon tersebut mempunyai pengaruh terhadap fungsi insulin dalam
mengatur kadar gula darah (glukosa). Kondisi ini menyebabkan kondisi yang kebal
terhadap insulin yang disebut sebagai insulin resistance. Saat fungsi insulin dalam
mengendalikan kadar gula dalam darah terganggu, jumlah gula dalam darah pasti
akan naik. Hal inilah yang kemudian menyebabkan seorang wanita hamil
menderita diabetes gestasional.

4. Diabetes Melitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya


a. Kelainan genetic dalam sel beta. Pada tipe ini memiliki prevalensi familial yang
tinggi dan bermanifestasi sebelum usia 14 tahun. Pasien seringkali obesitas dan
resisten terhadap insulin.

v
b. Kelainan genetic pada kerja insulin sindrom resistensi insulin berat dan
akantosis negrikans
c. Penyakit endokrin seperti sindrom Cushing dan akromegali
d. Obat-obat yang bersifat toksik terhadap sel-sel beta
e. Infeksi

C. Tanda dan Gejala


Tanda awal yang dapat diketahui bahwa seseorang menderita DM atau kencing
manis yaitu dilihat langsung dari efek peningkatan kadar gula darah, dimana
peningkatan kadar gula dalam darah mencapai nilai 160 - 180 mg/dL dan air seni (urine)
penderita kencing manis yang mengandung gula (glucose), sehingga urine sering
dilebung atau dikerubuti semut.
Penderita diabetes melitus umumnya menampakkan tanda dan gejala dibawah ini
meskipun tidak semua
dialami oleh penderita :
1. Jumlah urine yang dikeluarkan lebih banyak (Polyuria)
2. Sering atau cepat merasa haus/dahaga (Polydipsia)
3. Lapar yang berlebihan atau makan banyak (Polyphagia)
4. Frekwensi urine meningkat/kencing terus (Glycosuria)
5. Kehilangan berat badan yang tidak jelas sebabnya
6. Kesemutan/mati rasa pada ujung syaraf ditelapak tangan & kaki
7. Cepat lelah dan lemah setiap waktu
8. Mengalami rabun penglihatan secara tiba-tiba
9. Apabila luka/tergores (korengan) lambat penyembuhannya
10. Mudah terkena infeksi terutama pada kulit.

Kondisi kadar gula yang drastis menurun akan cepat menyebabkan seseorang tidak
sadarkan diri bahkan memasuki tahapan koma. Gejala diabetes melitus dapat
berkembang dengan cepat waktu ke waktu dalam hitungan minggu atau bulan, terutama
pada seorang anak yang menderita penyakit diabetes mellitus tipe 1. Lain halnya pada
penderita diabetes mellitus tipe 2, umumnya mereka tidak mengalami berbagai gejala
diatas. Bahkan mereka mungkin tidak mengetahui telah menderita kencing manis.
Menurut Supartondo, gejala-gejala akibat DM pada usia lanjut yang sering ditemukan
adalah :

vi
1. Katarak
2. Glaukoma
3. Retinopati
4. Gatal seluruh badan
5. Pruritus Vulvae
6. Infeksi bakteri kulit
7. Infeksi jamur di kulit
8. Dermatopati
9. Neuropati perifer
10. Neuropati visceral
11. Amiotropi
12. Ulkus Neurotropik
13. Penyakit ginjal
14. Penyakit pembuluh darah perifer
15. Penyakit koroner
16. Penyakit pembuluh darah otak
17. Hipertensi

D. Patofisiologi
Sebagian besar gambaran patologik dari DM dapat dihubungkan dengan salah satu efek
utama akibat kurangnya insulin berikut:
1. Berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel – sel tubuh yang mengakibatkan naiknya
konsentrasi glukosa darah setinggi 300 – 1200 mg/dl.
2. Peningkatan mobilisasi lemak dari daerah penyimpanan lemak yang menyebabkan
terjadinya metabolisme lemak yang abnormal disertai dengan endapan kolestrol
pada dinding pembuluh darah.
3. Berkurangnya protein dalam jaringan tubuh. Pasien – pasien yang mengalami
defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang
normal atau toleransi sesudah makan. Pada hiperglikemia yang parah yang
melebihi ambang ginjal normal ( konsentrasi glukosa darah sebesar 160 – 180
mg/100 ml ), akan timbul glikosuria karena tubulus – tubulus renalis tidak dapat
menyerap kembali semua glukosa. Glukosuria ini akan mengakibatkan diuresis
osmotik yang menyebabkan poliuri disertai kehilangan sodium, klorida, potasium,

vii
dan pospat. Adanya poliuri menyebabkan dehidrasi dan timbul polidipsi. Akibat
glukosa yang keluar bersama urine maka pasien akan mengalami keseimbangan
protein negatif dan berat badan menurun serta cenderung terjadi polifagi. Akibat
yang lain adalah astenia atau kekurangan energi sehingga pasien menjadi cepat
telah dan mengantuk yang disebabkan oleh berkurangnya atau hilangnya protein
tubuh dan juga berkurangnya penggunaan karbohidrat untuk
energi. Hiperglikemia yang lama akan menyebabkan arterosklerosis, penebalan
membran basalis dan perubahan pada saraf perifer. Ini akan memudahkan
terjadinya gangren.
Gangren Kaki Diabetik
Ada dua teori utama mengenai terjadinya komplikasi kronik DM akibat
hiperglikemia, yaitu teori sorbitol dan teori glikosilasi.
a. Teori Sorbitol
Hiperglikemia akan menyebabkan penumpukan kadar glukosa pada sel dan
jaringan tertentu dan dapat mentransport glukosa tanpa insulin. Glukosa yang
berlebihan ini tidak akan termetabolisasi habis secara normal melalui glikolisis,
tetapi sebagian dengan perantaraan enzim aldose reduktase akan diubah menjadi
sorbitol. Sorbitol akan tertumpuk dalam sel / jaringan tersebut dan menyebabkan
kerusakan dan perubahan fungsi.
b. Teori Glikosilasi
Akibat hiperglikemia akan menyebabkan terjadinya glikosilasi pada semua
protein, terutama yang mengandung senyawa lisin. Terjadinya proses glikosilasi
pada protein membran basal dapat menjelaskan semua komplikasi baik makro
maupun mikro vaskular.Terjadinya Kaki Diabetik (KD) sendiri disebabkan oleh
faktor – factor disebutkan dalam etiologi. Faktor utama yang berperan timbulnya
KD adalah angiopati, neuropati dan infeksi. Neuropati merupakan faktor penting
untuk terjadinya KD. Adanya neuropati perifer akan menyebabkan terjadinya
gangguan sensorik maupun motorik. Gangguan sensorik akan menyebabkan
hilang atau menurunnya sensasi nyeri pada kaki, sehingga akan mengalami trauma
tanpa terasa yang mengakibatkan terjadinya ulkus pada kaki gangguan motorik
juga akan mengakibatkan terjadinya atrofi otot kaki, sehingga merubah titik tumpu
yang menyebabkan ulsetrasi pada kaki pasien. Angiopati akan menyebabkan
terganggunya aliran darah ke kaki. Apabila sumbatan darah terjadi pada pembuluh

viii
darah yang lebih besar maka penderita akan merasa sakit tungkainya sesudah ia
berjalan pada jarak tertentu.
Manifestasi gangguan
Pembuluh darah yang lain dapat berupa : ujung kaki terasa dingin, nyeri kaki di
malam hari, denyut arteri hilang, kaki menjadi pucat bila dinaikkan. Adanya angiopati
tersebut akan menyebabkan terjadinya penurunan asupan nutrisi, oksigen (zat asam )
serta antibiotika sehingga menyebabkan luka sulit sembuh ( Levin,1993). Infeksi sering
merupakan komplikasi yang menyertai KD akibat berkurangnya aliran darah atau
neuropati, sehingga faktor angiopati dan infeksi berpengaruh terhdap penyembuhan
atau pengobatan dari KD.

E. Penatalaksanaan Medis
Tujuan utama terapi diabetes adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar
glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi terjadinya komplikasi vaskuler serta
neuropatik. Tujuan teraupetik pada setiap jenis diabetes adalah mencapai kadar glukosa
darah normal tanpa terjadinya hipoglikemia dan gangguan serius pada pola aktivitas
klien.
Ada lima komponen dalam penatalaksanaan diabetes:
1. Diet
2. Latihan
3. Pemantauan
4. Terapi
5. Pendidikan (keperawatan medical bedah, brunner and suddarth, 2002: 1226)
a. Penatalaksanaan Diet/Perencanaan Makanan(Meal planning)
Pada consensus perkumpulan endokrinologi Indonesia(PERKENI) telah
ditetapkan bahwa standar yang dianjurkan adalah santapan dengan komposisi
seimbang berupa karbohidrat(60-70%), protein (10-15%), lemak (20-25%),.
Apabila diperlukan santapan dengan komposisi karbohidrat sampai 70-75%
juga memberikan hasil yang baik, terutama untuk golongan ekonomi rendah.
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut,
dan kegiatan jasmani untuk mencapai berat badan ideal. Jumlah kandungan
kolestrol <300mg/hari. Jumlah kandungan serat kurang lebih 25 g/hari,
diutamakan jenis serat larut. Konsumsi garam dibatasi bila terdapat hipertensi.
Pemanis dapat digunakan secukupnya.

ix
b. Latihan Jasmani
Dianjurkan latihan jasmani teratur, 3-4 kali tiap minggu selama kurang lebih
0,5 jam yang sifatnya sesuai CRIPE (continous, Rhtmical, Interval, Progresiv,
endurance training). Latihan dilakukan terus menerus tanpa berhenti, otot-otot
berkontraksi dan relaksasi secara teratur, selang seling antara gerak cepat dan
lambat, berangsur angsur dari sedikit ke latihan yang lebih berat secara
bertahap dan bertahan dalam waktu tertentu. Latihan yang dapat dijadikan
pilihan adlah jalan kaki, jogging, lari, renang, bersepeda, dan mendayung.
Sedapat mungkin mencapai zona sasaran atau zona latihan, yaitu 75%-85%
denyut nadi maksimal.Denyut nadi maksimal dapat dihitung dengan
menggunakan formula berikut:
DNM= 220 – umur (dalam tahun) Hal yang perlu diperhatikan dalam latihan
jasmani ini adalah jangan memulai olahraga sebelum makan, memakai sepatu
yang pas, harus didampingi orang yang tahu mengatasi serangan hipoglikemia,
harus selalu membawa permen, dan memeriksa kaki setelah berolahraga.
c. Obat berkhasiat hipoglikemik
Jika pasien telah melakukan pengaturan makan dan kegiatan jasmani
yang teratur tapi kadar glukosa darah masih belum baik, dipertimbangkan
pemakaian obat berkhasiat hipoglikemik (oral/suntikan)
Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
1) Sulfonylurea
Obat golongan sulfonylurea bekerja dengan cara :
a) Menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan
b) Menurunkan ambang sekresi insulin
c) Meningkatkan rangsangan insulin sebagai akibat rangsangan
glukosa
2) Biguanid
Biguanid menurunkan kadar glukosa darah tapi tidak sampai dibawah
normal. Preparat yang ada dan normal adalah metformin. Obat ini
dianjurkan untuk pasien gemuk(IMT>30) sebagai obat tunggal. Pada
pasien dengan berat lebih (IMT 27-30), dapat dikombinasi dengan obat
golongan sulfonylurea.
3) Inhibitor α glukosidase

x
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim α glukosidase
di dalam saluran cerna, sehingga menurunkan penyerapan glukos.
4) Insulin sensitizing agent
Thoazolidinediones adalah golongan obat baru yang mempunyai efek
farmakologi meningkatkan sensitifitas insulin, sehingga bias mengatasi
masalah resistensi insulin tanpa menyebabkan hipoglikemia. Obat ini belum
beredar di Indonesia.

xi
BAB III
KONSEP KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Identitas
Dalam mengkaji identitas beberapa data didapatkan adalah nama klien, umur,
pekerjaan orang tua, pendidikan orang tua, agama, suku, alamat. Dalam identitas
data/ petunjuk yang dapat kita prediksikan adalah Umur, karena seseorang memiliki
resiko tinggi untuk terkena diabetes mellitus tipe II pada umur diatas 40 tahun.
2. Keluhan Utama
Pasien diabetes mellitus dating kerumah sakit dengan keluhan utama yang berbeda-
beda. Pada umumnya seseorang dating kerumah sakit dengan gejala khas berupa
polifagia, poliuria, polidipsia, lemas, dan berat badan turun.
3. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian riwayat penyakit dahulu akan didapatkan informasi apakah
terdapat factor-faktor resiko terjadinya diabetes mellitus misalnya riwayat
obesitas, hipertensi, atau juga aterosclerosis
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengkajian pada RPS berupa proses terjadinya gejala khas dari DM, penyebab
terjadinya DM serta upaya yang telah dilakukan oleh penderita untuk
mengatasinya.
c, Riwayat Kesehatan Keluarga
Kaji adanya riwayat keluarga yang terkena diabetes mellitus, hal ini
berhubungan dengan proses genetic dimana orang tua dengan diabetes mellitus
berpeluang untuk menurunkan penyakit tersebut kepada anaknya.
4. Pola Aktivitas
a. Pola Nutrisi
Akibat produksi insulin tidak adekuat atau adanya defisiensi insulin maka kadar gula
darah tidak dapat dipertahankan sehingga menimbulkan keluhan sering kencing, banyak
makan, banyak minum, berat badan menurun dan mudah lelah. Keadaan tersebut dapat
mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi dan metabolisme yang dapat mempengaruhi
status kesehatan penderita.
b. Pola Eliminasi

xii
Adanya hiperglikemia menyebabkan terjadinya diuresis osmotik yang menyebabkan
pasien sering kencing (poliuri) dan pengeluaran glukosa pada urine ( glukosuria ). Pada
eliminasi alvi relatif tidak ada gangguan.
c. Pola Istirahat dan Tidur
Adanya poliuri, dan situasi rumah sakit yang ramai akan mempengaruhi waktu tidur dan
istirahat penderita, sehingga pola tidur dan waktu tidur penderita Pola Aktivitas
Adanya kelemahan otot – otot pada ekstermitas menyebabkan penderita tidak mampu
melaksanakan aktivitas sehari-hari secara maksimal, penderita mudah mengalami
kelelahan.
d. Pola persepsi dan konsep diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan penderita mengalami
gangguan pada gambaran diri. lamanya perawatan, banyaknya biaya perawatan dan
pengobatan menyebabkan pasien mengalami kecemasan dan gangguan peran pada
keluarga ( self esteem ).
e. Pola sensori dan kognitif
Pasien dengan diabetes mellitus cenderung mengalami neuropati / mati rasa pada kaki
sehingga tidak peka terhadap adanya trauma.
f. Pola seksual dan reproduksi
Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ reproduksi sehingga
menyebabkan gangguan potensi sek, gangguan kualitas maupun ereksi, serta memberi
dampak pada proses ejakulasi serta orgasme.
g. Pola mekanisme stres dan koping
Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, perasaan tidak berdaya
karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa marah,
kecemasan, mudah tersinggung dan lain – lain, dapat menyebabkan penderita tidak
mampu menggunakan mekanisme koping yang konstruktif / adaptif.

5. Pengkajian Fisik
a. Keadaan Umum
Meliputi keadaan penderita, kesadaran, suara bicara, tinggi badan, berat badan dan
tanda – tanda vital.
b. Head to Toe
1) Kepala Leher
Kaji bentuk kepala, keadaan rambut, adakah pembesaran pada leher, telinga
kadang-kadang berdenging, adakah gangguan pendengaran, lidah sering terasa

xiii
tebal, ludah menjadi lebih kental, gigi mudah goyah, gusi mudah bengkak dan
berdarah, apakah penglihatan kabur / ganda, diplopia, lensa mata keruh.
2) Sistem integumen
Kaji Turgor kulit menurun pada pasien yang sedang mengalami dehidrasi, kaji
pula adanya luka atau warna kehitaman bekas luka, kelembaban dan suhu kulit
di daerah sekitar ulkus dan gangren, kemerahan pada kulit sekitar luka, tekstur
rambut dan kuku.
3) Sistem pernafasan
Adakah sesak nafas menandakan pasien mengalami diabetes ketoasidosis, kaji
juga adanya batuk, sputum, nyeri dada. Pada penderita DM mudah terjadi
infeksi.
4) Sistem kardiovaskuler
Perfusi jaringan menurun, nadi perifer lemah atau berkurang,
takikardi/bradikardi, hipertensi/hipotensi, aritmia, kardiomegalis. Hal ini
berhubungan erat dengan adanya komplikasi kronis pada makrovaskuler
5) Sistem urinary
Poliuri, retensio urine, inkontinensia urine, rasa panas atau sakit saat
berkemih.Kelebihan glukosa akan dibuang dalam bentuk urin.
6) Sistem muskuloskeletal
Adanya katabolisme lemak, Penyebaran lemak dan, penyebaran masa
otot,berubah. Pasien juga cepat lelah, lemah.

7) Sistem neurologis
Berhubungan dengan komplikasi kronis yaitu pada system neurologis pasien
sering mengalami penurunan sensoris, parasthesia, anastesia, letargi,
mengantuk, reflek lambat, kacau mental, disorientasi.
b. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah :
a. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah meliputi : GDS > 200 mg/dl, gula darah puasa >120 mg/dl
dan dua jam post prandial > 200 mg/dl.
b. Urine
Pemeriksaan didapatkan adanya glukosa dalam urine. Pemeriksaan dilakukan
dengan cara Benedict ( reduksi ). Hasil dapat dilihat melalui perubahan warna

xiv
pada urine : hijau ( + ), kuning ( ++ ), merah ( +++ ), dan merah bata ( ++++
).
c. Kultur pus
Mengetahui jenis kuman pada luka dan memberikan antibiotik yang sesuai
dengan jenis kuman.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik, kehilangan
gastrik, berlebihan diare, mual, muntah, masukan dibatasi, kacau mental.
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakcukupan insulin, penurunan masukan oral : anoreksia, mual, lambung penuh,
nyeri abdomen, perubahan kesadaran : status hipermetabolisme, pelepasan hormon
stress.
3. Risiko tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan
perifer, perubahan sirkulasi, kadar gula darah yang tinggi, prosedur invasif dan
kerusakan kulit.

C. Intervensi Keperawatan
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik, kehilangan
gastrik, berlebihan diare, mual, muntah, masukan dibatasi, kacau mental.
Tujuan : Kondisi tubuh stabil, tanda-tanda vital, turgor kulit, normal.
Kriteria Hasil : pasien menunjukan adanya perbaikan keseimbangan cairan, dengan
kriteria ; pengeluaran urine yang adekuat (batas normal), tanda-tanda vital stabil,
tekanan nadi perifer jelas, turgor kulit baik, pengisian kapiler baik dan membran
mukosa lembab atau basah.
Intervensi dan Implementasi :
a. Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan tekanan darah ortestastik.
R : Hipovolemia dapat dimanifestasikan oleh hipotensi dan takikardia.
b. Kaji pola napas dan bau napas.
R : Paru-paru mengeluarkan asam karbonat melalui pernapasan yang
menghasilkan kompensasi alkosis respiratoris terhadap keadaan
ketoasidosis.
c. Kaji suhu, warna dan kelembaban kulit.

xv
R : Demam, menggigil, dan diaferesis merupakan hal umum terjadi pada proses
infeksi. Demam dengan kulit yang kemerahan, kering, mungkin gambaran
dari dehidrasi.
d. Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa.
R : Merupakan indikator dari tingkat dehidrasi atau volume sirkulasi yang
adekuat.
e. Pantau intake dan output. Catat berat jenis urine.
R : memeberikan perkiraan kebutuhan akan cairan pengganti, fungsi ginjal dan
keefektifan dari terapi yang diberikan.
f. Ukur berat badan setiap hari.
R : memberikan hasil pengkajian yang terbaik dari status cairan yang sedang
berlangsung dan selanjutnya dalam memberikan cairan pengganti.
g. Kolaborasi pemberian terapi cairan sesuai indikasi
R : tipe dan jumlah dari cairan tergantung pada derajat kekurangan cairan dan
respon pasien secara individual.
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakcukupan insulin, penurunan masukan oral : anoreksia, mual, lambung
penuh, nyeri abdomen, perubahan kesadaran : status hipermetabolisme, pelepasan
hormon stress.
Tujuan : berat badan dapat meningkat dengan nilai laboratorium normal dan tidak
ada tanda-tanda malnutrisi.
Kriteria Hasil :
a. pasien mampu mengungkapkan pemahaman tentang penyalahgunaan zat,
penurunan jumlah intake ( diet pada status nutrisi).
b.mendemonstrasikan perilaku, perubahan gaya hidup untuk meningkatkan dan
mempertahankan berat badan yang tepat.
Intervensi dan Implementasi
a. Timbang berat badan setiap hari sesuai indikasi
R : Mengetahui pemasukan makan yang adekuat.
b. Tentukan program diet dan pola makanan pasien dibandingkan dengan makanan
yang dapat dihabiskan pasien.
R: Mengindentifikasi penyimpangan dari kebutuhan.
c. Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen/perut kembung,
mual,muntah, pertahankan puasa sesuai indikasi.

xvi
R : mempengaruhi pilihan intervensi.
d. Observasi tanda-tanda hipoglikemia, seperti perubahan tingkat kesadaran,
dingin/lembab, denyut nadi cepat, lapar dan pusing.
R : secara potensial dapat mengancam kehidupan, yang harus dikali dan
ditangani secara tepat.
e. Kolaborasi dalam pemberian insulin, pemeriksaan gula darah dan diet.
R : Sangat bermanfaat untuk mengendalikan kadar gula darah.
3. Risiko tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan
perifer, perubahan sirkulasi, kadar gula darah yang tinggi, prosedur invasif dan
kerusakan kulit.
Tujuan : Infeksi tidak terjadi.
Kriteria Hasil :
a. mengindentifikasi faktor-faktor risiko individu dan intervensi untuk
mengurangi potensial infeksi.
b, pertahankan lingkungan aseptik yang aman.
Intervensi / Implementasi
a. Observasi tanda-tanda infeksi dan peradangan seperti demam, kemerahan,
adanya pus pada luka , sputum purulen, urin warna keruh dan berkabut.
R : pasien masuk mungkin dengan infeksi yang biasanya telah mencetus
keadaan ketosidosis atau dapat mengalami infeksi nosokomial.
b. Tingkatkan upaya pencegahan dengan melakukan cuci tangan yang baik, setiap
kontak pada semua barang yang berhubungan dengan pasien termasuk
pasiennya sendiri.
R : mencegah timbulnya infeksi nosokomial.
c. Pertahankan teknik aseptik pada prosedur invasif (seperti pemasangan infus,
kateter folley, dsb).
R : Kadar glukosa yang tinggi dalam darah akan menjadi media terbaik bagi
pertumbuhan kuman.
d. Pasang kateter / lakukan perawatan perineal dengan baik.
R : Mengurangi risiko terjadinya infeksi saluran kemih.
e. Berikan perawatan kulit dengan teratur dan sungguh-sungguh. Masase daerah
tulang yang tertekan, jaga kulit tetap kering, linen kering dantetap kencang
(tidak berkerut).

xvii
R : sirkulasi perifer bisa terganggu yang menempatkan pasien pada penigkatan
risiko terjadinya kerusakan pada kulit / iritasi dan infeksi.
f. Posisikan pasien pada posisi semi fowler.
R : memberikan kemudahan bagi paru untuk berkembang, menurunkan
terjadinya risiko hipoventilasi.
g. Kolaborasi antibiotik sesuai indikasi.
R : penenganan awal dapat membantu mencegah timbulnya sepsis.

D. Evaluasi
Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan diabetes mellitus adalah :
a. Kondisi tubuh stabil, tanda-tanda vital, turgor kulit, normal.
b. Berat badan dapat meningkat dengan nilai laboratorium normal dan tidak ada tanda-
tanda malnutrisi.
c. Infeksi tidak terjadi
d. Rasa lelah berkurang/Penurunan rasa lelah
e. Pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan proses
pengobatan.

xviii
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Diabetes mellitus adalah sekelompok kelainan yang ditandai oleh peningkatan
kadar glukosa darah (hiperglikemia). Mungkin terdapat penurunan dalam
kemampuan tubuh untuk berespon terhadap insulin dan atau penurunan atau tidak
terdapatnya pembentukan insulin oleh pancreas. Kondisi ini mengarah pada
hiperglikemia, yang dapat menyebabkan terjadinya komplikasi metabolic akut
seperti ketoasidosis diabetic. Hiperglikema jangka panjang dapat menunjang
terjadinya komplikasi mikrovaskular kronis (penyakit ginjal dan mata) serta
komplikasi neuropati. Diabetes juga berkaitan dengan kejadian penyakit
makrovaskuler, termasuk infark miokard, stroke, dan penyakit vaskuler perifer.

B. Saran
Diharapkan kepada setiap pembaca memberikan saran dan kritik yang
membangun demi kesempurnaan makalah ini.

xix
DAFTAR PUSTAKA

Baughman, DC & Hackley, JC.2000. Keperawatan Medikal Bedah Brunner &


Suddarth.Jakarta: EGC

Buku ajar Fisiologi Guyton.

Lewis M Sharon, RN, PhD, Heitkemper MC faan. 2000. Medical Surgical Nursing
Ed.5.Mosby

Martinus, Adrian.2005.1001 Tentang Diabetes.Bandung:Nexx Media

Pearce, Evelyn C.2007.Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis.Jakarta:PT Gramedia Pustaka


Utama

Price, Sylvia A.2005.Patofisiologi volume Edisi 6.Jakarta:EGC

Smeltzer, Suzzanne C.2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth
Ed.8.Jakarta: EGC

Tambayong, Jan dr. 2001. Anatomi dan fisiologi untuk keperawatan. EGC

www.trinoval.web.id

www.ilmukeperawatan.com

www.klikdokter.com

xx
DAFTAR ISI

HAL
KATA PENGANTAR ................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................. ii
BAB I. PENDAHULUAN
1.9. Latar Belakang ............................................................................... 1
1.10. Rumusan Masalah ......................................................................... 2

BAB II. PEMBAHASAN


2.1. Definisi .................................................................................................... 3
2.2. Etiologi .................................................................................................... 4
2.3. Patofisiologi................... ......................................................................... 5
2.4. Menifestasi klinik ................................................................................... 6
2.5. Pemeriksaan penunjang...... .................................................................... 7
2.6. Penatalaksanaan ...... ............................................................................... 8
2.7. Komplikasi...... ........................................................................................ 9
2.8. Pencegahan...... ....................................................................................... 10
2.9. Prognosis……………………………………………………………..... 11

BAB III. PENUTUP


3.1. Kesimpulan ............................................................................................
3.2. Saran ...................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 13

xxi
MATERI APENDISITIS

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Apendisitis adalah peradangan dari apendik periformis, dan merupakan penyebab abdomen
akut yang paling sering (Dermawan & Rahayuningsih, 2010)
Istilah usus buntu yang dikenal di masyarakat awam adalah kurang tepat karena usus yang
buntu sebenarnya adalah sekum. Apendiks diperkirakan ikut serta dalm system imun sektorik di
saluran pencernaan. Namun, pengangkatan apendiks tidak menimbulkan efek fungsi system imun
yang jelas (syamsyuhidayat, 2005).
Insiden apendisitis di Negara maju lebih tinggi daripada di Negara berkembang. Namun,
dalm tiga-empat dasawarsa terakhir kejadiannya menurun secara bermakna. Hal ini di duga
disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat pada diit harian (Santacroce,2009).
Dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di indonesia, apendisitis akut
merupakan salah satu penyebab dari akut abdomen dan beberapa indikasi untuk dilakukan operasi
kegawatdaruratan abdomen. Insidens apendisitis di Indonesia menempati urutan tertinggi di antara
kasus kegawatan abdomen lainya (Depkes 2008). Dinkes jateng menyebutkan pada tahun 2009
jumlah kasus apendisitis di jawa tengah sebanyak 5.980 penderita, dan 177 penderita diantaranya
menyebabkan kematian. Pada periode 1 Januari sampai 31 Desember 2011 angka kejadian
appendisitis di RSUD salatiga, dari seluruh jumlah pasien rawat inap tercatat sebanyak 102
penderita appendisitis dengan rincian 49 pasien wanita dan 53 pasien pria. Ini menduduki peringkat
ke 2 dari keseluruhan jumlah kasus di instalsi RSUD Salatiga. Hal ini membuktikan tingginya
angka kesakitan dengan kasus apendiksitis di RSUD Salatiga.
Peradangan pada apendiks selain mendapat intervensi farmakologik juga memerlukan
tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi dan memberikan implikasi pada perawat dalam
bentuk asuhan keperawatan. Berlanjutnya kondisi apendisitis akan meningkatkan resiko terjadinya
perforasi dan pembentukan masa periapendikular. Perforasi dengan cairan inflamasi dan bakteri
masuk ke rongga abdomen lalu memberikan respons inflamasi permukaan peritoneum atau terjadi
peritonitis. Apabila perforasi apendiks disertai dengan material abses, maka akan memberikan
manifestasi nyeri local akibat akumulasi abses dan kemudian juga akan memberikan respons

xxii
peritonitis. Manifestasi yang khas dari perforasi apendiks adalah nyeri hebat yang tiba-tiba datang
pada abdomen kanan bawah (Tzanakis, 2005).
Tujuh persen penduduk di Amerika menjalani apendiktomi (pembedahan untuk mengangkat
apendiks) dengan insidens 1,1/1000 penduduk pertahun, sedang di negara-negara barat sekitar
16%. Di Afrika dan Asia prevalensinya lebih rendah akan tetapi cenderung meningkat oleh karena
pola dietnya yang mengikuti orang barat (www.ilmubedah.info.com, 2011).

B. Rumusan Masalah
1. Apa defenisi dari apendisitis ?
2. Apa etiologi dari apendisitis ?
3. Bagaimana patofisiologi apendisitis ?
4. Apa manifestasi klinis apendisitis ?
5. Bagaimana Pemeriksaan Penunjang ?
6. Apa saja penatalaksanaan medis dari apendisitis ?
7. Jelaskan Komplikasi apendisitis !
8. Bagaimana Pencegahan apendisitis ?
9. Jelaskan Prognosis apendisitis !

xxiii
BAB II
KOSEP MEDIS

A. Defenisi
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab
abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua umur baik laki-laki maupun
perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, 2000).
Menurut Smeltzer C. Suzanne (2001), apendisitis adalah penyebab paling umum inflamasi
akut pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen dan merupakan penyebab paling umum untuk
bedah abdomen darurat.
Berdasarkan defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa apendisitis adalah kondisi dimana
terjadi infeksi pada umbai apendiks dan merupakan penyakit bedah abdomen yang paling sering
terjadi.
Menurut Sjamsuhidayat (2004), apendisitis terdiri dari lima bagian antara lain :
1. Apendisitis akut
Adalah peradangan apendiks yang timbul meluas dan mengenai peritoneum pariental setempat
sehingga menimbulkan rasa sakit di abdomen kanan bawah.
2. Apendisitis infiltrat (Masa periapendikuler)
Apendisitis infiltrat atau masa periapendikuler terjadi bila apendisitis ganggrenosa di tutupi
pendinginan oleh omentum.
3. Apendisitis perforata
Ada fekalit didalam lumen, Umur (orang tua atau anak muda) dan keterlambatan diagnosa
merupakan faktor yang berperan dalam terjadinya perforasi apendiks.
4. Apendisitis rekuren
Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut pertama kali sembuh spontan, namun apendiks
tidak pernah kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fibrosis dan jaringan parut. Resikonya
untuk terjadinya serangan lagi sekitar 50%.
5. Apendisitis kronis
Fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya
jaringan parut dan ulkus lama di mukosa dan infiltrasi sel inflamasi kronik.

B. Etilogi
Penyebab penyakit apendisitis secara pasti belum diketahui. Tetapi, terjadinya apendisitis
ini umumnya karena bakteri. Selain itu, terdapat banyak faktor pencetus terjadinya penyakit ini
diantaranya sumbatan lumen apendiks, hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks dan
cacing askaris yang dapat menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan
apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E. histolytica. Penelitian

xxiv
epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh
konstipasi terhadap timbulnya apendisitis juga merupakan faktor pencetus terjadinya penyakit ini.
Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional
apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini mempermudah
timbulnya apendisitis akut (Sjamsuhidayat, 2004).

C. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia
folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau
neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami
bendungan. Semakin lama mukus tersebut semakin banyak, namun elastisitas dinding apendiks
mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang
meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri,
dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut lokal yang ditandai oleh nyeri
epigastrium. Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan
yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah
kanan bawah. Keadaan ini disebut apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh
itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan
usus yang berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut
infiltrate apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.
Pada anak-anak, kerena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, maka dinding apendiks
lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang sehingga
memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena telah
ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2000).

D. Manifestasi Klinik
Menurut Arief Mansjoer (2002), keluhan apendisitis biasanya bermula dari nyeri di daerah
umbilikus atau periumbilikus yang berhubungan dengan muntah. Dalam 2 – 12 jam nyeri akan
beralih ke kuadran kanan bawah yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk. Terdapat
juga keluhan anoreksia, malaise dan demam yang tak terlalu tinggi. Biasanya juga terdapat
konstipasi tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual dan muntah.
Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang menetap namun
dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan bawah akan semakin progresif dan dengan pemeriksaan

xxv
seksama akan dapat ditunjukkan satu titik dengan nyeri maksimal perkusi ringan pada kuadran kanan
bawah dapat membantu menentukan lokasi nyeri.
Menurut Suzanne C Smeltzer dan Brenda G Bare (2002), apendisitis akut sering tampil
dengan gejala yang khas yang didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda
setempat. Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah dan
hilangnya nafsu makan. Pada apendiks yang terinflamasi, nyeri tekan dapat dirasakan pada kuadran
kanan bawah pada titik Mc.Burney yang berada antara umbilikus dan spinalis iliaka superior
anterior. Derajat nyeri tekan, spasme otot dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung
pada beratnya infeksi dan lokasi apendiks. Bila apendiks melingkar di belakang sekum, nyeri tekan
terasa di daerah lumbal. Bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini dapat diketahui hanya pada
pemeriksaan rektal. Nyeri pada defekasi menunjukkan ujung apendiks berada dekat rektum. Nyeri
pada saat berkemih menunjukkan bahwa ujung apendiks dekat dengan kandung kemih atau ureter.
Adanya kekakuan pada bagian bawah otot rektus kanan dapat terjadi. Tanda rovsing dapat timbul
dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang
terasa dikuadran kanan bawah. Apabila apendiks telah ruptur, nyeri menjadi menyebar. Distensi
abdomen terjadi akibat ileus paralitik dan kondisi pasien memburuk. Pada pasien lansia, tanda dan
gejala apendisitis dapat sangat bervariasi. Tanda-tanda tersebut dapat sangat meragukan,
menunjukkan obstruksi usus atau proses penyakit lainnya. Pasien mungkin tidak mengalami gejala
sampai ia mengalami ruptur apendiks. Insidens perforasi pada apendiks lebih tinggi pada lansia
karena banyak dari pasien-pasien ini mencari bantuan perawatan kesehatan tidak secepat pasien-
pasien yang lebih muda.
Menurut Diane C. Baughman dan JiAnn C. Hackley (2000), manifestasi klinis apendisitis
adalah sebagai berikut:
1. Nyeri kuadran kanan bawah dan biasanya disertai dengan demam derajat rendah, mual, dan
seringkali muntah
2. Pada titik Mc Burney terdapat nyeri tekan setempat karena tekanan dan sedikit kaku dari bagian
bawah otot rektus kanan
3. Nyeri alih mungkin saja ada; letak apendiks mengakibatkan sejumlah nueri tekan, spasme otot,
dan konstipasi serta diare kambuhan
4. Tanda Rovsing (dapat diketahui dengan mempalpasi kuadran kanan bawah , yang menyebabkan
nyeri kuadran kiri bawah)
5. Jika terjadi ruptur apendiks, maka nyeri akan menjadi lebih menyebar; terjadi distensi abdomen
akibat ileus paralitik dan kondisi memburuk.

xxvi
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang biasa dilakukan pada pasien yang diduga appendicitis
akut adalah pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktive (CRP). Pada pemeriksaan
darah lengkap sebagian besar pasien biasanya ditemukan jumlah leukosit di atas 10.000 dan
neutrofil diatas 75 %. Sedangkan pada pemeriksaan CRP ditemukan jumlah serum yang mulai
meningkat pada 6-12 jam setelah inflamasi jaringan.
2. Pemeriksaan urine
Untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin. pemeriksaan ini
sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau
batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendisitis.
3. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi yang biasa dilakukan pada pasien yang diduga appendicitis akut
antara lain adalah Ultrasonografi, CT-scan. Pada pemeriksaan ultrasonogarafi ditemukan
bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks. Sedang pada
pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan apendicalith serta perluasan
dari appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran dari saekum.
4. Pemeriksaan USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG, terutama
pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat dipakai untuk menyingkirkan
diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya.
5. Abdominal X-Ray
Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab appendisitis. pemeriksaan
ini dilakukan terutama pada anak-anak.

F. Penatalaksanaan
Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan. Antibiotik
dan cairan IV diberikan serta pasien diminta untuk membatasi aktivitas fisik sampai pembedahan
dilakukan. Analgetik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Apendiktomi (pembedahan
untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi.
Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum atau spinal, secara terbuka ataupun dengan
cara laparoskopi yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif. Bila apendiktomi terbuka,
insisi Mc.Burney banyak dipilih oleh para ahli bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas
sebaiknya dilakukan observasi dulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan
bila dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila terdapat laparoskop, tindakan laparoskopi
diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi atau tidak
(Smeltzer C. Suzanne, 2002).

xxvii
Menurut Arief Mansjoer (2000), penatalaksanaan apendisitis adalah sebagai berikut:
1. Tindakan medis
a. Observasi terhadap diagnosa
Dalam 8 – 12 jam pertama setelah timbul gejala dan tanda apendisitis, sering tidak
terdiagnosa, dalam hal ini sangat penting dilakukan observasi yang cermat. Penderita
dibaringkan ditempat tidur dan tidak diberi apapun melalui mulut. Bila diperlukan maka
dapat diberikan cairan aperviteral. Hindarkan pemberian narkotik jika memungkinkan,
tetapi obat sedatif seperti barbitural atau penenang tidak karena merupakan kontra indikasi.
Pemeriksaan abdomen dan rektum, sel darah putih dan hitung jenis di ulangi secara periodik.
Perlu dilakukan foto abdomen dan thorak posisi tegak pada semua kasus apendisitis,
diagnosa dapat jadi jelas dari tanda lokalisasi kuadran kanan bawah dalam waktu 24 jam
setelah timbul gejala.
b. Intubasi
Dimasukkan pipa naso gastrik preoperatif jika terjadi peritonitis atau toksitas yang
menandakan bahwa ileus pasca operatif yang sangat menggangu. Pada penderita ini
dilakukan aspirasi kubah lambung jika diperlukan. Penderita dibawa kekamar operasi
dengan pipa tetap terpasang.
c. Antibiotik
Pemberian antibiotik preoperatif dianjurkan pada reaksi sistematik dengan toksitas yang
berat dan demam yang tinggi .
2. Terapi bedah
Pada apendisitis tanpa komplikasi, apendiktomi dilakukan segera setelah terkontrol
ketidakseimbangan cairan dalam tubuh dan gangguan sistematik lainnya. Biasanya hanya
diperlukan sedikit persiapan. Pembedahan yang direncanakan secara dini baik
mempunyai praksi mortalitas 1 % secara primer angka morbiditas dan mortalitas penyakit ini
tampaknya disebabkan oleh komplikasi ganggren dan perforasi yang terjadi akibat yang
tertunda.
3. Terapi pasca operasi
Perlu dilakukan obstruksi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan didalam,
syok hipertermia, atau gangguan pernapasan angket sonde lambung bila pasien telah sadar,
sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah. Baringkan pasien dalam posisi fowler. Pasien
dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan. Selama itu pasien dipuasakan. Bila
tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi atau peritonitis umum, puasa diteruskan
sampai fungsi usus kembali normal. Kemudian berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4-5
jam lalu naikkan menjadi 30 ml/jam. Keesokan harinya diberikan makan saring, dan hari
berikutnya diberikan makanan lunak. Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk

xxviii
tegak ditempat tidur selama 2 x 30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk diluar
kamar. Hari ketujuh jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.

G. Komplikasi
Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat berkembang
menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10% sampai 32%. Insidens lebih tinggi
pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala
mencakup demam dengan suhu 37,7 oC atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri atau nyeri
tekan abdomen yang kontinyu (Smeltzer dan Barre, 2002).

H. Pencegahan
1. Diet tinggi serat akan sangat membantu melancarkan aliran pergerakan makanan dalam saluran
cerna sehingga tidak tertumpuk lama dan mengeras.
2. Minum air putih minimal 8 gelas sehari dan tidak menunda buang air besar juga akan membantu
kelancaran pergerakan saluran cerna secara keseluruhan.

I. Prognosis
Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan, tingkat mortalitas dan morbiditas
penyakit apendisitis sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi bila apendiks tidak diangkat.
Terminologi apendisitis kronis sebenarnya tidak ada (Mansjoer, 2000).

xxix
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab
abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua umur baik laki-laki maupun
perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, 2000).
Menurut Sjamsuhidayat (2004), apendisitis terdiri dari lima bagian antara lain :
1. Apendisitis akut
2. Apendisitis infiltrat (Masa periapendikuler)
3. Apendisitis perforata
4. Apendisitis rekuren
5. Apendisitis kronis
Penyebab penyakit apendisitis secara pasti belum diketahui. Tetapi, terjadinya apendisitis
ini umumnya karena bakteri. Selain itu, terdapat banyak faktor pencetus terjadinya penyakit ini
diantaranya sumbatan lumen apendiks, hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks dan
cacing askaris yang dapat menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan
apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E. histolytica. Penelitian
epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh
konstipasi terhadap timbulnya apendisitis juga merupakan faktor pencetus terjadinya penyakit ini.
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia
folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau
neoplasma.

B. Saran
Jagalah kesehatan dengan minum air putih minimal 8 gelas sehari dan tidak menunda buang air
besar juga akan membantu kelancaran pergerakan saluran cerna secara keseluruhan.

xxx
DAFTAR PUSTAKA

Baughman, Diane C dan Hackley, JiAnn C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku untuk
Brunner dan Suddarth. Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC.
_____________2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC.
Sjamsuhidajat, R dan Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanne C dan Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2, Alih
Bahasa Kuncara, H.Y, dkk. Jakarta: EGC.
Wilkinson, Judith M dan Ahern, Nancy R. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan:
Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil Noc. Jakarta: EGC.

xxxi
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..................................................................... .............................................. 1


Daftar Isi .............................................................................. .............................................. 2
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang ................................................... .............................................. 3
B. Rumusan Masalah .............................................. .............................................. 3
C. Tujuan ................................................................ .............................................. 4
BAB II Isi
A. Pengertian Gangguan Sistem Pencernaan .......... .............................................. 5
B. Macam-Macam Gangguan Sistem Pencernaan . .............................................. 5
C. Alat-Alat Kedokteran dalam Mengatasi Gangguan Pencernaan ...................... 7
BAB III Penutup
A. Kesimpulan ........................................................ .............................................. 13
B. Kritikdan
Saran .................................................................. .............................................. 13
............................................................................
Daftar Pustaka ...................................................................... .............................................. 14

xxxii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dewasa ini, presentasi kasus-kasus penyakit yang berdampak pada gangguan saluran
pencernaan mulai mengalami peningkatan. Kecukupan nutrisi tubuh berpengaruh besar
terhadap produktivitas dan hal itu sangat berkaitan erat dengan fungsi kerja saluran
pencernaan. Saluran pencernaan yang berfungsi secara optimal akan mampu memaksimalkan
nilai pemanfaatan ransum melalui proses pencernaan dan penyerapan nutrisi.
Kerugian utama adanya gangguan pada organ dan saluran pencernaan tentunya berupa
terganggunya penyerapan nutrisi. Gangguan pencernaan akibat kesalahan makanan misalnya
akan menyebabkan saluran pencernaan tidak dapat bekerja dengan baik. Hal lain berakibat
pada terjadinya immunosuppresif.
Saluran pencernaan pada hewan terdiri atas organ-organ yang meliputi mulut,
tenggorokan, kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar, rektum, dan anus. Namun,
sistem pencernaan juga melibatkan organ-organ yang berada di luar saluran pencernaan,
seperti hati, kantung empedu, dan pankreas.
Penyebab terjadinya gangguan atau kelainan pada sistem pencernaan makanan dapat
diakibatkan oleh beberapa hal, seperti pola makan yang salah, kurang
mengonsumsi sayuran,gaya hidup yang tidak sehat, dan lain-lain.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan gangguan system pencernaan ?
2. Sebutkan penyakit yang disebabkan oleh gangguan system pencernaan dan Apa
penyebabnya ?
3. Sebutkan alat-alat kedokteran apa saja yang dibutuhkan pada pemeriksaan
gangguan system pencernaan?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari gangguan system pencernaan.
2. Mengetahui penyakit yang disebabkan oleh gangguan sistem pencernaan beserta
penyebabnya.
3. Mengetahui alat-alat kedokteran yang digunakan dalam menangani masalah gangguan
sistem pencernaan.

xxxiii
BAB II
PEMBAHASAN

A. Gangguan pada Sistem Pencernaan


Gangguan pencernaan merupakan salah satu gangguan penyakit yang terjadi pada
bagian pencernaan manusia. Gangguan pencernaan ini sendiri menyebabkan gangguan pada
aktivitas yang sedang dijalankan oleh penderitanya. Hal ini disebabkan oleh rasa mual,
mulas, tak bertenaga dan sebagainya. Penyebab penyakit gangguan pencernaan yang paling
utama ini adalah pola makan yang mungkin tidak sehat. Pada manusia sangat banyak hal
yang menyangkut berbagai organ yang terkait dengan sistem pencernaan.
Penyebabnya bermacam-macam, dapat terjadi karena luka di bagian dalam yang
terinfeksi oleh virus atau bakteri, hingga kelainan kerja fisiologis tubuh. Oleh karena itu, kita
harus bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena diberi tubuh yang sehat.
B. Macam-Macam Gangguan Pada Sistem Pencernaan dan Penyebabnya
Di antaranya beberapa macam penyakit gangguan pencernaan adalah sebagai berikut:
1. Gastritis (suatu radang yang akut atau kronis) adalah penyakit pada sistem
pencernaan pada lapisan mukosa dinding lambung. Radang yang akut dapat
disebabkan karena produksi asam lambung yang tinggi sehingga mengiritasi
dinding lambung. Selain itu, bisa disebabkan oleh bakteri. Penderita gastritis akan
merasa lambungnya terbakar.
2. Radang hati yang menular (Hepatitis) merupakan infeksi virus pada hati, sering
meluas melalui air atau makanan yang terkontaminasi oleh virus.
3. Diare dapat ditimbulkan karena adanya iritasi pada selaput dinding kolon oleh
bakteri disentri, diet yang jelek, zat-zat beracun, rasa gelisah, atau makanan yang
dapat menimbulkan iritasi pada dinding usus.
4. Sembelit yang kronis bila defekasi terlambat, usus besar mengabsorpsi air secara
berlebihan dari feses dan menyebabkan feses menjadi kering dan keras. Bila hal ini
terjadi, pengeluaran feses menjadi sulit. Menahan buang air besar pada waktu-
waktu yang normal dapat menyebabkan sembelit. Semebleit dapat juga disebabkan
emosi seperti rasa gelisah, cemas, takut atau stress.

xxxiv
5. Kanker lambung, yaitu gejala-gejala permulaan dari kanker lambung hampir sama
dengan gejala-gejala yang disebabkan gangguan lain pada alat pencernaan, antara
lain merasa panas, kehilangan nafsu makan, ketidaksanggupan mencerna (salah
cerna) berlangsung terus menerus, sedikit rasa muak, rasa gembung dan rasa gelisah
sesudah makan, dan kadang-kadang timbul rasa nyeri pada lambung.
6. Radang usus buntu, bila usus buntu (umbai cacing) meradang, membengkak dan
terisi oleh nanah. Kondisi ini disebut radang usus buntu atau apendistis.
7. Hemaroid, adalah pembengkakkan vena didaerah anus. Hemaroid cenderung
berkembang pada orang-orang yang terlalu lama duduk terus menerus atau pada
orang yang menderita sembelit. Hemaroid juga sering terjadi pada wanita hamil dan
orang-orang yang terlalu gemuk. Gejala-gejala hemaroid meliputi rasa gatal-gatal,
nyeri dan pendarahan.
8. Keracunan makanan, umumnya disebabkan oleh bakteri yang terdapat dalam
makanan. Bakteri dalam makanan dapat membahayakan atau menghasilkan racun
yang membahayakan tubuh. Geajala-gejala keracunan makanan meliputi muntah-
muntah, diare, nyeri (sakit) rongga dada dan perut serta demam.
Penyakit-penyakit gangguan pencernaan seperti yang disebutkan di atas di antaranya
bisa disebabkan oleh beberapa faktor berikut ini:
a. Pola makan yang salah
b. Infeksi dari bakteri, mikroba lainnya atau cacing.
c. Terdapat kelainan pada sistem pencernaan itu sendiri seperti akibat tumor, infeksi
atau pelebaran pembuluhnya.

C. Alat-Alat Kedokteran untuk Memeriksa Gangguan Pada Sistem Pencernaan


Banyak alat-alat kedokteran yang dipergunakan untuk menangani masalah gangguan
pada sistem pencernaan, diantaranya :
1. Endoscopy

xxxv
Endoscopy

Endoscopy adalah sebuah alat kedokteran yang berfungsi untuk mengetahui kelainan
yang terjadi pada alat-alat pencernaan bagian atas seperti kerongkongan.
Pemeriksaan atau tindakan pengobatan di dalam saluran pencernaan yang
menggunakan peralatan berupa teropong (Endoscop) memiliki beberapa keunggulannya
seperti :
 Dapat melihat dengan jelas lokasi dan jenis kelainan dalam rongga saluran
pencernaan.
 Tindakan pengobatan dengan resikonya jauh lebih ringan daripada tindakan
operasi.
 Dapat menggantikan fungsi tindakan operasi, lebih nyaman, biaya lebih murah dan
efisien.
Hasil pemeriksaan dapat langsung dicetak.
Endoskop yang dimasukkan melalui mulut bisa digunakan untuk memeriksa:
 kerongkongan (esofagoskopi)
 lambung (gastroskopi)
 usus halus (endoskopi saluran pencernaan atas).
Jika dimasukkan melalui anus, maka endoskop bisa digunakan untuk memeriksa:
 rektum dan usus besar bagian bawah (sigmoidoskopi)
 keseluruhan usus besar (kolonoskopi).
Dengan endoskop dokter dapat melihat lapisan dari sistem pencernaan, daerah yang
mengalami iritasi, ulkus, peradangan dan pertumbuhan jaringan yang abnormal. Biasanya
diambil contoh jaringan untuk keperluan pemeriksaan lainnya.
2. Ct Scan

Ct Scan

CT - singkatan dari Computed Temography sedangkan Scan adalah foto. CT


Scan adalah suatu prosedur yang digunakan untuk mendapatkan gambaran dari berbagai
sudut kecil dari tulang tengkorak dan otak.

xxxvi
 Tujuan penggunaan CT Scan
Menemukan patologi otak dan medulla spinalis dengan teknik scanning/pemeriksaan
tanpa radioisotope. Dengan demikian CT scan hampir dapat digunakan untuk menilai semua
organ dalam tubuh, bahkan di luar negeri sudah digunakan sebagai alat skrining
menggantikan foto rontgen dan ultrasonografi. Yang penting pada pemeriksaan CT scan
adalah pasien yang akan melakukan pemeriksaan bersikap kooperatif artinya tenang dan tidak
bergerak saat proses perekaman. CT scan sebaiknya digunakan untuk :
 Menilai kondisi pembuluh darah misalnya pada penyakit jantung koroner, emboli
paru, aneurisma (pembesaran pembuluh darah) aorta dan berbagai kelainan
pembuluh darah lainnya.
 Menilai tumor atau kanker misalnya metastase (penyebaran kanker), letak kanker,
dan jenis kanker.
 Kasus trauma/cidera misalnya trauma kepala, trauma tulang belakang dan trauma
lainnya pada kecelakaan. Biasanya harus dilakukan bila timbul penurunan
kesadaran, muntah, pingsan ,atau timbulnya gejala gangguan saraf lainnya.
 Menilai organ dalam, misalnya pada stroke, gangguan organ pencernaan dan
lainnya.
 Membantu proses biopsy jaringan atau proses drainase/pengeluaran cairan yang
menumpuk di tubuh. Disini CT scan berperan sebagai “mata” dokter untuk melihat
lokasi yang tepat untuk melakukan tindakan.

Alat bantu pemeriksaan bila hasil yang dicapai dengan pemeriksaan radiologi lainnya
kurang memuaskan atau ada kondisi yang tidak memungkinkan anda melakukan pemeriksaan
selain CT scan.
3. USG

USG
Ultrasonography (USG) adalah pemeriksaan dalam bidang penunjang diagnostik yang
memanfaatkan gelombang ultrasonik dengan frekuensi yang tinggi dalam menghasilkan
imajing, tanpa menggunakan radiasi, tidak menimbulkan rasa sakit (non traumatic), tidak
menimbulkan efek samping (non invasif), relatif murah, pemeriksaannya relatif cepat,dan

xxxvii
persiapan pasien serta peralatannya relatif mudah. Gelombang suara ultrasound memiliki
frekuensi lebih dari 20.000Hz, tapi yang dimamfaatkan dalam teknik ultrasonography
(kedokteran) hanya gelombang suara dengan frekuensi 1-10 MHz.

4. Laparoscopy
Laparoscopy berfungsi untuk pembersihan darah. Selain itu, laparoscopy juga
dipergunakan untuk melakukan inseminasi. atau istilah lain.
Laparoscopy merupakan tindakan pembedahan pada sekitar saluran pencernaan dan
daerah perut secara minimal invasif.

5. Stetoskop
Stetoskop adalah salah satu alat yang sudah menjadi simbol dari profesi kedokteran.
Fungsi dari stetoskop ini adalah untuk mendengarkan detak jantung, suara usus, dan lain
sebagainya. Dengan kemampuannya ini, Stetoskop dapat digunakan pula untuk mengetahui
kerja paru-paru dan juga untuk mengukur tekanan darah dengan mendengarkan denyut nadi.

Stetoskop

Stetoskop itu terdiri atas dua jenis, ada astetoskop akustik dan elektronik. Stetoskop
akustik beroperasi dengan cara menyalurkan suara dari dada. Suara itu dihantarkan melalui
tabung kosong yang berisi udara untuk di sampaikan ke telinga pendengar atau dokter.
Untuk memerjelas suara yang dihasilkan, ada bagian bernama chestpiece yang bisa
diletakkan di badan pasien, terdiri atas diaphgram dan bell. Bagian diaphgram yang akan
xxxviii
diletakkan pada tubuh pasien, lewat bagian itu suara tubuh pasien bergetar. Suara dihantarkan
menuju tube yang ada di telinga pendengar.
Stetoskop ini memiliki tingkat suara yang rendah sehingga pendiagnosisan penyakit sulit
untuk diketahui.
Sementara itu stetoskop elektronik bisa mengatasai tingkat suara yang rendah
tersebut. Caranya adalah memperkuat suara dari tubuh. Namun penggunaan stetoskop itu
belum begitu berkembang karena hanya digunakan untuk mendiagnosa penyakit tertentu.
Stetoskop ini bisa menghilangkan suara tertentu dan fokus hanya pada satu suara tertentu.
6. Colonoscopy
Colonoscopy adalah alat medis yang fungsinya untuk mengetahui kondisi saluran
pencernaan bagian bawah. Bagian tersebut dimulai dari rectum, anus sampai dengan usus
pada bagian bawah. Alat ini juga berfungsi sebagai alat skrining dalam mendeteksi dini
kanker kolorektal. Kanker itu adalah tumor ganas yang berasal dari dinding di usus besar.

Colonoscopy

Fungsi lain dari colonoscopy antara lain sebagai berikut.


 Menyelidiki penyebab adanya darah di tinja. Lewat alat ini bisa diketahui dimana
tempat pendarahan itu.
 Memeriksa pasien jika ada keluhan nyeri pada perut bagian bawah yang penyebabnya
belum bisa dijelaskan.
 Memeriksa diare kronik yang juga belum diketahui penyebabnya.
 Menyelidiki pasien jika memiliki kebiasaan yang berubah ketika buang air besar.
 Memberikan hasil diagnosis dalam kelainan yang sebelymnya telah ditemukan dalam
rontgen atau CT Scan.
 Memberikan evaluasi ketika sudah selesai pembedahan kolon serta polip.

xxxix
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Gangguan pada sistem pencernaan dapat disebabkan oleh rasa mual yang terjadi, mulas,
tak bertenaga dan sebagainya. Penyebab penyakit gangguan pencernaan yang paling
utama ini adalah pola makan yang mungkin tidak sehat.
2. Diantara penyakit gangguan pada sistem pencernaan adalah Gastritis, Radang hati yang
menular (Hepatitis), Diare Sembelit, Kanker lambung, Radang usus buntu, Hemaroid,
dan Keracunan makanan.
3. Diantara alat-alat kedokteran yang digunakan untuk menangani masalah pada gangguan
pencernaan adalah Endoscopy, Ct Scan, USG, dan Laparoscopi serta Colonoscopy.
B. Kritik dan Saran
Dalam penyusunan makalah ini, Tim penyusun merasa masih banyak kekurangan. Untuk
itu kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan.

xl
DAFTAR PUSTAKA

Pearce Evelin C. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT


Gremedia Pustaka Utama
Irianto. 2004. Struktur dan Fungsi Tubuh Manusia. Jakarta : Yrama Widia.
Syaifudin. 2006. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta: EGC
Sloane, Ethel. 2003. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. EGC, Jakarta.
Arobiansyah. 2008. Asuhan keperawatan kebutuhan nutrisi.
http://athearobiansyah.blogspot.com/2008/03/asuhan-keperawatan-kebutuhan-
nutrisi_25.html. Diakses pada tanggal 25 Nopember 2013 pukul 14:51.

xli
DAFTAR ISI

HAL
KATA PENGANTAR ................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................. ii
BAB I. PENDAHULUAN
1.11. Latar Belakang ............................................................................... 1
1.12. Tujuan .......................................................................................... 2
1.13. Rumusan masalah ......................................................................... 3

BAB II. PEMBAHASAN


2.1. Definisi .................................................................................................... 4
2.2. Etiologi .................................................................................................... 5
2.3. Klasifikasi................... ............................................................................ 6
2.4. Manifestasi klinis .................................................................................... 7
2.5. Patofisiologi...... ...................................................................................... 8
2.6. Komplikasi...... ........................................................................................ 9
2.6. Pemeriksaan penunjang...... .................................................................... 10
2.8. Penatalaksanaan...... ................................................................................ 11

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 12

xlii
MATERI ASMA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu penyakit yang sering dijumpai pada anak-anak yaitu penyakit asma.
Kejadian asma meningkat di hampir seluruh dunia, baik Negara maju maupun Negara
berkembang termasuk Indonesia. Peningkatan ini diduga berhubungan dengan meningkatnya
industri sehingga tingkat polusi cukup tinggi. Walaupun berdasarkan pengalaman klinis dan
berbagai penelitian asma merupakan penyakit yang sering ditemukan pada anak, tetapi
gambaran klinis asma pada anak sangat bervariasi, bahkan berat-ringannya serangan dan
sering-jarangnya serangan berubah-ubah dari waktu ke waktu. Akibatnya kelainan ini kadang
kala tidak terdiagnosis atau salah diagnosis sehingga menyebabkan pengobatan tidak adekuat.

Penyakit asma merupakan kelainan yang sangat sering ditemukan dan diperkirakan 4–
5% populasi penduduk di Amerika Serikat terjangkit oleh penyakit ini. Asma bronkial terjadi
pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia dini. Sekitar separuh kasus timbul sebelum
usia 10 tahun dan sepertiga kasus lainnya terjadi sebelum usia 40 tahun. Pada usia kanak-kanak
terdapat predisposisi laki-laki : perempuan = 2 : 1 yang kemudian menjadi sama pada usia 30
tahun.

Asma merupakan 10 besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal itu
tergambar dari data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai propinsi di
Indonesia. SKRT 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke 5 dari 10 penyebab kesakitan
bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis
kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian ke 4 di Indonesia atau sebesar 5,6%. Tahun

xliii
1995, prevalensi asma di Indonesia sekitar 13 per 1.000 penduduk, dibandingkan bronkitis
kronik 11 per 1.000 penduduk dan obstruksi paru 2 per 1.000 penduduk.

Beberapa anak menderita asma sampai mereka usia dewasa; namun dapat
disembuhkan. Kebanyakan anak-anak pernah menderita asma. Para Dokter tidak yakin akan
hal ini, meskipun hal itu adalah teori. Lebih dari 6 % anak-anak terdiagnosa menderita asma,
75 % meningkat pada akhir-akhir ini. Meningkat tajam sampai 40 % di antara populasi anak di
kota.

Karena banyaknya kasus asma yang menyerang anak terutama di Negara kita Indonesia
maka kami dari kelompok mencoba membahas mengenai asma yang terjadi pada anak ini,
sehingga orang tua dapat mengetahui bagaimana pencegahan dan penatalaksanaan bagi anak
yang terserang asma.

B. Tujuan

1). Tujuan Umum

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini agar kita semua terutama orang tua dan
perawat dapat memahami mengenai serangan asma pada anak anak dan mengetahui tatacara
pelaksanaan penanganan asma yang terjdi pada anak. Selin itu juga untuk memenuhi tugas
yang di berikan dosen pembimbing.

2). Tujuan Khusus

a. Menjelaskan tentang Definisi Asma


b. Mengetahui Etiologi dari Asma
c. Mengetahui Manifestasi Klinis dari Asma pada Anak
d. Menjelaskan Patofisiologi Asma pada Anak

C. Rumusan masalah
1. Bagaimana konsep teori dari penyakit asma?
2. Bagaimana Asuhan Keperawatan penyakit asma?

xliv
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi

Kondisi yang berulang dimana


rangsangan tertentu mencetuskan saluran
pernafasan menyempit untuk sementara waktu sehingga empersulit jalan pernafasan.

Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversibel dimana trakea dan
bronchi berspon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu. (Smeltzer 2002 : 611)

Asma adalah obstruksi jalan nafas yang bersifat reversibel, terjadi ketika bronkus
mengalami inflamasi/peradangan dan hiperresponsif. (Reeves, 2001 : 48).

Asma adalah suatu gangguan yang komplek dari bronkial yang dikarakteristikan oleh
periode bronkospasme (kontraksi spasme yang lama pada jalan nafas). (Polaski : 1996).

Asma adalah gangguan pada jalan nafas bronkial yang dikateristikan dengan
bronkospasme yang reversibel. (Joyce M. Black : 1996).

Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversibel dimana trakea dan
bronkhi berespon secara hiperaktif terhadap stimulasi tertentu. (Smelzer Suzanne : 2001).

Dari semua pendapat tersebut dapat diketahui bahwa asma adalah suatu penyakit
gangguan jalan nafas obstruktif intermiten yang bersifat reversibel, ditandai dengan adanya
periode bronkospasme, peningkatan respon trakea dan bronkus terhadap berbagai
rangsangan yang menyebabkan penyempitan jalan nafas.

xlv
B. Etiologi
1) Adanya kontraksi otot di sekitar bronkhus sehingga terjadi penyempitan jalan nafas.
2) Adanya pembengkakan membrane bronkhus.
3) Terisinya bronkus oleh mokus yang kental

Beberapa Faktor Predisposisi dan Presipitasi timbulnya serangan Asma Bronkhial.

Faktor Predisposisi

1) Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana
cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai
keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita
sangat mudah terkena penyakit asthma bronkhial jika terpapar dengan foktor pencetus.
Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.

Faktor Presipitasi

1) Alergen

Dapat dibagi menjadi 3 yaitu :

1. Inhalan: masuk saluran pernafasan. Seperti : debbu,bulu binatang, bakteri dan


polusi.
2. Ingestan, masuk melalui mulut. Seperti : makanan dan obat-obatan.
3. Kontaktan. Yang masuk melalui kontak dengan kulit. Seperti : perhiasan,
logam,dan jam tangan.

2) Perubahan cuaca

Cuaca lembab atau dingin juga menpengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak
dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan
berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal
ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.

xlvi
3) Stress.

Stress dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa memperberat
serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera
diobati penderita asma yang mengalami stress perlu diberi nasehat untuk
menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala
asmanya belum bisa diobati.

4) Lingkungan Kerja.

Lingkungan Kerja juag menjadi penyebab terjadinya serangan asma. Hal ini
berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium
hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu
libur atau cuti.

5) Olah raga atau aktivitas yang berat.

Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan


aktifitas jasmani atau aloh raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan
serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai
aktifitas tersebut.

C. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu:
1. Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergi yang disebabkan oleh faktor-faktor
pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan
(antibiotik dan aspirin), dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan
dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi.

2. Intrinsik (non alergik)


Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap
penctus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa
juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan
asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan

xlvii
dapat berkembang menjadi bronkhitis kronis dan emfisema. Beberapa pasien
akan mengalami asma gabungan.
3. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari
bentuk alergik dan non-alergik.

D. Manifestasi Klinis

Manifestasi Klinik pada pasien asthma adalah batuk, dyspne, dari wheezing. Dan pada
sebagian penderita disertai dengan rasa nyeri dada pada penderita yang sedang bebas
serangan tidak ditemukan gejala klinis, sedangkan waktu serangan tampak penderita
bernafas cepat, dalam, gelisah, duduk dengan tangan menyanggah ke depan serta tampak
otot-otot bantu pernafasan bekerja dengan keras. Ada beberapa tingkatan penderita asma
yaitu :

1. Tingkat I
Secara klinis normal tanpa kelainan pemeriksaan fisik dan fungsi paru.
Timbul bila ada faktor pencetus baik di dapat alamiah maupun dengan test
provokasi bronkial di laboratorium.
2. Tingkat II
Tanpa keluhan dan kelainan pemeriksaan fisik tapi fungsi paru menunjukkan
adanya tanda-tanda obstruksi jalan nafas. Banyak dijumpai pada klien setelah
sembuh serangan.
3. Tingkat III
Tanpa keluhan.Pemeriksaan fisik dan fungsi paru menunjukkan adanya
obstruksi jalan nafas.Penderita sudah sembuh dan bila obat tidak diteruskan
mudah diserang kembali.
4. Tingkat IV
Klien mengeluh batuk, sesak nafas dan nafas berbunyi wheezing.
Pemeriksaan fisik dan fungsi paru didapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas.

xlviii
5. Tingkat V
Status asmatikus yaitu suatu keadaan darurat medis berupa serangan asma
akut yang berat bersifat refrator sementara terhadap pengobatan yang lazim
dipakai. Asma pada dasarnya merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang
reversibel. Pada asma yang berat dapat timbul gejala seperti : Kontraksi otot-
otot pernafasan, cyanosis, gangguan kesadaran, penderita tampak letih,
takikardi.

E. Patofisiologi

Spasme otot bronkus Inflamasi dinding bronchus Edema Sumbatan mukus

Tidak efektif Obstruksi saluran nafas Alveoli tertutup


bersihan jalan nafas
(bronkhospasme)

Kurang Hipoksemia
Gangguan
pengetahuan Penyempitan jalan nafas pola nafas
Asidosis
Intoleransi aktivitas metabolik
Peningkatan kerja pernafasan

Peningkatan kebutuhan Penurunan masukan oral


oksigen

Hiperventilasi Perubahan nutrisi


kurang dari kebutuhan

Retensi CO2

Asidosis respiratorik

xlix
F. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada klien dengan asma adalah mengancam pada
gangguan keseimbanga asam basa dan gagal nafas, pneumonia, bronkhiolitis, chronic
persistent bronchitis, emphysema.

G. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium
a) Pemeriksaan sputum
a. Untuk menentukan adanya infeksi dan mengidentifikasi pathogen
b. Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkhus
b) Pemeriksaan darah

Untuk mengetahui Hiponatremia dan kadar leukosit,

2) Pemeriksaan Scanning Paru

Untuk menyatakan pola abnormal perfusi pada area ventilasi(ketidak cocokan/perfusi)


atau tidak adanya ventilasi/perfusi.

3) Pemeriksaan Spirometri

Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.

H. Penatalaksanaan
Prinsip umum dalam pengobatan pada asma bronhiale :
1) Menghilangkan obstruksi jalan nafas.
2) Mengenal dan menghindari faktor yang dapat menimbulkan serangan asma.
3) Memberi penerangan kepada penderita atau keluarga dalam cara pengobatan maupun
penjelasan penyakit.

l
Penatalaksanaan asma dapat dibagi atas :
a. Pengobatan dengan obat-obatan. Seperti :
1) Beta agonist (beta adrenergik agent)
2) Methylxanlines (enphy bronkodilator)
3) Anti kolinergik (bronkodilator)
4) Kortikosteroid
5) Mast cell inhibitor (lewat inhalasi)

b. Tindakan yang spesifik tergantung dari penyakitnya, misalnya :


1) Oksigen 4-6 liter/menit.
2) Agonis B2 (salbutamol 5 mg atau veneteror 2,5 mg atau terbutalin 10 mg) inhalasi
nabulezer dan pemberiannya dapat di ulang setiap 30 menit-1 jam. Pemberian agonis
B2 mg atau terbutalin 0,25 mg dalam larutan dextrose 5% diberikan perlahan.
3) Aminofilin bolus IV 5-6 mg/kg BB, jika sudah menggunakan obat ini dalam 12 jam.
4) sedang menggunakan steroid oral atau dalam serangan sangat berat.

li
ASUHAN KEPERAWATAN

ASMA

I. Pengkajian

a. Identitas klien
1) Riwayat kesehatan masa lalu : riwayat keturunan, alergi debu, udara dingin
2) riwayat kesehatan sekarang : keluhan sesak napas, keringat dingin.
3) Status mental : lemas, takut, gelisah
4) Pernapasan : perubahan frekuensi, kedalaman pernafasan.
5) Gastro intestinal : adanya mual, muntah.
6) Pola aktivitas : kelemahan tubuh, cepat lelah
b. Pemeriksaan fisik Dada
Palpasi :
1) Temperatur kulit
2) Premitus : fibrasi dada
3) Pengembangan dada
4) Krepitasi
5) Massa
6) Edema
Auskultasi :
1) Vesikuler
2) Broncho vesikuler
3) Hyper ventilasi
4) Rochi
5) Wheezing
6) Lokasi dan perubahan suara napas serta kapan saat terjadinya.
c. Pemeriksaan penunjang
1) Spirometri : Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.
2) Tes provokasi :
a) Untuk menunjang adanya hiperaktifitas bronkus.
b) Tes provokasi dilakukan bila tidak dilakukan lewat tes spirometri.

lii
c) Tes provokasi bronchial Untuk menunjang adanya hiperaktivitas bronkus ,
test provokasi dilakukan bila tidak dilakukan test spirometri. Test provokasi
bronchial seperti : Test provokasi histamin, metakolin, alergen, kegiatan
jasmani, hiperventilasi dengan udara dingin dan inhalasi dengan aqua destilata.
3) Tes kulit : Untuk menunjukkan adanya anti bodi Ig E yang spesifik dalam tubuh.
4) Pemeriksaan kadar Ig E total dengan Ig E spesifik dalam serum.
5) Pemeriksaan radiologi umumnya rontgen foto dada normal.
6) Analisa gas darah dilakukan pada asma berat.
7) Pemeriksaan eosinofil total dalam darah.
8) Pemeriksaan sputum.
d. Pola Kesehatan Gordon
1. Pola Persepsi terhadap Kesehatan
Meliputi penanganan keluarga terhadap masalah kesehatan yang dihadapi.
2. Pola Aktivitas dan latihan
Kemampuan perawatan diri, skor:
0 = mandiri
1 = dibantu sebagian
2 = perlu dibantu orang lain
3 = perlu dibantu orang lain dan alat
4 = tergantung
3. Pola istirahat dan tidur
Waktu tidur, frekuensi, kualitas (sering, terbangun), perasaan saat tidur (tenang,
gelisah), kebiasaan tidur.
4. Pola nutrisi dan metabolik
Kebiasaan makan, diet khusus, nafsu makan, pola makan (sering/jarang/teratur),
antropometri, kesulitan menelan.
5. Pola eliminasi
Kebiasaan BAB/BAK, frekuensi, jumlah (sedikit/banyak), keluhan.
6. Pola kognitif-perseptual
Status mental (sadar/disorientasi/bingung/afasia). Bicara (normal/gagap)
7. Pola konsep diri
Pemahaman akan diri sendiri.
8. Pola koping
Respon dalam menghadapi koping adaptif dan mal adaptif.

liii
9. Pola seksualitas dan reproduksi
Bekenaan dengan masalah genitalia/reproduksi.
10. Pola peran-hubungan
Sosialisasi dengan lingkungan sekitar dan perjalanan fungsi peran dalam keluarga
dan masyarakat. Dukungan keluarga setelah masuk RS.
11. Pola nilai dan kepercayaan
Larangan agama, permintaan rohaniawan, hubungan penyakit dengan spiritual.

II. Diagnosa Keperawatan

1. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi mukus.


2. Tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru.
3. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak
adekuat.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
5. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakitnya berhubungan dengan kurangnya
informasi

III. Rencana Keperawatan

Diagnosa 1 : Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi mukus.
Tujuan : Jalan nafas kembali efektif selama 15 menit.
Kriteria hasil : Sesak berkurang, batuk berkurang, klien dapat mengeluarkan sputum,
wheezing berkurang/hilang, vital sign dalam batas normal keadaan umum baik.
Intervensi:
a. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, misalnya : wheezing, ronkhi.
Rasional :Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan nafas. Bunyi nafas
redup dengan ekspirasi mengi (empysema), tak ada fungsi nafas (asma berat).
b. Kaji / pantau frekuensi pernafasan catat rasio inspirasi dan ekspirasi.
Rasional : Takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan
selama strest/adanya proses infeksi akut. Pernafasan dapat melambat dan frekuensi ekspirasi
memanjang dibanding inspirasi.
c. Kaji pasien untuk posisi yang aman, misalnya : peninggian kepala tidak duduk pada
sandaran.

liv
Rasional : Peninggian kepala tidak mempermudah fungsi pernafasan dengan menggunakan
gravitasi.
d. Observasi karakteristik batuk, menetap, batuk pendek, basah. Bantu tindakan untuk
keefektipan memperbaiki upaya batuk.
Rasional : batuk dapat menetap tetapi tidak efektif, khususnya pada klien lansia, sakit
akut/kelemahan.
e. Berikan air hangat.
Rasional : penggunaan cairan hangat dapat menurunkan spasme bronkus.
f. Kolaborasi obat sesuai indikasi. Bronkodilator spiriva 1×1 (inhalasi).
Rasional : Membebaskan spasme jalan nafas, mengi dan produksi mukosa.

Diagnosa 2 : Tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru.
Tujuan: Pola nafas kembali efektif selama 1x24 jam.
Kriteria hasil : Pola nafas efektif, bunyi nafas normal atau bersih, TTV dalam batas normal,
batuk berkurang, ekspansi paru mengembang.
Intervensi :
1. Kaji frekuensi kedalaman pernafasan dan ekspansi dada. Catat upaya pernafasan termasuk
penggunaan otot bantu pernafasan / pelebaran nasal.
Rasional : kecepatan biasanya mencapai kedalaman pernafasan bervariasi tergantung derajat
gagal nafas. Expansi dada terbatas yang berhubungan dengan atelektasis dan atau nyeri dada
2. Auskultasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi nafas seperti krekels, wheezing.
Rasional : ronki dan wheezing menyertai obstruksi jalan nafas / kegagalan pernafasan.
3. Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi.
Rasional : duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan pernafasan.
4. Observasi pola batuk dan karakter sekret.
Rasional : Kongesti alveolar mengakibatkan batuk sering/iritasi.
5. Dorong/bantu pasien dalam nafas dan latihan batuk.
Rasional : dapat meningkatkan/banyaknya sputum dimana gangguan ventilasi dan ditambah
ketidak nyaman upaya bernafas.
6. Kolaborasi
- Berikan oksigen tambahan
- Berikan humidifikasi tambahan misalnya : nebulizer
Rasional : memaksimalkan bernafas dan menurunkan kerja nafas, memberikan kelembaban
pada membran mukosa dan membantu pengenceran sekret.

lv
Diagnosa 3 : Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang
tidak adekuat.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi selama 2x24 jam.
Kriteria hasil : Keadaan umum baik, mukosa bibir lembab, nafsu makan baik, tekstur kulit
baik, klien menghabiskan porsi makan yang disediakan, bising usus 6-12 kali/menit, berat
badan dalam batas normal.
Intervensi :
1. Kaji status nutrisi klien (tekstur kulit, rambut, konjungtiva).
Rasional : menentukan dan membantu dalam intervensi selanjutnya.
2. Jelaskan pada klien tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh.
Rasional : peningkatan pengetahuan klien dapat menaikan partisipasi bagi klien dalam asuhan
keperawatan.
3. Timbang berat badan dan tinggi badan.
Rasional : Penurunan berat badan yang signifikan merupakan indikator kurangnya nutrisi.
4. Anjurkan klien minum air hangat saat makan.
Rasional : air hangat dapat mengurangi mual.
5. Anjurkan klien makan sedikit-sedikit tapi sering
Rasional : memenuhi kebutuhan nutrisi klien.
6. Kolaborasi
- Konsul dengan tim gizi/tim mendukung nutrisi.
Rasional : menentukan kalori individu dan kebutuhan nutrisi dalam pembatasan.
- Berikan obat sesuai indikasi.
- Vitamin B squrb 2×1.
Rasional : defisiensi vitamin dapat terjadi bila protein dibatasi.
- Antiemetik rantis 2×1
Rasional : untuk menghilangkan mual / muntah.

Diagnosa 4 : Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.


Tujuan : Klien dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri setelah dilakukan
tindakan keperawatan.
Kriteria hasil : KU klien baik, badan tidak lemas, klien dapat beraktivitas secara mandiri,
kekuatan otot terasa pada skala sedang
Intervensi :

lvi
1. Evaluasi respons pasien terhadap aktivitas. Catat laporan dyspnea peningkatan
kelemahan/kelelahan dan perubahan tanda vital selama dan setelah aktivitas.
Rasional : menetapkan kebutuhan/kemampuan pasien dan memudahkan pilihan intervensi.
2. Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan dan perlunya keseimbangan
aktivitas dan istirahat.
Rasional : Tirah baring dipertahankan selama fase akut untuk menurunkan kebutuhan
metabolik, menghemat energi untuk penyembuhan.
3. Bantu pasien memilih posisi nyaman untuk istirahat dan atau tidur.
Rasional : pasien mungkin nyaman dengan kepala tinggi atau menunduk kedepan meja atau
bantal.
4. Bantu aktivitas keperawatan diri yang diperlukan. Berikan kemajuan peningkatan aktivitas
selama fase penyembuhan.
Rasional :meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbangan suplai dan kebutuhan
oksigen.
5. Berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung selama fase akut sesuai indikasi.
Rasional : menurunkan stress dan rangsangan berlebihan meningkatkan istirahat.

Diagnosa 5 : Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakitnya berhubungan dengan


kurangnya informasi
Tujuan : Pengetahuan klien tentang proses penyakit menjadi bertambah setelah mendapat
penjelasan dari perawat.
Kriteria hasil : Mencari tentang proses penyakit :
- Klien mengerti tentang definisi asma
- Klien mengerti tentang penyebab dan pencegahan dari asma
- Klien mengerti komplikasi dari asma
Intervensi:
1. Diskusikan aspek ketidak nyamanan dari penyakit, lamanya penyembuhan, dan harapan
kesembuhan.
Rasional : informasi dapat manaikkan koping dan membantu menurunkan ansietas dan masalah
berlebihan.
2. Berikan informasi dalam bentuk tertulis dan verbal.
Rasional : kelemahan dan depresi dapat mempengaruhi kemampuan untuk mangasimilasi
informasi atau mengikuti program medik.
3. Tekankan pentingnya melanjutkan batuk efektif atau latihan pernafasan.

lvii
Rasional : selama awal 6-8 minggu setelah pulang, pasien beresiko besar untuk kambuh dari
penyakitnya.
4. Identifikasi tanda atau gejala yang memerlukan pelaporan pemberi perawatan kesehatan.
Rasional : upaya evaluasi dan intervensi tepat waktu dapat mencegah meminimalkan
komplikasi.
5. Buat langkah untuk meningkatkan kesehatan umum dan kesejahteraan, misalnya : istirahat
dan aktivitas seimbang, diet baik.
Rasional : menaikan pertahanan alamiah atau imunitas, membatasi terpajan pada patogen.

lviii
DAFTAR PUSTAKA

Betz Cecily, Linda A Sowden. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. EGC: Jakarta.
Capernito, Lynda J. 2000. Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktik Klinis. EGC: Jakarta.
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. EGC: Jakarta.
Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29.EGC: Jakarta.
http://library.usu.ac.id/download/fk/keperawatan-dudut2.pdf

lix
DAFTAR ISI

HAL
KATA PENGANTAR ................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................. ii
BAB I. PENDAHULUAN
1.14. Pengertian ..................................................................................... 1
1.15. Etiologi .......................................................................................... 2
1.16. Tanda dan gejala ........................................................................... 3
1.17. Pemeriksaan diagnostic………………………………………….. 4
1.18. Penatalaksanaan medis…………………………………………... 5
1.19. Patofisiologi……………………………………………………... 6
1.20. Taha-tahap proses keperawatan…………………………………. 7

BAB II. ASUHAN KEPERAWATAN


2.1. Pengkajian ............................................................................................... 8
2.2. Analisa data ............................................................................................. 9
2.3. Diagnosa keperawatan................... ......................................................... 10
2.4. Intervensi................................................................................................. 11
2.5. Implementasi ........................................................................................... 12
2.6. Evaluasi...... ............................................................................................. 13

BAB III. PENUTUP


3.1. Kesimpulan ............................................................................................
3.2. Saran ...................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 15

lx
BAB 1
KAJIAN TEORI

A. Pengertian
Efusi pleural adalah penumpukan cairan di dalam ruang pleural, proses penyakit primer
jarang terjadi namun biasanya terjadi sekunder akibat penyakit lain. Efusi dapat berupa
cairan jernih, yang mungkin merupakan transudat, eksudat, atau dapat berupa darah
atau pus (Baughman C Diane, 2000)

Efusi pleural adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak diantara
permukaan visceral dan parietal, proses penyakit primer jarang terjadi tetapi biasanya
merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain. Secara normal, ruang pleural
mengandung sejumlah kecil cairan (5 sampai 15ml) berfungsi sebagai pelumas yang
memungkinkan permukaan pleural bergerak tanpa adanya friksi (Smeltzer C Suzanne,
2002).

Efusi pleura adalah istilah yang digunakan bagi penimbunan cairan dalam rongga
pleura. (Price C Sylvia, 1995)

B. Etiologi
1. Hambatan resorbsi cairan dari rongga pleura, karena adanya bendungan seperti pada
dekompensasi kordis, penyakit ginjal, tumor mediatinum, sindroma meig (tumor
ovarium) dan sindroma vena kava superior.
2. Pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang (tuberculosis, pneumonia, virus),
bronkiektasis, abses amuba subfrenik yang menembus ke rongga pleura, karena tumor
dimana masuk cairan berdarah dan karena trauma. Di Indonesia 80% karena
tuberculosis.

lxi
Kelebihan cairan rongga pleura dapat terkumpul pada proses penyakit neoplastik,
tromboembolik, kardiovaskuler, dan infeksi. Ini disebabkan oleh sedikitnya satu dari empat
mekanisme dasar :

 Peningkatan tekanan kapiler subpleural atau limfatik


 Penurunan tekanan osmotic koloid darah
 Adanya inflamasi atau neoplastik pleura
C. Tanda dan Gejala
a. Adanya timbunan cairan mengakibatkan perasaan sakit karena pergesekan, setelah
cairan cukup banyak rasa sakit hilang. Bila cairan banyak, penderita akan sesak napas.
b. Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan nyeri dada
pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosisi), banyak keringat,
batuk, banyak riak.
c. Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan
cairan pleural yang signifikan.
d. Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karena cairan
akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak dalam pernapasan,
fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati daerah pekak, dalam keadaan
duduk permukaan cairan membentuk garis melengkung (garis Ellis Damoiseu).
e. Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani dibagian atas
garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu daerah pekak karena cairan
mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi daerah ini didapati vesikuler
melemah dengan ronki.
f. Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura.
D. Pemeriksaan Diagnostik
 Pemeriksaan radiologik (Rontgen dada), pada permulaan didapati menghilangnya sudut
kostofrenik. Bila cairan lebih 300ml, akan tampak cairan dengan permukaan
melengkung. Mungkin terdapat pergeseran di mediatinum.
 Ultrasonografi
 Torakosentesis / pungsi pleura untuk mengetahui kejernihan, warna, biakan tampilan,
sitologi, berat jenis. Pungsi pleura diantara linea aksilaris anterior dan posterior, pada
sela iga ke-8. Didapati cairan yang mungkin serosa (serotorak), berdarah (hemotoraks),
pus (piotoraks) atau kilus (kilotoraks). Bila cairan serosa mungkin berupa transudat
(hasil bendungan) atau eksudat (hasil radang).

lxii
 Cairan pleural dianalisis dengan kultur bakteri, pewarnaan gram, basil tahan asam
(untuk TBC), hitung sel darah merah dan putih, pemeriksaan kimiawi (glukosa,
amylase, laktat dehidrogenase (LDH), protein), analisis sitologi untuk sel-sel malignan,
dan pH.
 Biopsi pleura mungkin juga dilakukan

E. Penatalaksanaan Medis
 Tujuan pengobatan adalah untuk menemukan penyebab dasar, untuk mencegah
penumpukan kembali cairan, dan untuk menghilangkan ketidaknyamanan serta
dispneu. Pengobatan spesifik ditujukan pada penyebab dasar (co; gagal jantung
kongestif, pneumonia, sirosis).
 Torasentesis dilakukan untuk membuang cairan, untuk mendapatkan specimen guna
keperluan analisis dan untuk menghilangkan disneu.
 Bila penyebab dasar malignansi, efusi dapat terjadi kembali dalam beberapa hari tatau
minggu, torasentesis berulang mengakibatkan nyeri, penipisan protein dan elektrolit,
dan kadang pneumothoraks. Dalam keadaan ini kadang diatasi dengan pemasangan
selang dada dengan drainase yang dihubungkan ke system drainase water-seal atau
pengisapan untuk mengevaluasiruang pleura dan pengembangan paru.
 Agen yang secara kimiawi mengiritasi, seperti tetrasiklin dimasukkan kedalam ruang
pleura untuk mengobliterasi ruang pleural dan mencegah akumulasi cairan lebih lanjut.
 Pengobatan lainnya untuk efusi pleura malignan termasuk radiasi dinding dada, bedah
plerektomi, dan terapi diuretic.
F. Patofisiologi
Didalam rongga pleura terdapat + 5ml cairan yang cukup untuk membasahi
seluruh permukaan pleura parietalis dan pleura viseralis. Cairan ini dihasilkan oleh
kapiler pleura parietalis karena adanya tekanan hodrostatik, tekanan koloid dan daya
tarik elastis. Sebagian cairan ini diserap kembali oleh kapiler paru dan pleura viseralis,
sebagian kecil lainnya (10-20%) mengalir kedalam pembuluh limfe sehingga pasase
cairan disini mencapai 1 liter seharinya.
Terkumpulnya cairan di rongga pleura disebut efusi pleura, ini terjadi bila
keseimbangan antara produksi dan absorbsi terganggu misalnya pada hyperemia akibat
inflamasi, perubahan tekanan osmotic (hipoalbuminemia), peningkatan tekanan vena
(gagal jantung). Atas dasar kejadiannya efusi dapat dibedakan atas transudat dan

lxiii
eksudat pleura. Transudat misalnya terjadi pada gagal jantung karena bendungan vena
disertai peningkatan tekanan hidrostatik, dan sirosis hepatic karena tekanan osmotic
koloid yang menurun. Eksudat dapat disebabkan antara lain oleh keganasan dan infeksi.
Cairan keluar langsung dari kapiler sehingga kaya akan protein dan berat jenisnya
tinggi. Cairan ini juga mengandung banyak sel darah putih. Sebaliknya transudat kadar
proteinnya rendah sekali atau nihil sehingga berat jenisnya rendah.
Peradangan pleura
 Gagal jantung kiri
 Obstruksi vena cava
superior Permeabel membran Cairan protein dari getah
 Asites pada sirosis kapiler meningkat bening masuk rongga pleura
hati
 Dialisis peritonial  Peningkatan
 Obstruksi fraktus Konsentrasi protein
tekanan kapiler
cairan meningkat
urinarius sistemik/pulmonal
 Penurunan
Terdapat jaringan tekanan koloid
nekrotik pada septa Eksudat
osmotik & pleura
 Penurunan
Kongesti pada tekanan intra
pembuluh darah pleura

Gangguan tekanan kapiler


Reabsorbsi cairan
hidrostatik dan koloid
terganggu
osmotik intrapleura

Transudat

Gangguan pertukaran gas Penumpukan cairan


pada rongga pleura

Ekspansi paru Penekanan pada


Drainase
abdomen

Sesak nafas
Resiko tinggi terhadap
Anoreksia
tindakan drainase dada
Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan
Nyeri resiko infeksi
tubuh

Ketidakefektifan Insufisiensi oksigenasi


pola nafas

Gangguan metabolisme lxiv


Suplai O2

Energi berkurang Gangguan rasa nayaman


G. Tahap-tahap proses keperawatan
a. Pengkajian
Pengkajian adalah upaya mengumpulkan data secara lengkap dan
sistematis untuk dikaji dan dianalisis sehingga masalah kesehatan dan
keperawatan yang di hadapi pasien baik fisik, mental, sosial maupun spiritual
dapat ditentukan.tahap ini mencakup tiga kegiatan,yaitu pengumpulan
data,analisis data,dan penentuan masalah kesehatan serta keperawatan.
1) Pengumpulan data

Tujuan :

Diperoleh data dan informasi mengenai masalah kesehatan yang


ada pada pasien sehingga dapat ditentukan tindakan yang harus
di ambil untuk mengatasi masalah tersebut yang menyangkut
aspek fisik,mental,sosial dan spiritual serta faktor lingkungan
yang mempengaruhinya. Data tersebut harus akurat dan mudah
di analisis. Jenis data antara lain Data objektif, yaitu data yang
diperoleh melalui suatu pengukuran, pemeriksaan, dan
pengamatan, misalnya suhu tubuh, tekanan darah, serta warna
kulit. Data subjekyif, yaitu data yang diperoleh dari keluhan
yangdirasakan pasien, atau dari keluarga pasien/saksi lain
misalnya,kepala pusing,nyeri,dan mual.
Adapun focus dalam pengumpulan data meliputi
a) Status kesehatan sebelumnya dan sekarang
b) Pola koping sebelumnya dan sekarang
c) Fungsi status sebelumnya dan sekarang
d) Respon terhadap terapi medis dan tindakan keperawatan
e) Resiko untuk masalah potensial
f) Hal-hal yang menjadi dorongan atau kekuatan klien
2) Analisa data
Analisa data adalah kemampuan dalam mengembangkan
kemampuan berpikir rasional sesuai dengan latar belakang ilmu
pengetahuan.

lxv
3) Perumusan masalah
Setelah analisa data dilakukan, dapat dirumuskan beberapa
masalah kesehatan. Masalah kesehatan tersebut ada yang dapat
diintervensi dengan asuhan keperawatan (masalah keperawatan)
tetapi ada juga yang tidak dan lebih memerlukan tindakan medis.
Selanjutnya disusun diagnosis keperawatan sesuai dengan prioritas.
Prioritas masalah ditentukan berdasarkan criteria penting dan 8
segera. Penting mencakup kegawatan dan apabila tidak diatasi akan
menimbulkan komplikasi, sedangkan segera mencakup waktu
misalnya pada pasien stroke yang tidak sadar maka tindakan harus
segera dilakukan untuk mencegah komplikasi yang lebih parah
atau kematian. Prioritas masalah juga dapat ditentukan berdasarkan
hierarki kebutuhan menurut Maslow, yaitu : Keadaan yang
mengancam kehidupan, keadaan yang mengancam kesehatan,
persepsi tentang kesehatan dan keperawatan.
b. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang
menjelaskan respon manusia (status kesehatan atau resiko perubahan
pola) dari individu atau kelompok dimana perawat secara akontabilitas
dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti untuk
menjaga status kesehatan menurunkan, membatasi, mencegah dan
merubah. Perumusan diagnosa keperawatan :
1) Actual : menjelaskan masalah nyata saat ini sesuai dengan data
klinik yang ditemukan.
2) Resiko: menjelaskan masalah kesehatan nyata akan terjadi jika
tidak di lakukan intervensi.
3) Kemungkinan : menjelaskan bahwa perlu adanya data tambahan
untuk memastikan masalah keperawatan kemungkinan.
4) Wellness : keputusan klinik tentang keadaan individu,keluarga,atau
masyarakat dalam transisi dari tingkat sejahtera tertentu ketingkat
sejahtera yang lebih tinggi
5) Syndrom : diagnose yang terdiri dar kelompok diagnosa
keperawatan actual dan resiko tinggi yang diperkirakan
muncul/timbul karena suatu kejadian atau situasi tertentu.

lxvi
. c. Rencana keperawatan
Semua tindakan yang dilakukan oleh perawat untuk membantu
klien beralih dari status kesehatan saat ini kestatus kesehatan yang di
uraikan dalam hasil yang di harapkan. Merupakan pedoman tertulis untuk
perawatan klien. Rencana perawatan terorganisasi sehingga setiap perawat
dapat dengan cepat mengidentifikasi tindakan perawatan yang diberikan.
Rencana asuhan keperawatan yang di rumuskan dengan tepat memfasilitasi
konyinuitas asuhan perawatan dari satu perawat ke perawat lainnya. Sebagai
hasil, semua perawat mempunyai kesempatan untuk memberikan asuhan
yang berkualitas tinggi dan konsisten. Rencana asuhan keperawatan tertulis
mengatur pertukaran informasi oleh perawat dalam laporan pertukaran dinas.
Rencana perawatan tertulis juga mencakup kebutuhan klien jangka panjang.
d. Implementasi keperawatan
Merupakan inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang
spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai dimulai setelah rencana tindakan disusun
dan ditujukan pada nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan yang
diharapkan. Oleh karena itu rencana tindakan yang spesifik dilaksanakan untuk
memodifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan klien.
Adapun tahap-tahap dalam tindakan keperawatan adalah sebagai berikut :
Tahap 1 : persiapan
Tahap awal tindakan keperawatan ini menuntut perawat untuk
mengevaluasi yang diindentifikasi pada tahap perencanaan.
Tahap 2 : intervensi
Focus tahap pelaksanaan tindakan perawatan adalah kegiatan dan pelaksanaan
tindakan dari perencanaan untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional.
Pendekatan tindakan keperawatan meliputi tindakan :
independen,dependen,dan interdependen.
Tahap 3 : dokumentasi
Pelaksanaan tindakan keperawatan harus diikuti oleh pencatatan yang
lengkap dan akurat terhadap suatu kejadian dalam proses keperawatan.

lxvii
e. Evaluasi
Perencanaan evaluasi memuat criteria keberhasilan proses dan keberhasilan
tindakan keperawatan. Keberhasilan proses dapat dilihat dengan jalan
membandingkan antara proses dengan pedoman/rencana proses tersebut.
Sedangkan keberhasilan tindakan dapat dilihat denganmembandingkan antara
tingkat kemandirian pasien dalam kehidupan sehari-hari dan tingkat kemajuan
kesehatan pasien dengan tujuan yang telah di rumuskan sebelumnya.Sasaran
evaluasi adalah sebagai berikut
1) Proses asuhan keperawatan, berdasarkan criteria/ rencana yang
telah disusun.
2) Hasil tindakan keperawatan ,berdasarkan criteria keberhasilan
yang telah di rumuskan dalam rencana evaluasi.
Hasil evaluasi terdapat 3 kemungkinan hasil evaluasi yaitu :
1) Tujuan tercapai, apabila pasien telah menunjukan perbaikan/
kemajuan sesuai dengan criteria yang telah di tetapkan.
2) Tujuan tercapai sebagian, apabila tujuan itu tidak tercapai secara
maksimal, sehingga perlu di cari penyebab dan cara mengatasinya.
3) Tujuan tidak tercapai,apabila pasien tidak menunjukan perubahan/
kemajuan sama sekali bahkan timbul masalah baru. dalam hal ini
perawat perlu untuk mengkaji secara lebih mendalam apakah
terdapat data, analisis, diagnosa, tindakan, dan faktor-faktor lain
yang tidak sesuai yang menjadi penyebab tidak tercapainya tujuan.
Setelah seorang perawat melakukan seluruh proses keperawatan dari
pengkajian sampai dengan evaluasi kepadapasien,seluruh
tindakannya harus di dokumentasikan dengan benar dalam
dokumentasi keperawatan.

lxviii
1. Ketidak efektifan pola NOC NIC
nafas  Respiratory Airway Management
Definisi : Inspirasi dan/ status : - Buka jalan napas,
atau ekspirasi yang tidak Ventilation gunakan teknik
memberi ventilasi  Respiratory chin lift atau jaw
Batasan karakteristik : status : thrust bila perlu
 Perubahan Airway patency - Posisikan pasien
kedalaman  Vital sign status untuk
pernapasan Kriteria Hasil : memaksimalkan
 Perubahan  Mendemons- ventilasi
ekskursi dada Trasikan batuk - Identifikasi
 Mengambil posisi efektif dan suara pasien perlunya
tiga titik nafas yang pemasangan alat

 Bradipneu bersih, tidak ada jalan nafas

 Penurunan sianosis dan buatan

tekanan ekspirasi dyspneu - Pasang mayo bila

 Penurunan (mampu perlu

ventilasi semenit mengeluarkan - Lakukan


sputum, mampu fisioterapi dada
 Penurunan
kapasitas vital bernafas dengan jika perlu
mudah, tidak ada - Keluarkan sekret
 Dipneu
pursed lips) dengan batuk
 Peningkatan
 Menunjukkan atau suction
diameter anterior-
jalan nafas yang - Auskultasi suara
posterior
paten (klien nafas, catat
 Pernafasan cuping
tidak merasa adanya suara
hidung
tercekik, irama tambahan
 Ortopneu
nafas, frekuensi

lxix
 Fase ekspirasi pernafasan - Lakukan suction
memenjang dalam rentang pada mayo
 Pernapasan bibir normal, tidak - Berikan
 Takipneu ada suara nafas bronkodilator

 Penggunaan otot abnormal) bila perlu

aksesorius untuk  Tanda-tanda - Berikan

bernapas vital dalam pelembab udara

Faktor yang rentang normal kassa basah NaCl

Berhubungan : (tekanan darah, lembab

 Ansietas nadi, pernafasan) - Atur intake untuk

 Posisi tubuh cairan


mengoptimalkan
 Deformitas tulang
keseimbangan
 Deformitas
- Monitor respirasi
dinding dada
dan status O2
 Keletihan
Oxygen Therapy
 Hiperventilasi
- Bersihkan mulut,
 Sindrom
hidung dan sekret
hipoventilasi
trakea
 Gangguan
- Pertahankan
muskuloskeletal
jalan nafas yang
 Kerusakan
paten
neurologis
- Atur peralatan
 Imaturitas
oksigenasi
neurologis
- Monitor aliran
 Disfungsi
oksigen
neuromuskular
- Pertahankan
 Obesitas
posisi pasien
 Nyeri

lxx
 Keletihan otot - Onservasi
pernapasan cedera adanya tanda-
medula spinalis tanda
hipoventilasi
- Monitor adanya
kecemasan
pasien terhadap
oksigenasi
Vital sign Monitoring
- Monitor TD,
nadi, suhu, dan
RR
- Catat adanya
fluktuasi tekanan
darah
- Monitor VS saat
pasien berbaring,
duduk, atau
berdiri
- Auskultasi TD
pada kedua
lengan dan
bandingkan
- Monitor TD,
nadi, RR,
sebelum, selama,
dan setelah
aktivitas

lxxi
- Monitor kualitas
dari nadi
- Monitor
frekuensi dan
irama pernafasan
- Monitor suara
paru
- Monitor pola
pernafasan
abnormal
- Monitor suhu,
warna, dan
kelembaban kulit
- Monitor sianosis
perifer
- Monitor adanya
cushing triad
(tekanan nadi
yang melebar,
bradikardi,
peningkatan
sistolik)
- Identifikasi
penyebab dari
perubahan vital
sign

lxxii
2. Nyeri akut NOC NIC
Definisi :  Pain level Pria management
Pengalaman sensori dan  Pain control - Lakukan
emosional yang tidak  Comfort level pengkajian nyeri
menyenangkan yang Kriteria Hasil : secara
muncul akibat kerusakan  Mampu komprehensif,
jaringan yang aktual atau mengontrol nyeri durasi, frekuensi,
potensial atau (tahu penyebab kualitas dan
digambarkan dalam hal nyeri, mampu faktor presipitasi
kerusakan sedemikian menggunakan - Observasi reaksi
rupa (Internasional teknik nonverbal dari
Association for the study nonfarmakologi ketidaknyamanan
of Pain): awitan yang tiba- untuk mengurangi - Gunakan teknik
tiba atau lambat dari nyeri, mencari komunikasi
intensitas ringan hingga bantuan) terapeutik untuk
berat dengan akhir yang  Melaporkan bahwa mengetahui
dapat diantisipasi atau nyeri berkurang pengalaman
diprediksi dan dengan nyeri pasien
berlangsung selama <6 menggunakan - Kaji kultur yang
bulan. manajemen nyeri mempengaruhi
Btasan Karakteristik :  Mampu mengenali respon nyeri
 Perubahan selera nyeri (skala, - Evaluasi
makan intensitas, pengalaman
 Perubahan tekanan frekuensi dan tanda nyeri masa
darah nyeri) lampau
 Perubahan frekuensi  Menyatakan rasa - Evaluasi bersama
jantung nyaman setelah pasien dan tim
 Perubahan frekuensi nyeri berkurang kesehatan lain
pernafasan tentang
 Laporan isyarat ketidakefektifan
 Diaforesis kontrol nyeri
masa lampau
 Perilaku distraksi
- Bantu pasien
(mis.,berjalan
dengan keluarga
mondar-mandir
untuk mencari
mencari orang lain
dan atau aktivitas dan menemukan
lain, aktivitas yang dukungan
- Kontrol
berulang)
lingkungan yang
 Mengekspresikan
dapat
perilaku
mempengaruhi
(mis.,gelisah,
nyeri seperti
suhu ruangan,

lxxiii
merengek, percahayaan dan
menangis) kebisingan
 Masker wajah - Kurangi faktor
(mis.,mata kurang presipitasi nyeri
bercahaya, tampak - Pilih dan lakukan
kacau, gerakan mata penanganan
berpencar atau tetap nyeri
pada satu fokus (farmakologi,
meringis) non farmakologi
 Sikap melindungi dan
area nyeri interpersonal)
 Fokus menyempit - Kaji tipe dan
(mis.,gangguan sumber nyeri
persepsi nyeri, untuk
hambatan proses menentukan
berfikir, penurunan intervensi
interaksi dengan - Ajarkan tentang
orang dan teknik non
lingkungan) farmakologi
 Indikasi nyeri yang - Berikan
dapat diamati analgetik untuk
 Perubahan posisi mengurangi
untuk menghindari nyeri
nyeri - Evaluasi
 Sikap tubuh keefektifan
melindungi kontrol nyeri
- Tingkat istirahat
 Dilatasi pupil
- Kolaborasikan
 Melaporkan nyeri
dengan dokter
secara verbal
jika ada keluhan
 Gangguan tidur
dan tindakan
Faktor yang nyeri tidak
berhubungan : berhasil
 Agen cedera - Monitor
(mis.,biologis, zat penerimaan
kimia, fisik, pasien tentang
psikologis) manajemen
Analgesic
Administration
- Tentukan lokasi,
karakateristik,
kualitas, dan
derajat nyeri

lxxiv
sebelum
pemberian obat
- Cek instruksi
dokter tentang
jenis obat, dosis
dan frekuensi
- Cek riwayat
alergi
- Plih analgesik
yang diperlukan
atau kombinasi
dari analgesik
ketika pemberian
lebih dari satu
- Tentukan pilihan
analgesik
tergantung tipe
dan beratnya
nyeri
- Tentukan
analgesik
pilihan, rute
pemberian, dan
dosis optimal
- Pilihan rute
pemberian secara
IV, IM untuk
pengobatan nyeri
secara teratur
- Monitor vital
sign sebelum dan
sesudah
pemberian
analgesik
pertama kali
- Berikan
analgesik tepat
waktu terutama
saat nyeri hebat
- Evaluasi
efektifitas
analgesik, tanda
dan gejala

lxxv
3. Resiko Infeksi NOC NIC
Definisi : mengalami  Immune Status Infection Control
peningkatan resiko terserang  Knowledge : (Kontrol infeksi)
organisme patogenik Infection control - Bersihkan
Faktor-faktor resiko:  Risk control lingkungan
 Penyakit kronis Kriteria Hasil : setelah dipakai
- Diabetes melitus  Klien bebas dari pasien lain
- Obesitas tanda dan gejala - Pertahankan
 Pengetahuan yang tidak infeksi teknik isolasi
cukup untuk  Mendeskripsika - Batasi
menghindari pemanjaan n proses pengunjung
patogen penularan bila perlu
 Pertahanan tubuh penyakit, faktor - Instruksikan
primer yang tidak yang pada
adekuat mempengaruhi pengunjung
- Gangguan penularan serta untuk mencuci
peritalsis penatalaksanaan tangan saat
- Kerusakan nya, berkunjung dan
integritas kulit  Menunjukkan setelah
(pemasangan kemampuan berkunjung
kateter intravena, untuk mencegah meninggalkan
prosedur invasif) timbulnya pasien
- Perubahan infeksi - Gunakan sabun
sekresi pH  Jumlah leukosit antimikrobia
- Penururnan kerja dalam batas untuk cuci
siliaris normal tangan

lxxvi
- Pecah ketuban  Menunjukkan - Cuci tangan
dini perilaku hidup setiap sebelum
- Pecah ketuban sehat dan sesudah
lama tindakan
- Merokok keperawatan
- Stasis cairan - Gunakan baju,
tubuh sarung tangan
- Trauma jaringan sebagai alat
(mis.,trauma pelindung
destruksi - Pertahankan
jaringan) lingkungan
 Ketidak adekuatan aseptik selama
pertahanan sekunder pemasangan
- Penurunan alat
hemoglobin - Ganti letak IV
- Imunosupresi perifer dan line
(mis.,imunitas central dan
didapat tidak dressing sesuai
adekuat, agen dengan
farmaseutikal petunjuk umum
termasuk - Gunakan
imunosupresan, kateter
steroid, atibodi intermiten
monoklonal, untuk
imunomudulator) menurunkan
- Supresi respon infeksi
inflamasi kandung
 Vaksinasi tidak adekuat kencing

lxxvii
 Pemajanan terhadap - Tingkatkan
patogen lingkungan intake nutrisi
meningkat - Berikan terapi
- Wabah antibiotik bila
 Prosedur invasif perlu Infection
 Malnutrisi Protection
(proteksi
terhadap
infeksi)
- Monitor tanda
dan gejala
infeksi sistemik
dan lokal
- Monitor hitung
granulosit,
WBC
- Monitor
kerentanan
terhadap
infeksi
- Batasi
pengunjung
- Sering
pengunjung
terhadap
penyakit
menular

lxxviii
- Pertahankan
teknik aspesis
pada pasien
yang beresiko
- Pertahankan
teknik isolasi
k/p
- Berikan
perawatan kulit
pada area
epidema
- Inspeksi kulit
dan membran
mukosa
terhadap
kemerahan,
panas, drainase
- Inspeksi
kondisi luka /
insisi bedah
- Dorong
masukkan
nutrisi yang
cukup
- Dorong
masukan cairan
- Dorong
istirahat

lxxix
- Instruksikan
pasien untuk
minum
antibiotik
sesuai resep
- Ajarkan pasien
dan keluarga
tanda dan
gejala infeksi
- Ajarkan cara
menghindari
infeksi
- Laporkan
kecurigaan
infeksi
- Laporkan
kultur positif

lxxx
BAB 2

ASUHAN KEPERAWATAN

Nama Ny E usia 38tahun, agama islam, alamat Jl.punokawan no.33 Jombang. Pendidikan SMP
pekerjaan ibu rumah tangga. Tanggal MRS 8 september 2018 jam 08.00 WIB, tanggal
dpengkajian 9 September 2018 jam 09.00 WIB. Diagnosa Mrs Efusi Pleura. Pasien mengatakan
sesak nafas dan dada terasa nyeri pada bagian kiri. Pasien mengatakan kurang nyaman dengan
keadaan mulutnya. sesak dan nyeri dada bertambah ketika digunakan untuk bergerak dengan
skala nyeri 5. Klien merasa sesak, batuk dan nyeri dada sejak jum’at (7 oktober 2013). Batuk
klien keluar secret. lalu klien berobat di puskesmas dengan diagnosa asma, klien pulang dan
meminum obat yang diberikan dokter di puskesmas, tetapi sesak nafas dan nyeri dada klien
tidak berkurang. Kemudian klien dibawa ke IRD RS. Sumber waras jombang pada tanggal 8
September 2018 jam 20.00 WIB. Pemeriksaan fisik di peroleh hasi TD : 120/90, Nadi:
112x/mnt, RR: 28x/mnt.Suhu : 36,6 C.

A. PENGKAJIAN

1. IDENTITAS
Nama : Ny E
Alamat : Jl. Punokawan no.33 Jombang
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 38 Tahun
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Jawa Timur/Indonesia
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
No. Register : OO7985
Ruang :Ruang Anggrek
Tanggal/Jan MRS : 08 September 2018 (Jam 15.00)
Tanggal Pengkajian : 09 September 2018
Diagnosa Medis : Efusi Pleura

lxxxi
2. RIWAYAT KESEHATAN

1. Keluhan Utama
- Saat MRS : Klien mengatakan sesak nafas
- Saat pengkajian : klien mengatakan sesak dan dada terasa nyeri pada bagian kiri,
sesak dan nyeri dada klien bertambah bila dibuat gerak, skala nyari 5
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Klien merasa sesak, batuk dan nyeri dada sejak jum’at (7 Agustus 2018) lalu klien berobat
di puskesmas dengan diagnose asma, klien pulang dan meminum obat yang diberikan
dokter di puskesmas, tetapi sesak nafas dan nyeri dada klien tidak berkurang. Kemudian
klien dibawa ke IRD RS. Sumber waras jombang pada tanggal 8 september 2018 jam 20.00
WIB.
3. Riwayat Kesehatan Dahulu
Klien mempunyai riwayat penyakitasma sejak 6 tahun yang lalu, klien tidak pernah MRS
sebelumnya
4. Riwayat Kesehatan Keluarga
Tidak ada
3. POLA AKTIVITAS SEHARI-HARI

1. Nutrisi : pasien minum 4-5 gelas perhari, kadang-kadang minum kopi, nafsu makan
tidak ada penurunan, porsi makan dihabiskan. Makan 3x sehari.
2. Eleminasi : BAK dan BAB tidak ada perubahan
3. Tidur/Istirahat : tidur jam 21.00 s/d 05.00 pagi. Sejak sakit klien mengeluh susah tidur
karena merasa sesak dan nyeri pada dadanya. Klien tidak pernah tidur siang.
4. Persoanal Hygiene : klien mandi dengan diseka di TT, tidak gosok gigi

4. DATA PSIKOSOSIAL
1. Psikososial : Klien mengatakan merasa cemas tentang penyakit yang di deritanya, apa
sudah parah dan apa masih bias disembuhkan.
2. Sosial : klien mampu berinteraksi dengan baik dangan keluarga, pasien disekitarnya dan
dengan petugas kesehatan.
3. Spiritual : klien beragama islam, selama sakit klien tidak menjalankan solat karena
merasa sesak jika ibuat bergerak.

lxxxii
5. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum
- Keadaan Umum : Lemah
- Kesadaran : Composmentis
- GCS : 456
- TTV : tensi : 120/80 mmHg, Nadi : 112x?mnt, suhu : 36,6 C
RR : 28x/mnt
2. Pemeriksaan Body of system
a. Breathing (B1)
Inspeksi:
Bentuk dada asmetris, cembung pada sisi kiri, pergerakan dada menurun pada sisi
kiri, terpasang nasal kanule O2 2 ltr/mnt, sesak nafas (+), batuk produktif (+),
secret (+), warna hijau purulent, terdapat pernapasan cuping hiung.
Palpasi:
Pergerakan dada asimetris, fremitus dada melemah pada sisi kiri, terdapat nyeri
tekan pada dada kiri
Perkusi:
Pada dada kiri terdapat suara redup
Aukultasi:
Tidak terdapat ronchi dan wheezing, suara napas melemah pada sisi kiri, terdapat
egofoni.
b. Blood (B2)
Inspeksi :Tidakterlihat adanya Cyanosis
Palpasi :Akral hangat, CRT <3 detik, nadi : 122x/ mnit
Perkusi :Suara redup pada daerah jantung
Aukultasi : Bunyi jantung normal, TD : 120/90 mmHg
c. Brain (B3)
Kesadaran composmentis, GCS 456, mata : konjungtiva tidak anemis,
sclera merah muda. Fungsi sensoris : penglihatan tidak terdapat gangguan,
pendengaran masih dapat mendengarkan suara baik pelan maupun keras,
penciuman, perabaan, dan pengecapan masih pad abates normal.
d. Bladder (B4)
Kondisi saluran kencing bersih, tidak terdapat lesi atau benjolan,
BAK 3x sehari warma kuning jernih, bau khas urine, minum 3/4 gelas/hari

lxxxiii
e. Bowel(B5)
Abdomen simetris, tidak ada benjolan, mukosa bibir lembab, tidak terdapat
stomatitis, gigi lengkap, BAB 1x/hari, lembek berbau khas. Tidak terdapat nyri
tekan pada abdomen, perkusi abdomen tympani, peristaltic usus 16x/mnt
f. Bone(6)
Ekstremitas simetris kiri kanan, tidak terdapat fraktur pada ektremitas atas dan
bawah, kekuatan otot normal, akral hangat, CRT <3 detik
F. Pemeriksaan Penunjang
a. Foto Ro
- Perselubungan homogeny di hemithoraks kiri, pendorongan jantung kekanan,
pendorongan trachea ke kanan, diafragma kiri sulit dinilai.
- Kesimpula : Efusi pleura kiri
b. Laboratorium
- Hb : 9,6
- Leukosit : 11.500
- Hematokrit : 28.8
- Eritrosit : 4.200.000
- Trombosit : 505.000
- Bilirubin T : 26,3
- Bilirubin D : 12,8
- SGOT : 90
- SGPT: 117
- Kreatinin Serum : 0,79
- Urea : 17,1
- Asam Urat : 3,97
- GDA : 86

lxxxiv
B. Analisa Data
No Kelompok Data Etiologi Masalah
1. DS Ekspansi paru Ketidakefektifan pola pernapasan
klien mengatakan sesak
napas.
DO : Sesak nafas
Dispnea,
perubahan frekuensi napas
Pernapasan sukar, Ketidakefektifan
Ortopnea, pola nafas
Takipna, hiperpnea,
pernafasan disritmik
Nadi: 112x/mnt, RR: 28x/mnt
Dada simetris,cembung pada
sisi kiri pergerakan dada
menurun pada sisi kiri
Diafragma kiri sulit dinilai
2. DS : Drainase Nyeri resiko infeksi.
Klien mengatakan sesak dan
dada terasa nyeri pada bagian
kiri (skala nyeri 5 ) Resiko tinggi
DO : terhadap tindakan
gangguan kosentrasi, drainase dada
Agitasi
menggosok bagian yang nyeri
Imobilitas Nyeri Resiko
Gangguan kosentrasi Infeksi
Mengatupkan
rahang/mengepalkan tangan.
Terdapat nyeri tekan pada
dada kiri

C. Diagnosa Keperawatan

lxxxv
NO TANGGAL DIAGNOSA KEPERAWATAN
1 09 Oktober 2018 Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan
menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap penumpukan
cairan dalam rongga pleura.
2 10 Oktober 2018 Nyeri akut b/d gangguan pernafasan ditandai dengan sesak dan
nyeri pada dada bagian kiri.

D. Intervensi
No DIAGNOSA TUJUAN KRITERIA INTERVENSI RASIONAL
. STANDART
1 Ketidak Pasien mampu - Irama: 1. Mengkaji 1. Dengan mengkaji
efektifan pola mempertahank Reguler dan pernafasan,kita
pernafasan an fungsi paru - Frekuensi : identivikasi dapat tahu sejauh
berhubungan secara normal. 20-24x/mnt penyebab ke mana perubahan
dengan Dalam jangka - Tidak ada tidak kondisi pasien dan
menurunnya waktu 3x24 dispnea efektifan mengidentifikasi p
ekspansi paru jam - Pernapasan pola nafas. enyebab, kita dapat
sekunder ritmik 2. Melakukan menentukan jenis
terhadap - Pada pemerik observasi effusi
penumpukan saan sinar X TTV. pleurasehingga
cairan dalam dadatidak 3. Menetapkan dapat mengambil
rongga pleura. ditemukan klien pada tindakan.
adanya posisi 2. Pening katan RR
akumulasi semifollar. dan tachcardi
cairan 4. Lakukan merupakan
- Bunyi nafas aukultasi medikasi adanya
terdengar jela suara nafas penurunan fungsi
s. tiap 2-4 jam pan.
5. Memberikan 3. .memudahkan
HE tentang pertukaran gas agar
tehnik tidak mengalami

lxxxvi
pengontrolan kesusahan pada pola
nafas. nafas.
6. Baringkan 4. Aukultasi dapat
pasien dalam menentukan
posisi yang kelainan suara nafas
nyaman, pada bagian paru-
dalam posisi paru
duduk, 5. pasien mampu
dengan berlatih tentang
kepala tehnik pengontrolan
tempat tidur nafas yang di
ditinggikan anjurkan.
60-90 6. Penurunan
derajat. diafragma
7. Bantu dan memperluas daerah
ajarkan dada sehingga
pasien untuk ekspansi pun biasa
batuk dan maksimal.
nafas dalam 7. .Menekan daerah
yang efektif. yang nyeri ketika
8. Kolaborasi batuk atau nafas
dengan tim dalam,penekanan
medis lain otot otot dada serta
untuk abdomen membuat
pemberian batuk lebih efektif.
O2 dan obat- 8. Pemberian oksigen
obatan serta dapat menurunkan
frothorax beban pernafasan
dan mencegah
terjadinya sianosis
akibat hiponia
dengan photo toraks
dapat di monitor

lxxxvii
kemajuan dari
berkurangnya cairan
dan kembalinya
daya kembang paru.
2 Nyeri akut b/d Nyeri hilang - Pasien 1. Mengkaji 1. Nyeri dada biasanya
gangguan atau berkurang mengatakan terhadap ada dalam beberapa
pernafasan Dalam jangka nyeri adanya nyeri. derajat pada
ditandai waktu 2x24 berkurang atau 2. Ajarkan pada pneumonia, juga
dengan sesak jam dapat klien tentang dapat timbul
dan nyeri pada dikontrol, manajement komplikasi
dada bagian - Pasien nyeri dengan pericarditis dan
kiri tampak tenang distraksi dan endocarditis.
- Wajah pasien relaksasi. 2. Agar menurunkan
tampak 3. Anjurkan dan ketegangan otot
membaik bantu pasien rangka, yang dapat
- Kondisi dalam menurunkan
pasien tidak menekan intensitas nyeri.
terlihat lemah. dada selama 3. Alat untuk
episode mengontrol
batuk. ketidaknyamanan
4. Menentukaan dada sementara
karakteristik meningkatkan
nyeri keefektifan upaya
5. kolaborasi batuk.
dengan 4. Nyeri dada biasanya
dokter untuk ada dalam beberapa
pemberian derajat pada efusi
analgetik plura.
sesuai 5. Obat dapat
indikasi. digunakan untuk
menekan batuk
nonproduktif/parok
simal atau

lxxxviii
menurunkan
mukosa berlebihan,
meningkatkan
kenyamanan/
istirahat umum.

E. Implementasi
No Diagnosa Keperawatan Tanggal/Jam Implementasi
1 Ketidak 9 Oktober 2018 1. Kaji dan identivikasi penyebab
efektifan pola pernafasan ke tidak efektifan pola nafas.
berhubungan dengan 2. Lakukan observasi TTV.
menurunnya ekspansi paru 3. Tetapkan klien pada posisi
sekunder semifollar.Lakukan aukultasi
terhadap penumpukan suara nafas tiap 2-4 jam
cairan dalam rongga 4. Berikan HE tentang tehnik
pleura. pengontrolan nafas.
5. Baringkan pasien dalam posisi
yang nyaman,dalam posisi
duduk,dengan kepala tempat
tidur ditinggikan 60-90
derajat.
6. Bantu dan ajarkan pasien
untuk batuk dan nafas dalam
yang efektif.
7. Lakukan kolaborasi dengan
tim medis lain untuk
pemberian O2 dan obat-obatan
serta frothorax
2 Nyeri akut b/d gangguan 10 Oktober 2018 1. Kaji terhadap adanya nyeri.
pernafasan ditandai dengan

lxxxix
sesak dan nyeri pada dada 2. Ajarkan pada klien tentang
bagian kiri manajement nyeri dengan
distraksi dan relaksasi.
3. Anjurkan dan bantu pasien
dalam menekan dada selama
episode batuk.
4. Tentukaan karakteristik nyeri.
5. Lakukan kolaborasi dengan
dokter untuk pemberian
analgetik sesuai indikasi

F. Evaluasi
No Diagnosa Tanggal Evaluasi
1 Ketidak 10 Oktober S : klien mengatakan sesak napas
efektifan pola 2018 sudah berkurang.
pernafasan
berhubungan dengan O O: Dispnea, perubahan frekuensi
menurunnya ekspansi napas, pernapasan mulai nyaman.
paru sekunder 8. Nadi : 93x/menit, RR:
terhadap penumpukan 24x/menit.
cairan dalam rongga
pleura. A : Masalah terarasi

P : Intervensi dihentikan.

2 Nyeri akut b/d 11 Oktober S : - Klien mengatakan sesak dan


gangguan pernafasan 2018 nyeri mulai berkurang.
ditandai dengan sesak
dan nyeri pada dada O : - mulai kosentrasi, sesak nafas
bagian kiri berkurang, batuk,
- Imobilitas

xc
- Sudah tidak mengatupkan
rahang / mengepalkan tangan.
- nyeri tekan pada dada kiri
berkurang.
A : Masalah teratasi

P P : Intervensi dihentikan.

xci
Daftar Pustaka

Anggota IKAPI.2015.Diagnosa keperawatan definisi dan klasifikasi.EGC : Jakarta.


Sari Pediatri, Vol. 12, No. 3, Oktober 2010. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Pneumonia Bakteri pada Anak.

Huda, Amin dan Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Nanda nic noc jilid 1. Media Action:
Yogyakarta.

xcii
DAFTAR ISI

HAL
KATA PENGANTAR ................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................. ii
BAB I. PENDAHULUAN
1.21. Latar Belakang ............................................................................... 1

BAB II. PEMBAHASAN


2.1. Pengertian penyakit bronchitis kronis ..................................................... 1
2.2. Patofisiologi penyakit ............................................................................. 2
2.3. Epidemologi bronkitis............................................................................. 3
2.4. tanda dan gejala bronchitis kronis........................................................... 4
2.5. diagnose bronchitis kronis...... ................................................................ 5
2.6. terapi bronchitis kronis...... ..................................................................... 6

BAB III. PENUTUP


3.1. Kesimpulan ............................................................................................
3.2. Saran ...................................................................................................... 7

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 8

xciii
BABI
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG

Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada masyarakat.
Infeksi saluran napas berdasarkan wilayah infeksinya terbagi menjadi infeksi saluran napas
atas dan infeksi saluran napas bawah. Infeksi saluran napas atas meliputi rhinitis, sinusitis,
faringitis, laringitis, epiglotitis, tonsilitis, otitis. Sedangkan infeksi saluran napas bawah
meliputi infeksi pada bronkhus, alveoli seperti bronkhitis, bronkhiolitis, pneumonia. Infeksi
saluran napas atas bila tidak diatasi dengan baik dapat berkembang menyebabkan infeksi
saluran nafas bawah. (Depkes RI, 2005).
Infeksi saluran pernapasan bawah adalah salah satu penyakit menular yang paling
umum dari manusia di seluruh dunia. Perubahan karakteristik populasi seperti usia dan nomor
pembengkakan pasien dengan kondisi immunocompromising telah meningkatkan jumlah
individu yang berisiko. Diperluas berbagai patogen yang muncul juga memberikan tantangan
untuk laboratorium mikrobiologi. Overtreatment bronkitis rumit akut, yang sebagian besar
disebabkan virus, telah menyebabkan tingkat yang tak tertandingi resistensi multidrug antara
patogen invasif seperti Streptococcus pneumoniae (Carrol, 2002).
Bronkitis kronis adalah salah satu penyebab utama kematian di negara-negara maju dan
penyebab utama kematian di seluruh dunia. Bronkitis kronis ini adalah suatu kondisi yang
ditandai dengan batuk dan sekresi berlebihan lendir di tracheobronchial. Kondisi ini dapat
didiagnosis ketika laporan pasien produksi sputum pada hampir setiap hari selama setidaknya
tiga bulan berturut-turut selama lebih dari dua tahun berturut-turut. (Varun, dkk., 2012).

xciv
B A B II
PEMBAHASAN
1. Pengertian penyakit bronkitis kronis

Bronkitis (Bronkitis inflamasi-Inflamation bronchi) digambarkan sebagai


inflamasi dari pembuluh bronkus. Inflamasi menyebabkan bengkak pada
permukaannya, mempersempit pembuluh dan menimbulkan sekresi dari cairan
inflamasi. Bronkitis kronis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan batuk dan
berlebihan sekresi lendir di pohon tracheobronchial. Perubahan bronkus tersebut
disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam dinding bronkus berupa destruksi
elemen-elemen elastis dan otot-otot polos bronkus. Bronkus yang terkena umumnya
bronkus kecil (medium size), sedangkan bronkus besar jarang terjadi. Hal ini dapat
memblok aliran udara ke paru-paru dan dapat merusaknya.
2. Patofisologi penyakit

Bronkitis adalah suatu kondisi pernapasan yang melibatkan peradangan pada saluran
bronkial (menengah saluran udara) dan bronkiolus (cabang-cabang yang lebih kecil dari
bronkus) yang mengakibatkan sekresi berlebihan dari lendir dan pembengkakan jaringan yang
mengurangi diameter tabung bronkial, sehingga semakin lebih sulit untuk napas.
Mekanisme inflamasi bronkitis kronis telah direviewed secara luas. Penyakit ini
disebabkan oleh interaksi antara agen inhalasi berbahaya dan faktor tuan rumah, seperti
predisposisi genetik atau infeksi pernapasan yang menyebabkan cedera atau iritasi pada epitel
pernapasan dari dinding dan lumen bronkus dan bronkiolus. Peradangan kronis, edema,
xcv
bronkospasme sementara, dan peningkatan produksi lendir oleh sel goblet adalah hasilnya.
Sebagai konsekuensi, aliran udara ke dalam dan keluar dari paru-paru berkurang, kadang-
kadang ke tingkat yang dramatis. Kebanyakan kasus bronkitis kronis disebabkan oleh merokok
rokok atau produk tembakau lainnya, meskipun contoh-contoh lain dari agen berbahaya
termasuk asap dari produk pembersih dan pelarut, debu dari paparan kerja, dan polusi. Udara
Amonia, sulfur dioksida, klor, brom, dan hidrogen sulfida adalah polutan sangat berbahaya
yang terkait dengan penyakit pernapasan. Bronkitis kronis harus dibedakan dari alergi umum
yang juga menyebabkan hipersekresi mucus dan terbatuk-batuk.
Studi dari perokok dan mereka yang terkena asap rokok pasif telah mengungkapkan
peningkatan jumlah neutrofil dan makrofag dalam dinding-dinding dan lumen dari kedua
bronkus dan bronkiolus, yang memainkan peran penting dalam mengabadikan proses inflamasi
dari bronchitis kronis bronkial biopsi dari mantan perokok menunjukkan perubahan inflamasi
yang sama dengan yang di perokok aktif, menunjukkan bahwa peradangan sering tetap dalam
saluran udara sekali established. Peningkatan jumlah sitokin proinflamasi seperti interleukin-8
dan tumor necrosis factor-α, serta anti-inflamasi sitokin seperti interleukin-10 telah ditemukan
dalam sputum dari perokok dengan bronkitis kronis. perubahan struktural lainnya di saluran
udara dari perokok termasuk lendir hiperplasia kelenjar, hipertrofi otot polos, dan edema
bronkial dan fibrosis, yang menggabungkan untuk mempersempit diameter dari saluran udara.
Pada non-perokok tanpa bronkitis kronis, jumlah normal dahak diproduksi setiap hari
adalah sekitar 500 mL, yang dihilangkan oleh aksi pembersihan mukosiliar ke hipofaring mana
ia menelan dan jarang diperhatikan. Namun, perokok dengan bronkitis kronis menghasilkan
sejumlah besar dari sputum setiap hari, sebanyak 20 persen lebih, yang tidak menyebabkan
masalah dengan menelan dan sering menyebabkan batuk kronis. Kelebihan dahak lendir-
seperti terjadi sebagai akibat dari peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar submukosa dan sel
goblet pada epitel permukaan bronkus. Dengan demikian, pembesaran kelenjar mukus dan
hiperplasia sel goblet adalah keunggulan patologis dari bronchitis kronis. Selanjutnya, sel-sel
goblet biasanya absen di bronkiolus, namun kehadiran mereka di bronkitis kronis adalah
penting dalam perkembangan penyakit dan kemajuan menuju COPD.
Perubahan epitel lainnya terlihat pada bronkitis kronis termasuk penurunan jumlah dan
panjang silia, dan metaplasia sel skuamosa. Silia pelengkap seperti rambut yang mengalahkan
cepat dan berfungsi untuk memindahkan partikel, cairan, dan lendir di atas lapisan permukaan
trakea, tabung bronkial, dan rongga hidung. Tanpa fungsi silia yang tepat, hasilnya adalah
selimut terus menerus lendir yang melapisi saluran udara yang sulit untuk memobilisasi dan
menelan. lapisan lendir tebal ini menyediakan substrat untuk pertumbuhan bakteri, yang dapat
melepaskan racun yang lebih merusak silia dan sel-sel epitel. racun bakteri yang dikenal untuk
merangsang produksi lendir, lambat silia pemukulan, merusak fungsi sel kekebalan tubuh, dan
menghancurkan immunoglobulins. lokal Akhirnya, sel-sel bersilia sering digantikan oleh sel-
sel goblet bronkitis kronis berlangsung.
Batuk konstan terlihat pada pasien dengan bronkitis kronis adalah multifaktorial. Ini
cenderung menjadi kombinasi dari peradangan saluran napas, sekresi bronkial yang berlebihan,
peningkatan sensitivitas reseptor batuk, dan aktivasi dari ekstremitas aferen dari reflex batuk.
Ketika obstruksi aliran udara yang maju, aliran ekspirasi menurun mengarah ke batuk tidak
efektif dan tidak produktif sebagai lendir atau dahak tidak efisien dihapus.

xcvi
Infeksi pernafasan biasanya menyebabkan eksaserbasi akut dalam pasien yang
memiliki bronkitis kronis dan sebaliknya stabil. Selama ini serangan akut atau eksaserbasi,
batuk dan dahak peningkatan produksi, sputum dapat menjadi purulen, dan sesak napas yang
memburuk. Bukti dari infeksi virus ditemukan pada sekitar sepertiga dari akut, episode infeksi,
dan agen kausal umum termasuk rhinovirus, coronavirus, influenza-B dan parainfluenza.
pernapasan dari banyak pasien dengan bronkitis kronis pada akhirnya dijajah dengan bakteri
seperti Streptococcus pneumoniae, Moraxella catarrhalis, dan Haemophilus influenza (Dufton,
2012).

3. Epidemologi bronkitis.

1. Orang

Hasil penelitian mengenai penyakit bronkitis di India, data yang


diperoleh untuk usia penderita ( ≥ 60 tahun) sekitar 7,5%, untuk yang berusia
(≥ 30-40 tahun) sekitar 5,7% dan untuk yang berusia (≥ 15-20 tahun) sekitar
3,6%. Selain itu penderita bronkitis ini juga cenderung kasusnya lebih tinggi
pada laki-laki dibandingkan pada perempuan, hal ini dipicu dengan
keaktivitasan merokok yang lebih cenderung banyak dilakukan oleh kaum laki-
laki.
2. Tempat dan waktu

Penduduk di kota sebagian besar sudah terpajan dengan berbagai zat-zat


polutan di udara, seperti asap pabrik, asap kendaraan bermotor, asap
pembakaran dan asap rokok, hal ini dapat memberikan dampak terhadap
terjadinya bronchitis.
Bronkitis lebih sering terjadi di musim dingin pada daerah yang beriklim
tropis ataupun musim hujan pada daerah yang memiliki dua musim yaitu daerah
tropis.

3. Merokok

Menurut buku Report of the WHO Expert Comite on Smoking Control,


rokok adalah penyebab utama timbulnya bronkitis. Terdapat hubungan yang
erat antara merokok dan penurunan VEP (volume eksipirasi paksa) 1 detik.
Secara patologis rokok berhubungan dengan hiperplasia kelenjar mukus
bronkus dan metaplasia skuamusepitel saluran pernapasan juga dapat
menyebabkan bronkitis akut. Penelitian di Brazil pada tahun 2010 mendapatkan
hasil peneltian dengan kebiasaan merokok (OR = 6,92, 95% CI 4,22-11,36
unruk perokok dari 20 atau lebih rokok per hari).
4. Agent

xcvii
Bronkitis dapat disebabkan oleh virus (virus influenza, respiratory
syncytical virus), bakteri dan organisme yang menyerupai bakteri (Mycoplasma
pneumoniae dan Chlamydia).
5. Environment

Pencemaran udara merupakan masalah paling serius di daerah


perkotaan. Urbanisasi mengakibatkan meningkatnya aktivitas manusia dan
kepadatan penduduk. Peningkatan penduduk akan diikuti oleh semakin
meningkatnya kebutuhan di bidang transportasi, Kegiatan industri juga
mengakibatkan meningkatnya pencemaran dan akan berdampak terhadap
menurunnya kualitas lingkungan. Hal ini akan berpengaruh terhadap
meningkatnya berbagai kasus penyakit, termasuk bronchitis.
6. Klasifikasi Bronkitis kronis

1. Bronkitis kronis ringan ( simple chronic bronchitis), ditandai dengan batuk berdahak
dan keluhan lain yang ringan.

2. Bronkitis kronis mukopurulen ( chronic mucupurulent bronchitis), ditandai dengan


batuk berdahak kental, purulen (berwarna kekuningan).

3. Bronkitis kronis dengan penyempitan saluran napas ( chronic bronchitis with


obstruction ), ditandai dengan batuk berdahak yang disertai dengan sesak napas berat
dan suara mengi.

4. Tanda dan gejala Bronkitis kronis

Gejala utama bronkitis kronis sering batuk dan produksi sputum berlebihan. dahak
mungkin jelas, kekuningan, atau kehijauan tergantung pada infeksi bakteri, dan kadang-kadang
bercampur dengan darah jika pembuluh darah kecil yang pecah karena batuk terus-menerus.
Dengan bronkitis akut dan tahap awal bronkitis kronis, batuk sering produktif, yang berarti
bahwa lendir dilepas dan ekspektorasi sputum. Namun, seperti bronkitis kronis berlangsung
dan sel-sel bersilia menjadi kurang efektif dan aliran ekspirasi berkurang, batuk menjadi lebih
unproductive. Jadi yang disebut "batuk perokok" sangat mirip dan cenderung lebih buruk saat
bangun dan sering produktif lendir berubah warna di bagian awal hari, tetapi menjadi kurang
produktif karena kemajuan hari.
Dyspnea, atau sesak napas, merupakan gejala umum lain dari bronkitis kronis dan
secara bertahap meningkat dengan tingkat keparahan penyakit. Pasien dengan bronkitis kronis
sering menjadi sesak napas dengan aktivitas fisik dan mulai batuk. Namun, dyspnea pada saat
istirahat biasanya menandakan bahwa emfisema telah dikembangkan, dalam hal diagnosis
COPD sering diberikan. Selain dyspnea, mengi suara sering terjadi dengan bronkitis kronis,
yang didefinisikan sebagai suara siulan kasar dihasilkan ketika saluran udara yang sebagian
terhalang.
Selain yang disebutkan di atas gejala utama, kelelahan, malaise, sakit tenggorokan,
nyeri otot, hidung tersumbat, sakit kepala, dan edema juga sering mempengaruhi pasien dengan
bronkitis kronis. batuk yang parah dapat menyebabkan nyeri dada dan memperburuk tekanan
darah tinggi. Sianosis (pewarnaan kulit abu-abu kebiruan yang disebabkan oleh kekurangan

xcviii
oksigen) dapat berkembang pada pasien dengan bronkitis kronis maju dan COPD. Kehadiran
demam lebih sering terjadi pada bronkitis akut, tetapi terjadi pada kasus kronis juga dan
biasanya menunjukkan infeksi paru-paru sekunder virus atau bakteri. Komplikasi utama
bronkitis kronis adalah sesak napas berat ke titik sianosis, polisitemia (konsentrasi abnormal
tinggi sel darah merah yang diperlukan untuk membawa oksigen), bronkospasme ireversibel
menyebabkan PPOK, pneumonia, cor pulmonale (pembesaran dan kelemahan dari kanan
ventrikel jantung karena penyakit paru-paru), gagal napas total, dan kematian. (Dufton, 2012).
5. Diagnosis Bronkitis Kronis

Dokter mendiagnosa bronkitis kronis dengan menggunakan kombinasi riwayat medis,


pemeriksaan fisik, dan tes diagnostik. Riwayat batuk sehari-hari yang berlangsung setidaknya
tiga bulan, terutama jika telah terjadi dua tahun berturut-turut, sesuai dengan kriteria untuk
diagnosis klinis bronkitis kronis. Sebuah sejarah merokok dan / atau bekerja dengan bahan
kimia berbahaya ini juga sangat relevan.
Pemeriksaan fisik biasanya meliputi mendengarkan mengi, menentukan apakah ada
perpanjangan pernafasan, dan mencari bukti sianosis, yang semua tanda-tanda obstruksi aliran
udara. Sebuah sputum sampel menunjukkan granulosit neutrofil (inflamasi sel darah putih) dan
budaya positif bagi mikroorganisme patogen seperti spesies streptokokus juga indikasi bahwa
pasien mungkin memiliki bronkitis kronis. Namun, untuk sampel ekspektorasi dahak akan
dianggap sah, kebijaksanaan konvensional adalah bahwa harus ada kurang dari 10 sel
skuamosa dan lebih dari 25 sel darah putih per bidang mikroskopis daya tinggi.
Rontgen X-ray sering diambil jika bronkitis diduga untuk membantu
mengesampingkan kondisi paru-paru lainnya seperti pneumonia, tuberkulosis, atau penghalang
bronkial. Dalam suatu penelitian terdapat metode untuk menyingkirkan kemungkinan
pneumonia pada pasien dengan batuk disertai dengan produksi sputum yang dicurigai
menderita bronkitis, yang antara lain bila tidak ditemukan keadaan sebagai berikut: (Dufton,
2012).
1. Denyut jantung > 100 kali per menit

2. Frekuensi napas > 24 kali per menit

3. Suhu badan > 380 C

4. Pada pemeriksaan fisik paru tidak terdapat focal konsolidasi dan


peningkatan suara napas.

6. Terapi Bronkitis Kronis.

 Terapi Farmakologis
Terapi Pokok
Terapi antibiotika pada bronkhitis akut tidak dianjurkan kecuali bila disertai
demam dan batuk yang menetap lebih dari 6 hari, karena dicurigai adanya keterlibatan
bakteri saluran napas seperti S. pneumoniae, H. Influenzae.Untuk batuk yang menetap
> 10 hari diduga adanya keterlibatan Mycobacterium pneumoniae sehingga
penggunaan antibiotika disarankan. Untuk anak dengan batuk > 4 minggu harus

xcix
menjalani pemeriksaan lebih lanjut terhadap kemungkinan TBC, pertusis atau
sinusitis.

Antibiotika yang dapat digunakan lihat tabel, dengan lama terapi 5-


14 hari sedangkan pada bronkhitis kronik optimalnya selama 14 hari Pemberian antiviral
amantadine dapat berdampak memperpendek lama sakit bila diberikan dalam 48 jam setelah terinfeksi
virus influenza A.

 Terapi pendukung

1. Stop rokok, karena rokok dapat menggagalkan mekanisme pertahanan tubuh

2. Bronkhodilasi menggunakan salbutamol, albuterol.

3. Analgesik atau antipiretik menggunakan parasetamol, NSAID.

4. Antitusiv, codein atau dextrometorfan untuk menekan batuk.

5. Vaporizer (Depkes RI, 2005).

 Terapi non Farmakologis

1. Pasien harus berhenti merokok

2. Kalau timbul kesulitan dalam pernapasan atau dadanya bagian tengah sangat sesak,
biarlah dai menghirup uap air tiga kali sehari.

3. Taruhlah kompres uap di atas dada pasien dua kali sehari, dan taruhlah kompres lembab
di atas dada sepanjang malam sambil menjaga tubuhnya jangan sampai kedinginan.

4. Rehabilitasi paru-paru secara komprehensif dengan olahraga dan latihan pernapasan


sesuai yang diajarkan tenaga medis.

c
5. Istirahat yang cukup.

6. Monitoring Bronkitis Kronis

 Monitoring efek terapi

Monitoring terapi obat pada kasus infeksi saluran pernapasan, dilakukan


dengan memantau tanda vital seperti temperatur khususnya pada infeksi yang
disertai kenaikan temperatur. Terapi yang efektif tentunya akan menurunkan
temperatur. Selain itu parameter klinik dapat dijadikan tanda kesuksesan terapi
seperti frekuensi batuk dan sesak pada bronchitis, dan produksi sputum pada
bronchitis yang berkurang.
 Monitoring ROB

Monitoring Reaksi Obat Berlawanan (ROB) meliputi efek samping obat, alergi,
interaksi obat. ROB yang banyak dijumpai pada penanganan infeksi saluran
napas adalah:
1. Alergi akibat pemakaian kotrimoksazol, ciprofloxacin, dan penicillin V.

2. Gangguan saluran cerna seperti mual, diare pada pemakaian eritromisin, klindamisin,
tetrasiklin.

3. Efek samping pemakaian antihistamin derivat H1- Bloker seperti kantuk, mulut kering
(Depkes RI, 2005).

ci
B A B III
PENUTUP
1. KESIMPULAN

Dari makalah yang telah dijabarkan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Bronkitis (Bronkitis inflamasi-Inflamation bronchi) adalah inflamasi dari pembuluh
bronkus. Inflamasi menyebabkan bengkak pada permukaannya, mempersempit
pembuluh dan menimbulkan sekresi dari cairan inflamasi.

2. Penyakit ini disebabkan oleh interaksi antara agen inhalasi berbahaya dan faktor tuan
rumah, seperti predisposisi genetik atau infeksi pernapasan yang menyebabkan cedera
atau iritasi pada epitel pernapasan dari dinding dan lumen bronkus dan bronkiolus.
Peradangan kronis, edema, bronkospasme sementara, dan peningkatan produksi lendir
oleh sel goblet adalah hasilnya. Sebagai konsekuensi, aliran udara ke dalam dan keluar
dari paru-paru berkurang, kadang-kadang ke tingkat yang dramatis.

3. Bronkitis kronis lebih tinggi kasusnya pada laki-laki dibanding perempuan, lebih sering
terjadi pada daerah yang beriklim tropis, pada orang yang merorok, karena virus,
bakteri, atau karena pencemaran udara.

4. Bronkitis kronis dapat dibedakan menjadi

5. Gejala utama bronkitis kronis adalah batuk dan produksi sputum yang berlebih,
berwarna kekuningan atau kehijauan, sesak napas, demam, dan mudah merasa lelah.

6. Diagnosis bronkitis kronis dapat dilakukan melalui pemeriksaan fisik dan tes
laboratorium.

7. Terapi pada bronkitis kronis dapat dilakukan melalui terapi farmakologis dan non
farmakologis, meliputi pemberian antibiotik sebagai terapi utama, dan pemberian
analgetik, bronkodilator, damn ekspektoran sebagai terapi pendamping.

8. Monitoring bronkitis kronis meliputi monitoring efek terapi dan monitoring ROB.

9. SARAN

Menjaga gaya dan pola hidup sehat agar terhindar dari penyakit yang tidak diinginkan,
seperti Bronkitis kronis. Karena lebih baik mencegah dari pada mengobati.

cii
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2005, Pharmaceutical Care Untuk Penyakit
Infeksi Saluran Pernapasan, Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Jakarta.

Dufton, 2012, The Pathophysiology and Pharmaceutical Treatment of Chronic Bronchitis,


USA.

Varun, S.K., Saragi, B., Binayak, Deb., 2012, Assessment of the Prescribing Pattern of
Antibiotics with Corticosteroids in Infective Acute Exacerbation of Chronic Bronchitis
- A Case series, International Journal Of Research in Pharmacy and Science, Vol. 2
(1).

ciii
DAFTAR ISI

HAL
KATA PENGANTAR ................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................. ii
BAB I. PENDAHULUAN
1.22. Latar Belakang ............................................................................... 1
1.23. Rumusan Masalah ......................................................................... 2
1.24. Tujuan ........................................................................................... 3

BAB II. PEMBAHASAN


2.1. Pengertian gagal Ginjal ........................................................................... 4
2.2. Etiologi .................................................................................................... 4
2.3. Patofisiologi................... ......................................................................... 5
2.4. menifestasi klinis .................................................................................... 9
2.5. Pemeriksaan penunjang...... .................................................................... 11
2.6. penatalaksanaan...... ................................................................................ 11
2.6. komplikasi...... ......................................................................................... 12
2.8. konsep asuhan keperawatan...... .............................................................. 13
BAB III. PENUTUP
3.1. Kesimpulan ............................................................................................
3.2. Saran ...................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 15

civ
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Gagal Ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal mengalami
penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam hal penyaringan
pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh seperti
sodium dan kalium di dalam darah atau produksi urin.
Penyakit gagal ginjal ini dapat menyerang siapa saja yang menderita penyakit serius
atau terluka dimana hal itu berdampak langsung pada ginjal itu sendiri. Penyakit gagal
ginjal lebih sering dialami mereka yang berusia dewasa, terlebih pada kaum lanjut usia.
Gagal ginjal dibagi menjadi dua bagian besar yakni gagal ginjal akut (acute renal
failure = ARF) dan gagal ginjal kronik (chronic renal failure = CRF). Pada gagal ginjal
akut terjadi penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba dalam waktu beberapa hari atau
beberapa minggu dan ditandai dengan hasil pemeriksaan fungsi ginjal (ureum dan
kreatinin darah) dan kadar urea nitrogen dalam darah yang meningkat. Sedangkan pada
gagal ginjal kronis, penurunan fungsi ginjal terjadi secara perlahan-lahan. Sehingga
biasanya diketahui setelah jatuh dalam kondisi parah. Gagal ginjal kronik tidak dapat
disembuhkan. Pada penderita gagal ginjal kronik, kemungkinan terjadinya kematian
sebesar 85 %.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari penyakit gagal ginjal ?
2. Apa penyebab terjadinya gagal ginjal ?
3. Bagaimana manifestasi klinis gagal ginjal ?
4. Bagaimana penatalaksanaan gagal ginjal ?
5. Bagaimana komplikasi dari gagal ginjal ?
6. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit gagal ginjal ?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah : Agar mahasiswa mampu
memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif pada pasien gagal ginjal.

cv
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Gagal Ginjal
Ginjal (renal) adalah organ tubuh yang memiliki fungsi utama untuk menyaring
dan membuang zat-zat sisa metabolisme tubuh dari darah dan menjaga keseimbangan
cairan serta elektrolit (misalnya kalsium, natrium, dan kalium) dalam darah. Ginjal juga
memproduksi bentuk aktif dari vitamin D yang mengatur penyerapan kalsium dan fosfor
dari makanan sehingga membuat tulang menjadi kuat. Selain itu ginjal memproduksi
hormon eritropoietin yang merangsang sumsum tulang untuk memproduksi sel darah
merah, serta renin yang berfungsi mengatur volume darah dan tekanan darah.
Gagal ginjal adalah suatu kondisi di mana ginjal tidak dapat menjalankan
fungsinya secara normal. Pada kondisi normal, pertama-tama darah akan masuk ke
glomerulus dan mengalami penyaringan melalui pembuluh darah halus yang disebut
kapiler. Di glomerulus, zat-zat sisa metabolisme yang sudah tidak terpakai dan beberapa
yang masih terpakai serta cairan akan melewati membran kapiler sedangkan sel darah
merah, protein dan zat-zat yang berukuran besar akan tetap tertahan di dalam darah. Filtrat
(hasil penyaringan) akan terkumpul di bagian ginjal yang disebut kapsula Bowman.
Selanjutnya, filtrat akan diproses di dalam tubulus ginjal. Di sini air dan zat-zat yang
masih berguna yang terkandung dalam filtrat akan diserap lagi dan akan terjadi
penambahan zat-zat sampah metabolisme lain ke dalam filtrat. Hasil akhir dari proses ini
adalah urin (air seni).
Gagal ginjal ini dapat menyerang siapa saja yang menderita penyakit serius atau
terluka dimana hal itu berdampak langsung pada ginjal itu sendiri . Penyakit gagal ginjal
lebih sering dialami mereka yang berusia dewasa , terlebih pada kaum lanjut usia.Secara
umum, gagal ginjal adalah penyakit akhir dari serangkaian penyakit yang menyerang
traktus urinarius.
Gagal ginjal dibagi menjadi dua bagian besar yakni gagal ginjal akut (acute renal
failure = ARF) dan gagal ginjal kronik (chronic renal failure = CRF). Pada gagal ginjal
akut terjadi penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba dalam waktu beberapa hari atau

cvi
beberapa minggu dan ditandai dengan hasil pemeriksaan fungsi ginjal (ureum dan
kreatinin darah) dan kadar urea nitrogen dalam darah yang meningkat. Sedangkan pada
gagal ginjal kronis, penurunan fungsi ginjal terjadi secara perlahan-lahan. Proses
penurunan fungsi ginjal dapat berlangsung terus selama berbulan-bulan atau bertahun-
tahun sampai ginjal tidak dapat berfungsi sama sekali (end stage renal disease). Gagal
ginjal kronis dibagi menjadi lima stadium berdasarkan laju penyaringan (filtrasi)
glomerulus (Glomerular Filtration Rate = GFR) yang dapat dilihat pada tabel di bawah
ini. GFR normal adalah 90 - 120 mL/min/1.73 m2.

Stadium GFR (ml/menit/1.73m2)Deskripsi

1 90 – 120 Kerusakan minimal pada ginjal, filtrasi masih


normal atau sedikit meningkat.

2 60-89 Fungsi ginjal sedikit menurun


3 30-59 Penurunan fungsi ginjal yang sedang
4 15-29 Penurunan fungsi ginjal yang berat
5 Kurang dari 15 Gagal ginjal stadium akhir (End Stage Renal
Disease)
Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT ( Clearance Creatinin
Test ) dapat digunakan dengan rumus :
Clearance creatinin ( ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( kg )

72 x creatini serum

Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85

B. Etiologi
Penyebab gagal ginjal akut dapat dibedakan menjadi tiga kelompok besar, yaitu :
1. Penyebab prerenal, yakni berkurangnya aliran darah ke ginjal. Hal ini dapat
disebabkan oleh :
a. Hipovolemia (volume darah yang kurang), misalnya karena perdarahan yang
hebat.
b. Dehidrasi karena kehilangan cairan, misalnya karena muntah-muntah, diare,
berkeringat banyak dan demam.

cvii
c. Dehidrasi karena kurangnya asupan cairan.
d. Obat-obatan, misalnya obat diuretic yang menyebabkan pengeluaran cairan
berlebihan berupa urin.
e. Gangguan aliran darah ke ginjal yang disebabkan sumbatan pada pembuluh
darah ginjal.
2. Penyebab renal di mana kerusakan terjadi pada ginjal.
a. Sepsis: Sistem imun tubuh berlebihan karena terjadi infeksi sehingga
menyebabkan peradangan dan merusak ginjal.
b. Obat-obatan yang toksik terhadap ginjal.
c. Rhabdomyolysis: terjadinya kerusakan otot sehingga menyebabkan serat
otot yang rusak menyumbat sistem filtrasi ginjal. Hal ini bisa terjadi karena
trauma atau luka bakar yang hebat.
d. Multiple myeloma.
e. Peradangan akut pada glomerulus, penyakit lupus eritematosus
sistemik, Wegener's granulomatosis, dan Goodpasture syndrome.
3. Penyebab postrenal, di mana aliran urin dari ginjal terganggu.
a. Sumbatan saluran kemih (ureter atau kandung kencing) menyebabkan
aliran urin berbalik arah ke ginjal. Jika tekanan semakin tinggi maka dapat
menyebabkan kerusakan ginjal dan ginjal menjadi tidak berfungsi lagi.
b. Pembesaran prostat atau kanker prostat dapat menghambat uretra (bagian
dari saluran kemih) dan menghambat pengosongan kandung kencing.
c. Tumor di perut yang menekan serta menyumbat ureter.
d. Batu ginjal.
Penyebab gagal ginjal kronik antara lain:
1. Diabetes mellitus tipe 1 dan tipe 2 yang tidak terkontrol dan menyebabkan
nefropati diabetikum.
2. Tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol.
3. Peradangan dan kerusakan pada glomerulus (glomerulonefritis), misalnya karena
penyakit lupus atau pasca infeksi.
4. Penyakit ginjal polikistik, kelainan bawaan di mana kedua ginjal memiliki kista
multipel.
5. Penggunaan obat-obatan tertentu dalam jangka lama atau penggunaan obat yang
bersifat toksik terhadap ginjal.

cviii
6. Pembuluh darah arteri yang tersumbat dan mengeras (atherosklerosis)
menyebabkan aliran darah ke ginjal berkurang, sehingga sel-sel ginjal menjadi
rusak (iskemia).
7. Sumbatan aliran urin karena batu, prostat yang membesar, keganasan prostat.
8. nfeksi HIV, penggunaan heroin, amyloidosis, infeksi ginjal kronis, dan berbagai
macam keganasan pada ginjal.
D. Patofisiologi
1. Gagal ginjal akut dibagi dua tingkat :
a. Fase mula
Ditandai dengan penyempitan pembuluh darah ginjal dan
menurunnya aliran darah ginjal, terjadi hipoperfusi dan mengakibatkan
iskemi tubulus renalis. Mediator vasokonstriksi ginjal mungkin sama
dengan agen neurohormonal yang meregulasi aliran darah ginjal pada
keadaan normal yaitu sistem saraf simpatis, sistem renin - angiotensin ,
prostaglandin ginjal dan faktor faktor natriuretik atrial. Sebagai akibat
menurunnya aliran darah ginjal maka akan diikuti menurunnya filtrasi
glomerulus.
b. Fase maintenance.
Pada fase ini terjadi obstruksi tubulus akibat pembengkaan sel
tubulus dan akumulasi dari debris. Sekali fasenya berlanjut maka fungsi
ginjal tidak akan kembali normal walaupun aliran darah kembali
normal.Vasokonstriksi ginjal aktif merupakan titik tangkap patogenesis
gagal ginjal dan keadaan ini cukup untuk mengganggu fungsi ekskresi
ginjal. Macam-macam mediator aliran darah ginjal tampaknya
berpengaruh. Menurunnya cardiac output dan hipovolemi merupakan
penyebab umum oliguri perioperative. Menurunnya urin mengaktivasi
sistem saraf simpatis dan sistem renin - angiotensin. Angiotensin
merupakan vasokonstriksi pembuluh darah ginjal dan menyebabkan
menurunnya aliran darah ginjal.
2. Gagal ginjal kronik
Pada gagal ginjal kronik , terjadi banyak nephron-nephron yang rusak
sehingga nephron yang ada tidak mampu memfungsikan ginjal secara normal.
Dalam keadaan normal, sepertiga jumlah nephron dapat mengeliminasi sejumlah
produk sisa dalam tubuh untuk mencegah penumpukan di cairan tubuh. Tiap

cix
pengurangan nephron berikutnya, bagaimanapun juga akan menyebabkan retensi
produk sisa dan ion kalium. Bila kerusakan nephron progresif maka gravitasi urin
sekitar 1,008. Gagal ginjal kronik hampir selalu berhubungan dengan anemi berat.
Retensi cairan dan natrium dapat mengakibatkan edema, CHF, dan
hipertensi. Hipotensi dapat terjadi karena aktivitas aksis renin angitensin dan kerja
sama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Kehilangan garam
mengakibatkan risiko hipotensi dan hipovolemia. Muntah dan diare menyebabkan
perpisahan air dan natrium sehingga status uremik memburuk (Nursalam dan
Fransisca, 2008).
Asidosis metabolik akibat ginjal tidak mampu mensekresi asam (H⁺) yang
berlebihan. Penurunan sekresi asam akibat tubulus ginjal tidak mampu men sekresi
ammonia dan mengabsorpsi natrium bikarbonat (HCO3). Penurunan ekskresi
fosfat dan asam organik lain terjadi (Nursalam dan Fransisca, 2008).
Anemia terjadi akibat produksi eritropoietin yang tidak memadai,
memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi, dan kecendurungan untuk
mengalami perdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari saluran
pencernaan. Eritropoietin yang diproduksi oleh ginjal, menstimulasi sumsum
tulang untuk menhasilkan sel darah merah, dan produksi eritropoietin menurun
sehingga mengakibatkan anemia berat yang disertai keletihan, angina, dan sesak
napas (Nursalam dan Fransisca, 2008).
Pada gagal ginjal kronik filtrasi glomerulus rata-rata menurun dan
selanjutnya terjadi retensi air dan natrium yang sering berhubungan dengan
hipertensi. Hipertensi akan berlanjut bila salah satu bagian dari ginjal mengalami
iskemi. Jaringan ginjal yang iskemi mengeluarkan sejumlah besar renin , yang
selanjutnya membentuk angiotensin II, dan seterusnya terjadi vasokonstriksi dan
hipertensi.
E. Manifestasi klinis
Keparahan tanda dan gejala bergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal,
kondisi lain yang mendasari, dan usia pasien.
1. Kardiovaskuler :
a. Pada gagal ginjal kronis mencakup hipertensi (akibat retensi cairan dan
natrium dari aktivasi system rennin-angiotensin-aldosteron)
b. Pitting edema (kaki, tangan, sakrum)
c. Edema periorbital
cx
d. Gagal jantung kongestif
e. Edema pulmoner (akibat cairan berlebih)
f. Pembesaran vena leher
g. Nyeri dada dan sesak napas akibat perikarditis (akibat iritasi pada lapisan
pericardial oleh toksin uremik), efusi pericardial, penyakit jantung koroner
akibat aterosklerosis yang timbul dini, dan gagal jantung akibat
penimbunan cairan dan hipertensi.
h. Gangguan irama jantung akibat aterosklerosis, gangguan elektrolit dan
kalsifikasi metastatic.
2. Dermatologi/integument :
a. Rasa gatal yang parah (pruritis) dengan ekskoriasis akibat toksin uremik
dan pengendapan kalsium di pori-pori kulit.
b. Warna kulit abu-abu mengkilat akibat anemia dan kekuning-kuningan
akibat penimbunan urokrom.
c. Kulit kering, bersisik
d. Kuku tipis dan rapuh
e. Rambut tipis dan kasar
3. Gastrointestinal :
1. Fetor uremik disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur diubah
oleh bakteri di mulut menjadi ammonia sehingga napas berbau ammonia.
Akibat lain adalah timbulnya stomatitis dan parotitis
2. Ulserasi dan perdarahan pada mulut
3. Anoreksia, mual, muntah yang berhubungan dengan gangguan metabolism
di dalam usus, terbentuknya zat-zat toksik akibat metabolism bakteri usus
seperti ammonia dan metil guanidine, serta sembabnya mukosa usus
4. Cegukan (hiccup) sebabnya yang pasti belum diketahui
5. Konstipasi dan diare
6. Perdarahan dari saluran GI (gastritis erosive, ulkus peptic, dan colitis
uremik)
7. Neurologi :
a. Ensefalopati metabolic. Kelemahan dan keletihan, tidak bias tidur,
gangguan konsentrasi, tremor, asteriksis, mioklonus, kejang
b. Konfusi
c. Disorientasi

cxi
d. Kelemahan pada tungkai
e. Rasa panas pada telapak kaki
f. Perubahan perilaku
g. Burning feet syndrome. Rasa kesemutan dan seperti terbakar,
terutama di telapak kaki.
8. Muskuloskleletal :
a. Kram otot
b. Kekuatan otot hilang
c. Fraktur tulang
d. Foot drop
e. Restless leg syndrome. Pasien merasa pegal pada kakinya sehingga
selalu digerakkan
f. Miopati. Kelemahan dan hipertrofi otot-otot terutama otot-otot
ekstremitas proksimal.
9. Reproduksi :
a. Atrofi testikuler
b. Gangguan seksual: libido, fertilitas dan ereksi menurun pada laki-
laki akibat produksi testosterone dan spermatogenesis yang
menurun. Sebab lain juga dihubungkan dengan metabolic tertentu
(seng, hormone paratiroid). Pada wanita timbul gangguan
menstruasi, gangguan ovulasi sampai amenore
10. Hematologi :
a. Anemia, dapat disebabkan berbagai factor antara lain :
- Berkurangnya produksi eritropoetin, sehingga rangsangan
eritropoesis pada sumsum tulang menurun.
- Hemolisis, akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam
suasana uremia toksik.
- Defisiensi besi, asam folat, dan lain-lain, akibat nafsu makan
yang berkurang.
- Perdarahan, paling sering pada saluran cerna dan kulit
b. Fibrosis sumsum tulang akibat hiperparatiroidisme sekunder
c. Gangguan perfusi trombosit dan trombositopenia. Mengakibatkan
perdarahan akibat agregasi dan adhesi trombosit yang berkurang

cxii
serta menurunnya factor trombosit III dan ADP (adenosine
difosfat).
d. Gangguan fungsi leukosit. Fagositosis dan kemotaksis berkurang,
fungsi limfosit menurun sehingga imunitas juga menurun.
11. Endokrin :
a. Gangguan metabolism glukosa, resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin. Pada gagal ginjal yang lanjut (klirens kreatinin<15
mL/menit), terjadi penurunan klirens metabolic insulin
menyebabkan waktu paruh hormone aktif memanjang. Keadaan ini
dapat menyebabkan kebutuhan obat penurun glukosa darah akan
berkurang.
b. Gangguan metabolisme lemak
c. Gangguan metabolisme vitamin D
12. Sistem lain :
a. Tulang: osteodistrofi renal, yaitu osteomalasia, osteitis fibrosa,
osteosklerosis, dan kalsifikasi metastatic
b. Asidosis metabolic akibat penimbunan asam organic sebagai hasil
metabolisme.
c. Elektrolit : hiperfosfatemia, hiperkalemia, hipokalsemia.
F. Pemeriksaan Penunjang
Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang baik
pemeriksaan laboratorium maupun radiologi.
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Hematologi : Hb, Ht, Eritrosit, Lekosit, Trombosit
b. RFT ( renal fungsi test ) : ureum dan kreatinin
c. LFT (liver fungsi test )
d. Elektrolit :Klorida, kalium, kalsium
e. BGA
2. Urine
a. urine rutin
b. urin khusus : benda keton, analisa kristal batu.
3. pemeriksaan kardiovaskuler
a. ECG
b. ECO

cxiii
4. Radidiagnostik
a. USG abdominaL
b. CT scan abdominal
c. BNO/IVP, FPA
d. Renogram
e. RPG ( retio pielografi )

G. Penaktalaksanaan
Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan CKD dibagi tiga yaitu :
1. Konservatif
a. Dilakukan pemeriksaan lab.darah dan urin
b. Observasi balance cairan
c. Observasi adanya oedema
d. Batasi cairan yang masuk
e. Diit rendah uremi
2. Obat-obatan: diuretik, anti hipertensi, suplemen besi, agen pengikat fosfat,
suplemen kalsium, furosemid.
3. Dialysis
a. Peritoneal dialysis
Biasanya dilakukan pada kasus – kasus emergency.
Sedangkan dialysis yang bisa dilakukan dimana saja yang tidak bersifat
akut adalah CAPD ( Continues Ambulatori Peritonial Dialysis )
b. Hemodialisis
Yaitu dialisis yang dilakukan melalui tindakan infasif di vena dengan
menggunakan mesin. Pada awalnya hemodiliasis dilakukan melalui
daerah femoralis namun untuk mempermudah maka dilakukan :
- AV fistule : menggabungkan vena dan arteri
- Double lumen : langsung pada daerah jantung ( vaskularisasi ke
jantung )
4. Operatif
a. Pengambilan batu ginjal
b. Transplantasi ginjal

cxiv
H. Komplikasi
a. Asidosis metabolic
b. Hiperkalemi
c. Perikarditis, efusi perikardialdan tamponade jantung
d. Hipertensi
e. Anemia
f. Penyakit tulang
( SmeltzerC, Suzanne, 2002 hal 1449)
I. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas pasien
1) Nama :
2) Umur :
3) Jenis kelamin :
4) Agama :
5) Alamat :
6) Pekerjaan :
7) Pendidikan :
8) Tanggal pengkajian :
9) No. Med. Rec :
10) Diagnose Medis : GGK ( gagal ginjal kronik )
2. Riwayat kesehatan
b. Keluhan utama
Biasanya badan tersa lemah, mual, muntah, dan terdapat udem.
c. Riwayat kesehatan sekarang
Keluhan lain yang menyerta biasanya : gangguan pernapasan, anemia,
hiperkelemia, anoreksia, tugor pada kulit jelek, gatal-gatal pada kulit,
asidosis metabolik.
d. Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya pasien dengan GGK, memiliki riwayat hipertensi, DM.
3. Fokus Pengkajian :
a. Aktifitas /istirahat
Gejala:
- kelelahan ekstrem, kelemahan malaise

cxv
- Gangguan tidur (insomnis/gelisah atau somnolen)
Tanda:
- Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak
b. Sirkulasi
Gejala:
- Riwayat hipertensi lama atau berat
- Palpitasi, nyeri dada (angina)
Tanda:
- Hipertensi, nadi kuat, edema jaringan umum dan piting pada kaki,
telapak tangan
- Disritmia jantung
- Nadi lemahhalus, hipotensi ortostatik
- Friction rub perikardial
- Pucat pada kulit
- Kecenderungan perdarahan
c. Integritas ego
Gejala:
- Faktor stress contoh finansial, hubungan dengan orang lain
- Perasaan tak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekakuan
Tanda:
- Menolak, ansietas, takut, marah , mudah terangsang, perubahan
kepribadian
d. Eliminasi
Gejala:
- Penurunan frekuensi urin, oliguria, anuria ( gagal tahap lanjut)
- Abdomen kembung, diare, atau konstipasi
Tanda:
- Perubahan warna urin, contoh kuning pekat, merah, coklat, berawan
- Oliguria, dapat menjadi anuria
e. Makanan/cairan
Gejala:
- Peningkatan BB cepat (edema), penurunan BB (malnutrisi)
- Anoreksia, nyeri ulu hati, mual/muntah, rasa metalik tak sedap pada
mulut ( pernafasan amonia)

cxvi
Tanda:
- Distensi abdomen/ansietas, pembesaran hati (tahap akhir)
- Perubahan turgor kuit/kelembaban
- Edema (umum,tergantung)
- Ulserasi gusi, perdarahan gusi/lidah
- Penurunan otot, penurunan lemak subkutan, penampilan tak
bertenaga
f. Neurosensori
Gejala:
- Sakit kepala, penglihatan kabur
- Kram otot/kejang, sindrom kaki gelisah, kebas rasa terbakar pada
telapak kaki
- Kebas/kesemutan dan kelemahan khususnya ekstrimitasbawah
(neuropati perifer)
Tanda:
- Gangguan status mental, contohnya penurunan lapang perhatian,
ketidakmampuan konsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan
tingkat kesadaran, stupor, koma
- Kejang, fasikulasi otot, aktivitas kejang
- Rambut tipis, uku rapuh dan tipis
g. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Nyei panggu, sakit kepala,kram otot/nyeri kaki
Tanda : perilaku berhati-hati/distraksi, gelisah
h. Pernapasan
Gejala:
- nafas pendek, dispnea nokturnal paroksismal, batuk dengan/tanpa
Sputum
Tanda:
- takipnea, dispnea, pernapasan kusmaul
- Batuk produktif dengan sputum merah muda encer (edema paru)
i. Keamanan
Gejala : kulit gatal, ada/berulangnya infeksi
Tanda:
- Pruritus

cxvii
- Demam (sepsis, dehidrasi)
j. Seksualitas
Gejala: Penurunan libido, amenorea,infertilitas
k. Interaksi sosial
Gejala:
- Kesulitan menurunkan kondisi, contoh tak mampu bekerja,
mempertahankan fungsi peran dalam keluarga
4. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
a. DX 1 : Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
penurunan glomerulo filtration rate.
Tujuan : Keseimbangan cairan dan elektrolit
Kriteria :
- Rasio intake dan output pada batas normal
- Berat badan normal
- Tekanan darah dalam batas ketentuan (140/90 mmHg) dan elektrolit
K, Ca, Mg, Fosfat, Na pada batas normal.
Intervensi keperawatan :
- Pantau balance cairan/24 jam
- Timbang BB harian
- Pantau peningkatan tekanan darah
- Monitor elektrolit darah
- Kaji edema perifer dan distensi vena leher
- Batasi masukan cairan
b. DX 2 : Perubahan nutrisi ; kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia, mual
dan muntah
Hasil yang diharapkan: Pasien dapat mempertahankan status nutrisi yang
adekuat yang dibuktikan dengan BB dalam batas normal, albumin, dalam
batas normal
Intervensi:
- Kaji status nutrisi
- Kaji pola diet nutrisi
- Kaji faktor yang berperan dalam merubah masukan nutrisi
- Menyediakan makanan kesukaan pasien dalam batas-batas diet

cxviii
- Anjurkan cemilan tinggi kalori, rendah protein, rendah natrium
diantara waktu makan
- Ciptakan lingkungan yang menyenangkan selama makan
- Timbang berat badan harian
- Kaji bukti adanya masukan protein yang tidak adekuat
c. DX 3 : Intoleransi aktifitas b.d anemia, oksigenasi jaringan tidak adekuat
Hasil yang diharapkan : Pasien mendemonstrasikan peningkatan aktivitas
yang dibuktikan dengan pengungkapan tentang berkurangnya kelemahan
dan dapat beristirahat secara cukup dan mampu melakuakan kembali
aktivitas sehari-hari yang memungkinkan.
Intervensi:
- Kaji faktor yang menimbulkan keletihan
- Tingkatkan kemandirian dalam aktifitas perawatan diri yang dapat
ditoleransi, bantu jika keletihan terjadi
- Anjurkan aktifitas alternatif sambil istirahat
- Anjurkan untuk beristirahat setelah dialisis
- Beri semangat untuk mencapai kemajuan aktivitas bertahap yang
dapat ditoleransi
- Kaji respon pasien untuk peningkatan aktivitas
d. DX 4 : Perubahan integritas kulit b.d uremia, edema
Hasil yang diharapkan:
- Kulit hangat, kering dan utuh, turgor baik
- Pasien mengatakan tak ada pruritus
Intervensi:
- Kaji kulit dari kemerahan, kerusakan, memar, turgor dan suhu
- Jaga kulit tetap kering dan bersih
- Beri perawatan kulit dengan lotion untuk menghindari
kekeringanBantu pasien untuk mengubah posisi tiap 2 jam jika
pasien tirah baring
- Beri pelindung pada tumit dan siku
- Tangani area edema dengan hati-hati
- Pertahankan linen bebas dari lipatan
e. DX 5 : Resiko terhadap infeksi b.d depresi sistem imun, anemia

cxix
Hasil yang diharapkan: pasien tetap terbeba dari infeksi lokal maupun
sitemik dibuktikan dengan tidak ada pana/demam atau leukositosis, kultur
urin, tidak ada inflamasI.
intervensi:
- Pantau dan laporkan tanda-tanda infeksi seperti demam,leukositosis,
urin keruh, kemerahan, bengkak
- Pantau TTV
- Gunakan tehnik cuci tangan yang baik dan ajarkanpada pasien
- Pertahankan integritas kulit dan mukosa dengan memberiakan
perawatan kulit yang baik dan hgiene oral
- Jangan anjurkan kontak dengan orang yang terinfeksi
- Pertahankan nutrisi yang adekuat
f. DX6 : Kurang pengetahun b.d kurangnya informasi tentang proses penyakit,
gagal ginjal, perawatan dirumah dan instruksi evaluasi
Hasil yang diharapkan: Pasien dan orang terdekat dapat mengungkapkan,
mengerti tentang gagal ginjal, batasan diet dan cairan dan rencana kontrol,
mengukur pemasukan dan haluaran urin.
Intervensi:
- Instruksikan pasien untuk makan makanan tinggi karbohidrat, rendah
protein, rendah natrium sesuai pesanan dan hindari makanan yang
rendah garam
- Ajarkan jumah cairan yang harus diminum sepanjang hari
- Ajarkan pentingnya dan instrusikan pasien untuk mengukur dan
mencatat karakter semua haluaran (urin, muntah)
- Ajarkan nama obat,dosis, jadwal,tujuan serta efek samping
- Ajarkan pentignya rawat jalan terus menerus
(Tucker M, Susan dkk,1998, 585-567)

cxx
ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY. M.R
DENGAN DIAGNOSA GAGAL GINJAL KRONIK
A. PENGKAJIAN
1. Identitas
Nama : Ny. Y.M
Umur : 55 th
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Kalawat jaga III
Agama : Kr. Protestsn
Suku / Kebangsaan : Ternate/Indonesia
Pendidikan : SMP
Stasus : Menikah
Pekerjaan : IRT
Tanggal MRS : 11 Juli 2014
Tanggal pengkajian : 14 Juli 2014
No. Med. Rec : 41.61.88
Diagnosa medis : Gagal Ginjal Kronik
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
Mual dan Muntah
b. Riwayat keluhan utama
Mual dan muntah dirasakan pasien  1 hari SMRS, pasien muntah dengan
frekwensi 6 kali sehari, muntah berisi makanan dan minuman yang dimakan
pasien, volume muntah  4 gelas aqua sekali muntah, pasien juga merasa
nyeri ulu hati,  1 hari SMRS, nyeri bersifat hilang timbul dan diraskan 1
menit, pasien juga mengatakan badan terasa lemah.
c. Riwayat kesehatan sekarang
Pasien tidak ada nafsu makan, badan terasa lemah serta mengalami susah
tidur dan konstipasi (+) mual(+), muntah (-),pucat (+), edema palpebra (+),
turgor kulit jelek, bibir kering dan pecah-pecah, poliuri dan nyeri tekan
pada gaster (-).
d. Riwayat Kesehatan dahulu

cxxi
Pasien menderita DM Tipe II sejak tahun 2011 begitu juga dengan
Hipertensi. Pasien juga menderita Hiperkolesterol, pasien meminum obat
DM, HPT dan Hiperkolesterol dengan teratur.
e. Riwayat Keluarga
Dikeluarga pasien hanya pasien yang menderita penyakit ini.
f. Pola Fungsi Kesehatan : (Marilynn E. Doengoes)
1) Aktivitas/istirahat
Kelelahan dan kelemahan, malaise, gangguan tidur/ Insomnia. Pasien
beraktivitas di bantu oleh orang lain baik dalam makan, minum, berjalan,
ambulasi dan imobilisasi, mandi/wc.
2) Sirkulasi
Riwayat hipertensi sejak tahun 2011, TD : 140/90 mmHg, N : 88x/m,
CRT < 3 detik.
3) Integritas Ego
Pasien menerima penyakit yang ia derita saat ini, dan hubungan dengan
keluarga berjalan dengan baik.
4) Eliminasi
Pasien mengalami poliuri dengan frekwensi 14-16 x/hari, pasien juga
mengalami konstipasi dimana pasien terakhir kali BAB pada tanggal 13
juli 2014.
5) Makanan/cairan
Penurunan nafsu makan, mual/muntah, rasa metalik tak sedap pada
mulut (Pernapasan ammonia). Pasien makan 3x/hari dengan menu Diit
Protein(0,6 gr /kg/bb/hari) dan Diit kalori (30ml/kg/bb/hari), makanan
tidak dihabiskan (1/2 piring dihabiskan).
6) Neurosensori
Kesadaran pasien compos mentis, konsentrasi baik, tidak ada penurunan
fungsi saraf.
7) Nyeri/kenyamanan
Pasien tidak merasakan nyeri ulu hati dan nyeri kepala. Pasien merasa
aman selama berada di rumah sakit.
8) Pernapasan
Pernapasan pasien 20x/m tidak ada ronkhi dan wheezing, batuk tidak
ada.

cxxii
9) Integumen
Turgor kulit pasien jelek dan wajah tampak pucat.
10) Seksualitas
Pasien pada saat ini sudah tak dapat lagi melakukan aktivitas seks karena
dalam keadaan sakit.
11) Interaksi sosial
Pasien sudah tak dapat lagi beraktivitas seperti biasa karena dalam
keadaan sakit, pasien tidak dapat lagi melakukan peran sebagai Ibu
Rumah Tangga karena sakit.
12) Pembelajaran/penyuluhan
Pasien memiliki riwayat DM, salah satu penyebab GGK adalah DM,
pasien juga harus diberikan pendidikan tentang diit Protein dan Kalori.
3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum :
- Kesadaran : Compos Mentis
- TTV :
- TD :140/90 mmHg -R : 20x/mnt
- N : 88x/mnt -S : 36,8°C
BB SMRS : 67kg BB saat di kaji : 64kg
b. Sistem Integumen
Pucat (+), kulit kering, turgor lambat
c. Kepala
Warna rambut hitam, penyebaran merata, rambut oval & kering
d. Mata
Penglihatan normal, konjungtiva anenis (+), sklera interik (-) edema
palpebra (+)
e. Telinga
Secret (+), pendengaran baik
f. Hidung
Secret (+), penciuman baik
g. Mulut & Faring
Keadaan mulut kering (+), bau mulut (+), bibir kering dan pecah-pecah
(+), stomatitis (-)

cxxiii
h. Ekstremitas Atas : Pada tangan bagian kiri terpasang
IVFD NaCl 0,9 %
i. Ekstremitas Bawah : Normal, edema (-)
j. Abdomen
Benjolan (-), pembesaran hepar (-), bising usus (+) normal
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Hasil Pemeriksaan Kimia Klinik 14 Juli 2014
No. Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hematologi
1. Leukosit 11.500 /mm^3 4000-10.000
2. Eritrosit 3,60 10^6/mm^3 4,25-5,40
3. Hemoglobin 10,9 g/dL 12,0-16,0
4. Hematokrit 29,7 % 37,0-47,0
5. Trombosit 391 10^3/mm^3 150-450
Kimia klinik

6. GDS 235 mg/dL 70-125


7. Natrium Darah 129 meg/dL 135-152
8. Kalium Darah 3,74 meg/dL 3,5-4,5
9. Chlorida Darah 94 meg/dL 98-109
10. Kreatinin Darah 2,9 mg/dl 0,6-1,1
11 Ureum Darah 53 mg/dl 20-40

b. Hasil Pemeriksaan Urinalisis


No. Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan
1 Epitel 5-6 /1 pk 0-1
2 Silinder - /1pk -
3 Eritrosit 0-1 /lpb 0-1
4 Leukosit 2-3 /1pb 1-5
5 Berat jenis 1,005 M3 1,010-1030
6 pH 7 5-8
7 Leukosit ++ +
8 Nitrit - -
9 Protein +++ -
10 Glukosa + Normal
11 Keton + -

cxxiv
12 Urobilinogen Normal 0,1-1
13 Bilirubin - Normal
14 Darah/Eri - -

5. Terapi obat-obatan
a. Ranitidin 2 x 1 amp IV
b. Merocloporanide 3x1 amp IV
c. Amlodipine 10 mg 1-0-0
d. Asquidone 2x30 mg
e. Ciprofloxacin 1x400 mg IV
f. Simvastatin 10 mg 0-0-1
g. Captopril 3x25 mg
h. Kapsul garam 3x1
i. IVFD NaCl 0,9 20 gtt/ menit

B. Klasifikasi Data
Data Subyektif Data Obyektif
1. Pasien mengatakan adanya bengkak di 1. Adanya edema palpebra, bibir kering,
kelopak mata, bibir kering dan pecah- pecah-pecah dan bau amoniak, turgor
pecah. kulit jelek, kadar kreatinin 2,9Mg/dl dan
2. Pasien mengatakan badan lelah kadar Ureum Darah 53 mg/dl.
dan lemah, malaise. 2. Pasien beraktivitas di bantu oleh orang
3. Pasien mengatakan tidak ada nafsu lain baik dalam makan, minum, berjalan,
makan karena mual dan berat badan ambulasi dan imobilisasi, mandi/wc, HB
menurun 3 kg 10,9 g/dl.
3. Selera makan pasien menurun, makan
3x1 diit protein dan kalori (1/2 piring
dihabiskan). BB SMRS : 67 kg BB saat
dikaji : 64 kg.

cxxv
C. Analisa Data
No Data Etiologi Problem
1. DS : Nefron yang terserang hancur Kelebihan
Pasien mengatakan adanya  Volume
bengkak di kelopak mata, bibir GFR  Cairan
kering dan pecah-pecah.

DO :
(BUN & kreatinin ↗)
- Adanya edema palpebra 
- bibir kering, pecah-pecah dan Retensi natrium
bau amoniak 
- Turgor kulit jelek Total CES ↗
- Kadar kreatinin 2,9 Mg/dl 
- Kadar Ureum Darah 53 mg/dl
Vol Interstisial ↗


Edema

Preload ↗


Hipertrofi Ventrikel Kiri

COP 

Aliran Darah Ginjal 

Retensi Na & H2O↗


Kelebihan Volume Cairan

cxxvi
2. DS: Nefron yang terserang hancur Intoleransi
Pasien mengatakan badan lelah  Aktivitas
dan lemah, malaise. GFR 

DO : Ketidakseimbangan dlm
- Pasien beraktivitas di bantu glomerulus & tubulus
oleh orang lain baik dalam

makan, minum, berjalan,
Eritropoetin
ambulasi dan imobilisasi,
mandi/wc. 
- HB : 10,9 g/dl Hb

suplai O2 

Anemia

Pucat, Fatigue malaise

Intoleransi Aktivitas
3 DS : Nefron yang terserang hancur Gangguan
Pasien mengatakan tidak ada  Nutrisi
nafsu makan karena mual, pasien GFR  Kurang
juga mengatakan mengalami  Dari
penurunan BB  3kg (BUN & kreatinin ↗) Kebutuhan
Do : Tubuh

- Selera makan pasien menurun,
Sekresi protein terganggu
makan 3x1 diit protein dan 
kalori (1/2 piring dihabiskan). Sindrom uremia

- BB SMRS : 67 kg BB saat di 
kaji : 64 kg Gangguan keseimbangan asam-
basa

Produksi asam lambung ↗

cxxvii
Nausea, Vomitus

Gangguan Nutrisi Kurang Dari
Kebutuhan Tubuh

D. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi
1 Gangguan keseimbangan Setelah dilakukan 1. Kaji adanya edema dengan
cairan dan elektrolit distensi vena jugularis,
intervensi
dispnea, tachikardi,
berhubungan dengan keperawatan selama peningkatan tekanan darah
penurunan glomerulo crakles pada auskultasi.
2x24 jam
filtration rate. R:
DS : diharapkan : Merupakan tanda-tanda
lethargi cairan yang
Pasien mengatakan adanya Keseimbangan
menambah kerja dari jantung
bengkak di kelopak mata, cairan dan elektrolit dan menuju edema pulmoner
bibir kering dan pecah- dan gagal jantung.
KH :
pecah. 2. Kaji kelemahan otot tidak
DO : - Rasio intake adanya reflek tendon dalam,
- Adanya edema palpebra kram abdomen dengan diare,
dan output pada
tidak teraturnya nadi,
- bibir kering, pecah-pecah batas normal membran mukosa dan turgor
dan bau amoniak kulit.
- Berat badan
R:
- Turgor kulit jelek
normal Tanda-tanda hipernatremia
- Kadar kreatinin 2,9 Mg/dl dihasilkan dari tanda fungsi
- Tekanan darah
tubular ginjal.
- Kadar Ureum Darah 53
dalam batas 3. Kaji kelemahan, kelelahan,
mg/dl penurunan reflek tendon
ketentuan
R:
(140/90 mmHg) Tanda-tanda hipertermia
dihasilkan dari
dan elektrolit K,
ketidakmampuan nefron untuk
Ca, Mg, Fosfat, memfiltrasi keluar Na.
diperlukan aibsorps Ca dari
intestinum.

cxxviii
Na pada batas 4. Monitor tanda-tanda vital,
kreatinin .
normal.
R:
- Tidak ada Tanda-tanda peningkatan
elektrolit
edema
5. Kolaborasi pemberian obat
- Membran diuretik, HCT
R:
mukosa baik,
Bekerja sebagai obat diuresis
bibir lembab (untuk mengeluarkan
kelebihan cairan dalam tubuh)
dan turgor kulit
baik.

2 Intoleransi aktivitas b/d Setelah dilakukan 1. Kaji tingkat aktivitas dan


produksi eritrosit toleransi, pola aktivitas
intervensi
kemampuan dalam ADL
menurun ditandai dengan : keperawatan keadaan bedrest, TTV.
DS : R:
selama 2x24 jam
Pasien mengatakan badan Merupakan data dasar terhadap
diharapkan kemampuan beraktivitas dan
lelah dan lemah, malaise. untuk tindakan berikutnya.
Kebutuhan
DO : 2. Kaji kelemahan dyspnoe,
aktivitas sehari-hari pucat dan pusing perdarahan
- Pasien beraktivitas di dari gusi, luapan menstruasi
dapat terpenuhi.
bantu oleh orang lain berat saluran gastrointestinal.
KH : R:
baik dalam makan, Tanda dan gejala anemia
- Kontinuitas
minum, berjalan, dengan penurunan produksi
partisipasi ADL eritropoetin yang menstimulasi
ambulasi dan imobilisasi, produksi.
- Mengemukakan
mandi/wc. 3. Monitor jumlah darah merah,
kemampuan hematokrit, hemoglobin,
- HB 10,9 g/dl jumlah platelet RBC kurang
untuk
- Eritrosit 3,60 106mm3 dari 6 juta Hct kurang dari
memelihara 20% Hgb kurang dari 10 g/dl
- Hematokrit : 29,7 % R:
tingkat energy
Penurunan merupakan indikasi
- Hilangnya suspek anemia, kehilangan
darah.
komplikasi.
4. Bantu klien ketika diperlukan
- Hb dalam batas dalam pemenuhan ADL
R:
normal
Menyimpan energi dan
- Ertrosit dalam mengurangi tuntutan
5. Ajari klien bagaimana untuk
batas normal
merencanakan pembatasan
untu memodifikasi atau
meningkatkan aktivitas yang

cxxix
disetujui pada tingkat toleransi
dan tujuan realistis.
R:
Izinkan untuk mengontrol
pasien ketika mencapai
perkembangan dan
menghindari kelelahan
6. Anjurkan pasien hindari
aktivitas atau mengunakan alat
(sikat gigi, pisau cukur) yang
mungkin menyebabkan trauma
pada jaringan: catat setiap
perdarahan dari mukosa
memar berlebih
R:
Kecenderungan berdarah
menyebabkan hilangnya darah
terutama jaringan
3 Gangguan nutrisi kurang Setelah dilakukan 1. Kaji pola nutrisi pasien dan
dari kebutuhan tubuh b/d intervensi perubahan yang terjadi\
Hb, peningkatan asam keperawatan selam R : mengetahui pola nutrisi
lambung di tandai dengan: 2x24 jam klien serta intake makanan
DS : diharapkan : 2. Timbang berat badan
Pasien mengatakan tidak Kebutuhan nutrisi R : Mengidentifikasi intake
ada nafsu makan karena pasien dapat makanan
mual. Dan berat badan terpenuhi Anoreksia
menurun 3 kg. KH : 3. Berikan makanan porsi kecil
DO : - Hilangnya tapi sering. -Pasien makan
Pola Nutrisi anoreksia 3x/hari. Pada jam 8 pagi, jam
- Selera makan : Tdk - Hilangnya mual 12 siang dan jam jam 7
dan muntah malam.
baik/menurun
- Intake 2000 4. Anjurkan menghindari minum
- Frekuensi : 3x/hari
kalori perhari
- Menu makan : berkafein, juice makanan
- Porsi makan di
diberikan oleh ahli gizi panas/berbau
habiskan
Diit Protein dan Diit 5. Kolaborasi dengan ahli gizi
-  Berat Badan
Kalori dalam pemberian diet dan
- Porsi makan : Tdk pola makan pasien
dihabiskan (1/2 piring) 6. Kolaborasi dengan dokter
dalam pemberian obat

cxxx
- BB SMRS : 67 kg BB
saat dikaji : 64 kg

E. Implementasi dan Evaluasi Keperawatan


No. DX Implementasi Evaluasi
1 1 Tgl. 14 Juli 2014 S : Pasien mengatakan adanya
Jam : 11.00 edema pada palpebra, bibir
- Mengkaji adanya edema palpebra, kering, lemah dan lelah.
dispnea (-), TD : 140/90 mmhg
nausea (-) muntah (-). O : adanya edema palpebra,
Jam 11.00 mukosa/bibir kering pecah-
- Mengkaji kelemahan otot (-) tidak pecah dan bau amoniak, turgor
adanya reflek tendon dalam (-) kulit jelek, TD :140/90,
kram abdomen (-) N : 88x/m, Kreatinin : 29 mg/dl Ureum
membran mukosa/bibir kering, Darah 53 mg/dl.
pecah- pecah dan bau amoniak
dturgor kulit : jelek. A : Masalah BelumTeratasi
Jam 11.00 P : Lanjutkan Intervensi
- Mengkaji kelemahan (+) kelelahan
(+) penurunan reflek tendon ?(-)
Jam 11.30
- Memonitor TTV TD :
140/90mmhg, N : 88x/m, R :
20x/m, SB : 36,8 c, Kreatinin : 29
mg/dl, Ureum Darah 53 mg/dl, K :
3,74, Na : 129, Cl : 94.
Jam 12.00
- Berkolaborasi pemberian obat
diuretik, HCT
Ranitidin 2 x 1 amp IV
Merocloporanide 3x1 amp IV
Amlodipine 10 mg 1-0-0
Asquidone 2x30 mg

cxxxi
Ciprofloxacin 1x400 mg IV
Simvastatin 10 mg 0-0-1
Captopril 3x25 mg
Kapsul garam 3x1
IVFD NaCl 0,9 20 gtt/ menit

2 2 Jam 11.00 S : Pasien mengatakan badan


- Mengkaji tingkat aktivitas dan lelah dan lemah, malaise.
toleransi : Pasien mengatakan O:
badan lelah dan lemah, malaise. , - Pasien beraktivitas di bantu
pola aktivitas kemampuan dalam oleh orang lain baik dalam
ADL : makan, minum, berjalan, ke makan, minum, berjalan,
wc di bantu oleh suami. TTV: TD : ambulasi dan imobilisasi,
140/90, N : 88x/m, SB : 36,8c, R : mandi/wc.
20x/m. - HB 10,9 g/dl
Jam 11. 05 - Eritrosit 3,60 106mm3
- Mengkaji kelemahan (+), dyspnoe - Hematokrit : 29,7 %
(-), pucat(+) dan pusing (- A : Masalah belum teratasi
) perdarahan dari gusi (-), luapan P : lanjutkan Intervensi
menstruasi berat saluran
gastrointestinal (-).
Jam 12.00
- Memonitor jumlah darah merah :
3,60 106mm3, hematokrit : 29,7 % ,
hemoglobin : 10,9 g/dl.
Jam 01.00
- Membantu klien ketika diperlukan
dalam pemenuhan ADL :
membantu berpindah kamar serta
membawa pasien ke wc.
- Mengajari pasien bagaimana untuk
merencanakan pembatasan untu
memodifikasi atau meningkatkan

cxxxii
aktivitas yang disetujui pada
tingkat toleransi dan tujuan
realistis.
Jam 01.30
- Menganjurkan pasien hindari
aktivitas atau mengunakan alat
(sikat gigi, pisau cukur) yang
mungkin menyebabkan trauma
pada jaringan

3 3 Tgl. 14 Juli 2014 S : Pasien mengatakan tidak ada


Jam : 11.00 nafsu makan dan mual
Mengkaji pola nutrisi pasien :
- selera makan : Tidak baik O : Pasien tidak menghabiskan
- Frekuensi : 3x/hari porsi makan yang
- Menu makan : Diit Protein 0,6 diberikan, penurunan BB 3 Kg.
gr/kg/bb/hari
- Kalori 30ml/kg/bb/hari A : Masalah belum teratasi
- Porsi : Tdk dihabiskan P : Lanjutkan Intervensi
(1/2piringdihabiskan)
- Menimbang BB : 64 Kg
Jam : 12.00
- Memberikan makanan porsi
kecil tapi sering
- Menganjurkan menghindari
minum berkafein, juice
makanan panas/berbau
- Berkolaborasi dengan dokter
dlm pemberian diet dan pola
makan pasien
- Protein 0,6 gr/kg/bb/hari
- Kalori 30ml/kg/bb/hari

cxxxiii
- berkolaborasi dengan dokter
dalam pemberian obat :
Ranitidin 2 x 1 amp IV
Merocloporanide 3x1 amp IV\
Amlodipine 10 mg 1-0-0
Asquidone 2x30 mg
Ciprofloxacin 1x400 mg IV
Simvastatin 10 mg 0-0-1
Captopril 3x25 mg
Kapsul garam 3x1
IVFD NaCl 0,9 20 gtt/ menit

cxxxiv
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ginjal (renal) adalah organ tubuh yang memiliki fungsi utama untuk menyaring
dan membuang zat-zat sisa metabolisme tubuh dari darah dan menjaga keseimbangan
cairan serta elektrolit (misalnya kalsium, natrium, dan kalium) dalam darah.
Gagal ginjal adalah suatu kondisi di mana ginjal tidak dapat menjalankan
fungsinya secara normal. Gagal ginjal dibagi menjadi dua bagian besar yakni gagal ginjal
akut (acute renal failure = ARF) dan gagal ginjal kronik (chronic renal failure = CRF).
Pada gagal ginjal akut terjadi penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba dalam waktu
beberapa hari atau beberapa minggu dan ditandai dengan hasil pemeriksaan fungsi ginjal
(ureum dan kreatinin darah) dan kadar urea nitrogen dalam darah yang meningkat.
Sedangkan pada gagal ginjal kronis, penurunan fungsi ginjal terjadi secara perlahan-lahan.
Proses penurunan fungsi ginjal dapat berlangsung terus selama berbulan-bulan atau
bertahun-tahun sampai ginjal tidak dapat berfungsi sama sekali (end stage renal disease).

B. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan yaitu :
1. Persiapan diri sebaik mungkin sebelum melaksanakan tindakan asuhan keperawatan.
2. Bagi mahasiswa diharapkan bisa melaksakan tindakan asuhan keperawatan sesuai
prosedur yang ada.

cxxxv
DAFTAR PUSTAKA

 http://lianerako.blogspot.co.id/2014/09/asuhan-keperawatan-gagal-ginjal-kronik.html
Diposkan oleh Konny Liane Rako ( Di unduh pada tanggal 29 Agustus 2016)
 http://newdinala.blogspot.com/2010/03/gagal-ginjal-akut-dan-kronis.html
 http://ridhoinhealthy.blogspot.com/2012/07/asuhan-keperawatan-pada-penderita-
gagal_31.html
 Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC

cxxxvi
DAFTAR ISI

HAL
KATA PENGANTAR ................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................. ii
BAB I. PENDAHULUAN
1.25. Latar Belakang ............................................................................... 1
1.26. Rumusan Masalah ......................................................................... 2
1.27. Tujuan ........................................................................................... 3

BAB II. PEMBAHASAN


2.1. Etiologi Pyelonephritis............................................................................ 4
2.2. Distribusi ................................................................................................. 4
2.3. Patogenesa Pyelonephritis................... ................................................... 5
2.4. Patologi Anatomi .................................................................................... 9
2.5. Penularan Pyelonephritis...... .................................................................. 11
2.6. Gejala Klinis...... ..................................................................................... 11
2.6. Pengobatan...... ........................................................................................ 12
2.8. Pencegahan...... ....................................................................................... 13
BAB III. PENUTUP
3.1. Kesimpulan ............................................................................................
3.2. Saran ...................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 15

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Infeksi saluran kemih adalah infeksi yang terjadi di sepanjang jalan saluran kemih, termasuk ginjal
itu sendiri akibat proliferasi suatu mikroorganisme. Untuk menyatakan adanya infeksi saluran kemih harus
ditemukan bakteri di dalam urin. Suatu infeksi dapat dikatakan jika terdapat 100.000 atau lebih bakteri/ml
urin, namun jika hanya terdapat 10.000 atau kurang bakteri/ml urin, hal itu menunjukkan bahwa adanya
kontaminasi bakteri.Bakteriuria bermakna yang disertai gejala pada saluran kemih disebut bakteriuria
bergejala. Sedangkan yang tanpa gejala disebut bakteriuria tanpa gejala.
Infeksi saluran kemih tanpa bakteriuria dapat muncul pada keadaan::
a. Fokus infeksi tidak dilewati urin, misalnya pada lesi dini pielonefritis karena infeksi hematogen.
b. Bendungan total pada bagian saluran yang menderita infeksi.
c. Bakteriuria disamarkan karena pemberian anibiotika.
Infeksi saluran kemih sering terjdi pada wanita. Salah satu penyebabnya adalah uretra wanita
yang lebih pendek sehingga bakteri kontaminan lebih mudah melewati jalur ke kandung kemih. Faktor
lain yang berperan adalah kecenderungan untuk menahan urin serta iritasi kulit lubang uretra sewaktu
berhubungan kelamin. Uretra yang pendek meningkatkan kemungkinan mikroorganisme yang menempel
dilubang uretra sewaktu berhubungan kelamin memiliki akses ke kandung kemih. Wanita hamil
mengalami relaksasi semua otot polos yang dipengaruhi oleh progesterone, termasuk kandung kemih dan
ureter, sehingga mereka cenderung menahan urin dibagian tersebut. Uterus pada kehamilan dapat pula
menghambat aliran urin pada keadaan-keadaan tertentu.
Faktor protektif yang melawan infeksi saluran kemih pada wanita adalah pembentukan selaput
mukus yang dependen estrogen di kandung kemih. Mukus ini mempunyai fungsi sebagai antimikroba.
Pada menopause, kadar estrogen menurun dan sistem perlindungan ini lenyap sehingga pada wanita yang
sudah mengalami menopause rentan terkena infeksi saluran kemih. Proteksi terhadap infeksi saluran
kemih pada wanita dan pria, terbentuk oleh sifat alami urin yang asam dan berfungsi sebagai antibakteri.
Infeksi saluran kemih pada pria jarang terjadi, pada pria dengan usia yang sudah lanjut, penyebab
yang paling sering adalah prostatitis atau hyperplasia prostat. Prostat adalah sebuah kelenjar seukuran
kenari yang terletak tepat di bawah saluran keluar kandug kemih. Hiperplasia prostat dapat menyebabkan
obstruksi aliran yang merupakan predisposisi untuk timbulnya infeksi dalam keadaan normal, sekresi
prostat memiliki efek protektif antibakteri.

2
Pengidap diabetes juga berisiko mengalami infeksi saluran kemih berulang karena tingginya kadar
glukosa dalam urin, fungsi imun yamg menurun, dan peningkatan frekuensi kandung kemih neurogenik.
Individu yang mengalami cedera korda spinalis atau menggunakan kateter urin untuk berkemih juga
mengalami peningkatan risiko infeksi.
Pyelonefritis merupakan infeksi bakteri yang menyerang ginjal, yang sifatnya akut maupun kronis.
Pielonefritis akut biasanya akan berlangsung selama 1 sampai 2 minggu. Bila pengobatan pada
pielonefritis akut tidak sukses maka dapat menimbulkan gejala lanjut yang disebut dengan pielonefritis
kronis.
Ginjal merupakan bagian utama dari sistem saluran kemih yang terdiri atas organ-organ tubuh
yang berfungsi memproduksi maupun menyalurkan air kemih (urine) ke luar tubuh. Berbagai penyakit
dapat menyerang komponen-komponen ginjal, antara lain yaitu infeksi ginjal.
Pielonefritis dibagi menjadi dua macam yaitu :
 Pielonefritis kronis
 Pyelonefritis akut

1.2. Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana Etiologi Distribiusi geografis Pyelonephritis?
1.2.1 Bagaimana Patogenesa Pyelonephritis?
1.2.1 Bagaimana Patologi Anatomi Pyelonephritis?
1.2.1 Bagaimana Diagnosa Pyelonephritis?
1.2.1 Bagaimana Penularan Pyelonephritis?
1.2.1 Bagaimana Gejala Klinis Pyelonephritis?
1.2.1 Bagaimana Pengobatan Pyelonephritis?
1.2.1 Bagaimana Pencegahan Pyelonephritis?

1.3. Tujuan
1.3.1 Mengetahui Etiologi Distribiusi geografis Pyelonephritis
1.3.1 Mengetahui Bagaimana Patogenesa Pyelonephritis
1.3.1 Mengetahui Bagaimana Patologi Anatomi Pyelonephritis
1.3.1 Mengetahui Bagaimana Diagnosa Pyelonephritis
1.3.1 Mengetahui Bagaimana Penularan Pyelonephritis

3
1.3.1 Mengetahui Bagaimana Gejala Klinis Pyelonephritis
1.3.1 Mengetahui Bagaimana Pengobatan Pyelonephritis.
1.3.1 Mengetahui Bagaimana Pencegahan Pyelonephritis

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Etiologi Pyelonephritis

Pyelonephritis merupakan infeksi yang disebabkan oleh bacterial pada ginjal dan pelvis renal,
biasanya karena infeksi ascending dari vagina dan vulva pada hewan betina. Infeksi ini disebabkan oleh
infeksi sekunder yang berasal dari saluran reproduksi bagian bawah. Pyelonnephritis bersifat
hematogenous/ embolic nephritis. Bakteri yang spesifik dapat menyebabkan pyelonephritis adalah
Corynebacterium renale. Penyakit ini biasanya berkaitan dengan nephrolit. Pyelonephritis bisa juga
disebabkan oleh adanya Gangguan anatomi pada ginjal atau struktur bagian bawah. Pada keadaan normal
urin adalah steril (Sukandar, E., 2004).
Umumnya penyakit ini disebabkan oleh kuman gram negatif. Escherichia coli merupakan penyebab
terbanyak baik pada yang simtomatik maupun yang asimtomatik yaitu 70 - 90%. Enterobakteria seperti
Proteus mirabilis, Klebsiella pneumonia dan Pseudomonas aeruginosa dapat juga sebagai penyebab.
Organisme gram positif seperti Streptococcus faecalis (enterokokus), Staphylococcus epidermidis dan
Streptococcus viridans jarang ditemukan (Lumbanbatu, S.M., 2003).
Penyebab lain dari pyelonephritis ini anatara lain adalah infeksi sekunder yang berasal dari congenital
renal dysplasia,diabetes mellitus, hyperadrenocorticism and renal failure. Exogenous corticosteroid
administration, urethral catheterisation, urine retention, uroliths and urinary tract neoplasia adalah faktor
predisposisi tambahan (Parry, 2005)

2.2 Distribusi

Penyakit ini tersebar diseluruh dunia.. DI AS kurang dari 80 penderita dilaporkan setiap tahun.
Puncak musiman jumlah penderita ditemukan pada musim panas dan musim gugur. Kasus tersebar secara
sporadis, proporsi tertinggi ditemukan di Texas dan California bagian selatan. Kasus lebih dari satu orang
dapat dijumpai dalam satu anggota keluarga.
Epidemiologi ISK pada hewan bervariasi sangat luas dan dipengaruhi beberapa faktor diantaranya
adalah usia, jenis kelamin, sampel populasi, metode pengumpulan urin, kriteria diagnosis dan kultur.

5
Umur dan jenis kelamin merupakan faktor yang paling penting. Insidens tertinggi adalah pada satu tahun
pertama kehidupan yaitu sekitar 1%, kemudian menurun terutama pada jantan. Pada masa neonatus,
bakteriuri ditemukan sebanyak 1%. Beberapa keadaan yang merupakan faktor risiko terjadinya ISK
kompleks seperti ureteropelvic junction obstruction adalah kelainan obstruksi yang paling sering terjadi,
dimana jantan lebih sering dibandingkan dengan betina (2:1), sedangkan ureterokel dan ureter ektopik
lebih sering terjadi pada betina dibandingkan jantan (Nugroho, Wahyudi,2000).

2.3 Patogenesa Pyelonephritis

Infeksi saluran kemih atas terbagi menjadi 2, yaitu :


a. Pielonefritis akut (PNA)
Pielonefritis akut adalah proses inflamasi parenkim ginjal yang disebabkan infeksi bakteri.

b. Pielonefritis kronis (PNK)


Pielonefritis kronis mungkin akibat lanjut dari infeksi bakteri berkepanjangan atau infeksi sejak
masa kecil. Obstruksi saluran kemih dan refluks vesikoureter dengan atau tanpa bakteriuria kronik sering
diikuti pembentukan jaringan ikat parenkim ginjal yang ditandai pielonefritis kronik yang spesifik
(Aieolo.2000).
Saluran kemih harus dilihat sebagai satu unit anatomi tunggal berupa saluran yang berkelanjutan
mulai dari uretra sampai ginjal. Pada sebagian besar infeksi, bakteri dapat mencapai kandung kemih
melalui uretra. Kemudian dapat diikuti oleh naiknya bakteri dari kandung kemih yang merupakan jalur
umum kebanyakan infeksi parenkim renal (Blood Dc, 1999).

6
Introitus vagina dan uretra distal secara normal dialami oleh spesies-spesies difteroid,
streptokokus, laktobasilus, dan stafilokokus, tapi tidak dijumpai basil usus gram negatif yang sering
menyebabkan infeksi saluran kemih. Namun, pada perempuan yang mudah mengalami sisitis, didapatkan
organisme usus gram negatif yang biasa terdapat pada usus besar pada intortius, kulit periuretra, dan
uretra bagian bawah sebelum atau selama terjadi bakteriuria.
Pada keadaan normal, bakteri yang terdapat dalam kandung kemih dapat segera hilang. Sebagian karena
efek pengenceran dan pembilasan ketika buang air kecil tapi juga akibat daya antibakteri urin dan mukosa
kandung kemih. Urin dalam kandung
kemih kebanyakan hewan normal dapat menghambat atau membunuh bakteri terutama karena
konsentrasi urea dan osmolaritas urin yang tinggi. Sekresi prostat juga mempunyai daya antibakteri.
Leukosit polimorfonuklear dalam dinding kandung kemih tampaknya juga berperan dalam membersihkan
bakteriuria.

7
Infeksi saluran kemih bagian atas (Pyelonephritis dapat menyerang segala umur dan jenis kelami
hewan. Betina sering terkena ISK karena memiliki uretra yang lebih pendek, sehingga memudahkan
bakteri masuk kedalam kandung kemih. Kuman yang berasal dari feses atau dubur, masik ke dalam saluran
kemih bagian bawah atau urethra, kemudian naik ke kandung kemih dan dapat sampai ke ginjal. Sama
seperti penyakit infeksi lainnya, ISK akan lebih mudah terjadi pada hewan dengan gizi buruk atau pada
hewan dengan sistem kekebalam tubuh rendah. Hewan yang sering menahan-nahan air kemih pun
beresiko terkena ISK (Smeltzer dan Bare, 2002)
Patogenesis Pyeloneprhitis sangat komplek, karena tergantung dari banyak faktor, seperti faktor
penjamu ( host ) dan faktor organisme. Bakteri dalam urin dapat berasal dari ginjal, urete, kandung kemih
dan dari uretra. Mukosa kandung kemih dilapisi oleh glycoprotein mucin layer yang berfungsi sebagai anti
bakteri. Robeknya lapisan ini dapat menyebabkan bakteri dapat melekat, membentuk koloni pada
permukaan mukosa, masuk menembus epitel dan selanjutnya terjadi peradangan. Bakteri dari kandung
kemih dapat naik ke ureter dan sampai ke ginjal melalui lapisan tipis cairan (films of fluid), bakteri akan
lebih mudah masuk terlebih lagi dengan adanya kegagalan refluks vesikoureter. Bakteri dapat masuk ke
dalam saluran kemih melalui 3 jalur. Yaitu :

8
a. Ascenden
Jalur ascenden merupakan jalur yang paling sering menyebabkan Pyelonephritis. Jalur ascende adalah
masuknya bakteri feses ke dalam kandung kemih melalui uretra atau ke dalam ginjal melalui ureter. Betina
sering terkena pyelonephritis melalui jalur ini karena betina memiliki ukuran uretra yang pendek. Aktifitas
kurang kebersihan lingkungan dan dekatnya jarak antara uretra dengan lubang anal dapat menaikkan
kerentanan wanita terhadap pyelonephritis. Secara umum jalur ascenden disebabkan karena
mikroorganisme fekal. (Manski, 2011)

b. Hematogen
Jalur hematogen merupakan jalur yang jarang terjadi bila dibandingkan dengan jalur ascenen. Jalur
hematogen disebabkan karena adanya bakteri dalam darah. Bakteremia Staphylococcus merupakan
bakteri yang sering menyerang dari jalur ini. Staphylococcus menyebar di korteks atau ginjal yang akan
mengakibatkan pembentukan abses (Sawalha, 2009)

9
c. Perluasan Langsung
Infeksi saluran kemih pada jalur ini disebabkan karena pembentukan abses atau fistula seperti fistula
kolovesikalis. Jalur ini yang menyebabkan kambuhnya Pyelonephritis pada penderitanya (Corona, 2003)

2.4 Patologi Anatomi

Gambar 1. Jaringan ginjal berukuran 11x6x4 cm, berat 100 gram, disertai ureter
panjang 21 cm. pada sayatan berwarna putih kecoklatan dngan konsistensi kenyal
padat.

10
Gambar 2. Penampang ginjal yang diinsisi terlihat pyelum ginjal berdilatasi sampai
rusak/hancur dan terdapat urolith pada pyelum.

Gambar 3. Penampang ginjal yang mengalami pembengkakan dan mengalami hiperemi. Pada
permukaan supkapsuler dapat ditemukan abses berwarna kuning dengan berbagai ukuran berbentuk
bulat atau baji yang dikelilingi kelim hemoragik

11
Gambar 4. Penampang ginjal membengkak, banyak cairan dan abses, saat diinsisi
pyelum ginjal berdilatasi sampai rusak/hancur.

2.5 Penularan Pyelonephritis

Pyelonephritis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri yang sebenarnya normal berada di
dalam saluran pencernaan namun masuk ke saluran kemih. Bakteri yang dimungkinkan antara lain adalah
E. coli (70-80%) dan Enterococcus faecalis, serta bakteri lainnya yaitu Clebsiella spp., Pseudomona
aeruginosa. Penularan umumnya melalui kontaminasi bakteri pada makanan dan minuman, serta
kontaminasi dari barang-barang yang terkontaminasi bakteri dan kemudian termakan oleh hewan, masuk
ke dalam usus dan berpindah ke saluran kemih yang kemudian menyebabkan infeksi.

2.6 Gejala Klinis

Pada hewan kecil seperti anjing dan kucing gejala klinis dari pielonefritis yang ditemukan pada
pemeriksaan fisik dengan melakukan palpasi seprti hewan akan merasa kesakitan pada abdomen saat
dilakukan palpasi ginjal. Seringkali gejala klinis tidak terlihat sehingga dapat menyebabkan gagal ginjal,

12
dan meskipun gagal ginjal akut dapat terjadi pada penyakit ini tetapi pielonefritis lebih sering
menyebabkan gagal ginjal kronis (CRF). Pielonefritis akut dapat ditandai dengan depresi, anoreksia,
demam, muntah, dan sakit pada abdomen terutama saat dilakukan palpasi ginjal. Pielonefritis kronis ini
terkadang tidak menunjukan gejala klinis sehingga bersifat subklinis, namun masih dapat ditemuakan
gejala klinis seperti pireksia intermiten, anoreksia dan depresi, atau terjadi uremia dalam kasus parenkim
ginjal. Polydypsia dan poliuria terjadi karena berkurangnya kemapuan ekskresi urine karena adanya
gangguan pada mekanisme medula ginjal, selain itu terdapat endotoksin bakteri. Tanda-tanda seperti
disuria, pollakiuria, stranguria, hematuria, dan urine yang berbau busuk atau berubah warna sangat
terlihat jelas (Nicola. 2005).
Sedangkan untuk sapi, gejala klinis yang dapat dilihat adalah anoreksia dan nafsu makan
berkurang. Sapi terlihat gelisah dan menunjukan terjadinya kolik, seperti menginjak dan menendang.
Denyut jantung lebih tinggi daripada normal, dan pernapasan meningkat , suhu tubuh menurun. Hewan
dengan uni-pielonefritis lateral memiliki denyut jantung lebih tinggi secara dibandingkan dengan
pielonefritis bilateral. Tingkat pernapasan lebih tinggi pada hewan yang tidak diobati dibandingkan
dengan hewan yang berhasil diobati. Sapi mengalami penurunan turgor kulit dan permukaan tubuh lebih
dingin dari biasanya, mukosa mulut terlihat pucat. Motilitas rumen menurun atau tidak ada dan motilitas
usus berkurang atau tidak ada, ditemukan pula dinding perut yang tegang . Feses sapi ini mengandung
lendir dan berair. Terkadang dapat dijumpai stranguria. Urin dengan warna coklat kemerahan dan berisi
nanah karena adanya pembekuan darah. Urin memiliki bau yang tajam dan busuk, pH urin dapat menurun
dan meningkat di atas normal (Braun, dkk. 2008).

2.7 Pengobatan

Tujuan pemberian pengobatan ini adalah untuk menahan perjalanan penyakit, agar tidak terjadi
gagal ginjal. Tekanan darah di turunkan serta dihindarkan dari hiperfusi glomerukus dengan diet rendah
protein dan rendah garam.
Antibiotik segera diberikan pada penderita yang didapati mengalami demam, nyeri pada daerah pinggang,
disuria dan pyuria. Pada gagal ginjalpenggunaan antibiotik harus hati-hati perlu pengurangan dosis
antibiotik tertentu.
Antibiotik yang paling aman tanpa mengurangi dosis pada penderita kegagalan gunjal adalah :
penicilin, sukfadimidine, ampicilin, amoxycilin, doxyciclin, dan erytromicin. Refluks vesikoureteral
dipertimbangkan untuk tindakan operatif apabila disertai infeksi yang sulit dikontrol dengan antibiotik.

13
Dapat dilakukan pengobatan dengan prinsip gagal ginjal seperti Mengikuti prinsip terapi pada
saluran perkencingan, melakukan Neprhectomy pada pyelonephritis asimetris, Mengubah pH urine (C.
renale attachment pada urine pH alkalis, E.coli pada urine pH asam), serta Mengacu pada terapi cystitis.

2.8 Pencegahan

Pencegahan Pyelonephritis pada hewan yaitu dilakukan penanganan yang adekuat pada infeksi
ginjal akut. Jangan menghentikan pengobatan walaupun gejala menghilang setelah beberapa hari
pengobatan.ISK atas (pielonefritis kronis) perlu pengaturan / regulasi pH urin karena sangat penting untuk
mencegah pertumbuhan mikroorganisme tertentu maupun untuk efektifitas antibiotik. Bila diagnosis
pielonefritis kronis terlambat dan kedua ginjal telah menyusut, pengobatan konservatif semata – mata
untuk mempertahankan faal jaringan ginjal yang masih utuh. Cara pencegahan lain bisa dengan diberikan
minum yang cukup , membuang urine secara teratur , mencuci dengan benar bagian vagina pada hewan
setiap hari.
Secara umum pencegahan ISK dapat dilakukan dengan menghindari mandi busa dan sabun
berparfum karena dapat menyebabkan iritasi pada uretra, mengganti diaper secara teratur untuk
mencegah kontak yang lama feses dengan daerah genital yang akan memberikan kesempatan kepada
bakteri untuk bergerak naik ke uretra kemudian ke kandung kemih, membersihkan genital yang benar
pada hewan karena akan mengurangi pajanan uretra terhadap ISK yang disebabkan oleh bakteri dari
feses, untuk pencegahan ISK kompleks adalah deteksi adanya kelainan pada ginjal dan saluran kemih
sangat penting. Beberapa keadaan yang merupakan faktor risiko ISK kompleks seperti refluks
vesikoureter, neuropathic bladder atau obstruksi saluran kemih (posterior urethral valves, ureterokel,
ektopik ureter), dapat merupakan kelainan bawaan yang dapat dideteksi secara dini dengan pemeriksaan
USG antenatal. AAP merekomendasikan pemeriksaan kelainan saluran kemih dengan menggunakan USG.
Pemberian antibiotik profilaksis jangka panjang juga diberikan dengan kelainan saluran kemih untuk
mencegah infeksi berulang.

14
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Pyelonefritis merupakan infeksi bakteri yang menyerang ginjal, yang sifatnya akut maupun kronis.
Penyakit ini tersebar diseluruh dunia.. Epidemiologi ISK pada hewan bervariasi sangat luas dan
dipengaruhi beberapa faktor diantaranya adalah usia, jenis kelamin, sampel populasi, metode
pengumpulan urin, kriteria diagnosis dan kultur. Infeksi saluran kemih atas terbagi menjadi 2, yaitu
Pyelonepfritis akut dan Pyelonefritis kronis. Diagnosa pyelonephritis tergantung pada umur pasien, jenis
kelamin, dan respon terhadap pengobatan, meliputi Urinalisis, Kultur urin, USG, CT scan, VCUG, DRE,
DMSA scintigraphy. Penularan umumnya melalui kontaminasi bakteri pada makanan dan minuman, serta
kontaminasi dari barang-barang yang terkontaminasi bakteri dan kemudian termakan oleh hewan, masuk
ke dalam usus dan berpindah ke saluran kemih yang kemudian menyebabkan infeksi. Pada hewan kecil
seperti anjing dan kucing gejala klinis dari pielonefritis yang ditemukan pada pemeriksaan fisik dengan
melakukan palpasi seprti hewan akan merasa kesakitan pada abdomen saat dilakukan palpasi ginjal,
Sedangkan untuk sapi, gejala klinis yang dapat dilihat adalah anoreksia dan nafsu makan berkurang. Sapi
terlihat gelisah dan menunjukan terjadinya kolik, Denyut jantung lebih tinggi daripada normal, dan
pernapasan meningkat , suhu tubuh menurun. Pengobatan dengan pemberian antibiotic. Pencegahan
Pyelonephritis pada hewan yaitu dilakukan penanganan yang adekuat pada infeksi ginjal akut

3.2 Saran
Untuk mengetahui lebih mendalam tentang Pyelonephritis, pembaca dapat mencari dari referensi lain
seperti jurnal-jurnal.

15
DAFTAR PUSTAKA

Nugroho, Wahyudi. (2000). Keperawatan Gerontik. Edisi: 2. Jakarta: EGC

Lumbanbatu, S.M., 2003: Bakteriuria Asimtomatik pada Anak Sekolah Dasar Usia 9-12 Tahun. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara: 1-17

Parry, Nicola M A. 2005. Pyelonephritis in Small Animals. UK VET - volume 10 No 6 july 2005.

Sukandar, E. 2004. Infeksi saluran kemih pada pasien dewasa dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
I. Edisi IV. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2007. h.553-7

Aieolo SE. et al., 2000The Merck Veterinary Manual Eight Edition. USA: Merck & CO, Inc. White House
Station,.

Blood DC dan Studdert VP., 1999Saunders Comprehensive Veterinery Dictionary Second Edition.
Philadelphia: WB Saunders Company,.

Corona, A. 2003. Urinari tract infections and urinary incontinence.

Manski, D. 2011. Urinary tract infections : causes, pathogens and risk factors. UK

Sawalha, R. 2009. Prevalence of urinary tract infection among children of primaru schools in nablus. Tesis
program pascasarjana kesehatan masyarakat dan pengetahuan. Universitas An-Naja National.
Nablus : Palestina

Smeltzer, S. C. & Bare, B.G. 2002. Buku Ajar Keperawatan medikal brunner dan suddarth. Edisi 8. Jakarta
: EGC

Braun, U., Nuss, K., Wehbrink, D., Rauch., S., Pospischil, A. 2008. Clinical and Ultrasonographic Findings,
Diagnosis and Treatment of Pyelonephritis in 17 Cows. The Veterinary Journal 175
(2008) 240-248.

16
Nicola. 2005. Pyelonphritis in Small Animals. UK Vet- Volume 10 No 6 July 2005.

Hanson S, Jodal U. 1999. Urinary Tract Infection.USA: Lippincott William & Wilkins., 835-871.

Rusdijas, Ramayati R. Infeksi Saluran Kemih. Dalam : Alatas H. Tambunan T, Trihono PP, penyunting. Buku
ajar Nefrologi anak. Jakarta: IDAI, 2002; 142-163
Raszka WV, Khan O. Pyelonefritis. Pediatrics in Review. 2003; 26: 364-9.

Elder JS. Urinary Tract Infections. Dalam: Behrman RM, Kliegman RM, Jenson

HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics, edisi ke-17. Philadelphia:WB Saunders, 2004;1785-94.

Lee JBL, Neild GH. Urinary tract infection. Medicine. 2007; 35(8): 423-8

17

Anda mungkin juga menyukai