Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH METODE-METODE DALAM PENILAIAN KARYAWAN

BESERTA KASUSNYA DAN MASALAH-MASALAH POTENSIAL DALAM


PENILAIAN KINERJA KARYAWAN

DOSEN PEMBIMBING
Hapsa Usman,SE.,MM

Disusun Oleh

JESSICA M.DAWI (1723754676)

JURUSAN AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK

POLITEKNIK NEGERI KUPANG

2020
Metode-metode Penilaian Kinerja (Performance Appraisal
Methods)
Metode-metode Penilaian Kinerja Proses Manajemen Kinerja Karyawan melibatkan Penilaian
atau analisis tentang apa yang telah dicapai karyawan dan membentuk dasar untuk
perencanaan karir dan pengembangan potensi pada karyawan yang bersangkutan. Sedangkana
Penilaian Kinerja atau Performance Appraisal merupakan pengukuran sistematis yang terstruktur
dan digunakan untuk mengevaluasi kemampuan, perilaku dan hasil kerja karyawan sehingga
dapat merencanakan karir lebih lanjut bagi karyawannya yang pada akhirnya dapat memberikan
manfaat bagi karyawan yang bersangkutan, Unit Kerjanya dan Organisasinya bahkan dapat
bermanfaat bagi masyarakat dimana karyawan tersebut berada.

Elemen-elemen yang diukur dalam Penilaian Kinerja ini diantaranya seperti Pengetahuan
pekerjaan, Kualitas dan Kuantitas Output yang dihasilkan, Inisiatif, Kemampuan kepemimpinan,
pengawasan, tingkat ketergantungan, kerjasama, fleksibilitas, Kesehatan dan Perilaku. Untuk
mengukur elemen-elemen penilaian kinerja tersebut, diperlukan metode pengukuran yang
sistematis dan efektif sehingga hasilnya dapat diterima oleh karyawan maupun organisasinya
dan benar-benar dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

Terdapat banyak pengklasifikasian metode penilaian kinerja ini, setiap metode memiliki
kelebihan maupun kelemahannya yang mungkin cocok bagi organisasi tertentu namun mungkin
tidak cocok untuk organisasi lainnya. Dengan demikian, tidak ada satupun metode standar yang
cocok untuk semua organisasi ataupun perusahaan. Metode Penilaian Kinerja ini akan bervariasi
tergantung pada lingkungan kerja, jenis bisnis, bidang kerja dan pekerjaan atau tugas
karyawannya.

Berikut ini adalah beberapa metode penilaian kinerja yang sederhana dan yang sering
digunakan oleh organisasi atau perusahaan untuk menilai kinerja karyawannya.

1. Metode Rating Scale

Metode Rating Scale atau Metode dengan menggunakan Skala Penilaian adalah metode
penilaian yang paling sederhana dan paling umum digunakan. Metode Rating Scale ini
menggunakan skala untuk menilai kinerja karyawannya. Misalnya dari skala “Memuaskan”
hingga “Tidak Memuaskan” ataupun dari skala “Sangat Baik” hingga “Sangat Buruk”. Skala
penilaian tersebut biasanya dikonversi ke nilai angka seperti 5 (Sangat Baik), 4 (Baik), 3
(Cukup), 2 (Buruk) dan 1 (Sangat Buruk). Karakteristik Karyawan yang dinilai biasanya adalah
seperti kepemimpinan, ketergantungan, kualitas kerja, kuantitas kerja, tanggung jawab, inisiatif,
stabilitas emosi, loyalitas, kerjasama, pengetahuan dan kemampuan mengerjakan tugas yang
dibebankan.

2. Metode Checklist

Metode Checklist atau Metode Daftar Periksa adalah metode penilaian kinerja yang terdiri dari
serangkaian standar kerja yang berbentuk pernyataan dengan pertanyaan dan  jawaban “ya”
atau “tidak” yang telah disiapkan oleh departemen SDM (HR Dept). Jika karyawan yang
bersangkutan memenuhi kinerja yang disebutkan dalam pertanyaan Checklist, maka akan
diberikan tanda centang (√) atau tanda kali (x) pada kolom “ya”. Sebaliknya jika karyawan yang
bersangkutan tidak memenuhi kinerja yang dimaksud, maka tanda centang (√) atau tanda kali (x)
akan diberikan pada kolom “tidak”.
3. Metode Critical Incidents

Metode Critical Incidents atau metode insiden kritis adalah metode penilaian yang memusatkan
perhatiannya pada perilaku kritis atau insiden kritis baik perilaku/insiden yang positif maupun
perilaku/insiden yang negatif. Dengan metode ini, pengevaluasi atau dalam hal ini adalah
seorang Manajer harus terus menerus mencatat insiden atau perilaku bawahannya baik positif
maupun negatif. Namun pada umumnya, perilaku atau insiden yang dicatat yang dicatat adalah
insiden atau perilaku yang sangat ekstrem.

4. Metode Essay

Metode Essay adalah metode penilaian yang paling sederhana diantara berbagai metode
penilaian yang ada. Dalam metode Essay (metode esai) ini, penilai menulis uraian tentang
kekuatan, kelemahan, kecerdasan, kehadiran, sikap, efisiensi kerja, perilaku, karakter dan
potensi bawahannya. Format dan Pola Laporannya pun bervariasi dan berbeda-beda diantara
para pengevaluasi atau para manajer yang melakukan evaluasi terhadap bawahannya. Namun
karena tidak adanya struktur yang standar, metode esai ini cenderung bervariasi sehingga
kualitas penilaian juga tergantung pada keterampilan pengevaluasi atau penulis. Metode Essay
ini juga bersifat deskriptif sehingga metode ini hanya memberikan informasi kualitatif tentang
karyawan. Dengan tidak adanya data kuantitatif, evaluasi akan mengalami masalah subyektif.
Meskipun demikian, Metode Esai adalah awal yang baik dan sangat bermanfaat jika digunakan
bersama dengan metode penilaian kinerja lainnya.

5. Metode Ranking

Metode Ranking adalah metode penilaian yang membandingkan satu karyawan dengan
karyawan lainnya kemudian diurutkan berdasarkan peringkatnya. Karyawan-karyawan tersebut
diberikan peringkat atau ranking dari yang tertinggi hingga yang terendah atau dari yang terbaik
hingga yang terburuk. Metode Ranking ini akan sulit dilakukan apabila terdapat dua atau lebih
karyawan yang memiliki kinerja yang hampir sama atau sebanding.

Metode-metode Penilaian Kinerja Modern

Metode-metode diatas merupakan metode-metode penilaian kinerja tradisional. Saat ini,


terdapat lagi metode-metode penilaian kinerja yang diklasifikasikan sebagai metode penilaian
kinerja modern. Metode-metode Penilaian Kinerja Modern yang dimaksud ini diantaranya adalah

1.Metode Penilaian MBO (Management by Objectives)

Pemakaian konsep Management by Objectives dalam evaluasi kinerja dikemukakan pertama kali
oleh Douglas Mc Gregor pada tahun 1957. Ia mengkritik evaluasi kinerja tradisional yang pada masa
itu berfokus pada kepribadian dan sifatsifat pribadi karyawan di dalam artikelnya. Ia menyarankan
mengubah sistem tersebut dan menggunakan konsep Management by Objectives. Penilaian kinerja
karyawan dengan metode Management by Objectives mewajibkan karyawan untuk menyusun
konsep target jangka pendek dan kemudian mendiskusikannya dengan manajer. Jika diterima oleh
manajernya, target tersebut menjadi tolok ukur penilaian kinerja karyawan tersebut. Penilaian
kinerja karyawan dengan metode Management by Objectives dapat dilaksanakan pada pekerjaan
yang output-nya dapat diukur secara kuantitatif, seperti karyawan bagian pemasaran, kinerjanya
dapat diukur salah satunya dengan menghitung jumlah penjualan.

Manajemen tujuan (Management by Objectives), mengharuskan para manajer untuk menetapkan


tujuan-tujuan terukur yang spesifik untuk setiap karyawan berdasarkan hasil diskusi dengan
karyawan tersebut, lalu secara periodik membahas kemajuan tujuan-tujuan tersebut. Penerapan
metode Management by Objectives terdiri dari enam langkah. Berikut ini langkah-langkah
penerapan metode Management by Objectives dalam menilai kinerja karyawan:

• Menetapkan tujuan organisasi. Menyusun rencana keseluruhan organisasi untuk tahun depan dan
menetapkan tujuan spesifik perusahaan berdasarkan pada rencana strategis perusahaan.
• Menetapkan tujuan departemen. Kemudian, kepala departemen mengambil tujuan-tujuan
perusahaan (seperti meningkatkan keuntungan 2004 sampai 20%) dan, dengan superioritas
mereka, menetapkan bersama-sama tujuan departemen mereka.
• Membahas tujuan departemen. Kepala departemen mendiskusikan tujuan departemen dengan
semua bawahan, biasanya pada rapat seluruh departemen. Mereka bertanya pada karyawan
untuk menetapkan tujuan awal individual mereka sendiri; dengan kata lain, bagaimana setiap
karyawan memberikan kontribusi pada tujuan departemen mereka.
• Mendefinisikan hasil yang diharapkan (menetapkan tujuan perorangan). Kepala departemen dan
bawahannya menetapkan target kinerja individual jangka pendek.
• Meninjau kinerja. Kepala departemen membandingkan kinerja aktual dan target dari setiap
karyawan.
• Memberikan umpan balik. Kepala departemen dan karyawan mendiskusikan dan mengevaluasi
kemajuan terakhir.
Merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Tosi dan Carroll (2003) serta analisis lainnya, tampak
jelas bahwa metode Management by Objectives mempunyai keuntungan bagi para karyawan dan
perusahaan. Bagi karyawan keuntungan utamanya ialah meningkatnya rasa keterlibatan dan
pengertian tentang tujuan organisasi. Di samping itu, tiap karyawan juga mengetahi bahwa mereka
akan dinilai bukan berdasarkan hubungan pribadi atau prasangka atasan, tetapi berdasarkan sebaik
mana mereka mencapai target yang mereka sendiri telah membantu menetapkannya. Singkat kata,
dengan menggunakan metode ini dalam menilai kinerja karyawan dirasa lebih objetif. Penelitian ini
juga menyimpulkan, karyawan-karyawan yang dinilai dengan menggunakan Management by
Objectives lebih besar kemungkinannya untuk melaksanakan tanggung jawab mereka dengan
penuh kemauan dan keberhasilan.

Keuntungan yang didapat karyawan sebagai imbas atas penerapan penilaian kinerja karyawan
dengan metode Management by Objectives secara tidak langsung akan memberikan keuntungan
juga kepada perusahaan. Penerapan penilaian kinerja karyawan dengan menggunakan metode
Management by Objectives yang melibatkan semua karyawan dalam menetapkan tujuan
perusahaan membuat tujuan perusahaan menjadi lebih realistis, juga komunikasi dapat terjaga
sehingga membantu perusahaan untuk mencapai tujuanya dengan lebih baik serta para karyawan
lebih menyadari apa yang diharapkan oleh pimpinannya.

2.Metode BARS (Behaviourally Anchored Rating Scales)

Metode penilaian kinerja dengan model Behaviorally Anchor Rating Scale


merupakan metode penilaian yang menggabungkan pendekatan perilaku kerja dengan sifat pribadi.
Metode Behaviorally Anchor Rating Scale terdiri atas suatu seri, 5 hingga 10 skala perilaku
vertikal untuk setiap indikator kinerja. Untuk setiap dimensi, disusun 5 hingga 10 Anchor. Anchor
yang dimaksud, yaitu perilaku yang menunjukkan kinerja untuk setiap dimensi. Anchor tersebut
disusun dari yang nilainya yang paling tinggi hingga yang nilainya paling rendah. Anchor tersebut
dapat berupa critical incident yang diperoleh melalui analisa jabatan. Metode ini pada umumnya
disusun oleh suatu tim yang terdiri atas spesialis Sumber Daya Manusia, manajer, dan pegawai. Tim
ini bertugas untuk mengidentifikasi karakteristik dimensi kinerja dan mengidentifikasi 5 hingga 10
kejadian khusus untuk setiap dimensi. Kemudian, kejadian khusus tersebut ditelaah dan dinilai oleh
seluruh anggota tim. Kejadian khusus yang terpilih kemudian ditempatkan dalam skala yang paling
tinggi sampai dengan skala yang paling rendah.

Metode Behaviorally Anchor Rating Scale dalam pelaksanaannya paling tidak membutuhkan lima
tahapan, yaitu:

• Membuat critical incident. Hal ini dilakukan dengan cara bertanya seseorang yang mengetahui
pekerjaan (pemegang jabatan dan / atau penyelia) untuk menjelaskan ilustrasi khusus (kejadian
kritis) kinerja yang efektif dan tidak efektif ataupun bisa dilakukan dengan cara anlisis jabatan.
• Mengembangkan dimensi kinerja dimana dalam tahap ini kejadian tersebut dikelompokkan ke
dalam kelompok yang lebih kecil dimensi kerja dan didefinisikan setiap dimensi, seperti
“keterampilan menjual”.
• Mengalokasikan kembali kejadian. Kelompok lain dari orang-orang yang juga mengetahui
pekerjaan ini kemudian mengalokasikan kembali kejadian kritis ini dari awal. Mereka membuat
definisi pengelompokan dan kejadian kritis, dan harus menugaskan kembali setiap kejadian untuk
kelompok yang mereka anggap paling sesuai.
• Membuat skala kejadian. Membuat peringkat perilaku yang dijelaskan oleh kejadian itu dengan
seberapa efektif dan efisien. Setiap perilaku merepresentasikan kinerja pada dimensinya.
• Mengembangkan perangkat akhir. Pilih sekitar lima hingga sepuluh kejadian sebagai standar
perilaku dimensi itu.
Pelaksanaan penilaian kinerja karyawan dengan menggunakan metode Behaviorally Anchor
Rating Scale memang memiliki kelemahan, yaitu menyita waktu jika dibandingkan dengan metode
penilaian lainnya namun metode Behaviorally Anchor Rating Scale juga memiliki beberapa sisi
positif, yakni:

• Ukuran yang leih akurat. Orang-orang yang mengembangkan metode


Behaviorally Anchor Rating Scale adalah mereka yang ahli di bidang SDM selain itu dilibatkan
pula orang-orang yang tahu pekerjaan serta persyaratannya dengan lebih baik dari orang lain. Hal
ini seharusnya menghasilkan kinerja pekerjaan dengan akurasi yang baik.

• Standar yang lebih jelas. Kejadian kritis di sepanjang skala menjelaskan apa yang harus dicari
berkaitan dengan kinerja superior, kinerja rata-rata dan seterusnya.
• Umpan balik. Kejadian kritis memudahkan untuk menjelaskan peringkat pada yang dinilai
• Dimensi independen. Pengelompkkan secara sistematis kejadian kritis ke dalam lima hingga sepula
dimensi kerja (seperti “keterampilan menjual”) harus membantu untuk membuat dimensi kinerja
lebih tidak terkait satu sama lain. Contohnya, penilai lebih memilih untuk tidak memberikan
peringkat tinggi pada karyawan di semua dimensi hanya karena dia diperingkatkan tinggi dalam
“keterampilan seorang menjual”
• Konsistensi. Penilaian kinerja berdasarkan metode Behavioraly Anchor Rating Scale tampaknya
juga konsisten dan dapat dipercaya secara relatif, karena penilaian yang diberikan oleh penilai
yang berbeda-beda terhadap orang yang sama akan cenderung sama.
3. Metode 360 derajat

Pada perusahaan tak lepas dari yang namanya evaluasi kerja, dimana setiap
karyawan akan dinilai kinerjanya selama beberapa periode tertentu.  Hal ini
dibutuhkan untuk melihat sejauh mana karyawan bisa bekerja dan memenuhi
standar perusahaan, sehingga ketika ada kesalahan atau penyimpangan bisa
dilakukan perbaikan.

Penilaian kinerja memiliki beberapa metode. Di artikel kali ini akan dibahas metode
penilaian kinerja 360 derajat, dimana metode ini merupakan cara penilaian kinerja
umpan balik dengan melibatkan banyak orang, seperti supervisor, rekan kerja, dan
bawahan. Intinya, metode ini mengumpulkan berbagai masukan dari narasumber
tentang kinerja suatu karyawan. Setelah survey rahasia dilakukan dan didapatkan
hasilnya, nanti hasilnya akan dibagikan kepada karyawan yang dinilai, biasanya oleh
manager sekaligus ia melakukan diskusi sebagai bagian dari umpan balik.

Istilah 360 derajat ditemukan oleh seorang pilot Angkatan Laut AS yang bernama
Prof. Mark Edwards. Idenya datang dari rekannya di institusi militer AS, terlepas dari
namanya, prosedur umpan balik berasal dari survey sikap karyawan, penilaian
kinerja, dan perencanaan pengembagan pribadi pusat penilaian. Kombinasi ketiga
komponen tersebut telah membentuk umpan balik 360 derajat sebagai instrument
yang dirangkum oleh Chivers dan Darling (1999).

Sistem penilaian kinerja dengan metode 360 derajat banyak digunakan di


perusahaan luar negeri. Laporan Industri Negara Bagian 1999, dari American
SocietyFor Training and Development (ASTD), meninjau kembali praktik pelatihan
lebih dari 750 perusahaan. 55 perusahaan yang digambarkan oleh ASTD sebagai
perusahaan terbaik dalam pendekatan pelatihan mereka, sangat bergantung pada
umpan balik karyawan termasuk umpan balik 360 derajat, untuk rencana
pengembangan Individu dan ulasan kinerja tahunan.

Menurut Ilyas (2002 :16) penilaian kerja yang baik adalah dengan menggunakan
metode 360 derajat. Teknik ini merupakan pengembangan terakhir dari teknik
penilaian sendirian. Tujuan dilakukannya metode ini adalah untuk membantu setiap
individu memahami kekuatan dan kelemahannya, dan untuk member kontribusi
wawasan tentang aspek pekerjaannya yang butuh pengmebangan professional.
Teknik ini dapat memberikan data nilai yang lebih baik dan dapat dipercaya karena
dilakukan penilaian silang. Apabila penilaian dilakukan dengan tepat, maka itu akan
menguntungkan perusahaan karena karyawan memberikan kontribusi untuk focus
pada strategi perusahaan.

Metode penilaian 360 derajat memiliki banyak kelebihan, yaitu dapat memberikan
pemahaman terhadap individu bagaimana efektivitasnya sebagai karyawan, dapat
membantu kerjasama tim agar lebih efektif, bisa sebagai pedoman untuk
memperbaiki kesalahan yang telah diperbuat, karena oranglain lah yang  bisa
menilai kita, meningkatkan kesadaran individu terhadap apa yang diharapkan oleh
penilai.
Namun, dibalik kelebihan itu tentunya ada beberapa kekurangan dan kesalahan
dalam penilaian umpan balik ini yang membuat metode ini tidak bisa digunakan
dalam beberapa perusahaan, seperti kesalahan memanfaatkan sistem penilaian,
keterbatasan pengetahuan keterampilan appraiser, keterbatasan pola komunikasi
antara pihak internal dan eksternal atau kesalahan waktu dalam menerapkan sistem
penilaian 360 derajat (Kanouse, 1998).

Penerapan metode umpan balik 360 derajat ini banyak digunakan di luar negri,
namun berbeda dengan Indonesia. Di Indonesia metode ini jarang digunakan, tapi
bukan berarti tidak ada, contohnya Bank BNI yang sudah memakai system ini sejak
2003 dan  mendapati hasilnya efektif.

Meskipun metode ini tampak lebih baik dari metode penilaian lain, tapi tidak selalu
bisa disesuaikan disemua organisasi. Budaya Indonesia umumnya memiliki sikap
yang kurang ekspresif, tidak enakan dengan bawahan atau atasan, penilaian yang
diberikan tidak jelas atau ragu-ragu, sehingga membuat penilaian tidak akurat.
Terlebih jika orang yang akan dinilai sering berbuat baik kepada penilai, itu bisa
membuat pernyataan penilai tidak bisa diandalkan. Hal itu bisa membuat manajer
kesulitan nantinya menetapkan siapa yang benar- benar bisa bekerja dengan baik
atau tidak.

Jadi, penilaian umpan balik 360 derajat tidak selalu bisa dipakai disetiap kondisi dan
setiap organisasi karena beberapa alasan dan keterbatasan. Sehingga untuk
mengambil keputusan penilaian kinerja, dibutuhkan aspek-aspek yang tepat dan
sesuai dengan budaya organisasi masing-masing perusahaan.

4. Metode Assessment center

Assessment Center merupakan metode yang berbasis kompetensi yang didesain dengan
mengikuti standar internasional. Mengacu pada defenisi konseptual yang diakui secara universal,
maka metode Assessment Center (AC) juga diartikan sebagai proses sistematis untuk menilai
ketrampilan, pengetahuan dan kemampuan individu yang dianggap kritikal bagi keberhasilan kinerja
yang unggul. Assessment Center, sebagai metodologi, merupakan evaluasi terstandar mengenai
perilaku individu dengan menggunakan beragam simulasi dan instrumen tes perilaku. Melalui
beragam materi tes, instrumen evaluasi kepribadian dan wawancara, para asesor yang terlatih
melakukan obsevasi terhadap perilaku para peserta asesmen; dan kemudian memberikan penilaian
akhir asesmen serta umpan balik pengembangan. Hasil nilai asesmen dan umpan balik diharapkan
akan memberikan sumbangan berharga bagi peningkatan mutu pegawai.
Masalah dalam Penilaian Kinerja
Sebagaimana telah disinggung pada permulaan bab ini,penilaian kinerja
terus menerus berada dibawah gempuran kritik. Metode skala penilaian
tampaknya menjadi sasaran paling retan. Namun sesungguhnya, banyak
dari masalah-masalah yang umum dikemukakan tidaklah melekat pada
metode itu sendiri, namun,lebih mencerminkan implementasi yang tidak
tepat.

Sebagai contoh, perusahaan-perusahaan mungkin gagal memberikan


pelatihan untuk penilai yang cukup, atau perusahaan-perusahaan tersebut
mungkin menggunakan kriteria penilaian yang terlalu subjektif dan tidak
memiliki keterkaitan dengan pekerjaan.

Bagian berikut ini menitikberatkan perhatian pada beberapa bidang


permasalahan yang paling umum.

1. Ketidak nyamanan Penilai


Melaksanakan penilaian kinerja seringkali menjadi tugas manajemen
sumber daya manusia yang membuat frustasi. Salah satu guru
manajemen, Edward Lawler, mencatat dokumentasi penting yang
menunjukkan bahwa sistem penilaian kinerja tidak memotivasi orang-orang
dan tidak pula mengarahkan pengembangan mereka secara
efektif.Menurutnya, sistem tersebut justru menciptakan konflik antara
atasan dan bawahan serta menyebabkan perilaku-perilaku yang
merugikan.

Peringatan ini penting. Jika sebuah sistem penilaian kinerja memiliki desain
yang salah,atau pelaksanaan yang tidak tepat,par karyawan akan takut
mendapatkan peniaian dan para manajer tidak akan suka melakukannya.
Dalam kenyataannya, beberapa manajer selalu membenci
waktu,prosedur,pilihan-pilihan sulit,dan ketidaknyamanan yang sering
menyertai proses penilaian.
Menjalankan prosedur penilaian menyela beban kerja berprioritas tinggi
seorang manajer dan pengalaman tersebut bisa menjadi sangat tidak
menyenangkan jika karyawan yang dinilai tidak bekerja dengan
baik.Menurut sumber di Inggris,satu dari delapan manajer akan lebih suka
mengunjungi dokter gigi daripada melaksanakan penilaian kinerja.

2. Ketiadaan Obyektivitas
Kelemahan potensial dari metode-metode penilaian kinerja tradisional
adalah tidak adanya obyektivitas. Dalam metode skala
penilaian,misalnya,faktor-faktor yang umum digunakan seperti sikap,
penampilan, dan kepribadian sulit untuk diukur. Disamping itu, faktor-faktor
tersebut mungkin memiliki keterkaitan yang sangat kecil dengan kinerja
pekerjaan seorang karyawan.

Meskipun subjektivitas akan selalu ada dalam metode-metode penilaian,


penilaian karyawan yang didasarkan terutama pada karakteristik-
karakteristik pribadi bisa menempatkan evaluator dan perusahaan dalam
posisi yang lemah terhadap karyawan dan ketentuan peluang kerja setara.
Perusahaan bsa mendapat tekanan berat untuk membuktikan bahwa
faktor-faktor tersebut berhubungan dengan pekerjaan ( job related).

3. Halo/Horn Error
Hallo error muncul ketika manajer menggeneralisasikan satu unsur atau
insiden kinerja positif kepada seluruh aspek kinerja
karyawan,menghasilkan nilai yang lebih tinggi.
Sebagai contoh,Rodney Pirkle, accounting supervisor, menempatkan nilai
tinggi pada kerapian, sebuah faktor yang digunakan dalam sistem
penilaian kinerja perusahaan.Ketika Rodney mengevaluasi kinerja senior
accounting clerk-nya,Jack Hicks, ia memperhatikan bahwa Jack adalah
seorang yang sangat rapi dan memberinya nilai tinggi pada faktor tersebut.
Disamping itu, sadar atau tidak sadar, Rodney membiarkan peringkat tinggi
pada kerapian melekat pada faktor-faktor lainnya, memberi Jack nilai tinggi
yang tidak berdasar pada semua faktor.
Tentunya, jika Jack tidak rapi, hal yang berlawanan bisa terjadi.Fenomena
ini dikenal sebagai horn error, kesalahan evaluasi yang muncul ketika
manajer menggeneralisasikan satu unsur atau insiden
kinerja negatif kepada seluruh aspek kinerja karyawan, menghasilkan nilai
yang lebih rendah.

4. Sikap Lunak/Sikap Keras


Memberikan nilai tinggi tanpa alasan yang bisa diterima disebut sikap lunak
(leniency).Perilaku ini seringkali dimotivasi oleh keinginan untuk
menghindari kontroversi mengenai penilaian.Hal ini paling umum terjadi
ketika kriteria yang sangat subjektif (dan sulit untuk
dipertanggungjawabkan) digunakan, dan penilai harus mendiskusikan hasil
evaluasi dengan para karyawan. Sebuah studi riset menemukan bahwa
ketika para manajer mengetahui mereka mengevaluasi para karyawan
untuk keperluan administratif, seperti kenaikan bayaran, mereka akan
cenderung melunak dibandingkan ketika mengevaluasi kinerja untuk
mewujudkan pengembangan karyawan.

Namun, sikap lunak bisa menyebabkan kegagalan untuk mengenali


kekurangan-kekurangan yang bisa diperbaiki. Praktik tersebut juga
menurunkan anggaran prestasi dan mengurangi imbalan yang tersedia
bagi para karyawan unggul. Di samping itu,organisasi akan mendapatkan
kesulitan untuk memberhentikan para karyawan berprestasi rendah yang
terus menerus memperoleh evaluasi positif.

Terlalu kritis terhadap kinerja karyawan dalam bekerja disebut sebagai


sikap keras (strictness).

Meskipun sikap lunak biasanya lebih umum dibandingkan sikap keras,


beberapa manajer atas inisiatif mereka sendiri, menerapkan evaluasi
secara lebih ketat dibandingkan standar perusahaan.Perilaku ini bisa
dikarenakan tidak adanya pemahaman atas berbagai faktor evaluasi.
Situasi terburuk terjadi ketika perusahaan memiliki para manajer lunak dan
keras sekaligus dan tidak melakukan apapun untuk menyamakan
ketidaksetaraan.
Di sini, mereka yang berprestasi rendah mendapatkan kenaikan bayaran
yang relatif tinggi dan promosi dari atasan yang lunak, sementara manajer
yang keras kurang menghargai para karyawan yang lebih berprestasi. Hal
ini akan memiliki pengaruh merugikan pada semangat kerja dan motivasi
orang-orang berprestasi terbaik.

5. Central Tendency Error


Central tendency error adalah kesalahan penilaian evaluasi yang muncul
ketika para karyawan secara tidak benar dinilai mendekati rata-rata atau
pertengahan skala.

Praktik ini bisa didorong oleh beberapa sistem skala penilaian yang
mengharuskan evaluator untuk memberi alasan penilaian ekstrim tinggi
dan ekstrim rendah.Delapan sistem tersebut,penilai bisa menghindari
kemungkinan munculnya kontroversi ataun kritik dengan hanya
memberikan nilai rata-rata. Namun karena penilaian tersebut cenderung
mengumpul dalam rentang benar-benar memuaskan, para karyawan
jarang mengeluhkan hal ini. Bagaimanapun juga, kesalahan tersebut ada
dan mempengaruhi ketetapan evaluasi.

6. Bias Perilaku Terakhir


Setiap orang yang pernah mengamati perilaku anak-anak kecil beberapa
minggu menjelang Natal bisa langsung mengenai adanya masalah bias
perilaku terakhir ( recent behavior bias ). Tiba-tiba, anak-anak paling nakal
di pemukiman mengembangkan kepribadian saleh dalam anstisipasinya
terhadap hadiah yang mereka harap diberikan oleh Old Saint Nick.

Orang-orang dalam angkatan kerja bukanlah anak-anak, namun mereka


adalah manusia.Hampir semua karyawan mengetahui dengan tepat kapan
penilaian kinerja di jadwalkan.Meskipun tindakan mereka mungkin tidak di
sadari, perilaku karyawan seringkali menjadi lebih baik dan produktivitas
cenderung meningkat beberapa hari atau minggu sebelum evaluasi
terjadwal.Wajar bagi seorang penilai untuk mengingat perilaku terakhir
secara lebih jelas dibandingkan tindakan-tindakan yang lebih jauh di masa
lampau. Namun, penilaian kerja formal umumnya.

7. Bias Peribadi (Stereotyping)
Kekurangan ini muncul ketika para manajer membiarkan perbedaan-
perbedaan individual seperti jender, ras, atau usia mempengaruhi penilaian
yang mereka berikan. Masalah ini bukan saja menghancurkan semangat
kerja karyawan, namun juga jelas-jelas ilegal dan dapat menimbulkan
proses hukum yang memakan biaya. Pengaruh Bias Budaya, atau
streotyping, secara pasti bisa mempengaruhi penilaian. Para manejer
memunculkan gambaran – gambaran mental mengenai apa yang dianggap
sebagai karyawan ideal dan para karyawan yang tidak sesuai dengan
gambaran tersebut bisa dinilai secara tidak  adil.

Diskriminasi dalam penilaian bisa pula didasarkan pada faktor – faktor lain.
Sebagai contoh, karyawan – karyawan yang bergaya tenang bisa dinilai
secara lebih baik sewenang – wenang karena mereka tidak terlalu
keberatan dengan hasilnya. Jenis perilaku ini sangat bertolak belakang
dengan karyawan yang lebih terus terang, yang seringkali mempertegas
ungkapan : the squeky wheel gets the grease ( roda yang bergesekan
terus harus diberi minyak ).

Dalam contoh lain, sebuah studi menyimpulkan bahwa orang-orang yang di


persepsikan sebagai perokok menerima evaluasi kinerja yang lebih rendah
dibandingkan mereka yang bukan perokok, implikasinya adalah bahwa jika
mereka berhenti merokok, mereka akan mendapatkan nilai lebih tinggi.

8. Manipulasi Evaluasi
Dalam beberapa kasus , para manejer mengendalikan hampir semua
aspek proses penilaian dan dengan demikian berada dalam posisi yang
bisa memanipulasi sistem. Sebagai contoh, seorang atasan mungkin ingin
memberikan kenaikan bayaran kepada karyawan tertentu. Guna
membenarkan tindakan tersebut, sang atasan bisa tanpa dasar yang kuat
memberikan nilai yang rendah kepada si karyawan. Dalam kedua kasus
tersebut, sistem sistim terdistrosi  dan tujuan penilaian kinerja tidak dapat
dicapai. Di samping itu, pada contoh yang terakhir di pengadilan.Jika
organisasi tersebut tidak mampu secara layak mendukung evaluasi
tersebut, organisasi itu bisa menderita kerugian finansial yang signifikan.

9. Kecemasan Karyawan
Proses penilaian juga bisa  menciptakan kecemasan bagi karyawan yang
dinilai. Peluang-peluang promosi, penugasan-penugasan kerja yang lebih
baik, dan peningkatan kompetensi bisa bergantung pada hasil
penilaian.Hal tersebut menimbulkan bukan hanya kegelisahan, namun juga
penolakan total. Sebuah pendapat menyatakan bahwa jika anda menyurvei
para karyawan pada umumnya, mereka akan mengatakan kepada anda
bahwapenilaian kinerja adalah cara manajemenuntuk mengungkapkan
semua hal buruk yang mereka lakukan sepanjang tahun.

Anda mungkin juga menyukai