Abstrak
Sektor pembangunan menjadi salah satu faktor penyebab kerusakan lingkungan, mulai dari tahap
pembangunan hingga maintenance. Kerusakaan lingkungan disebabkan oleh energi yang terpakai saat
proses pembangunan dan juga setelah pembangunan selesai. Salah satu tipologi bangunan yang cukup
banyak mengkonsumsi energi adalah bangunan perkantoran. Untuk mengurangi dampak kerusakan
lingkungan tersebut dilakukan berbagai upaya, salah satunya adalah pembangunan dengan konsep
arsitektur hijau (green architecture) yang kemudian disimpulkan menjadi beberapa prinsip oleh Brenda
dan Robert Vale. Ada Penelitian ini digolongkan dalam penelitian yang menggunakan strategi penelitian
deskriptif kualitatif. Metode deskriptif kualitatif merupakan metode penelitian yang memanfaatkan data
kualitatif dan dijabarkan dalam bentuk deskriptif. Jenis penelitian ini menampilkan hasil data apa adanya
tanpa proses manipilasi atau perlakuan lain. Manfaat penelitian ini yaitu memberikan pemahaman tentang
bagaimana penerapan prinsip-prinsip bangunan arsitektur hijau ( green building) oleh Brenda dan Robert
Vale pada studi kasus bangunan perkantoran. Penilaian dilakukan dengan menggunakan indikator pada
masing-masing prinsip arsitektur hijau dari teori Brenda dan Robert Vale.
Kata Kunci: Arsitektur hijau (green architecture), bangunan kantor, Brenda dan Robert Vale.
1. Pendahuluan
Pada saat ini, dunia sedang menghadapi kerusakan lingkungan yang berdampak terhadap banyak
hal, seperti pemanasan global, penyusutan ozon, hujan asam, serta penyusutan cadangan mineral.
Kerusakan lingkungan tersebut tidak lepas dari campur tangan manusia. Salah satu penyumbang terbesar
dampak kerusakan lingkungan adalah sektor pembangunan. Mulai dari tahap pembangunan yang
menggunakan bahan-bahan alam secara berlebihan, energi yang dipakai pada saat pembangunan, hingga
energi yang dikonsumsi saat bangunan telah berdiri dan tahap maintenance. Belum lagi produksi limbah
yang dihasilkan selama masa pembangunan dan maintenance.
Dikarenakan begitu banyaknya masalah lingkungan yang disebabkan oleh sektor pembangunan,
maka harus ada upaya penanggulangan agar lingkungan tetap terjaga. Salah satunya adalah
pembangunan dengan konsep arsitektur hijau (green architecture). Arsitektur hijau adalah suatu
pendekatan perencanaan bangunan yang berusaha untuk meminimalisasi berbagai pengaruh
membahayakan pada kesehatan manusia dan lingkungan. Arsitektur hijau itu sendiri dapat diterapkan di
semua jenis tipologi bangunan, salah satunya bangunan perkantoran. Perkantoran menjadi salah satu
tipologi bangunan yang menggunakan energi cukup banyak.
Dua orang arsitek sekaligus ilmuan, Prof. Brenda Vale dan Dr. Robert Vale, melakukan penelitian
mengenai arsitektur hijau dan mereka menemukan prinsip-prinsip pendekatan arsitektur hijau pada suatu
bangunan. Prinsip arsitektur hijau menurut Brenda dan Robert Vale, antara lain: conserving energy (hemat
energi), working with climate (memanfaatkan kondisi dan sumber energi alami), respect for site
(menanggapi keadaan tapak pada bangunan), respect for user (memperhatikan pengguna bangunan),
dan limiting new resources (meminimalkan sumber daya baru).
Berdasarkan uraian pada latar belakang permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk
menelusuri bagaimana penerapan arsitektur hijau pada sebuah bangunan, khususnya pada 3 (tiga) studi
kasus bangunan perkantoran berdasarkan prinsip pendekatan arsitektur hijau menurut Brenda dan Robert
Vale.
2. Landasan Teori
1
2.1. Arsitektur Hijau
Arsitektur hijau disebut juga arsitektur ekologis atau arsitektur lngkungan, merupakan satu
pendekatan desain dan pembangunan yang didasarkan atas prinsip-prinsip ekologis dan konservasi
lingkungan, yang akan menghasilkan satu karya bangunan yang mempunyai kualitas lingkungan dan
menciptakan kehidupan yang lebih baik dan berkelanjutan. Arsitektur hijau diperlukan untuk menjawab
tantangan persoalan lingkungan yang semakin memburuk dan hal ini disebabkan karena pendekatan
pembangunan yang terlalu berorientasi pada aspek ekonomi jangka pendek semata. (Dianita, 2014)
Bangunan hijau merupakan satu pendekatan pembangunan yang didasarkan atas prinsip-prinsip
ekologis, Pendekatan ini dipilih berdasarkan kenyataan bahwa selama ini 50% sumber daya alam dipakai
untuk bangunan dan 40% energi dikonsumsi bangunan. Sementara itu, lebih dari 50% produksi limbah
berasal dari sektor bangunan. Kenyataan ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan lingkungan yang
berakibat pada menurunnya kualitas lingkungan dan kehidupan manusia. (Sudarwani, 2012)
Arsitektur hijau menerapkan konsep bangunan yang berkelanjutan dan memberikan efek jangka
panjang yang baik bagi lingkungan. Selain itu, biaya energi yang dikeluarkan oleh bangunan dengan
konseop ini akan lebih murah, sehingga tingginya biaya pada pelaksanaan konstruksi dapat digantikan
dengan berkurangnya biaya energi atau biaya yang dikeluarkan pasa saat masa pakai bangunan.
2.2. Unsur-Unsur Pendekatan Arsitektur Hijau yang Menjadi Dasar Teori Robert dan
Brenda Vale
Menurut Brenda dan Robert Vale, green architecture atau arsitektur hijau adalah suatu pola pikir
dalam arsitektur yang memperhatikan dan memanfaatkan dari ke-empat dasar unsur natural yang ada di
dalam lingkungannya dan dapat membuat hubungan saling menguntungkan dengan alam, yaitu :
Udara (suhu, angin, iklim, dll.), Air (air, kelembaban, dll.), Api (matahari, unsur panas, dll.), Bumi (faktor
unsur tanah, habitat, flora dan fauna, dll.).
2.3. Prinsip-Prinsip Pendekatan Arsitektur Hijau Menurut Robert dan Brenda Vale
Pada arsitektur hijau, pemanfaatan eneergi secara baik dan benar menjadi prinsip
utama.Bangunan yang baik harus memperhatikan pemakaian energi sebelum dan sesudah bangunan
dibangun.Indikator dari desain bangunan yang hemat energi adalah sebagai berikut: (1) Bangunan dibuat
memanjang dan tipis untuk memaksimalkan pencahayaan dan menghemat energi listrik; (2)
Memanfaatkan energi matahari yang terpancar dalam bentuk energi thermal sebagai sumber listrik
dengan menggunakan alat Photovaltai yang diletakkan di atas atap, dan atap dibuat miring dari atas ke
bawah menuju dinding timur-barat atau sejalur dengan arah peredaran matahari untuk mendapatkan
sinar matahari yang maksimal; (3) Memasang lampu listrk hanya pada bagian yang intensitasnya rendah;
(4) Menggunakan sunscreen pada jendela yang otomatis dapat mengatur intensitas cahaya dan energi
matahari yang berlebihan masuk ke ruangan, serta penerapan skylight pada bangunan; (5) Mengecat
interior bangunan dengan warna cerah tapi tidak menyilaukan yang bertujuan untuk meningkatkan
intensitas cahaya; (6) Bangunan tidak menggunakan pemanas buatan karena panas dapat dihasilkan oleh
cahaya matahari yang masuk melalui lubang ventilasi; (7) Meminimalkan penggunaan energi untuk alat
pendingin (AC) dan lift.
2.3.2. Working with Climate (Memanfaatkan kondisi dan sumber energi alami)
Pada pendekatan arsitektur hijau, bangunan beradaptasi dengan lingkungannya. Hal ini dilakukan
dengan memanfaatkan kondisi alam, iklim, dan lingkungan sekitar ke dalam bentuk serta pengoperasian
bangunan. Beberapa indikator working with climate adalah sebagai berikut : (1) Orientasi bangunan
terhadap sinar matahari; (2) Menggunakan sistem air pump dan cross ventilation untuk mendistribusikan
udara yang bersih dan sejuk ke dalam ruangan; (3) Menggunakan tumbuhan dan air sebagai pengatur
2
iklim; (4) Menggunakan jendela dan atap yang sebagian bisa dibuka dan ditutup untuk mendapatkan
cahaya dan penghawaan yang sesuai kebutuhan.
2.3.3. Respect for Site (Menanggapi keadaan tapak pada bangunan)
Perencanaan mengacu pada interaksi antar bangunan dan tapaknya. Hal ini bertujuan
keberadaan bangunan, baik dari segi konstruksi, bentuk, dan pengoperasiannya tidak merusak lingkungan
sekitar. Indikator dari respect for site adalah sebagai berikut: (1) Mempertahankan kondisi tapak dan
membuat desain yang mengikuti bentuk tapak yang ada; (2) Luas permukaan dasar bangunan yang kecil,
yaitu memperimbangkan mendesain bangunan secara vertikal; (3) Menggunakan material lokal dan
material yang tidak merusak lingkungan.
Antara pemakai dan arsitektur hijau mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Kebutuhan akan
aristektur hijau harus memperhatikan kondisi pemakai yang didirikan di dalam perencanaan dan
pengoperasiannya.
Suatu bangunan seharusnya dirancang mengoptimalkan material yang ada dnegan meminimalkan
penggunaaan material baru, di mana pada akhir umur bangunan dapat digunakan kembali untuk
membentuk tatanan arsitektur lainnya.
3. Metode Penelitian
Penelitian ini digolongkan dalam penelitian yang menggunakan metode penelitian deskriptif
kualitatif. Metode deskriptif kualitatif merupakan metode penelitian yang memanfaatkan data kualitatif dan
dijabarkan dalam bentuk deskriptif. Jenis penelitian ini menampilkan hasil data apa adanya tanpa proses
manipilasi atau perlakuan lain.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkapkan kejadian atau fakta, keadaan, fenomena,
variable, dan keaan yang terjadi saat penelitian berlangsung. Penelitian ini menafsirkan dan menguraikan
data yang bersangkutan dengan situasi yang sedang terjadi, sikap serta pandangan yang terjadi di dalam
suatu masyarakat, pertentangan antara dua keadaan atau lebih, hubungan antar variabel yang timbul,
perbedaan antar fakta yang ada serta pengaruhnya terhadap suatu kondisi, dan sebagainya.
4. Studi Kasus
Gedung kantor PT. Pasai Jaya berlokasi di Jl. Pandan 14, Kecamatan Medan Belawan, Medan. Gedung ini
didesain dengan menggunakan pendekatan arsitektur hijau. Hal ini dapat dilihat dari penerapan bukaan-
bukaan yang cukup lebar, sehingga tak perlu memakai lampu dan AC saat siang hari. Selain itu, gedung
ini tidak menempel pada bangunan di sebelahnya. Tapak bangunan juga tidak bersatu dengan gedung
lain. Dengan begitu, sirkulasi udara di luar gedung lebih baik dan penghematan listrik yang didapat sekitar
20%-30% tiap bulan.
Gedung Kementrian Pekerjaan Umum ini berlokasi di Jl. Pattimura 20, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Tinggi bangunan mencapai 80 meter yang terdiri dari 20 lantai. Luas area bangunan ini adalah 24.000 m 2.
Gedung pemerintah ini mengusung konsep ramah lingkungan pada penerapannya. Kementrian Pekerjaan
Umum berhasil meraih predikat tersebut dengan sertifikat GREENSHIP berlevel platinum pada tahun 2013
silam. Salah satu penerapannya adalah mampu melakukan penghematan energi hingga 61%, sehingga
hanya perlu membayar listrik 39%. Kemudian penghematan lainnya berupa penghematan air
menggunakan daur ulang air hujan, desain/rancangan gedung, hingga kemanajemen bangunan. Selain
penghargaan GREENSHIP, gedung ini juga didapuk sebagai pemenang pertama pada ajang ASEAN Best
3
Practises Energy Efficient Building Awards untuk kategori New and Existing Building pada 23 September
2014 di Laos.
Menara BCA ini berlokasi di Jl. Thamrin, Jakarta Pusat. Gedung ini memiliki tinggi 230 meter yang
terdiri dari 56 lantai. Menara BCA meraih sertifikat GREENSHIP paling prestisius bertajuk Greenship EB
Platinum oleh Green Building Council Indonesia (GBCI). Menara BCA ini dapat menghemat konsumsi
energi listrik sebesar 35% dari proyek sejenis. Penggunaan sistem pencahayaan buatan menggunakan
LED pada semua penerangannya juga dapat menghemat hingga 70% energi listrik.
Analisa yang dilakukan pada penelitian ini adalah menganalisa penerapan arsitektur hijau pada
ketiga studi kasus berdasarkan teori Brenda dan Robert Vale dengan menggunakan metode deskriptif
kualitatif, yaitu dengan menafsirkan dan menguraikan data yang bersangkutan dengan situasi yang
sedang terjadi. Penelitian ini dibatasi pada prinsip-prinsip arsitektur hijau dari teori Brenda dan Robert Vale
yang akan dipakai sebagai indikator penelitian, yaitu: Conserving energy, Working with climate, dan
Respect for site.
5.1. Analisa prinsip arsitektur hijau berdasarkan teori Brenda dan Robert Vale pada
Keterangan
Prinsip arsitektur
(Memenuhi
hijau berdasarkan
Indikator Analisa indikator /
teori Brenda dan
Tidak
Robert Vale
memenuhi )
Conserving Energy Bangunan dibuat
(Hemat Energi) memanjang dan
tipis.
4
Gambar 2. Fasad depan PT. Pasai Jaya.
Sumber : Analisa, 2020.
5
Berdasarkan lintasan matahari di atas,
maka fasad bangunan yang terkena
sinar matahari lebih banyak adalah
bagian depan dan belakang bangunan,
di mana sisi tersebut merupakan sisi
terpendek bangunan jika dibandingkan
dengan panjang sisi bagian samping.
(Bagian depan dan belakang bangunan
= 19 meter, bagian samping = 34
meter)
Pohon ditanam di area depan site
sebagai penghijauan dan buffer sinar
Menggunakan matahari berlebih pada pagi hari. Selain
tumbuhan dan air itu, terdapat kolam pada rooftop untuk
sebagai pengatur mengurangi panas matahari dari atap
iklim. bangunan saat siang hari, ketika
matahari berada tepat di atas
bangunan.
5.2. Analisa prinsip arsitektur hijau berdasarkan teori Brenda dan Robert Vale pada
Keterangan
Prinsip arsitektur
(Memenuhi
hijau berdasarkan
Indikator Analisa indikator /
teori Brenda dan
Tidak
Robert Vale
memenuhi )
Conserving Energy Bangunan dibuat
(Hemat Energi) memanjang dan
tipis.
6
Gambar 12. Gedung PUPR.
Sumber : Analisa, 2020.
Menggunakan
sunscreen pada
jendela. Gambar 13. Penggunaan sunscreen pada gedung
PUPR.
Sumber : google.com.
5.3. Analisa prinsip arsitektur hijau berdasarkan teori Brenda dan Robert Vale pada
Menara BCA
7
Keterangan
Prinsip arsitektur
(Memenuhi
hijau berdasarkan
Indikator Analisa indikator /
teori Brenda dan
Tidak
Robert Vale
memenuhi )
Bangunan masih dapat dikategorikan
sebagai bangunan tipis berdasarkan
bentuk tower.
Bangunan dibuat
memanjang dan
tipis.
Menggunakan
warna-warna
natural yang Gambar 15. Lobby lift Menara BCA.
cerah Sumber : google.com.
Penggunaan
glassblock
untuhan
sentuhan dingin
pada cahaya
yang masuk
8
Orientasi
bangunan
terhadap sinar Gambar 17. Orientasi matahari terhadap Menara
matahari. BCA.
Sumber : Analisa, 2020.
Menggunakan
tumbuhan dan
air sebagai
pengatur iklim
Berdasarkan hasil analisa, penulis menemukan beberapa kesimpulan yang didapatkan dari
penelitian mengenai kajian aplikasi prinsip arsitektur hijau pada bangunan kantor menurut Brenda dan
Robert Vale.
a. Ketiga bangunan kantor cukup memenuhi indikator arsitektur hijau menurut teori Brenda dan
Robert Vale, khususnya Gedung Kementrian Pekerjaan Umum.
b. Ketiga bangunan kantor menggunakan pelindung sinar matahari berlebih berupa sunscreen dan
glassblock pada fasad.
c. Ketiga bangunan kantor memanfaatkan cahaya matahari dengan baik, misalnya dengan bukaan-
bukaan berupa jendela dan juga penggunaan warna cerah pada interior ruangan, hingga
memanfaatkan cahaya matahari untuk panel surya.
d. Ketiga bangunan kantor mempertahankan kondisi tapak, sehingga desain bentuk bangunan
cenderung mengikuti bentukan tapak.
9
6. Daftar Pustaka
Andini R., Utomo, C. 2014. Analisa Pengaruh Penerapan Konsep Green Building Terhadap Keputusan
Investasi Pada National Hospital Surabaya. Jurnal Teknik POMITS. 3(2):53-56.
Anisa (2014). Aplikasi Green Architecture Pada Rumah Tradisional. Jurnal Teknologi Vol. 6 Nomor 2 Juli
2014.
Arafat S., Syamsiyah, N.R. 2013. Performasi Greenship Building Pada Rumah Turi di Surakarta :
Penekanan Pada Water Concervation dan Material Resource and Cycle . Jurnal Sinektika.
13(1):11-18.
Ary D.P, Anisa F.T. 2016. Konsep Green Building Pada Bangunan Kantor (Studi Kasus: Spazio Office,
Surabaya).
Dianita, R. 2014. Analisa Pemilihan Material Bangunan Dalam Mewujudkan Green Building (Studi Kasus
Gedung Kantor Perwakilan Bank Indonesia Solo). Jurnal Pendidikan Teknik Bangunan. 4(4):1-10.
[GBCI] Green Building Council Indonesia. 2013. Greenship untuk Bangunan Baru Versi 1.2. Jakarta (ID):
Green Building Council Indonesia.
[GBCI] Green Building Council Indonesia. 2016. Greenship untuk Gedung Terbangun Versi 1.1. Jakarta
(ID): Green Building Council Indonesia.
Ramadhan, T., dkk. 2013. Pengukuran Indeks Arsitektur Hijau (Green Architecture) Pada Aspek Sumber
dan Siklus Material. Diakses Juni 2020.
Sudarwani, M.M. 2012. Penerapan Green Architecture Dan Green Building Sebagai Upaya Pencapaian
Sustainable Architecture. Jurnal Universitas Pandanaran . 10(24):1-19.
10