Anda di halaman 1dari 12

Kliping Agama

Tahun Pelajaran 2017-2018

Tema :
Toleransi dan Tantangan Bagi Toleransi di Indonesia
Nama :
Henrie Phinardi Kosasih
Kelas/ No. Absen :
IX/07
Toleransi

Sebenarnya, bukan hanya Candi Borobudur yang menyontohkan adanya


kepedulian seperti itu. Banyak peninggalan masa lampau menjadi bukti
betapa kerukunan beragama sudah terjalin sejak lama.

Hingga saat ini adanya toleransi beragama yang paling tua ditemukan pada
situs Batujaya, Karawang (Jawa Barat). Pertanggalannya ditaksir dari masa
abad ke-5 Masehi. Sebagaimana laporan Tim Arkeologi UI, di situs ini
pernah ditemukan candi Buddha dan candi Hindu yang berdekatan
letaknya.

Situs Batujaya juga tergolong istimewa karena pernah memiliki tradisi


berciri megalitik sebagai agama asli waktu itu. Tradisi tersebut berkembang
sebelum zaman Hindu Buddha. Tiga agama hidup berdampingan secara
damai, tanpa ada rasa saling bermusuhan tentu menunjukkan betapa
toleransi beragama benar-benar dijunjung tinggi masyarakat kala itu.

Candi Jawi

Toleransi beragama juga terdapat pada Candi Jawi di Jawa Timur. Atap
candi yang berbentuk stupa atau genta, menandakan bangunan suci agama
Buddha. Sementara di halaman candi pernah ditemukan sejumlah arca
seperti Durga, Siwa, Ganesa, Mahakala, dan Nandiswara yang mewakili
agama Hindu.
Kitab kuno Nagarakretagama pernah menyebutkan suatu bangunan Jajawa
(identik dengan Candi Jawi) sebagai tempat pendharmaan Raja Singasari
Kertanegara (1268-1292) dalam perwujudannya sebagai Siwa-Buddha.
Siwa adalah salah satu dewa Trimurti dalam agama Hindu. Ditinjau dari
kacamata arkeologi, candi Jawi termasuk unik dan langka karena mewakili
dua agama sekaligus.

Menara Masjid Kudus

Bukan hanya toleransi Hindu-Buddha yang tercipta waktu itu. Toleransi


Islam-Hindu juga kerap terlihat, antara lain pada menara Masjid Kudus.
Bangunan itu terbuat dari bata tanpa lepa (semacam perekat). Teknik
konstruksi demikian sangat populer pada masa pra-Islam.

Beberapa pakar menyebutkan Menara Kudus mirip candi di Jawa Timur,


terlebih karena bangunan itu menghadap ke Barat. Kaki bangunannya yang
bertingkat-tingkat dipandang merupakan pengaruh dari masa Majapahit.
Ada juga pakar yang menafsirkan Menara Kudus mirip bangunan kulkul di
Bali. Banyak ornamen masjid yang diperkaya dengan seni hias Arab, Cina,
Vietnam, dan Eropa, semakin menunjukkan kemajemukan kala itu sangat
luar biasa.

Di hadapan para pengikutnya, Sunan Kudus pernah memerintahkan agar


sapi tidak disembelih dan dikonsumsi, lantaran banyak “saudara-saudara”
beragama Hindu yang menganggap seekor sapi sebagai hewan suci. Supaya
tidak menyakiti hati mereka, katanya, biarlah mereka yang Muslim tidak
mencicipi daging sapi. Toh jika urusannya cuma menu makanan, masih
banyak daging hewan lain yang bisa disate atau disop.

Di Jawa Timur, adanya toleransi beragama diperlihatkan oleh makam kuno


Tralaya di Trowulan. Sejumlah batu nisan pada kompleks makam Islam itu
bertuliskan huruf Jawa Kuno dan Arab pada tiap sisi, berupa tahun Saka
dan gambar sinar matahari yang biasa dijumpai pada hasil seni Majapahit.
Huruf Jawa Kuno dan tahun Saka merupakan pengaruh India yang sering
diidentikkan dengan agama Hindu dan Buddha.

Toleransi beragama yang kuat diperlihatkan pula oleh Kelenteng


Sampokong di Semarang. Pada saat-saat tertentu banyak masyarakat Islam,
Buddha, Konghucu, dan etnis Tionghoa datang ke tempat itu untuk
berbagai keperluan. Begitu pula kelenteng Tuban, yang dipenuhi oleh
peziarah Tionghoa dan Islam ketika bulan ramadhan tiba. Satu untuk
semua, begitulah kira-kira maknanya.

Pada zaman modern ini sebenarnya toleransi beragama masih diperlihatkan


oleh masyarakat Indonesia. Pembangunan gereja di Ambon, misalnya,
sering kali dibantu pengerjaan dan pembiayaannya oleh umat-umat agama
lain. Begitu pula pembangunan masjid.

Kemajemukan yang rukun juga masih dapat ditemui di Bali hingga saat ini.
Pembangunan masjid di tengah perkampungan umat Hindu, bukanlah hal
aneh. Letaknya pun bersebelahan dengan sebuah pura dan gereja.
Komunitas agama-agama itu selalu saling membantu karena beranggapan
mereka adalah bersaudara. Karena itu tak ada sedikit pun kekhawatiran bagi
umat Islam dan Kristiani yang tergolong minoritas untuk beribadah di Bali.
Malah setiap berlangsung perayaan Natal, sejumlah gereja dihias dengan
ornamen khas Bali, seperti pura dan gapura. Ornamen demikian
mengingatkan kita kepada kebudayaan Hindu.

Masjid Istiqlal

Barangkali tidak banyak orang tahu kalau arsitektur Masjid Istiqlal Jakarta,
salah satu masjid terbesar di Indonesia ini, dirancang oleh arsitek F. Silaban
yang beragama Kristen. Setidaknya ini juga memperlihatkan bukti toleransi
beragama.

Sayang, sekarang toleransi beragama sudah luntur. Meskipun pada


prinsipnya semua agama mengajarkan kebaikan, tetapi ada saja oknum-
oknum yang berbuat menyimpang. Akibatnya, sering terjadi penistaan
terhadap golongan minoritas. Untuk itulah kita harus benar-benar belajar
dari kearifan masa lampau.

(Sumber: hurahura.wordpress.com)

”Walaupun negara tetap menjadi pihak yang paling bertanggung jawab,


masyarakat kita masih diliputi pandangan abu-abu terhadap perlindungan
kebebasan beragama dan permisif terhadap penggunaan kekerasan,” kata
Ketua Departemen Politik dan Hubungan Internasional Centre for Strategic
and International Studies (CSIS) Philips J Vermonte menjelaskan hasil
survei CSIS di Jakarta, Selasa (5/6).
Indonesia mampu melalui tiga pemilu demokratis relatif damai sejak 1999
dan jadi indikator penting arah demokratisasi. Namun, ada beberapa
persoalan yang mengganggu usaha menjaga kemajemukan rumah
Indone- sia.

Beberapa di antaranya peristiwa kekerasan antara kelompok masyarakat


dan juga persoalan kebebasan menjalankan agama dan keyakinan.

Beberapa pandangan menyebutkan, negara gagal menghormati dan


melindungi komponen mendasar hak asasi yang menjadi basis demokrasi.
Perspektif lain, masyarakat juga gagal melindungi dan menegakkan
semangat pluralisme sebagai basis demokrasi yang sehat.

Sikap intoleran dalam masyarakat masih menonjol. Sebanyak 83,4 persen


responden tidak keberatan bertetangga dengan suku lain, 59,5 persen
responden tidak keberatan bertetangga dengan yang beragama lain. Namun,
68,2 persen responden menyatakan lebih baik tidak dibangun rumah ibadah
lain di lingkungan mereka.

Rektor Universitas Paramadina, Jakarta, Anies Baswedan menyatakan,


ketika pemerintahan Soeharto ada perasaan damai, itu adalah damai semu.
Stabilitas tegak karena tentara mengangkat senjata dan pengalaman warga
berinteraksi secara dewasa minim.

”Sekarang, ketika kita berinteraksi, kita tidak siap. Perilaku intoleran makin
menjalar karena didiamkan pemerintah,” kata Anies.
Advertisment

Menurut dia, kalau pemerintah diam, tinggal menunggu waktu intoleransi


akan meluas. Jika kita tidak membereskan rasa hormat kepada
keberagaman, Anies khawatir dengan ekspresi destruktif yang dipilih
warga. ”Harus ada kemauan pemerintah untuk turun tangan. Membangun
toleransi perlu kerja yang agak panjang,” ujarnya.

(sumber :
http://nasional.kompas.com/read/2012/06/06/03234293/toleran
si.jadi.tantangan)

Toleransi dan Jaminan Hak Kebebasan Beragama Masih


`Jadi Tantangan di Indonesia
Dikatakannya, sepanjang tahun 2016, sejumlah peristiwa intoleransi dan
pelanggaran masih terjadi. Beragam ujaran kebencian atau hate speech juga
semakin berkembang terutama di media sosial.
"Intoleransi dan pelanggaran dipengaruhi banyak faktor, mulai dari sosial,
ekonomi maupun politik. Banyak kajian misalnya yang menyebut jika ujaran
kebencian meningkat menjelang momen-momen politik seperti pilkada maupun
Pilpres," kata Alamsyah dalam diskusi 'Potret Toleransi di Indonesia Tahun
2017' di Balai Kartini, Jakarta, Kamis (5/1/2017).
"Bisa juga dipahami intoleransi berbasis agama terjadi karena dipicu faktor
kesenjangan pengetahuan dan ekonomi sekaligus, termasuk pengaruh konflik di
luar negeri," kata Alamsyah.
Dalam kasus pelanggaran hak beragama, seperti pelarangan atau perusakan
tempat ibadah termasuk juga aksi sweeping oleh ormas tertentu, kata Alamsyah,
dapat pula dipengaruhi sejumlah peraturan perundang-undangan yang
diskriminatif dan hingga kini belum dihapus.
Dikatakannya, pada saat yang sama, aparat pemerintah kadang bertindak
melampui kewenangannya atau berlaku diskriminatif, terutama menyangkut
perkara teologis warga negara.

"Modal mengatasi tantangan-tantangan ini cukup besar. Asal ada komitmen dan
usaha semua pihak sinergi semua pemangku kepentingan seperti organisasi
masyarakat sipil, pegiat perdamaian, tokoh agama, pemerintah menjadi salah
satu kunci mengatasi tantanggan toleransi dan KBB," tandasnya.

(sumber :
http://www.tribunnews.com/metropolitan/2017/01/05/toleransi-dan-
jaminan-hak-kebebasan-beragama-masih-jadi-tantangan-di-indonesia)
Toleransi Agama

Toleransi agama, di Indonesia 6 agama, 6 agama tersebut saling


melengkapi satu sama lain. Pada dasarnya semua agama itu benar, tetapi
ada orang yang ingin menjatuhkan agama lain karena berbeda pendapat
atau ajaran.

Pada intinya ajaran semua agama itu sama, Cuma cara menyebarkan
atau mengajarnya saja berbeda. Ada juga yang menjelek-jelekan agama lain
karena berbeda sebutan Tuhan-Nya masing-masing, padahal semua Tuhan
di agama di Indonesia itu sama cuma berbeda sebutan saja.

Yang membuat Negara Indonesia terpecah belah adalah kelompok-


kelompok yang tidak dapat bertoleransi terhadap agama lain. Kita ini
Indonesia, kita harus saling membantu dan membangun jangan saling
menjatuhkan satu sama lain untuk menjadi yang terhebat.
Toleransi Budaya

Di indonesia punya beragam


budaya, budaya dari sabang-
merauke.

Tapi saya masih bingung


dengan orang Indonesia kenapa
lebih suka budaya luar daripada
budaya sendiri. Budaya
Indonesiaitu beragam dan harus dilestarikan, tetapi hanya sedikit orang
Indonesia mau melestarikannya. Orang Indonesia akan berbicara apabila
budayanya di klaim oleh negara lain tetapi orang Indonesia tidak mau
melestarika.

Kita sebagai orang


Indonesia harus
mempunya toleransi
budaya, kita tidak boleh
saling menjatuhkan
pasal budaya, kita harus
menjaga dan melestarikan budaya kit aagar tidak di klaim negara lain.

Setiap daerah pasti


memiliki budaya masing-masing
kita harus menjaganya, sebagai orang Indonesia jangan saling menjelek-
jelekan budaya daerah.

Toleransi Ras dan Suku

Di Indonesia banyak sekali suku bukan satuan, puluhan bukan


Indonesia memiliki ratusan suku, Disetiap daerah di Indonesia pasti
memiliki banyak macam
suku.

Dari gambar
disamping kita bisa
belajar bahwa untuk
berteman tidak perlu
membeda-bedakan ras da
suku. Bila ingin berteman
bebas tetapi ambil sisi positif yang sisi negatif dibuang. Kita harus
bertolensi, kita
tidak boleh
mengejek teman
yang berbeda
warna kulit atau
suku.

Anda mungkin juga menyukai