Anda di halaman 1dari 6

Pengertian dan Prinsip Audit Lingkungan

PENDAHULUAN
Istilah “audit” di dalam terminologi audit lingkungan mengadopsi istilah yang digunakan
di bidang ekonomi, yaitu audit keuangan/finansial. Sebagaimana halnya dalam audit keuangan,
secara sederhana audit lingkungan merupakan suatu proses verifikasi atas berbagai kegiatan
pengelolaan lingkungan (termasuk di dalamnya pelaporan pengelolaan lingkungan) yang
dilakukan oleh suatu organisasi tertentu. Organisasi yang dimaksud di sini biasanya secara
mudah dimaknai sebagai suatu kegiatan usaha yang memiliki skala cukup besar dan dapat
menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup.
Audit lingkungan di dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) didefinisikan sebagai suatu proses evaluasi untuk
menilai ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap persyaratan hukum dan
kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Pada intinya, audit merupakan suatu proses
evaluasi terhadap suatu kegiatan pembangunan seperti pada bidang industri, pertambangan,
kehutanan, pertanian, perumahan dan lain sebagainya.
Audit lingkungan pada awalnya dirancang sebagai suatu perangkat pengelolaan
lingkungan yang mengutamakan prinsip sukarela. Namun dalam perkembangannya, audit
lingkungan terus berkembang menjadi perangkat pengelolaan yang lebih kuat dan di beberapa
negara bahkan digunakan menjadi perangkat wajib ketika diperintahkan oleh lembaga
pengawas lingkungan atau oleh organisasi lainnya yang menghendakinya.
Modul ini merupakan pengantar awal bagi mahasiswa untuk dapat memahami
perkembangan audit lingkungan menjadi suatu perangkat pengelolaan lingkungan hidup yang
cukup banyak digunakan. Selanjutnya pembahasan diarahkan pada pengertian dan prinsip-
prinsip pelaksanaan audit lingkungan yang kemudian dilanjutkan dengan uraian tentang
kebijakan yang terkait pelaksanaan audit lingkungan di Indonesia.
Modul ini merupakan dasar untuk memahami sistem dan kerangka kerja pelaksanaan audit
lingkungan di Indonesia yang harus dipahami oleh seluruh stakeholder atau pemangku
kepentingan pembangunan. Hal ini termasuk para calon pelaku pembangunan atau calon
pemangku kepentingan yang masih mengikuti program pendidikan. Dalam penggunaannya,
modul ini tidak terlepas dari literatur lainnya yang di antaranya terkait dengan Kebijakan
Pengelolaan Lingkungan, AMDAL, ataupun Pencemaran Lingkungan dan materi lainnya seperti
yang terdapat di keseluruhan mata kuliah Pengelolaan Sumber daya Alam dan Lingkungan.
PERKEMBANGAN AUDIT LINGKUNGAN
Pada awal perkembangannya audit lingkungan merupakan salah satu alat komando dan
pengawasan dalam bentuk audit ketaatan. Audit ketaatan merupakan pemeriksaan sistemik
tingkat ketaatan kegiatan/usaha terhadap peraturan yang ada. Dalam perkembangan selanjutnya
audit lingkungan merupakan alat pengelolaan lingkungan yang dilakukan dengan pendekatan
berdasarkan insentif dan dilakukan secara sukarela.
Audit lingkungan sebenarnya mulai dikenal secara terbatas pada akhir tahun 1970an dan
awal 1980-an di Amerika, ketika masyarakat mulai meningkatnya kepedulian terhadap
lingkungan hidup setelah konferensi tingkat tinggi dunia di Stockholm pada tahun 1972 yang
membahas tentang degradasi lingkungan, dan menghasilkan The United Nation of Envoronment
Programe (UNCEP). Hasil-hasil pertemuan UNCHE dikenal sebagai Stockholm Declaration,
yang merumuskan 2 norma yaitu (1) prinsip 21 yang berkaitan dengan kerusakan lingkungan
lintas batas internasional dan (2) prinsip 24 yang berkaitan dengan kewajiban bekerja sama.
Hasil monumental dari pertemuan ini adalah dibentuknya United Nations Environment
Programme (UNEP) pada tahun 1975 yang dimaksudkan untuk mendorong kerja sama
lingkungan internasional. Sedangkan di Amerika, dengan adanya US National Environmental
Policy Act (NEPA) atau Undang-Undang Perlindungan Lingkungan pada tahun 1969 dan mulai
diterapkan pada tahun 1970, pengembangan perangkat pengelolaan lingkungan hidup mulai
gencar dilakukan.
Secara internasional, audit lingkungan dipandang telah mencapai masa kematangan pada
pertengahan tahun 1990-an. Sementara itu di Indonesia, audit lingkungan memiliki sejarah yang
serupa ketika Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL) meminta beberapa
perusahaan besar di Indonesia untuk melakukan audit lingkungan pada era yang sama (1990-
an). Inisiatif pelaksanaan audit di Indonesia tersebut selanjutnya berkembang menjadi suatu
kebutuhan untuk memiliki dasar pelaksanaan audit lingkungan. Maka lahirlah suatu Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup pada tahun 1994 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Audit
Lingkungan yang tertuang dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.42 tahun 1994.
KepMen LH tersebut telah mengundang diskusi yang sangat menarik di Indonesia ketika
beberapa ahli lingkungan berpendapat bahwa nuansa pedoman tersebut seharusnya bersifat
sukarela (voluntary), tetapi malah wajib (mandatory) (Soemarwoto, 1995). Namun demikian,
pedoman tersebut memiliki unsur sukarela (voluntary), dan ketika menyangkut kebenaran
informasi publik maka bersifat wajib (Purnama, 1995).
Dalam perkembangannya, Indonesia telah mengadopsi perangkat audit lingkungan secara
sukarela pada tahun 1994 yang kemudian mengembangkan pula suatu pedoman pelaksanaan
audit lingkungan yang bersifat wajib (mandatory) pada tahun 2001 melalui Keputusan Menteri
LH No.30 tahun 2001 sebagai penjabaran dari Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan
Hidup No.23 tahun 1997. Namun akhirnya setelah keluar UU No.32 tahun 2009 tentang PPLH,
kemudian dijabarkan menjadi Kepmen LH No.17 tahun 2010, dan selanjutnya direvisi lagi
menjadi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.03 tahun 2013, maka audit lingkungan dari
diwajibkan menjadi sukarela (voluntary).
Audit lingkungan telah berkembang cukup pesat. Penerapan perangkat audit lingkungan
telah berkembang mulai dari industri kimia hingga berbagai tipe industri, bahkan berbagai
kegiatan pemerintah telah menerapkan audit lingkungan, seperti kegiatan nuklir, (Cahill, 1996,
h 19). Demikian pula halnya audit lingkungan untuk kebutuhan jual beli properti. Kegiatan audit
lingkungan terutama dilakukan bagi kegiatan usaha yang menghasilkan limbah bahan berbahaya
dan beracun (limbah B3).
Di Indonesia, istilah audit lingkungan mulai diperkenalkan pada Oktober 1993 bersamaan
dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No.51 tahun 1993 tentang AMDAL (Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan). Pada waktu itu WALHI (Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia) mengusulkan perlunya kebijakan audit lingkungan sebagai tanggapan atas lemahnya
penegakan hukum AMDAL (khususnya RKL/RPL).
Diyakini bahwa pelaksanaan audit lingkungan sudah diadopsi cukup luas oleh berbagai
perusahaan dari berbagai sektor usaha, namun karena nuansa sukarela yang lebih dominan, tidak
banyak publikasi dari kegiatan-kegiatan atau pelaporan audit lingkungan yang disampaikan
kepada publik secara luas. Hal ini sangat berbeda dengan penerapan AMDAL yang bersifat
wajib dan terbuka untuk umum, sehingga lebih banyak diketahui masyarakat.
Selanjutnya pada tahun 2009 telah dikeluarkan Undang-undang No.32 tentang Perlindungan
dan pengelolaan Lingkungan Hidup, yang dapat dijadikan sebagai landasan Pelaksanaan audit
lingkungan di Indonesia yang tertuang dalam Pasal 48 s/d Pasal 51 yang mengatur tentang audit
lingkungan hidup. Selain itu, telah diterbitkan pula Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.17
Tahun 2010, dan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.03 Tahun 2013 tentang audit
lingkungan yang bersifat sukarela, sedangkan untuk Audit Lingkungan yang bersifat wajib
(diwajibkan) berdasarkan Kepmen LH No.30 Tahun 2001 yaitu tentang pedoman pelaksanaan
audit lingkungan yang diwajibkan. Audit lingkungan dapat dilaksanakan secara sukarela
(voluntary) oleh penanggung jawab usaha/kegiatan. Namun, Pemerintah dapat mewajibkan
dilaksanakannya suatu audit lingkungan kepada suatu usaha/kegiatan, bilamana:
1. Tidak memiliki dokumen lingkungan.
2. Terindikasi melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dan persyaratan peraturan
perundang-undangan lingkungan hidup, dan
3. Memiliki risiko tinggi terhadap lingkungan hidup.

Untuk jenis audit yang terakhir ini, penanggung jawab usaha/kegiatan harus melaksanakan
audit lingkungan secara berkala/periodik, dengan kekerapan audit tergantung dari derajat risiko
lingkungan usaha/kegiatan tersebut.
Audit lingkungan masih terus berkembang. Salah satu standar lingkungan yang
terus mengembangkan audit lingkungan adalah Standar Internasional – ISO yang mensyaratkan
Sistem Manajemen Lingkungan yang akan dibahas pada modul berikutnya. Demikian pula
perbedaan mengenai audit yang bersifat sukarela dan wajib akan dibahas lebih mendalam pada
modul-modul berikutnya.

KEBIJAKAN AUDIT LINGKUNGAN


Sebagaimana dilaksanakan secara praktis di dunia internasional, audit lingkungan
cenderung diterapkan secara sukarela. Demikian pula di Indonesia, Pemerintah melalui
Kementerian Lingkungan Hidup hanya bersikap mendorong pelaksanaan audit lingkungan,
terutama ketika suatu perusahaan ingin melihat kinerja pengelolaan lingkungan. Hal ini sangat
jelas disebutkan di dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 1 angka 1 dan
Pasal 48 mengandung arti bahwa pelaksanaan audit dapat dilaksanakan secara internal dan
sukarela, karena itulah Pemerintah hanyabersifat mendorong pelaksanaan audit lingkungan,
dalam rangka meningkatkan kinerja lingkungan hidup.
Audit sering kali dipandang sebagai suatu alat untuk mendiagnosis kesehatan pengelolaan
lingkungan pada suatu perusahaan karena sifatnya yang berupa evaluasi. Dalam hal ini, perlu
ditekankan sekali lagi bahwa audit lingkungan bukanlah alat perencanaan lingkungan awal
sebagaimana halnya perangkat AMDAL. Namun demikian hasil suatu audit lingkungan dapat
dijadikan perencanaan untuk perbaikan pada tahap berikutnya dari suatu siklus hidup suatu
kegiatan usaha.
Jadi, jelas bahwa audit lingkungan diterapkan secara sukarela. Namun demikian, audit
lingkungan sukarela tidak dapat membatasi pihak otoritas pemerintah untuk melakukan hal-hal
sebagai berikut.
1. Pemeriksaan secara rutin yang merupakan program instansi pengelola lingkungan;
a. Penyidikan terhadap suatu kegiatan yang dicurigai melakukan kelalaian, penghindaran
kewajiban dan pelanggaran terhadap pentaatan hukum dan peraturan.
b. Hak meminta suatu informasi khusus sebagai dasar penentuan perangkat kinerja
lingkungan suatu usaha dan/atau kegiatan;
c. Tanggung jawab dunia usaha dan industri untuk menyediakan data hasil pengelolaan
dan pemantauan lingkungan kepada pemerintah sesuai dengan ketentuan Undang-
Undang No.32 Tahun 2009 dan peraturan-peraturan lingkungan yang lain.
2. Di samping kebijakan pemerintah dalam mendorong pelaksanaan audit sukarela, terdapat
pula kebijakan yang bersifat paksaan pentaatan. Hal ini diatur di dalam Pasal 29 UU
No.32/2009 yang mengandung arti bahwa audit dapat dilaksanakan secara mandatory
(wajib untuk pentaatan) bagi kondisi tertentu, yaitu jika tidak mematuhi UU No.32/2009.

Disebutkan lebih lanjut bahwa pemerintah dalam mengumumkan suatu hasil audit (yang
bersifat wajib), harus melakukan kajian melalui verifikasi terhadap suatu hasil audit (Pasal 4).
Namun demikian, perlu dicatat di sini bahwa pelaksanaan audit lingkungan yang bersifat wajib
harus dilaksanakan secara hati-hati dan hanya untuk kasus-kasus tertentu yang mempunyai risiko
tinggi, sehingga memerlukan campur tangan pemerintah dalam pengendalian dampak
lingkungan dari suatu kegiatan usaha.
Untuk meringkas berbagai aspek kebijakan penerapan audit lingkungan, berikut adalah
beberapa hal yang menjadi landasan kebijakan penerapan audit lingkungan di Indonesia:
1. Perangkat audit lingkungan sangat potensial sebagai perangkat pengelolaan
lingkungan hidup.
2. Pelaksanaan audit lingkungan diupayakan untuk tidak menjadi suatu perangkat yang
mengikat tetapi didorong untuk dilaksanakan secara sukarela.
3. Pemerintah berkeinginan untuk dapat memperkenalkan suatu perangkat lain bagi
perusahaan untuk memeriksa dan meningkatkan kinerja pengelolaan lingkungan hidup
usahanya secara mandiri.
4. Karena hasil audit lingkungan digunakan secara internal maka tidak harus
dipublikasikan. Namun jika akan digunakan untuk promosi/publikasi, pemerintah
memiliki kepentingan untuk melindungi informasi masyarakat melalui proses verifikasi.
4. Audit wajib hanya diterapkan untuk kasus tertentu dan dilakukan secara terbatas.
TUGAS
1. Pada dasarnya audit lingkungan dapat bersifat sukarela atau wajib, tergantung pada
konteks pentaatan lingkungan. Sebagian besar pelaksanaan audit bersifat? Jelaskan!
2. Audit lingkungan merupakan alat evaluasi, karenanya lebih banyak diterapkan pada
tahap apa? Jelaskan!
3. Audit lingkungan seringkali dipandang sebagai suatu alat untuk mendiagnosis
kesehatan pengelolaan lingkungan suatu perusahaan karena sifatnya yang berupa?
Jelaskan

Anda mungkin juga menyukai