Anda di halaman 1dari 64

SELF-DISCLOSURE (KETERBUKAAN DIRI/PENGUNGKAPAN DIRI),

SPITEFULNESS/HASAD (SIFAT DENGKI) DALAM/TERHADAP KONTEKS


KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS (SUBJECTIVE WELL-BEING) GENERASI
LANGGAS PROFESIONAL X & Y DI WILAYAH JABODETABEK

Rough Draft Proposal Disertasi


(ISL-7201 SPs. 2.01, MK. Seminar Proposal Disertasi Kelas C
Rabu 18 November 2020, jam 10.00-12.00 WIB)
(Diajukan Kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Bidang Studi Pengkajian Islam)

Oleh:

Liza Anggraeni Amir


NIM: 31191200100096

Dosen Pembimbing:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A. (GBPMK)
2. Prof. Asep Saepudin Jahar, M.A, Ph.D.
3. Prof. Iik Arifin Mansurnoor, M.A, Ph.D.
4. Prof. Dr. Muhammad Adlin Sila, M.A.
5. Prof. Drs. Amirul Hadi, M.A, Ph.D.
6. Arif Zamhari, M.Ag., Ph.D.
7. Dr. Fuad Jabali, M.A.

Peminatan/Kekhususan Psikologi Islam


Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2020

1
2
DAFTAR ISI

A. Judul Proposal Penelitian ………………………………..... 4


B. Latar Belakang Masalah Penelitian …………………..…. 4
C. Permasalahan Penelitian ………………………………….. 15
D. Tujuan Penelitian……………............................................. 28
E. Manfaat Penelitian ………………………………………… 28
F. Kajian Penelitian Terdahulu/Tinjauan Pustaka…………. 28
G. Metode Penelitian ………………………………………….. 49
H. Daftar Pustaka ……………………………………………... 59

3
PENYUSUNAN PROPOSAL DISERTASI

A. Judul Proposal Penelitian

1. Judul Proposal Penelitian

“Self-Disclosure (Keterbukaan Diri/Pengungkapan Diri) dan Spitefulness/Hasad (Rasa


Dengki) Dalam Konteks Kesejahteraan Psikologis (Subjective Well-Being) Generasi Y di
Kawasan Wilayah Jakarta Selatan."

B. Latar Belakang Masalah Penelitian

2. Deskripsi Ringkas/Singkat Penelitian

Menurut riset terdahulu dari Pearson dkk. (2011:134), komunikasi antar pribadi atau komunikasi
interpersonal didefinisikan sebagai proses menggunakan pesan untuk menyamakan makna
minimal antara dua orang dalam sebuah situasi yang memungkinkan terjadinya peluang bagi
keduanya untuk berbicara dan mendengarkan. Komunikasi antar pribadi atau komunikasi
interpersonal juga didefinisikan sebagai komunikasi yang terjadi dalam hubungan interpersonal.
Hubungan interpersonal yang dibentuk akan menjadi lebih dekat dan lebih dalam apabila kedua
belah pihak bersedia membuka diri dengan cara menyampaikan berbagai informasi terkait hal-
hal yang sifatnya pribadi, sensitif, atau rahasia. Proses ini dinamakan self-disclosure.

Self-disclosure, atau yang disebut juga dengan membuka diri dalam Psikologi Komunikasi,
adalah salah satu konsep penting dalam salah satu teori komunikasi interpersonal, yaitu teori
penetrasi sosial yang dicetuskan oleh Irwin Altman dan Dalmas A. Taylor.

Self-disclosure terjadi ketika kita bertujuan untuk menyediakan atau memberikan informasi
pribadi tentang diri kita kepada orang lain seperti pengalaman pribadi, gagasan, sikap, perasaan,
nilai-nilai, kenangan masa lalu, kisah hidup, harapan, impian, ambisi, dan tujuan hidup. Dalam
membagi informasi tersebut dengan orang lain, orang akan membuat pilihan dan keputusan
tentang informasi apa yang akan dibagi dengan orang lain dan dengan siapa informasi itu dibagi.
Altman dan Taylor percaya bahwa membuka diri kepada orang lain adalah hal utama untuk
membentuk hubungan yang akrab.

Istilah self-disclosure pertama kali dikenalkan oleh seorang ahli Psikologi Kesehatan bernama
Sidney Jourard melalui berbagai penelitian yang dilakukan dan ditulis dalam buku dan artikel
ilmiah, misalnya The Transparent Self (1964, 1971a) dan Self-Disclosure: An Experimental
Analysis of the Transparent Self (1971b). Jourard berpendapat bahwa keterbukaan - paling tidak
dalam satu hubungan yang penting merupakan prasyarat untuk kepribadian yang sehat. Menurut
Sidney Jourard, self-disclosure atau keterbukaan diri membuat seseorang menjadi transparan di

4
mata orang lain, dalam artian disclosure (keterbukaan) membantu orang lain untuk melihat
seseorang sebagai manusia yang berbeda (Green dkk, 410: tanpa tahun).

Sementara itu, Judy Pearson dan Paul Nelson dalam Human Communication (2011 : 140)
menyatakan bahwa self-disclosure adalah proses membuka diri yang disengaja dilakukan dengan
menyajikan informasi pribadi yang bersifat sensitif dan rahasia yang tidak mungkin diketahui
oleh orang lain. Dengan demikian, self-disclosure umumnya terdiri dari informasi yang sengaja
diberikan melalui komunikasi verbal maupun komunikasi non-verbal.

Peran dan Pengaruh Keterbukaan Diri (Self-Disclosure)

Dalam sistem komunikasi interpersonal, keterbukaan diri atau self-disclosure memiliki peran
yang sangat penting karena memungkinkan kita untuk mengembangkan pemahaman tentang diri
sendiri, mengembangkan sikap yang lebih positif tentang diri sendiri dan orang lain, dan
memungkinkan kita untuk mengembangkan hubungan yang lebih bermakna dengan orang lain.
Dengan kata lain, membuka informasi pribadi tidak hanya menyuguhkan atau memberikan dasar
bagi orang lain untuk memahami diri kita secara lebih baik namun juga menyampaikan tingkat
kepercayaan dan penerimaan orang lain. Begitu pula sebaliknya, kita juga belajar untuk
memahami orang lain dan memperdalam hubungan interpersonal antara kita dan teman, sahabat,
pasangan hidup, dan lain-lain. Hubungan interpersonal tidak dapat mencapai keakraban tanpa
adanya keterbukaan diri. Tanpa keterbukaan diri, kita hanya membentuk hubungan yang biasa-
biasa saja, tidak dalam, luas, tajam bahkan jauh dari akrab. Melalui self-disclosure kita dapat
mengkonfirmasi konsep diri orang lain dan mengkonfirmasi konsep diri sendiri dengan syarat
kedua belah pihak telah membuka diri satu sama lain.

Melihat begitu pentingnya peran keterbukaan diri dalam komunikasi antar pribadi atau
komunikasi interpersonal, maka dapat dikatakan bahwa keterbukaan diri memiliki pengaruh
dalam komunikasi antar pribadi atau komunikasi interpersonal. Adapun beberapa pengaruh
keterbukaan diri dalam komunikasi antar pribadi atau komunikasi interpersonal selengkapnya
adalah sebagai berikut: 1). Pertumbuhan pribadi, 2). Meningkatkan komunikasi, 3).
Meningkatkan pengetahuan, 4). Mengkonfirmasi konsep diri, 5). Menghindari sikap defensif, 6).
Lebih cermat dalam mempersepsi orang lain, 7). Meningkatkan rasa percaya diri, 8).
Meningkatkan atraksi/ ketertarikan interpersonal, 9). Menciptakan rasa percaya kepada orang
lain, 10). Membentuk norma interaksi.

Teori Penetrasi Sosial dipopulerkan oleh Irwin Altman & Dalmas Taylor yang secara umum
membahas tentang bagaimana proses komunikasi interpersonal. Di sini dijelaskan bagaimana
dalam proses berhubungan dengan orang lain, terjadi berbagai proses gradual, di mana terjadi
semacam proses adaptasi di antara keduanya, atau dalam bahasa Altman dan Taylor: penetrasi
sosial.

Altman dan Taylor (1973) membahas tentang bagaimana perkembangan kedekatan dalam suatu
hubungan. Menurut mereka, pada dasarnya kita akan mampu untuk berdekatan dengan seseorang

5
yang lain sejauh kita mampu melalui proses “gradual and orderly fashion from superficial to
intimate levels of exchange as a function of both immediate and forecast outcomes.”

Altman dan Taylor mengibaratkan manusia seperti bawang merah. Maksudnya adalah pada
hakikatnya manusia memiliki beberapa layer atau lapisan kepribadian. Jika kita mengupas kulit
terluar bawang, maka kita akan menemukan lapisan kulit yang lainnya. Begitu pula kepribadian
manusia.

Lapisan kulit terluar dari kepribadian manusia adalah apa-apa yang terbuka bagi publik, apa yang
biasa kita perlihatkan kepada orang lain secara umum, tidak ditutup-tutupi. Dan jika kita mampu
melihat lapisan yang sedikit lebih dalam lagi, maka di sana ada lapisan yang tidak terbuka bagi
semua orang, lapisan kepribadian yang lebih bersifat semi-privat. Lapisan ini biasanya hanya
terbuka bagi orang-orang tertentu saja, seperti orang terdekat misalnya.

Lapisan yang paling dalam adalah wilayah pribadi - di mana di dalamnya terdapat nilai-nilai,
konsep diri, konflik-konflik yang belum terselesaikan, emosi yang terpendam, dan semacamnya.
Lapisan ini tidak terlihat oleh dunia luar, oleh siapapun, bahkan dari kekasih, orang tua, atau
orang terdekat manapun. Akan tetapi lapisan ini adalah yang paling berdampak atau paling
berperan dalam kehidupan seseorang (Teori Psikoanalisa Tip of The Iceberg – Sigmund Freud).

Kedekatan kita terhadap orang lain, menurut Altman dan Taylor, dapat dilihat dari sejauh mana
penetrasi kita terhadap lapisan-lapisan kepribadian tadi. Dengan membiarkan orang lain
melakukan penetrasi terhadap lapisan kepribadian yang kita miliki artinya kita membiarkan
orang tersebut untuk semakin dekat dengan kita. Taraf kedekatan hubungan seseorang dapat
dilihat dari sini. Dalam perspektif teori Penetrasi Sosial, Altman dan Taylor menjelaskan
beberapa penjabaran sebagai berikut:

Pertama, Kita lebih sering dan lebih cepat akrab dalam hal pertukaran pada lapisan terluar dari
diri kita. Kita lebih mudah membicarakan atau ngobrol tentang hal-hal yang kurang penting
dalam diri kita kepada orang lain, daripada membicarakan tentang hal-hal yang lebih bersifat
pribadi dan personal. Semakin ke dalam kita berupaya melakukan penetrasi, maka lapisan
kepribadian yang kita hadapi juga akan semakin tebal dan semakin sulit untuk ditembus.
Semakin mencoba akrab ke dalam wilayah yang lebih pribadi, maka akan semakin sulit pula.

Kedua, keterbukaan-diri (self-disclosure) bersifat resiprokal (timbal-balik), terutama pada tahap


awal dalam suatu hubungan. Menurut teori ini, pada awal suatu hubungan kedua belah pihak
biasanya akan saling antusias untuk membuka diri, dan keterbukaan ini bersifat timbal balik.
Akan tetapi semakin dalam atau semakin masuk ke dalam wilayah yang pribadi, biasanya
keterbukaan tersebut semakin berjalan lambat, tidak secepat pada tahap awal hubungan mereka
dan juga semakin tidak bersifat timbal balik.

Ketiga, penetrasi akan cepat di awal akan tetapi akan semakin berkurang ketika semakin masuk
ke dalam lapisan yang makin dalam. Tidak ada istilah “langsung akrab”. Keakraban itu

6
semuanya membutuhkan suatu proses yang panjang. Dan biasanya banyak dalam hubungan
interpersonal yang mudah runtuh sebelum mencapai tahapan yang stabil. Pada dasarnya akan ada
banyak faktor yang menyebabkan kestabilan suatu hubungan tersebut mudah runtuh, mudah
goyah - akan tetapi jika ternyata mampu untuk melewati tahapan ini, biasanya hubungan tersebut
akan lebih stabil, lebih bermakna, dan lebih bertahan lama.

Keempat, depenetrasi adalah proses yang bertahap dengan semakin memudar. Maksudnya adalah
ketika suatu hubungan tidak berjalan lancar, maka keduanya akan berusaha semakin menjauh.
Akan tetapi proses ini tidak bersifat eksplosif atau meledak secara sekaligus, tapi lebih bersifat
sekuensial. Semuanya bertahap, dan semakin memudar.

Dalam Teori Penetrasi Sosial, kedalaman suatu hubungan adalah penting. Tapi, keluasan ternyata
juga sama pentingnya. Maksudnya adalah mungkin dalam beberapa hal tertentu yang bersifat
pribadi kita bisa sangat terbuka kepada seseorang yang dekat dengan kita. Akan tetapi bukan
berarti juga kita dapat membuka diri dalam hal pribadi yang lainnya. Mungkin kita bisa terbuka
dalam urusan asmara, namun kita tidak dapat terbuka dalam urusan pengalaman di masa lalu
atau yang lainnya.

Karena hanya ada satu area saja yang terbuka bagi orang lain (misalkan urusan
percintaan/asmara tadi), maka hal ini menggambarkan situasi di mana hubungan mungkin
bersifat mendalam akan tetapi tidak meluas (depth without breadth). Dan kebalikannya, luas tapi
tidak mendalam (breadth without depth) mungkin ibarat hubungan “Halo, hai…apa kabar?”
suatu hubungan yang biasa-biasa saja. Hubungan yang intim adalah di mana meliputi keduanya,
dalam dan juga luas.

Keputusan tentang seberapa dekat dalam suatu hubungan menurut teori penetrasi sosial
ditentukan oleh prinsip untung-rugi (reward-costs analysis). Setelah perkenalan dengan
seseorang pada prinsipnya kita menghitung faktor untung-rugi dalam hubungan kita dengan
orang tersebut, atau disebut dengan indeks kepuasan dalam hubungan (index of relational
satisfaction). Begitu juga yang orang lain tersebut terapkan ketika berhubungan dengan kita. Jika
hubungan tersebut sama-sama menguntungkan maka kemungkinan untuk berlanjut akan lebih
besar, dan proses penetrasi sosial akan terus berkelanjutan.

Altman dan Taylor merujuk kepada pemikiran John Thibaut dan Harold Kelley (1952) tentang
konsep pertukaran sosial (social exchange). Menurut mereka dalam konsep pertukaran sosial,
sejumlah hal yang penting antara lain adalah soal relational outcomes (hasil mengenai
hubungan), relational satisfaction (kepuasan tentang hubungan), dan relational stability
(stabilitas perihal hubungan).

Thibaut dan Kelley menyatakan bahwa kita cenderung memperkirakan keuntungan apa yang
akan kita dapatkan dalam suatu hubungan atau relasi dengan orang lain sebelum kita melakukan
interaksi, kita cenderung menghitung untung-rugi. Jika kita memperkirakan bahwa kita akan

7
banyak mendapatkan keuntungan jika kita berhubungan dengan seseorang tersebut maka kita
lebih mungkin untuk membina relasi lebih lanjut.

Dalam masa-masa awal hubungan kita dengan seseorang biasanya kita melihat penampilan fisik
atau tampilan luar dari orang tersebut, kesamaan latar belakang, dan banyaknya kesamaan atau
kesamaan terhadap hal-hal yang disukai atau disenangi. Hal ini biasanya juga dianggap sebagai
suatu “keuntungan/hak istimewa (privilege)”.

Akan tetapi dalam suatu hubungan yang sudah sangat akrab seringkali kita bahkan sudah tidak
mempermasalahkan mengenai beberapa perbedaan di antara kedua belah pihak, dan kita
cenderung menghargai masing-masing perbedaan tersebut. Karena kalau kita sudah melihat
bahwa ada banyak keuntungan yang kita dapatkan daripada kerugian dalam suatu hubungan,
maka kita biasanya ingin mengetahui lebih banyak tentang diri orang tersebut.

Menurut Teori Pertukaran Sosial, kita sebenarnya kesulitan dalam menentukan atau memprediksi
keuntungan apa yang akan kita dapatkan dalam suatu hubungan atau relasi dengan orang lain.
Karena secara psikologis apa yang dianggap sebagai “keuntungan” tadi berbeda-beda tiap-tiap
orang. Teori pertukaran sosial mengajukan dua standar umum tentang apa-apa yang dijadikan
perbandingan atau tolok ukur dalam mengevaluasi suatu hubungan interpersonal.

Yang pertama, terkait dengan relative satisfaction (kepuasan relatif), yakni seberapa jauh
hubungan interpersonal tersebut dapat membuat kita bahagia atau justru tidak bahagia. Thibaut
dan Kelley menyebut hal ini sebagai tingkat perbandingan (comparison level).

Misalkan saja kita ambil contoh ketika kita mengobrol dengan kekasih kita melalui telpon. Jika
kita biasanya berbincang melalui telpon dengan kekasih kita dalam hitungan waktu 1 jam, maka
angka 1 jam akan menjadi tolok ukur kepuasan kita dalam hubungan tersebut. Jika ternyata kita
mengobrol lebih lama dari 1 jam, katakanlah 1 jam 30 menit maka kita akan menilai hal tersebut
lebih dari memuaskan. Akan tetapi begitu pula sebaliknya, jika ternyata kita hanya berbincang
kurang dari 1 jam kita cenderung menganggap obrolan kita tersebut kurang memuaskan. Ini
memang hanya salah satu faktor saja dalam menilai kepuasan dalam hubungan via telpon
tersebut. Faktor lainnnya yang juga dijadikan pertimbangan adalah nada bicara, intonasi, topik
yang dibicarakan, kehangatan bicara, dan seterusnya.

Selain itu, comparison level kita dalam hal pertemanan, asmara, hubungan keluarga, banyak
dipengaruhi oleh bagaimana sejarah hubungan interpersonal kita di masa lalu. Kita menilai nilai
suatu hubungan berdasarkan perbandingan dengan pengalaman kita di masa yang lampau. Kita
cenderung menyimpan secara baik kenangan kita dalam hubungan interpersonal dengan pihak
lain untuk dijadikan semacam perbandingan dalam hubungan interpersonal kita di masa sekarang
dan di masa depan - sebuah juga tolok ukur yang sangat penting.

Yang kedua, oleh Thibaut dan Kelley disebut sebagai tingkat perbandingan alternatif (the
comparison level of alternatives). Pada fase ini kita memunculkan suatu pertanyaan dalam

8
hubungan interpersonal kita. Kita mulai mempertanyakan kemungkinan apa yang ada di luar
hubungan yang sedang dijalani tersebut. Pertanyaan tersebut antara lain “Apakah saya akan
mendapatkan keuntungan yang lebih banyak jika saya berhubungan dengan orang yang lain?”
atau pertanyaan “Kemungkinan terburuk apa yang akan saya dapatkan jika saya tetap
berhubungan dengan orang ini?”.

Semakin menarik kemungkinan yang lain di luar hubungan tersebut maka ketidakstabilan dalam
hubungan kita akan semakin besar. Dalam hal ini terkesan teori pertukaran sosial ini lebih mirip
dengan kalkulasi ekonomis tentang untung-rugi, memang. Banyak pihak yang menyebutkan teori
ini sebagai theory of economic behavior.

Tidak seperti comparison level, comparison level of alternatives tidak mengukur tentang
kepuasan. Konsep ini tidak menjelaskan mengapa banyak orang yang tetap bertahan dalam suatu
hubungan dengan orang yang sering menyiksa dirinya, sering menyakiti.

Maka menurut teori ini, kunci dari suatu hubungan yang akan tetap terbina adalah sejauh mana
suatu hubungan itu memberikan keuntungan, sejuah mana hubungan tersebut mampu
menghasilkan kepuasan, sejauh mana hubungan tersebut tetap stabil, dan tidak adanya
kemungkinan yang lain yang lebih menarik daripada hubungan yang sedang mereka jalani
tersebut.

Teori ini sendiri tidak terlepas dari sejumlah kritikan yang menyatakan bahwa seringkali cepat-
lambatnya suatu hubungan tidak bersifat sengaja atau mampu diprediksikan sebelumnya. Ada
kalanya ketika kita dengan terpaksa harus cepat mengakrabkan diri dengan seseorang tertentu,
dan kita tidak memiliki pilihan yang lain. Teori tersebut tidak mampu menjelaskan soal ini.

Teori ini juga tidak mengungkapkan persoalan jenis kelamin/gender dalam penjelasannya.
Padahal perbedaan jender akan sangat berpengaruh kepada persoalan keterbukaan-diri dalam
relasi interpersonal. Bahkan penelitian selanjutnya dari Altman dan Taylor mengungkapkan
bahwa pria cenderung kurang terbuka atau lebih tertutup daripada wanita (males are less open
than females).

Altman dan Taylor juga hampir secara konsisten menggunakan perspektif untung-rugi dalam
menilai atau mengukur suatu relasi interpersonal. Pertanyaannya yang pertama muncul adalah
sejauh mana kita akan konsisten dan konsekuen berkomitmen dalam menilai yang mana yang
merupakan keuntungan dan yang mana yang merupakan kerugian bagi diri kita dalam hubungan
tersebut? Sejauh mana kita akan terus bersifat egosentris dalam suatu hubungan dengan orang
lain?

Kita juga sering merasa bahwa dalam suatu hubungan interpersonal bahwa segalanya tidak
melulu tentang diri kita, tentang apa keuntungan yang kita dapatkan dalam hubungan tersebut.
Bahkan kita seringkali merasa senang bahwa teman kita mendapatkan suatu keuntungan atau

9
kabar yang menggembirakan. Walaupun hal itu bukan terjadi pada diri kita, ternyata kita juga
mampu untuk turut bersuka cita. Hal ini juga tidak mampu dijelaskan dalam teori tersebut.

Definisi Spitefulness (Kedengkian/Iri Hati)

Noun

noun: spite

1. a desire to hurt, annoy, or offend someone.

"he'd think I was saying it out of spite"

Synonyms: malice, maliciousness, ill will, ill feeling, spitefulness, bitterness, animosity,
hostility, antagonism, enmity, resentment, resentfulness, rancor, malevolence, venom, spleen,
gall, malignance, malignity, evil intentions, envy, hate, hatred, vengeance, vengefulness,
vindictiveness;

More: nastiness, mean-spiritedness, meanness; informal, bitchiness, cattiness;

Literary: maleficence

"he'd think I was saying it out of spite"

Antonyms: benevolence, goodwill, affection archaic, an instance of a desire to hurt; a grudge.

plural noun: spites

"it seemed as if the wind had a spite at her"

Verb

verb: spite; 3rd person present: spites; past tense: spited; past participle: spited; gerund or
present participle: spiting

1. deliberately hurt, annoy, or offend (someone).

"he put the house up for sale to spite his family"

Synonyms: upset, hurt, wound, distress, injure; More

annoy, irritate, vex, displease, provoke, gall, peeve, pique, offend, put out;

thwart, foil, frustrate;

Informal: aggravate, rile, miff;

Vulgar slang: piss off

10
"I used to worry that you would make trouble, just to spite Martin"

Antonyms: please

“…To spite is to intentionally annoy, hurt, or upset without self-benefit (avengeful, vindictive)
Spiteful words or actions are delivered in such a way that it is clear that the person is
delivering them just to annoy, hurt, or upset. When the intent to annoy, hurt, or upset is shown
subtly, behavior is considered catty.”

Kemungkinan besar iliad (karya kesusastraan besar) etimologinya memang berwujud raksasa
karena bertumbuh kembang di literatur Barat, namun kisahnya mengemukakan impuls manusia
yang dangkal, rendah - yaitu dengki/iri.

Achilles mendendam rasa marah yang menggerogoti terhadap Agamemnon (“Ia sudah
mengkhianati atau mencurangi aku… Dia bisa pergi ke neraka!”) lalu menampik hadiah
pemberian, penghormatan, penghargaan, bahkan sengaja mengabaikan kembalinya pasangannya
yang direbut bernama Briseis hanya untuk memperpanjang penderitaan raja Agamemnon
tersebut.

Sekarang, setelah lewat beberapa dekade berfokus pada perilaku negatif seperti agresivitas,
keserakahan, narsisisme dan egosentrisme, para ilmuwan mengalihkan perhatian kepada tema
yang lebih “halus”, lembut” atau kurang vulgar namun tetap menggoncang seperti rasa dengki –
yaitu keinginan atau hasrat untuk menyakiti, mempermalukan atau melecehkan orang lain
walaupun tidak ada keuntungan jelas yang diperoleh dan justru potensial merugikan.

Psikolog sekarang sedang mengekplorasi (rasa) dengki dalam peran lazimnya sebagai sifat
buruk, sebuah kemunduran putaran yang memalukan namun sering tersublimasikan sebagai rasa
paling benar atau paling hebat sendiri (self-righteousness), dimana ketika kita merasa menjadi
“pahit asam” karena geram ketika meninggalkan tempat parkir mobil yang sudah ditunggu oleh
masuknya pengendara lain dan kita dengan santai (padahal awalnya gusar) keluar karena merasa
perlu pihak lawan tahu “siapa yang berkuasa/menunjukkan siapa bosnya”, walaupun kita juga
akan menghabiskan waktu itu juga.

Para teoris evolusioner secara kontras sedang mempelajari yang mungkin dilihat sebagai sisi
yang lebih cerah dari rasa dengki dan peran yang dimainkan dari sifat ini seperti semangat
kerjasama atau prinsip keadilan dan kebijaksanaan.

Riset terbaru mengenai dengki melampaui pemahaman sebelumnya yang lama bahwa kita adalah
makhluk buas/ganas (savage), egois, rakus dan brutal dari hati yang paling dalam - dimana juga
ada saran-saran belakangan ini bahwa manusia adalah makhluk yang afiliatif dan mendambakan
untuk mencintai dan berinteraksi. Malah, ini meliputi nilai kebaikan dan keburukan yang
kemungkinan besar berkesinambungan.

11
“Kedengkian adalah sebuah subjek penelitian yang sangat menarik secara intrinsik – dengan
banyaknya pengalaman hidup sehari-hari, saya terkejut melihat bagaimana kecilnya perihal ini
disebut atau dibahas dalam literatur Ilmu Psikologi”, ujar David K. Marcus, psikolog dari
Universitas Negeri Washington di Amerika Serikat. Dalam waktu yang bersamaan, ia
mengatakan. “Saya sangat senang dan tergugah menemukan sesuatu yang belum banyak
tersentuh dan digali secara oleh orang banyak”.

Melaporkan pada bulan Februari dalam Asesmen Jurnal Psikologi, Dr. Marcus dan koleganya
mempresentasikan hasil awal dari skala “spitefulness/kedengkian”, suatu survey 17 butir item
yang dibuat untuk menelusuri perbedaan individual dalam kedengkian; dimana tes kepribadian
yang telah ada juga mengukur sifat seperti aksi sama-sama ‘menerima ‘/tindakan
kesepakatan/ketersetujuan (agreeableness) dan keterbukaan (extroversion).

Total sebanyak 946 mahasiswa dan 297 orang dewasa diminta kesediaannya untuk secara tegas
menyetujui kisaran ruang afeksi/sentimen seperti “Jika tetangga saya mengeluh tentang keadaan
halaman depan saya, saya terpancing untuk membuatnya lebih buruk hanya untuk membuat
mereka kesal” atau “Jika saya menentang suatu proses pemilihan umum seorang wakil rakyat,
saya akan bahagia apabila melihat mereka gagal – walaupun artinya kegagalan tersebut
melukai komunitas saya” atau “Saya tidak keberatan menghajar secara fisik jika seseorang
yang saya tidak suka akan menerima tiga kali tamparan”.

(Sikap ini, menurut pendapat David Sloan Wilson dari Universitas Negeri di Binghamton, New
York, mengingat bahwa dongeng bangsa Eropa Timur dimana sesosok makhluk jin menawarkan
seorang manusia untuk mengabulkan permintaannya asalkan tetangga yang ia benci
mendapatkan dua kali “harga/ganjaran pembalasan” nya – pria itu berkata: “Copot saja/Butakan
satu mataku.”).

Dari survei dan eksperimen yang diambil dapat disimpulkan bahwa pria lebih dengki daripada
wanita dan orang dewasa lebih dengki dibandingkan orang yang lebih tua usianya, dan
kedengkian juga berkohabitasi dengan sifat seperti kejam/tidak peka terhadap sesama
(callousness/ignorance/indifference), Machiavellianisme dan keberhargaan diri (self-esteem)
yang buruk – tapi tidak dipasangkan dengan agreeableness (ketersetujuan),
conscientiousness/mindfulness (kesadaran pikiran dan perasaan atau kompas moral atau
pemahaman untuk berbuat hal yng benar dan baik) atau kecenderungan merasa bersalah /
berdosa (guilt) daripada hanya budaya malu (shame) yang lebih dilazimkan/familiar di
Indonesia.

Dr. Marcus juga telah mengidentifikasikan kondisi dan situasi dapat memprovokasi ledakan /
letupan kedengkian / rasa iri dari orang-orang yang temperamental: politik partisan, misalnya
(“Apabila kandidat yang lainnya menang, saya harap ekonomi hancur/terpuruk.”). Atau pula
kasus perceraian yang parah seperti suami yang membuang tabungannya ke bak sampah,
menyekap anaknya ketika dapat giliran hari hak asuh pun dan kini seterusnya menolak berbagi

12
uangnya lagi dengan mantan istrinya – hanya untuk menyiksa/membuar menderita satu sama
lainnya.

Dari segi subjek, para teoris evolusioner sudah sekian lama terusik dengan asal dan tujuan sifat
dengki dan suatu laporan baru menyarankan bahwa perasaan dengki terkadang bisa memperbaiki
dan justru bahkan membenarkan kesalahan.

Mengadopsi pendekatan populer yang berkembang pesat untuk mengaplikasikan teori untuk
memeriksa sifat sosial / perilaku sosial manusia. Patrick Forber dari Universitas Tuft dan Rory
Smead dari Universitas Northeastern, Amerika Serikat mendesain model komputer dari pemain
virtual yang menantang satu sama lain dalam ronde tunggal dari permainan ultimatum yang
terkenal. Berdasarkan aturannya, Pemain A memutuskan bagaimana sebongkah uang akan dibagi
dengan Pemain B: setengah-setengah, katakanlah, atau 80% untuk A dan 20% untuk B. Jika B
sepakat berbagi, kedua pihak menerima porsi yang telah disetujui sebelumnya; namun apabila B
menolak tawarannya, tidak ada satu pemainpun menerima bagiannya.

Ketika penyusun membaca tumblr inspiratif / motivasional diatas, terbersit pemikiran sederhana :
“Jika satu sama lain bisa mencoba saling jujur, percaya, respek, sportif dan ikhlas menceritakan
kekurangan, kerugian atau masalahnya keterbukaan diri (self-disclosure) sebagai interpretasi
kata-kata “apa yang telah diambil darinya”, apakah rasa dengki lawan bicaranya akan berkurang
atau berangsur hilang, karena ada pengertian atau perhatian yang tercipta, atau justru akan
merasa ikhlas/legowo, tenang, senang dan menang – intinya bahagia; karena dirinya yang
bersangkutan kini berada dalam posisi yang dipersepsi lebih nyaman, alias baik-baik saja
dibandingkan pihak yang lain?”

Tentang Kesejahteraan/Kebahagiaan (Subjective Well-Being/Happiness)

https://www.goodnewsfromindonesia.id/2019/03/21/world-happiness-report-2019-dirilis-
seberapa-bahagia-orang-indonesia

Bangsa Indonesia dinilai “cukup bahagia” status kehidupannya menurut indeks yang dilansir
oleh Biro Pusat Statistik (BPS) di poin 70.69 dari kisaran skala 0-100 untuk tahun 2017 yang

13
diumumkan pada hari Selasa, 15 Agustus 2017 (Courtesy of/www.lse.ac.uk) dan terlampir
pembaharuan termutakhir posisi ranking indeks kebahagiaan dengan rincian detil data antara lain
sebagai berikut di bawah ini:

• World Happiness Report (WHR) 2019 baru saja merilis laporan terbaru mereka terkait
daftar negara-negara bahagia di dunia. Lagi-lagi, Finlandia menyabet gelar Negara
Paling Bahagia di dunia, diikuti 4 negara kawasan Skandinavia yang lain.

• Dari 156 daftar negara yang dirilis dalam laporan tersebut, Indonesia berada di peringkat
ke-92 dengan perolehan poin sebanyak 5.192. Di Asia Tenggara, Indonesia masih agak
jauh tertinggal dari Singapura, Thailand, Filipina dan Malaysia, dan berada di atas
Vietnam, Kamboja, Laos dan Myanmar.

• Indikasi poin kebahagiaan yang dirilis oleh WHR disusun berdasarkan beberapa faktor;
di antaranya seperti harapan hidup, dukungan sosial, serta tingkat korupsi.

• Meik Wiking, figur CEO dari lembaga Think Thank The Happiness Research Institute di
Copenhagen, Denmark menyatakan bahwa lima negara liga Skandinavia yang berada di
urutan atas dianggap telah melakukan sesuatu yang benar dalam menciptakan kondisi
yang baik untuk kehidupan warganya.

• "Mereka sangat pandai mengonversikan kekayaan mereka menjadi kesejahteraan," kata


Meik seperti dikutip majalah The Guardian. "Temuan mengenai kebahagiaan para
pendatang menunjukkan bahwa kondisi kehidupan yang ada di bawah berpengaruh
besar pada kualitas kehidupan. Jadi, kebahagiaan bukan sekedar masalah pilihan."

Formula awal yang ditetapkan sebagai indeks kebahagiaan ini secara konseptual/instrumental
mengukur tiga dimensi – kepuasan hidup, hubungan dan arti atau makna kehidupan
(eudaimonia) – dimana survey pendahuluan di tahun 2012 dan 2014 hanya menganalisa dari
aspek kepuasan hidup (life satisfaction). Hasil di tahun 2014 menghasilkan indeks 68.28
sedangkan jika ranah kepuasan hidup digunakan dalam survei tahun 2017 berjalan, maka
angkanya akan menjadi 69.51.

“Tujuan indeks ini adalah untuk mendapatkan informasi detil tentang kebahagiaan bangsa
Indonesia karena perkembangan dan kemajuan sebuah negara tidak harus ditinjau dari sektor
ekonomi saja.” ujar Ketua BPS, Suhariyanto dalam konferensi persnya di Jakarta pada hari
Selasa.

Mengacu pada hasil survei, masyarakat Indonesia merasa paling bahagia tentang keharmonisan
keluarganya, namun disamping itu pendidikan dan indikasi keterampilan berada di posisi skor
terendah. Dicantumkan juga, bahwa Maluku Utara dan Maluku adalah provinsi yang
berpenduduk / populasi paling bahagia – sedangkan Papua, Sumatra Utara dan Nusa Tenggara
Timur menempati titik indikator kebahagiaan terbawah. (bbn)

14
(Jakarta | Wed, August 16, 2017 | 06:30 am, The Jakarta Post, Prima Wirayani)
http://www.thejakartapost.com/news/2017/08/16/indonesians-quite-happy-according-to-bps-
happiness-index.html

Dengan data aktual yang disampaikan berikut, penulis ingin lanjut menambahkan faktor
keterbukaan diri (self-disclosure) dan spitefulness (kedengkian) sebagai komponen indikator
kebahagiaan yang akan mengoptimalkan referensi Model 6 Faktor Kesejahteraan Psikologis (Six-
Factor Model of Psychological Well-Being) yang dirintis oleh ilmuwan Psikologi Carol Ryff.

Adapun Enam Faktor Penyedia Kebahagiaan tersebut adalah:

a). Hubungan Positif Dengan Sesama, b). Kemahiran Personal Terhadap Lingkungan, c).
Otonomi, d). Rasa Terpenuhi Tujuan dan Makna hidup, e). Perkembangan Diri, dan f).
Kedewasaan Diri/Pribadi.

Kesejahteraan psikologis dicapai dengan meraih kondisi seimbang yang dipengaruhi dari ujian
peristiwa/kejadian dalam hidup yang akan membuahkan kepuasan spiritual, pelajaran, hikmah
ataupun dinikmati secara hayati sebagai “berkah”/blessings daripada beban/burden bagi jiwa
(rewards, fulfillments).

Model dari Ryff tidak hanya bermuara pada merasa bahagia, namun berfondasikan Etika
Nicomachean dari Aristoteles yang berbunyi “dimana tujuan dalam hidup tidak hanya merasa
nyaman, senang, damai, namun sebenarnya mengenai hidup dengan benar”.

Enam faktor dibawah ini dianggap sebagai Elemen Kunci dari Kesejahteraan Psikologis:

1). Self-Acceptance (Penerimaan Diri)

2). Personal Growth (Kedewasaan Diri/Proses Tumbuh Kembang Pribadi)

3). Purpose in Life (Tujuan dalam Hidup)

4). Environmental Mastery (Penguasaan / Kemahiran Diri terhadap Lingkungan)

5). Autonomy (Otonomi)

6). Positive Relations with Others (Hubungan Positif dengan Satu Sama Lain)

C. Permasalahan

3. Pertanyaan Penelitian

a. Deskripsi tentang bidang yang akan dikaji dan body of knowledge yang mutakhir. Apa
yang kita tidak tahu? Apa yang selama ini diabaikan?

15
Media sosial kini tak hanya digunakan sebagai tempat ‘curhat’ atau “menyampah / muntah” saja
bagi rakyat jelata – terutama komunitas artis yang lebih diperhatikan, baik oleh netizen klub fans
atau haters mereka. Kini dengan bermodalkan Twitter, Facebook, atau Instagram semua
informasi didapatkan dengan mudah dan cepat (real-time), bahkan langsung (live). Efek
penggunaan sosial media ini juga memunculkan sejumlah kosa kata baru.
(https://plus.kapanlagi.com/berita/, Jum'at, 07 Juli 2017 14:18 Penulis: Agista Rully).

Selama beberapa tahun terakhir, para pengguna Instagram sangat familiar dengan akun gosip
seperti Lambe Turah, Mak Nyinyir, Mak Lambe, Lambe Lamis dan lain sebagainya. Dari sederet
akun gosip ini juga, bermacam kosakata seperti “julid”, “seseartis”, “minceu” jadi dikenal oleh
netizen.

Istilah ini konon dipopulerkan oleh ratu jargon dan ikon sensasi, Syahrini. Sebelum serng
digunakan oleh akun gosip, pelantun Sesuatu ini telah lebih dulu mempopulerkan istilah ‘julid’
yang berasal dari kata ‘binjulid’, bahasa Sunda. Arti ‘binjulid’ menurut KBBI sendiri adalah iri
hati yang juga masih dianggap serumpun dengan dengki.

Ada pula yang menambahkan bahwa kata ‘julid’ berasal dari kata ‘julita’ yang berarti anak-anak.
Berdasarkan dua arti kata binjulid dan julita, kini istilah julid dapat digunakan untuk menyebut
seseorang yang nyinyir atau terlalu pedas dalam mengomentari orang lain.

Sementara itu, menurut arti kata, istilah julid digunakan untuk seseorang yang bersifat kekanak-
kanakan karena suka cari perhatian atau karena suka bersikap menyebalkan. Dengan demikian,
warganet menggunakan kata ini pada artis yang mereka anggap menyebalkan dalam berperilaku.

(https://plus.kapanlagi.com/ramai-dipakai-di-sosmed-ini-lho-arti-kata-julid-sebenarnya-
557b7e.html) & (http://www.kbbionline.com/arti/gaul/julit)

Terminologi, eufemisme (colloquialisms) yang merupakan ragam derivasi / turunan dari rasa
dengki / iri dan sekarang sudah sah digunakan dalam kehidupan sehari-hari juga lahir dari dunia
hiburan di Amerika Serikat dan kini telah sangat intensif digunakan dalam percakapan harian,
contohnya adalah kata kerja “shade” (membayangi / memblok / menutupi / membuat gelap,
suram, saling menjelekkan, menghina, mencemooh dan menjatuhkan dengan kriptik dan halus,
tidak suka apabila orang lain senang) dengan kalimat lengkap seperti “The shade is real” atau “
shade room all day, everyday”.

Slang/prokem (istilah jalanan / bahasa prokem) kedua yaitu “internet troll” atau “trolling”
(pelaku nyinyir, rentan fitnah dan tidak sopan bertata krama dan belum tentu berani bertatap
muka, marak terutama di media sosial) dan juga kata “petty” yang dimaknai sebagai “tindakan /
aksi / perbuatan berkelas bawah / rendah, dangkal, tumpul dan trivial / tidak ada
kepentingannya.

16
Sesama artis di genre musik yang sama (rapper Nicki Minaj vs. Cardi B, Nicki Minaj vs. Remy
Ma & Lil’ Kim) kerap saling menyerang lalu berselisih paham dan tidak kooperatif satu sama
lain (beefing, sneak-dissing), membuka aib masing-masing dalam berkompetisi dan merubah fan
club / base dan rekan artis yang berkolaborasi bersama mereka selayaknya kubu juga sehingga
banyak intrik ofensif dan aktif menjadi “haters”, karena kesannya “diharuskan” menentukan
sikap / pendirian dengan berpihak ke satu kubu saja (taking sides) dan perlu siap “perang dingin”
(fuming/feuding) seperti Kanye West dan Jay-Z yang hanyut berlarut diluar kepentingan
publisitas, popularitas atau rating sehingga banyak mengorbankan hubungan persaudaraan dan
kerjasama yang sudah sejauh ini terjalin dengan solid.

Rakyat Amerika sendiri sudah semakin kritis membedah ungkapan-ungkapan urban khas kultur
pop diatas dengan membedakan perlakuan “shade” dengan “troll”, misalnya serta menegaskan
bahwa semua yang melakukan “trolling” atau mencaci maki / mengata-ngatai di media sosial /
media massa secara agresif adalah cerminan / bagian dari “shading” - namun tidak berlaku
sebaliknya (irreversible).

https://jezebel.com/all-shade-is-a-troll-but-not-all-trolls-are-shade-1791700090

Definisi dari Wikipedia Dictionary

• Verb; gerund or present participle:

troll

trōl/

1. informal

make a deliberately offensive or provocative online post with the aim of upsetting someone or
eliciting an angry response from them.

"if people are obviously trolling then I'll delete your posts and do my best to ban you"

• noun: (urban dictionary)

shade

shād/

acting in a casual or disrespectful manner towards someone / dissing a friend

throwing shade, acting kinda shady

• adjective :

pet•ty

17
ˈpedē/

adjective : petty; comparative adjective: pettier; superlative adjective: pettiest

1. of little importance; trivial.

"the petty divisions of party politics"

synonyms: trivial, trifling, minor, small, unimportant, insignificant, inconsequential,


inconsiderable, negligible, paltry, footling, pettifogging; More

informal

piffling, piddling, fiddling;

de minimis

"petty regulations"

antonyms: important, serious

1. (of behavior) characterized by an undue concern for trivial matters, especially in a small-
minded or spiteful way.

"he was prone to petty revenge on friends and family"

synonyms: small-minded, mean, ungenerous, shabby, spiteful

"a petty form of revenge"

antonyms: magnanimous

2. of secondary or lesser importance, rank, or scale; minor.

“a petty official"

18
Body of Knowledge (Facebook of Self-Disclosure)
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0747563215003179

19
Body of Knowledge (Facebook of Self-Disclosure)
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0747563215003179

Body of Knowledge (Path Model of the Associations that Spitefulness and the HEXACO Personality
Dimensions by Virgil Zeigler-Hill, Ph.D., Oakland University - Department of Psychology).

20
https://www.google.co.id/url?sa=i&rct=j&q=&esrc=s&source=images&cd=&cad=rja&uact=8&
ved=2ahUKEwi1x6LHsLHaAhXGQI8KHaoLDiEQjB16BAgAEAQ&url=http%3A%2F%2Fww
w.sciencedirect.com%2Fscience%2Farticle%2Fpii%2FS0191886916310297&psig=AOvVaw1Y
1asQpn9tgcaUjTEibDeb&ust=1523506524258097

http://journal.fulbright.org.tw/index.php/browse-topics/new-cultural-insights/itemlist/user/204-li-
yu-lee-%E6%9D%8E%E6%A2%A8%E7%91%9C

Peneliti berniat/berhasrat dengan semangat lebih berminat mencari informasi tentang kekuatan
hubungan antara aktivitas pengungkapan diri (self-disclosure) dan sikap/sifat dengki
(spitefulness) sehingga dapat mendalami kembali seberapa detrimental atau destruktifnya sifat,
perilaku dengki pada Generasi Y di wilayah DKI Jakarta jika diperbandingkan dengan generasi
langgas/millennial.

Variabel moderator adalah variabel pihak ketiga yang memodifikasi hubungan antara IV dan
DV. Tujuan variabel moderator adalah mengukur kekuatan hubungan antara IV (keterbukaan
diri) dan DV (kesejahteraan psikologis). Contohnya, bila rasa dengki (spitefulness) merupakan
variabel moderator antara IV (keterbukaan diri) dan kesejahteraan psikologis (DV), maka
hubungan antara kedengkian dan kesejahteraan psikologis akan lebih besar untuk rakyat generasi
Y di Jabodetabek.

Yang terlalaikan atau terabaikan selama ini adalah perilaku pengungkapan diri baik secara virtual
on-line maupun organik cenderung “bablas, lepas, terlalu bebas” prakteknya dengan
mengatasnamakan “jadilah atau temukan dirimu sendiri” - sehingga fenomena ini menimbulkan
gejala “narcissistic sociopath” atau kecenderungan narsisistik, waham kebesaran/grandiose,
megalomania, psikopatik, sadistik, obsesif-kompulsif, Machiavelianisme dan histrionik,
misalnya. Hal seperti ini pada masa kini tetap dianggap santai, hobi baru yang mengasyikkan,
intermezzo sekedarnya, rekreasional dan tidak potensial membahayakan secara langsung sesuai
pantauan dari impresi media sosial – walaupun counter-measures (antisipasi perbuatan) aksi
balasan senantiasa selalu muncul/ada secara responsif/reaktif juga.

Islam Tentang Dengki

Quran Surat al-Falaq (Waktu Subuh)

َ ‫س ٍد إِذَا َح‬
‫س َد‬ ِ ‫ َو ِمن ش َِر َحا‬wa min syarri ḥāsidin iżā ḥasad
5. “Dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki”.

Referensi: https://tafsirweb.com/37406-quran-surat-al-falaq.html
http://www.sarkub.com/terapi-hati-penyakit-hasud-iri-dengki/

Dengki (hasud): Senang melihat orang lain susah, susah melihat orang lain senang.

21
Salah satu penyakit hati yang sering merasuki jiwa manusia dengan tidak mengenal golongan,
pangkat, jabatan, keturunan dan usia baik laki-laki maupun perempuan adalah dengki (hasud).

Hasud (dengki) adalah sikap batin tidak senang terhadap kenikmatan yang diperoleh orang lain
dan berusaha untuk menghilangkannya dari orang tersebut. Imam Ghazali mengatakan bahwa
hasud itu adalah cabang dari syukh ( ‫ )الشخ‬yaitu sikap batin yang bakhil berbuat baik.

Kata hasud berasal dari bahasa Arab, yaitu “hasadun” yang berarti dengki, benci. Dengki
merupakan suatu sikap atau perbuatan yang mencerminkan rasa marah, sakit, dendam, tidak suka
karena iri. Dalam kamus Bahasa Indonesia kata “hasud” diartikan membangkitkan hati seseorang
supaya marah (melawan, memberontak, dan sebagainya).

Dengan demikian yang dimaksud dengan hasud pada hakikatnya sama dengan hasad, yakni suatu
perbuatan tercela sebagai akibat adanya rasa iri hati dalam hati seseorang. Rasulullah s.a.w.
bersabda :

َ‫ِْْلشﱠَُلﺎََِْْلٌﱢَُلﺎٌَََََُِﺎَََََُُُْْْْْاَُْْلِﺏﱠ‬
( ََ‫) ﻱﱡَِِْلﺘﱢٌََََُا‬
Artinya : “Telah masuk ke dalam tubuhmu penyakit-penyakit umat terdahulu (yaitu) benci dan
dengki, itulah yang membinasakan agama, bukan dengki mencukur rambut” (H.R. Ahmad dan
Tirmidzi).

Lebih jauh para ulama mengemukakan pengertian hasud atau hasad sebagai berikut :

1. Menurut Al Jurjani Al Hanafi dalam kitabnya “Al Ta’rifaat”, hasad ialah menginginkan atau
mengharapkan hilangnya nikmat dari orang yang didengki (mahsud) supaya berpindah
kepadanya (orang yang mendengki).

2. Menurut Imam Al Ghazali dalam kitab “Ihya Ulumuddin”, hasad ialah membenci nikmat
Allah S.W.T. yang ada pada diri orang lain, serta menyukai hilangnya nikmat tersebut.

3. Menurut Sayyid Qutub dalam tafsir “Al Manar”, hasad ialah kerja emosional yang
berhubungan dengan keinginan agar nimat yang diberikan Allah S.W.T. kepada seseorang dari
hamba-Nya hilang dari padanya. Baik cara yang dipergunakan oleh orang yang dengki itu
dengan tindakan supaya nikmat itu lenyap dari padanya atas dasar iri hati, atau cukup dengan
keinginan saja, yang jelas motif dari tindakan itu adalah kejahatan.

Hal inilah, seperti yang dijelaskan Al Qur’an sebagai berikut :

…‫َﻡْﺤٌََﻥْلﻨﱠﺎﺱﻋَﻰَﺎاﺗﻬْْﷲَِﻓََﻪ‬

22
Artinya : “Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang telah
Allah berikan kepadanya …. (Q.S. An-Nisa : 54)

Jadi hasud/hasad menurut istilah adalah membenci nikmat Allah yang dianugerahkan
kepada orang lain, dengan keinginan agar nikmat yang didapat orang tersebut segera hilang atau
terhapus.

Rasulullah menggambarkan betapa tercelanya kedengkian itu dengan sabdanya:

ِ‫َﺽََََِِِِْﻋََاَََُْاََ ( ََﺤلَْْلﻨﱠﺎُُْﺗﺎَُِﺎﻨَﺤلٌَُُْْْﺤلﻥﱠِْﻓٌَﺤلَُْْْﱠﺎ‬
“Kedengkian memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar” (HR. Abu Daud dari
Abu Hurairah).

Ketika seseorang mengharapkan lenyapnya nikmat dari orang yang didengki maka saat itu ia
telah berlaku hasad, karena sesungguhnya kedengkian adalah membenci nikmat dan
menginginkan lenyapnya rahmat itu dari orang yang mendapatkannya.

Rasulullah bersabda:

ُ‫ََ ﺗﺤﺎسٌَا ََﺗَﺎطْْا ََﺗْﺎغَْا ََﺗٌاََِا َُْنْا ﻋْﺎَﷲ ِخْانﺎ َُﺎ ََُِْ ﷲ (ََا‬
ََََْ ‫) ْلْﺨﺎَﻱﱡ‬
Artinya : “Janganlah kamu sekalian saling mendengki, membenci, dan saling belakang-
membelakangi; tetapi jadilah kamu hamba Allah yang bersaudara sebagaimana yang telah
diperintahkan Allah kepadamu” (HR. Bukhari dan Muslim).

Jadi demikianlah sehingga sekiranya setiap muslim/muslimah wajib hukumnya menjauhi sifat
hasud karena hasud termasuk sifat tercela dan merupakan perbuatan dosa (QS. An Nisa’ [4]: 32).

Artinya: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada
sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada
bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari

23
apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Dalam kitab Tanbihul Ghafilin yang dinyatakan Imam Abu Laits Samarqandi, dijelaskan bahwa

orang hasud (dengki) itu telah menentang Allah dalam beberapa hal:

1. Membenci nikmat atau anugerah Allah yang diberikan kepada orang lain.

2. Tidak rela menerima pembagian karunia Allah atas dirinya.

3. Pelit terhadap pemberian Allah , kalau bisa semua anugerah Allah dan kebajikan
jatuh pada dirinya sendiri, tak perlu orang lain. Kalaupun orang lain memperolehnya diharapkan
di bawah derajat dirinya

4. Mengikuti pengaruh Iblis/syaithan yang sebetulnya sangat merugikan dan menghinakan


dirinya sendiri.

Bahaya-bahaya sifat hasud antara lain:

• Merusak iman orang yang hasud.

) ‫الﺤٌَ ْﻔٌَ اََْﺎﻥ َُﺎ ْﻔٌَ الصِْ الَُْ (ََاُ ْلٌﱠَََْﱡ‬

Artinya: “Hasud itu dapat merusak iman sebagaimana jadam merusak madu” (H.R Ad
Dailami).

• Menghanguskan segala macam kebaikan yang pernah dilakukan.

ِ‫ََﺤلَْْلﻨﱠﺎُُْﺗﺎَُِﺎﻨَﺤلٌَُُْْْﺤلﻥﱠِْﻓٌَﺤلَُْْْﱠﺎ‬

( ََ‫) ََاُ اَْ َا‬

Artinya: “Jauhilah darimu dari hasud karena sesungguhnya hasud itu memakan kebaikan-
kebaikan seperti api memakan kayu bakar” (H.R Abu Dawud).

• Tersiksa batinnya untuk selama-lamanya, sebab di dunia ini tidak sepi dari orang-orang
yang mendapat nikmat dari Allah baik berupa ilmu, pangkat, atau harta benda sementara dia
selalu diliputi rasa dengki terus menerus.

Ada 2 (dua) macam hasud yang dibolehkan, Rasulullah bersabda:

ُ‫َجُ َﺗﺎُ ﷲ َﺎَ ﻓَََﻪ ﻋَﻰ َُِﺘﻪ ﻓﻰ الﺤق ََجُ َﺗﺎُ ﷲ الﺤَُُ ﻓﻬْ َََْ َﻬﺎ َََْْﻬﺎ (ََا‬: ِْ‫ٌَََ َِ ﻓﻰ اثﻨ‬
‫) ْلْﺨﺎَﻱﱡ‬

24
Artinya : “Tidak boleh iri hati kecuali dalam 2 (dua) hal : 1. Seorang yang diberi oleh Allah
SWT harta kekayaan maka dipergunakan untuk mempertahankan hak (kebenaran) dan 2.

Seorang yang diberi Allah ilmu hikmah, maka ia pergunakan dan ia ajarkan” (HR.
Bukhari).

• Mengarah pada perbuatan maksiat, dengan berlaku hasud otomatis seseorang pasti
melakukan hal-hal lain seperti ghibah (bergunjing, mengumpat, menggosip orang (ghibah),
berdusta fitnah, mencela, bahkan mengadu domba (namimah).

• Jauh dari rahmat Allah SWT dan sesama manusia

• Menghancurkan persatuan dan kesatuan

• Menyakiti orang lain atau dapat mencelakakan orang lain

• Terkena hinaan dan kegelisahan apalagi ia menyadari bahwa orang lain telah memahami
hasutannya, maka ia akan dipandang rendah dan pasti dijauhi.

• Kerisauan dan kegelisahan (galau, gundah gulanah) akibat kebencian tak terputus.

• Akan selalu menderita di atas kesenangan orang lain. Ia tidak pernah merasa bahagia
selama ada orang lain yang melebihinya

• Dapat memutuskan hubungan silaturrahim dan persaudaraan

• Berpotensi akan menjadi provokator yang dapat menimbulkan bencana atau kerugian,
baik untuk dirinya ataupun orang lain

• Menjerumuskan pelakunya masuk neraka.

Terkadang pengetahuan dari sisi agama (konteks Islam) tentang hasad (dengki) kerap kala
dikesampingkan (overlooked, underrated) karena dinilai obsolete (kuno, usang) kurang modern
atau “menarik”, walaupun relevansinya senantiasa tinggi dan solutif dalam menangani problema
hidup sehari-hari bagi yang melakukan terapi penyakit hati – oleh karenanya lebih sering
ditemukan sisi pragmatis pasif-agresif ketimbang asertif yang rawan karena jalan pintas yang
hostil ketika sedang menggunakan media sosial, misalnya – seperti membuat status atau
postingan kode-kode “nyinyir”, meninggalkan / keluar grup, tidak aktif chat (silent reader), men-
delete atau mem – block akun atau nomor, meng- unfriend/unfollow, membuat label teman
khusus “close friend”, tidak read / membaca pesan yang terkirim, menyembunyikan checklist
baca biru di Whatsapp, mengabaikan telpon masuk, hanya mengundang teman tertentu di acara
pribadi, tidak hangat bercengkrama atau bertegur sapa ketika berjumpa, dan lain alasan
sebagainya.

25
b. Pertanyaan utama/inti. Apa pertanyaan utama/inti yang ingin anda jawab dengan
penelitian ini?

Apakah keterbukaan diri (self-disclosure) dapat membantu meminimalisir/mengurangi


kedengkian (spitefulness), serta meningkatkan atau berdampak efektif terhadap
kesejahteraan psikologis / kesejahteraan subjektif (subjective well-being) pada Generasi Y
di wilayah kawasan Jakarta Selatan?

Bagaimana anda membedah pertanyaan utama/inti ke dalam sub-sub pertanyaan yang dapat
memberikan jawaban menyeluruh terhadap pertanyaan utama/inti?

1. Apakah keterbukaan/pengungkapan diri (self-disclosure) dapat membantu mengurangi


kedengkian/rasa iri hati (spitefulness), serta meningkatkan/berdampak efektif terhadap
kesejahteraan psikologis/kesejahteraan subjektif (psychological well-being/subjective well-
being) pada Generasi Y di Jabodetabek?

1.1. Apakah keterbukaan/pengungkapan diri (self-disclosure) berkorelasi dengan


kedengkian/rasa iri hati (spitefulness)?

1.2. Apakah keterbukaan/pengungkapan diri (self-disclosure) berkorelasi dengan


kesejahteraan psikologis (psychological well-being)?

1.3. Apakah keterbukaan/pengungkapan diri (self-disclosure) berkorelasi dengan


kesejahteraan subjektif (subjective well-being)?

1.4. Apakah keterbukaan/pengungkapan diri (self-disclosure) berkorelasi dengan


kesejahteraan psikologis (psychological well-being)?

1.5. Apakah kedengkian/rasa iri hati (spitefulness) berkorelasi dengan kesejahteraan


psikologis (psychological well-being)?

1.6. Apakah kedengkian/rasa iri hati (spitefulness) berkorelasi dengan kesejahteraan


subjektif (subjective well-being)?

1.7. Apakah ada konektivitas antara keterbukaan/pengungkapan diri (self-disclosure) dengan


karakter khas Generasi Y di Jabodetabek?

1.8. Apakah ada konektivitas antara kedengkian/rasa iri hati (spitefulness) dengan karakter
khas Generasi Y di Jabodetabek?

1.9. Apakah ada keterhubungan antara kesejahteraan psikologis (psychological well-being)


dan kesejahteraan subjektif (subjective well-being) dengan karakter khas Generasi Y di
Jabodetabek? …etc.

26
Unsur/Nilai Kebaruan (Novelty Value) dari Penelitian yang Diajukan

Apa signifikansi penelitian anda? Apakah ada relevansi teoritis yang spesifik?

Masih belum ada banyak penelitian ilmiah lanjutan tentang topik keterbukaan/pengungkapan diri
(self-disclosure), kedengkian (spitefulness), kesejahteraan psikologis (psychological well-being)
maupun kesejahteraan subjektif (subjective well-being) secara fundamental/mendasar, mandiri
(stand-alone) apalagi yang temanya disatukan – terutama tentang spitefulness (dengki/iri hati)
yang masih ‘segar’ dan “unheard of” (‘tidak terdengar’/tidak terkenal/sayup/samar) namun
bidang keilmuan Psikologi sebenarnya sangat ‘haus’ menantikan terobosan untuk menjawab
kemajuan zaman kekinian yang perlahan kehilangan “decency” (kepatutan, kepantasan) dalam
bersikap dan seolah memberikan izin untuk menghalalkan keberhasilan instan hampir dengan
segala cara tanpa mengindahkan kegigihan / giatnya etos kerja, keuletan usaha dan kekuatan doa
dan mencari locus of control eksternal sebagai alasan menyalahkan orang lain dengan menuduh
atau menghakimi yang tidak terbukti kebenarannya.

Sebagai contoh dari industri musik, gerakan Illuminati atau sekte secret society Free Masonry,
yang terlepas dari eksistensinya atau tidak, sudah dipukul rata sebagai “culprit” (biang
kerok/perpetrator) pelaku justifikasi dari kesuksesan kilat mayoritas artis di blantika musik hip
hop, rap dan pop Amerika Serikat dengan premis “pengorbanan, kontrak menjual nyawa dan
gestur spesial dalam pengakuannya menyambut kedatangan Djajjal dengan kekuatan setan
(Baphomet), dll.” – sehingga bagi yang sudah menjadi anggota harus nampak tamak, congkak
dan keras bahkan jahat dalam lirik lagunya yang materialistik, penampilan yang hedonistik.

Bagi yang memilih untuk tidak konformis atau patuh (obedience/compliance) “bergabung dalam
tim” akan dapat merasa dengki/iri karena yakin kesempatannya diambil dan apabila mengalami
krisis konsep diri ke arah negatif karena minimnya self-esteem (keberhargaan diri) atau self-
efficacy (ketercukupan diri) yang memunculkan rasa minder, depresi, frustrasi, keinginan bunuh
diri/suicidal tendencies) karena karir tetap lamban bahkan mandek, karya tidak laku/laris di
pasaran --- maka mindset logis yang spontan terbentuk bersifat maladaptif; memicu perilaku
antisosial, pemalasan sosial (social loafing), ketidakberdayaan yang dipelajari (learned
helplessness), dsb.

Alasan peneliti menelaah dinamika Generasi Y di di Jabodetabek sebagai demografi karena


mereka adalah “dunia”/universe saya, dekat di hati dan di setiap hari bekerja sama di depan mata
walaupun tetap bersinergi/berkolaborasi dengan generasi penerusnya seperti generasi X dan Z,
contohnya. We’re losing our touch on life as far as society is concerned – also on the verge/edge
of breaking down with social anxiety (failure to launch).

Kami mulai menelisik intensitas keprihatinan yang diinternalisasikan kepada diri kami sendiri
(echo boomers) - terutama di dunia kerja dengan persaingan yang ketat dan terkadang
“cutthroat” (gorok leher) “melawan” angkatan milenial yang dipandang lebih handal, hubungan
romantis dan masa depan berumah tangga atau berkeluarga yang terkadang belum terpenuhi

27
secara mumpuni karena terhambat kemunduran atau paradigma yang bergeser tentang
pendidikan tinggi, karir, jodoh, keluarga dan pernikahan (major setbacks) dalam dinamika
ketercapaiannya pada tahapan daur usia tugas tumbuh kembang pendekatan Psikososial dari Erik
Erikson (Fase Intimacy vs Isolation atau Generativity vs Stagnation).

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini adalah sebuah “passion project” penyusun proposal disertasi ini sejak lama –
dimana peneliti menginisiasi langkah ajeg untuk pengejawantahan lingkaran penuh / “full-circle”
yang akhirnya akan membuktikan secara runut, puguh,
utuh/menyeluruh/multidimensional/multifacet bahwa/sifat hasad/ghibtah/backbiting/dengki
terverifikasi menjadi variabel mediator yang bisa melemahkan atau menguatkan keterhubungan
dengan kebahagiaan psikologis/kesejahteraan subjektif (subjective well-being) atau hanya akan
berfungsi sebagai variabel moderator yang efeknya belum total memitigasi solusi secara
signifikan - namun tetap dianggap relevan dan resiprokal seiring jalannya waktu (overtime/time-
series) secara sporadis.

E. Manfaat Penelitian

Besar sekali ekspektasi peneliti bahwa ke depannya nanti - dengan manajemen kognisi-afeksi-
konasi, dibantu terapi atau konseling kesehatan mental klinis dengan sentuhan spiritualistik dari
Psikologi Islam, perilaku hasad akan ternetralisir dan tidak tambah didramatisir sehingga
semakin dikenal sebagai sisi lain katalisator dari azas/nilai keadilan, empati, altruisme (selfless
act) dan perlahan melahirkan kesadaran dan kewaspadaan (awareness & alertness) warga
masyarakat umum agar tidak hanyut terlarut dengan pergerakan ICT yang arbitrer, hedonistik
yang belakangan ini dengan pemicu media sosial terlalu sangat melestarikan 9 (sembilan) Dark
Core Personality Traits (9 Perilaku Gelap Inti) / faktor-D – sehingga absurditas, ambiguitas dan
ambivalensi akan interpretasi “kebahagiaan/kesejahteraan” dengan segala elemen/komponen
teoritisnya (harapan dan kualitas hidup, dukungan sosial, tingkat korupsi) akan menjawab
makna kepuasan hidup dengan lebih mindful dan nyaman secara personal, pun selaras dengan
tuntutan lingkungan dan yang menjadi isu sentral adalah keterbukaan diri dan sifat dengki tidak
perlu harus disekat ketat atau ‘berbatas’ dengan religiusitas (religiousity) & sikap religius
(religiousness) seseorang, misalnya – malah justru menjadi kondusif dan tidak kontraproduktif
mendukung unsur kebahagiaan diri.

F. Kajian Penelitian Terdahulu atau Tinjauan Pustaka

5. Pertimbangan Teoretis dan Penelitian Sebelumnya

Self-Disclosure (Keterbukaan Diri)

1. Self-disclosure on SNS: Do disclosure intimacy and narrativity influence interpersonal


closeness and social attraction? Ruoyun Li, Sonja Utz; Leibniz-Institut für

28
Wissensmedien, Germany University of Tübingen, Germany article info. Article history:
Received 9 September 2016. Received in revised form 2 January 2017. Accepted 7
January 2017. Available online 9 January 2017.

Desain eksperimental peran keintiman sifat terbuka dan narativitas dari kedekatan yang
dipersepsikan dan ketertarikan sosial (bertukar/berbagi pemikiran, perasaan dan pengalaman di
media sosial, contohnya) efeknya tidak stabil. Analisis penelitian lanjutan eksploratif
menunjukkan bahwa peran intimasi keterbukaan dan narativitas beserta ketertarikan sosial
dihalangi/terhambat oleh kelayakan yang dipersepsikan, dan efek narativitas pada kedekatan dan
atraksi sosial ditengahi oleh nilai hiburan yang dianggap/diasumsikan. © 2017 The Authors.
Published by Elsevier Ltd. This is an open access article under the CC BY-NC-ND license
(http://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/).

2. The Journal of Applied Business Research – November/December 2015 Volume 31,


Number 6 Copyright by author(s); CC-BY 2139 The Clute Institute How People Disclose
Themselves Differently According To The Strength Of Relationship In SNS? Bitna Kim,
Ewha Womans University, South Korea Kyung-Shik Shin, Ph.D., Ewha Womans
University, South Korea Sangmi Chai, Ph.D., Ewha Womans University, South Korea.

Self-disclosure (keterbukaan diri) didefinisikan sebagai “act of revealing personal information


to others” (Archer, 1980, p.183) yakni memberikan informasi kepada orang lain - yang
memainkan tugas kunci dalam memelihara/menjaga keberlangsungan dan
perkembangan/kemajuan dalam hubungan; secara professional banyak dipraktekkan melalui jasa
antara face-to-face communication (tatap muka) dan komunikasi SNS (social networking
services) yang studinya menggali bagaiama kekuatan hubungan sosial berimbas pada srategi
keterbukaan diri pelaku. Self-disclosure versi SNS bentuknya multidimensional dan berdimensi
lima; intensi untuk terbuka, jumlah, sikon positif-negatif natural, akurasi kejujuran, dan kontrol
kedalaman data/interaksi yang dikeluarkan/diangkat. Riset ini mengindikasikan bahwa kekuatan
hubungan mempengaruhi kadar keterbukaan pengguna SNS secara negatif. Pengguna SNS,
dengan kata lain, kurang membuka diri mereka sendiri secara intensif baik menurut frekuensi
maupun durasi terhadap lawan bicara less reveal themselves in terms of both frequency and
duration to other user. Faktanya ditemukan bahwa keeratan ikatan sosial secara signifikan
berdampak pada dimensi keterbukaan diri, kecuali pada elemen/komponen nuansa/”alam”
positif-negatif keterbukaan diri.

3. Effects of Self-Disclosure Role on Liking, Closeness, and Other Impressions in Get-


Acquainted Interactions Susan Sprecher1, Stanislav Treger2, and Joshua D. Wondra3
Journal of Social and Personal Relationships 30(4) 497–514 ª The Author(s) 2012.
Reprints and permissions: sagepub.co.uk/journals Permissions.nav DOI:
10.1177/0265407512459033 spr.sagepub.com

29
Setelah interaksi pertama, pendengar (vs. penyampai informasi/pencerita) melaporkan lebih
besarnya rasa suka dan kesan interpersonal lainnya terhadap pembicara/narasumber materi –
perbedaan ini hilang setelah partisipan berganti peran di interaksi kedua. Lebih jauh lagi,
mendengar/menyimak diasosiasikan dengan meningkatnya derajat kesamaan yang dipersepsikan.

4. Self-Disclosure Here and Now: Combining Retrospective Perceived Assessment With


Dynamic Behavioral Measures1* and Yossi Levi-Belz2
https://www.frontiersin.org/journals/psychology#editorial-board Specialty section: This article was
submitted to Language Sciences, a section of the journal Frontiers in Psychology. Received: 25
October 2017. Accepted: 27 February 2019. Published: 28 March 2019 Citation: Kreiner H and Levi-
Belz Y (2019) Self-Disclosure Here and Now: Combining Retrospective Perceived Assessment With
Dynamic Behavioral Measures. Front. Psychol. 10:558. DOI: 10.3389/fpsyg.2019.00558
Secara kritis, penelitian sebelumnya berfokus pada aspek retrospektif seperti kuesioner pelaporan
diri yang tradisional – namun sekarang ada opsi komprehensif yang secara ‘here-and-now’ dapat
mengungkapkan faktor situasional transien yang mempengaruhinya, seperti dinamika interaksi
interpersonal. Berdasarkan instrumen pengukuran ini, diajukan evakuasi tiga dimensi yang dapat
membingkai profil berbeda dari SD dan menawarkan perilaku SD dengan prediksi lebih tepat
dalam kondisi berlainan. Implikasi klinis dan teoretis dari pendekatan tersebut sedang
didiskusikan.

“… Our ego is composed of the superimposition of our successive states.”—Marcel Proust,


Remembrance of Things Past, hal. 622

5. Online Self-Disclosure: A Review of Research. Jinsuk Kim Kathryn Dindia (Kim, J., &
Dindia, K. Online Self-Disclosure: A Review of Research. In K. B. Wright & L. M. Webb
(Eds.). Computer-mediated communications in personal relationships (p. 156-180). New
York: Peter Lang Publishing, October 28th, 2016.

Self-disclosure is a key factor in developing relationships in online environments as it is in face-


to-face (FtF) contexts (Dindia, 2000). Researchers have been examining how individuals present
themselves in online environments and the factors that influence the way individuals disclose
personal information in online settings. There has been an accumulation of research on self-
disclosure with respect to FtF contexts (e.g., Collins & Miller, 1994; Derlega, Metts, Petronio, &
Margulis, 1993; Dindia, 2002; Dindia & Allen, 1992; Jourard, 1971); however, there has been no
comprehensive review of research on how people disclose personal information in various online
settings and how this disclosure affects interpersonal relationships. The traditional definition of
self-disclosure refers to only intentional, “verbal” expressions of the self, and does not include
nonverbal cues, such as how people dress, as disclosure. However, this definition of self-
disclosure may not be adequate for online communication. Online self-disclosure may include
nonverbal communication, including pictures posted of self, which may be a conscious
mechanism used to disclose self. This is not the case in FtF settings where there is less

30
opportunity to change appearances. How we present ourselves physically, both online and
offline, can be manipulated (through dress, make up, etc.); however, in online settings,
depending on an individual’s intention, a person’s physical appearance may or may not be
shared. Also, when people include their favorite links on their websites, it reveals information
about themselves.

6. The Influence of Consumer Self-Disclosure on Web Sites on Advertising Response


(Seunghee Im, Doo-Hee Lee, Charles R. Taylor, Catherine D'Orazio), Research Gate:
https://www.researchgate.net/publication/228969439. Charles A. Taylor, Villanova
University, 15 May 2014.

Secara spesifik, riset ini memancing efek transferens keterbukaan diri dalam 3 (tiga) hipotesis;
diuji dengan dua eksperimen yang mengidentifikasikan beberapa variable moderating dan
mediating sebagai basis teori (antara lain yakni hubungan dengan merk/brand, respons sosial)
dalam konteks bisnis periklanan website. Hasilnya mendemonstrasikan bahwa sikap positif yang
ditampilkan oleh keterbukaan diri dapat memicu pengaruh yang menyenangkan/diharapkan atas
iklan dan perilaku terhadap target keterbukaan diri.

Tentang Spitefulness (Sifat Dengki/Kedengkian)

1. 10 Scientific Facts About Spite (by Neel V. Patel August 29, 2018 - updated: October 7, 2020)
https://www.mentalfloss.com/article/554980/scientific-facts-about-spite

Anteseden historis paling terkenal adalah tentang legenda perompak Viking sekitar tahun 870 CE
(Konformitas Eropa), yang membakar hidup-hidup para biarawati di monasterinya di Skotlandia,
dengan pemimpin bernama St. Aebee yang memotong hidung dan bibirnya untuk menghindari
mereka semua diperkosa – ironisnya, rencananya sukses ‘bekerja’.

Beraksi/berulah tingkah dalam tata karma yang sarat kedengkian – dengan sengaja berniat tidak
dewasa atau lebih memilih berakhlak rendah/bawah menyakiti seseorang, walaupun tidak ada
yang diperoleh keuntungannya dari itu namun hanya ingin melihat orang tersebut menderita –
sangat sering dilakukan oleh umat manusia dan justru sebagai dosa pertama.

Namun walaupun faedahnya tidak jelas nampak secara langsung, kedengkian bukan hanya emosi
yang tidak biasa/umum yang merubah manusia menjadi jahat: Sifat ini bisa menjadi alat yang
bermanfaat dan ternyata masih menyimpan esensi kemaslahatan – 10 fakta diantaranya adalah
sebagai berikut:

1. Sejarah fenomenologi kedengkian dimulai jauh mundur secara evolusioner sejak jaman
organisme spesies bacterium. Bakteria notabene mengeluarkan toksin yang dikenal dengan nama
bakteriosin yang menyerang dan membunuh bakteria lain, dimana akhirnay bakteri aggressor
juga mati karena racunnya sendiri).

2. Ada dua sekolah aliran pemikiran tentang kedengkian.

31
Pertama, kedengkian tipe Hamiltonian (dari ahli biologi W.D. Hamilton) yang mengutarakan
bahwa aksi kedengkian diarahkan kepada individu yang tidak ada hubungan darah inti atau
saudara jauh. Kedua adalah konstruk kedengkian Wilsonian dari ahli biologi E.O. Wilson yang
dimana tindakan dengki secara tidak langsung menguntungkan orag yang dekat hubungannya
dengan kita.

Hamilton beragumentasi bahwa binatang melakukan perbuatan dengki karena mereka tidak
tersakiti seperti “musuh” yang tidak ada ikatannya itu – dimana Wilson mendebat bahwa
kedengkian tetap berjalan/bertahan karena luka atau kejahatan yang disebabkan kepada satu
sama lain (walaupun dampaknya jelas buruk) akan membantu orang lain yang pelaku pedulikan.

3. Kedengkian tidak terlalu berbeda dari altruisme seperti yang kita kira sebelumnya.

Untuk ukuran awam, kedengkian adalah ketika kita ingin sekali murni menyakiti seseorang
namun ilmuwan bidang Sosial punya definisi yang lebih khas/khusus: Kedengkian adalah
perilaku “yang merugikan baik aktornya ataupun resipien sikap tersebut” dan tergolonng satu
dari empat “perilaku sosial” Hamilton. Tiga lainnya adalah altruism (efek positif dari penerima
sikap namun efek negatif untuk pelakunya), egoisme (efek negatif pada penerima namun efek
positif untuk actor), dan keuntungan bersama (efek positif dari actor dan resipien).

Memandang perihal tersebut, para peneliti telah menyebut sifat dengki sebagai “saudari jelek
altruisme yang diterlantarkan” untuk alasan tertentu; karena keduanya mengambil kesehatan
sesama manusia dan actor tidak mempedulikan apa yang terjadi pada mereka – tidak akting
untuk kebaikan pribadi, dan tidak juga bergeming akan kerugian personal yang akan dialami
nanti. Bahkan justru sebaliknya, ini semua tentang apa dampaknya kepada pihak penerima sikap
dengki. Sebuah makalah 2006 mengutip “perilaku sosial apapun yang bermuatan dengki secara
semultan dikualifikasikan sebagai sifat altruistik. Singkatnya, sikap apapun yang menurunkan
taraf kesehatan orang lain yang tidak ada hubungan erat akan otomatis naik kadarnya pada
mereka yang ada hubungan dekat.

4. Perilaku dengki bisa menjadi tanda gejala psikopati.

Dalam ranah Psikologi Klinis, triad gelap perilaku kardinal/inti adalah psikopati
(ketidakmampuan untuk menyelami afeksi seperti rasa menyesal, empati dan sosialisasi antar
sesama), narsisisme (obsesi dengan diri sendiri), dan Machiavellianism (keinginan untuk
“jahat”/curang”/licik” tanpa mengindahkan norma moralitas untuk mencapai tujuannya dengan
segala cara).

Di tahun 2014, peneliti di Washington State University, dipimpin oleh psikolog David Marcus
dan rekan sejawatnya mengumpulkan lebih dari 1200 partisipan responden untuk tes
kepribadian, dimana mereka disuguhkan 17 buah kalimat pernyataan seperti “Saya tidak
keberatan menerima pukulan jika itu berarti orang yang saya tidak senangi akan memperoleh dua
kali pukulan” dan “Apabila tetangga saya mengeluh tentang penampakan halaman depan saya,

32
saya akan tergelitik/terusik/tergoda untuk membiarkannya/menjadikannya lebih berantakan
hanya untuk membuat ia jengkel/kesal” – dan harus menandakan seberapa besar skor
ketersetujuan mereka dengan semua pernyataan yang dimaksud. Hasilnya, dipublikasikan di
Psychological Assessment, membuktikan bahwa nilai besar instrumen sikap dengki berkorelasi
tinggi dengan psikopati - pun dengan kedua perilaku dari triad gelap diatas.

5. Laki-laki lebih dengki dibandingkan perempuan.

Studi serupa menemukan bahwa kaum pria dilaporkan secara statistik memiliki level kedengkian
lebih tinggi daripada kalangan kelompok wanita. Marcus mengkonfirmasi teori seperti: Menurut
rilis pers WSU, pria skornya lebih besar karena “mereka juga cenderung meraih nilai tinggi pada
tes perilaku triad gelap” ujar beliau – akan tetapi ia bersama koleganya juga menggunakan
skenario “kedengkian maskulin” dibandingkan situasi yang dikonsentrasikan pada hubungan
yang dimana notabene kategori wanita bisa lebih nyaman dan serius berfokus didalamnya pula”.

6. Anak-anak dan para lansia tidak terlalu berperilaku dengki.

Anak usia kanak-kanak, pra-sekolah atau sekolah menentang sistem ketidakadilan sebagaimana
layaknya dicontohkan oleh orang dewasa, namun menurut Marcus, ulasan literatur menunjukkan
bahwa anak-anak akan juga menolak system ketidakadilan walaupu disana mereka akan meraup
keuntungannya. (contoh kasus: Jika ada dua geng anak-anak dan salah satu geng akan menerima
permen lebih banyak – maka kelompok tersebut akan memutuskan untuk tidak memiliki permen
tersebut – sehingga semua anak-anak di dua geng itu pun tidak ada yang dapat permennya sama
sekali). Anak-anak secara sederhana tidak bereaksi/merespon kedengkian dan rasa kejahatan
untuk melihat orang lain jatuh/gagal/kalah; malah semangat mereka adalah “semuanya adalah
pemenang atau tidak ada dari kami yang menang sama sekali”. Penelitian Marcus-Hill-Zeigler
juga memperkenalkan data bahwa lansia lebih minim/rendah rasa dengkinya, dibawah orang
dewasa.

Walaupun ilmuwan evolusioner sempat dibuar rancu/galau/bingung dengan sifat dengki –


ternyata ide fair play pada akhirnya akan mengakhiri/menutup siklus system secara
mumpuni/puguh (referensi penelitian 2014 tentang sepasang ilmuwan yang membuat permainan
virtual dengan tugas membagi-bagi sejumlah nominal uang dimana pemain pertama harus
menentukan bagaiman uang itu akan dihabiskan, dan pemain kedua harus menerima atau
menolak tawaran tersebut -; jika pemain pertama menerima, maka uang akan dibagi rata, jika
menolak – kedua pihak tidak mendapat uangnya).

Penelitian ini secara distinktif menyimpulkan bahwa kedengkian ekstrim dan tidak berbalas
memudarkan harapan permainan kooperatif, tingkatan kedengkian berangkat jauh untuk
memodulasi dan menyemangati pertukaran adil/arif antar pemainnya. Rasionalisasinya masuk
akal – jika seorang berkelakuan dengki dan menyangkal hadiah untuk orang lain, yang lain
termotivasi untuk memastikan kedua pihak mendapatkan hal apapun.

33
7. Manusia bukanlah makhluk hidup “hewan” yang bersifat/berperilaku dengki.

Subjek debat antar ilmuwan tentang apakah hewan merasakan dengki seperti halnya manusia,
secara klasik alamiah terjawab dengan kasus monyet Capuchin yang menghukum anggota
monyet lain di kelompoknya jika ada yang berbuat dengki terhadap kelompok sosialnya,
walaupun itu berarti kehilangan penuh menyeluruh akan sumber makanan. Sedangkan untuk
tumbuhan parasite Copisodoma floridanum yang kana bertelur embrio sekitar 3000 buah per
telut dan akan eksis/lahir larva prajurit yang steril dan mematikan larva lainnya yang jauh namun
melindungi/menolong larva yang mereka anggap ‘saudara’ atau ‘keluarga’ – proses proliferasi
ini – sama dengan bakteriosin, ketika ‘saudara’ larva tentara meninggalkan tuan rumah
kepompongnya – mereka mati.

9. Sifat dengki tidak sama dengan dendam.

Dalam studi tahun 2007, grup ilmuwan Jerman melaksanakan eksperimen dimana simpanse
ditempatkan didalam kandang dengan akses makanan dari meja geser diluar kerangkeng – meja
diikat dengan tali dan ketika ditarik menyebabkan makanan tumpah ruah ke lantai. Kera –kera
hampir tidak menarik tali waktu mereka sedang makan, namun waktu kera kedua dari kandang
disampingnya mencuri makanan itu dengan menggerakkan meja yang jauh dari jangkauannya,
kera pertama akan menarik tali tambang tersebut dan membuat makanan jatuh 50% setiap
waktunya. Kemudian, disaat kera kedua sedang memakan dari meja dan kera pertama
dilarang/dihalangi dari mendapatkannya, maka kera pertama tidak akan berupaya mengakibatkan
makan siang kera lain tumpah ke lantai. Lalu ditarik keseimpulan bahwa “simpanse pendendam
namun tidak dengki”. Mereka punitif terhadap kera lainnya yang kelihatannya hidup lebih
“enak” daripada kondisi mereka.

10. Sifat kedengkian mungkin akan menjadi “permainan” manusia dalam waktu jangka panjang
dan akan berada disini cukup lama.

Sifat dengki secara definitif bermakna jika aktornya tidak mendapatkan keuntungan dari sikap
itu, dan faktanya akan potensial kehilangan faedah dengan beraksi secara dengki dalam tara
kramanya. Namun alasan sifat dengki bisa Berjaya melewati evolusi dan telah turun temurun
diwariskan kepada turunan generasi karena adaya pertimbangan jangka panjang: Jika anda
dianggap sebagai seseorag yang akan membalas dendam kepada orang lain dengan menanggung
segala konsekuensinya, orang akan tahu untuk tidak mencari masalah, memulai ‘berurusan’ atau
mencoba berani ‘macam-macam’dengan anda.

Individu lain akan lebih tidak berusaha bersaing dengan anda, karena mereka tahu mengganggu
anda akan ‘merusak’ kehidupan mereka – reputasi anda sebagai orang yang dengki akan
melampaui anda. “Mungkin bukan dengki kalau kita berorientasi jangka panjang”, Frank
Marlow menyarankan – seorang antropolog Biologi di Universitas Cambridge – dalam
wawancaranya untuk majalah The New York Times. “Jika anda memiliki reputasi sebagai orang
yang jangan “disentuh” dan ke depannya tidak ada yang mau “berurusan” dengan anda – pada

34
akhirnya kenyamanan ini akan sepadan dengan harga kehormatan dan kepercayaan yang harus
dibayar”.

2 How Spiteful Are You? New Research, and Lessons from History, Highlight the Importance of
Spite
https://www.psychologytoday.com/us/experts/david-marcus-phd
https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-dark-side-personality/201405/how-spiteful-are-
you
Secara kebetulan dengan faktor kejutan, hanya terdapat sangat sedikit penelitian psikologis yang
memeriksa perbedaan individual dalam sifat dengki. Rekan kerja psikolog David Marcus Virgil
yaitu Zeigler-Hill, Sterett Mercer dan Alyssa Norris belakangan ini mengembangkan kuesioner
skala Sifat Dengki dan luarannya betapa para partisipan sangat sepakat dengan pernyataan
seperti “It might be worth risking my reputation in order to spread gossip about someone I did
not like” dan “I would be willing to take a punch if it meant that someone I did not like would
receive two punches.” (keuntungan Paradigma Sifat Dengki). Partisipan yang tinggi di hasil
skala kedengkiannya akan secara linear memperoleh nilai tinggi pada alat ukur agresi, narsisisme
dan psikopati.

3. Psychological Assessment The Psychology of Spite and the Measurement of Spitefulness


David K. Marcus, Virgil Zeigler-Hill, Sterett H. Mercer, and Alyssa L. Norris Online First
Publication, February 17, 2014. http://dx.doi.org/10.1037/a0036039

Marcus, D. K., Zeigler-Hill, V., Mercer, S. H., & Norris, A. L. (2014, February 17). The
Psychology of Spite and the Measurement of Spitefulness. Psychological Assessment. Advance
online publication. http://dx.doi.org/10.1037/a0036039. The Psychology of Spite and the
Measurement of Spitefulness David K. Marcus Washington State University Virgil Zeigler-Hill
Oakland University Sterett H. Mercer University of British Columbia Alyssa L. Norris
Washington State University.
https://www.researchgate.net/publication/260251335_The_Psychology_of_Spite_and_the_Meas
urement_of_Spitefulness

35
David Marcus, Ph. D (kiri) & Virgil Zeigler-Hill, Ph. D (kanan)

Sifat dengki adalah konstruk yang amat kurang diteliti dan juga sangat diabaikan secara lalai
virtual didalam personaliti, sosial, dan literatur Psikologi Klinis. Studi ini membawakan laporan
diri dari instrumen berupa kuesioner Skala Kedengkian untuk mengakses perbedaan individual
dalam sifat dengki – skala ini dites dalam sampel besar sejumlah 946 mahasiswa kampus dan
validasi silang dalam sampel nasional dari 297 warga negara usia dewasa. Skalanya konsisten
secara internal di kedua sampel dan faktor analisis mendukung kumparan inisial/awal sebanyak
31 buah pernyataan – analisis teori item dipakai untuk mengindentifikasi performa terbaik dari
31 buah soal original pada sampel universitas dan mereduksi skala sampai menjadi 17 nomor
saja.

Tes invarian pengukuran menunjukkan bahwa item yang berfungsi sama untuk kalangan
universitas dan umum nasional, lintas jender dan etnik minortitas maupun mayoritas. Pria
terlaporkan lebih dengki dibandingkan wanita, dan ras minoritas etnik juga terbaca lebih tinggi
rasa kedengkiannya daripada warga etnik mayoritas. Menyeberangi dua sampel, kedengkian
positif statusnya dikaitkan dengan agresi, Machiavellianisme, narsisisme dan rasa tidak bersalah
atau malu dan berdosa, kesetujuan dan kesadaran/kewaspadaan introspektif (muhasabah) diri.
Secara ideal, Skala Kedengkian ini akan mampu meramalkan perilaku dalam kedua setting
laboratorium (permainan ultimatum, paradigma agresi) dan kehidupan sehari-hari –
mengkontribusikan untuk diagnosis kelainan/gangguan perilaku dan kelainan perilaku
melawan/membangkang, juga menginspirasi riset berikutnya untuk perilaku destruktif yang
terlupakan ini.

4. Psychological Study of Spite: 'Virtually ignored' by researchers. April 23, 2014, Source:
Washington State University. Journal Reference: David K. Marcus, Virgil Zeigler-Hill, Sterett
H. Mercer, Alyssa L. Norris. The Psychology of Spite and the Measurement of Spitefulness.
Psychological Assessment, 2014; DOI: 10.1037/a0036039
https://www.sciencedaily.com/releases/2014/04/140423101850.htm

Terlepas dari dampak kecil ataupun besar akan sifat dengki, dan kekuasaan mutlaknya dalam
mengendalikan manusia, masih tetap tidak diapresiasi secara virtual oleh para Psikolog Sosial,
Kepribadian dan Klinis sehingga hampir langkanya hasil studi mengenai topik tematik terkait
(oversight) dan juga kurang “customized” / mandiri karena masih biased mengujicobakan dengan
tes-tes sifat kepribadian lain.

36
5. Psychologists Define the ‘Dark Core of Personality’. FeaturedPsychology. September 26,
2018. Source: University of Copenhagen. https://psycnet.apa.org/record/2018-62012-001

• Kolaborasi peneliti Jerman-Denmark (Ingo Zettler, Professor Psikologi di University of


Copenhagen, dan dua kolega Jerman, Morten Moshagen from Ulm University dan
Benjamin E. Hilbig from the University of Koblenz-Landau) telah yakin merumuskan
denominator standar untuk “sembilan sifat bagian unit kepribadian gelap” yang telah
menyadur faktor-D, laporan riset, dan bisa diartikan sebagai tendensi khas untuk
mengoptimalkan tujuan personal dan minat dari orang lain, sering untuk ke tahap senang
diatas luka/kerugian/sakit hati orang lain. Kesembilan tendensi perilaku “dark core” yang
sifatnya saling komplementer diantaranya adalah egoisme, Machiavellianisme,
narsisisme, psikopati, sadisme, kedengkian, perilaku amoral/tidak etis, kebanggaan
psikologis dan cinta diri sendiri.

Dark Factor (D-Factor) Figure. NeuroscienceNews.com; image is credited to University of


Copenhagen.

37
6. Research explores spitefulness, an understudied 'dark' personality trait.
https://oakland.edu/research/news-archive/research-explores-spitefulness-an-understudied-dark-
personality-trait

Profesor Psikologi di Universitas Oakland, Virgil Zeigler-Hill,


Ph.D., meneliti konstruk di studinya tentang "The Psychology
of Spite and the Measurement of Spitefulness”, dimana
kedengkian ditinjau sebagai kehendak untuk menyebabkan
luka pada diri sendiri dalam upaya menyakiti orang lain –
batasannya sungguh sulit untuk diukur.

“Sebagian besar konstruk kepribadian posisinya/titiknya


berada dalam satu kontinum,” tukas beliau. “Hal ini juga Virgil Zeigler-Hill, Ph.D., an
terapliaksikan pada sifat dengki dimana kebanyakan manusia Associate Professor of Psychology
sangat sarat dengan perasaan dengki dan selebihnya justru at Oakland University, delves into
bahkan tidak bersifat dengki sama sekali.” the "dark" personality traits such
as narcissism, spite, and
Studi pelaporan diri Skala Kedengkian yang diadministrasikan Machiavellianism.
kepada 946 mahasiswa dan validasi silangnya dengan 297
orang warga usia dewasa dapat menggambarkan asumsi
apakah kedengkian kita terdeteksi diatas, dibawah atau sekitar rata-rata. Temuan riset ini
merekomendasikan bahwa kedengkian bisa menjadi konstruk kepribadian krusial (Zeigler-Hill,
co-author yang bermitra dengan David K. Marcus & Alyssa L. Norris dari Washington State
University, beserta teman Sterett H. Mercer dari University of British Columbia) dengan luaran
di bawah ini tentang orang-orang yang nilai tesnya diatas rata-rata Skala Kedengkian cenderung
untuk berperilaku sebagai berikut:

• kurang menjaga diri dari menghindari/menjauhi menyakiti orang lain ketika membuat
keputusan,
• kurang memahami alasan dibalik perbuatan orang lain yang mungkin menyebabkan
perilaku dengki,
• sebagian besar kaum pria,
• kelompok usia muda lebih rentan/riskan dengki dibandingkan dengan yang tua.

Diresmikan juga suatu korelasi positif dengan agresi, psikopati, Machiavellianisme, narsisisme,
dan bebas rasa malu-salah berbarengan dengan koneksi/pertalian terhadap keberhargaan diri
(self-esteem), kebiasaan merasa bersalah, ketersetujuan dan keinginan sadar untuk beradab baik
dan benar. Pendekatan paling efisien dan efektif dalam menangani orang dengki adalah dengan
memperlakukan mereka secara adil, arif dan bijaksana (Zeigler-Hill).

38
Instrumen Spitefulness Scale (Kuesioner Skala Sifat Kedengkian)

Instructions: Indicate how much you agree with each of the statements IN GENERAL by
selecting the appropriate response.

Please choose a response for each item using the rating scales provided below.

(strongly disagree) 1……….2……….3……….4……….5 (strongly agree)

1. It might be worth risking my reputation in order to spread gossip about someone I did not
like.

2. If I am going to my car in a crowded parking lot and it appears that another driver wants
my parking space, then I will make sure to take my time pulling out of the parking space.

3. I hope that elected officials are successful in their efforts to improve my community even
if I opposed their election. (reverse-scored)

4. If my neighbor complained that I was playing my music too loud, then I might turn up the
music even louder just to irritate him or her, even if meant I could get fined.

5. If I had the opportunity, then I would gladly pay a small sum of money to see a classmate
who I do not like fail his or her final exam.

6. There have been times when I was willing to suffer some small harm so that I could
punish someone else who deserved it.

7. I would rather no one get extra-credit in a class if it meant that others would receive more
credit than me.

8. If I opposed the election of an official, then I would be glad to see him or her fail even if
their failure hurt my community.

9. I would be willing to take a punch if it meant that someone I did not like would receive
two punches.

10. I would be willing to pay more for some goods and services if other people I did not like
had to pay even more.

11. If I was one of the last students in a classroom taking an exam and I noticed that the
instructor looked impatient, I would be sure to take my time finishing the exam just to
irritate him or her.

12. If my neighbor complained about the appearance of my front yard, I would be tempted to
make it look worse just to annoy him or her.

39
13. I would take on extra work at my job if it meant that one of my co-workers who I did not
like would also have to do extra work.

14. I would be happy receiving extra-credit in a class even if other students received more
points than me. (reverse scored)

15. Part of me enjoys seeing the people I do not like fail even if their failure hurts me in some
way.

16. If I am checking out at a store and I feel like the person in line behind me is rushing me,
then I will sometimes slow down and take extra time to pay.

17. It is sometimes worth a little suffering on my part to see others receive the punishment
they deserve.

7. Spiteful and Contemptuous: A New Look at the Emotional Experiences Related to


Psychopathy. Carlo Garofalo*, C.S. Neumann, V. Zeigler-Hill, J. R. Meloy - Developmental
Psychology, p. 173-184, Journal: Personality Disorders. Theory Research and Treatment.
Garofalo, C., Neumann, C. S., Zeigler-Hill, V., & Meloy, J. R. (2019). Spiteful and
contemptuous: A new look at the emotional experiences related to psychopathy. Personality
Disorders. Theory Research and Treatment, 10(2), 173-184. https://doi.org/10.1037/per0000310.
https://research.tilburguniversity.edu/en/publications/spiteful-and-contemptuous-a-new-look-at-
the-emotional-experiences

Psikopati telah lama dikonseptualisasikan dalam konteks absensi emosi. Akan tetapi, studi
termutakhir mengusulkan bahwa pengalaman emosi negative lain mungkin lebih akan lekat
kaitannya dengannya psikopati daripada yang diketahui sebelumnya, walaupun ada pengetahuan
terbatas tentang pengalaman emosi tersebut. Temuan di tahun 2019 lebih luas membahas
pengertian akan pengalaman emosional, yang menonjolkan relevansi konsentrasi emosi negative
yang dikondisikan – terutama yang interpersonal secara natural dan mengandung komponen
antagonistik.

7. Why Are We Spiteful, Even Though It Bites Us Back? (April 23rd, 2014 by Maanvi Singh)
https://www.npr.org/sections/health-shots/2014/04/23/306240840/why-are-we-spiteful-
even-though-it-bites-us-back

*Referensi: Kisah tokoh film Maleficent, restoran New York, perceraian buruk terhadap hak asuh anak,
tunjangan bulanan, dan harta gono-gini, dsb.

Hasil penelitian atas kedengkian orang pada umumnya bisa dipicu oleh sifat agresif dan
minimnya empati terhadap sesama manusia dan bisa sangat destruktif (David Marcus, Ph.D.,
Profesor Fakultas Psikologi di Washington State University, Amerika Serikat).

40
Contohnya, Faktor - D tinggi dapat secara dominan memanifestasikan dirinya sebagai narsisistik.
Psikopati dan 8 perilaku sifat gelap lainnya yang menjadi patokan perilaku yang dihubungkan
dengan perilaku gelap. Pada implementasinya, hal ini berarti individu yang menampilkan
kemiripan untuk perilaku buruk (seperti senang/puas mempermalukan orang lain) akan juga
terlibat aktif melakukan aksi kejahatan lainnya (mencuri, berbohong, atau selingkuh/curang,
berkhianat, dll.)

Sembilan kelompok perilaku gelap tidak serupa sama sekali, dan masing-masing memberikan
jenis/ciri perilaku yang khusus/khas. Namun bagaimanapun,ilmu pengetahuan tentang “dark
core” ini dapat berperan vital untuk para peneliti dan terapis yang di dunia kerjanya
berkecimpung dengan orang-orang berperilaku inti gelap, dimana faktor - D mempengaruhi tipe-
tipe berbeda dari perilaku manusia yang tidak senonoh/semena-mena/sembrono, seperti
diproyeksikan media sosial, misalnya.

“Kami melihatnya, sebagai contoh, pada kasus kekerasan ekstrem, atau pelanggaran
peraturan, menipu, dan berdusta serta perilaku koruptif lainnya dalam sektor korporat atau
publik. Disini, pengetahuan tentang faktor-D seseorang bisa menjadi alat yang adekuat, untuk
menelusuri kecenderungan seseorang akan kembali menyinggung perasaan atau tergugah
melakukan tindakan yang membuat atau memperparah masalah,” kata beliau.

9. “Psychologists Define The Dark Core of Personality” by Brixen, Janni & Moshagen, Morten;
Hilbig, Benjamin. E.; and Zettler, Ingo in Psychological Review. NeuroscienceNews.com.,
University of Copenhagen, September 26, 2018.
DOI: 10.1037/ https://neurosciencenews.com/personality-dark-core-9919/(diakses September 26,
2018). [/cbtab][/cbtabs]rev0000111.
https://neurosciencenews.com/neuroscience-terms/spitefulness/

Tentang Kesejahteraan Subjektif/Kebahagiaan Psikologis (Subjective Well-Being)

1. Advances in Subjective Well-Being Research (Ed Diener, Shigehiro Oishi & Louis Tay)
Journal on Nature Human Behaviour, Volume 2, pages 253–260 (2018).
https://www.nature.com/articles/s41562-018-0307-6

Sains empiris tentang kesejahteraan subjektif, secara popular dinamakan kebahagiaan atau
kepuasan hidup, telah subur bertumbuh dalam dekade kemarin. Area kunci penelitian yang akan
dikembangkan dan validitas serta reliabilitas pengukurannya juga menantang untuk diakomodir
sebagai aspirasi. Prediktor kesejahteraan subjektif seperti temperamen, penghasilan dan
hubungan sosial suportif. Kesejahteraan subjektif telah diidentikkan dengan
kesehatan/stamina/vitalitas fit/prima dan panjang umur, hubungan sosial yang lebih bermutu,
kinerja dan kreativitas. Budaya mempunyai hierarkhi/level universal dan komunitas, yang tidak
hanya berbeda tingkat kesejahteraannya tapi juga dalam tingkatan tipe kesejahteraan subjektif
yang paling dinilai berkualitas oleh manusia. Lebih jauh lagi, dua predictor unik dari
kesejahteraan subjektif di bermacam ragam kelas masyarakat. Kebijakan publik juga akan

41
membantu untuk mengadopsi dan mengadaptasi level strata sosial dalam mengupas tuntas dalam
sains dan penelitian di masa depan.

2. New Findings and Future Directions for Subjective Well-Being Research, November
2012, American Psychologist 67(8): 590-7, DOI: 10.1037/a0029541. Source: PubMed.
Author: Ed Diener, University of Illinois, Urbana - Champaign.
https://intranet.newriver.edu/images/stories/library/Stennett_Psychology_Articles/Recent
%20Findings%20on%20Subjective%20Well-Being.pdf

Temuan terbaru atas adaptasi mengisyaratkan pertanda bahwa habituasi untuk kondisi-kondisi
tidak selalu komplit dalam beberapa kasus bisa memiliki efek besar dan berkesinambungan
tentang SWB. Temuan pentingnya adalah SWB tinggi menguntungkan kesehatan, langgeng usia,
kewarganegaraan dan hubungan sosialnya. Karena manfaat SWB sebagaimana efek kuat kondisi
sosialnya yang mengikuti, dimana sekarang secara serius dipikirkan oleh bangsa. Akhirnya,
kemajuan metodologi perlu maju terus melampaui konklusi berdasarkan korelasi kros-seksional
sederhana yang dibangun oleh skala pelaporan diri global. Setiap temuan menimbulkan
pertanyaan berbobot untuk penelitian berikutnya. (PsycINFO Database Record (c) 2012 APA, all
rights reserved).

3. Subjective Well-Being (SWB); Reference work entry - DOI: https://doi.org/10.1007/978-


94-007-0753-5_2905
https://intranet.newriver.edu/images/stories/library/Stennett_Psychology_Articles/Recent
%20Findings%20on%20Subjective%20Well-Being.pdf

Subjective Well-Being (SWB) adalah persepsi pribadi dan pengalaman respons positif dan
negative dan evaluasi kognitif spesifik maupun global atas kepuasan dengan hidup.
Ringkasannya: “a person’s cognitive and affective evaluations of his or her life” (Diener, Lucas,
& Oishi, 2002, p. 63). SWB ikhtisarnya adalah evaluasi individual akan kualitas hidup (QOL)
dan maka dari itu karenanya berkonversi dengan definisi QOL.

Tentang Hasad (Psikologi Islam)

1. Journal of Psychology & Psychotherapy Journal of Psychology & Psychotherapy. ISSN:


2161-0487. Hasad (Malicious Envy) and Ghibtah (Descent Envy): History, Culture and
Philosophy. Khan and Ghani, J Psychol. Psychother. 2018, 8:2. DOI: 10.4172/2161-
0487.1000337. Iqbal Akhtar Khan1 * dan Umair Ghani2 1 Independent Scholar, Lahore,
Pakistan 2 Department of English, Government College for Boys, Gulberg Lahore,
Pakistan.
https://www.longdom.org/open-access/hasad-malicious-envy-and-ghibtah-descent-envy-
history-culture-and-philosophy-2161-0487-1000337.pdf

Hasad, kata bahasa Arab, konjugasi dari “ha-sa-da” yang berarti “tidak menyukai seseorang
yang memperoleh berkah/rahmat/rejeki/kebahagiaan atau naluri/uneg-uneg yang menginginkan

42
kebahagiaan itu direnggut dari orang lain bahkan diputar ke dirinya sendiri (bahasa Inggris: envy,
=cemburu, iri hati). Klasifikasi dari rasa iri yang kejam/keji/jahat dan Ghibtah (iri hati yang
diturunkan/diteruskan) didasarkan oleh penekanan pada subjek “lawan/rival” atau “kebaikan”,
secara terpisah. Fokus terhadap label/stigma/strereotipe “rival/lawan” adalah luaran dari subjek
negatif yang “memberatkan ke bawah/menjerat lebih rendah”. Pendekatan moral yang ramah
akses adalah “hasad” (iri/dengki yang jahat). Secara konversif, fokus kebaikan adalah hasil dari
emosi konstruktif yang memproduksi energi proaktif yang membuat subjek merasa terdorong
untuk “bangkit”, menciptakan proses pengembangan diri. Iri hati secara simultan adalah emosi
yang mempesona dan mengerikan dengan faset positif-negatif; tergantung pada doktrin Khair
(good) dan Sharr (evil). Pencirian “Envy Spot of The Brain” dinilai sebagai terobosan ilmiah
yang hebat dan cukup memungkinkan bahwa prosedur operasi “Deep Brain Simulation”
sekarang berkegiatan sukses untuk memberi tindakan variasi gejala/symptom neurologis
(terutama penyakit Parkinson), akan mampu terampil mengobati iri hati/dengki – dan impian
akan “envy free set-up”/ (pengaturan bebas terlepas sifat iri/dengki) utopiannya akan terrealisasi.

2. 1-30-2018 The Implementation of Mental Health Concept by Imam Al Ghazali in Islamic


Counseling Guidance Aliah B. Purwakania Hasan Universitas Ibn Khaldun, Bogor,
Indonesia, aliah@uai.ac.id. Abas Mansur Tamam Universitas Ibn Khaldun, Bogor,
Indonesia Follow this and additional works at: https://scholarhub.ui.ac.id/jsgs
Recommended Citation Hasan, Aliah B. Purwakania and Tamam, Abas Mansur (2018) "The
Implementation of Mental Health Concept by Imam Al-Ghazali in Islamic Counseling
Guidance," Journal of Strategic and Global Studies: Vol. 1: No. 1 , Article 1. DOI:
10.7454/jsgs.v1i1.1000. Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/jsgs/vol1/iss1/1

3. Journal of Strategic and Global Studies | Volume 1, Number 1, January 2018 1 The
Implementation of Mental Health Concept by Imam Al-Ghazali in Islamic Counseling
Guidance Aliah B. Purwakania Hasan1*, Abas Mansur Tamam2 1Universitas Ibn
Khaldun, Bogor, Indonesia 2Universitas Ibn Khaldun, Bogor, Indonesia
https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/ijni/article/view/1187/pdf_78

Isu kesehatan mental telah menjadi masalah yang transformatif dan transendental di lingkungan
masyarakat dan wabahnya merakyat walaupun “understated”/kurang digubris – warga dapat
berjalan dan nampak sehat-produktif-fungsional, namun 85% secara psikis di dalamnya sakit
(WHO, 2015). Semua itu asumtif kasat mata dan “more than meets the eye” – masih ada
“lembah/lereng lautan dibawah ujung puncak gunung (Sigmund Freud-“tip of the iceberg”).
Menurut perspektif Islam Imam Al-Ghazali, kesehatan mental dapat ditilik sebagai modul
menuju akidah yang solid, pembebasan dari penyakit hati, penggemblengan karakter dan moral
yang mulia dalam hubungan sosial, dan pencapaian kebahagiaan dunia akhirat. Artikel ini
mendiskusikan tentang psikodinamika pemikiran Imam Al-Ghazali, disesuaikan untuk
kebutuhan panduan konseling psikologis.

43
4. Journal of Islamic Ethics 2 (2018) 97–109. Islamic Psychology: Towards a 21st Century
Definition and Conceptual Framework. Carrie York Al-Karam Ph. D; Faculty at
University of Iowa & Director of Al-Karam Lab for Islamic Psychology
carrieyork21@hotmail.com
https://scholarhub.ui.ac.id/cgi/viewcontent.cgi?article=1000&context=jsgs

Penulis berupaya memberikan kritik dan rangkuman berbagai macam cara Psikologi
Islam didefinisikan & dikoseptualisasikan, lalu mengajukan dan membahas konten model
konseptual yakni The Multilevel Interdisciplinary Paradigm (MIP), sebagai ceruk/niche
potensial yang menyatukan benag merah dari ranah lintas studi yang bermunculan – yang
juga berlaku sebagai metodologi. Rekomendasi untuk kiat-kiat mempelajari Psikologi
Islam juga disajikan.
• Al-Qur’an mengenali pentingnya emosi dan kebutuhannya untuk disiplin melalui
iman dan nalar yang benar. Emosi yang tidak moderat kadang tidak bisa dielakkan,
namun kita perlu mengatur “suhu” nya sehingga tidak akan memblok jiwa kita secara
negatif hingga mengganggu perkembangan spiritual kita. Banyak contoh perjuangan,
ujian dan pengorbanan para Nabi dan Rasul namun mereka selamat bermodalkan
bekal percaya akan pertolongan dan pengampunan Allah. Melalui ilham Psikologi Al-
Qur’an kita belajar menempatkan diri kita dalam worldview (sudut pandang dunia)
yang lebih besar secara metafisik, berdimensi suci/sakral, dimana kehidupan kita
menjadi ‘hamil’ dengan makna dan kita menjadi kendaraan penyampai pesan Al-
Qur’an.
• Kita menjalani hidup kita dengan resonan dengan matriks makna dan kita tawakal,
ikhlas dan sabar menerima takdir/rencana Allah. Kini kita tergerak untuk
menyaksikan pertarungan kita seperti refleksi/berkaca dalam semua tahapan
penciptaan-Nya. Essay ini mendidik kita untuk semua al-Iṣfahānī, emosi tidak tembus
‘air’/’tahan bocor’ (79 Al-Iṣfahānī, al-Dharīʿah, 336 80 Al-Iṣfahānī, al-Dharīʿah,
337–38) – penyembuhan psikospiritual tidak hanya memulihkan jiwa kepada tahap
keseimbangan kognisi-afeksi-konasi, atau membantu seseorang menjadi tidak
adaptif/luwes merespon sikon, namun akan membantu jiwa bertransendensi
(melewati/diatas batas) dan memasuki wilayah rohani yang lebih agung berjalan
selaras dengan fitrah manusia secara lahiriah.
• Kita telah mempelajari bahwa emosi irasional seperti rasa marah, takut dan sedih atau
kecewa dapat dipulihkan dengan merubah perspektif seseorang. Karena keadaan
emosional terkait dengan cara kita memandang dunia, maka kita harus menyesuaikan
kembali pola pikir dan mengingat bahwa kita telah salah menjunjung
tinggi/mendewakan/mengelu-elukan dunia dan melupakan azas kebaikan yang akan
meghantar kita kepada tidak hanya kebahagiaan dunia namun pun akhirat, tujuan
akhir hakiki.

44
• Dengan melestarikan pembelajaran edisi/versi Islamik klasik para ahli etika dapat
belajar mengolah/menata ulang (reengineering) banyak tentang daya emosi manusia
dalam merawat/memelihara karakter moral dan penyembuhan jiwa.
• Lulus dari langkah pertama, dimana ada kemiripan dengan Cognitive Behavioral
Therapy (CBT) yang diarahkan etikanya oleh pandangan dunia Al-Qur’an yang
menuntut perubahan dan pembersihan qalbu’ (hati) seperti hidayah edifikasi untuk
bertransformasi atas hukum Islam (Sacred Law) dengan struktur 4-M: (Mu’ahadah
(janji dengan Allah), Mujahadah (bersungguh-sungguh, teguh hati menjalankan
ibadah dan berkarya amal shaleh), Muraqabah (merasa selalu diawasi Allah dalam
taqwa dan jujur terbuka), Muhasabah (introspeksi diri dalam hitungan amal), dan
Mu’aqabah (pemberian sanksi terhadap diri sendiri apabila berbuat salah/dosa).
(Copyright © 2020. Yaqeen Institute for Islamic Research. Perspectives on Islamic
Psychology: Al-Raghib al-Isfahani on The Healing of Emotions in the Qur’an) yang
akhirnya melembuthaluskan hati keras menyambut sifat tawadhu’, (rendah
hati/humble), tadharru’ (takut Allah), tawassul (mendekatkan diri kepada Allah
dengan menjalankan ketaatan), tadabbur (mencermati/mengamati dengan akhirnya),
tafakkur (menyelami pasif, vakum), ke tadzakkur (mengingat dan menghayati), dan
semacamnya.

[1] Syeikh Abdullah Nasih ‘Ulwan dalam bukunya ‘Ruhniyatut Da’iyah’.


[2] Komentar Imam as Syaukani dalam kitab tafsirnya ‘Fathul Qadir’ dan Syeikh Ali As-Shabuni dalam kitab
tafsirnya ‘Shafwatut Tafaasir’.
[3] Kitab tasawuf, “Risalatul Qusyairiyah”.
[4] Syeikh Abdul Kadir Jailany memberikan nasehat kepada kita sebagaimana yang terdapat dalam kitabnya Al
Fathu Arrabbaani wa Al Faidh Ar Rahmaani.
[5] Malik bin Nabi dalam bukunya Syuruth An Nahdhah.

Uraian tentang perkembangan kemajuan diskusi dan hasil penelitian untuk topik yang akan
diteliti, hingga yang terkini. Buatlah skema pendekatan dan debat teoretis bila ada. Berikan juga
temuan-temuan empiris yang dominan dari penelitian sebelumnya. Bagaimana anda meletakkan
penelitian ini dalam diskusi teoritis dan penelitian yang telah ada?

Pertama, kebanyakan penelitian yang sudah diselenggarakan dengan topik pilihan penyusun
lebih merunut kepada hubungan superficial/permukaan sampai ke intim antar pasangan untuk
aspek keterbukaan/pengungkapan diri (self-disclosure), sehingga disini penyusun berkehendak
melebarkan jangkauan teoritis agar teori dapat secara fleksibel membahas hubungan pertemanan
atau persaudaraan bahkan kekeluargaan.

Kedua, dari temuan empiris yang dominan dari penelitian sebelumnya adalah bahwa keterbukaan
diri (self-disclosure) adalah aspek terpenting dalam hubungan manusia – namun seketika dapat
menjadi bumerang (backfire) karena bagi yang kepercayaan diri dan keterikatan emosionalnya
masih kecil / lemah atau terkesan dipaksakan dan tidak natural, maka subjek akan dianggap
sebagai pribadi yang insecure (tidak nyaman dengan dirinya/tidak percaya diri), beresiko tidak
disukai oleh lawan bicara dan bisa mendapatkan penolakan karena tidak lulus diterima oleh

45
pihak lainnya yang juga terbuka (Steinberg, 2007) – pemilihan waktu yang tepat dan
keterampilan sosial menentukan kualitas pengungkapan diri dan timbal balik yang mutual antar
individu, bukan hanya niat semata. Teori and model yang saling mendukung adalah
Communication Privacy Management Theory (CPM), Social Penetration Theory (SPT), Social
Exchange Theory (SET) and Johari Window Pane Model.

Ketiga, spitefulness (dengki) ditemukan berasosiasi negatif dengan komponen sosial-perseptual


dan sosial-kognitif dari Teori Pikiran sehingga individu dengan kecenderungan dengki
menampilkan kesulitan besar dalam menyelami kondisi mental orang lain. Seperti dua sisi mata
uang, altruisme dan kedengkian cukup relatif. Jika kita suka menolong dan ini bisa bersifat
genetik turun temurun, maka kita juga cenderung bisa membalas keburukan orang lain untuk
kepuasan pribadi.

Kedengkian juga dapat selamat bertahan apabila dilestarikan dalam populasi kecil dan juga
berkelanjutan di kelompok besar apabila lingkungannya ‘tepat’ (pretensius, penuh intrik,
permainan/politik, dll. (Bester and Gu¨th, 1998). Sifat dengki/iri yang tidak dapat diobservasi
(intangible) tidak akan dapat bertahan dan jika teridentifikasi maka pilihannya tidak harus
tergantung pada rasa dengki/iri orang lain alias bisa atas rasa dengki/dendam pribadi - faktor
kesalahpahaman, mencari alternatif lain menjadi tugas untuk eksperimen berikutnya (Guth and
Huck, 1997).

Kedengkian hati juga bersifat fatal karena secara tipikal konsistensinya berlanjut seiring dengan
berlalunya waktu dan tidak ada yang ambigu/ambivalen di tengah abu-abu, kontinum sentimen
dengki hanya dari maksimal ke minimal (15 Agustus, Jurnal PLoS ONE - Erik Kimbrough of
Simon Fraser University in Canada and Philipp Reiss of Maastricht University in the
Netherlands).

Keempat, dalam memetakan struktur fundamental dari kesejahteraan subjektif (subjective well-
being) adalah agenda multitasking yang memerlukan syarat dan ketentuan sintesis dari beragam
sumber pembuktian. Untuk kali ini, yang ditawarkan sementara adalah kesimpulan provisional
bahwa ada sesuatu yang lebih diluar sana daripada (cuma) merasa bahagia di
permukaan/superfisial dan puas dalam mengarungi bahtera kehidupan di dunia.

Kelima, spite (dengki/iri) ironis justru penting kehadirannya karena akan mengembalikan
motivasi dan keteraturan dengan fungsi hukuman altruistik, pun sebagai alat penegak keadilan
dan barometer kebijaksanaan walaupun dengan cara egois seperti cara beroperasi mafia/ “the
wise guys/the mobster squads” yang memimpin dengan membuat rasa ketakutan sehingga di
tempat kekuasaan mereka tidak ada kriminalitas dari pihak luar – karena dari, untuk dan oleh
merekalah pergerakan ekonomi dikendalikan.

Keenam, Model Tripartit dari Subjective Well-Being (SWB) yang berupa kuesioner terlapor
pribadi berisikan tiga hal distinktif, yaitu dua reaksi emosional seperti afek positif yang sering
didapat dan afek negatif yang jarang dihadapi, kemudian evaluasi kognitif seperti kepuasan

46
hidup (Diener, 1984) - nantinya dapat dikonsolidasikan pelengkap atau penyempurna aspek
kesejahteraan psikologis.

G. Metode Penelitian

6. Metode Penelitian dan Instrumen yang Akan Digunakan dan Alasannya

Penelitian ini bersifat bottom-up dengan menerapan prosedur analisis tehnik sequentialed method
design, yaitu data yang diperoleh melalui pendekatan kualitatif riset sosial/ grounded theory
dilanjutkan dengan pendekatan kuantitatif yang merupakan serangkaian prosedur dalam
menggali konsep keterbukaan diri (self-disclosure), kedengkian/iri hati (spitefulness) dan
kesejahteraan psikologis (subjective well-being) pada generasi Y di wilayah Jabodetabek. Hasil
kualitatif merupakan hal yang utama, sedangkan hasil kuantitatif dijadikan sebagai data bukti
(evidence) dalam penelitian ini.

Data dikumpulkan melalui studi pustaka, wawancara mendalam (in-depth interview), FGD,
observasi, kuesioner dan skala. Hasil-hasil penelitian dan karya-karya terdahulu tentang
keterbukaan diri (self-disclosure), kedengkian/iri hati (spitefulness) dan kesejahteraan psikologis
(psychological well-being) dikaji melalui studi pustaka sehingga didapatkan sebuah kerangka
teoritik mengenai kultur dan karakter masyarakat generasi X di DKI Jakarta serta konsep
keterbukaan diri (self-disclosure), kedengkian/iri hati (spitefulness) dan kesejahteraan psikologis
atau kebahagiaan subjektif (psychological / subjective well-being).

47
48
49
50
s

51
Selanjutnya bahan dari studi pustaka dapat dijadikan sebuah konstruksi teoritis tentang karakter
keterbukaan diri, kedengkian/iri hati dan kesejahteraan psikologis generasi X di DKI Jakarta
berikut rencana pengembangannya. Metode wawancara digunakan sebagai kontrol untuk
mengatasi bahaya metode konstruksi teoritis untuk mendapatkan relevansinya dengan realitas-
empiris.

Observasi dilakukan secara tidak terstruktur untuk mendukung data konstruksi teoritis,
khususnya mengenai makna keterbukaan diri, kedengkian/iri hati dan kesejahteraan psikologis,
upaya meraih keterbukaan diri, mengurangi / menghilangkan kedengkian/iri hati dan
mengupayakan kesejahteraan psikologis, dan pola tindakan individu Generasi Y dalam
mempengaruhi pengambilan keputusan untuk terbuka, tidak dengki/iri hati dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan psikologis. Wawancara, FGD dan observasi dilakukan kepada
generasi X di Jabodetabek dari perwakilan berbagai kalangan (angkatan kerja, mahasiswa,
wirausahawan, ibu rumah tangga, dan lain sebagainya) yang memiliki konsen, ketertarikan yang
cukup kental serta berwawasan/berwacana unik dan kuat (opinionated/strong-willed) terhadap
ranah yang menjadi tema riset.

Pengambilan subjek ini dilakukan dengan sampel teoritis (theoritical sampling), yaitu subjek
akan dianggap cukup manakala data yang diperlukan dalam penelitian ini telah mengalami
kejenuhan (saturated). Subjek dipilih dengan mempertimbangkan masyarakat umum generasi X
di DKI Jakarta dengan kriteria-kriteria berusia dewasa ≥ 22 – 40 tahun, laki-laki dan perempuan

52
minimal berpendidikan SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama). Subjek penelitian hingga
eksplorasi data mengalami kejenuhan adalah 7 (tujuh) subjek yang digali informasinya melalui
wawancara mendalam (in-depth interview) dan 8 subjek melalui FGD. Penelitian ini
menggunakan analisis data deskriptif kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan
data-data berupa ungkapan-ungkapan lisan dan tulisan dari individu dan kelompok (Moleong,
1993). Teknik analisa data mendasarkan pada langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian
kualitatif; yaitu mengumpulkan data, menilai atau menganalisis data, dan kemudian diakhiri
dengan penarikan kesimpulan.

Konsep-konsep yang tersusun melalui grounded theory (teori yang dilandaskan) dibuktikan
konsistensi konsepnya terhadap subjek yang lebih luas. Pembuktian konsistensi konsep tidak
mempertimbangkan jumlah subjek, akan tetapi mengggunakan pendekatan theoritical sampling
dengan menitikberatkan pada konsistensi konsep yang disetujui dan atau yang tidak disetujui
oleh subjek. Dengan demikian, dari setiap data yang masuk, dilakukan koding, penghitungan dan
analisis konsep secara langsung, sehingga subjek akan dianggap cukup manakala data yang
menginformasikan konsistensi konsep telah jenuh (saturated). Dalam konteks penelitian ini suatu
data dikatakan atau dianggap telah mengalami kejenuhan ketika subjek bergerak pada angka
sejumlah orang (ratusan). Oleh karena itu subjek yang digunakan secara keseluruhan berjumlah
sekitar 100-200 orang.

Hasil dari konstruksi grounded theory diperkuat melalui tahap validitas internal dan eksternal
konsep kecerdasan emosi dan konsep kepribadian sehat. Subjek penelitian pada validitas internal
dan eksternal konsep dikenakan pada masyarakat generasi Y sebagai keterwakilan sebagai
wilayah yang mengalami heterogenitas. Kriteria subjek mempertimbangkan sesuai dengan 1)
klasifikasi masyarakat urban atau suburban dan 2) masuk kategori generasi Y dan telah
berpengalaman melewati beberapa pengalaman dalam mengelola emosi dan upaya mencapai
keperibadian sehat (bonus), 3) pria dan wanita, 4) pendidikan minimal SLTP, karena diperlukan
pengetahuan umum dan pemahaman bahasa yang memadai untuk dapat memberikan jawaban
yang sesuai dengan kebutuhan dan tujuan penelitian.

Subjek penelitian diambil dengan menggunakan metode purposive random sampling secara
variatif berdasarkan kriteria generasi Y yang tinggal di Jabodetabek sebanyak 100-200 orang.
Pengambilan subjek ini sangat mempertimbangkan dipilihnya subjek berstatus mayoritas yang
bukan orang-orang yang “darah biru/ningrat”, “white-collar worker” (pekerja kerah putih),
selebritis/artis, figur publik atau dengan sosok strata ekonomi papan atas (“well-to-do-
family”/”the haves”, konglomerat) karena dikhawatirkan efek bias atau agenda bisnis tertentu
yang memberi citra “privilege” (hak spesial, kekebalan/imunitas) dan bisa tidak memvalidasi
ranah tema riset.

Proses pengambilan data penelitian ini dibantu oleh enumerator, yaitu orang-orang yang
membantu peneliti dalam penyebaran skala penelitian. Penggunaan enumerator dimaksudkan

53
agar jumlah subjek yang diteliti dapat terkumpul sesuai dengan target penelitian dan dapat
tersebar secara relatif merata di semua tempat yang representatif.

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan dua sampai tiga macam skala dengan
pertanyaan tertutup sebagai alat pengumpul data, yaitu; skala keterbukaan diri, dengki dan
kesejahteraan psikologis yang dipilih jawabannya oleh subjek.

Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis faktor untuk melihat validitas internal
konsep, sedangkan validitas eksternal konsep dilakukan dengan uji beda yaitu dengan uji
independent T test bagi sampel yang berdistribusi normal dan yang tidak normal dengan Mann-
Whitney test. Analisis dilakukan dengan menggunakan bantuan program SPSS (Statistical
Package for Social Sciences) versi baru (22.0 atau 24.0).

Dengan semangat inovasi disruptif dalam globalisasi dalam rangka Era Disrupsi di linimasa
Globalisasi Revolusi Industri 4.0 (strategic inflection point) dan Society 5.0 (Artificial
Intelligence,, Big Data, Cloud Computing) penelitian ini merupakan sebuah kajian mandiri yang
temanya murni berangkat dari kegelisahan penuh gundah gulanah yang belakangan ini sering
“mengganggu” saya dengan pertanyaan yang menggugah rasa penasaran seperti, “I wonder….” ,
“what if”…”should have, would have, could have” untuk dimanifestasikan dalam hasil karya
nyata yang membawa maslahat dan manfaat bagi banyak umat agar dapat lebih mindful”,
introspeksi holistik dalam berpikir, merasa dan berbuat.

Seumpama seorang hamba yang sedang menjalani tabayyun (adalah mencari kejelasan tentang
sesuatu berita dari pihak lain hingga jelas dan benar keadaan sesungguhnya) yang mengarah ke
tafakkur (suatu perenungan dengan melihat, menganalisa, meyakini secara pasti untuk
mendapatkan keyakinan terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan Allah. Tafakur dalam
Islam akan meningkatkan tauhid, keyakinan dan kepercayaan kepada Allah berdasarkan akal
pikiran dan perasaan), menanamkan tadharru’ (rasa takut akan Allah) tawassul (mengambil
perantara/ syar’i tuntunan Nabi untuk tersampainya hajat) sehingga menggiring kepada tawadhu’
(sikap kerendahan hati sebagai adab berilmu/humility/humbleness) sebagai alat membuka diri
secara konstruktif, filter dengki/iri dalam rangka memperjuangkan kesejahteraan psikologis.

Dalam suatu percakapan santai tapi serius di tempat praktek kami bersama, guru saya seorang
dokter yang juga ahli Hipnoterapi mengatakan bahwa cara ia mengetahui masalah pasien adalah
dengan melakukan komunikasi alam bawah sadar dirinya dengan alam bawah sadar pasien.
Berbeda dengan alam sadar yang rentan melakukan manipulasi, alam bawah sadar selalu jujur
tanpa topeng. Dari pengalamannya puluhan tahun, ia sering menemukan jenis pasien yang sulit
disembuhkan adalah yang memiliki sifat iri dan dengki yang biasanya diekspresikan dengan
sikap sinis. Sederhananya, iri dan dengki memiliki kemiripan yaitu sama-sama benci atau
dendam melihat kebahagiaan atau keberhasilan orang lain tetapi merasa tidak mampu. Sifat iri
ingin menyaingi atau melebihi dari apa yang dimiliki orang yang dibencinya. Sifat dengki ingin
menghilangkan dan mengalahkan apa yang dimiliki orang yang dibencinya.

54
Perasaan dengki adalah dua sifat buruk yang levelnya paling berbahaya dari sifat buruk manusia
karena bisa meluas tidak ada batas berhentinya. Contoh, awalnya si iri dan dengki kesal kenapa
saingannya lahir lebih beruntung misalnya terlahir orangtua berkecukupan sedangkan dirinya
hidup susah terus-terusan. Lama-lama iri dan dengkinya meluas mulai ke hal-hal sepele, iri sama
warna bajunya, iri sama sepatunya, bahkan garuk-garuk kepala dari orang yang dibencinya juga
membuatnya nasteung. Si iri dan dengki akan terus mengintai semua kelemahan dari orang yang
dibencinya kalo bisa mencelakakan orang yang dibencinya jadi sah dengan defense salah sendiri
kenapa ia membuatnya iri dan dengki.

Sifat dengki menjadi bahan bakar emosi negatif yang akan terus on menyuburkan sikap sinis,
sarkastis - dari mulai ‘nyinyir’ sampai bisa berbuat jahat. Peneliti Dr Anna-Maija Tolppanen
(1998) dari University of Eastern Finlandia mengingatkan berdasarkan hasil studinya, para
haters yang memiliki gejala sinisme tingkat tinggi didapati mengidap demensia atau pikun
setelah 10 tahun kemudian. Hal ini ditemukan pada 69 orang yang konsisten sinis dari total 622
partisipan yang menjadi sampel penelitiannya. Ditemukan kejiwaan orang sinis memiliki rasa
percaya diri rendah, produktivitas rendah, dan rentan depresi sehingga cara membangun
pertahanan diri untuk menutupi kelemahannya dengan melakukan katarsis dengan kadar sinis
yang tinggi. Dari sini peneliti berani menyimpulkan orang-orang yang gampang sinis kepada
orang lain berpeluang dua kali lebih besar untuk terkena penyakit pikun.

Hal ini juga dibuktikan oleh Dr. Shigeo Haruyama, pakar kesehatan holistik yang menulis buku
“The Miracle of Endorphin (2014)”, yang menggambarkan orang yang iri dan dengki sejalan
dengan orang yang mudah marah, sedih, cemas, takut, otaknya akan mengeluarkan hormon racun
yang merusak berbagai jaringan dalam tubuh manusia, yang dinamakan hormon Nor-Adrenalin.
Iri dan dengki akan menyuburkan hormon racun yang membuat kerusakan dalam tubuh manusia
juga semakin cepat. Hal ini juga menjadi jawaban, mengapa sifat negatif iri dan dengki banyak
merusak sel-sel sehat dalam tubuh manusia.

Sebaliknya, semakin orang berpikir positif, senang, dan bahagia, otaknya akan mengeluarkan
hormon Beta-Endorphin yang sering disebut si hormon ajaib pemicu kebahagiaan yang akan
memperkuat daya tahan alami tubuh, menjaga sel otak tetap muda sehingga berpeluang melawan
penuaan, menurunkan depresi, anxietas, frustrasi dan agresivitas dalam hubungan antar manusia,
termasuk meningkatkan semangat, dan kreativitas. Unsur endorphin sering disebut ‘morphin’
yang dikeluarkan kelenjar hipofisis dan hipotalamus. Salah satu fungsi endorfin adalah untuk
meminimalkan ketidaknyamanan dan menghalangi rasa sakit dengan merangsang pusat
kesenangan yang bisa kita produksi secara gratis.

(Sumber: D. Marianna Pochelli: This Is What Happens To Your Cells When You Experience Happiness)

55
Umumnya selama masa Pilkada atau Pilpres, para netizen posers/haters kurang menjaga
kesehatan mental. Mereka lebih suka mengumbar emosi dengan status yang penuh kebencian
dibandingkan menahan diri untuk meregulasi emosi. Peneliti lain, Dr Tolppanen menduga
peradangan yang terjadi pada tubuh dapat dikaitkan dengan tingkat sinisme yang kuat yang pada
akhirnya membuat kondisi kesehatan seseorang juga cenderung memburuk. Ini semakin
membuktikan bahwa karakteristik dan pandangan hidup seseorang berdampak terhadap
kesehatannya.

Apakah Sinisme Yang Dipicu Iri dan Dengki Bisa Disembuhkan?

Manusia adalah makhluk terlahir untuk hidup sehat. Sinisme memang bukan penyakit jiwa
tetapi jika kadar iri dan dengki sudah sampai tahap kronis bisa menimbulkan penyakit jiwa.
Sebab orang yang terus memelihara iri dan dengki sebetulnya merupakan indikasi orang tersebut
tidak bahagia. Sifat iri dan dengki hanya bisa disembuhkan oleh keputusan orang yang
bersangkutan apakah memilih cara kerja pikiran positif atau pikiran negatif.

Cara Kerja Pikiran Positif vs Pikiran Negatif

Menurut Dr. Marianna Pochelli (2014), setiap arus pikiran dalam otak kita akan melepaskan zat
kimia. Setiap saat, lalu lintas arus pikiran kita begitu sibuk, di saat bersamaan kita bisa berpikir
positif sekaligus juga berpikir negatif. Ketika energi kita dipusatkan pada pikiran negatif, di titik
itu secara efektif memperlambat, meredupkan bahkan dapat menyingkirkan kekuatan positif
sehingga mempengaruhi penurunan kadar hormon seretonin yang mengatur mood untuk masuk
ke alam pesimis, terlalu lama terjebak di alam pesimis akan membuat depresi. Biasanya jika
mood kita buruk atau mudah terpancing amarah, kemungkinan kadar serotonin dalam otak
berkurang.

Di sisi lain, ketika energi kita dipusatkan pada pikiran positif, pikiran menyenangkan akan
mengurangi hormon kortisol sebagai salah satu hormon racun dan meningkatkan hormon
serotonin dengan mood positif, bahagia, dan optimis penuh harapan. Pikiran positif akan
mendukung pertumbuhan sel otak karena membangkitkan penguatan jaringan sinapsis baru di
otak, terutama di korteks prefrontal (PFC), yang berfungsi sebagai pusat integrasi semua fungsi
otak dan pikiran manusia.

56
Secara khusus, PFC adalah bagian otak yang dapat mengendalikan respon emosi dan perilaku
manusia melalui koneksi ke otak emosi (limbik). Ini memberi kemampuan pada kita untuk fokus
pada apa pun yang kita pilih dengan memikirkan dan merenungkan perilaku apa yang telah kita
kejar dalam hidup. Perenungan dengan refleksi mendalam membantu kita tumbuh sebagai
manusia, mengubah apa yang ingin kita ubah, dan menjalani hidup seperti yang kita putuskan
karena fungsi otak berada kapasitas puncak merasa sejahtera.

Jika para haters memilih tetap terkurung senang mengeluarkan komentar sinis (bukan kritik
konstruktif, karena cara kerja berpikir kritis adalah objektif) maka limpahan energi positif dalam
sistem imun tubuh akan terus menyusut dan menggerogoti kesehatan secara kronis. Jika sampai
tua tetap memiliki pribadi yang sinis, konsekuensi kesehatan akan terus memburuk karena sulit
memberikan penghargaan kepada orang lain, hasil kerja keras orang lain atau merespon positif
berita baik.

Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu bisa mengelola hati dan pikirannya dengan lebih
positif untuk bisa dipenuhi rasa ikhlas, kedamaian, dan kebahagiaan dalam hidup agar hormon
kebahagiaan terus melindungi dan memperkuat daya tahan tubuh.

It’s so easy to be a hater. Go for to the difficult task for not judging, “be a lover”. Use your
brain wisely, keep your mental health and be a happy person, folks! – (Paulo Coelho)

Arti dengki Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi keempat (2014) menjelaskan arti kata
dengki, yaitu menaruh perasaan marah (benci, tidak suka) karena iri yang amat sangat kepada
keberuntungan orang lain. Padanan kata dengki adalah iri. Iri artinya kurang senang melihat
kelebihan orang lain (beruntung dan sebagainya); cemburu; sirik; dengki. Cemburu artinya
kurang percaya, curiga (karena iri hati). Atau merasa kurang senang melihat orang lain
beruntung . Cemburu berpadanan dengan sirik, iri. Menurut kamus Tesaurus Bahasa Indonesia
karya Eko Endarmoko (2006) persamaan arti dengki adalah bingit, cemburu, hasad, iri hati, keki,
khisit, resan, sirik, timburu, benci, dendam. Jadi, makna "dengki" di dalamnya bercampur
dengan iri hati, benci, tidak suka, cemburu, sirik. Persamaan dengki atau kedengkian yaitu hasad.
Sifat ini jelas-jelas merupakan kondisi psikologis negatif yang dimiliki seseorang yang bisa
merusak relasi sosial.

Ciri orang dengki secara umum, memiliki perilaku seperti ini: tidak senang melihat orang
senang, sebaliknya senang melihat orang itu lebih susah dari dirinya. Selain itu, orang dengki
sering menganggap seseorang sebagai kompetitor, pesaing. Padahal tidak ada ancaman apa-apa
untuk dirinya. Orang dengki selalu mencari-cari kelemahan dan kekurangan orang lain. Orang
dengki tidak mau kalah dalam segala hal. Padahal dirinya tidak lebih rendah dari orang yang
didengkinya. Akhirnya, orang dengki pada dasarnya memiliki sifat jahat, setidaknya dengan
sikap atau perbuatannya bisa membahayakan atau merugikan orang lain. Orang dengki biasanya
tidak jernih lagi pemikirannya. Sikapnya tidak obyektif lagi, selalu menyudutkan. Komentarnya
selalu miring. Kalau menulis di media sosial, nadanya tidak mengenakkan, tetapi buat dia sudah
puas melampiaskannya. Orang dengki biasanya adalah orang yang sudah dikenal. Orang dekat,
misalnya teman sekantor, teman seorganisasi, teman sepermainan, tetangga rumah, mungkin juga
57
saudara sendiri. Jadi, orang dengki bisa ada di mana-mana. Timbulnya sifat dengki Sifat dengki
merupakan sifat tercela karena gemar mencela, hanya mengumbar kejelekan orang. Pada
dasarnya sifat dengki tanpa disadari merupakan perilaku manusia yang jahat karena dengki
merupakan penyakit hati.

Bicara soal berniat atau berbuat hal jahat, konon ada penelitian yang dilakukan oleh Prof
Michael Poulin dari Universitas Buffalo, New York pada tahun 2012. Penelitian air liur
dilakukan pada 700 responden. Hasilnya, melalui DNA para responden, menyatakan adanya
kode-kode gen jahat pada manusia. Artinya, sejak bayi dilahirkan ada gen jahat dan gen baik
pada manusia. Lain lagi menurut penelitian Dr. Shigeo Haruyama, pakar kesehatan holistik,
dalam buku The Miracle of Endorphin (2014) menceritakan bahwa orang yang memiliki sifat iri
dan dengki maka otaknya akan mengeluarkan hormon racun nor-adrenalin. Hormon ini ketika
keluar berpotensi merusak jaringan tubuh. Hormon ini akan tumbuh subur dengan cepat ketika
sifat iri dan dengki merasuki seseorang. Oleh karena itu, sifat iri dan dengki berpotensi merusak
sel-sel tubuh seseorang.

Dalam buku Manusia Indonesia karya Mochtar Lubis (2001), disebutkan ada 12 karakter
manusia Indonesia. Sifat itu meliputi hipokrit (manusia), enggan bertanggung jawab atas
perbuatannya, berjiwa feodal, percaya takhayul, berjiwa artistik, lemah/kurang kuat, dan tidak
hemat. Ada pula tidak suka bekerja keras, kurang sabar/senang menggerutu, mudah
cemburu/dengki terhadap orang lain, sombong, tukang tiru, malas, kurang menggunakan logika,
tak perduli pada nasib orang lain. Pada halaman 37 dalam buku tersebut, Mochtar Lubis
mengatakan: "Manusia Indonesia juga cepat cemburu dan dengki terhadap orang lain yang
dilihatnya lebih dari dia. Orang kurang senang melihat orang lebih maju, lebih kaya, lebih
berpangkat, lebih berkuasa, lebih pintar, lebih terkenal dari dirinya."

Apakah orang dengki bisa dikategorikan mengalami gangguan kepribadian paranoid (paranoid
personality disorder)? Bisa jadi, walaupun tak sepenuhnya benar. Karena, orang paranoid
sifatnya selalu curiga atau timbul ketidakpercayaan pada orang lain dengan perasaan dengki.
Dengan perasaan dengki inilah yang menjadi ciri tambahan orang paranoid.
(https://edukasi.kompas.com/read/2017/08/08/08060011/sifat-dengki.)

Jadi, semakin rumit arti slogan “get a life” (kayak gak ada kerjaan aja hidup loe-bahasa
jalanan). Sebuah pertanyaan retorik: Apakah kalau sudah terisi kegiatan kita sehari-hari, tingkat
ke-”kepo”-an menipis drastis dan kita sudah “damai/“tenang”?

H. Sistematika Pembahasan (*untuk format diskusi lebih lanjut)

Bab I: Pendahuluan
Bab II: Uraian Kerangka Teori
Bab III: Deskripsi Singkat Objek Yang Diteliti
Bab IV, Bab V: Uraian Inti Yang Bersifat Analisis
Bab Akhir VI: Kesimpulan & Saran

58
I. Daftar Pustaka

http://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/0265407586033005.
Decision-making dan Self-Disclosure.

https://www.researchgate.net/publication/301789757_Self-
Disclosure_Theories_and_Model_Review

http://ir.lib.cyut.edu.tw:8080/bitstream/310901800/10883/1/20080818_Hsiu-ChiaKo.pdf

https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-dark-side-personality/201405/how-spiteful-are-
you

Cozby, P. C. (1973). Self-disclosure: A literature review. Psychological Bulletin, 79(2), 73-91.


http://dx.doi.org/10.1037/h0033950

https://guilfordjournals.com/doi/abs/10.1521/jscp.23.6.857.54803

Susan Sprecher, Susan S. Hendrick (2004). Self-Disclosure in Intimate Relationships:


Associations with Individual and Relationship Characteristics Over Time. Journal of Social and
Clinical Psychology: Vol. 23, No. 6, pp. 857-877. https://doi.org/10.1521/jscp.23.6.857.54803

https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/j.1460-2466.1973.tb00958.x
Self‐Disclosing Communication, W. Babnett Pearce , Stewart M. Sharp, December 1973.
https://doi.org/10.1111/j.1460-2466.1973.tb00958.x

Spitefulness and deficits in the social–perceptual and social–cognitive components of Theory of


Mind. DemitrusEwingVirgilZeigler-HillJenniferVonk.
https://doi.org/10.1016/j.paid.2015.11.050

file:///C:/Users/Win%207/Desktop/Downloads/Spitefulness%20and%20deficits%20in%20the%2
0social%E2%80%93perceptual%20and%20social%E2%80%93cognitive%20components%20of
%20Theory%20of%20Mind%20-%20ScienceDirect.htm

file:///C:/Users/Win%207/Desktop/Downloads/Spite%20Is%20Good.%20Spite%20Works.%20-
%20The%20New%20York%20Times.htm

file:///C:/Users/Win%207/Desktop/Downloads/Teori%20Penetrasi%20Sosial%20%20%20YEA
RRY%20PANJI%20SETIANTO.htm

Dufwenberg, M., & Güth, W. (2000). Why do you hate me? On the survival of spite. Economics
Letters, 67(2), 147-152.

Walker, Mark Henry. "The self, social networks, and psychological well-being." PhD. (Doctor of
Philosophy) thesis, University of Iowa, 2015. http://ir.uiowa.edu/etd/1788.

59
Journal of Personality and Social Psychology 1995, Vol. 69, No.4, 719-727. Copyright 1995 by
the American. The Structure of Psychological Well-Being Revisited. Carol D. Ryff and Corey
Lee M. Keyes, University of Wisconsin—Madison.

Measuring the Distribution of Spitefulness. Erik O. Kimbrough, J. Philipp Reiss. PLOS.


Published: August 15, 2012. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0041812

Spitefulness and moral values. Virgil Zeigler-Hilla Amy E.Noser b CourtneyRoof c JenniferVonk
a
David K.Marcusd. https://doi.org/10.1016/j.paid.2014.12.050
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0191886914007788

Elsevier Review of Economic Dynamics. Volume 1, Issue 3, July 1998, Pages 593-622. Review
of Economic Dynamics. Regular Article: Modeling Altruism and Spitefulness in Experiments.
David K.Levine. https://doi.org/10.1006/redy.1998.0023

Psychological Assessment. The Psychology of Spite and the Measurement of Spitefulness. David
K. Marcus, Virgil Zeigler-Hill, Sterett H. Mercer, and Alyssa L. Norris.
Online First Publication, February 17, 2014. http://dx.doi.org/10.1037/a0036039

Marcus, D. K., Zeigler-Hill, V., Mercer, S. H., & Norris, A. L. (2014, February 17). The
Psychology of Spite and the Measurement of Spitefulness. Psychological Assessmen.

Advance on-line publication. http://dx.doi.org/10.1037/a0036039

Spiteful behavior is 'extreme', according to study. August 15, 2012, Public Library of Science.

Guilford Publications. Self-Disclosure in Psychotherapy. CHAPTER 16. Self-disclosure, privacy


and the Internet. Adam N. Joinson and Carina B. Paine.
http://ekarapanos.com/courses/socialweb/Social_Webfall_2011/Reading_Material_files/Joinson_
sd.pdf

Journal of Experimental Social Psychology. Volume 14, Issue 5, September 1978, Pages 466-
479. Journal of Experimental Social Psychology. Three theories of self-disclosure exchange.
Steven Jay Lynn. https://doi.org/10.1016/0022-1031(78)90043-4

Washington State University. "Psychological study of spite: 'Virtually ignored' by researchers."


ScienceDaily. ScienceDaily, 23 April
2014.www.sciencedaily.com/releases/2014/04/140423101850.htm

Indonesia Indonesia - World Happiness Index - CountryEconomy.com


https://countryeconomy.com/demography/world-happiness-index/indonesia

Griffin, Emory A., A First Look at Communication Theory, 5th edition, New York: McGraw-Hill,
2003, page 132—141.

The Jakarta Post, Prima Wirayani.

60
http://www.thejakartapost.com/news/2017/08/16/indonesians-quite-happy-according-to-bps-
happiness-index.html

(https://plus.kapanlagi.com/ramai-dipakai-di-sosmed-ini-lho-arti-kata-julid-sebenarnya-
557b7e.html) (http://www.kbbionline.com/arti/gaul/julit)

https://jezebel.com/all-shade-is-a-troll-but-not-all-trolls-are-shade-1791700090

Body of Knowledge (Facebook Self-Disclosure)


https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0747563215003179

Body of Knowledge (Path Model of the Associations that Spitefulness and the HEXACO
Personality Dimensions by Virgil Zeigler-Hill, Ph.D., Oakland University - Department of
Psychology).

https://www.google.co.id/url?sa=i&rct=j&q=&esrc=s&source=images&cd=&cad=rja&uact=8
&ved=2ahUKEwi1x6LHsLHaAhXGQI8KHaoLDiEQjB16BAgAEAQ&url=http%3A%2F%2
Fwww.sciencedirect.com%2Fscience%2Farticle%2Fpii%2FS0191886916310297&psig=AO
vVaw1Y1asQpn9tgcaUjTEibDeb&ust=1523506524258097

https://www.google.co.id/url?sa=i&rct=j&q=&esrc=s&source=images&cd=&cad=rja&uact=8
&ved=2ahUKEwi1x6LHsLHaAhXGQI8KHaoLDiEQjB16BAgAEAQ&url=http%3A%2F%2
Fwww.sciencedirect.com%2Fscience%2Farticle%2Fpii%2FS0191886916310297&psig=AO
vVaw1Y1asQpn9tgcaUjTEibDeb&ust=1523506524258097

http://journal.fulbright.org.tw/index.php/browse-topics/new-cultural-
insights/itemlist/user/204-li-yu-lee-%E6%9D%8E%E6%A2%A8%E7%91%9C

http://www.sarkub.com/terapi-hati-penyakit-hasud-iri-dengki/

https://malesbanget.com/2017/01/apa-sih-bedanya-generasi-x-dan-z-pelajari-karakteristiknya-
di-sini/

Generasi X: Sinis, penyuka pesta dan anti-kemapanan? Lindsay Baker. BBC Culture.
http://www.bbc.com/indonesia/vert-cul-40060340

https://sains.kompas.com/read/2017/11/06/200600123/mengenal-xenial-generasi-baru-antara-
generasi-x-dan-milenial

http://khairulabdullah.com/generasi-apakah-anda-x-y-atau-z/

https://www.cermati.com/artikel/kenali-perbedaan-generasi-x-y-dan-z-dalam-berbelanja

https://www.4muda.com/mengenal-generasi-x-y-dan-z-sebagai-generasi-dominan-masa-kini/

61
Generasi Langgas Millenials Indonesia . Yoris Sebastian, Dilla Amran dan Youth Lab.
Gagas Media & Transmedia Pustaka, September 2016, Jakarta. Halaman : viii + 194 hlm.
Genre: Pengembangan diri. ISBN : 979-780-871 / 010001006992. Kode Buku: GA001913.
Berat: 0.35 kg. Format: Soft Cover.

The Gen Y Handbook: Applying Relationship Leadership to Engage Millennials. Diane E.


Spiegel. Paperback, 144 halaman. April 2nd, 2013 by SelectBooks (first published February
1st 2013). ISBN 1590799569. (ISBN13: 9781590799567).

From baby boomers to millennials: Which generation speaks to you?. Katie Dangerfield.
National Online Journalist, Breaking News - Global News. July 23, 2017, 9:20 pm.

https://www.telegraph.co.uk/news/features/11002767/Gen-Z-Gen-Y-baby-boomers-a-guide-
to-the-generations.html

http://www.psypost.org/2012/08/spiteful-behavior-is-extreme-according-to-study-13386

https://medium.com/@ifahmisbach/obrolan-psikologi-iri-dan-dengki-c14fe817e4fb

https://edukasi.kompas.com/read/2017/08/08/08060011/sifat-dengki

SPITEFULNESS

https://www.sciencedaily.com/releases/2014/04/140423101850.htm

https://www.researchgate.net/publication/260251335_The_Psychology_of_Spite_and_the_Meas
urement_of_Spitefulness

https://research.tilburguniversity.edu/en/publications/spiteful-and-contemptuous-a-new-look-at-
the-emotional-experiences

https://www.nytimes.com/2014/04/01/science/spite-is-good-spite-works.html

https://oakland.edu/research/news-archive/research-explores-spitefulness-an-understudied-dark-
personality-trait

https://neurosciencenews.com/neuroscience-terms/spitefulness/

https://psycnet.apa.org/record/2018-62012-001

https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-dark-side-personality/201405/how-spiteful-are-
you

https://www.mentalfloss.com/article/554980/scientific-facts-about-spite

https://www.npr.org/sections/health-shots/2014/04/23/306240840/why-are-we-spiteful-even-
though-it-bites-us-back

62
SELF-DISCLOSURE

https://reader.elsevier.com/reader/sd/pii/S0747563217300109?token=C9AA5B7563F9D410E33
FD792A9BBC5169FA20504C23E10D73CA88D6CCD9FB9AE474372DAC195785B1800C47
AE7822F22

file:///C:/Users/ASUS/AppData/Local/Temp/9472-Article%20Text-35895-3-10-20151105.pdf

https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/0265407512459033

https://www.researchgate.net/publication/228969439_The_Influence_of_Consumer_Self-
Disclosure_on_Web_Sites_on_Advertising_Response

https://www.researchgate.net/publication/283895587_The_Outcomes_of_Broadcasting_Self-
Disclosure_Using_New_Communication_Technologies_Responses_to_Disclosure_Vary_Across
_One%27s_Social_Network

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6447712/

https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/13670050.2018.1441261

https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-1-4899-3523-6_1

https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0212186

https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fpsyg.2019.00558/full

SWB (SUBJECTIVE WELL-BEING)

https://www.researchgate.net/publication/304538426_Findings_All_Psychologists_Should_Kno
w_From_the_New_Science_on_Subjective_Well-Being

https://www.researchgate.net/publication/233722472_New_Findings_and_Future_Directions_for
_Subjective_Well-Being_Research

https://www.nature.com/articles/s41562-018-0307-6

https://intranet.newriver.edu/images/stories/library/Stennett_Psychology_Articles/Recent%20Fin
dings%20on%20Subjective%20Well-Being.pdf

https://psycnet.apa.org/record/1997-43193-002

https://link.springer.com/referenceworkentry/10.1007%2F978-94-007-0753-5_2905

https://www.goodnewsfromindonesia.id/2019/03/21/world-happiness-report-2019-dirilis-
seberapa-bahagia-orang-indonesia

63
HASAD & ENVY: ISLAMIC PSYCHOLOGY

https://www.longdom.org/open-access/hasad-malicious-envy-and-ghibtah-descent-envy-history-
culture-and-philosophy-2161-0487-1000337.pdf

https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/ijni/article/view/1187/pdf_78

https://www.researchgate.net/publication/325340653_Hasad_Malicious_Envy_and_Ghibtah_De
scent_Envy_History_Culture_and_Philosophy/link/5b1647bfa6fdcc31bbf581c3/download

https://scholarhub.ui.ac.id/cgi/viewcontent.cgi?article=1000&context=jsgs

64

Anda mungkin juga menyukai