Anda di halaman 1dari 41

Disonansi Kognitif Pada Selebritis Muslim Amerika:

Sebuah Kajian Fenomenologis

Liza Anggraeni
NIM: 31191200100096

MK. Contemporary Islamic World


Kelas B Kamis 13.00-15.00 WIB (3 SKS)
ISL 7105 (101837812) SPS-2.11

Dosen Pembimbing:
Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A (GBPMK)
Prof. Iik Arifin Mansurnoor, M.A, Ph.D
Prof. Dr. Sri Edi Swasono
Prof. Dr. Masykuri Abdillah
Dr. Usep Abdul Matin, MA

Program Doktor Kajian Islam Lintas Studi Peminatan Psikologi


Angkatan 2019/2020 Semester 2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1
Gigi Hadid - model (left, moslem) with singer Selena Gomez & reality artist Kendall Jenner

25 Most Influential Muslim Americans of 2020 – CNN.com

2
3
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................. iii

I. Pendahuluan: Tentang Disonansi Kognitif ............................................ 5

II. Testimoni Selebriti Muslim Amerika .................................................... 6

III. Latar Belakang Teoretik Disonansi Kognitif ....................................... 23

IV. Tinjauan Pustaka Mutakhir ( Latest Literature Review) ...................... 30

V. Disonansi Kognitif Dalam Dinamika Dimensi Diskrepansi Perilaku ... 34

VI. Aplikasi Kasuistik ................................................................................. 37

VII. Kontradiksi Teori .................................................................................. 39

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 40

4
I. Pendahuluan

Tentang Disonansi Kognitif

Teori disonansi kognitif merupakan sebuah teori dalam Psikologi Sosial yang membahas
mengenai perasaan ketidaknyamanan seseorang akibat sikap, pemikiran, dan perilaku yang
saling bertentangan dan memotivasi seseorang untuk mengambil langkah demi mengurangi
ketidaknyamanan tersebut.[1] Istilah disonansi kognitif pertama kali dipopulerkan oleh seorang
psikolog bernama Leon Festinger pada tahun 1950-‘an.[2]

Teori disonansi kognitif memiliki sejumlah anggapan atau asumsi dasar diantaranya adalah:

• Manusia memiliki hasrat akan adanya konsistensi pada keyakinan, sikap, dan
perilakunya.[1] Teori ini menekankan sebuah model mengenai sifat dasar dari manusia
yang mementingkan adanya stabilitas dan konsistensi.[1]
• Disonansi diciptakan oleh inkonsistensi biologis.[1] Teori ini merujuk pada fakta-fakta
harus tidak konsisten secara psikologis satu dengan lainnya untuk menimbulkan
disonansi kognitif.[1]
• Disonansi adalah perasaan tidak suka yang mendorong orang untuk melakukan suatu
tindakan dengan dampak-dampak yang tidak dapat diukur.[1] Teori ini menekankan
seseorang yang berada dalam disonansi memberikan keadaan yang tidak nyaman,
sehingga ia akan melakukan tindakan untuk keluar dari ketidaknyamanan tersebut.[1]
• Disonansi akan mendorong usaha untuk memperoleh konsonansi dan usaha untuk
mengurangi disonansi.[1] Teori ini beranggapan bahwa rangsangan disonansi yang
diberikan akan memotivasi seseorang untuk keluar dari inkonsistensi tersebut dan
mengembalikannya pada konsistensi.[1]

Salah satu contoh dari disonansi kognitif adalah fabel dari Aesop yang berjudul "Serigala dan
Anggur".[3] Dikisahkan seekor serigala lewat didekat sebuah pohon anggur.[3] Serigala tersebut
lapar dan tergiur akan anggur ranum itu namun tidak sanggup mengambilnya.[3] Karena kecewa
tidak bisa mendapatkan anggur, ia kemudian pergi dengan beranggapan bahwa anggur tersebut
pastilah terasa masam.[3] (Rasionalisasi/Justifikasi Diri).

5
II. Testimoni Selebriti Muslim Amerika Tentang Agama Islam & “Being A Moslem”

EFFORT JUSTIFICATION

6
1

1 FREE CHOICE, SELECTIVE EXPOSURE


7
2

2 BELIEF DISCONFIRMATION, REDUCTION

8
4

4 SELECTIVE EXPOSURE, FORBIDDEN BEHAVIOR PARADIGM


9
5

5
SELF-PERCEPTION, BALANCE THEORY
10
6

6
SELF-DISCREPANCY THEORY, ACTION-MOTIVATION MODEL
11
7

7
SELECTIVE EXPOSURE, REDUCTION
12
8

8 INDUCED COMPLIANCE
13
9

9
INDUCED COMPLIANCE, BALANCE THEORY
14
10

SELECTIVE EXPOSURE, REDUCTION, BELIEF DISCONFIRMATION, FORBIDDEN BEHAVIOR


1010

PARADIGM
15
11

11
EFFORT JUSTIFICATION, SELECTIVE EXPOSURE, REDUCTION
16
12

12
INDUCED COMPLIANCE, EFFORT JUSTIFICATION
17
13

13 BELIEF DISCONFIRMATION, PREDICTIVE DISSONANCE MODEL


18
14

14
FREE CHOICE, EFFORT JUSTIFICATION, REDUCTION
19
15

15
INDUCED COMPLIANCE, BELIEF DISCONFIRMATION, REDUCTION
20
16
INDUCED COMPLIANCE, REDUCTION, FREE CHOICE

16
https://www.cbsnews.com/pictures/famous-muslim-celebrities/19/

21
III. Latar Belakang Teoritik Cognitive Dissonance / Disonansi Kognitif

Dalam bidang Psikologi Sosial, disonansi kognitif atau cognitive dissonance terjadi apabila
seseorang sedang berpegang pada keyakinan (beliefs), ide (ideas) dan nilai-nilai (values), dan
secara tipikal mengalami stres psikologis ketika mereka berpartisipasi dalam aksi yang melwan
lebih dari satu dalam kelompok mereka. Berkaitan dengan teori ini, ketika dua aksi atau konsep
pemikiran tidak konsisten secara psikis antar satu sama lain, maka orang-orang awam akan
biasanya melakukan semampu usahanya untuk berubah sampai mereka menjadi konsisten. [1]
Rasa ketidaknyamanan (discomfort) yang dipicu oleh kepercayaan seseorang beradu dengan
informasi yang diterima/dipersepsikan, dimana mereka mencoba untuk mencari jalan untuk
mengatasi kontradiksi dalam rangka mengurangi rasa ketidaknyamanan yang dialami dan
mengganjal tersebut.[1][2]

Dalam hasil karya tulisannya yaitu A Theory of Cognitive Dissonance (1957), Leon Festinger
mengajukan proposal bahwa konsistensi psikologis untk berfungsi secara moral dan mental di
dunia nyata. Seorang individu yang sedang menjalani fenomena inkonsistensi internal yang
cenderung menjadi tidak nyaman dan aman secara kejiwaan dan termotivasi untuk mereduksi
sensasi disonansi kognitif. Manusia secara natural/ilmiah lebih condong membuat perubahan
untuk membenarkan/menjustifikasi perilaku yang penuh tekanan/stres/neurotik, baik dengan
menambahkan elemen/komponen lain yang menyebabkan disonansi psikologis (rasionalisasi)
atau dengan cara menghindari/menjauhi situasi, kondisi/keadaan dan informasi kontradiktif yang
memungkinkan untuk meningkatkan besar taraf/kadarnya disonansi kognitif (bias konfirmasi). [2]

Proses tata kelola/manajemen stres dengan nuansa/ambiens/atmosfir ide yang bertentangan


sangat merangsang munculnya stres dan upaya untuk menghadapi hal-hal
kontroversial/kontradiktif ini yang nampak sekilas benar adanya. Festinger berargumentasi
bahwa beberapa orang akan tak terelakkan mengatasi episode disonansi kognitif dengan secara
buta dan “bablas” mempercayai hal-hal apa yang ingin mereka percayai.

Hubungan Antar Kognisi

Untuk berfungsi di dalam realita dari masyarakat modern, manusia sebagai insan secara
berkesinambungan beradaptasi/menyesuaikan diri untuk keperluan berkorespondensi dengan
sikap mentalnya dan aksi pribadinya; seperti penyesuaian yang sifatnya
berkelanjutan/berkelangsungan, antara kognisi dan aksi, menghasilkan satu dari tiga koneksi
dengan kenyataan, antara lain:

1. Hubungan konsonan: Dua hasil pemikiran atau aksi/perbuatan/tindakan yang


konsekuen/koefisien dengan satu sama lain (tidak ingin menjadi pemabuk ketika
diundang ke acara pesta, sehingga memilih air mineral daripada anggur).
2. Hubungan irelevan: Dua kognisi atau aksi yang tidak berhubungan antar satu sama lain
(tidak mau jadi mabuk lalu memakai baju kaus).
3. Hubungan disonan: Dua kognisi atau aksi yang inkonsisten dengan satu sama lain (tidak
mau menjadi mabuk, tetapi minum banyak anggur).

22
Kadar Disonan (Rasa Ketidaknyamanan/Kegalauan/Kegelisahan)

Istilah “magnitudo disonansi” mengacu kepada tahap/tingkat ketidaknyamanan yang disebabkan


kepada orang yang dimaksud/tertentu. Hal ini bisa diakibatkan oleh dua keyakinan internal yang
berbeda, atau aktivitas/kegiatan yang tidak cocok/sepadan dengan keyakinan seseorang tertentu.
[3]
Dua faktor yang menentukan derajat psikologis disonansi disebabkan oleh dua aksi konfliktif:

1. Pentingnya kognisi: Semakin besar nilai personal elemen-elemen tertentu, semakin hebat
pulalah disonansi hubungan itu nantinya. Ketika nilai dari kepentingan dua item disonan
tinggi, paling tidak secara subjektif, di pikiran seseorang. Maka dari itu, ketika ideal atau
aksi-aksi berlawanan/bergesekan, sulit bagi individu untuk mengambil/membuat
keputusan yang lebih memenuhi skala prioritas pun.
2. Rasio kognisi: Proporsi elemen disonan-ke-konsonan – ada tingkat ketidaknyamanan di
dalam hati/jiwa di setiap dir manusia yang wajar/normal untuk kehidupan sehari-hari.
Jika seseorang sedang berada dalam zona nyamannya, faktor disonan tidak bisa
mengintervensi dengan fungsi. Namun, ketika faktor disonan sedang membuncah/marak
dan tidak cukup selaras/harmonis dengan komponen lain, maka seseorang melalui proses
pengaturan/regulasi dan membawa rasio balik kembali ke level yang dapt diterima
(acceptable). Sekali subjek memilih untuk menyimpan salah satu faktor disonan, mereka
cepat melupakan hal lainnya untuk mengembalikan kedamaian pikiran, hati dan jiwa. [4]

Selalu ada harkat/tingkat/derajat disonansi dalam diri seorang manusia bilamana mereka
memutuskan atau mewujudkan wacana dalam hidupnya, didasari oleh berubahnya
penghayatan/penyelaman kuantitas dan kualitas pengetahuan dan kearifan yang mereka
peroleh/raih selama hidupnya. Kebesaran hakikatnya sendiri adalah sebuah pengukuran subjektif
(secara berdasarkan laporan yang mengandalkan diri sendiri), dan tidak ada cara objektif lagi
selain mendapatkan hasil pengamatan yang tepat dari tingkat ketidaknyamanan tersebut. [5]

Reduksi

Teori disonansi kognitif menawarkan gagasan bahwa manusia mencari konsistensi psikologis
antara harapan hidup dan realita eksistensial dari dunia fana. Untuk berfungsi selayaknya
memenuhi kriteria, doa dan ekspektasi konsistensi eksistensial, orang-orang kerap kali terus
meminimalisir data/fakta agar sehingga kognisi mereka (persepsi dunia) berjalan seiring dengan
aksi mereka.

Kreasi dan pembangunan konsistensi psikologis yang memampukan manusia dipengaruhi oleh
disonansi kognitif untuk mengurangi stres mental dengan aksi yang mereduksi besarnya
disonansi, disadari apakah dengan membenarkan melawan atau menjadi
“congkak/angkuh/sombong/cuek/acuh (ignorant) terhadap kontradiksi eksistensial yang
memancing stress mental.[2] Pada prakteknya, orang-orang lazim mengikis besarnya kadar
disonansi kognitif ke dalam 4 (empat) cara:

1. Rubah perilaku atau kognisi (“Saya akan tidak makan donat lagi.”).

23
2. Justifikasi/benarkan perilaku dan kognisi yang konfliktif (“Saya diizinkan/boleh curang
sesekali dalam disiplin program diet saya.”).
3. Benarkan perilaku atau kognisi dengan menambahkan perilaku atau kognisi baru (“Saya
akan ‘bayar’ kalori makan donat ini dengan lebih lama berolahraga di gym”).
4. Abaikan atau sangkal/tampik informasi yang berkonflik dengan kepercayaan yang sudah
dianut (“Donat ini bukan makanan yang tinggi kandungan gulanya.”).

Tiga tipe bias kognitif adalah komponen dari teori kognitif. Pertama adalah bias dimana
seseorang tidak mempunyai bias apapun, kedua adalah bias yang berbunyi (“dia lebih baik,
pintar, bermoral diatas rata-rata”) dan yang ketiga akhirnya adalah bias konfirmasi.[6]

Psikologi yang konsisten dan konsekuen diperlukan eksistensinya untuk berperan di dunia nyata
diindikasikan dalam hasil The Psychology of Prejudice (2006), dimana orang-orang
memfasilitasi dinamika fungsi mereka di dunia nyata dengan cara mempekerjakan kategori
manusia (jenis kelamin, usia, ras suku, dan semacamnya) dimana notabene dengan ini mereka
menata dan merancang pola interaksi dengan orang lain.

Berdasarkan ulasan singkat dari model dan teori yang berhubungan dengan konsistensi kognitif
dari banyak bidang/domain/ranah ilmiah seperti Psikologi Sosial, persepsi, neurokognisi,
pembelajaran, kontrol motorik, kontrol sistem, etologi dan stress – bahkan telah pula diajukan
bahwa “seluruh perilaku yang meliputi proses kognitif disebabkan oleh aktivasi dari kognisi
inkonsisten dan fungsi untuk meningkatkan konsistensi yang dipersepsi”; bahwa segala fungsi
perilaku untuk mengurangi inkonsistensi pada taraf-taraf khusus dalam proses pengolahan
informasi. [7] Memang, keterlibatan dari inkonsistensi kognitif telah lama disarankan
untukperilaku yang bersinggungan dengan rasa ingin tahu/penasaran/curiga, [8][9] agresi
(aggression) dan rasa takut (fear) misalnya. [10][11]

Metode lain untuk mengurangi disonansi kognitif adalah melalui Teori Paparan Selektif
(Selective Exposure), yang sudah dibahas sejak awal masa Festinger menemukan teori disonansi
kognitif. Ia memperhatikan bahwa orang-orang akan memilih mengekspos diri di media tertentu
secara spesifik, seraya menjauhi pesan-pesan yang disonan dan menyukai atau berselera akan
pesan yang konsonan. [12] Melalui paparan selektif, manusia pada umumnya dan secara special
memilih apa yang dilihat, ditonton, dibaca sehingga klop dengan keadaan pikiran, suasana hati
(mood) atau keyakinan. [13] Dengan kata lain, konsumen menentukan masukan informadi yang
konsisten dengan sikap dan menghindari informasi yang menantang sikap (konfrontatif).
I[14]
Tehnik ini dapat diaplikasikan ke media, berita, musik dan jalur pesan lainnya. Idenya
adalah, memilih sesuatu yang berlawanan dengan bagaimana kita merasa atau yakin akan
menghasilkan disonansi kognitif.

Contoh studi kasus : Dokumentari penghuni rumah yang paling kesepian dan hampir jarang
kedatangan/menjamu tamu atau kehadiran anggota keluarga di Panti Wreda tahun 1992 ("very
happy, successful elderly person", dan “an "unhappy, lonely elderly person”) dan kebiasaan
masyakarat/rakyat mengkonsumsi berita media online/daring yang berbanding segaris lurus
dengan nilai-nilai politis dan pandangan politik mereka (2015) – dimana pada kedua kasus ini,
masyarakat luas pada umumnya lebih berresonansi dengan mereka yang “sama” dengan mereka

24
alias tidak lebih sukses atau bahagia dari mereka, oleh karenanya mereka memilih subjek yang
kurang beruntung/lebih malang nasibnya dibanding responden/partisipan lainnya (hasad comes
to play, in the works). [15]

Faktanya, hasil-hasil atau luaran penelitian/riset terbaru telah menganjurkan bahwa


diskrepansi(gap/kejanggalan/ketidakcocokan/ketidaksesuaian) antar kognisi mengantar
individual untuk mengidamkan informasi yang konsisten ke sikap, pengalaman dari emosi
negatif yang mendorong individu untuk menghindari informasi yang kontra-sikap. Pada intinya,
ketidaknyamanan psikologis yang menghidupkan paparan selektif sebagai strategi reduksi-
disonansi. [16]

Paradigma

Ada 4 (empat) paradigma disonansi kognitif, orang-orang yang menderita ketika diekspos
kepada informasi yang inkonsisten dengan keyakinan, nilai ideal dan sistem pemikiran mereka:
Belief Disconfirmation (Diskonfirmasi Keyakinan), Induced Compliance (Kepatuhan Yang
Dibangkitkan Dari Dalam Diri Sendiri), Free Choice (Pilihan Bebas), dan Effort Justification
(Pembenaran Usaha/Ikhtiar/I’tikad) – yang secar respektif menjelaskan apa yang terjadi setelah
seseorang beraksi inkonsisten,, relatif ke perspektif intelektual mereka; apa yang terjadi setelah
seseorang membuat keputusan dan apa efek terhadap orang itu yang telah berusaha mencapai
tujuannya. Benang merahnya adalah: Manusia akan berinvestasi pada perspektif yang – apabila
dikonfrontasi dengan bukti yang kontras – melakukan upaya dahsyat untuk membenarkan
perspektif yang tertantang.

Belief Disconfirmation (Diskonfirmasi Kepercayaan)

Kontradiksi dari keyaknan, idealisme dan sistem nilai yang menyebabkan disonansi kognitif
yang dapat diatasi dengan mengganti keyakinan yang teruji, bahkan justru sangkut pautnya jika
mempengaruhu perubahan, luaran stress mental yang memperbaiki konsonansi psikologis kepada
seseorang dengan mispersepsi (salah paham), penolakan atau membantah bahwa sesuatu salah
dari kontradiksi, mendambakan dukungan moral dari orang-orang yang berbagi keyakinan
kontradiktif atau beraksi untuk membujuk rayu orang bahwa kontradiksi itu tidak riil. [17][18]:123

Hipotesis awal dari kontradiksi keyakinan yang dipresentasikan di When Prophecy Fails (1956)
menyuguhkan info bahwa keimanan semakin tajam mendalam antar anggota komunitas relijius,
terlepas dari ramalan datangnya makhluk asing ke bumi, atau kiamat, korupsi dan lain
sebagainya. Timbullah disonansi kognitif akut: Apakah mereka korban hoax, apakah mereka
sudah sampai terkena kasus penipuan yang menguras harta milik mereka?

Resolusi antara keyakinan skrip/naskah/skenario akhir jaman/apocalypse secara materialistik,


akhirnya sekte-sekte/ komuni (cult) ini merestorasi konsonansi mereka dengan mempercayai
konsep/konsttruk ide yang kurang membuat stres mental (para alien/makhluk asing mengarahkan
kembali bumi sebagai kepunyaan manusia sebagai kesempatan kedua, dengan konsekuensi
manusia harus menggerakkkan kembali advokasi sosial untuk memberhentikan kerusakan
lingkungan bumi, contohnya).

25
[19]
Dalam mengatasi keyakinan yang membingungkan/menyesatkan/menjerumuskan dengan
gerakan ramah lingkungan global, misalnya – sekte atau komunitas tertentu melonjak secara
statistik melalui proselitisme (Proselyt atau proselit memiliki arti pendatang yang berasal dari
bahasa Yunani. Dalam Perjanjian Lama, proselit dimaksudkan untuk orang yang bukan suku
bangsa Israel. Mereka mengenyam hak tamu dan berada di bawah perlindungan Undang-
Undang).

Studi The Rebbe, the Messiah, and the Scandal of Orthodox Indifference (2008) melaporkan
kontradiksi yang terjadi pada kaum Yahudi Ortodox Konggregasi Chabad yang mempercayai
bahwa Rabbi mereka (Menachem Mendel Schneerson) adalah sebenarnya Sang Messiah,
berlawanan dengan klaim bahwa Schneerson adalah Messiah juga dan akan bangun kembali dari
kematian. .[20]

Induced Compliance (Kepatuhan Yang Diinduksi/Sukses Dikondisikan)

Beberapa contoh kasus klasik (Hasil Penelitian Terdahulu):

1. Pembenaran diri seorang yang bertingkah laku disonan dan setelahnya mungkin
menemukan elemen konsonan (penjual obat palsu namun dalam waktu yang bersamaan
merasa bersalah/berdosa sehingga perlu mengganti keyakinannya tentang kebohongan
yang ia buat sebagai sales trick/gimmick).
2. In the Cognitive Consequences of Forced Compliance (1959), para investigator, Leon
Festinger dan Merrill Carlsmith meminta muridnya melakukan tugas yang membosankan
yang dimana tugas ini membentuk sikap kuat, negatif dan mental pada subjek – jika
sudah rampung, satu grup intervensi diminta membicarakan tugas itu dengan subjek lain
(aktor bayaran) betapa menyenangkannya tugas berikut. Subjek kelompok intervens
dibayar $20 dan grup control diupahi $1 serta diperintahkan untuk tidak berbicara dengan
subjek imposter (artis palsu).[21] Kesimpulannya adalah apakah grup kontrol lebih
bersikap positif daripada grup intervensi dan disini dideteksi disonansi kognitif
(ketidaknyamanan); antara “menarik” atau “menjemukan” sebagai sikap mental.

26
Forbidden Behaviour Paradigm (Paradigma Perilaku Terlarang)

Dalam karya Effect of the Severity of Threat on the Devaluation of Forbidden Behavior (1963)
dari Elliot Aronson dan Carlsmith yang memeriksa pembenaran diri (self-justification) tentang
larangan menggunakan sebuah benda mainan anak-anak, setelah mereka dihukum ringan agak
merasa enggan bermain dengan benda yang tidak diperkenankan tersebut karena mereka sangat
berkorban untuk meyakinkan diri mereka sendiri bahwa mainan yang terlarang dipegang atau
dipakai itu (sekop uap) tidak sepadan nilainya untuk diperjuangkan dibandingkan dengan
hukuman yang akan mereka terima nantinya. [22]

In The Efficacy of Musical Emotions Provoked by Mozart's Music for the Reconciliation of
Cognitive Dissonance (2012), sebuah varian paradigma mainan terlarang, mengindikasikan
bahwa mendengarkan musik mengurangi perkembangan disonansi kognitif. [23] Kedua peneliti,
Nobuo Masataka and Leonid Perlovsky, mengintisarikan bahwa music dapat menghambat
kognisi yang menginduksi disonansi kognitif.[23] Musik adalah stimulus yang bisa
menghilangkan disonansi post-desisional; dalam eksperimen sebelumnya, Washing Away
Postdecisional Dissonance (2010), peneliti menandakan bahwa aksi mencuci tangan dapat
menghalangi kognisi yang menginduksi disonansi kognitif.[24]

Free Choice (Pilihan Bebas)

Dalam studi Post-decision Changes in Desirability of Alternatives (1956), 225 murid perempuan
diminta untuk memilih dua perabotan domestik/rumah tangga sebagai hadiah. Hasilnya: Mereka
menaikkan penilaian/rating atas barang yang mereka pilih dan menurunkan nilai barang yang
mereka tolak/tidak sukai. [25]

Jenis disonansi kognitif ini terjadi pada seseorang yang dihadapkan dengan keputusan yang
dilematis/pelik, ketika objek yang ditolak selalu berdaya tarik bagi pihak pemilih. Aksi
menentukan pilihan memprovokasi disonansi psikis untuk mengambil X daripada Y, walaupun
begitu tetap ada aspek dari Y yang digemari sesuai selera pemilih sejujurnya.

The study Choice-induced Preferences in the Absence of Choice: Evidence from a Blind Two-
choice Paradigm with Young Children and Capuchin Monkeys (2010) melaporkan hal yang sama
akan tindakan pada binatang dibandingkan dengan manusia.[26]

Peer Effects in Pro-Social Behavior: Social Norms or Social Preferences? (2013) meringkas
padat bahwa dengan deliberasi internal, strukturisasi keputusan antar satu sama lain/sesama
dapat mempengaruhi bagaiman seseorang bertingkah laku dan dimana preferensi dan norma
sosial berkaitan dan fungsi dengan pemberian upah kepada tiga orang. Aksi orang yang pertama
mempengaruhi tindakan orang yang kedua. Singkat kata, aversi inekuitas adalah puncak
keprihatinan/pertimbangan dari partisipan.[27]

27
Effort Justification (Pembenaran Usaha)

Disonansi kognitif berlangsung pada individu yang secara sukarela terlibat aktif dalam aktivitas
yang tidak menyenangkan - baik secara fisik maupun etik, untuk meraih hasil tujuan/menyambut
maksud, visi atau misi di awal. Dalam tulisan The Effect of Severity of Initiation on Liking for a
Group (1956), dua grup subjek penelitian melalui ritual inisiasi yang memalukan yang
menyebabkan keparahan traumatik. Grup pertama diminta membaca tentang 12 kata berkonotasi
seksual yang dianggap cabul; sedangkan grup kedua disuruh membaca 12 kata seksual yang
tidak dianggap cabul. [28] Dua grup diberikan headphones untuk mendengar narasi perilaku
seksual hewan, dimana peneliti diatur untuk membisankan dan tidak menarik, orijinal. Hasilnya,
subjek dengan inisiasi keras meminta membaca dengan lantang mengevaluasi bahwa orang-
orang dalam grup mereka sebagai orang yang lebih menarik daripada grup yang diinisiasi lebih
lembut/halus dalam kelompok diskusi. [29]

Dalam buku Washing Away Your Sins: Threatened Morality and Physical Cleansing (2006),
didapati inferensi bahwa gerakan cuci tangan yang membantu disonansi kognitif setelah
keputusan efektif karena stress mental biasanya disebabkan oleh rasa muak seseorang secara etis
terhadap dirinya sendiri, dimana emosi berhubungan dengan rasa jijik yang disebabkan
lingkungan yang kotor. [24][30]

Studi bertajuk The Neural Basis of Rationalization: Cognitive Dissonance Reduction During
Decision-making (2011) membuat ranking/tingkatan/rating/mengkisar/manaksir 80 nama dan 80
lukisan atas seberap banyak mereka senang akan nama dan lukisannya. Untuk memberi
arti/makna pada keputusannya, partisipan ditanya untuk memilih nama yang dimana mereka
mungkin pakai untuk anaknya. Untuk penilaian lukisan, partisipan ditanay untuk mendasarkan
skala mereka pada apakah mereka berniat akan memajang karya seni itu di rumahnya masing-
masing kelak atau tidak. [31]

Hasilnya menunjukkan bahwa ketika waktu menunjukkan bahwa keputusan itu bermakna
krusial/vital bagi seseorang berdasarkan sikapnya (positif, netral atau negatif) terhadap nama dan
lukisan yang dipertanyakan. Partisipan juga diminta kesediaannya untuk berkenan tak keberatan
menilai dua dari keseluruhan karya lukisan yang sudah dikisar secara positif. Hasil membuktikan
bahwa partisipan diperkuat selama periode penilaian dan partisipan merugi secara disona
kognitif ketika diserang dengan nama yang disukai dan dipasamgkan dengan lukisan yang
mereka tidak pilih/tidak suka. [31]

28
IV. Latest Literature Review / Tinjauan Kepustakaan Terbaru

1.

Disonansi kognitif adalah suatu keadaan ketidaknyamanan psikologis atau tekanan yang telah
dipahami oleh orang-orang yang memiliki lebih dari dua sikap, nilai dan keyakinan yang
berkonflik dalam kurun waktu yang sama. Konsepsinya diasosiasikan dengan keraguan diri
pada saat sedang membuat keputusan-keputusan dalam hidupnya. Sasaran dari studi ulasan
ini adalah untuk menekankan pada disonansi kognitif, alasan-alasan yang menyebabkan
disonansi kognitif, teori disonansi kognitif, teori kognitif disonansi dengan revisi, afiliasi
antar didonansi kognitif dan strategi eliminasi dari disonansi kognitif. Disonansi kognitif
adalah aspek yang paling berdampak mantap pada masa berjayanya Psikologi Sosial dekade
lalu. Koreksi dari teori disonansi kognitif memfokuskan pada disonansi kognitif yang timbul
ke permukaan dari fungsi konsep diri.

Disonansi kognitif disebabkan oleh banyak alasan seperti perilaku taat, submisif, kepatuhan
atau konformis yang ‘dipaksa’, memperoleh info baru dan berbeda, selama proses
pengambilan keputusan oleh individu tersebut. Eksistensi disonansi kognitif meningkatkan
kondisi motivasi seseorang untuk merubah tindak-tanduknya. Disonansi kognitif sangat erat
dikaitkan dengan perubahan dalam sikap. Perubahan secara behavioral, elemen kognitif
sosial, penambahan komponen dan antisipasi atas penurunan disonansi adalah strateginya.

29
2. International Journal of Humanities and Social Science Vol. 1 No. 6; June 2011 131
The Advances in the History of Cognitive Dissonance Theory
Irem Metin
Middle East Technical University Faculty of Arts and Sciences, Department of Psychology
Ankara/ Turkey 06800
E-mail: metinirem@gmail.com, Phone: +90 535 4457756

Selin Metin Camgoz


Hacettepe University, Iktisadi Idari Bilimler Beytepe Kampusu Çankaya
Ankara/Turkey
E-mail: selinm@hacettepe.edu.tr, Phone: +90 542 2162939

Artikel ini menampilkan serangkai kemajuan dalam sejarah teori disonansi kognitif. Dsonansi
kognitif telah menjadi salah satu fenomena yang paling luas dipelajari dalam sejarah
ranah/domain/peminatan jurusan ilmu Psikologi Sosial. Teori yang diajukan adalah ketika
individu atau grup/kelompok mengalami ketidaknyamanan (disonansi), mereka akan berupaya
mengurangi/menetralisir dan bukan mendramatisirnya melalui perubahan perilaku dan
pengetahuan atau keterampilan atau menambahkan elemen/komponen kognitif lanjutan. Teori ini
telah direvisi oleh para peneliti yang berempati diperan konsep diri dalam pemancingan
disonansi. Bagaimanapun, temuan ini membuka era baru teori-teori mini dan mengobati
kerinduan akan sempat hilang/pudarnya terminologi ini di akhir tahun 1970’an. Sintesis dalam
studi di masa depan selanjutnya akan menggerakkan disonansi kognitif lebih jauh dan panjang
dalam menerangkan kondisi dimana manusia mempertahankan konsistensi.

30
3. New Perspectives on Cognitive Dissonance Theory
Sebastian Cancino Montecinos
Academic dissertation for the Degree of Doctor of Philosophy in Psychology at
Stockholm University to be publicly defended on Friday 17 April 2020 at 10.00 in David
Magnussonsalen (U31), Frescati Hagväg 8.
Stockholm 2020 http://urn.kb.se/resolve?urn=urn:nbn:se:su:diva-179559 ISBN 978-91-7911-062-
8 ISBN 978-91-7911-063-5

Take-out/take-away/Excerpt:

• Disonansi kognitif secara umum diresmikan seagai aspek fundamental dari pemikiran
manusia, dan disonansi kognitif adalah konstruk yang paling terkenal/popular dan
mempelajari teori dalam kerangka kerja tersebut (contoh: triangulasi konsep diri).
• Disonansi kognitif bertahan ketika beberapa kognisi berkonflik atas sikap individu,
orang akan mengalamai afek negatif dan mendorong mereka untuk melakukan hal
yang mengurangi stres disonansi (perubahan perilaku).
• Tujuan tesis ini adalah menyelidiki beberapa kebaruan, dan pertanyaan yang tak
terjawab dalam cakupan area disonansi kognitif, dan menghubungkan teorinya
dengan teori lain yang serumpun topik/tema pembahasan. Pada Penelitian I,
diprediksikan bahwa menulis essay yang menantang/berlawanan/berselisih dengan
latar belakang sikap yang didukung dalam paradgima kepatuhan yang dibuat akan
membuat manusia melampiaskan mindset abstrak.
• Rasional dari prakiraan diatas: Berdasarkan teori aksi-identifikasi adalah bahwa
situasi yang asing dan sulit, dimana aksi biasanya tertunda, terhambat, terhalang,
terkendala – akan mengeluarkan sikap yang lebih konkrit representatif dari individu –
demi eksekusi aksi, mereka akan segera, setelah aksi dieksekusi, mengadopsi

31
representasi abstrak dari situaasi – dimana akan mengarah ke efek spillover dimana
perwakilan mental manusia secara umum menjadi lebih abstrak.
• Pada Studi II, tujuannya adalah menilik sampai tahap mana, dan bagaimana caranya,
emosi bisa berdampingan dengan efek konasi/perubahan perilaku dalam paradigma
penilaian kepatuhan yang diproduksi. Berdasarkan catatan regulasi emosi,
bagaimanapun, perubahan perilaku mengimplikasikan bahwa manusia adalah lebih
sering secara positif (daripada negatif) bersambung ke situasi tersebut – dan
semestinya memang begitu.

• Oleh karena itu, bertentangan dengan penelitian lama, diramalkan bahwa emosi
negatif akan secara berlawanan berhubungan dengan perubahan perilaku – sedangkan
emosi positif akan tetap berhubungan dengan alterasi tingkah laku. Hasil silang dari
dua eksperimen tadi mendukung semua peramalan ini. Akhirnya, pada Studi III,
sasarannya adalah untuk menyediakan model teoretik umum untuk reduksi disonansi.

• Berdasarkan perspektif kognisi-emotif (regulasi emosi, teori penakaran emosi, dan


mekanisme coping), disarankan bahwa proses reduksi dipengaruhi oleh intensitas dari
reaksi afektif yang pertama. Reaksi afektif (perasaan, emosi) akhirnya berkesempatan
terdampak oleh besarnya pengaruh disonansi dan kebaruan-keterkenalan-keterbacaan
dimensi dari situasi terkait.

• Ketika disonansi besarnya terlalu berlebihan luar biasa, dan kebaruan situasi, orang
banyak akan mayoritas melepas diri dari hal tersebut dengan cepat (meninggalkan
situasi atau mengalihkan perhatian/distraksi diri mereka sendiri). Jika, namun,
manusia memiliki motivasi, inspirasi cukup dan kapasitas kognitif, mereka bisa
mempraktekkan reduksi lebih sering lagi. Manfaat model ini adalah bisa
diimplementasikan pada situasi disonan apa pun. Digabungkan bersama, studi-studi
sejenisnya mennyampaikan bahwa masih banyak lagi yang masih bia dieksplorasi
dalam riset disonansi, dan juga banyak faedahnya dengan mengkonseptualisasikan
proses disonansi dalam kerangka kerja emosi kognitif.

• Saran untuk penelitian mendatang sebaiknya lebh serius menggali konteks sosial
(Contoh: pengaruh orang lain) dapat mempengaruhi proses disonansi. Penekanan juga
seharusnya diposisikan pada prevalensi dari situasi yang berbeda, dan upaya-upaya
reduksi yang dengan pendampingan, dalam setting kehidupan nyata.

32
V. Disonansi Kognitif Dalam Al-Qur’an (Dinamika & Dimensi Diskrepansi Perilaku)

Quran Surat As-Shaff Ayat 2

۟ ُ‫َيَٰٓأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمن‬


َ‫وا ِل َم تَقُولُونَ َما ََل تَ ْف َعلُون‬
Arab-Latin: Yā ayyuhallażīna āmanụ lima taqụlụna mā lā taf'alụn

Terjemah Arti: Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu
yang tidak kamu kerjakan?

Tafsir Quran Surat As-Shaff Ayat 2

Wahai orang-orang yang membenarkan Allah dan RasulNya serta melaksanakan


SyariatNya, mengapa kalian menjanjikan sesuatu dan mengucapkan sesuatu yang kalian
tidak lakukan? Ini adalah pengingkaran terhadap orang yang perbuatannya menyelisihi
perkataaannya.

Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia 2. Wahai orang-orang yang


beriman kepada Allah! Kenapa kalian berkata, “Kami telah berbuat sesuatu.” Padahal
sebenarnya kalian tidak melakukannya? Seperti ucapan seseorang di antara kalian, “Aku telah
berperang dengan pedangku dan aku telah menebaskannya.” Padahal dia tidak berperang dengan
pedangnya dan tidak menebas dengannya.

Tafsir Al-Mukhtashar / Markaz Tafsir Riyadh, di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih
bin Abdullah bin Humaid (Imam Masjidil Haram) 2-3. Allah menegur orang-orang beriman:
“Mengapa kalian mengaku beriman namun tidak kalian buktikan dengan perbuatan? Sungguh
besar kemurkaan Allah jika kalian mengatakan sesuatu, namun kalian tidak menjalankannya.”

Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah / Markaz Ta'dzhim al-Qur'an di bawah


pengawasan Syaikh Prof. Dr. Imad Zuhair Hafidz, professor fakultas al-Qur'an Universitas Islam
۟ ُ‫( يَٰٓأَيُّ َها الَّذِينَ َءا َمن‬Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu
Madinah 2. َ‫وا ل َِم تَقُولُونَ َما ََل ت َ ْفعَلُون‬
mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?) Ibnu Abbas berkata: dahulu sebelum
diwajibkan jihad, sebagian orang-orang beriman berkata: “Kami berharap Allah memberitahu
kami amal yang paling Dia cintai agar kami dapat menjalankannya.” Namun setelah Allah
memberitahu mereka bahwa amal yang paling Dia cintai adalah jihad, ternyata mereka enggan
melakukannya dan merasa berat untuk menjalankan perintah-Nya itu. maka turunlah ayat ini.

Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir / Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar,
mudarris tafsir Universitas Islam Madinah 2. Wahai orang-orang mukmin, kenapa kalian
berkata: “Sungguh kami telah melakukan sesuatu”, sedangkan kalian tidak melakukannya?. Hal
ini sebagai teguran atas kebohongan mereka saat meminta (perintah) jihad atau ibadah lainnya.
Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas berkata: “Sebelum ada perintah jihad, orang-orang mukmin
berkata:”Kami senang jika Allah menunjukkan kami amalan-amalan yang paling dicintaiNya,
maka kami akan mengerjakannya”. Kemudian Allah memberitahu NabiNya bahwa amalan yang

33
paling dicintai Allah adalah beriman kepada-Nya tanpa ragu, berjihad melawan orang-orang
yang selalu berbuat maksiat yang menolak beriman kepada-Nya, dan mengakui risalah Nabi-Nya
. Saat perintah jihad turun, orang-orang mukmin tersebut tidak menyukainya dan membuat
mereka terpecah belah. Kemudian Allah menurunkan ayat ini.”

Tafsir Al-Wajiz / Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih dan tafsir negeri
Suriah 2-3. Allah memperingatkan atas ibadah seorang hamba yang beriman untuk
meninggalkan persetujuan atas amalan yang hanya berupa perkataan, Allah berkata : Wahai
orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kenapa kalian katakan dari kebaikan
atas apa yang tidak kalian kerjakan ? Sungguh besar perbuatan jahat ini di sisi Allah, yaitu kalian
yang mengatakan, tapi kalian tidak mengamalkan. Karena sebuah amanah yang diberikan kepada
manusia yang lain adalah petunjuk bagi kejujuran dan kemulian atas tabiat manusia dan baiknya
kebiasaan yang mengatakan. Diriwayatkan dari hadits yang dikeluarkan oleh Ahmad dan
Tirmidzi dari Abdullah bin Sallam: Bahwasanya para lelaki dari para sahabat berkata:
Seandainya kami mengetahui sebuah amalan yang utama, yang dicintai Allah ketika seorang
hamba mengamalkannya, sungguh kami pasti mengamalkannya. Kemudian Allah menurunkan:
Telah bertasbih kepada Allah apa saja yang ada di langit dan apa saja yang ada di bumi; dan
Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Wahai orang-orang yang beriman, kenapa
kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? {Ash Shaf 1-2}. Berkata Abdullah bin
Sallam: Maka Rasulullah ‫ ﷺ‬membacakan ayat tersebut kepada kami. Ini adalah hadits yang
disebutkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya, kemudian Ibnu Katsir berkata : Sesungguhnya ucapan
yang tanpa pembenaran dengan amal, menjadi penyebab celaan dan sesuatu yang tidak
disenangi, ia adalah sebesar-besar sesuatu yang dibenci dan membuat kemurkaan.

An-Nafahat Al-Makkiyah / Syaikh Muhammad bin Shalih asy-Syawi 2-3. “Hai orang-
orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat,” maksudnya,
mengapa kalian mengatakan kebaikan dan mendorongnya, dan boleh jadi kalian memuji-muji
kebaikan itu namun tidak kalian lakukan? Mengapa kalian melarang keburukan, boleh jadi kalian
sucikan diri kalian dari keburukan tersebut namun kalian lakukan bahkan menjadi sifat kalian?
Lantas apakah kondisi tercela seperti ini pantas bagi orang-orang yang beriman? Bukankah amat
besar murka Allah pada orang yang mengatakan sesuatu namun tidak dikerjakan? Karena itu,
orang yang memerintahkan berbuat baik seharusnya menjadi orang pertama yang melakukannya.
Dan orang yang melarang keburukan seharusnya menjadi orang yang paling jauh darinya. Allah
berfirman, “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan
diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu
berpikir?” -Al-baqarah:44 Nabi syuaib berkata kepada kaumnya, “Dan aku tidak berkehendak
menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang.” -Hud: 88-

Tafsir as-Sa'di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, pakar tafsir abad 14 H
Yakni mengapa kamu berkata tentang kebaikan dan mendorong orang lain kepadanya, bahkan
terkadang kamu berbangga dengannya, namun kamu tidak melakukannya, dan kamu melarang
mengerjakan keburukan bahkan terkadang kamu menganggap bersih dirimu, namun ternyata
kamu malah dilumuri oleh dosa-dosa? Apakah keadaan yang tercela ini layak bagi orang-orang
mukmin? Atau bukankah yang demikian termasuk sangat dibenci Allah, yakni mengatakan apa
yang tidak dikerjakannya? Oleh karena itu, sepatutnya bagi orang yang memerintahkan kepada

34
kebaikan menjadi orang yang pertama melakukannya, dan orang yang melarang keburukan
menjadi orang yang pertama paling jauhi darinya. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman,
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri
(kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca kitab? Maka tidakkah kamu berpikir?” (Terj. Al
Baqarah: 44).

Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur'an / Ustadz Marwan Hadidi bin Musa, M.Pd.I Wahai orang-
orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya! mengapa kamu mengatakan secara terbuka di
hadapan orang banyak atau secara tertutup sesuatu yang tidak kamu kerjakan' apakah kamu
merasa tidak bersalah melakukannya'3. Perbuatan kamu, wahai orang-orang yang beriman, yang
tidak melakukan apa yang sudah dikatakan atau disampaikan kepada orang lain sangatlah dibenci
di sisi Allah, jika kamu mengikuti kebiasaan orang-orang munafik, mengatakan apa-apa yang
tidak kamu kerjakan, bermuka dua, tidak ada kesatuan kata dan perbuatan dan tidak ada
integritas.

Tafsir Ringkas Kementrian Agama RI

Referensi: https://tafsirweb.com/10874-quran-surat-as-shaff-ayat-2.html

Tafsir Hadits Tematik

Hadith 37

Abu Huraira reported: The Messenger of Allah, peace and blessings be upon him, said:

ُ ‫أَتَ ْد ُرونَ َما ْال ُم ْف ِل‬


‫س‬
Do you know who is bankrupt?

They said, “The one without money or goods is bankrupt.” The Prophet said:

‫ف‬ َ َ‫شت ََم َهذَا َوقَذ‬ َ ‫ص َي ٍام َوزَ َكا ٍة َو َيأ ْ ِتي قَ ْد‬ َ ‫س ِم ْن أ ُ َّم ِتي َيأ ْ ِتي َي ْو َم ْال ِق َيا َم ِة ِب‬
ِ ‫ص ََل ٍة َو‬ َ ‫ِإ َّن ْال ُم ْف ِل‬
‫سنَاتِ ِه َو َهذَا ِم ْن‬
َ ‫طى َهذَا ِم ْن َح‬ َ ‫ب َهذَا فَيُ ْع‬ َ ‫سفَ َك دَ َم َهذَا َو‬
َ ‫ض َر‬ َ ‫َهذَا َوأ َ َك َل َما َل َهذَا َو‬
‫علَ ْي ِه ث ُ َّم‬
َ ‫ت‬ْ ‫ط ِر َح‬ُ َ‫طايَا ُه ْم ف‬َ ‫علَ ْي ِه أ ُ ِخذَ ِم ْن َخ‬
َ ‫ضى َما‬ َ ‫سنَاتُهُ قَ ْب َل أ َ ْن يُ ْق‬ َ ‫ت َح‬ ْ َ‫سنَاتِ ِه فَإِ ْن فَنِي‬ َ ‫َح‬
ِ َّ‫ط ِر َح فِي الن‬
‫ار‬ ُ
Verily, the bankrupt of my nation are those who come on the Day of Resurrection with
prayers, fasting, and charity, but also with insults, slander, consuming wealth, shedding
blood, and beating others. The oppressed will each be given from his good deeds. If his
good deeds run out before justice is fulfilled, then their sins will be cast upon him and he
will be thrown into the Hellfire.

35
Source: Ṣaḥīḥ Muslim 2581, Grade: Sahih

VI. Aplikasi Kasuistik (Eks-Muslim Amerika & Selebritis Muslim Amerika)

1. Para cendekia/akademisi ex-muslim yang sekarang sudah resmi menjadi atheis


meninggalkan agama Islam - sekarang mereka melakukan road show/tour untuk
membicarakannya sebagai kelompok grassroot yang bergerak sporadis secara
akademis ke kampus-kampus di Amerika Serikat sebagai bentuk dukungan untuk
sesame ex-muslim yang kebanyakan masih mengalami penyiksaan kekerasan dari
lingkungan intinya karena pilihan yang dibuat dan masih merasakan
kegamangan/kegalauan dengan terbersit/terngiang wishful thinking seperti “what
if”..”should have, would have, could have…

2. Perilaku dengan pola hidup vegan-vegetarian (plant-based) namun juga masih tetap
mengkomsumsi daging merah dan daging babi oleh selebritis muslim warga
Amerika.

3. Perilaku artis/selebritis muslim Amerika Serikat mencoba tren hidup minimalisme


atau decluttering ala Marie Kondo agar tidak menjadi penimbun (hoarders) namun
di sisi lain overkompensasi dengan konsumtif untuk tas, mobil, rumah dan
perhiasan mewah (terutama di kultur pop dan hip-hop).

4. Perilaku hedonistik dan haram (kumpul kebo, hamil diluar nikah, menghisap ganja
harian, merokok berat harian, minum alkohol harian, berjudi, seks bebas,
pornografi/pornoaksi dalam diskografi mereka, dan semacamnya) - yang sangat
arbitrer bahkan untuk ukuran standar kepatutan/kelayakan/kepantasan (decency)
Amerika, namun dimaklumi dan ada pembiaran (permisif/laizzez-faire/learned
helpnessness).

36
5. Merokok dan melinting ganja (weed) dan minum alkohol di atas panggung ketika
melakukan bits stand-up komedi: (Dave Chapelle): “…To me, it’s an art form.”

The study Patterns of Cognitive Dissonance-reducing Beliefs Among Smokers: A Longitudinal


Analysis from the International Tobacco Control (ITC) Four Country Survey (2012)
menandakan bahwa perokok menyalahgunakan keyakinan justifikasi untuk mengurangi
disonansi kognitif mereka tentang merokok dan konsekuensinya. [35]Ada tiga tipe: Perokok
terusan, para eks-perokok yang sukses berhenti lama dan mantan perokok yang gagal berhenti
merokok. Untuk mengurangi disonansi kognitif, mereka menyesuaikan keyakinannya untuk
mengkorespondensi aksi mereka.

1. Keyakinan fungsional (“Merokok menenangkan saya ketika saya tegang atau membuat
saya bisa bergaul supel dan luwes.”).
2. Keyakinan yang meminimalisir resiko (“Bahaya merokok itu dibesar-besarkan, kita toh
akan mati juga kan, kenapa tidak nikmati rokok saja?’). [36]

6. Mengalami ketidaknyamanan ketika pemeriksaan medis

(Study titled Cognitive Dissonance and Attitudes Towards Unpleasant Medical Screenings
(2016), researchers Michael R. Ent and Mary A. Gerend memberitahukan tentang tes yang
sangat tidak nyaman untuk virus khusus yang bernama "human respiratory virus-27"/virus
pernafasan manusia-27”.[37]

37
Fenomena Yang Berpautan/Bertalian

Disonansi Kognitif juga terjadi ketika orang mencari:

• Menjelaskan perasaan yang sulit diungkapkan/diutarakan. [38]


• Meminimalisir penyesalan dari pilihan yang tidak bisa dimundurkan/diulang lagi.[39]
• Menjelaskan motivasi untuk mengambil tindakan yang memiliki insentif ekstrinsik
terkait. [40]
• Membenarkan perilaku yang berlawanan dengan pandangan mereka[41]
• Menyambungkan/meluruskan persepsi individu dengan perilaku terhadap orang tersebut
(efek Ben Franklin).
• Mengafirmasi keyakinan yang dipegang sebelumnya (bias konfirmasi). [42]

Implementasi teori Disonansi Kognitif banyak ditemui dalam bidang Pendidikan, Psikoterapi,
Intervensi Sosial, Perilaku Sosial, Perilaku Konsumen, Politik, Budaya, Komunikasi, Kecerdasan
Buatan (Artificial Intelligence=creative autonomy, Big Data, Cloud Computing). Sedangkan
paradigma alternatifnya adalah persepsi diri disonan (kasus OJ Simpson), Teori
Keseimbangan/Balance, Teori Diskrepansi Diri, Model Aksi-Motivasi, Model Disonansi
Prediktif, Penemuan Neurosains, Visualisasi (MRI biomekanik), Korelasi Emosional dan
Psikologi Stres Mental/Kesehatan Mental, Model Jejaring Syaraf, dan beragam macam secara
multidispliner, interdisipliner dan transdisipliner.

VII. Kontradiksi Teori

Karena disonansi kognitif relatif adalah ilmu baru/”segar”, para ilmuwan skeptik, salah satunya
seperti Charles G. Lord menulis makalah/jurnal tentang cukup tidaknya teori disonansi kognitif
dites dan apakah telah mencapai consensus tanpa ada sudut yang terlupakan/ketimggalan lagi.
Bagaimanapun, dengan rebuttal/juxtaposition terhadap teori, disonansi kognitif masih diterima
seperti halnya kebaruan yang canggih (state-of-the-art/here-and-now).

38
DAFTAR PUSTAKA

A Review of Cognitive Dissonance Theory in Management Research: Opportunities for Further


Development. Amanda S. Hinojosa, William L. Gardner, H. Jack Walker, First
Published September 14, 2016. Research Article https://doi.org/10.1177/0149206316668236

Interventions Highlighting Hypocrisy Reduce Collective Blame of Muslims for Individual Acts of
Violence and Assuage Anti-Muslim Hostility. Emile Bruneau,1,2 Nour Kteily,3 and Emily Falk1,
Pers Soc Psychol Bull. 2018 Mar; 44(3): 430–448.
Published online 2017, December 2018. DOI: 10.1177/0146167217744197
Cognitive Dissonance, Attitude Change and Ways to Reduce Cognitive Dissonance: A Review
Study Annu1* and Bimla Dhanda1 1 I.C. College of Home Science, CCS Haryana Agricultural
University, Hisar, 125004, India.: 10.9734/JESBS/2020/v33i630236.
Editor(s): (1) Chih-Wei Pai, Taipei Medical University, Taiwan. (2) Prof. Redhwan A. Al-
Naggar, Universiti Teknologi MARA, Malaysia.
Reviewers: (1) Lata Mullur, BLDE(DU), India. (2) D. Hari Krishna, B V Raju Institute of
Technology, India. (3) L. Manoj Kumar, Kerala University of Health Sciences, India.
Complete Peer review History: http://www.sdiarticle4.com/review-history/58722 Received 20
April 2020. Accepted 29 June 2020. Published 01 July 2020.

International Journal of Humanities and Social Science Vol. 1 No. 6; June 2011 131. The
Advances in the History of Cognitive Dissonance Theory. Irem Metin, Middle East Technical
University Faculty of Arts and Sciences, Department of Psychology Ankara/Turkey 06800
E-mail: metinirem@gmail.com, Phone: +90 535 4457756. Selin Metin Camgoz, Hacettepe
University, Iktisadi Idari Bilimler Beytepe Kampusu Çankaya, Ankara/Turkey
E-mail: selinm@hacettepe.edu.tr, Phone: +90 542 2162939

New Perspectives on Cognitive Dissonance Theory. Sebastian Cancino Montecinos, Academic


Dissertation for the Degree of Doctor of Philosophy in Psychology at Stockholm University to be
publicly defended on Friday 17 April 2020 at 10.00 in David Magnussonsalen (U31), Frescati
Hagväg 8.Stockholm 2020 http://urn.kb.se/resolve?urn=urn:nbn:se:su:diva-179559 ISBN 978-
91-7911-062-8 ISBN 978-91-7911-063-5.

Eksternal Links

https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/0149206316668236

https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0065260108600751

https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fpsyg.2019.01189/full

https://www.diva-portal.org/smash/get/diva2:1411016/FULLTEXT01.pdf

https://www.cbsnews.com/pictures/famous-muslim-celebrities/19/

39
http://www.ijhssnet.com/journals/Vol._1_No._6;_June_2011/14.pdf

https://en.wikipedia.org/wiki/Cognitive_dissonance

https://www.apa.org/pubs/books/Cognitive-Dissonance-Intro-Sample.pdf

https://www.nytimes.com/2017/05/13/opinion/sunday/do-muslims-have-to-be-democrats-
now.html

Festinger, L. (1962). "Cognitive dissonance". Scientific American. 207 (4): 93–107.


Bibcode:1962SciAm.207d..93F. doi:10.1038/scientificamerican1062-93. PMID 13892642.

Festinger, L. (1957). A Theory of Cognitive Dissonance. California: Stanford University Press.

Festinger, Leon (October 1962). "Cognitive Dissonance". Scientific American. 207 (4): 93–
106. Bibcode:1962SciAm.207d..93F. doi:10.1038/scientificamerican1062-93. PMID 13892642 –
via JSTOR.

Festinger, L., Riecken, H.W., Schachter, S. When Prophecy Fails (1956). Minneapolis:
University of Minnesota Press. p. 000.

Festinger, Leon; Carlsmith, James M. (1959). "Cognitive consequences of forced compliance".


The Journal of Abnormal and Social Psychology. 58 (2): 203–210. CiteSeerX 10.1.1.497.2779.
doi:10.1037/h0041593. PMID 13640824. S2CID 232294.

40
41

Anda mungkin juga menyukai