Anda di halaman 1dari 69

APLIKASI KONSEP

KEBERMAAFAN (FORGIVENESS)
DALAM TEKNIK KONSELING ISLAMI

MAKALAH
Diajukan sebagai salah satu tugas dari mata kuliah
Konseling Islami yang diampu oleh
Lilim Halimah, BHSc, MHPSY

Disusun Oleh:
Rachmawati Pratiwi 200 501 15002
Nurdini Amalia Shalihat 200 501 15011
Lufita Tria Harisa 200 500 13033

MAGISTER PROFESI PSIKOLOGI


PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2017
0
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah .................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah.............................................................................................. 3

BAB II APLIKASI KONSEP KEBERMAAFAN (FORGIVENESS) DALAM


TEKNIK KONSELING ISLAMI ......................................................................... 4

A. Konsep Kebermaafan ........................................................................................ 4

1. Pengertian Kebermaafan............................................................................. 4

2. Kebermaafan dalam Islam .......................................................................... 5

3. Dimensi Kebermaafan .............................................................................. 14

4. Tahapan Kebermaafan .............................................................................. 16

5. Faktor yang Memengaruhi Kebermaafan ................................................. 18

B. Kebermaafan sebagai Terapi ........................................................................... 20

C. Aplikasi Kebermaafan dalam Konseling/Psikoterapi ...................................... 22

1. Pertimbangan Kondisi Klien dalam Terapi Kebermaafan ........................ 22

2. Peran Terapis dalam Terapi Kebermaafan ............................................... 23

3. Langkah-langkah Intervensi Kebermaafan ............................................... 26

BAB III SIMPULAN .......................................................................................................... 58

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 60

LAMPIRAN 1 Kisah Rasulullah Memaafkan Wanita Yahudi yang Meracuninya

LAMPIRAN 2 Sikap Pemaaf Rasulullah dan Seorang Kafir yang Meludahinya

LAMPIRAN 3 Kisah Pemuda yang Bertaubat di Zaman Nabi Muhammad SAW

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Adalah benar bahwa manusia akan selalu dihadapkan pada berbagai problematika di
sepanjang hidupnya. Sayangnya, setiap individu memiliki kepribadian dan kemampuan
yang berbeda-beda dalam menghadapi problematika tersebut. Oleh sebab itu, tidak jarang
individu mengalami kecemasan, ketidaknyamanan, keputusasaan, bahkan hingga
menimbulkan gangguan tertentu akibat dari ketidakmampuan atau kegagalan dalam
mengatasi setiap masalah yang dihadapinya.
Dalam berinteraksi dengan individu lain, seseorang kadang-kadang berbuat salah kepada
individu lain. Pada sisi lain, ia tentu pernah mengalami perlakuan dan situasi yang
mengecewakan atau menyakitkan. Tidak semua orang mau dan mampu secara tulus
memaafkan dan melupakan kesalahan orang lain. Proses memaafkan memerlukan kerja keras,
kemauan kuat dan latihan mental karena terkait dengan emosi manusia yang fluktuatif,
dinamis dan sangat reaktif terhadap stimulan luar. Karenanya, tidak mengherankan bila ada
gerakan dan kelompok ekstrim atau pihak yang melakukan perbuatan anti sosial sebagai
akibat dari dendam dan kekecewaan masa lalu yang tidak termaafkan.
Dalam berbagai ajaran agama serta kepercayaan, sikap altruistik memang dijadikan
bentuk idealisme perilaku. Artinya, manusia hendaknya diharapkan secara tulus memohon
maaf atas kesalahan mereka dan memberi maaf atas tindakan keliru yang mengena pada
mereka. Saling memaafkan merupakan salah satu bentuk tradisi hubungan antar manusia,
akan tetapi tradisi ini sering kali juga hanya merupakan ritual belaka. Dengan kata lain,
perilaku tersebut dilakukan namun tidak disertai ketulusan yang sungguh-sungguh. Pada sisi
lain, ada mitos yang mengatakan bahwa dengan memberi maaf maka beban psikologis yang
ada akan hilang. Pada kenyataannya banyak orang yang memberi maaf kepada orang lain
kemudian kecewa dengan tindakan tersebut. Hal ini terjadi karena permintaan maaf sering
tidak ditindaklanjuti dengan perilaku yang konsisiten dengan permintaan maaf tersebut.
Hal yang sama pentingnya dengan memberikan maaf adalah kemauan meminta maaf.
Seseorang akan sulit memaafkan jika orang yang bersalah tidak minta maaf dan berupaya
memperbaiki kesalahannya. Beberapa penelitian (Darby dan Schlenker,1982; Ohbuchi dkk,
1989) menemukan bahwa meminta maaf sangat efektif dalam mengatasi konflik interpersonal,
karena permintaan maaf merupakan sebuah penyataan tanggung jawab tidak bersyarat atas
kesalahan dan sebuah komitmen untuk memperbaikinya. Droll (1984) menyatakan bahwa

1
memaafkan merupakan bagian dan kemampuan seseorang melakukan komunikasi
interpersonal.
Apabila dilihat dari kacamata Islam, setiap individu memiliki aspek religiusitas di
dalam dirinya yang dapat membantunya menghadapi setiap permasalahan hidup, salah
satunya adalah anjuran untuk tabah, sabar, berlapang dada dan sikap memaafkan. Agama
menganjurkan sikap tabah dan memaafkan agar individu siap dan dapat menguasai diri
serta tidak melakukan tindakan-tindakan negatif dalam merespon berbagai ujian dan
kejadian yang tidak diharapkan.
Meskipun Al-Quran dan Hadits telah sejak dahulu menganjurkan sikap tabah dan
memaafkan jika menghadapi ujian, tetapi pada kenyataannya, tidak setiap individu
mampu dan berhasil dalam melakukannya. Kegagalan tersebut diasumsikan berkaitan
dengan bagaimana individu dapat atau tidaknya mempelajari “cara” memaafkan. Maka
dari itu, banyak individu yang merasa kesulitan memaafkan seseorang/suatu kejadian,
bukan karena tidak ingin memaafkan tetapi tidak mengetahui mengenai bagaimana cara
memaafkan. Di sisi lain, sikap tabah dan memaafkan dapat menurunkan amarah dan rasa
dendam terhadap suatu hal.
Periset dan terapis baru-baru ini mulai mempromosikan terapi forgiveness
(memaafkan) sebagai sebuah cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi konflik
interpersonal (Landry, Rachal, Rachal, & Rosenthal dalam Browne et al, 2009: 1). Dalam
sebuah tinjauan terhadap penelitian intervensi forgiveness, telah dilaporkan bahwa
intervensi forgiveness ini dapat berhasil diaplikasikan dalam intervensi klinis.
Malcolm, Warwar, dan Greenberg (dalam Browne, 2009: 2), menjelaskan bahwa
bagaimanapun juga, pada dasarnya, “memaafkan” sulit dilakukan jika tanpa pengetahuan
spesifik tentang cara terbaik untuk memfasilitasi proses “memaafkan” yang dilakukan
oleh individu dalam proses terapi. Oleh sebab itu, maka proses “memaafkan” ini harus
difasilitasi dengan tugas-tugas terapeutik, seperti apa itu memaafkan, bagaimana cara
kerjanya dan apakah hal tersebut dapat diterapkan pada proses konseling atau tidak.
Worthington (dalam Browne, 2009: 2) mengembangkan teori memaafkan dan meneliti
mengenai bagaimana aspek teologis, biologis, psikologis, dan sosial dapat menggerakkan
seorang individu untuk memaafkan. Penelitian menunjukan bahwa individu yang
menggunakan coping memaafkan menunjukan penurunan stress yang signifikan. Tetapi
lebih dalam dari sekedar coping yang digunakan individu untuk mengatasi rasa stresnya,

2
hal tersebut menjadi pertanyaan besar bagi seorang terapis tentang bagaimana proses yang
terjadi dalam diri individu untuk melakukan “pemaafan”.
Sebelum 20 tahun terakhir, studi forgiveness telah diturunkan ke para teolog (pemuka
agama), dan belum dianggap serius sebagai usaha ilmiah. Pada awalnya, forgiveness
dianggap sebagai materi spiritual yang berada di tangan para pemuka agama. Akan tetapi
pada saat ini, masalah spiritual telah diakui sebagai komponen penting dari kesejahteraan
individu kesejahteraan dalam dunia konseling.
Freedman, Enright, dan Knutson (dalam Browne, 2009: 5) melaporkan bahwa telah
terjadi ketertarikan yang meningkat pada intervensi forgiveness. Responden menunjukan
bahwa memaafkan adalah isu klinis yang sangat penting. Tampaknya jelas bahwa
intervensi memaafkan telah diakui oleh para periset di berbagai ilmu sosial dan sah untuk
diselidiki dan dibuktikan secara empiris.
Meskipun konsep memaafkan telah ada dalam Al-Quran dan Hadits, akan tetapi
sebagai terapis, kita perlu mengoperasionalkan konsep memaafkan sehingga dapat
mengarahkan para terapis dalam melakukan intervensi pada kliennya. Oleh sebab itu
diperlukan berbagai literatur professional yang menjelaskan mengenai bagaimana “cara
memaafkan”, yang dapat dipelajari oleh klien untuk mencapai ketenangan batin.
Berdasarkan pemikiran dan kebutuhan yang telah dijelaskan di atas, maka dalam
makalah ini akan dijelaskan mengenai bagaimana konsep memaafkan dalam Al-Quran
dan Hadits diaplikasikan ke dalam teknik-teknik konseling sehingga terapis dapat
melakukan tahapan intervensi dan membimbing klien untuk belajar menumbuhkan dan
belajar tentang cara memaafkan.

B. Rumusan Masalah
Makalah ini disusun berdasarkan rumusan masalah berikut ini:
1. Bagaimana konsep memaafkan dalam Islam?
2. Bagaimana operasionalisasi konsep kebermaafan dalam intervensi psikologi (tahapan
dan dimensi kebermaafan)?
3. Dalam kasus seperti apa intervensi kebermaafan dapat digunakan?
4. Bagaimana konsep kebermaafan diaplikasikan dalam teknik-teknik konseling/
psikoterapi Islami?

3
BAB II
APLIKASI KONSEP KEBERMAAFAN (FORGIVENESS)
DALAM TEKNIK KONSELING ISLAMI

A. Konsep Kebermaafan
1. Pengertian Kebermaafan
Worthington & Wade (1999) membedakan antara unforgiveness dan
forgiveness. Unforgiveness merupakan suatu keadaan emosi “dingin” yang meliputi
kemarahan, kegetiran bahkan kebencian, ada motivasi menghindar atau membalas
dendam terhadap pelaku, sebaliknya forgiveness adalah pilihan internal orang yang
disakiti (baik sengaja atau tidak sengaja) untuk melepaskan unforgiveness dan untuk
mencari rekonsiliasi terhadap pelaku jika hal tersebut dirasa aman, bijaksana dan
mungkin untuk dilakukan.
Pemaafan merupakan kesediaan untuk menanggalkan kekeliruan masa lalu yang
menyakitkan, tidak lagi mencari-cari nilai dalam amarah dan kebencian, dan menepis
keinginan untuk menyakiti orang lain atau diri sendiri. Pendapat senada dikemukakan oleh
McCullough dkk. (1997) yang mengemukakan bahwa pemaafan merupakan seperangkat
motivasi untuk mengubah seseorang untuk tidak membalas dendam dan meredakan
dorongan untuk memelihara kebencian terhadap pihak yang menyakiti serta meningkatkan
dorongan untuk konsiliasi hubungan dengan pihak yang menyakiti. Enright (dalam
McCullough dkk., 2003) mendefinisikan pemaafan sebagai sikap untuk mengatasi hal- hal
yang negatif dan penghakiman terhadap orang yang bersalah dengan tidak menyangkal
rasa sakit itu sendiri tetapi dengan rasa kasihan, iba dan cinta kepada pihak yang
menyakiti.
Proses forgiveness juga melibatkan pilihan atau keputusan sukarela oleh orang
yang telah disakiti untuk tidak marah, tidak menolak atau merasa tidak adil dalam
merespon perilaku yang menyakitkan. Forgiveness lebih kepada pilihan aktif daripada
sekedar pengurangan pasif pada rasa marah atau rasa dendam sepanjang waktu
(Kaminer, Skin, Mbanga & Dirwayi, 2000). Forgiveness merupakan bagian dari suatu
proses yang perlahan, sedikit demi sedikit. Proses ini dimulai dari seseorang
menuturkan rasa sakit setelah terjadi peristiwa menyakitkan, lalu berkembang sampai
menjalani pengalaman- pengalaman korektif yang membangun kembali kepercayaan
dan keintiman. Hal ini dilakukan dengan sukarela secara bertahap, hari demi hari
(Spring dan Spring 2006).

4
Gartner (1988 dalam Spring & Spring, 2006) menyatakan bahwa forgiveness
yang matang tidak berarti menghapuskan perasaan-perasaan negatif terhadap orang
lain (atau diri sendiri). Rasa marah terhadap seseorang yang telah menyebabkan luka
harus diimbangi dengan penghargaan atas komitmen, kualitas dan motivasi yang baik,
atau paling tidak, empati pada segala kekurangan yang mendorongnya berperilaku
destruktif. Hal itu akan melahirkan pandangan yang lebih seimbang dan realistis
mengenai orang lain (dan diri sendiri), ketulusan hubungan yang memperkaya
pengalaman batin, dan kemampuan lebih besar untuk secara konstruktif menanggapi
seseorang dan situasi yang membuat frustrasi.
Berdasarkan definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa forgiveness
adalah proses yang terjadi perlahan-lahan sebagai pilihan internal seseorang yang
mengalami rasa sakit yang dalam, untuk waktu yang lama, berusaha untuk mengatasi
perasaan dan penilaian negatif terhadap orang yang melakukan hal-hal menyakitkan
dirinya. Forgiveness melibatkan perubahan sikap yang sebelumnya ingin membalas
dendam dan menjauhi pelaku, menjadi ingin berdamai dengan pelaku, dimana perilaku
forgiveness ini akan muncul baik pikiran, perasaan dan tingkah laku orang yang telah
disakiti.

2. Kebermaafan dalam Islam


Dr. Nadiah Thayyarah (2013) menyebutkan bahwa di dalam Al-Quran terdapat
banyak ayat yang menyeru manusia agar memaafkan kesalahan orang-orang yang
berbuat salah.

“Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta
berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf: 199).
Dalam ayat yang lain.

“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun


sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan)
orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran: 134).
5
Kata marah atau kemarahan berasal dari kata ghadhaba-yaghdhubu-
ghadhaban; al-ghadhbu dalam bentuk isim berarti lembut, singa; al-ghadhabu artinya
kemarahan; al-ghudhuub artinya ular yang jahat. Al-ghadhab ialah perubahan yang
terjadi ketika mendidihnya darah di dalam hati untuk memperoleh atau meraih
kepuasan apa yang terdapat di dalam dada (Amin & Harianto, 2005).
Eksistensi kemarahan menurut Imam Al-Ghazali (Amin & Harianto, 2005)
berada pada dua tempat. Pertama, kemarahan yang ada di dalam diri manusia untuk
menjaganya dari kerusakan dan untuk menolak kehancuran. Di dalam penciptaan
manusia, terdapat sesuatu yang panas dan sesuatu yang dingin dan di antara kedua-
duanya selalu bermusuhan dan bertentangan. Kedua, kemarahan dari luar diri manusia,
yang disebabkan oleh terbenturnya manusia dengan kendala-kendala atau marabahaya.
Sayyid Quthb (2001) menjelaskan bahwa reaksi kemarahan mempunyai kaitan
dengan kulit luar, yang disertai atau diikuti gejolak di dalam darah (naik darah). Jadi ia
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses pembentukan kulit dan salah
satu kebutuhannya. Kemarahan tidak akan bisa dikendalikan oleh manusia kecuali
dengan kejernihan yang lembut yang bersumber dari pancaran taqwa, dan dengan
kekuatan spiritual yang muncul dari keinginan untuk mencapai ufuk yang lebih tinggi
dan lebih luas ketimbang berbagai ufuk diri dan kebutuhan.
Menahan kemarahan adalah tahapan pertama. Ia sendiri belum cukup. Bisa jadi
manusia menahan kemarahannya untuk mendengki dan mendendam, lalu berubah
menjadi kemarahan yang menggelegak dan kemurkaan yang nyata hingga dendam
yang terpendam. Sesungguhnya kemarahan dan kemurkaan lebih bersih dan lebih suci
ketimbang dendam dan kedengkian. Oleh karena itu nash al-Qur’an terus menegaskan
terkikisnya kemarahan yang tertahan tersebut di dalam jiwa orang-orang yang
bertaqwa. Itulah dia pemaafan, toleransi dan kelapangan (Sayyid Quthb, 2001).
Sesungguhnya kemarahan adalah beban berat bagi jiwa jika Anda
menahannya, api yang membakar hati, dan asap yang menutupi nurani. Tetapi jika
jiwa dan hati telah memaafkan maka ia akan terbebas dari beban berat tersebut,
berkibar di kaki langit cahaya, terasa sejuk di hati dan damai di dalam jiwa (Sayyid
Quthb, 2001).
Sahabat Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa ada seseorang yang
menghadap kepada Rasulullah SAW seraya berkata: Ya Rasulullah, nasihatilah aku”
Rasul pun menasihatinya dengan sabdanya yang lugas dan singkat: “La taghdhab:!

6
(Janganlah engkau marah). Lalu orang itu mengulangi perkataannya berkali-kali,
Rasul pun tetap dengan sabdanya, “La taghdhab:! (Janganlah engkau marah).

“Sebahagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu
kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka
sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma'afkanlah dan biarkanlah
mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya1. Sesungguhnya Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 109).
Itulah hal yang bisa dilakukan oleh kedengkian yang tercela terhadap jiwa
manusia. Ambisi untuk merenggut kebaikan yang telah diraih oleh orang lain (Sayyid
Quthb, 2000). Kedengkian adalah pengaruh reaksi hitam dan hina yang memenuhi—
dan akan terus memenuhi—jiwa orang-orang Yahudi dalam menyikapi Islam dan
kaum Muslimin. Kedengkian ini telah dan akan senantiasa menjadi pangkal
munculnya berbagai konspirasi dan semua makar jahat mereka. Kedengkian inilah
yang diungkapkan Al-Qur’an kepada kaum Muslimin agar mereka mengetahuinya dan
mengerti bahwa kedengkian merupakan faktor penyebab yang tersembunyi di balik
setiap upaya Yahudi untuk merongrong akidah di dalam jiwa mereka dan selanjutnya
mengembalikan mereka kepada kekafiran yang pernah mereka jalani dan baru saja
dibebaskan Allah darinya dengan keimanan dan karunia serta nikmat terbesar yang
membuat orang-orang Yahudi dengki terhadapnya (Sayyid Quthb, 2000).
Di sinilah—setelah hakikat ini terungkapkan, setelah niat jahat dan kedengkian
tercela itu terbongkar—Al-Qur’an mengajak kaum Muslimin untuk tidak menghadapi
kedengkian dengan kedengkian, kejahatan dengan kejahatan, dan mengajak mereka
untuk berlapang dada dan memaafkan hingga Allah mendatangkan urusan-Nya sesuai
waktu yang dikehendaki-Nya. dan teruslah melaju di jalan yang telah dipilihkan Allah
untuk kamu. Sembahlah Tuhanmu dan tabunglah kebaikan-kebaikan di sisi-Nya
(Sayyid Quthb, 2000).

1
Maksudnya: keizinan memerangi dan mengusir orang Yahudi.
7
Sambil menantikan keputusan Ilahi ini Al-Qur’an mengajak mereka untuk
memaafkan dan bersikap toleran, agar hati mereka terbebas dari kebusukan penyakit
dengki dan kebencian, dan membiarkan hati tetap baik menantikan keputusan dari
Pemilik segenap urusan dan kehendak (Sayyid Quthb, 2000).

“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang
berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa
mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (QS. Al-
Furqan: 63).
Demikian pula dalam sunnah Nabi, banyak hadis yang menganjurkan untuk
memaafkan kesalahan orang lain dan menyingkirkan kedengkian dalam hati.
Ibnu an-Najjar meriwayatkan bahwa Nabi bersabda, “Sambunglah silaturahmi
dengan orang yang memutusnya dan berbuat baiklah kepada orang yang telah
bersikap buruk kepadamu. Katakan yang benar walaupun terhadap dirimu sendiri.”
Dalam hadis lain, “Tak ada takaran yang lebih besar pahalanya di sisi Allah
dari takaran amarah yang ditahan seseorang demi mengharap ridha Allah.” (HR.
Ibnu Majah).
Sikap pemaaf dapat membuat manusia yang dianiaya atau dizalimi oleh orang
lain mampu hidup dengan tenang dan damai. Sebab sikap ini menjauhkannya dari
kegelisahan atau tekanan emosi serta akibatnya yang dapat merugikan kesehatan
(Thayyarah, 2013).
Dr. Nadiah Thayyarah (2013) menjelaskan maksud menahan amarah dan
memaafkan dalam hadis di atas adalah memberi maaf saat mampu. Para perawi
meriwayatkan dari Nabi dengan isnad yang baik, bahwa beliau bersabda, “Siapa yang
menahan amarahnya padahal ia mampu mengeluarkannya, maka Allah akan
memanggilnya sebagai pemuka seluruh makhluk, memberinya pilihan berupa
bidadari-bidadari cantik. Ia boleh menikahi siapa saja di antara mereka yang
diinginkannya.”

8
“Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka
membela diri. Dan Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka
barang siapa memaafkan dan berbuat baik2. Maka pahalanya atas (tanggungan)
Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Asy-Syuura:
39-40).
Ini adalah prinsip dalam balasan. Kejahatan dibalas dengan kejahatan, agar
kejahatan tidak merajalela dan melampaui batas. Ketika kejahatan itu tidak
menemukan pencegah yang menghentikannya dari berbuat rusak di muka bumi, maka
kerusakan itu yang terus berlangsung dengan mulus (Sayyid Quthb, 2009).
Yang demikian itu disertai anjuran memberi maaf demi mencari balasan Allah,
memperbaiki diri dari sifat marah, dan memperbaiki Jama’ah dari sifat dendam. Ini
adalah pengecualian dari kaidah di atas. Tidak disebut maaf kecuali ada kemampuan
untuk membalas kejahatan dengan kejahatan. Karena dalam kondisi seperti inilah
maaf memiliki bobot dan pengaruhnya dalam perbaikan, baik terhadap orang yang
berbuat salah, ataupun terhadap orang yang memberi maaf. Ketika orang yang
bersalah itu merasa bahwa maaf itu datang dari kelapangan hati, bukan dari
ketidakberdayaan, maka ia akan merasa malu dan menyadari bahwa orang yang
memaafkannya itu lebih tinggi. Orang kuat yang memaafkan maka jiwanya menjadi
jernih dan tinggi. Maka pemaafan pada saat itu lebih baik baginya dan bagi orang yang
dimaafkan. Tidak demikian halnya ketika maaf datang dari orang yang tidak berdaya
dan lemah. Tidak boleh menyebutkan maaf pada kondisi tidak berdaya, karena ia tidak
memiliki eksistensi. Yang demikian itu adalah keburukan yang membuat pelaku
kejahatan makin berambisi dan orang yang dianiaya merasa rendah, bahkan bisa
menebarkan kerusakan di muka bumi (Sayyid Quthb, 2009).

“…Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Asy-Syuura:


40).

2
Yang dimaksud berbuat baik di sini ialah berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat kepadanya.

9
Dari satu sisi, ini adalah penegasan terhadap kaidah pertama: “Dan Balasan
suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa” (QS. Asy-Syuura: 40). Dan dari sisi
lain, ia menginspirasikan keadilan saat membalas kejahatan atau memaafkannya, dan
tidak melampaui batas dalam membalas (Sayyid Quthb, 2009).
Penegasan lain berikut ini lebih rinci:

“Dan Sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada
satu dosapun terhadap mereka. Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang
berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. mereka
itu mendapat azab yang pedih.” (QS. Asy-Syuura: 41-42).
Orang yang membela diri setelah dianiaya, membalas kejahatan dengan
kejahatan, dan tidak melampaui batas itu tidak berdosa. Ia hanya menjalankan haknya
yang disyari’atkan, sehingga tidak seorang pun yang punya hak untuk menahannya.
Orang-orang yang harus dihalangi jalannya adalah orang-orang yang menzalimi
manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Karena bumi ini tidak akan
nyaman saat ada orang sewenang-wenang dan tidak ada orang yang melawannya dan
membalasnya. Allah mengancam orang yang zalim dan melampaui batas itu dengan
siksa yang pedih, tetapi manusia juga wajib menghentikannya dan mengarahkan
jalannya (Sayyid Quthb, 2009).
Kemudian konteks Al-Qur’an kembali membicarakan keseimbangan, keadilan,
menahan diri, sabar, dan toleransi dalam kasus-kasus pribadi dan pada waktu mampu
membalas sebagaimana yang dipahami darinya; dan ketika sabar dan toleransi itu
berangkat dari superioritas, bukan inferioritas, dan dari keindahan sifat, bukan dari
kehinaan (Sayyid Quthb, 2009):

“Tetapi orang yang bersabar dan mema'afkan, Sesungguhnya (perbuatan ) yang


demikian itu Termasuk hal-hal yang diutamakan.” (QS. Asy-Syuura: 43).
Keseluruhan nash tentang masalah ini melukiskan keseimbangan di antara dua
orientasi; berusaha menghindarkan diri dari dendam dan marah, dari lemah dan
terhina, dan dari ketidak-adilan dan kesewenang-wenangan; mengaitkannya dengan
10
Allah dan ridha-Nya dalam kondisi apapun; dan menjadikan sabar sebagai bekal
utama perjalanan (Sayyid Quthb, 2009).

“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun


sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan)
orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran: 134)
Shihab (2002a) menjelaskan dalam konteks menghadapi kesalahan orang lain,
terdapat tiga kelas manusia atau jenjang sifatnya. Pertama, yang mampu menahan
amarah. Kata (‫ )ﺍَﻟﻜٰﻈِﻤِﻴﻦ‬al-kâzhimîn mengandung makna penuh dan menutupnya
dengan rapat, seperti wadah yang penuh air lalu ditutup rapat agar tidak tumpah. Ini
mengisyaratkan bahwa perasaan tidak bersahabat masih memenuhi hati yang
bersangkutan, pikirannya masih menuntut balas, tetapi dia tidak memperturutkan
ajakan hati dan pikiran itu, dia menahan amarah. Dia menahan diri sehingga tidak
mencetuskan kata-kata buruk atau perbuatan negatif.
Tingkat kedua, adalah yang memaafkan. Kata (‫ )ﺍﻟﻌَﺎﻓِﻴﻦ‬al-‘âfîn terambil dari
kata (‫ )ﺍﻟﻌﻔﻦ‬al-‘afn yang biasa diterjemahkan dengan kata maaf. Kata ini antara lain
berarti menghapus. Seorang yang memaafkan orang lain adalah yang menghapus
bekas luka hatinya akibat kesalahan yang dilakukan orang lain terhadapnya. Kalau
dalam peringkat pertama di atas, yang bersangkutan baru sampai pada tahap menahan
amarah, kendati bekas-bekas luka itu masih memenuhi hatinya, pada tahapan ini yang
bersangkutan telah menghapus bekas-bekas luka itu. Kini, seakan-akan tidak pernah
terjadi satu kesalahan atau suatu apa pun. Namun, karena pada tahap ini seakan-akan
tidak pernah terjadi sesuatu, boleh jadi juga tidak terjalin hubungan (Shihab, 2002a).
Dalam tingkatan ini, memaafkan orang yang bersalah tidak berarti harus terus
melanjutkan hubungan dengannya atau tetap menjaga perasaan terhadapnya. Tetapi
melupakan sikap buruknya dan menjauhkannya dari ingatan. Dengan demikian, akan
hilang pula apa yang terpendam dalam hati (Thayyarah, 2013).
Untuk mencapai tingkat ketiga Allah mengingatkan bahwa yang disukainya
adalah orang-orang yang berbuat kebajikan, yakni bukan yang sekadar menahan

11
amarah atau memaafkan, tetapi justru yang berbuat baik kepada yang pernah
melakukan kesalahan (Shihab, 2002a).

“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara


kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum
kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan
Allah, dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak
ingin bahwa Allah mengampunimu? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. An-Nuur: 22).
Ayat ini berhubungan dengan sumpah Abu Bakar r.a. bahwa Dia tidak akan
memberi apa-apa kepada kerabatnya ataupun orang lain yang terlibat dalam
menyiarkan berita bohong tentang diri 'Aisyah. Maka turunlah ayat ini melarang
beliau melaksanakan sumpahnya itu dan menyuruh mema'afkan dan berlapang dada
terhadap mereka sesudah mendapat hukuman atas perbuatan mereka itu.
Kata (‫ )ﻳﻌﻔﻮﺍ‬ya’fu terambil dari kata (‫‘ )ﻋﻔﻮ‬afw, yakni terdiri dari huruf-huruf
‘ain, fa, dan wauw. Maknanya berkisar pada dua hal, yaitu meninggalkan sesuatu dan
memintanya. Dari sini, kata ‘afw diartikan meninggalkan sanksi terhadap yang
bersalah (memaafkan). Perlindungan Allah dari keburukan juga dinaman ‘afifah.
Perlindungan mengandung makna ketertutupan, dari sini kata ‘afw juga diartikan
menutupi, bahkan dari rangkaian ketiga huruf itu juga lahir makna terhapus atau habis
tiada berbekas karena yang terhapus dan habis tidak berbekas pasti ditinggalkan.
Selanjutnya, ia dapat juga bermakna kelebihan karena yang berlebih seharusnya tidak
ada dan ditinggalkan yakni dengan memberi siapa yang memintanya. Dalam beberapa
kamus bahasa dinyatakan bahwa pada dasarnya kata ‘afw berarti menghapus dan
membinasakan serta mencabut akar sesuatu (Shihab, 2002c).
Kata (‫ )ﻭﻟﻴﺻﻔﺤﻮﺍ‬wal yashfahū terambil dari kata (‫ )ﺍﻟﺻّﻔﺢ‬ash-shafh. Pakar bahasa
Al-Qur’an, ar-Râghib al-Ashfahani (Shihab, 2002c), menulis dalam Mufradât-nya
bahwa apa yang ash-shafh berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada (‫ )ﺍﻟﻌﻔﻮ‬al-
‘afw. Dari akar kata ash-shafh, lahir kata shafhat yang antara lain berarti lembaran
yang terhampar dan ini memberi kesan bahwa yang melakukannya membuka

12
lembaran baru, putih bersih, belum pernah dipakai, apalagi dinodai oleh sesuatu yang
harus dihapus (Shihab, 2002c).
Tingkat ketiga ini adalah cara memaafkan yang paling baik, dijelaskan dalam
firman Allah SWT:

“Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya,
melainkan dengan benar. dan Sesungguhnya saat (kiamat) itu pasti akan datang,
Maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah
yang Maha Pencipta lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Hijr: 85-86).
Firman-Nya: (‫ )إﻥّ ﺭﺑّﻚ ﻫﻮ ﺍﻟﺧﻼّﻕ ﺍﻟﻌﻠﻴﻢ‬inna Rabbaka huwa al-Khallâqu al-‘Alîm/
Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang Maha Pencipta lagi Maha mengetahui
merupakan alasan bagi perintah memberi maaf yang disebut pada ayat sebelumnya.
Yakni berilah maaf karena hal itu merupakan kemaslahatan untukmu dan untuk
mereka. Adapun untukmu karena hal itu menunjukkan ketinggian budi pekertimu dan
ini dicatat oleh Allah SWT sebagai ganjaran dan mengundang lebih banyak simpati
manusia. Sedang bagi mereka, itu memberi mereka peluang berpikir dan kesempatan
berintrospeksi kiranya mereka dapat simpati kepadamu dan ajaran-ajaran Islam
sehingga pada akhirnya mereka pun beriman. Demikian keadaannya karena Allah
Maha Pencipta, Dia yang menciptakanmu dan menciptakan mereka, dan Dia juga
Maha Mengetahui apa yang kamu lakukan. Dia mengetahui potensi dan
kecenderungan kamu serta mengetahui detak detik jantung kamu semua (Shihab,
2002b).
Kata (‫ )ﺍﻟﺻّﻔﺢ‬ash-shafh sebenarnya tidak tepat diterjemahkan dengan pemaafan,
yakni sinonim dari kata (‫ )ﺍﻟﻌﻔﻮ‬al-‘afwu/pemaafan karena ash-shafh adalah sikap
memaafkan disertai dengan tidak mengecam kesalahan pihak lain. Dari kata ini lahir
kata shafhah yang berarti halaman. Ashfahâni (Shihab, 2002b) menilai bahwa kata
ash-shafh lebih sulit diterapkan seseorang daripada al’afwu. Bisa saja seseorang
memaafkan, tetapi pemaafannya didahului oleh kecaman terhadap kesalahan, berbeda
dengan ash-shafh. Karena itu, bisa saja seseorang memaafkan tetapi belum memberi
shafh. Di sisi lain, kata maaf berarti menghapus. Kesalahan yang dihapus pada satu

13
halaman di kertas putih mungkin masih menampakkan bekas-bekas penghapusan itu
pada kertas. Tetapi, bila Anda membuka lembaran baru, segalanya baik, baru, dan
bersih. Tidak sedikit pun bekas yang ditemukan pada lembaran baru itu (Shihab,
2002b).

3. Dimensi Kebermaafan
Menurut Baumeister, Exline & Sommer (1998), forgiveness harus dipahami
sebagai sesuatu yang terjadi didalam diri orang yang telah disakiti atau korban dan
diantara korban dan pelaku. Keadaan ini menggambarkan bahwa forgiveness dapat
terjadi dalam dua dimensi, yaitu intrapsychic dan interpersonal. Dimensi intrapsikis
melibatkan keadaan dan proses yang terjadi didalam diri orang yang disakiti secara
emosional, pikiran dan perilaku yang menyertainya. Forgiveness juga memiliki
dimensi interpersonal karena forgiveness merupakan tindakan sosial yang melibatkan
orang lain. Pemaafan yang semu cirinya terbatas pada dimensi interpersonal yang ditandai
dengan menyatakan memberi maaf secara verbal terhadap orang yang bersalah tetapi
masih terus menyimpan sakit hati dan dendam.
Baumeister dkk. (1998) mensyaratkan adanya penyataan intrapsikis seperti
ketulusan dalam pemaafan bukan hanya perilaku interpersonal dan sekedar rekonsiliasi.
Pemaafan yang tulus merupakan pilihan sadar individu melepaskan keinginan untuk
membalas dan mewujudkannya dengan respons rekonsiliasi.
Menurut Fincham dkk. (2004) dimensi dalam pemaafan ada dua. Pertama adalah
membuang motivasi pembalasan dendam dan penghindaran. Kedua adalah meningkatkan
motivasi kebaikan atau kemurahan hati dan rekonsiliasi. Dimensi forgiveness tersebut
saling berinteraksi menghasilkan beberapa kombinasi forgiveness (Baumeister, Exline
& Sommer (1998), antara lain sebagai berikut:

Interpersonal Act + No Intrapsychic State Hollow Forgiveness


Intrapsychic State + No interpersonal Act Silent Forgiveness
Intrapsychic State + Interpersonal Act Total Forgiveness
No Intrapsychic State + No Interpersonal Act No Forgiveness
Tabel 1 Dimensi Forgiveness

14
a. Hollow Forgiveness: Kombinasi ini terjadi saat korban dapat mengekspresikan
forgiveness secara konkret melalui perilaku namun koban belum dapat merasakan
dan menghayati adanya forgiveness didalam dirinya. Korban masih menyimpan
rasa dendam dan kebencian meskipun ia telah mengatakan kepada pelaku: “saya
memaafkan kamu”. Enright dan The Human Development Study Group; Al-
Mabuk, Enright & Cardis (dalam Baumeister, Exline & Sommer, 1998)
menyatakan bahwa dimulainya proses intrapsikis forgiveness ditandai dengan
adanya komitmen dari korban untuk memaafkan. Saat komitmen telah dimiliki,
korban dapat mengekspresikannya dengan baik kepada pelaku.
b. Silent Forgiveness: Kombinasi yang kedua ini berkebalikan dengan kombinasi
pertama. Dalam kombinasi ini, intrapsikis forgiveness dirasakan namun tidak
diekspresikan melalui perbuatan dalam hubungan interpersonal. Korban tidak lagi
menyimpan perasaaan marah, dendam, benci kepada pelaku namun tidak
mengekspresikannya. Korban membiarkan pelaku terus merasa bersalah dan terus
bertindak seolah-olah pelaku tetap bersalah. Menurut Baumeister, Exline &
Sommer (1998), silent forgiveness tampaknya mengandung unsur manipulatif dam
munafik. Silent forgiveness bermanfaat terutama dari sudut pandang korban,
keuntungannya yaitu hilangnya perasaan-perasaan negatif yang mengganggu
korban selama ini dan menghindari kerugian yang dialami setelah memaafkan,
yaitu hilangnya ganti rugi yang diperoleh dari pelaku. Pada beberapa situasi,
interpersonal forgiveness menjadi sesuatu yang sulit karena dapat membahayakan
pelaku.
c. Total Forgiveness: Kombinasi ini terjadi dimana orang yang disakiti atau korban
menghilangkan perasaan kecewa, benci atau marah terhadap pelaku, dan pelaku
dibebaskan dari perasaan bersalah dan kewajibannya, kemudian hubungan antara
korban dengan pelaku kembali secara total seperti keadaan sebelum peristiwa
menyakitkan terjadi (Baumeister, Exline & Sommer, 1998).
d. No Forgiveness: Pada kombinasi ini, intrapsychic dan interpersonal forgiveness
tidak terjadi pada korban. Baumeister, Exline & Sommer (1998) menyebut kondisi
ini sebagai total grudge combination. Hal ini dapat terjadi karena beberapa faktor,
yaitu :
i. Claims on reward and benefits: Forgiveness tidak diberikan karena dapat
memberikan keuntungan praktis dan material bagi korban. Pelaku memiliki

15
“hutang” kepada korban akibat dari perbuatan menyakitkan yang
dilakukannya sehingga seringkali forgiveness diberikan pada saat pelaku
menampilkan tindakan yang memberikan keuntungan bagi korban.
ii. To prevent reccurence: Forgiveness dianggap dapat meningkatkan
kemungkinan terjadinya pelanggaran atau peristiwa menyakitkan yang
dialami korban dimasa yang akan datang. Apabila tidak memberikan
pemaafan pada pelaku maka korban dapat terus mengingatkan pelaku
untuk tidak mengulangi perbuatannya.
iii. Continued suffering: Korban tidak memaafkan pelaku karena perasaan
menderita dari pengalaman menyakitkan di masa lalu yang terus berlanjut.
Saat konsekuensi dari kejadian menyakitkan yang dialami korban di masa
lalu mempengaruhi hubungannya dengan pelaku di masa depan maka
forgiveness merupakan sesuatu yang sulit dilakukan.
iv. Pride and revenge: Pengalaman menyakitkan yang dialami korban
berpengaruh terhadap harga diri korban. Apabila forgiveness diberikan
pada pelaku maka korban merasa bahwa perbuatan tersebut akan
mempermalukan dirinya bahkan menunjukkan rendahnya harga diri
korban. Saat korban secara intrapsikis memaafkan pelaku, korban dapat
menyesali apa yang dilakukannya karena faktanya korban tidak
memperjuangkan sesuatu yang menjadi haknya dan mempersepsikan
dirinya sebagai orang yang bodoh.
v. Principal refusal: Forgiveness tidak dilakukan oleh korban karena hal ini
dianggap mengabaikan prinsip yang telah baku dan standar hukum yang
ada. Forgiveness diidentikkan dengan memberikan pengampunan hukum
terhadap pelaku yang dinyatakan bersalah melalui sistem peradilan yang
ada sehingga memaafkan pelaku adalah perbuatan yang keliru.

4. Tahapan Kebermaafan
Pada awalnya, kebermaafan merupakan konsep spiritual. Kebermaafan
merupakan kebaikan yang sangat dianjurkan dalam Al-Quran dan Hadits jika manusia
dihadapkan pada berbagai ujian hidup. Karena konsepnya yang konseptual, maka hal
tersebut menyulitkan individu untuk benar-benar mempelajari bagaimana cara
memaafkan seseorang atau suatu kejadian. Oleh sebab itu, kebutuhan tersebut

16
mendorong para terapis untuk mengoperasionalisasikan dan mengempirikan
kebermaafan menjadi suatu teknik yang dapat dipelajari. Akhir-akhir ini, konsep
kebermaafan mulai dikembangkan dan digunakan oleh para terapis untuk membantu
klien memperbaiki kesejahteraan psikologisnya.
Worthington (2001: 38-39) menjelaskan bahwa umumnya kebermaafan
melewati beberapa tahapan, yang ia sebut sebagai R-E-A-C-H, sebagaimana yang
dijelaskan berikut ini:
1) R (Recall the hurt): dalam keadaan terluka, seseorang biasanya berusaha untuk
menyangkal dan menutupi perasaan luka tersebut. Untuk menyembuhkannya,
maka dia harus mampu mengingat kembali kejadian yang menyakitkan secara
objektif. Dia tidak boleh melawan orang yang telah menyakitinya, atau berusaha
mengepalkan tangan ketika mengingatnya, berharap dia meminta maaf atau
merasa bahwa dia telah menjadi korban. Pada tahap ini seseorang harus mampu
mengakui bahwa orang itu telah menyakitinya, dan itu cukup pada tahap ini.
2) E (Empathize): tahap empati dipandang sebagai point of view dari seseorang.
Untuk dapat memaafkan, maka seseorang harus mampu merasakan empati
kepada pelaku, misalnya dengan membayangkan tekanan yang dihadapi pelaku
sehingga ia menyakiti orang lain atau melakukan refleksi diri dengan melihat
kekurangan dan kesalahan diri sendiri sehingga orang lain wajar menyakiti kita.
3) A (Altruistic gift of forgiveness): pada tahap ini, seseorang harus dapat
menggambarkan bahwa pernahkah dia menyakiti orang lain dan kemudian orang
tersebut memaafkannya? Dengan kejadian tersebut, dia harus dapat merasakan
bagaimana rasanya jika tidak dimaafkan oleh orang lain. Hal ini diharapkan dapat
mendorong seseorang untuk kemudian memberikan maafnya kepada orang lain.
4) C (Commit publicly to forgive): pada tahap ini, seseorang harus berkomitmen dan
menceritakan komitmennya kepada orang lain, seperti orang tua, saudara, teman
atau konselor bahwa dirinya akan memaafkan orang yang telah menyakitinya.
5) H (Hold on to forgiveness): pada tahap ini, seseorang harus merenung dan tetap
bertekad untuk memaafkan. Seseorang harus berpikir bahwa banyak jalan yang
akan membuatnya kembali tergelincir ke dalam kemarahan, rasa sakit atau
pikiran yang negatif.

17
5. Faktor yang Memengaruhi Kebermaafan
Keinginan seseorang untuk memaafkan tidak muncul begitu saja tetapi
dipengaruhi oleh banyak hal. Forgiveness dipengaruhi oleh penilaian korban terhadap
pelaku, penilaian korban terhadap kejadian, keparahan kejadian dan keinginan untuk
menjauhi pelaku (McCullough, Sandage, Brown, Rachal, Worthington & Enright
(1998 dalam Pertiwi, 2004) menyebutkan bahwa terdapat empat faktor yang
mempengaruhi forgiveness. Keempat faktor tersebut adalah :
a. Variabel sosial-kognitif: McCullough (2000) mengatakan bahwa individu
memiliki rumination dan suppression, yaitu kecenderungan korban untuk terus
menerus mengingat kejadian yang dapat menimbulkan kemarahan dapat
menghalangi dirinya untuk memaafkan. Orang yang mengingat kejadian
kejadian menyakitkan membuat semakin meningkatnya motivasi menghindar
dan balas dendam terhadap pelaku. Enright, Santos dan Al-Mabuk; Enright &
The Human Development Study (Reza, 2004) mempelajari penilaian seseorang
mengenai kondisi yang dapat mempermudah forgiveness yaitu : Revengeful
forgiveness (Forgiveness hanya diberikan korban pada pelaku atau pihak yang
telah menyakitinya apabila korban dapat menghukum pelaku setimpal dengan
penderitaan yang telah dialaminya), Conditional or restitution forgiveness
(Forgiveness diberikan apabila korban dapat memperoleh kembali sesuatu yang
hilang akibat peristiwa pahit yang dialaminya. Selain itu, forgiveness diberikan
apabila korban merasa bersalah dengan tidak memaafkan sehingga forgiveness
diberikan untuk menghilangkan perasaan bersalah korban), Expectational
forgiveness (Forgiveness diberikan ketika adanya tekanan dari pihak luar untuk
melakukannya atau karena menurut korban orang lain mengharapkan dirinya
melakukan hal tersebut), Lawful expectational forgiveness (Forgiveness
diberikan oleh korban karena adanya faktor agama atau institusi yang serupa,
seperti: negara, kelompok suku yang menuntut dirinya untuk memaafkan.
Worthington dan Wade (1999) menyatakan bahwa agama yang dimiliki oleh
seseorang juga mempengaruhi forgiveness terhadap orang yang telah
menyakitinya), Forgiveness as a social harmony (Korban menyadari bahwa
dengan memaafkan pelaku atau pihak yang telah menyakitinya akan
menciptakan hubungan yang baik dan harmonis dalam masyarakat. Ketegangan
dan konflik dapat diminimalisasi dengan forgiveness. Hal ini merupakan cara

18
untuk mempertahankan hubungan yang damai antar individu atau kelompok),
Forgiveness as a love (Forgiveness diberikan karena forgiveness itu sendiri
memiliki arti cinta kasih kepada sesama. Pengalaman menyakitkan yang
dialami korban tidak mempengaruhi ekspresi cinta kasih kepada orang lain
termasuk pelaku atau pihak yang telah menyakitinya. Hubungan ini
memungkinkan terjadinya rekonsiliasi dan tidak ada balas dendam).
b. Atribusi terhadap pelaku dan kesalahannya: Faktor ini berkaitan dengan persepsi
dari kadar penderitaan yang dialami oleh orang yang disakiti serta konsekuensi
yang menyertainya. Seseorang akan lebih sulit untuk memaafkan kejadian-
kejadian yang dianggap penting dan bermakna dalam hidupnya. Kadar
penderitaan ini juga mempengaruhi korban dalam menginterpretasikan
permintaan maaf. Dibandingkan dengan orang yang tidak memaafkan pelaku,
orang yang memaafkan cenderung menilai pihak yang bersalah lebih baik dan
penjelasan akan kesalahan yang diperbuatnya cukup adekuat dan jujur (A1-Mabuk
dkk., 1998). Pemaaf pada umumnya menyimpulkan bahwa pelaku telah merasa
bersalah dan tidak bermaksud menyakiti sehingga ia mencari penyebab lain dari
peristiwa yang menyakitkan itu. Perubahan penilaian terhadap peristiwa yang
menyakitkan ini memberikan reaksi emosi positif yang kemudian akan
memunculkan pemberian maaf terhadap pelaku (Takaku, 2001).
c. Kualitas hubungan interpersonal: Menurut McCullough (2000) seseorang akan
sangat memungkinkan untuk memaafkan dalam hubungan yang dicirikan
dengan closeness, commitment, dan satisfaction. Pasangan-pasangan yang
memiliki kualitas hubungan seperti ini akan lebih siap untuk memaafkan satu
sama lain jika terjadi serangan interpersonal.
d. Faktor kepribadian: Menurut Worthington dan Wade (1999) menyebutkan
beberapa faktor kepribadian yang mempengaruhi forgiveness, antara lain adalah
faktor agreebleness dalam The Big Five dan kecerdasan emosi (yaitu
kemampuan untuk memahami keadaan emosi diri sendiri dan orang lain,
mampu mengontrol emosi, memanfaatkan emosi dalam membuat keputusan,
perencanaan dan memberikan motivasi), empati (menurut McCullough (2000)
adalah kemampuan untuk memahami atau melihat sudut pandang orang lain
yang berbeda dari sudut pandang diri sendiri dan mencoba untuk mengerti
faktor apa yang melatarbelakangi perilaku seseorang), narcissis (berhubungan

19
negatif dengan forgiveness), pride (orang yang bangga akan diri sendiri akan
sulit memaafkan), rasa bersalah dan malu, serta faktor agama.

B. Kebermaafan sebagai Terapi


Zechmeister dan Romero (2002) menyatakan bahwa pemaafan sering diberikan oleh
korban karena dituntut memenuhi peran sosial dalam masyarakat. Selain itu, korban bersedia
memaafkan karena merasa mempunyai moral yang tinggi dan ingin mendapat penghargaan
dari orang yang menyakiti. Pemaafan juga secara sosial dijadikan instrument untuk
menghalangi keinginan seseorang membalas dendam.
McCullough dkk. (1997) mengemukakan bahwa memaafkan dapat dijadikan seperangkat
motivasi untuk mengubah seseorang untuk tidak membalas dendam dan meredakan dorongan
untuk memelihara kebencian terhadap pihak yang menyakiti serta meningkatkan dorongan
untuk konsiliasi hubungan dengan pihak yang menyakiti. Worthington dan Wade (1999)
menyetujui pendapat yang mengatakan bahwa secara kesehatan memaafkan memberikan
keuntungan psikologis, dan memaafkan merupakan terapi yang efektif dalam intervensi yang
membebaskan seseorang dari kemarahannya dan rasa bersalah. Selain itu, memaafkan dapat
mengurangi marah, depresi, cemas dan membantu dalam penyesuaian perkawinan
(Hope,1987). Memaafkan dalam hubungan interpersonal yang erat juga berpengaruh terhadap
kebahagian dan kepuasan hubungan (Karremans dkk, 2003 ; Fincham, dan Beach, 2002).
Zechmeister dan Romero (2002) meneliti persepsi memaafkan dengan metode analisis
atas narasi. Subyek diminta menuliskan peristiwa yang menyakitkan, baik sebagai orang yang
disakiti maupun yang menyakiti dan rasa sakit hati yang dapat dimaafkan dan yang tidak
dapat dimaafkan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa persepsi luka interpersonal
tergantung pada peran seseorang sebagai korban atau pelaku dan tergantung kemampuan
mereka untuk memaafkan. Subyek dengan ungkapan memaafkan menggambarkan hasil dan
pengaruh positif dalam mengelola dirinya daripada subyek yang menuliskan ungkapan berisi
hal-hal yang tidak memaafkan.
Adapun penelitian-penelitian lain yang menjelaskan peran kebermaafan adalah
sebagai berikut:
1) Individu yang tidak mencari pengampunan (meminta maaf) saat mereka menyakiti
orang lain, berisiko mengalami hubungan yang lebih buruk karena mereka
cenderung tidak dimaafkan dan juga untuk memaafkan orang lain (Davidson dan
Jurkovic dalam Macaskill, 2005: 10).

20
2) Dalam sebuah studi psikometrik, disimpulkan bahwa pria dan wanita yang
mendapat nilai lebih tinggi pada kegagalan untuk memaafkan diri mereka sendiri,
menunjukkan tingkat neurotisisme dan depresi yang lebih tinggi (Goldberg &
Williams dalam Macaskill, 2005: 10).
3) Dalam hal kesejahteraan fisik, kesalahan, kemarahan dan permusuhan, timbul
karena terkait dengan kurangnya sikap memaafkan. Penelitian di bidang ini
berkembang pesat sehingga semakin banyak bukti bahwa kemarahan, kesalahan,
permusuhan dan dendam yang dipegang oleh seseorang terkait dengan kurangnya
kemampuan untuk memaafkan. Adapun kemampuan yang rendah untuk
memaafkan dapat merusak kesehatan, sedangkan individu yang terampil
memaafkan cenderung menikmati kesehatan yang lebih baik dan kepuasan hidup
yang lebih besar (Macaskill, 2005: 11).
4) Sikap memaafkan dapat menurunkan tingkat kecemasan, gejala depresi, rasa
penyesalan, dan rasa bersalah. Penelitian ini coba dilakukan pada korban-korban
incest, penyalahgunaan narkoba dan penderita kanker (Enright & Coyle dalam
Worthington, 1998: 139-161).
5) Memaafkan dapat meningkatkan kesehaan mental secara keseluruhan (Berry &
Worthington, 2001: 447-455).
6) Memaafkan dapat meningkatkan kepuasan hidup (McCullough, M. E., Bellah, C.
G., Kilpatrick, S. D., & Johnson, J. L, 2001: 601-610).
7) Kecemasan dan depresi akan menurun jika seseorang mampu memaafkan diri,
orang lain dan Tuhannya (Exline, J. J., Yali, A. M., & Lobel, M, 1999: 365–379).
8) Memaafkan dapat memperbaiki kesehatan fisik, seperti menurunkan risiko
terjadinya serangan jantung (Witvliet, 2001: 212-224), menurunkan keluarnya
hormon kortisol (hormon yang memicu terjadinya depresi) (Berry &
Worthington, 2001: 447-455). Dalam kasus yang lebih luas, memaafkan bisa
memperkecil terjadinya sakit kepala, ketegangan, insomnia, dan rasa takut.
9) Mengurangi ketergantungan pada nikotin, penyalahgunaan/ ketergantungan obat,
serta menurunkan fobia, dan bulimia nervosa (Kindler, 2003: 496-503).
10) Memaafkan, bahkan, bisa meningkatkan harga diri dan harapan hidup seseorang
terhadap masa depan (Enright & Coyle dalam Wothington,1998: 139-161).

21
11) Sebuah studi pada wanita-wanita korban kekerasan emosional, membuktikan
bahwa memaafkan dapat menurunkan tingkat kecemasan, depresi dan
posttraumatic (Reed & Enright, 2006: 920-929).

C. Aplikasi Kebermaafan dalam Konseling/Psikoterapi


Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pada awalnya, kebermaafan
merupakan konsep spiritual/teologis yang biasa ditangani oleh seorang pemuka agama
untuk menghadirkan ketenangan bagi seseorang. Akan tetapi, untuk benar-benar
menjadikan konsep kebermaafan sebagai terapi, maka konsep tersebut harus
dioperasionalkan melalui penelitian-penelitian empirik. Dengan begitu, maka terapis akan
mudah mengajarkannya kepada klien untuk mendapatkan manfaat dari kebermaafan
tersebut dalam kehidupannya.
Untuk saat ini, sebagian besar terapi kebermaafan yang digunakan, masih
menggunakan konsep-konsep luar. Meskipun demikian, tidak ditemukan perbedaan yang
signifikan mengenai bagaimana kebermaafan dianjurkan dan menghasilkan ketenangan
bagi orang-orang yang mampu melakukannya. Maka di bawah ini akan dijelakan
mengenai aplikasi umum penggunaan konsep kebermaafan sebagai suatu terapi.

1. Pertimbangan Kondisi Klien dalam Terapi Kebermaafan


Dalam menggunakan terapi kebermaafan, terdapat beberapa hambatan yang
berpotensi menggagalkan proses terapi ini. Memaafkan mungkin bertentangan dengan
konsep konseptual kita tentang keadilan alam, di mana sebagian besar klien memiliki
anggapan bahwa kesalahan harus dibayar dengan dendam dan pembalasan. Karena
kecenderungan ini, Bass & Davis(dalam Macaskill, 2005: 6) mengemukakan bahwa
dalam literatur psikoterapi yang lebih luas, pemaafan terkadang dianggap dapat
menimbulkan penindasan lebih lanjut pada korban yang memaafkan. Hal ini benar
adanya, jika memang pemaafan disalahgunakan oleh pelaku yang bersalah untuk
kembali menyakiti atau melakukan kesalahan lainnya di masa depan.
McAlister (dalam Macaskill, 2005: 6) menuliskan bahwa ketika seseorang
menekan keinginan untuk memaafkan dan kemudian gagal untuk memaafkan,
dikonseptualisasikan sebagai kondisi yang patologis. Hal ini cenderung juga berlaku
untuk sebagian keluarga.

22
Adapun dalam perspektif Psikologi Positif, seperti yang dijelaskan oleh
Seligman dan Csikszentmihalyi, (dalam Macaskill, 2005: 7), memandang bahwa
pemaafan dikonseptualisasikan sebagai kebajikan manusia dan karena itu,
kebermaafan merupakan dapat terhambat jika individu mengalami konflik antara
keinginan untuk membalas dendam dan tuntutan untuk memaafkan. Kondisi keinginan
yang saling bertentangan meningkatkan risiko individu untuk melalaikan tindakan
memaafkan. Di sisi lain, pemaafan sebagai kebajikan merupakan nilai sosial yang
harus dipenuhi. Oleh sebab itu, pada kenyataannya, keberhasilan memaafkan
tergantung pada nilai-nilai kebajikan yang dimiliki oleh individu. Pemaafan bisa
berbeda kualitasnya pada individu yang berbeda pula.

2. Peran Terapis dalam Terapi Kebermaafan


Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, kondisi klien yang
berbeda-beda adalah tantangan terbesar bagi seorang terapis / konselor yang
menggunakan kebermaafan sebagai konseling atau terapi.
Terapis/konselor idealnya, melengkapi diri dengan mengeksplorasi dan
memeriksa klien mereka. Dengan mempertimbangkan nilai-nilai yang dimiliki klien,
sedalam apa lukanya dan bagaimana konteks yang terjadi pada saat itu, maka terapis
dapat memprediksi sejauh mana konseling/terapi kebermaafan dapat berhasil
memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan (well-being) pada kliennya.
Pada kasus-kasus yang ektrem, individu mungkin berada dalam kondisi
pathologising the lack of forgiveness (tidakmampuan memaafkan yang patologis),
misalnya korban pemerkosaan, pelecehan, atau menghadapi kematian keluarga yang
tidak wajar. Meskipun tidak semua individu yang mengalami kejadian tersebut
menjadi pathologising the lack of forgiveness, terapis tetap perlu memeriksa kondisi
klien untuk mengikuti terapi kebermaafan ini. Banyak individu yang telah menjadi
korban, menganggap bahwa tuntutan untuk memaafkan membawa beban emosional
yang sangat besar di sepanjang hidup mereka.
Mereka menjadi mudah marah dengan pelaku dan mereka menghabiskan
sejumlah besar emosi dan energi untuk menyimpan dendam dan mungkin
merencanakan untuk melakukan balas dendam. Mereka merasa sulit untuk bergerak
maju dalam kehidupan mereka. Mereka masih memandang dan menempatkan dirinya
sebagai 'korban' setelah kejadian sebenarnya. Bagi beberapa individu seperti itu, untuk

23
sementara, pemaafan total mungkin tidak dapat dicapai dengan cepat. Mereka harus
dapat menarik garis dari peristiwa traumatis dan mulai kembali terlibat dengan
kehidupan mereka dan bergerak maju serta melepaskan peran 'korban' yang ada di
dalam pikirannya.
Pada saat jalannya terapi, klien yang sedang berada dalam situasi harus
memaafkan, seringkali mengalami kebingungan. Mereka merasa tertekan dan tidak
senang dengan situasi ini dan mereka tidak dapat dengan mudah melihat jalan ke
depan. Memaafkan pelanggar bisa menjadi salah satu jalan ke depan dan memang
dalam banyak situasi hubungan, pelanggar meminta pengampunan dan orang penting
dalam kehidupan mereka.
Bagaimanapun kondisinya, klien/korban mungkin ragu-ragu dalam memaafkan
pelanggar. Mereka bertanya mengapa mereka harus memaafkan mereka. Mereka
merasa bahwa pelanggar tidak pantas mendapatkan maafnya, namun pada saat yang
sama, mereka mungkin mengakui bahwa maaf itulah yang akhirnya ingin mereka
capai dan mungkin satu-satunya solusi yang realistis.
Penelitian yang muncul tentang kebermaafan dan kesehatan, merupakan salah
satu sumber bukti yang dapat memotivasi klien dalam situasi ini. Mempertahankan
sikap marah, merenung, menyimpan dendam dan / atau pembalasan dendam, individu
akan cenderung mengalami gangguan kesehatan mereka sendiri dan mengalami
kualitas hidup yang lebih buruk. Hal ini juga memungkinkan untuk membantu
individu agar mengkonseptualisasikan situasi mereka.
Dalam hal ini, literatur tentang stres juga sangat membantu klien untuk
memahami proses yang terjadi di dalam dirinya. Misalnya dengan menjelaskan bahwa
sebagian besar situasi butuh untuk dimaafkan, sebab kondisi-kondisi/kejadian tersebut
tidak dapat dikendalikan oleh klien., sehingga saat ini, tidak mungkin mereka
mengubah kejadian tersebut.
Mereka tidak bisa menuntut pelaku untuk meminta maaf, bahkan pada
kenyataannya, pelaku mungkin merasa tidak bersalah. Situasi seperti itu sangatlah
menegangkan bagi klien. Korban sering kali merasa bersalah dan tak berdaya dalam
situasi ini
Klien dapat dibantu untuk membingkai ulang situasi yang mereka alami dan
dibantu untuk menolak ketidakberdayaan tersebut. Klien perlu memahami bahwa
dengan dengan tetap kesal dan menyesali suatu kejadian, sebenarnya mereka telah

24
membiarkan pelaku untuk terus menyakiti mereka Mereka memusatkan energi
emosional mereka pada ketidakadilan yang dilakukan oleh pelaku pada mereka dan
pada akhirnya, mereka sering mengalami kegagalan untuk melanjutkan hidup mereka.
Sering kali seorang klien keulitan untuk melepaskan emosi negatif
yang mereka alami, sebab mereka menganggap bahwa mereka tidak beerdaya untuk
memaafkan. Klien harus memahami bahwa untuk melepaskan emosi negatif,
seluruhnya diawali dengan penerimaan bahwa betapapun tidak adilnya, mereka harus
merasa bahwa kejadian tersebut telah terjadi dantidak dapat dibatalkan.
Mereka perlu dibantu untuk menyadari pilihan yang mereka miliki. Mereka
dapat terus menjadi marah dan berisiko merusak kesehatan mereka, menjadi pahit dan
merusak hubungan mereka dengan orang lain, atau mereka dapat bekerja menuju
beberapa resolusi. Resolusi jelas lebih mudah jika pelaku mengakui kesalahan,
meminta maaf dan membuat retribusi, tetapi bahkan jika ini tidak terjadi, klien masih
bisa dibantu untuk melanjutkan hidupnya.
Meskipun klien merasa bahwa memaafkan selalu membutuhkan waktu, tetapi
hal ini tidak selalu diakui dalam studi intervensi. Dalam wilayah terapi, Psikolog dapat
memberikan kontribusi yang berharga berdasarkan pengalaman mereka dengan klien
untuk membantu memberikan panduan yang lebih realistis tentang lamanya
pengobatan.
Studi kasus tentang intervensi konseling mulai muncul di Amerika Utara,
tetapi ada banyak aspek dalam proses pemaafan yang kurang dipahami dan
Psikolog/terapis, secara unik ditempatkan untuk memperluas literatur ini.
Beberapa penelitian pada saat ini menunjukkan bahwa memahami mengapa
kejadian tersebut terjadi, adanya mitigasi, tidak adanya keinginan balas dendam,
kemauan untuk berkompromi, adanya permintaan maaf, beberapa tanda penyesalan
dan keinginan untuk melakukan rekonsiliasi, tampaknya mempromosikan terapi
kebermaafan.
Penekanan terapi kebermaafan adalah pada memahami proses perubahan yang
terjadi pada klien. Saat ini, sebagian besar dari literatur penelitian berfokus pada
pengampunan interpersonal, sedangkan pengampunan pada diri sendiri adalah area
utama lain yang menunggu untuk dieksplorasi. Psikolog tampaknya harus mulai
menempatkan area utama ini pada setiap terapi kebermaafan (Worthington dalam
Macaskill, 2005: 11-12).

25
3. Langkah-langkah Intervensi Kebermaafan
Pada dasarnya, terapi dirancang sesuai dengan kebutuhan kliennya, sehingga
satu klien akan memiliki rancangan yang berbeda dengan klien lainnya. Tetapi konsep
kebermaafan dalam Al-Quran dan Hadits dapat diaplikasikan ke dalam langkah-
langkah konseling/terapi umum yang digambarkan pada tabel 1. Langkah-langkah
intervensi ini diadaptasi dari forgiveness workbook yang memakai konsep R-E-A-C-H
dari Worthington. Dalam menggunakan intervensi ini, terapis mula-mula harus
menyiapkan workbook terapi yang berisi tugas-tugas yang akan dikerjakan oleh klien.
Worthington menganggap bahwa dengan menuliskan perasaan, hal tersebut
merupakan suatu terapi bagi klien (dalam Lavelock, 2011: 7-62).
Karena dalam setting konseling/psikoterapi Islami, maka ada beberapa konsep
Islami yang dimasukan ke dalam beberapa tahap intervensi.

26
Tabel 2. Langkah-langkah Penerapan Kebermaafan dalam Konseling/Psikoterapi Islami
Catatan:
bold : Sesi Terapi
bold : Konsep-konsep Islam yang diadaptasikan ke dalam tahapan intervensi

No Tahapan Latihan Tujuan Kegiatan


1 PRE- -  Untuk mengeksplor  Konselor menjelaskan mengenai fungsi dan
EXERCISE kejadian, perasaan dan tujuan pengisian instrument yang digunakan.
(Asesmen motivasi klien terhadap  Klien diminta untuk mengisi berbagai
Klien) situasi tertentu yang instrumen eksplorasi yang telah disiapkan,
dianggap menyakitkan. seperti tugas essai ini:
 Untuk mengetahui  Jelaskanlah suatu kejadian (tanpa
keterampilan-keterampilan mencantumkan nama seseorang yang pernah
klien yang dapat menyakitimu atau tulislah kejadian apapun
membantunya mencapai yang masih kau ingat hingga saat ini)!
tujuan intervensi, yaitu  Tulislah dengan cepat, apa yang Anda rasakan
“memaafkan”. dan bagaimana reaksimu saat dihadapkan pada
situasi tersebut?
 Tulislah dengan cepat, hal-hal yang berkaitan
dengan peristiwa yang telah terjadi sejak saat
itu, Peristiwa yang telah mempengaruhi
perasaan dan motivasi Anda saat ini!
 Klien mengisi instrumen ceklis/rating seperti
TRIM, Single-Item Assessment of Two Types of
Forgiveness, DFS, EFS dan TFS.

27
No Tahapan Latihan Tujuan Kegiatan
2 SECTION 1 Untuk menyelidiki kemampuan  Klien menjawab pertanyaan, seperti:
Forgiving in dan kepentingan untuk  Sejauh mana menurut Anda pengampunan
Context memaafkan bagi klien dapat diberikan secara sukarela?
 Sejauh mana seseorang dapat memberikan
pengampunan kepada orang lain?
 Jika seseorang melakukan pembunuhan dan
dipenjara, kemudian keluarga korban telah
memaafkan, apakah artinya orang tersebut
harus diampuni juga oleh negara?
 Klien diminta untuk mengisi Degree of
motivation to forgive yang berkisar antara 0-10,
di manakah dia memposisikan dirinya untuk
siap memaafkan.
 Klien mengisi lembar self-assessmen, seperti:
 Daftar riwayat hidup
 Penjelasan singkat mengenai hal apa yang ingin
dimaafkan.
 Harapan yang ingin dicapai klien dari
intervensi ini.
Latihan 1-1 Memberikan pengetahuan /  Mengomentari kisah-kisah orang yang pernah
literatur mengenai pengampunan diampuni di masa lalu dalam Al-Quran/Hadits,
dari Al-Quran/ Hadits misalnya:
- Kisah perempuan yang hendak meracuni
Nabi Muhammad, kemudian Nabi
memaafkannya *lampiran 1

28
No Tahapan Latihan Tujuan Kegiatan
Latihan 1-2 - Kisah Nabi memaafkan kafir yang
meludahinya *lampiran 2
- Kisah Nabi Muhammad memaafkan bani
Tsaqib yang melempari Nabi dengan batu,
saat Nabi berdakwah *lampiran 2
 Menganalisis komentar yang telah diberikan
oleh klien:
 Siapa yang melakukan pemaafaan di setiap
orang di atas?
 Adakah yang berbeda ketika pemaafan berjalan
dua arah dengan satu arah?
 Bagaimana orang-orang itu saling terkait satu
sama lain? Apa tema yang umum di antara
mereka? Apa yang berbeda di antara mereka?
Latihan 1-3  Melihat efek dari pengampunan yang dilakukan
oleh orang-orang diatas, misalnya:
 Mengapa Nabi Muhammad memaafkan kafir
yang telah meludahinya?
 Apa yang dimiliki Nabi Muhammad sehingga
ia mampu memaafkan orang kafir tersebut?
 Menurut Anda bagaimana perasaan orang kafir
setelah mendapatkan pengampunan ini?
Latihan 1-4  Klien mencari sendiri dari kisah-kisah masa
kecil, kisah dalam agama, film atau kehidupan
nyata, seperti:

29
No Tahapan Latihan Tujuan Kegiatan
 Jelaskan mengapa pelaku melakukan
pelanggaran?
 Mengapa korban memilih untuk memaafkan
pelaku?
 Bagaimana tindakan pengampunan
menguntungkan
Situasi mereka?
Latihan 1-5  Klien diminta untuk menentukan emosi yang
muncul saat klien mendapat pengampuan/
tidak, juga saat klien memberikan ampunan/
tidak:
 Emosi / perasaan seperti apa yang mendorong
Anda untuk memaafkan orang lain?
 Jika Anda memaafkan, apakah lebih
dipengaruhi oleh perasaan atau keputusan yang
mengharuskan Anda memaafkan?
 Dalam situasi seperti apa Anda didorong
perasaan dan situsi seperti apa Anda didorong
oleh keputusan untuk memaafkan?
Latihan 1-7 Mendorong klien untuk  Klien diminta untuk menjawab:
mencoba memaafkan  Apakah Anda ingin mencoba memaafkan dan
belajar mengikuti keputusan Anda?
 Apakah Anda ingin mencoba merasakan
kebebasan perasaan yang lebih baik

30
No Tahapan Latihan Tujuan Kegiatan
Latihan 1-8 Menentukan keputusan untuk berkat pengampunan?
memaafkan  Klien mengisi kontrak perjanjian untuk
mengambil tindakan memaafkan seseorang
atau kejadian yang menyakitkan, kemudian
menandatanganinya.
Latihan 1-9 Evaluasi sesi 1  Klien diminta untuk menjelaskan apa saja yang
dia peroleh dari latihan sesi 1 ini.
3 SECTION 2  Menyetujui definisi  Klien terlebih dahulu menjawab pertanyaan
What Is operasional pengampunan berikut ini:
Forgiveness? yang akan kita gunakan  Apakah Anda benar-benar peduli bagaimana
 Agar klien memahami pengampunan didefinisikan?
bahwa ada banyak alasan  Mengapa saya harus memaafkan? Haruskah
untuk memaafkan. saya memaafkan seseorang yang menyakiti
 Agar klien memahami saya terutama karena saya
bahwa kita sering terjebak tidak ingin membawa kemarahan, dendam, dan
pada luka masa lalu dengan ketidakberdayaan? Haruskah saya memaafkan
mengkhawatirkan dan karena saya mendapatkan manfaat fisik,
merenung tentang masa lalu kesehatan mental, atau dalam hubungan?
itu Haruskah saya memaafkan dan melupakan hak
untuk menghukum orang yang melukai saya?
Latihan 2-1  Klien diminta untuk menjelaskan alasan-
alasan mengapa dia harus memaafkan orang
lain? Serta apa keuntungan baginya?
Latihan 2-2  Mengidentifikasi keuntungan yang didapat
dengan sikap memaafkan, baik berdasarkan

31
No Tahapan Latihan Tujuan Kegiatan
hasil penelitian atau ayat-ayat yang menjamin
ketenangan jiwa, misalnya dalam hal:
- Fisik
- Kesehatan mental
- Hubungan interpersonal
- Lainnya.
Latihan 2-3  Terapis menyajikan 14 pernyataan, dimana
klien harus memilih 2 diantara 14
pernyataan yang dianggap mewakili definisi
pengampunan.
 Setelah klien memilih, terapis menjelaskan
makna-makna yang terkandung di dalam 14
pernyataan tersebut.
Latihan 2-4 Assesing the hurts  Klien diminta untuk mengingat seseorang yang
pernah melukainya, kemudian klien diminta
untuk menandai perasaan yang dirasakannya,
apakah:
 Disappointed (kecewa)
 Rejection (menolak)
 Abandonment (merasa tertinggal, cemas
mengenai masa depan)
 Ridicule (merasa menjadi objek kemarahan,
tertawaan)
 Humiliation (memalukan)
 Betrayal (dikhianati)

32
No Tahapan Latihan Tujuan Kegiatan
 Deception (ditipu)
 Abuse (tersakiti)
 Separated (merasa tidak terhubung)
 Lainnya
Latihan 2-5 Nurturing the hurts  Klien diminta untuk menjawab pertanyaan:
 Apakah ada cara yang mungkin Anda
menajmkan luka di dalam pikiran Anda?
sekarang? Dapatkah Anda memikirkan cara apa
pun yang Anda pikirkan tentang kejadian itu?
Apa yang terjadi pada Anda yang mungkin
dapat melanjutkan rasa sakit Anda?
 Apa sajakah akibat yang ditimbulkan dari luka
yang makin terasah?
 Berapa biaya untuk merawat luka Anda?
Latihan 2-6 The Burden of Unforgiveness  Klien diberikan instruksi:
 Genggam tangan Anda dan pegang lengan
Anda sejauh mungkin dari tubuh Anda.
 Bayangkan bahwa di tangan Anda ada beban
menyakitkan dan tidak tertahankan.
 Anda mungkin tidak siap melepaskan ini, jadi
tahan selama tiga puluh detik lagi.
 Saat tanganmu menjadi lelah, pikirkan semua
hal lain yang bisa Anda lakukan dengan tangan
Anda (dan dengan hidup Anda)
 Jika Anda bisa membiarkannya pergi dan

33
No Tahapan Latihan Tujuan Kegiatan
melanjutkan hidup. Ingat bahwa memegang
beban ini menyakiti Anda, bukan
Pelaku Anda, tapi membiarkan pergi akan
membantu Anda berdua.
 Meskipun Anda mungkin tidak siap untuk
melepaskannya, buka tangan Anda dan biarkan
lengan Anda jatuh kembali ke posisi alami
mereka.
 Ingat lega yang Anda rasakan, dan peganglah
itu bila Anda siap untuk memaafkan.
Latihan 2-7 Evaluasi Sesi 2  Klien diminta untuk menjelaskan, apa yang
saja yang dia dapatkan dari sesi 2 ini.
4 SECTION 3 Untuk menceritakan bagaimana Klien diminta untuk menjawab pertanyaan:
Recalling the kita terluka atau tersinggung dan  Dapatkah Anda memikirkan contoh di mana
Hurt (in kemudian mencoba untuk seseorang melukai orang yang baik dalam suatu
Helpful Ways) melihat ceritanya melalui kejadian?
pandangan yang berbeda dari  Anda ingat saat Anda terluka, kecewa, salah
seorang pengamat objektif, dan paham, dikhianati, dan diperlakukan dengan
melalui mata orang itu tidak adil. Apakah pemikiran dan perasaan
(siapa yang menyakiti kita) tersebut kembali muncul saat Anda mengingat
atau menceritakan kembali kejadian itu?
 Apakah dengan membahas kejadian-kejadian
yang menyakitkan membuat anda merasa
sedih?

34
No Tahapan Latihan Tujuan Kegiatan
Latihan 3-1 Decisional Forgiveness  Klien diminta untuk menjawab pertanyaan:
 Sudahkah Anda membuat keputusan (terlepas
dari perasaan Anda) dalam arti memaafkan
pelanggaran/ orang yang menyakiti yang sudah
Anda pilih di awal?
 Apa yang membuat Anda memutuskan untuk
memaafkan orang tersebut? Akankah Anda
melakukan sesuatu yang berbeda dari apa yang
akan Anda putuskan sekarang?
 Terapis memberikan reward secara verbal
untuk meningkatkan motivasi klien untuk
memaafkan
 Terapis meyakinkan klien untuk menjalankan
metode REACH untuk mewujudkan harapan
dalam memaafkan
Latihan 3-2 R = Recall the Hurt through  Terapis memberi instruksi:
Imagination “Tarik napas yang dalam beberapa kali
sebelum kita memulai bagian ini. Kita akan
benar-benar memulai aktifitas menuju
pemaafan. Tenangkanlah dirimu, rileks.
Bayangkanlah orang yang menyakitimu.
Bayangkanlah pengalaman yang Anda alami
selama, sebelum dan sesudah kejadian yang
menyakitkan itu. Ingatlah setiap kata-kata dan
pengalaman kejadian lainnya.”

35
No Tahapan Latihan Tujuan Kegiatan
Latihan 3-3 Recall the Hurt through  Terapis memberikan instruksi:
Discussing What You Just “Tulis tentang ceritamu, Cobalah untuk
Imagined membuat gambaran peristiwa yang jelas.”
Latihan 3-4 Discussion of Events Objectively  Terapis menjelaskan bahwa: “Kita tidak akan
sampai ke mana-mana jika kita terus
menceritakannya berulang-ulang. Kita butuh
cerita lain yang obyektif. mengatakna bahwa
melakukan hal yang sama merupakna suatu
kegilaan, lagi dan lagi.. dan mengharapkan
hasil yang berbeda. Jadi visualisasikanlah
bahwa Anda sebagai pengamat pihak ke-3.
Masuklah lebih dalam ke dalam cerita, lakukan
imaginasi Anda.. “
 Setelah selesai, terapis bertanya:
 Ceritakanlah lagi, tapi kali ini tanpa
menonjolkan orang yang menyakiti atau
korbannya sendiri atau konsekuensi yang
dimilikinya.
 Apa perbedaan antara versi pertama dan kedua
dari Anda cerita?
Latihan 3-5 Giving the Hurt Away  Terapis memberikan instruksi:
“Mari kita coba ingatkan kembali pada apa
yang siap Anda lakukan. Anda akan mencapai
latihan ini jika Anda menggunakan tubuh
Anda. Berdirilah. Bayangkan Anda memegang
luka di tangan Anda. Pegang tangan Anda dan

36
No Tahapan Latihan Tujuan Kegiatan
pikirkan apa yang saya ucapkan tentang luka
itu.
Anda mencoba untuk menyimpannya di dalam
tangan Anda. Anda mencoba menyimpannya di
lengan dari Anda.
Berdirilah dan pegang tangan Anda untuk
sementara waktu..
-Setelah sekitar satu menit ini-
Lengan Anda akan lelah dan merasa berat dan
makin memberatkan.
Bisa Anda lihat bahwa latihan ini adalah
metafora, di mana luka merupakan dendam
dan Anda sedang memegang dendam di tangan
itu?
Nah, jika Anda sudah melakukan ini,
bayangkan diri Anda untuk membuat keputusan
dalam melepaskan rasa sakit.
Untuk membuktikan ini-terlepas dari apakah
Anda merasa benar -benar sudah memaafkan
saat ini atau belum-, Buka tangan Anda dan
tiba-tiba biarkan lengan Anda jatuh ke sisi
tubuh Anda. (Anda bisa memilih untuk
melakukannya latihan ini dengan benar-benar
memegang benda yang mewakili luka.)

37
No Tahapan Latihan Tujuan Kegiatan
Anda mungkin benar-benar ingin membuat
keputusan untuk memaafkan orang saat ini
juga. Jika Anda melakukannya, itu tidak berarti
Anda merasa berbeda terhadap orang itu.
Perasaan Anda akan lebih terpengaruh oleh
bagian berikut saat kami bekerja
Pengampunan emosional Tapi dalam
pengesahan keputusan, Anda membuat
keputusan untuk bertindak
Berbeda terhadap orang tersebut. Anda setuju
dengan diri Anda untuk berhenti menahan
dendam dan memulai mencoba memperlakukan
orang itu sebagai orang yang berharga.
Apakah Anda bisa membuat keputusan untuk
memaafkan? Yang penting, ketika salah satu
dari
Pilihlah pernyataan berikut ini, mana yang
melambangkan perasaan Anda saat ini?

 Ya, saya telah memutuskan untuk memaafkan


(dan saya akan mencoba untuk bertindak
seperti itu di masa depan)
 Tidak, saya belum memutuskan untuk
memaafkan; Mungkin nanti di buku kerja. Saat
ini, sepertinya saya tidak akan pernah bisa
memaafkan meski saya mau..

38
No Tahapan Latihan Tujuan Kegiatan
 Saat ini, saya tidak dapat melihat bahwa
pengampunan akan terjadi di kemudian hari,

Setelah klien memilih, terapis mengatakan:


“Setelah mencoba mengubah emosi Anda terhadap
orang tersebut, Anda bisa kembali mencoba
latihan ini. Jika Anda belum bisa membuat
keputusan untuk memaafkan sekarang, Anda
mungkin akan lebih mudah nantinya untuk
memaafkan.”
Latihan 3-6 E = Empathize with (and  Klien diminta untuk menuliskan pengalaman
Sympathize with, Feel menyakiti seseorang. Apa yang dirasakan,
Compassion for, and Love) pikirkan, lihat, dan dilakukan, baik sebelum,
the One Who Hurt You selama, dan sesudahnya.

We Do Things for Reasons


Latihan 3-7 Examining Closeness  Klien diminta untuk menjawab pertanyaan:
 Apakah kedekatan dengan pelaku dapat
mempengaruhi kemampuan Anda untuk
memaafkan?
 Ceritakan berdasarkan pengalaman, bagaimana
perbedaan memaafkan orang yang dekat
dengan kita, dengan orang yang tidak kita
kenal?

39
No Tahapan Latihan Tujuan Kegiatan
Latihan 3-8 A Thought to Ponder Prior to  Terapis mengajak klien untuk merenungkan
Next Section kesimpulan-kesimpulan di minggu ini. Terapis
dapat memberi kesimpulan:
“Kita semua melakukan sesuatu untuk apa
yang kita percaya pada saat menjadi alasan
yang baik. (Ini mungkin tidak sepertinya alasan
yang bagus bagi orang-orang yang mungkin
terluka) Karena kita semua memiliki
pengalaman menyakiti orang lain, bahkan
dengan niat terbaik, kita akan bisa mengerti
orang yang menyakiti kita. Mungkin dengan
merasakan apa yang pelaku rasakan, hal itu
merupakan alasan yang paling baik bagi kita.”
Latihan 3-9 Evaluasi sesi 3 Terapis meminta gambaran klien mengenai apa
yang ia dapat dalam sesi ke-3 ini.
5 SECTION 4  Berempati dengan orang  Untuk memulai sesi ini, terapis bertanya:
Empathize yang menyakitimu.  Apakah kita benar-benar ingin masuk ke dalam
 Untuk belajar cara kita bisa pikiran dan hati seseorang yang menyakiti kita?
menunjukan empati. Maukah kita disamakan dengan pembunuh
 Bahkan jika Anda tidak bisa massal yang tidak berperasaan, pembunuh
berempati, belajarlah cara berantai, orang-orang yang menyiksa anak-
untuk bersimpati dan anak atau anggota keluarga mereka?
merasakan  Dengan berempati dengan pelakunya, dan
pengalamanmengasihi bagi memaafkannya, apakah itu bagian dari diri
mereka yang telah melukai kita?
Anda

40
No Tahapan Latihan Tujuan Kegiatan
Latihan 4-1 Latihan empati lanjutan dari sesi  Terapis menjelaskan bahwa: pada tahap
3 sebelumnya, Anda memikirkan kejadian saat
Remember: We Do Things for Anda menyakiti seseorang. Kemudian, saya
Reasons menyimpulkan bahwa kita semua melakukan
sesuatu untuk apa yang kita percaya pada saat
hal itu memiliki alasan yang baik. (Ini mungkin
bukan alasan yang bagus bagi orang-orang
yang mungkin terluka.) dst…
 Terapis bertanya: Sejak tahap sebelumnya,
apakah Anda masih percaya bahwa ide ini
pantas? Mengapa?
Latihan 4-2 Trying to Understand Why the Klien diminta menuliskan:
Person Hurt You  Tulislah tentang apa yang menurut Anda
dialami pelaku yang telah menyakiti Anda.
 Apa beberapa pengalaman lain yang mungkin
dimiliki pelaku?
Latihan 4-3 Role Play  Terapis menyiapkan percakapan antara klien
dengan pelaku yang menyakitinya, misalnya:
- Saya: Anda benar-benar menyakiti perasaan
saya saat Anda menabrak anjing saya dan
sepertinya Anda tidak menyesal.
- Pelanggar: Saya tidak menyadarinya bahwa
kejadian tersebut masih mengganggu Anda.
- Saya: Saya berharap Anda telah
menunjukkan sedikit penyesalan lagi, saya
sangat mencintai anjing saya.

41
No Tahapan Latihan Tujuan Kegiatan
- Pelanggar: Saya minta maaf karena telah
menyebabkan Anda sakit hati
 Klien harus menjawab pertanyaan:
- Apakah Anda mempertimbangkan sejarah
orang tersebut? Tekanannya?
Pemikirannya?
 Klien kemudian bertukar tempat menjadi
seorang pelaku dan memerankan percakapan
sebagai pelaku.
 Klien kemudian harus menjawab pertanyaan:
- Apakah sekarang Anda memiliki
pengetahuan baru jika Anda menempatkan
diri Anda sebagai pelanggar?
- Apa yang telah Anda sadari tentang motif
dan perasaan orang tersebut.
- Apakah sekarang Anda lebih mengerti
perasaan dan pemikiran mereka?
Latihan 4-4 Sympathizing with the Offender Klien diminta untuk menjawab pertanyaan:
- Apakah ada alasan untuk merasa kasihan
pada orang yang menyinggung perasaan
Anda?
- Apakah dia membutuhkan pengampunan?
- Dari dia sendiri?
- Dari dirimu sendiri?
- Apakah Anda merasakan kesedihan atas
nama orang tersebut?

42
No Tahapan Latihan Tujuan Kegiatan
Latihan 4-5 Compassion for the Offender  Terapis menjelaskan mengenai simpati: bahwa
simpati adalah perasaan di mana orang itu
membutuhkan dan ingin melakukan sesuatu
untuk membantu.
 Klien menjawab pertanyaan: Jika Anda benar-
benar merasa kasihan pada orang yang
menyakiti Anda, apa yang mungkin bahwa itu
artinya Anda membantu seseorang?
Latihan 4-6 A= Give an Altruistic Gift of Terapis memberi instruksi:
Forgiveness Tulislah suatu saat ketika Anda melakukan sesuatu
yang altruistik untuk orang lain. Gambarkanlah apa
yang Anda lakukan. Jelaskan bagaimana perasaan
Anda saat melakukannya. Bagaimana perasaan
Anda setelah Anda melakukannya?
Latihan 4-7 We Are All Capable of  Klien diminta untuk membaca suatu kisah
Wrongdoing pertaubatan seorang pemuda di zaman Nabi
Muhammad SAW *lampiran 3
 Klien diminta untuk menjawab pertanyaan:
- Apa inti dari cerita ini? Apakah anda setuju
dengan itu mengapa? atau mengapa
tidak?
- Menurut Anda, apakah pemuda tersebut
merasa sama dengan dengan setan
penghuni neraka, sedangkan dia melakukan
dosa karena khilaf dan ingin bertaubat?

43
No Tahapan Latihan Tujuan Kegiatan
Latihan 4-8 For Contemplation  Terapis mengajak klien untuk merenung:
Kita sering membesar-besarkan "jarak psikologis"
antara orang yang telah menyakiti kita dan diri kita
sendiri. Lebih sering daripada tidak, pencarian
keras hidup kita akan mengungkapkan hal yang
sama.

Energi untuk melakukan kejahatan yang ada di


pelanggar kita, bahkan jika kita tidak bertindak
dalam hal yang sama, cara atau dengan tingkat
keparahan hasil yang sama. Orang cenderung
menganggap perilaku negatif mereka terhadap
pikiran atau perasaan karena keadaan di luar
kendali mereka, namun atribut perilaku negatif
terhadap orang lain adalah sesuatu yang salah
dengan mereka (Contoh: Bagaimana jika Anda
atau guru Anda terlambat datang ke kelas karena
masalah mobil. Jika Anda terlambat datang,
kemungkinan besar Anda mengatakan bahwa Anda
memiliki kesulitan mobil. Jika guru Anda
terlambat datang, apa penjelasan yang mungkin
Anda bisa tebak?)

Perbedaan tindakan / disposisi itu penting ilakukan,


karena kita cenderung menilai tindakan kita dengan
standar yang berbeda dari yang dilakukan orang

44
No Tahapan Latihan Tujuan Kegiatan
lain.

Yang benar adalah, perilaku negatif setiap orang


adalah gabungan dari keadaan yang terjadi kepada
kita dan kecenderungan alami kita untuk
berperilaku egois dan dengan cara yang
menyakitkan orang lain. Itu kecenderungan
manusia untuk menyalahkan orang lain atas hal
yang kita biarkan terjadi pada diri kita, hal itu
menciptakan jarak psikologis buatan antara orang
lain dan diri kita sendiri.
Latihan 4-9 Evaluasi sesi 4 Klien diminta menggambarkan apa yang ia dapat
dari sesi ke-4
6 SECTION 5  Untuk menciptakan rasa Sesi ini dimulai dengan pertanyaan:
Giving a Gift syukur atas pengampunan  Apa yang Anda syukuri? Apakah Anda
of forgiveness: yang telah Anda terima. menganggap diri Anda sebagai orang yang
Altruism and  Memotivasi sikap altruistik sangat bersyukur? Untuk siapa Anda bersyukur
Commitment terhadap orang-orang yang dan untuk apa?
menyakiti dan menyinggung  Apakah Anda sering bersikap altruistik?
perasaan Anda. Altruisme adalah perilaku yang tidak egois
 Menunjukan komitmen untuk membantu orang lain. Dapatkah Anda
untuk mengungkapkan memikirkan saat Anda berperilaku altruistik?
pengampunan emosional Apa yang terjadi?
yang Anda alami.  Jika Anda sampai pada kesimpulan bahwa
Anda telah memaafkan seseorang, apakah
Anda mengharapkan bahwa Anda harus

45
No Tahapan Latihan Tujuan Kegiatan
melupakan kejadian itu? Bisakah Anda melihat
orang itu dan tidak merasakan apa-apa selain
kehangatan di hatimu untuk orang itu? Jika
 Bisakah Anda tidak memikran apapun selain
merangkul orang dengan hati yang terbuka,
mengabaikan masa lalu yang mungkin
mendorong Anda agar tetap berhati-hati?
Latihan 5-1 A= Give an Altruistic Gift of Sesi ini dimulai dengan pertanyaan:
Forgiveness (continued)  Apa rasanya jika Anda berada dalam masalah,
kehilangan muka, kehilangan rasa hormat atau
When Did You Need Forgiving? harga diri, dan membutuhkan pengampunan?
 Apa yang Anda rasakan di perut Anda?
Bagaimana telapak tangan Anda? Bagian tubuh
yang lain?
 Apa yang akan Anda sebut emosi yang Anda
alami seperti Anda menyadari bahwa kamu
telah menganiaya orang lain dan membutuhkan
pengampunan?
 Apa yang dirasakannya (atau akan terasa) ingin
bertanya kepada orang yang Anda sakiti,
bahwa Anda ingin dimaafkan dan diterima?
Apakah Anda merasa rendah diri?
Latihan 5-2 Getting in Touch with the  Terapis membimbing:
Gratitude We Feel for Our - Fokus sejenak pada seberapa baik rasanya
Forgiveness menerima pengampunan dan perasaan
bebas yang Anda terima saat beban rasa

46
No Tahapan Latihan Tujuan Kegiatan
bersalah diangkat dari Anda pada waktu itu
di masa lalu.
- Kapan Anda telah mampu menerapkan rasa
syukur ini, lakukan latihan ini.
Olahraga:
Jika Anda akan menulis surat ucapan terima kasih
karena telah dimaafkan, apa yang kamu katakana?
tulislah hal tersebut!
Latihan 5-3 Reactions to Being Forgiven Klien diminta untuk menuliskan perasaannya
setelah dimaafkan.
Latihan 5-4 The Gift of Forgiving (I) Terapis memberi instruksi:
Bayangkan orang yang menyakitimu dalam
skenario yang telah kamu pilih untuk workbook ini.
Jika orang itu dalam masalah, maukah Anda
membantu? Tulislah tentang hal-hal yang
memungkinkan Anda akan bersedia untuk
melakukan sesuatu untuk orang itu.
Latihan 5-5 The Gift of Forgiving (II) Terapis memberi instruksi:
Gambarlah suatu hadiah yang ingin Anda berikan
kepada orang itu sebagai tanda terima kasih telah
dimaafkan olehnya. Setelah itu, jelaskan arti dan
maksudnya.
Latihan 5-6 A Crucial Question, Terapis meminta klien untuk menetapkan
Commit By Writing prosentase perasaan negatif yang telah berubah, ke
dalam pernyataan berikut ini:

47
No Tahapan Latihan Tujuan Kegiatan
Saya telah memaafkan orang yang menyakiti
atau menyakiti saya _______ persen dari
Perasaan negatif yang saya pegang.

Klien diminta untuk menjawab pertanyaan:


Tuliskan tentang seberapa besar Anda memaafkan
emosi dan perasaan itu.
Latihan 5-7 C=Commit to the Forgiveness Klien diminta untuk mengisi CERTIFICATE OF
You Experienced EMOTIONAL FORGIVENESS, kemudian
ditandatangani.
Completing a Certificate of
Emotional Forgiveness
Latihan 5-8 What if Emotional Forgiveness Jika klien tidak memenuhi kontrak memaafkan,
Isn’t Complete? maka terapi memberikan arahan:
- Jika Anda telah mengalami pengampunan
emosional kurang dari 100 persen, Anda
mungkin perlu kembali melalui langkah-
langkah sebelumnya lagi.
- Jika Anda memiliki riwayat tindakan
menyakitkan yang timbal balik dengan
pelanggar Anda-mungkin beberapa
sakit parah dan banyak luka kecil-Anda
tidak perlu mengingat kembali setiap luka
yang dialaminya.
- Anda bisa memaafkan kesakitan dengan
mengambil tiga langkah:

48
No Tahapan Latihan Tujuan Kegiatan
a. Pilih dua atau tiga tindakan paling
menyakitkan yang akan berlaku untuk
semua luka yang ditimbulkan oleh
orang tersebut.
b. Bekerjalah melalui dua atau tiga-satu
per satu itu-sampai masing-masing
diampuni.
c. Pada titik tertentu Anda akan
memutuskan bahwa Anda telah cukup
memaafkan tindakan individu, dan
Anda telah memaafkan orang tersebut.
Latihan 5-9 Hand Washing (berwudlu) Klien diminta untuk:
 Menuliskan uraian singkat tentang pelanggaran
di tangannya sendiri, atau bahkan hanya kata
"MENYAKITI." saja.
 pergil ke kamar mandi dan berwudlu.
 menjawab pertanyaan: Apakah Anda bisa
menghilangkan semua tinta?
Latihan 5-10 Barriers to Complete Emotional Klien diminta untuk menuliskan hambatan-
Forgiveness hambatan dalam memaafkan secara emosional
Latihan 5-11 A Hypothetical Letter Klien diminta untuk menuliskan:
Expressing Forgiveness - apa yang akan Anda katakan jika Anda
ingin menulis surat pada pelanggar yang
mengekspresikan pengampunan
keputusanmu (yaitu, yang Anda miliki
memutuskan untuk tidak menyimpan

49
No Tahapan Latihan Tujuan Kegiatan
dendam dan memperlakukan orang itu
sebagai manusia yang berharga) dan
Beri tahu orang tentang pengalaman Anda
akan pengampunan emosional (yaitu, yang
Anda miliki, ganti emosi negatif dengan
emosi positif terhadap orang tersebut).
Latihan 5-12 Evaluasi sesi 5 Klien diminta untuk menggambarkan apa yang ia
dapat dari sesi 5.
7 SECTION 6  Mengembangkan sejumlah Sesi ini dimulai dengan pertanyaan:
Holding on to strategi untuk menjaga - Bagaimana Anda mencoba berpegang pada
Forgiveness kedamaian emosi yang pengampunan kapan pun Anda tiba-tiba
and Becoming timbul dari memaafkan dan bertemu seseorang yang telah kamu
a More mempraktikkannya. maafkan?
Forgiving  Untuk memperluas aplikasi - Apakah Anda memiliki cara untuk
Person model REACH ke masalah mengalihkan pikiran dari kekhawatiran atau
lain sehingga kita bisa mulai berpikir negatif tentang luka lama?
menjadi orang yang benar- Strategi apa yang akan Anda gunakan?
benar lebih pemaaf. - Jika Anda ingin merancang program Anda
sendiri untuk menjadi lebih pemaaf, apa
yang akan Anda lakukan?
Latihan 6-1 Review of Major Concepts Klien diminta untuk menjawab:
- Apa lima langkah untuk pengampunan
REACH?
- Apa definisi kerja kita tentang "pemberian
pengesahan keputusan" dan "Mengalami
pengampunan emosional"?

50
No Tahapan Latihan Tujuan Kegiatan
Latihan 6-2 H=Hold on to Forgiveness  Klien diminta untuk menggambar sesuatu yang
When You Doubt dapat membuatnya tersenyum.
 Terapis bepesan: Anda punya pilihan tentang
Smile emosi Anda. Anda bisa mengendalikan emosi.
Anda bisa mengganti orang-orang dengan cinta
atau empati atau simpati atau kasih sayang, kini
Anda bisa berpegang pada pengampunan
emosional Anda - bahkan di hadapan peristiwa
kuat yang menuntut Anda melepaskan
pengampunan emosional itu. Psikolog Fred
Luskin mengemukakan bahwa mengalami
emosi negatif seperti menonton televise yang
menyediakan saluran yang menyedihkan, dapat
menimbulkan rasa marah, menimbulkan rasa
takut, atau meningkatkan kepahitan. Tapi yang
penting, Anda bisa mengganti saluran itu. Pilih
saluran yang lebih positif.
- Apa saluran emosional negatif yang sering
Anda tonton?
- Apa saluran emosional positif yang ingin
Anda tonton lebih banyak?
- Apakah ada sesuatu yang mencegah Anda
mengubah saluran? Apa itu?
- Dapatkah Anda melakukan sesuatu tentang
hal itu? Atau bisakah Anda hanya
berkomitmen untuk mengganti saluran dan

51
No Tahapan Latihan Tujuan Kegiatan
mencari pengalaman yang lebih positif?
Latihan 6-3 Things That Might Make You Terapis memberi semangat:
Doubt Whether You Really Anda telah bekerja keras dan berpengalaman baik
Emotionally secara komplit dan lebih pemaaf bila dibandingkan
Forgave dengan catatan buku kerja di awal pertemuan. Tapi
mungkin saja ada keraguan bahwa Anda
sebenarnya telah memaafkan. Dapatkah Anda
memikirkan beberapa saat kapan Anda bisa
Ragu bahwa Anda telah memaafkan?
Latihan 6-4 Seeing the Person Again Klien diinstruksikan:
- Bayangkan untuk melihat orang itu lagi.
Perasaan apa yang mungkin Anda rasakan?
Gambar wajah Anda untuk menunjukkan
perasaan batin Anda, menggunakan pensil
warna.
- Jika Anda merasa marah, apa yang ingin
Anda lakukan?
- Tuliskan pesan yang mendukung pelaku
yang membantu Anda berpegang pada
pengampunan Anda.
Latihan 6-5 Hold on to Forgiveness When Klien dimintauntu:
You Are in the Midst of a - Buat daftar cara untuk menghindari agar
“Reminder” Anda tidak kembali ke kepahitan atau
Experience kebencian jika Anda berada dalam satu
situasi yang mengingatkan itu?

52
No Tahapan Latihan Tujuan Kegiatan
Latihan 6-6 Important Example Terapis memberi gambaran:
Memiliki kenangan akan bahaya masa lalu adalah
cara kita untuk melindungi diri dari melakukan
sesuatu yang berbahaya lagi. Jika saya membakar
tangan saya di atas kompor, saya merasakan
ketakutan dan kemarahan saat tangan saya semakin
dekat dengan kompor. Itu bukan "tidak
mengampuni" terhadap kompor; Itu hanya cara
tubuh melindungiku.

Selanjutnya, jika Anda tetap menyentuh kompor


panas, Anda akan terus terbakar. Anda harus
merubah tindakan Anda dan cara Anda dalam
memikirkan luka untuk mencegahnya terjadi lagi.

Jadi, ingat: Rasa sakit, kemarahan, atau ketakutan


yang timbul akibat ingatan itu bukan berasal dari
orang yang menyakiti kita ,sekali lagi TIDAK!.

Ketika Anda melihat orang yang menyakiti Anda


dan merasakan perasaan negatif (marah, takut,
sedih) muncul sekali lagi, Anda bisa mengingatkan
diri sendiri: Rasa sakit, kemarahan, dan ketakutan
yang saya rasakan ini hanya cara tubuh saya
melindungi saya, jadi saya tidak akan melakukan
kesalahan yang sama yang saya buat terakhir kali.

53
No Tahapan Latihan Tujuan Kegiatan
Latihan 6-7 Control Rumination or Worry Terapis menggambarkan:
Pengalaman dalam mengendalikan pikiran Anda.
Banyak dari Anda mungkin pernah mendengarnya
fenomena beruang putih. Luangkan dua puluh
detik, mencoba untuk TIDAK berpikir tentang
beruang putih.
- Apa yang berhasil dan mana yang tidak?
- Apa yang dapat Anda terapkan dari latihan
ini saat Anda mulai memikirkan kapan
orang itu menyakitimu?
Latihan 6-8 Summary of Ways to Hold On to Terapis memberikan penjelasan dan pilihan:
Forgiveness  Cara menghadapi situasi yang mengingatkan
pada luka, diubah menjadi perasaan maaf:
1. Dapatkan dari situasi
2. Distract diri sendiri
 Cara untuk memiliki forgiveness jika anda
mulai untuk bekerja atau ruminasi
- Tidka mengingat luka lama
- Jangan terpaku pada emosi negatif
- Mengingatkan diri bahwa saya seorang yang
pemaaf
- Mencari teman
- Baca kembali workbook terapi
- Melihat pada model piramida untuk mencapai
kehidupan, dan berpikir kemudian melangkah
lagi.

54
No Tahapan Latihan Tujuan Kegiatan
 Manakah dari berikut ini yang ingin anda
gunakan lebih sering daripada sebelumnya?
 Buat daftar mana yang paling menarik bagi
anda dan anda pikir anda memiliki kesempatan
terbaik untuk menggunakannya?
Latihan 6-9 Before and After  Klien diminta untuk menggambarkan
representasi perasaannya sebelum dan sesudah
pengampunan
 Kemudian jelaskan bagaimana perbedaan
kedua gambar tersebut

Latihan 6-10 Helping You Remember Terapis menggambarkan:


Asumsikan bahwa Anda telah berbicara dengan
seorang teman tentang memaafkan luka yang
dimilikinya. Orang tersebut telah memberi tahu
Anda bahwa pengampunan telah sangat sulit.
Orang itu telah bergulat dengan dua masalah.
Pertama, orang tersebut mengatakan bahwa dia
telah dimaafkan dan benar-benar menyadarinya,
namun di sisi lain, mendapati bahwa dia masih
merasa marah atau marah saat memikirkan tentang
bahaya yang terjadi. Kedua, orang tersebut tidak
tahu bagaimana menyingkirkan kebencian dan
kemarahannya.

55
No Tahapan Latihan Tujuan Kegiatan
Latihan 6-11 Dedicate Yourself to Being a Terapis menjelaskan bahwa untuk menjadi seorang
More Forgiving Person: 12 yang pemaaf, maka klien harus mengikuti 12
Steps tahapan:
1. Kenapa Anda harus memaafkan?
2. Mengidentifikasi 10 luka yang pernah Anda
alami.
3. Maafkan satu luka dari 10 luka yang ditulis.
Kemudian luka yang telah dipilih
dideskripsikan melalui teknik R-E-A-C-H yang
telah dipelajari
4. Mengidentifikasi modeling yang berhasil
menjadi pemaaf
5. Melatih diri dengan mengatakan hal-hal positif
pada diri tentang kemampuan memaafkan.
6. Berusaha untuk menjadi seorang pemaaf.
7. Mengganti pengalaman masa lalu dan
membandingkan hasilnya dengan yang
sekarang.
8. Menetapkan strategi untuk menjadi seorang
yang pemaaf.
9. Mempraktekan sikap pemaaf dalam imaginasi
10. Mempraktekan sikap pemaaf dalam keseharian
11. Konsultasi dengan seseorang yang dipercaya
12. Mulai mengembangkan sikap hangat pada
musuh Anda.

56
No Tahapan Latihan Tujuan Kegiatan
Latihan 6-12 Learn the Lessons of a Pencil Terapis memberi gambaran mengenai kehidupan
pensil:
- Pensil memiliki kehidupan yang singkat,
namun bisa membuat manfaat
- Kesalahannya bisa dikoreksi dengan susah
payah.
- Untuk pensil - seperti Anda - apa yang ada di
dalam, tidak di luar, bertanggung jawab atas
tandanya.
- Pensil perlu digiling dan diasah secara teratur,
jadi jangan sampai membenci menajamkan
bahwa Anda harus menjalani. Seringkali luka
dan luka yang Anda rasa menyakitkan bisa jadi
penajaman Anda sendiri.
Latihan 6-13 Mirror Lihatlah dirimu di cermin, lalu pergi. Kembalilah
ke cermin beberapa waktu kemudian.
Latihan 6-14 The Burden of Unforgiveness Lakukan kembali ilustrasi tangan dengan beban
yang berat seperti pada latihan sebelumnya.
Latihan 6-15 Evaluasi Klien menggambarkan apa yang ia dapat di sesi ke-
6 ini
Latihan 6-16 Mengevaluasi workbook mulai Klien mengevaluasi sendiri dan menggambarkan
dari sesi 1 hingga 6 perubahan yang telah dicapai olehnya selama
mengikuti terapi.

57
BAB III
SIMPULAN

Pemaafan (forgiveness) merupakan kesediaan untuk menanggalkan kekeliruan


masa lalu yang menyakitkan, tidak lagi mencari-cari nilai dalam amarah dan
kebencian, dan menepis keinginan untuk menyakiti orang lain atau diri sendiri. Dalam
Islam, sikap memaafkan sangatlah dianjurkan. Sikap memaafkan, erat kaitannya
dengan kemarahan dan kedengkian yang ditunjukan seseorang pada suatu hal. Islam
mendorong manusia untuk menghindari sifat marah dan dengki. Al-Qur’an mengajak
kaum Muslimin untuk tidak menghadapi kedengkian dengan kedengkian, kejahatan
dengan kejahatan, dan mengajak mereka untuk berlapang dada dan memaafkan hingga
Allah mendatangkan urusan-Nya sesuai waktu yang dikehendaki-Nya. “Jadilah
Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah
dari pada orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf: 199). Maka dari itu, akhir-akhir
ini, terapi kebermaafan banyak digunakan oleh para terapis untuk membantu klien
menghilangkan kebencian terhadap orang lain, yang kemudian kebencian tersebut
membuat kesehatan mental menjadi terganggu.
Untuk mengadaptasikan konsep kebermaafan ke dalam intervensi konseling/
psikoterapi, maka konsep kebermaafan yang awalnya sebagai konsep spiritual, harus
diurai secara operasional ke dalam tahapan-tahapan memaafkan, sehingga setiap orang
akan mampu mempelajarinya melalui kegiatan intervensi. Adapun tahapan
kebermaafan yang secara empirik telah diteliti oleh Worthington, meliputi: R (Recall
the hurt): dalam keadaan terluka, seseorang biasanya berusaha untuk menyangkal dan
menutupi perasaan luka tersebut. Untuk menyembuhkannya, maka dia harus mampu
mengingat kembali kejadian yang menyakitkan secara objektif. E (Empathize): Untuk
dapat memaafkan, maka seseorang harus mampu merasakan empati kepada pelaku,
misalnya dengan membayangkan tekanan yang dihadapi pelaku sehingga ia menyakiti
orang lain atau melakukan refleksi diri dengan melihat kekurangan dan kesalahan diri
sendiri sehingga orang lain wajar menyakiti kita. A (Altruistic gift of forgiveness):
pada tahap ini, seseorang harus dapat menggambarkan bahwa pernahkah dia menyakiti
orang lain dan kemudian orang tersebut memaafkannya? Dengan kejadian tersebut, dia
harus dapat merasakan bagaimana rasanya jika tidak dimaafkan oleh orang lain. C
(Commit publicly to forgive): pada tahap ini, seseorang harus berkomitmen dan

58
menceritakan komitmennya kepada orang lain, seperti orang tua, saudara, teman atau
konselor bahwa dirinya akan memaafkan orang yang telah menyakitinya. H (Hold on
to forgiveness): pada tahap ini, seseorang harus merenung dan tetap bertekad untuk
memaafkan. Seseorang harus berpikir bahwa banyak jalan yang akan membuatnya
kembali tergelincir ke dalam kemarahan, rasa sakit atau pikiran yang negatif.
Dalam banyak penelitian, ternyata terapi kebermaafan ini dapat diterapkan
pada berbagai jenis keluhan yang umumnya berkaitan dengan amarah, kebencian dan
dendam individu kepada seseorang atau suatu kejadian yang akhirnya menyebabkan
ketidakstabilan secara psikologis. Beberapa penelitian menunjukan bahwa terapi
kebermaafan efektif menurunkan stres, post-trauma, meningkatkan kemampuan
interpersonal, menurunkan depresi, kecemasan, meningkatkan kualitas hidup dan
kebahagiaan. Akan tetapi, seorang terapis perlu memperhatikan kondisi klien sebelum
melakukan terapi ini, sebab tidak semua klien dapat dengan mudah mengikuti terapi
kebermaafan ini. Biasanya individu banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor, terutama
mengenai nilai-nilai “sebagai korban” yang dianutnya, yang menghambat prose terapi.
Tindakan pertama dari seorang terapis adalah mengidentifikasi di mana posisi klien
dalam kombinasi forgiveness.
Untuk melaksanakan terapinya, sebenarnya belum ada penelitian murni yang
membahas mengenai cara kerja konseling Islami dengan konsep kebermaafan.
Meskipun demikian, konsep kebermaafan dalam Islam masih dapat diadaptasikan
pada beberapa latihan intervensi kebermaafan. Intervensi ini terdiri dari 6 sesi, di
mana setiap sesi terdiri dari berbagai latihan berkala mengenai tahap memaafkan
(REACH).

59
DAFTAR PUSTAKA

Al-Mabuk, R. H., Dedrick, C. V. L., and Vanderah, K. M. 1998. Attributing Retraining in


Forgiveness Theraphy. Journal of Family Psychoterapy, 9, 11-30.
Amin, M. & Harianto, E. (2005). Psikologi Kesempurnaan: Membentuk Manusia Sadar Diri
dan Sempurna. Jogjakarta: Matahati.
Baumeister, R. F., Exline, J. J., and Sommer, K. L. 1998. The victim role, grudge theory, and
two dimensions of forgiveness. In E. L. Worthington, Jr. (eds.), Dimensions of
forgiveness: Psychological Research and Theological Speculations. Philadelphia: The
Templeton Foundation Press.
Berry & Worthington, J.W. 2001. Forgiveness, Relationship Quality, Stress while
Imagining Relationship Events, and Physical and Mental Health. Journal of
Counseling Psychology, 48, halaman 447-455.
Browne, Polly E. 2009. Forgiveness Therapy: A Qualitative Study Of The Forgiveness
Experience Of People Who Have Undergone Forgiveness As A Counseling Intervention.
A Dissertation Presented in Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree
Doctor of Philosophy. Capella University.
Coyle, C.T and Enright, R. D. 1997. Forgiveness Intervention With Postabortion Men.
Journal Of Consulting and Clinical Psychology, 65 (6), 1042-1046.
Darby, B.W. and Schlenker, B. R. 1982. Children Reactions to Apologies. Journal of
Personality and Social Psychology, 43 (4), 742-753.
Droll, D. M. 1984. Forgiveness: Theory and Research. Dissertation Abstracts International-
B, 45, 2732.
Exline, J. J., Yali, A. M., & Lobel, M. 1999. When God Disappoints: Difficulty Forgiving
God and Its Role in Negative Emotion. Journal of Health Psychology, 4, halaman
365–379.
Fincham, F. D, Beach, S. R and Davila, J. 2004. Forgiveness and Conflict Resolution in
Marriage. Journal of Family Psychology, 18, 72-81.
Freedman, S. R. and Enright, R. D. 1996. Forgiveness as an Intervention Goal With Incest
Survivor. Journal Of Consulting and Clinical Psychology, 64 (5), 983-992.
Hope, D. 1987. The Healing Paradox of Forfiveness. Psychoteraphy, 24, 240-244
Imam Nawawi. (2010). Syarah dan Terjemah Riyadhus Shalihin. Jilid 1. Jakarta: Al-I’tishom.
Karremans, J.C, Paul, Van Lange, A.M. and Ouwerkerk. 2003. When Forgiving Enhances
Psychological Well-Being: The Role of Interpersonal commitment, Journal of Personality
and Social Psychology 34, (5), 1011-1026.
Kendler, K. S., Liu, X.-Q., Gardner, C. O., McCullough, M. E., Larson, D., & Prescott,
C. A. 2003. Dimensions of religiosity and their relationship to lifetime psychiatric and
substance use disorders. American Journal of Psychiatry, 160, halaman 496–503.
Lavelock, Caroline. 2011. The Path of Forgiveness: Six Practical Sections for Becoming a
More Forgiving Person – Self-Directed Learning Workbook An Intervention to Promote
Forgivenes. Adaptated workbook from Everett L. Worthington, Jr., PhD, Virginia
Commonwealth University.

60
Macaskill,A, Maltby,J, and Liza D. 2002. Forgiveness of Self and Others and Emotional
Empathy, The Journal of Social Psychology, 142 (5), 663-665.
Macaskill, A. 2005. The Treatment of Forgiveness in Counselling and Therapy. Counselling
Psychology Review, Vol. 20 No.1, halaman 26-33. Sheffield Hallam University.
McCullough, M.E, Wortington, E.L, and Rachal, K.C. 1997. Interpersonal Forgiving in Close
Relationships. Journal of Personality and Social Psychology 73 (2), 321-336.
McCullough, M.E, Wortington, E.L, Rachal, K.C, Sandage, S.J., Brown, S.W, and Hight,
T.L. 1998. Interpersonal Forgiving in Close Relationships : II. Theoritical11 Elaboration
and Measurement. Journal of Personality and Social Psychology, 75, (6), 1586-1603.
McCullough, M.E., Bellah, C.G., Kilpatrick, S.D., and Johnson, J.L. 2001. Vengefulness:
Relationship with Forgiveness, Rumination, Well-Being, and The Big Five. Personality
and Social Psychology Bulletin, 27, 601-610.
McCullough, M.E, Fincham, F.D and Tsang, J. 2003. Forgiveness, Forbearance and Time :
The Temporal Unfolding of Transgression-Related Interpersonal Motivations. Journal of
Personality and Social Psychology, 84 (3), 540557.
McCullough, M. E., Bellah, C. G., Kilpatrick, S. D., & Johnson, J. L. 2001. Vengefulness:
Relationships with Forgiveness, Rumination, Well-Being, and The Big Five.
Personality and Social Psychology Bulletin, 27, halaman 601–610.
Ohbuchi, K., Kameda, M., and Agarie, N. (1989). Apology as Aggression Control: Its Role in
Mediating Appraisal of and Response to Harm. Journal of Personality and Social
Psychology, 56, 219-227.
Reed, Gayle L & Enright, Robert D. 2006. The Effects of Forgiveness Therapy on
Depression, Anxiety, and Posttraumatic Stress for Women After Spousal Emotional
Abuse. Journal of Consulting and Clinical Psychology. Vol. 74, No. 5, halaman 920 –
929.
Sayyid Quthb. (2000). Tafsir Fi-Zhilalil Qur’an: Di Bawah Naungan AlQur’an. Jilid 1.
Jakarta: Robbani Press.
---------- (2001). Tafsir Fi-Zhilalil Qur’an: Di Bawah Naungan AlQur’an. Jilid 2. Jakarta:
Robbani Press.
---------- (2009). Tafsir Fi-Zhilalil Qur’an: Di Bawah Naungan AlQur’an. Jilid 10. Jakarta:
Robbani Press.
Shihab, M.Q. (2002a). Tafsîr Al-Mishbâh: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Volume
2. Jakarta: Lentera Hati.
---------- (2002b). Tafsîr Al-Mishbâh: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Volume 6.
Jakarta: Lentera Hati.
---------- (2002b). Tafsîr Al-Mishbâh: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Volume 8.
Jakarta: Lentera Hati.
Smedes, L.B. 1984. Forgive and Forget: Healing The Hurts We Don't Deserve. San
Francisco: Harpersan.
Spiring, J.A dan Spiring, M. 1996. After The Affair. Healing The Pain and Rebuilding Trust
When a Partner Has Been Unfaithful. New York: Hatper Parennial.

61
Takaku, S. 2001. The Affects of Apology and Perspective Taking on Interpersonal
Forgiveness : A Dissonance-Attribution Model of Interpersonal Forgiveness. Journal of
Social Psychology, 141 (4), 494-508.
Thayyarah, N. (2013). Buku Pintar Sains dalam Al-Quran: Mengerti Mukjizat Ilmiah Firman
Allah. Jakarta: zaman.
Wade, N. G and Worthington, E. L. 2003. Overcoming Interpersonal Offense: Is Forgiveness
the Only Way to Deal with Unforgiveness ? Journal of Counseling and Development, 81
(3) , 343-353.
Witvliet, Charlotte v. O. 2001. Forgiveness and Health: Review and Reflections on a
Matter of Faith, Feelings, and Physiology. Journal of Psychology and Theology, 29,
halaman 212–224.
Worthington, Everette L. 1998. Dimensions of Forgiveness: Psychological Research and
Theological Perspectives. Philadelphia: Templeton Foundation Press.
Worthington, Everett L., Jr. 2001. Five Steps to Forgiveness: The Art and Science of
Forgiving. (New York: Crown, 2001),hal. 38.
Zechmeister, J.S., dan Romero, C. 2002. Victim and Offender Accounts of Interpersonal
Conflict : Autobiographical Narratives of Forgiveness and Unforgiveness. Journal of
Personality and Social Psychology, 82 (4), 675-686.

62
63
Lampiran 1
Kisah Rasulullah Memaafkan Wanita Yahudi yang Meracuninya

Diceritakan oleh Anas, salah satu sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam , bahwa ada
seorang wanita Yahudi datang kepada Rasulullah dengan membawa seekor kambing (bakar)
yang telah diracuni. Kemudian beliau memakan sebagian darinya. Lalu Rasulullah mengutus
seseorang untuk memanggil wanita (yang memberi kambing) itu dan wanita itu pun datang.
Rasulullah segera bertanya kepadanya tentang hal itu.
Wanita itu menjawab, “Saya ingin membunuhmu.”
Para sahabat berkata, “Perlukah kita membunuh wanita ini?”
“Jangan!” jawab Rasulullah.
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Saya melihat bekas racun itu senantiasa berada di langit-
langit mulut Rasulullah”
(Hadist Riwayat Al Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad dan lainnya)
Hadist tersebut menceritakan kejadian setelah Rasulullah mengalahkan yahudi di Madinah
pada Perang Khaibar. Wanita yahudi tersebut sangat memusuhi Rasulullah. Ia yakin bahwa
dengan meracuni hidangan untuk Rasulullah maka ia akan sukses membalas kekalahan yang
dialami oleh Kaum Yahudi.
Saat ditanya alasannya meracuni daging kambing tersebut, ia tidak membantah bahwa ia ingin
meracuni Rasulullah dan menjawab, “ Saya pikir jika engkau memang benar seorang nabi,
maka racun tersebut tidak akan berbahaya untukmu. Namun apabila engkau seorang raja,
maka engkau memang pantas untuk dibunuh”.
Dibanyak negara, jika ada seseorang yang tertangkap berusaha membunuh pemimpinnya
maka akan ditanggapi secara serius dan akan mendapatkan hukuman yang sangat berat.
Namun, reaksi Rasulullah saat mendengar alasan wanita itu justru melarang para sahabat
untuk membunuh wanita tersebut.
Walaupun wanita tersebut tidak dihukum mati karena telah meracuni makanan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, banyak hadist yang mengatakan bahwa ia dikenakan hukum mati
karena daging kambing beracun itu sebelum dimakan oleh Rasulullah, dimakan oleh salah
satu sahabat nabi, Bishr Ibn Al-Baraa, hingga akhirnya ia wafat. Tindakan ini diambil karena
dalam islam pembunuhan tidak dapat ditoleransi. Walaupun Rasulullah akan selalu
memaafkan segala perlakuan buruk terhadap dirinya, beliau tetap tidak akan melanggar
hukum yang sudah ditetapkan oleh Allah.
Kisah di atas menunjukan sikap pemaaf Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang patut
kita contoh. Begitu juga dengan sikap beliau yang selalu memastikan untuk memilih tindakan
yang benar di berbagai situasi. Sebagian orang berpikir bahwa sikap – sikap Rasulullah dalam
menghadapi berbagai keadaan hanya dapat diaplikasikan pada urusan agama. Namun, dalam
islam tidak ada perbedaan antara urusan agama dan ‘dunia’. Semua hal dalam kehidupan
seorang muslim harus mengikuti tuntunan agama. Karena itu, sikap – sikap rasulullah dalam
menghadapi berbagai situasi dapat menjadi panutan dalam segala aspek kehidupan.

Dikutip dari: Asyifa, Cahaya. 2016. Kisah Rasulullah Memaafkan Wanita Yahudi yang
Meracuninya. Tersedia: http://muslimahdaily.com/story/nabi-rasul/item/347-kisah-rasulullah-
memaafkan-wanita-yahudi-yang-meracuninya.html [Akses tanggal: 10 Mei 2017]

64
Lampiran 2
Sikap Pemaaf Rasulullah dan Seorang Kafir yang Meludahinya

RASULULLAH memiliki sifat yang sangat mulia yaitu seorang pemaaf. Ia tidak mudah sakit
hati walaupun diperlakukan dengan perbuatan yang sangat menyakitkan sekalipun. Beliau
dicaci, dihina, disakiti tetapi dengan mudahnya beliau melupakan itu semua.
Diriwayatkan, setiap kali Rasulullah pulang dari masjid beliau diludahi oleh seorang kafir.
Suatu hari Rasulullah tidak mendapati orang tersebut, ketika ia mengetahui orang itu ternyata
sakit, beliau bergegas menjenguknya. Dan karena sebab itulah orang tersebut masuk Islam.
Dalam perjalanan dakwah ke Taif pun tidak kalah pedihnya cobaan yang Rasulullah SAW
hadapi. Rasulullah ditolak oleh pemimpin Tsaqiif, bahkan beliau dilempari batu oleh budak-
budak dan orang-orang bodoh dari mereka sehingga kedua kakinya berlumuran darah.
Ketika malaikat Jibril menawarkan untuk membinasakan mereka, Rasulullah menolak bahkan
mendoakan mereka agar mendapat pengampunan Allah.
Bukankah kita sering kali merasa sakit hati, tersinggung dan kecewa hanya karena hal sepele?
Keadaan seperti ini membuat kita mudah marah, menyimpan kebencian dan dendam pada
orang yang ada di sekitar kita. Padahal, perasaan seperti itu kalau dibiarkan sangat mungkin
akan dapat mengganggu kesehatan jasmani, seperti menimbulkan stress, penyakit darah
tinggi, jantung dan lain-lain.
Soal keutamaan menahan amarah, Allah telah berfirman dalam Alquran:
“ ………Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain.
Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali Imran: 134)
Pada firman yang lain dikatakan “Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya
(perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.” (QS: As-Syuraa: 43)
Penjelasan lain mengenai keutamaan menahan amarah ini juga bisa dilihat dari hadist yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA. Bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Tidaklah kekuatan itu dengan menang dalam bergulat, akan tetapi orang yang kuat adalah
orang yang dapat menahan amarahnya ketika ia marah.” (HR. Imam Bukhari Muslim).

Dikutip dari: Pase, Mudin. 2015. Sikap Pemaaf Rasulullah dan Seorang Kafir yang
Meludahinya. Tersedia: http://archives.portalsatu.com/oase/sikap-pemaaf-rasulullah-dan-
seorang-kafir-yang-meludahinya/ [akses tanggal: 10 Mei 2017]

65
Lampiran 3
Kisah Pemuda yang Bertaubat di Zaman Nabi Muhammad SAW.
Suatu hari Umar ra datang menemui Rasulullah dengan menangis. Rasulullah pun
bertanya kepadanya, Apa gerangan yang menyebabkan engkau menangis, wahai Umar?" Kata
Umar, Sungguh hati saya mrasa tersentuh oleh ratapan sorang pmuda yg ada dipintu rumah
tuan! Rasulullah pun mmerintahkan Umar untuk mmbawa pemuda itu. Ketika pemuda itu
telah sampai dihadapan Rasulullah, beliaupun bertanya kepadanya, "Wahai Pemuda, apa
gerangan yang menyebabkan engkau menangis dan meratap?" Pemuda itu menjawab ,
"Wahai Rasulullah, yang membuat saya menangis ialah banyaknya dosa yang terlanjur saya
lakukan ! Saya takut bila Allah murka kepada saya!" Beliau kembali bertanya, "Apakah
engkau mempersekutukan Allah dengan sesuatu ?" "Tidak!" jawab pemuda itu. "Apakah
engkau telah membunuh orang dengan tanpa hak?" tanya Rasulullah . "tidak !" jawab pemuda
itu. "Allah akan mengampuni semua dosamu, meskipun dosamu itu sepenuh tujuh langit dan
bumi!" jelas Rasulullah sembari menenangkan pemuda itu. Mendengar penjelasan Rasulullah
, pemuda itupun berkata, "Wahai Rasulullah, dosa saya lebih besar dari tujuh langit dan
gunung yang tegak berdiri!" Beliau pun menimpali , “Apakah dosamu lebih besar dari kursi
(kekuasaan ) Allah?”. “Dosa saya lebih besar lagi !: ratap pemuda itu. “Apakah dosamu lebih
besar dari Arsy?” beliau kembali bertanya. “Dosa saya lebih besar dari itu !” jawab pemuda
itu. “Apakah dosamu lebih besar , ataukah Allah?” Tanya Rasulullah. “Allah tentu yang lebih
besar dan lebih Agung , tapi saya malu kepadamu, Wahai Rasulullah, jawab pemuda itu.
Beliaupun bersabda, :Janganlah engkau malu, beritahukan dosamu kepada saya!” pinta
Rasulullah. Oleh karena beliau yang meminta , maka pemuda itupun tak kuasa untuk
menolaknya. Akhirnya iapun menceritakan dosa yang telah dikerjakannya, seraya berkata :
“Wahai Rasulullah , sungguh saya adalah seorang pemuda pembongkar mayat dalam kubur
sejak 7 tahun yang lalu. Suatu ketika ada seorang gadis putri seorang sahabat golongan
Anshar yang meninggal dunia, maka saya pun membongkar kuburnya dan mengeluarkannya
dari kafannya, karena tergoda bisikan syetan , saya pun menggaulinya. Tiba-tiba gadis itu
berbicara, “Tidakkah engkau malu kepada Kitab Allah dan pada hari dia meletakkan
‘kursinya” untuk memberikan hukum serta mengambil hak orang yang dianiaya dari orang
yang telah menganiayanya? Mengapa engkau jadikan aku telanjang dihari penghimpunan
kelak, dari orang- orang yang telah meninggal dunia? Mengapa engkau jadikan aku berdiri
dalam keadaan junub diharibaan Allah? ” Mendengar cerita itu Rasulullah pun meloncat
karena gusarnya . Dengan suara keras , beliau berkata, “Wahai pemuda Fasiq, keluar dan
jauh-jauhlah kamu dari saya, tidak ada balasan yang pantas untukmu kecuali neraka!” Pemuda
itupun keluar dengan menangis sejadi-jadinya . Ia menjauh dari khalayak ramai dan menuju
kepadang pasir yang luas, dengan tidak mau makan dan minum sesuatupun, serta tidak bisa
tidur sampai tujuh hari lamanya. Tubuhnyapun menjadi lemah dan lunglai, hingga iapun jatuh
tersungkur dipermukaan tanah berpasir yang maha luas itu. Seraya meletakkan wajahnya
dipasir sambil bersujud, ia berdoa dan meratap. “Wahai Tuhan, aku adalah hamba-Mu yang
berdosa dan Bersalah. Aku telah datang ke pintu Rasul-Mu agar dia bisa menolongku di sisi-
Mu. Namun ketika ia mendengar dosaku yang sangat besar, ia mengusir dan mengeluarkan
aku dari pintunya. Kini aku datang kepintu-Mu, agar engkau berkenan menjadi penolongku di
sisi Kekasih-Mu. Sesungguhnya engkau maha pengasih kepada hamba-hamba-MU . Tak ada
lagi harapanku kecuali kepada-Mu . Kalau tidak mungkin, maka lebih baik kirimkan saja api
neraka dari sisi-Mu, dan bakarlah aku dengan api itu didunia-Mu ini, sebelum aku engkau
bakar diakhirat-Mu nanti!” Sepeninggal pemuda itu , Rasulullah didatangi oleh malaikat jibril
, seraya berkata, “Wahai Rasulullah, Allah telah berkirim salam kepada-Mu!” Beliaupun
menjawab salam Allah. Setelah itu malaikat Jibril kembali berkata, “Allah bertanya kepadamu
, apakah kamu yang telah menciptakan para makhluk? ” Beliau menjawab , “Tentu saja tidak,
66
Allah yang telah menciptakan semuanya!” “Allah juga bertanya kepadamu, Apakah kamu
yang telah memberi rezeki kepada makhluk-makhluk Allah?” malaikat jibril kembali
bertanya. “Tentu saja Allahlah yang telah memberi rezeki kepada mereka , bahkan juga
kepadaku!” jawab beliau. “Apakah kamu yang berhak menerima taubat seseorang?” kembali
malaikat jibril bertanya. “Allahlah yang berhak menerima dan mengampuni dosa hamba-
hamba-Nya!’ jawab beliau. Mendengar jawaban-jawaban Rasulullah , malaikat jibrilpun
berkata , “Allah telah berfirman kepadamu , “ Telah aku kirimkan seorang hamba-Ku yang
menerangkan satu dosanya kepadamu, tapi mengapa engkau berpaling daripadanya dan sangat
marah kepadanya? Lalu bagaimana keadaan orang-orang mukmin besok, jika mereka itu
datang padamu dengan dosa yang lebih besar seperti gunung? Kamu adalah Utusan-Ku yang
aku utus sebagai rahmat untuk seluruh alam, maka jadilah engkau orang yang berkasih sayang
kepada orang-orang beriman dan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa .
Maafkanlah kesalahan hamba-Ku, karena aku telah menerima taubatnya dan mengampuni
dosanya”. Mendengar teguran Allah , Rasulullahpun mengutus beberapa orang sahabatnya
untuk menemui pemuda yang pernah diusir Rasulullah itu. Akhirnya mereka menemukannya
dan merekapun memberikan kabar gembira tentang ampunan Allah kepadanya. Lalu mereka
membawa pemuda itu kepada Rasulullah , dan kebetulan saat mereka sampai beliau sedang
mengerjakan Shalat. Maka merekapun segera bermakmum dibelakangnya. Setelah selesai
membaca surat Alfatihah beliaupun membaca surat At- takasur baru saja beliau sampai ayat “
Hatta zurtumul maqabir (sampai kamu masuk kedalam kubur),” maka pemuda itupun menjerit
keras dan jatuh. Ketika orang-orang telah selesai Shalat, merekapun mendapati ternyata
pemuda itu telah meninggal dunia. Allah berkenan menerima taubatnya dan memasukkannya
kedalam kelompok hamba Allah Yang Shaleh Wallahu a'lam bisshawab (Kisah ini disadur
dari buku karya Usman bin Hasan bin Ahmad Asy Syakir Al-kahaubawiyyi , yang berjudul “
Durratun Nasihin”Bab taubah, Dalam buku karya Syaiful Hadi el sutha “ Kado terindah untuk
orang berdosa,)

dikutip dari: Alghifary, Abidzar. 2016. Kisah Pemuda yang Bertaubat di Zaman Nabi
Muhammad SAW. tersedia:
http://azzahranabilaanwar.blogspot.co.id/2013/05/kisah-pemerkosa-mayat-di-zaman.html
[akses tanggal 10 Mei 2017]

67

Anda mungkin juga menyukai