Dalam Teori Disonansi Kognitif dinyatakan bahwa disonansi kognitif merupakan perasaan
ketidaknyamanan yang diakibatkan oleh sikap, pemikiran, dan perilaku yang tidak konsisten.
Sikap, pemikiran, dan perilaku yang tidak konsisten ini akan berakibat pada mulainya disonansi
dan menimbulkan rangsangan yang tidak menyenangkan. Perasaan tidak menyenangkan ini dapat
dikurangi dengan perubahan yang menghilangkan inkonsistensi. Teori ini berpendapat bahwa
disonansi akanmemotivasi orang untuk mengambil langkah demi mengurangi ketidaknyamanan.
Oleh karena itu ketika sikap, keyakinan, dan perilaku seseorang tidak konsisten maka orang itu
akan merasa disonan.
Teori Disonansi Kognitif membedakan antara situasi yang menghasilkan lebih banyak disonansi
dan situasi yang menghasilkan lebih sedikit disonansi. Hal ini ditunjukkan dengan adanya konsep
tingkat disonansi yang merujuk pada jumlah kuantitatif disonansi yang dialami seseorang. Tingkat
disonansi akan menentukan seberapa besar seseorang merasa disonan. Tingkat disonansi juga akan
menentukan tindakan yang akan diambil seseorang dan kognisi yang mungkin digunakan untuk
mengurangi disonansi.
Teori yang berfokus pada efek inkonsistensi yang ada di antara kognisi-kognisi ini mempunyai
empat asumsi dasar, yaitu:
1. Manusia memiliki hasrat akan adanya konsistensi pada keyakinan, sikap, dan
perilakunya.
Manusia mempunyai sifat dasar yang mementingkan adanya stabilitas dan konsistensi.
Teori ini menyatakan bahwa orang tidak akan menikmati inkonsistensi dalam pikiran dan
keyakinan mereka. Sebaliknya, mereka akan mencari konsistensi.
Teori ini tidak berpegang pada konsistensi logis yang kaku. Sebaliknya teori ini merujuk
pada fakta bahwa kognisi-kognisi harus tidak konsisten secara psikologis (dibandingkan
tidak konsisten secara logis)
3. Disonansi adalah perasaan tidak suka yang mendorong orang untuk melakukan
tindakan-tindakan dengan dampak yang dapat diukur.