Anda di halaman 1dari 10

BEHAVIORAL MANAGEMENT ACCOUNTING

Resume Teori
Pertemuan 1

Oleh:
Nitami Galih Pangesti (041624253022)
Sari A. Natonis (041724253005)
Nur Habiba Rachmi (041724253041)

Magister Akuntansi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Airlangga
2019
1. Aspiration Theory
Dalam psikologi, istilah aspirasi digunakan terutama dalam Teori Lapangan (Field
Theory) yang dibangun oleh Kurt Lewin (1890-1947). Dalam teori Lewin tentang
lapangan kehidupan (life space), aspirasi merupakan salah satu lingkungan-kehidupan
(life-sphere) yang berdimensi maya (irreality), termasuk kebutuhan, harapan, cita-cita
dan sebagainya, sedangkan lingkungan seperti ayah, ibu, teman, pekerjaan dan
sebagainya merupakan lingkungan- kehidupan nyata (reality). Dalam teori ini, aspirasi
merupakan salah satu daya (force) yang mendorong suatu tingkah laku. Tingkat aspirasi
mengasumsikan, pertama, bahwa orang termotivasi oleh keinginan untuk mengalami
perasaan sukses dan menghindari perasaan gagal, kedua, bahwa, Persepsi sukses dan
gagal melibatkan tingkat pencapaian subyektif, bukan obyektif. '(Weiner, 1989: 169).
Penelitian psikologi pada tahun 1940-an dan 1950-an mengidentifikasi dua faktor
yang mempengaruhi tingkat aspirasi individu. Pertama adalah valensi atau daya tarik dari
kemungkinan hasil tugas. Valensi positif untuk hasil yang sukses dan negatif untuk
kegagalan; valensi untuk tugas yang diberikan bervariasi besarnya dengan pentingnya
tugas dan konsekuensinya, juga sebagai disposisi individu (mis., beberapa individu lebih
takut gagal daripada yang lain). Selain itu, valensi tergantung pada kesulitan tugas. Lain
hal yang sama, keberhasilan pada tugas yang sulit lebih menarik daripada kesuksesan di
tugas yang mudah. Faktor kedua yang mempengaruhi tingkat aspirasi adalah probabilitas
keberhasilan atau kegagalan (disebut sebagai 'potensi' dalam literatur awal).
Kemungkinan keberhasilan yang lebih rendah cenderung untuk mengimbangi daya tarik
keberhasilan yang lebih tinggi dalam tugas-tugas yang lebih sulit, tetapi tidak
melakukannya sepenuhnya. Motivasi dan kinerja mereka berasal dari tiga teori yang
terkait dengan tingkat teori aspirasi: teori penetapan tujuan, teori disonansi kognitif, dan
teori keadilan organisasi.
2. Goal Setting Theory
Teori penetapan tujuan terkait dengan tingkat teori aspirasi, teori ini didasarkan pada
teori lapangan Lewin, yang memodelkan individu-individu yang berkeinginan untuk
memiliki tujuan, dan termotivasi untuk mencapai tujuan-tujuan ini (Weiner, 1989). Teori
ini juga mengasumsikan bahwa penentu utama pilihan individu adalah kinerja dan
kemampuan mereka di masa lalu. Teori ini dikembangkan oleh Edwin Loceke(1986)
konsep dasar dari teori ini adalah bahwa karyawan yang memahami tujuan (apa yang
diharapkan organisasi terhadapnya) akan terpengaruh perilaku kerjanya. Edwin Locke
mengemukakan bahwa dalam penetapan tujuan memiliki empat macam mekanisme
motivasional yakni :
l) Tujuan-tujuan mengarahkan perhatian
Tujuan-tujuan yang secara pribadi bersifat penuh arti, cenderung memusatkan
perhatian pada apa yang dianggap relevan serta penting. Andaikata seseorang
menghadapi tugas berupa proyek tertentu yang harus diselesaikan dalam beberapa
hari, maka pemikiran orang tersebut cenderung berkisar sekitar upaya
menyelesaikan proyek tersebut.
2) Tujuan-tujuan mengatur upaya
Tujuan-tujuan bukan hanya membuat seseorang bersikap perseptif, tetapi mereka
juga memotivasi seseorang untuk bertindak. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa
tingkat upaya yang akan dilaksanakan bersifat proporsional dengan kesulitan tujuan
yang bersangkutan.
3) Tujuan-tujuan meningkatkan persistensi
Dalam konteks penetapan tujuan, persistensi mewakili upaya yang dilaksanakan
untuk mengerjakan sesuatu tugas dalam jangka waktu tertentu. Orang-orang yang
persisten, cenderung melihat kendala-kendala sebagai hal-hal yang menantang
mereka. Sebuah tujuan dianggap penting, bagi seseorang untuk mengingatkannya
untuk terus berupaya menuju arah yang tepat.
4) Tujuan-tujuan menunjang strategi dan rencana kegiatan
Tujuan akan membantu merangsang seseorang mengembangkan strategi-strategi
dan rencana-rencana kegiatan-kegiatan yang memungkinkan mereka mencapai
tujuan-tujuan tersebut.
3. Cognitive Dissonance Theory
Teori ini mengasumsikan bahwa individu menginginkan konsistensi antara kognisi
mereka (mis., Sikap, kepercayaan, pengetahuan, pendapat) dan antara kognisi dan
perilaku mereka (Deutsch & Krauss, 1965; Festinger, 1957; Shaw & Costanzo, 1982).
Leon Festinger pada tahun 1950-an mengemukakan teori Disonansi Kognitif. Teori ini
menjelaskan hubungan antara sikap dan perilaku. Disonansi dalam hal ini berarti adanya
suatu inkonsistensi. Festinger mengatakan bahwa hasrat untuk mengurangi disonansi
akan ditentukan oleh pentingnya unsur-unsur yang menciptakan disonansi itu, derajat
pengaruh yang diyakini dimiliki oleh individu terhadap unsur-unsur itu, dan ganjaran
yang mungkin terlibat dalam disonansi. Teori ini dapat membantu kecenderungan untuk
mengambil bagian dalam perubahan sikap dan perilaku.
Menurut Festinger, Cognitive Dissonance Theory dibentuk dalam tiga konsep yaitu:
1) Seseorang lebih suka untuk konsekuan dengan cognitions mereka dan tidak suka
menjadi tidak konsisten dalam pemikiran, kepercayaan, emosi, nilai dan sikap. 2)
Disonansi terbentuk dari ketidaksesuaian psychological, lebih dari ketidaksesuaian
logical, dimana dengan meningkatkan ketidaksesuaian akan meningkatkan disonansi
yang lebih tinggi. 3) Disonansi adalah konsep psychological yang mendorong seseorang
untuk melakukan tindakan dan mengharapkan dampak yang bisa diukur.
Menurut Solomon (1992:42), Teori Dissonansi Cognitive adalah salah satu dari
pendekatan terhadap tingkah laku yang paling penting berdasarkan pada prinsip
konsistensi. Menurut Solomon, Teori Dissonansi Cognitive mengemukakan bahwa orang
termotivasi untuk mengurangi keadaan negatit dengan cara membuat keadaan sesuai satu
dengan yang lainnya. Sweeney, Hausknecht dan Soutar (2000:369-385) menyatakan
bahwa Cognitive Dissonance dapat diukur dengan tiga dimensi yaitu: Emotional,
Wisdhom of Purchase, dan Concern Over the Deal. Emotional (Emosional) Berkaitan
dengan situasi psikologi konsumen setelah melakukan pembelian, dalam hal ini kondisi
psikologi konsumen secara alami mempertanyakan apakah tindakan yang dilakukannya
telah tepat. Wisdom of Purchase (Kebijaksanaan Pembelian) Berkaitan dengan
keputusan yang telah dilakukan disini konsumen mempertanyakan apakah dia telah
membeli suatu barang yang benar-benar sesuai dengan apa yang dibutuhkannya.
Concern Over the Deal (Perhatian Setelah Transaksi) Berkaitan dengan kekecewaan
konsumen dimana pada kondisi ini konsumen cenderung kurang yakin dengan keputusan
yang telah dibuatnya
4. Justice Theory
Equity theory mengasumsikan bahwa orang termotivasi untuk menjaga
keseimbangan dalam pertukaran hubungan dan menilai keseimbangan (equity) dengan
membandingkan input dan output mereka dengan input dan output orang lain (Adams,
1963; Shaw & Costanzo 1982). Jika orang percaya bahwa rasio input atau output mereka
tidak adil jika dibandingkan dengan orang lain, mereka akan mengalami emosi negatif.
Mereka akan berusaha meminimalkan emosi negatif ini dengan menambah atau
mengurangi input dan atau output mereka, tergantung mana yang sesuai. Equity theory
memberikan dasar bagi organizational justice theory.
Organizational justice theory mengasumsikan bahwa orang-orang terutama peduli
dengan dua jenis keadilan: distributif dan prosedural. Keyakinan individu tentang
keadilan distributif terkait dengan keadilan distribusi hasil antara mereka dan orang lain
yang relevan. Keadilan prosedural mengacu pada keadilan proses dimana hasil
ditentukan, terlepas dari apa hasil sebenarnya. Individu umumnya menganggap proses
lebih adil ketika mereka memiliki suara (kemampuan untuk mengekspresikan pendapat
mereka tentang keputusan yang tertunda) dan atau suara (kemampuan untuk
mempengaruhi hasil dari keputusan yang tertunda). Referent cognitions justice
mengintegrasikan elemen keadilan distributif dan prosedural, memprediksi bahwa
individu membandingkan hasil mereka dengan hasil rujukan orang lain untuk
menentukan apakah distribusi hasil tidak adil (Folger, 1986).
Organizational justice theory mengasumsikan bahwa penilaian subyektif individu
tentang hasil aktual atau yang mungkin terjadi mempengaruhi motivasi mereka dan
penilaian mereka didasarkan pada perbandingan dengan poin referensi. Dalam
organizational justice theory referensi adalah masukan dan hasil orang lain.
5. Expectancy Theory
Teori-teori Maslow, McClelland, dan Herzberg berusaha mengidentifikasi faktor-
faktor apa dalam individu dan lingkungan individu yang mendorong kinerja yang tinggi.
Value atau expectancy theory mencoba menjelaskan dan menggambarkan proses
bagaimana perilaku dimulai, dipertahankan, dan diakhiri. Awalnya dikembangkan oleh
K. Lewin, dan kemudian secara khusus diterapkan oleh VH Vroom, prinsip dasar dari
value atau expectancy theory adalah bahwa seseorang memilih perilaku pribadi
berdasarkan: harapan bahwa perilaku tersebut akan menghasilkan hasil yang spesifik, dan
jumlah valensi yaitu, utilitas pribadi atau penghargaan yang berasal dari hasil.
Menurut Vroom, motif untuk melakukan tindakan tertentu didasarkan pada nilai
tertimbang dari semua hasil yang mungkin dari tindakan tersebut dikalikan dengan
kegunaan yang dirasakan dari tindakan yang diberikan dalam pencapaian hasil. Setiap
kali seorang individu memilih antara alternatif yang melibatkan hasil tertentu, tampak
jelas bahwa perilakunya dipengaruhi tidak hanya oleh preferensi di antara hasil, tetapi
juga oleh sejauh mana ia percaya bahwa hasil ini kemungkinan.
Motivasi seseorang dapat dinyatakan sebagai:

Di mana:
E = Usaha
O = Hasil
V = Nilai ditempatkan pada hasil

Ungkapan di atas dapat dirumuskan ulang untuk menyertakan baik hubungan kinerja
usaha maupun hubungan penghargaan kinerja. Pertama mengacu pada probabilitas
bahwa upaya tersebut akan mengarah pada pencapaian tugas atau kinerja. Kedua
mengacu pada probabilitas bahwa penyelesaian tugas akan menghasilkan hasil yang
diinginkan.
Motivasi individu juga dapat dinyatakan sebagai:

Di mana:
P = Kinerja

L. W. Porter dan E. E. Lawler telah memperluas value atau expectancy theory dengan
berargumen bahwa kinerja yang buruk dapat terjadi jika kemampuan kurang dan persepsi
peran individu salah. Expectancy theory memodelkan kekuatan motivasi individu sebagai
fungsi dari harapan (probabilitas subjektif bahwa upaya mereka akan menghasilkan hasil
tingkat pertama seperti kinerja), instrumentality (probabilitas subjektif bahwa kinerja
akan menghasilkan hasil tingkat kedua seperti gaji), dan valence (orientasi afektif menuju
hasil tingkat kedua). Individu diasumsikan menggabungkan harapan, instrumen, dan
valensi konsisten dengan perhitungan nilai yang diharapkan untuk menentukan kekuatan
motivasi mereka terhadap setiap alternatif dan kemudian memilih alternatif dengan
kekuatan motivasi tertinggi.
Formulasi model R. J Howse dapat diekspresikan sebagai berikut:

Di mana:
I = 1, 2, . . . , n
M = Motivasi untuk bekerja
IVa = Valensi intrinsik yang terkait dengan kinerja yang sukses
Tugas
IVb = Valensi intrinsik yang terkait dengan perilaku yang diarahkan pada tujuan
EVi = Valensi ekstrinsik yang terkait dengan imbalan reward ekstrinsik yang
bergantung pada pencapaian tujuan kerja
Pi = Harapan bahwa perilaku yang diarahkan pada tujuan akan mencapai tujuan kerja
(tingkat kinerja tertentu yang ditentukan); rentang ukurannya adalah (-1, +1)
P2i = Harapan bahwa pencapaian tujuan kerja akan mengarah pada penghargaan
ekstrinsik I; rentang ukurannya adalah (-1, +1)
6. Attribution Theory
Heider (1958) memulai studi tentang bagaimana orang menghubungkan penyebab
dengan perilaku mereka sendiri dan orang lain untuk menjelaskan dan memprediksi
perilaku di lingkungan mereka (Shaw & Costanzo 1982; Weiner, 1989). Attribution
theory memberikan perhatian khusus pada penyebab internal (kemampuan, usaha) atau
eksternal (kesulitan tugas, keberuntungan). Banyak penelitian telah menemukan bahwa
orang yang fokus cenderung menghubungkan perilakunya sendiri dengan penyebab
eksternal, sementara orang lain cenderung menghubungkan perilaku yang sama dengan
penyebab internal; ini disebut actor-observer-bias.
7. Expected-Utility Theory
Pada permulaan abad ke – 18, ahli matematika Daniel Bernoulli telah mempelopori
perkembangan suatu ukuran utilitas. Bernoulli mengusulkan bahwa nilai sebenarnya
(true worth) kekayaan seseorang merupakan logaritma sejumlah uang. Selanjutnya
konsep utilitas dikembangkan lagi oleh Von Neumann dan Morgenstern pada tahun1974,
mereka mengusulkan bahwa kurva utilitas dapat dibuat untuk setiap individu, asalkan
asumsi tertentu tentang preferensi individu tersebut berlaku. Utilitas merupakan
preferensi atau nilai guna pengambil keputusan dengan mempertimbangkan faktor risiko
berupa angka yang mewakili nilai pay off sebenarnya berdasarkan keputusan. Angka
utilitas terbesar mewakili alternatif yang paling disukai, sedangkan angka utilitas terkecil
menunjukkan alternatif yang paling tidak disukai
Expected utility theory ini mengasumsikan bahwa pembuat keputusan adalah
seorang yang rasional (Rutledge dan Harrell, 1994; Stenman, 2010). Asumsi rasionalitas
mewajibkan adanya konsistensi dan koherensi dalam keputusan yang dibuat oleh
pengambil keputusan baik secara individual maupun kelompok (Robison, Shupp dan
Myers, 2010). Pembuat keputusan dianggap mampu memproses informasi yang
dimilikinya dengan sempurna dalam menentukan pilihan yang terbaik atau dalam rangka
memaksimalkan utilitasnya.
Expected-utility theory berkaitan dengan analisis situasi di mana individu harus
membuat keputusan tanpa mengetahui hasil yang mungkin dihasilkan dari keputusan itu,
yaitu, pengambilan keputusan di bawah ketidakpastian. Orang-orang ini akan memilih
tindakan yang akan menghasilkan utilitas yang diharapkan tertinggi. Expected-utility
theory mengasumsikan bahwa individu secara subyektif melakukan penilaian
(memperkirakan utilitas) dari setiap kemungkinan hasil dari keputusan berisiko
berdasarkan total wealth atau welfare yang akan dihasilkan jika pilihan itu terjadi
(Ahrens, 2007). Sebaliknya, teori prospek mengasumsikan bahwa individu secara
subyektif menilai setiap hasil sebagai keuntungan atau kerugian relatif terhadap pilihan
tersebut (Kahneman & Tversky, 1979).
Expected-utility theory menunjukkan bahwa setiap tingkat hasil dikaitkan dengan
expected degree of pleasure atau manfaat bersih, yang disebut utilitas. Utilitas yang
diharapkan dari pilihan yang tidak pasti adalah jumlah tertimbang dari utilitas dari
kemungkinan hasil, masing-masing dikalikan dengan probabilitasnya.
8. Person-Environment Fit Theory
Teori ini didasarkan pada teori lapangan Lewin dan mengasumsikan bahwa motivasi
adalah fungsi dari kecocokan antara kemampuan kinerja individu dan lingkungannya
(Caplan, 1983; Edwards, 1996; Van Harrison, 1978, 1985). Karena tuntutan lingkungan
seperti kesulitan tujuan anggaran semakin melebihi kemampuan kinerja individu (mis.,
Keterampilan, upaya, sumber daya fisik, dan moneter), semakin berkurang dan mereka
mengalami tekanan (ketegangan) karena kelebihan tugas dari permintaan tugas yang
melebihi kemampuan kinerja mereka. Ini pada gilirannya meningkatkan ketidakpastian
subyektif individu tentang efek dari upaya mereka, yang menghasilkan perasaan
ambiguitas dan/atau kehilangan kontrol yang kemudian menyebar dan mengurangi upaya
mereka, sehingga mengurangi kinerja mereka.
Shields et al. (2000) menggunakan teori ini untuk mengembangkan prediksi tentang
bagaimana stres memediasi efek penganggaran pada kinerja. Mereka memperkirakan dan
menemukan bahwa penganggaran partisipatif memengaruhi kinerja melalui tiga jalur.
Pertama, penganggaran partisipatif meningkatkan perasaan memegang kendali, yang
mengurangi stres, sehingga meningkatkan kinerja. Kedua, penganggaran partisipatif
mengurangi kesulitan tujuan anggaran, yang meyakinkan bahwa budget goals tidak akan
melebihi kemampuan kinerja individu. Kecocokan tujuan dan kemampuan ini
mengurangi stres dan karenanya meningkatkan kinerja. Ketiga, penganggaran partisipatif
meningkatkan insentif berbasis anggaran, yang diharapkan dapat membangkitkan dan
memfokuskan upaya, sehingga meningkatkan kemampuan kinerja, yang pada gilirannya
mengurangi stres dan meningkatkan kinerja.
DAFTAR PUSTAKA

Rutledge. R. W., dan A. M. Harrell, 1994. The Impact of Responsibility and Framing of
Budgetary Information on Group Shifts. Behavioral Research in Accounting. 6: 93-109.

Stenman, O. J., 2010. Risk Aversion and Expected Utility of Consumption Over Time.
Games and Economic Behavior. 68: 208-219.

Anda mungkin juga menyukai