Anda di halaman 1dari 18

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Konseling Rasional Emotif

1. Pengertian Konseling Rasional Emotif

Manusia pada dasarnya adalah unit yang memiliki

kecenderungan untuk berpikir rasional dan irasional. Ketika berpikir

dan bertingkah laku rasional manusia akan efektif, bahagia, dan

kompeten. Ketika berpikir dan bertingkah laku irasional individu itu

menjadi tidak efektif. Hambatan psikologis atau emosional adalah

akibat dari cara berpikir yang tidak logis dan irasional. Oleh karena itu

konseling rasional emotif adalah pemecahan masalah yang menitik

beratkan pada aspek berpikir, menilai, memutuskan dan lebih banyak

berurusan dengan dimensi-dimensi pikiran daripada dimensi-dimensi

perasaan.1

Winkel mengatakan bahwa konseling rasional emotif adalah

corak konseling yang menekankan kebersamaan dan interaksi antara

berpikir dengan akal sehat (rational thinking), berperasaan (emoting),

dan berperilaku (acting), serta sekaligus menekankan bahwa suatu

perubahan yang mendalam dalam cara berpikir dapat mengakibatkan

perubahan yang berarti dalam berpikir dan berperilaku.2

1
Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapy (Bandung: PT. Refika Aditama,
2003), 238-240.
2
Junierissa Marpaung, "Counseling Approach BehaviourRational Emotive Therapy in Reducing
Stress", Jurnal Kopasta, Vol. 3, No.1 (2016), 24.

1
2

Dalam sebuah penelitian, disimpulkan bahwa konseling

rasional emotif merupakan konseling yang berusaha menghilangkan

cara berpikir konseli yang tidak logis/irasional dan menggantinya

dengan sesuatu yang logis dan rasional dengan cara

mengkonfrotasikan konseli dengan keyakinan-keyakinan irasionalnya

serta menyerang, menentang, dan membahas keyakinan-keyakinan

yang rasional.3

Albert Ellis berpendapat konseling rasional emotif merupakan

suatu pendekatan konseling yang memfokuskan pada upaya untuk

mengubah pola pikir konseli yang irasional sehingga dapat mengurangi

gangguan emosi, karena kita bisa mengurangi reaksi-reaksi emosional

terhadap stres dengan mengubah penilaian kita terhadap situasi. Reaksi

emosional yang bermasalah bersumber dari self talk yang negatif, yang

disebut catastropic thinking artinya penilaian terhadap stres secara

tidak realistik, sehingga memicu meningkatnya masalah.4

Gagasan tersebut oleh Albert Ellis dirumuskan dalam teori

ABC (Activating event, Belief system, dan Consequence). Ketiga

konsep teori ini dapat dijelaskan sebagai berikut5:

3
Umi Heni H. “Bimbingan dan Konseling Islam dengan Terapi Rasional Emotif dalam Menangani
Stress Studi Kasus seorang Remaja yang Stress di Desa Kalangsemanding Kecamatan Perak
Kabupaten Jombang” (Skripsi – UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2015), 33-34.
4
Syamsu Yusuf, Mental Hygiene (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), 121.
5
Wayan Handika, dkk, “Penerapan Konseling Rasional Emotif dengan Formula ABC untuk
Meningkatkan Percaya Diri Siswa Kelas VIII 2 SMP Laboratorium UNDIKSHA 2013/2014”, e-
journal Undiksa Jurusan Bimbingan Konseling, Vol. 2, No. 1 (2014)
3

1. Activating event (A), yaitu merupakan peristiwa yang dipandang

menjadi sumber stres. Dalam penelitian ini yang menjadi sumber

stres adalah peraturan pesantren yang begitu menumpuk.

2. Belief system (B), yaitu keyakinan atau persepsi tentang peristiwa

(positif atau negative, rasional atau irasional)

3. Consequence (C), yaitu dampak emosi dari cara berpikir (belief

system) apakah positif atau negatif.

(B) Belief System (C) Consequence


Gangguan Emosional : rasa kesal, sedih, cemas, dan gelisah.
Penilaian irasional
“peraturan-peraturan ini hanya akan membuat saya tertekan”

(A) Activating Event


Banyaknya Peraturan Pesantren
Penilaian rasional Emosi yang sehat: merasa termotivasi untuk belajar menjadi lebih disiplin
“peraturan-peraturan ini akan membuat saya menjadi orang yang disiplin sejak dini”

Gambar 2.1 Teori ABC

Jadi dapat disimpulkan bahwa konseling rasional emotif adalah

konseling yang berfokus pada pemecahan masalah yang menitik

beratkan pada cara berpikir dapat menjadi perubahan yang berarti dal

berpikir dan berperilaku dengan cara mengubah cara berpikir yang

irasional atau tidak logis menjadi cara berpikir yang rasional atau

logis.
4

2. Tujuan Konseling Rasional Emotif

Berdasarkan pandangan dan asumsi tentang hakekat manusia

dan kepribadiannya serta konsep-konsep teoritik dari konseling

rasional emotif, tujuan utamanya adalah6:

a. Memperbaiki dan merubah sikap, persepsi, cara berpikir,

keyakinan serta pandangan-pandangan konseli yang irasional dan

tidak logis menjadi pandangan yang rasional dan logis agar konseli

dapat mengembangkan diri, meningkatkan self actualizationnya

seoptimal mungkin melalui tingkah laku kognitif dan afektif yang

positif.

b. Menghilangkan gangguan-gangguan emosional yang merusak diri

sendiri seperti rasa takut, rasa bersalah, rasa berdosa, rasa cemas,

merasa was-was, rasa marah. Sebagai konseling dari cara berpikir

keyakinan yang keliru berusaha menghilangkan dengan jalan

melatih dan mengajar konseli untuk menghadapi kenyataan-

kenyataan hidup secara rasional dan membangkitkan kepercayaan

nilai-nilai dan kemampuan diri sendiri.

3. Tahapan-tahapan Konseling Rasional Emotif

Dalam konseling rasional emotif ada tahapan-tahapan tertentu untuk

mencapainya, yaitu7:

a. Konselor berusaha menunjukkan konseli kesulitan yang

dihadapi saat berhubungan dengan keyakinan irasional, dan


6
Fauzi, “Konseling Rasional Emotif”, dalam fauzizdeslav.blogspot.com/2013/11/konseling-
rasional-emotif-korem.html (27 April 2019), 9.
7
Sumarto, Bimbingan dan Konseling (Jambi: Pustaka Ma'arif Press,2017), 88-89.
5

menunjukkan bagaimana konseli harus bersikap rasional dan

mampu memisahkan keyakinan irasional dengan rasional.

b. Setelah konseli menyadari gangguan emosi yang bersumber dari

pemikiran irasional, maka konselor menunjukkan pemikiran

konseli yang irasional, serta konseli berusaha mengubah kepada

keyakinan rasional.

c. Konselor berusaha agar konseli menghindarkan diri dari ide-ide

irasionalnya, dan konselor berusaha menghubungkan antara ide

tersebut dengan proses penyalahan dan perusakan diri.

d. Proses terakhir konseling adalah konselor berusaha menantang

konseli untuk mengembangkan filosofis kehidupannya yang

rasional dan menolak kehidupan yang irasional dan fiktif.

4. Karakteristik Konseling Rasional Emotif

Konseling rasional emotif mempunyai karakteristik sebagai

berikut:8

a. Aktif-direktif, artinya dalam hubungan konseling, konselor lebih

aktif membantu mengarahkan konseli dalam menghadapi dan

memecahkan masalahnya.

b. Kognitif-eksperiensial, artinya hubungan yang dibentuk harus

berfokus pada aspek kognitif dari konseli dan berintikan

pemecahan masalah yang rasional.

8
Junierissa Marpaung, "Counseling Approach BehaviourRational Emotive Therapy in Reducing
Stress", Jurnal Kopasta, Vol. 3, No.1 (2016), 25.
6

c. Emotif-eksperiensial, artinya hubungan yang dibentuk juga harus

melihat aspek emotif konseli dengan mempelajari sumber-sumber

gangguan emosional, sekaligus membongkar akar-akar keyakinan

yang keliru yang mendasari gangguan tersebut.

d. Behavioristik, artinya hubungan yang dibentuk harus menyentuh

dan mendorong terjadinya perubahan perilaku dalam diri konseli

B. Stres

1. Pengertian Stres

Stres menurut kamus konseling adalah ketegangan, tekanan,

konflik, suatu rangsangan yang menegangkan psikologis atau fisiologis

dari suatu organisme, tekanan-tekanan fisik dan psikologis yang

menekan organ tubuh atau diri sendiri, suatu keadaan ketegangan

psikologis karena adanya anggapan ketakutan atau kecemasan. 9 Stres

dapat diartikan sebagai respons (reaksi) fisik dan psikis, yang berupa

perasaan tidak enak, tidak nyaman, atau tertekan terhadap tuntutan

yang dihadapi. Selain itu, stres dapat diartikan juga sebagai reaksi fisik

yang tidak nyaman sebagai dampak dari persepsi yang kurang tepat

terhadap sesuatu yang mengancam keselamatan diri, merusak harga

diri, serta menggagalkan keinginan atau kebutuhannya.10

Pengertian yang didapat oleh Syamsu Yusuf, bahwa stres

adalah perasaan tidak enak, tidak nyaman, atau tertekan, baik fisik

maupun psikis sebagai respon atau reaksi individu terhadap stressor

9
Sudarsono, Kamus Konseling (Jakarta: Rineka Cipta 1997), 220.
10
Farid Mashudi, Psikologi Konseling (Jogjakarta: IRCiSoD 2013), 189.
7

(stimulus yang berupa peristiwa, objek, atau orang) yang mengancam,

menggamggu, membebani, atau membahayakan keselamatan,

kepentingan, keinginan, atau kesejahteraan hidupnya. Stimulus yang

termasuk (a) peristiwa, seperti : ujian/tes bagi para pelajar atau

mahasiswa, kematian seseorang yang dicintai, kemacetan lalu lintas,

banjir, dan gempa bumi; (b) objek, seperti : binatang buas, peraturan

yang berat atau tuntutan pekerjaa/tugas yang di luar kemampuan; dan

(c) orang, seperti sikap dan perlakuan orang tua dan guru yang galak

atau kasar, pimpinan yang otoriter, para preman (orang-orang jahat),

dan penguasa dlalim.11

Stres merupakan suatu keadaan yang menuntut pola respon

individu karena hal tersebut mengganggu keseimbangannya. Menurut

kamus Webster, stres berasal dari bahasa latin, yaitu strictus yang

berarti kesulitan, kesengsaraan, dan penderitaan. Konsep tentang stres

selanjutnya mengalami perkembangan di Perancis dan Inggris yang

dikenal sebagai estresse, konsep stres digunakan dalam ilmu fisiologi,

kedokteran, psikologi, dan perilaku.12

Pada dasarnya, hanya ada tiga teori mendasar yang

menjelaskan bagaimana stres itu terjadi pada manusia, yaitu : stres

model stimulus, stres model respons, dan stres model transaksional.

Ketiga teori tersebut menjelaskan apa yang dimaksud dengan stress

dan bagaimana stres itu terjadi pada individu. Stres dikatakan sebagai

11
Syamsu Yusuf, Mental Hygiene (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), 94.
12
Farida Aryahi, Stres Belajar (Palu: Edukasi Mitra Grafika, 2016), 9.
8

stimulus ketika ada berbagai rangsangan-rangsangan yang

mengganggu atau membahayakan. Stres dikatakan respons saat tubuh

bereaksi terhadap sumber-sumber stres. Stres dikatakan transaksional

saat adanya proses pengevaluasian dari sumber stres yang terjadi.13

Jadi dari berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan

bahwa stres adalah tekanan-tekanan psikologis yang mengakibatkan

perasaan tidak nyaman karena presepsi yang kurang tepat terhadap

rangsangan-rangsangan dan sumber-sumber yang menurutnya

mengganggu atau membahayakan keselamatan dirinya.

2. Faktor-faktor Pemicu Stres (Stressor)

Syamsu Yusuf mengklasifikasikan faktor pemicu stres ke dalam

beberapa kelompok yaitu:14

a. Stressor fisik biologik, seperti penyakit yang sulit disembuhkan,

cacat fisik atau kurang berfungsinya salah satu anggota tubuh,

wajah yang tidak cantik/ganteng, dan postur tubuh yang di persepsi

tidak ideal (terlalu kecil, pendek, kurus atau gemuk).

b. Stressor psikologik, seperti negative thinking, frustasi, iri hati,

sikap permusuhan, perasaan cemburu, konflik pribadi, dan

keinginan yang diluar kemampuan.

c. Stressor sosial: (a) iklim kehidupan keluarga, seperti hubungan

antar anggota keluarga yang tidak harmonis (broken home),

perceraian, suami atau istri selingkuh, suami atau istri meninggal,


13
Lumban Gaol, "Teori Stres: Stimulus, Respons, dan Transaksional", Buletin Psikologi, Vol.24,
No.1 (2016), 9.
14
Syamsu, Mental Hygiene, 96.
9

anak yang nakal, sikap dan perlakuan orang tua yang keras, salah

seorang anggota keluarga mengidap gangguan jiwa, dan tingkat

ekonomi keluarga yang rendah. (b) faktor pekerjaan, seperti

kesulitan mencari pekerjaan, pengangguran, kena PHK (Pemutusan

Hubungan Kerja), perselisihan dengan atasan, jenis pekerjaan yang

tidak sesuai dengan minat dan kemampuan, dan penghasilan tidak

sesuai dengan tuntutan kebutuhan sehari-hari. (c) iklim lingkungan,

seperti maraknya kriminalitas, tawuran antar kelompok, harga

kebutuhan pokok yang mahal, kurang tersedia fasilitas air bersih

yang memadai, kemarau panjang, udara yang sangat panas/dingin,

suara bising, polusi udara, lingkungan yang kotor, kemacetan lalu

lintas, bertempat tinggal didaerah banjir, dan kehidupan politik dan

ekonomi yang tidak stabil.

Teori lain mengatakan stressor memiliki dua tipe yaitu stressor

yang berasal dari lingkungan internal dan lingkungan eksternal15.

a. External stressor

1) Physical environment misalnya kebisingan, cahaya yang

berlebihan, suhu udara yang panas, dan kondisi ruangan

yang sempit.

2) Social interaction misalnya mengalami tindakan kasar,

korban sikap berkuasa, menerima tindakan agresif dari

pihak lain dan mengalami kekerasan.

15
Win2PDF, “Management Stress”, dalam http://www.win2pdf.com (31 Maret 2019).
10

3) Organisational, situasi organisasi yang dapat menimbulkan

stress adalah adanya peraturan yang terlalu, red tape, dan

tekanan date line yang harus di penuhi.

4) Peristiwa penting dalam hidup misalnya kelahiran,

kematian, kehilangan pekerjaan, promosi, dan perubahan

status perkawinan.

5) Kecerobohan kegiatan sehari-hari, misalnya rutinitas

bepergian dalam jarak jauh, lupa menyimpan kunci, dan

kerusakan mesin.

b. Internal stressors

1) Stressor internal dapat di sebabkan adanya pemilihan

terhadap gaya hidup yang di warnai dengan kecanduan

minum-minuman yang mengandung kafein, kurang tidur

dan jadwal yang terlalu padat.

2) Pembicaraan pribadi yang negatif, hal ini di tandai dengan

pemikiranyang pesimis, sering mengkritik diri sendiri dan

melakukan analisis yang berlebihan.

3) Jebakan pemikiran, misalnya harapan yang tidak relistis,

taking things personally, terlalu banyak yang di pikirkan

atau tudak berpikir sama sekali, exaggeration dan berpikir

kaku.

4) Hambatan pribadi misalnya workaholic dan perfeksionis.


11

Menurut Giordano,terdapat tiga jenis sumber stres yaitu faktor

psikososial, biokologikal, dan personal16:

a. Stres psikososial (psychososial stress)

Stres psikososial adalah stres yang disebabkan oleh tekanan

dari segi hubungan dengan kondisi social di sekitar. Hal-hal yang

dapat menimbulkan stres secara psikososial ialah perubahan dalam

hidup misalnya berada di lingkungan baru, diskriminasi, terjerat

kasus hokum, atau karena kondisi ekonomi.

b. Stres biokologikal (bioelogical stress)

Stres bioekologikal terdiri atas dua sumber stres yaitu:

1) Ecological stress adalah stres yang disebabkan oleh kondisi

lingkungan.

2) Biological stress adalah stres yang disebabkan oleh kondisi

fisik tubuh.

c. Stres kepribadian

Stres kepribadian adalah stres yang disebabkan oleh

permasalahan yang dialami dalam diri sendiri (aspek psikis

individu) dan menganggu kepribadiannya. Stres akan dialami

seseorang apabila ia merasakan ketidakseimbangan antara tuntutan

dengan kemampuan yang dimilikinya. Tuntutan ini secara umum

dapat diklarifikasikan dalam beberapa bentuk, yaitu17:

16
Farida Aryahi, Stres Belajar (Palu: Edukasi Mitra Grafika, 2016), 31.
17
Junierissa Marpaung, "Counseling Approach BehaviourRational Emotive Therapy in Reducing
Stress", Jurnal Kopasta, Vol. 3, No.1 (2016), 26.
12

a. Frustrasi, yang muncul apabila hal yang dilakukan untuk

mencapai suatu tujuan mendapat hambatan atau kegagalan.

Hambatan ini biasanya bersumber dari lingkungan mapun dari

diri individu itu sendiri.

b. Konflik, stres juga muncul apabila individu dihadapkan pada

suatu keharusan untuk memilih salah satu diantara kebutuhan

dan tujuan. Biasanya pilihan terhadap salah satu alternatif akan

menghasilkan frustrasi bagi alternatif lainnya.

c. Tekanan, tekanan atau paksaan untuk mencapai suatu hasil

tertentuatau untuk bertingkah laku dengan cara tertentu.

Sumber tekanan juga bias berasal dari dalam diri maupun dari

lingkungan.

d. Antisipasi, antisipasi individu terhadap hal-hal yang merugikan

atau tidak menyenangkan bagi dirinya, mengenai suatu situasi

merupakan suatu hal yang dapat memunculkan stres.

3. Penggolongan Stres

Stres digolongkan menjadi dua bagian, yaitu:18

a. Distress (stress negatif)

Distress merupakan stres yang merusak atau bersifat tidak

menyenangkan. Stres dirasakan sebagai sesuatu keadaan dimana

individu mengalami rasa cemas, ketakutan, khawatir, atau gelisah.

Sehingga individu mengalami keadaan psikologis yang negatif,

menyakitkan, dan timbul keinginan untuk menghindarinya.


18
Indri Kemala Nasution, Stress pada Remaja (Medan: USU Repository, 2008), 6.
13

b. Eustress (stres positif)

Eustress bersifat menyenangkan dan merupakan

pengalaman yang memuaskan. Hanson mengemukakan frase joy of

stress untuk mengungkapkan hal-hal yang bersifat positif yang

timbul dari adanya stres. Eustress juga dapat meningkatkan

motivasi individu untuk menciptakan sesuatu.

4. Dampak-dampak Stres

Dampak stres terbagi menjadi dua, yaitu:

a. Dampak psikologis

1) Kelelahan psikologis, tiada yang lebih meletihkan daripada

menahan stres berkepanjangan. Dengan berlalunya waktu, si

penderita menjadi terkena penyakit lesu, letih, lemes, loyo, baik

pikiran maupun perasaannya, bakan kadang-kadang diselingi

mimpi buruk dalam tidurnya.

2) Terperosok ke dalam lubang yang digali sendiri, berpikir terus

menerus saja sudah cukup membuat keletihan bagi distress,

tetapi ia masih ada sisa untuk memikirkan masalah kemajuan

kini, kehidupan lain yang harus dilaluinya, kecuali terus

konsentrasi pada persoalan yang sangat menekan dirinya itu

sepanjang hari. Berarti dia telah menggali lubang, kemudian

terperosok dan terjerembab dalam lubang yang digalinya.

Begitu ia mencoba memikirkan jalan lain, seketika itu yang

Zaenal Abidin, “Ketika Stres Beraksi Islam Punya Solusi”, Komunika, Vol. 3, No. 1 (Januari-Juni,
2009), 2.
14

tampak adalah halusinasi yang menakutkan dan menyebalkan,

dan perasaan ini terus mencengkram pikiran dan perasaannya.

3) Selalu memutar film dan potret diri secara berulang-ulang,

masalah pribadi yang menumpuk di relung jiwa, jika terus

menerus akan menjadi bahan pemikiran sehingga seluruh

waktu hanya dikuras habis untuk merenunginya. Akibatnya,

pikiran tidak dapat beristirahat sejenak pun, kecuali tidur kalau

bisa. Kedaan seperti ini bagaikan seorang yang sedang

menonton potret kehidupannya di masa lalu, yang tidak

menyenangkan. Lama kelamaan, bukan lagi sekedar menonton

putaran film masa lalunya saja, melainkan bisa jadi suara masa

lalunya direkam kembali dan dijadikan dasar pemikirandalam

menghadapi situasi yang baru. Kondisi ini bisa terjadi pada

distress karena pikiran dan perasaannya terlalu letih, sehingga

kehilangan energi psikologis, sedangkan pikiran tetap terus

bekerja secara otomatik, sistematik dan tidak terarah.

4) Kehilangan kepercayaan diri, rasa kepercayaan diri distresss

biasanya nyaris atau bahkan sirna. Ia merasa dirinya sudah

menjadi orang yang paling tolol, lemah tidak punya potensi,

menyerah pada keadaan. Ketika mengambil keputusan dalam

hidupnya, walau sekecil apapun keputusan itu, juga disertai

keragu-raguan, sehingga serba salah langkah dalam

menghadapi tugas hidup dan kehidupanya.


15

b. Dampak fisiologis

1) Gangguan organ tubuh pada seseorang yang mengalami stres

(gugup, rasa cemas, ketakutan dan was-was yang dalam) akan

menjadikan jantung berdegup secara cepat dan arteri

berkontraksi, membuat tekanan darah naik dengan tinggi.

Akibatnya terjadi pengurangan aliran darah sesekali waktu,

yang menyebabkan terganggunya organ tubuh, terutama

jantung, otak dan ginjal, termasuk serangan jantung akibat

kekurangan darah pada pembuluh arteri yang menuju ke otot

jantung.

2) Bila stresnya sudah berada di ambang batas kewajaran, otak

mengejutkan jantung dengan denyutan yang tidak teratur, dan

bisa mematikan.

3) Penglihatan tidak terlalu tajam, tidak sebagaimana mestinya ini

tanda stress pada tahap awal.

4) Badan letih pada waktu bangun pagi, terasa mudah lelah

setelah makan siang, lekas capai menjelang sore, keluhan pada

lambung atau perut tidak nyaman, detak jantung lebih keras

dari biasanya, otot punggung dan tengkuk terasa tegang dan

tidak bisa santai. Itu adalah tanda-tanda stres pada tahap kedua.

5) Gangguan lambung dan usus, buang air besar tidak teratur,

ketegangan otot-otot semakin terasa. Ini adalah tanda stres pada

tahap ketiga.
16

6) Pertahanan tubuh semakin kurang kuat, kurang kemampuan

untuk melaksanakan tugas sehari-hari, dan tidak bergairah

menghadapi kehidupan. Ini adalah tanda stres pada tahap

keempat.

7) Kelelahan fisik, kurang mampu menyelesaikan tugas walau

ringan, dan gangguan system pencernaan. Ini yang terjadi saat

stres pada tahap kelima.

8) Debaran jantung teramat keras, susah bernafas, sekujur badan

gemetaran, kehabisan energi, bahkan bisa mengalami pingsan.

Inilah tanda stres pada tahap keenam.

5. Mekanisme Terjadinya Stres

Stress baru nyata dirasakan apaila keseimbangan diri

terganggu. Artinya kita baru bisa mengalami stress manakala kita

mempersepsi tekanan dari stressor melebihi daya tahan yang kita

punya untuk menghadapi tekanan tersebut. Jadi selama kita

memandangkan diri kita masih bisa menahan tekanan tersebut, maka

cekaman stress belum nyata. Akan tetapi apabila tekanan tersebut

bertambah besar (baik dari stressor yang sama atau dari stressor yang

lain secara bersamaan) maka cekaman menjadi nyata, kita kewalahan

dan merasakan stres.19

C. Peraturan Pesantren

1. Pengertian Peraturan Pesantren

19
Musradinur, “Stres dan Cara Mengatasinya dalam Prespektif Psikologi”, Edukasi, Vol. 2, No. 2,
(July, 2016), 192.
17

Peraturan adalah perangkat yang berisi patokan dan ketentuan

untuk dijadikan pedoman yang merupakan hasil dari keputusan yang

telah disepakati dalam suatu organisasi yang bersifat mengikat,

membatasi, mengatur dan harus ditaati serta harus dilakukan untuk

menghindari sanksi dengan tujuan menciptakan ketertiban, keteraturan,

dan kenyamanan20 Dalam sebuah naskah publikasi, peraturan diartikan

sebagai seperangkat norma-norma yang mengandung perintah dan

larangan, yang didalamnya mengatur tentang bagaimana individu

seharusnya berperilaku, apa yang harus dilakukan dan apa yang

seharusnya tidak dilakukan. Peraturan pesantren yang diterapkan

membuat santri belajar untuk berperilaku agar sesuai dengan nilai-nilai

secara sosial, serta dapat membentuk remaja atau santri menjadi orang

dewasa yang produktif.21

Peraturan pesantren dapat disimpulkan yaitu pedoman yang

berisi kewajiban dan larangan santri yang telah diputuskan dan

ditetapkan oleh pengasuh pondok pesantren dalam rangka membentuk

insan muslim yang beriman, berilmu, beramal, bertakwa, dan

berakhlaqul karimah. Dimana peraturan-peraturan tersebuat

terorganisasi dengan kegiatan-kegiatan yang mengikat santri dalam

upaya mewujudkan peran, fungsi, dan cita-citanya.22

D. Hipotesis Tindakan
20
Bayu Arsa Dinata, “Peraturan”, dalam https://bayuarsadinata.wordpress.com (18
Desember 2018).
21
Anita Dwi Rahmawati, “Kepatuhan Santri Terhadap Aturan di Pondok Pesantren Modern”
(Naskah Publikasi – Universitas Muhammadiyah, Surakarta, 2015), 3-4.
22
Buku Pedoman Santri (PP. Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, 2016)
18

Hipotesis tindakan pada penelitian ini adalah penerapan konseling

rasional emotif dapat menanggulangi stress santri terhadap peraturan

pesantren.

Anda mungkin juga menyukai