NIM : 0303172126
KELAS : BKI-2
1
http://pembelajaranbimbingandankonseling.blogspot.com/2016/11/teori-rational-emotive-behavior-
therapy.html?m=1. Diakses tanggal 7 Desember 2020 Pukul 07:00 WIB.
orang mungkin memikirkan bermacam-macam solusi, dan apa yang benar untuk
satu orang mungkin dapat tidak benar untuk yang lainnya. Dalam SFBT, konseli
memilih tujuan-tujuan yang mereka ingin capai dalam terapi, dan diberikan sedikit
perhatian terhadap diagnosis, pembicaraan tentang sejarah, atau eksplorasi
masalah.
Terapi singkat berfokus solusi pada didasarkan pada asumsi optimis bahwa
orang yang sehat dan kompeten memiliki kemampuan untuk membangun solusi
yang dapat meningkatkan kehidupan mereka. Inti dari terapi yakni membangun
harapan dan optimisme konseli dengan menciptakan ekspektasi positif bahwa
perubahan itu mungkin. SFBT adalah pendekatan non patologis yang menekankan
kompetensi daripada kekurangan dan kekuatan bukan kelemahan (Metcalf, 2001).
3. Perkembangan Perilaku
a. Struktur Kepribadian
Solution Focused Brief Therapy (SFBT) tidak mengemukakan teori
mengenai struktur kepribadian. Konseling ini hanya berfokus pada
memfasilitasi konseli untuk mengkonstruksi solusi dari masalahnya.
b. Pribadi Sehat dan Bermasalah
Pribadi sehat. Pribadi yang mampu (kompeten), memiliki kapasitas untuk
membangun, merancang ataupun mengkonstruksikan solusi-solusi,
sehingga individu tersebut tidak terus menerus berkutat dalam problem-
problem yang sedang ia hadapi. Pribadi yang tidak terpaku pada masalah,
namun ia lebih berfokus pada solusi, bertindak dan mewujudkan solusi
yang ia inginkan.
Pribadi bermasalah. Individu menjadi bermasalah karena
ketidakefektifannya dalam mencari dan menggunakan solusi yang
dibuatnya. Individu menjadi bermasalah karena ia meyakini bahwa
ketidakbahagiaan atau ketidaksejahteraan ini berpangkal pada dirinya.
4. Hakikat Konseling
Walter dan Peller menyebutkan hakikat SFBT:
a. Individu yang datang ke terapi mampu berperilaku efektif meskipun kelakuan
keefektifan ini mungkin dihalangi sementara oleh pandangan negatif.
b. Ada keuntungan-keuntungan untuk fokus pada solusi dan pada masa depan.
Jika konseli dapat reorientasi diri ke arah kekuatan menggunakan solution-
talk, terapi bisa singkat.
c. Ada penyangkalan pada setiap problem. Dengan membicarakan
penyangkalan-penyangkalan ini, konseli dapat mengontrol apa yang terlihat
menjadi sebuah problem yang tidak mungkin diatasi, penyangkalan ini
memungkinkan terciptanya sebuah solusi.
d. Konseli sering hanya menampilkan satu sisi dari diri mereka, SFBT mengajak
konseli untuk menyelidiki sisi lain dari cerita yang sedang mereka tampilkan.
e. Perubahan kecil adalah cara untuk mendapatkan perubahan yang lebih besar.
f. Konseli yang ingin berubah mempunyai kapasitas untuk berubah dan
mengerjakan yang terbaik untuk membuat suatu perubahan itu terjadi.
g. Konseli dapat dipercaya pada niat mereka untuk memecahkan masalah. Tiap
individu adalah unik dan demikian juga untuk tiap-tiap solusi.
5. Tujuan SFBT
a. Mengubah situasi atau kerangka acuan; mengubah perbuatan dalam situasi
yang problematis, dan menekankan pada kekuatan konseli.
b. Membantu konseli untuk mengadopsi sebuah sikap dan mengukur pergeseran
dari membicarakan masalah-masalah pada membicarakan solusi.
c. Mendorong konseli untuk terlibat dalam perubahan dan membicarakan solusi
daripada membicarakan masalah.
6. Fungsi Dan Peran Konselor
a. Sebagai mitra
Konselor berusaha untuk menciptakan hubungan kolaboratif untuk membuka
berbagai kemungkinan perubahan masa depan. Konselor menciptakan iklim
saling menghormati, dialog, pertanyaan, dan penegasan di mana klien bebas
untuk menciptakan, mengeksplorasi, dan menulis cerita-cerita mereka yang
berkembang.
b. Sebagai motivator
Bila solusi-solusi yang telah direncanakan oleh konseli belum membuahkan
hasil, maka konselor bertugas untuk menyemangati konseli agar terus
mencoba dengan alternatif solusi lainnya.
Dalam konseling, konseli diharapkan dapat berkolaborasi dengan konselor,
serta berpartisipasi secara aktif dalam keseluruhan proses konseling.
7. Situasi Hubungan
Kualitas hubungan antara konselor dan konseli merupakan faktor penentu
hasil dari SFBT. Sikap terapis sangat penting untuk efektivitas dari proses
terapeutik. Hal ini penting untuk menciptakan kepercayaan sehingga konseli akan
kembali untuk sesi selanjutnya dan akan menindaklanjuti saran pekerjaan rumah.
De Shazer menggambarkan tiga jenis hubungan yang dapat dikembangkan antara
konselor dan konseli untuk membangun SFBT:
a. Pelanggan (Customer). Konseli dan konselor bersama-sama mengidentifikasi
masalah dan bekerja ke arah solusi. Konseli menyadari bahwa untuk
mencapai solusi dan tujuannya, usaha pribadi akan diperlukan.
b. Pengadu (Complainant). Konseli menjelaskan masalah tetapi tidak mampu
atau bersedia untuk mengasumsikan peran dalam membangun solusi, percaya
bahwa solusi bergantung pada tindakan orang lain. Dalam situasi ini, konseli
umumnya mengharapkan konselor untuk mengubah orang lain kepada atribut
masalah konseli.
c. Pengunjung (Visitor). Konseli datang ke terapi karena orang lain (pasangan,
orangtua, guru, atau petugas percobaan) berpikir konseli memiliki masalah.
Konseli ini mungkin tidak setuju bahwa dia memiliki masalah dan mungkin
tidak dapat mengidentifikasi apa saja untuk mengeksplorasi dalam terapi.
8. Tahap-Tahap Konseling
Menurut de Shazer SFBT bisanya berlangsung dalam tujuh tahap:
a. Identifying a solvable complaint. Mengidentifikasi keluhan yang bisa
dipecahkan merupakan langkah awal yang penting dalam konseling. Tidak
hanya memfasilitasi pengembangan tujuan dan intervensi, tetapi
mempromosikan perubahan. Konseli dan konselor berkolaborasi untuk
membuat gambar dari keluhan yang menempatkan solusi mereka di tangan
konseli. Pertanyaan frase konselor sehingga mereka berkomunikasi secara
optimis dan harapan untuk perubahan. Kesulitan manusia dipandang sebagai
normal dan dapat diubah. Konselor mungkin bertanya, “Apa yang
menyebabkan Anda untuk membuat janji sekarang?” bukan “Apa masalah
yang mengganggu Anda?” atau bertanya, “Apa yang ingin Anda ubah?” bukan
“Bagaimana saya bantu?”.
b. Establishing goals. Menetapkan tujuan melanjutkan proses konseling.
Konselor berkolaborasi dengan konseli untuk menentukan tujuan yang
spesifik, dapat diamati, diukur, dan konkret. Pertanyaan mengandaikan sukses:
“Apa yang akan menjadi tanda pertama dari perubahan”, Bagaimana Anda
akan tahu kapan terapi ini berguna bagi Anda”, Bagaimana saya bisa tahu?”.
c. Designing an intervention
Ketika merancang intervensi, konselor menggambar pada pemahaman mereka
tentang konseli dan penggunaan kreativitas strategi terapi untuk mendorong
perubahan, tidak peduli seberapa kecil. Pertanyaan khas selama tahap ini
termasuk “Perubahan apa yang telah terjadi?”, “Apa yang berhasil di masa lalu
ketika Anda berurusan dengan situasi yang sama?”,
d. Strategic task that promote change
Tugas strategis kemudian mempromosikan perubahan. Tugas secara hati-hati
direncanakan untuk memaksimalkan kerja sama konseli dan sukses. Orang
dipuji atas upaya keberhasilan dan kekuatan mereka untuk menggambar di
dalam menyelesaikan tugas.
e. Identifying dan emphazing new behavior and changes
Perilaku baru yang positif dan perubahan diidentifikasi serta ditekankan ketika
konseli kembali setelah diberi tugas. Pertanyaan fokus pada perubahan,
kemajuan, dan kemungkinan dan mungkin termasuk “Bagaimana Anda
membuat hal itu terjadi?”, “Siapa yang melihat perubahan
f. Stabilization. Stabilisasi adalah penting dalam membantu orang
mengkonsolidasikan keuntungan dan secara bertahap beralih perspektif ke
arah yang lebih efektif dan penuh harapan.
g. Termination
Pengakhiran konseling terjadi, sering diprakarsai oleh konseli yang kini telah
mencapai tujuan mereka.
9. Teknik-Teknik Konseling
Menurut Corey teknik SFBT adalah:
a. Pertanyaan Pengecualian (Exception Question)
Terapi SFBT menanyakan pertanyaan-pertanyaan exception untuk
mengarahkan konseli pada waktu ketika masalah tersebut tidak ada atau ketika
masalah tidak begitu intens. Exception merupakan pengalaman-pengalaman
masa lalu dalam kehidupan konseli ketika pantas mempunyai beberapa
harapan masalah tersebut terjadi, tetapi bagaimanapun juga tetap tidak terjadi.
b. Pertanyaan Keajaiban (Miracle Question)
Miracle question merupakan teknik utama SFBT. Konselor meminta konseli
untuk mempertimbangkan bahwa suatu keajaiban membuka berbagai
kemungkinan masa depan.
c. Pertanyaan Berskala (Scalling Question)
Terapis berfokus solusi juga menggunakan scalling question ketika perubahan
dalam pengalaman manusia tidak mudah diamati, seperti perasaan, suasana
hati (mood), atau komunikasi.
d. Umpan Balik (Feedback)
Para praktisi SFBT pada umumnya mengambil istirahat 5 sampai 10 menit
menjelang akhir setiap sesi untuk menyusun suatu ringkasan pesan untuk
konseli. Selama waktu ini terapis memformulasikan umpan balik yang akan
diberikan pada konseli setelah istirahat.
10. Kelebihan Dan Kelemahan
a. Kelebihan
Berfokus pada solusi.
Treatment terfokus pada hal yang spesifik dan jelas.
Penggunaan waktu yang efektif.
Berorientasi pada di sini dan sekarang (here and now).
Penggunaan teknik-teknik intervensi bersifat fleksibel dan praktis.
b. Kelemahan
Konseling bertujuan tidak secara tuntas menyelesaikan masalah konseli.
Keterbatasan waktu yang menjadi orientasi penggunaannya.
Dalam penerapannya menuntut keterampilan konselor dalam penggunaan
bahasa.
Menggunakan teknis-teknis keterampilan berfikir (mind skills).2
2
https://bambangdibyo.wordpress.com/2014/12/13/konseling-singkat-berfokus-solusi-solution-focused-brief-
counseling/. Diakses tanggal 7 Desember 2020 Pukul 07;20 WIB.
C. Teori Konseling Behavior
1. Pengertian Konseling Behavior
Konseling behavior adalah sebuah proses konseling (bantuan) yang diberikan
oleh konselor kepada klien dengan menggunakan pendekatan-pendekatan tingkah
laku (behavioral), dalam hal pemecahan masalah-masalah yang dihadapi serta
dalam penentuan arah kehidupan yang ingin dicapai oleh diri klien. Konseling
behavioral merupakan suatu proses membantu orang untuk belajar memecahkan
masalah interpersonal, emosional, dan keputusan tertentu.
Konseling behavior merupakan suatu teknik terapi dalam konseling yang
berlandaskan teori belajar yang berfokus pada tingkah laku individu untuk
membantu konseli mempelajari tingkah laku baru dalam memecahkan masalahnya
melalui teknik-teknik yang berorientasi pada tindakan. Behavior berpandangan,
pada hakikatnya kepribadian manusia adalah perilaku. Dimana perilaku tersebut
merupakan hasil dari bentukan pengalaman interaksi individu dengan lingkungan
sekitarnya.
2. Karakteristik Konseling Behavior
Menurut Pihasniwati, konsep utama dalam konseling behavior adalah
keyakinan tentang martabat manusia yang bersifat falsafah dan sebagian lagi
bercorak psikologis. Konseling behavioral berfokus pada perilaku manusia yang
dapat dipelajari dan dapat dirubah. Adapun kondisi-kondisi pada manusia yang
menjadi dasar dalam pelaksanaan konseling behavior adalah:
a. Manusia pada dasarnya tidak berakhlak baik atau buruk, bagus atau jelek.
Manusia mempunyai potensi untuk bertingkah laku baik atau buruk, tepat atau
salah berdasarkan bekal keturunan dan lingkungan (nativisme dan empirisme),
terbentuk pola-pola bertingkah laku yang menjadi ciri-ciri khas
kepribadiannya.
b. Manusia mampu untuk berefleksi atas tingkah lakunya sendiri, menangkap apa
yang dilakukannya dan mengatur serta mengontrol perilakunya sendiri.
c. Manusia mampu untuk memperoleh dan membentuk sendiri pola-pola tingkah
laku yang baru melalui suatu proses belajar. Kalau pola-pola lama dahulu
dibentuk melalui belajar, pola-pola itu dapat diganti melalui usaha belajar
yang baru.
d. Manusia dapat mempengaruhi perilaku orang lain dan dirinya dipengaruhi
oleh perilaku orang lain.
3. Tujuan Konseling Behavior
Menurut Latipun, tujuan konseling behavior adalah menciptakan suatu kondisi
baru yang lebih baik melalui proses belajar sehingga perilaku yang negatif dapat
dihilangkan serta mengubah tingkah laku adaptif dengan cara memperkuat tingkah
laku yang diharapkan dan meniadakan perilaku yang tidak diharapkan serta
berusaha menemukan cara-cara bertingkah laku yang baru.3
4. Tujuan Konseling
3
https://www.kajianpustaka.com/2020/07/konseling-behavior.html?m=1. Diakses tanggal 7 Desember 2020
Pukul 07:48.
Konseling person centered bertujuan membantu konseli menemukan konsep
dirinya yang lebih positif lewat komunikasi konseling, di mana konselor
mendudukkan konseli sebagai orang yang berharga, orang yang penting, dan
orang yang memiliki potensi positif dengan penerimaan tanpa syarat, yaitu
menerima konseli apa adanya.
5. Peran dan Fungsi Konselor
Kemampuan konselor dalam membangun hubungan interpersonal dalam
proses komunikasi konseling merupakan elemen kunci keberhasilan konseling.
Dalam proses konseling, konselor berperan mempertahankan tiga kondisi inti
yang menghadirkan iklim kondusif untuk mendorong terjadinya perubahan
terapeutik dan perkembangan konseli.
6. Teknik – Teknik Konseling
a. Mendengar Aktif
b. Mengulang kembali (Restating/Paraphrasing)
c. Memperjelas (Clarifyng)
d. Menyimpulkan (Summarizing)
e. Bertanya (Questioning)
f. Menginterpretasi (Interpreting)
g. Mengkonfrontasi (Confronting)
h. Merefleksikan Perasaan (Reflecting Feeling)
i. Memberikan dukungan (Supporting)
j. Berempati (Empathizing)
k. Menfasilitasi (Fcilitating)
l. Memulai (Initiating)
m. Menentukan Tujuan (Setting Goals)
n. Mengevaluasi (Evaluating)
o. Memberikan umpan balik (giving feedback)
p. Menjaga (protecting)
q. Mendekatkan diri (Disclosing Self)
r. Mencontoh Model (Modeling)
s. Mengakhiri (Terminating)4
4
http://pembelajaranbimbingandankonseling.blogspot.com/2016/11/teori-terapi-berpusat-pada-klien-client.html?
m=1. Diakses tanggal 7 Desember 2020 Pukul 08:01 WIB.
E. Teori Konseling Gestalt
1. Sejarah Konseling Gestalt
Gestalt adalah sebuah teori yang menjelaskan proses persepsi melalui
pengorganisasian komponen-komponen sensasi yang memiliki hubungan, pola,
ataupun kemiripan menjadi kesatuan. Teori gestalt beroposisi terhadap teori
strukturalisme. Teori gestalt cenderung berupaya mengurangi pembagian sensasi
menjadi bagian-bagian kecil. Perintis teori Gestalt ini ialah Chr. Von Ehrenfels,
dengan karyanya “Uber Gestaltqualitation“. Teori ini dibangun oleh tiga orang,
Max Wertheimer, Wolfgang Kohler, dan Kurt Koffka. Mereka menyimpulkan
bahwa seseorang cenderung mempersepsikan apa yang terlihat dari lingkungannya
sebagai kesatuan yang utuh.
Pengikut-pengikut aliran psikologi Gestalt mengemukakan konsepsi yang
berlawanan dengan konsepsi aliran-aliran lain . Bagi yang mengikuti aliran
Gestalt perkembangan itu adalah proses diferensiasi. Dalam proses diferensiasi itu
yang primer ialah keseluruhan , sedangkan bagian –bagiannya adalah sekunder;
bagian-bagian hanya mempunyai arti sebagai bagian dari pada keseluruhan dalam
hubungan fungsional dengan bagian-bagian yang lain ; keseluruhan ada terlebih
dahulu baru disusul oleh bagian-bagiannya. Contohnya kalau kita bertemu
dengan seorang teman misalnya, dari kejahuan yang kita saksikan terlebih dahulu
bukanlah bajunya yang baru , melainkan teman kita itu secara keseluruhan
selanjutnya baru kemudian kita saksikan adanya hal-hal khusus (bagian-bagian)
tertentu misalnya baju yang baru.
2. Konsep Dasar
a. Di Sini dan Sekarang (Here and Now)
Perls mengatakan bahwa “kekuatan ada pada masa kini” (power is in the
present). Pendekatan gestalt mengutamakan masa sekarang, segala sesuatu
tidak ada kecuali yang ada pada masa sekarang, karena masa lalu telah berlalu
dan masa depan belum sampai, hanya masa sekarang yang penting.
Pendekataan gestalt mengapresiasi pengalaman pada masa ini. Menurut
gestalt, kebanyakan orang kehilangan kekuatan masa sekarangnya karena
individu menginvestasikan energinya untuk mengeluh tentang kesalahan masa
lalu dan bergulat pada resolusi dan rencana masa depan yang tidak ada
ujungnya. Oleh karena itu, kekuatan individu untuk melihat masa sekarang
menjadi berkurang bahkan hilang.
b. Urusan yang Tidak Selesai (unfinished business) dan penghindaran
(avoidance)
Urusan yang tidak selesai (unfinished business) adalah perasaan-perasaan
yang tidak dapat diekspresikan pada masa lalu seperti kesakitan, kecemasan,
perasaan bersalah, kemarahan, dan sebagainya. Walaupun perasaan-perasaan
tersebut tidak diekspresikan, namun berkaitan dengan ingatan dan fantasi. Hal
ini karena perasaan ini tidak diekspresikan dan terus mengganggu kehidupan
masa sekarang, dan membuat individu tidak dapat melakukan kontak dengan
orang lain dengan autentik. Urusan yang tidak kunjung selesai memiliki efek
yang dapat mengganggu individu, seperti kecemasan yang berlebihan
sehingga individu tidak dapat memperhatikan hal penting lain, tingkah laku
yang tidak terkontrol, terlalu berhati-hati dan menyakiti diri sendiri.
c. Bentuk-bentuk Pertahanan Diri
Introyeksi (Introjection). Introyeksi adalah memasukkan ide-ide,
keyakinan-keyakinan dan asumsi-asumsi tentang diri individu, seperti apa
individu seharusnya dan bagaimanan individu harus bertingkah laku.
Proyeksi. Proses dimana individu melakukan atribusi kepada pemikiran,
perasaan, keyakinan dan sikap orang lain yang sebenarnya adalah bukan
milik individu.
Retrofleksi (retroflection)
Retrifleksi adalah proses di mana individu mengembalikan implus-implus
dan respon-respon kepada dirirnya karena ia tidak dapat
mengekspresikannya kepada orang lain dan lingkungan.
Defleksi (deflection). Defleksi adalah metode penghindaran, yaitu cara
mengubah pertanyaan atau pernyataan menjadi memiliki makna lain
sehingga individu dapat menghindari dari merespon pertanyaan atau
pernyataan tersebut.
Confluence dan Isolasi (isolation). Confluence secara harfiah berarti
menyatu. Hal ini bermakna bahwa individu berada dalam hubungan
dengan linngkungan, menjadi orang lain, tempat, objek, atau ideal-ideal.
3. Pandangan tentang Manusia
a. Tidak dapat dipahami, kecuali dalam keseluruhan konteksnya.
b. Merupakan bagian dari lingkungannya dan hanya dapat dipahami dalam
kaitannya dengan lingkungannya itu.
c. Aktor bukan reaktor
d. Berpotensi untuk menyadari sepenuhnya sensasi, emosi, persepsi, dan
pemikirannya.
e. Dapat memilih secara sadar dan bertanggung jawab.
f. Mampu mengatur dan mengarahkan hidupnya secara efektif.
4. Tujuan Konseling
Secara lebih spesifik tujuan konseling Gestalt adalah sebagai berikut:
a. Membantu konseli agar dapat memperoleh kesadaran pribadi, memahami
kenyataan atau realitas, serta mendapatkan insight secara penuh.
b. Membantu konseli menuju pencapaian integritas kepribadiannya
c. Mengentaskan konseli dari kondisinya yang tergantung pada pertimbangan
orang lain ke mengatur diri sendiri (to be true to himself)
d. Meningkatkan kesadaran individual agar konseli dapat beringkah laku
menurut prinsip-prinsip Gestalt, semua situasi bermasalah (unfisihed bussines)
yang muncul dan selalu akan muncul dapat diatasi dengan baik.
5. Masalah Yang Timbul Pada Diri Manusia
a. Lack of Awareness, behubungan tentang individu dengan kepribadian yang
kaku, dimana individu tersebut keihilangan akan kreatifitasnya mengahdapai
dirinya dalam lingkungan.
b. Lack of self-responsibility, berhubungan juga dengan lack of awareness,
tetapi mengambil bentuk mencoba untuk memanipulasi lingkungan sebagai
ganti dirinya. Individu bekerja keras untuk tetap dalam situasi
ketergantungan.
c. Loss of contact with the environment, juga berkaitan dengan area yang
pertama, masalah ini bisa menjadi dua bentuk yaitu, ketika individu menjadi
begitu kaku dalam perilakunya maka tidak ada lingkungan menerimanya,
efeknya dia akan menarik dirinya dari lingkungan. Yang kedua begitu juga
dengan individu yang ingin pujian (approbation) dimana dia telah tidak
memiliki self believe.
d. Inability to complete Gestalt, yang berkaitan dengan urusan yang belum
selesai dalam kehidupan dengan kata lain yang bersifat menyeluruh.
Sehingga apabila urusan yang belum selesai tersebut semakin besar maka
individu akan mengalami kesulitan untuk mencari pemecahanya.
e. Disowning of needs, berkaitan dengan seseorang bertindak untuk menolak
satu dari kebutuhannya. Seperti contohnya ketika lingkungan membenci
perilaku agresif maka individu akan menghilangkan kebutuhan tersebut, akan
tetapi individu yang telah menghilangka rasa agresif tersbut berada dalam
lingkungan yang harus agresif maka individu tersebut akan mengalami
ksulitan dalam membentuknya lagi.
f. Dichotomizing dimensions of the self, mengambil bentuk orang merasa diri
mereka berada pada satu kemungkinan yag berkelanjutan seperti kuat atau
lemah, maskulin atau feminim. Maka menurut Perls adanya individu yang
merasa berada pada top dog (controller) dan underdog (controlled).
6. Proses Konseling
a. Fokus utama konseling gestalt adalah terletak pada bagaimana keadaan
konseli sekarang serta hambatan-hambatan apa yang muncul dalam
kesadarannya. Oleh karena itu tugas konselor adalah mendorong konseli
untuk dapat melihat kenyataan yang ada pada dirinya serta mau mencoba
menghadapinya.
b. Konselor hendaknya menghindarkan diri dari pikiran-pikiran yang abstrak,
keinginan-keinginannya untuk melakukan diagnosis, interpretasi maupun
memberi nasihat.
c. Konselor sejak awal konseling sudah mengarahkan tujuan agar konseli
menjadi matang dan mampu menyingkirkan hambatan-hambatn yang
menyebabkan konseli tidak dapat berdiri sendiri.
d. Pada saat konseli mengalami gejala kesesatan dan konseli menyatakan
kekalahannya terhadap lingkungan dengan cara mengungkapkan
kelemahannya, dirinya tidak berdaya, bodoh, atau gila, maka tugas konselor
adalah membuat perasaan konseli untuk bangkit dan mau menghadapi
ketersesatannya sehingga potensinya dapat berkembang lebih optimal.
Kaitan Jurnal dengan Jurnal penelitian ini menggunakan konseling REBT atau
Teori REBT Rational Emotive Behavior Therapy yang di pelopori oleh
Albert Ellis. REBT dipilih karena sesuai bila diberikan pada
siswa yang mengalami persoalan emosi dan perilaku mereka
di sekolah. Bahkan Albert Ellis melahirkan sebuah teknik
REBT berdasarkan hasil pengamatannya mengenai
banyaknya anak atau remaja yang tidak mencapai kemajuan
karena mereka tidak memiliki pemahaman yang tepat
terhadap peristiwa-peristiwa yang mereka alami di keluarga
mereka. Anak-anak atau remaja yang tidak mengalami
kemajuan tersebut menurut Ellis karena masih adanya pikiran
atau keyakinan irasional terhadap suatu peristiwa atau
pengalaman tertentu. Fokus penelitian adalah mengubah
keyakinan irasional mereka mengenai peristiwa atau
pengalaman di masa lalu menjadi rasional, sehingga
diharapkan dapat mempengaruhi keadaan emosi dan terjadi
perubahan perilaku yang lebih efektif. Pendekatan yang akan
dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan naratif
sebagai media mengungkapkan emosi dalam konseling
Rational-Emotive Behavior Therapy.
Kaitan Jurnal dengan Jurnal ini mengatakan bahwa Therapy behavioral merupakan
Teori Behavior terapi diberbagai eksperimen dan mampu mengatasi masalah-
masalah konseli yang mengalami berbagai hambatan. Dan
menegaskan bahwa konseling behavioral tidak hanya
mengatasi masalah yang bersifat permukaan saja, tetapi juga
mengatasi masalah-masalah yang mendalam, bahkan dapat
mengubah perilaku dalam jangka panjang.
Subjek Penelitian Tiga siswa kelas VIII SMP Negeri 27 Bandar Lampung
Kaitan Jurnal dengan Didalam jurnal penelitian ini. Peneliti menggunakan centered
Teori Client Centered tjerapi yang ternyata sangat efektif hal itu terlihat dari
Therapi terdapat perubahan sikap dan prilaku yang dialami oleh
ketiga subjek sebelum dan sesudah dilakukan konseling client
centered sehingga dengan demikian Client Centered Therapi
dianggap efektif untuk peningkatan sikap sosial siswa kelas
VIII SMP Negeri 27 Bandar Lampung Tahun Pelajaran
2017/2018 serta dapat digunakan oleh guru BK sebagai
upaya untuk meningkatkan sikap sosial siswa yang sampai
saat ini banyak mengalami penurunan. Faktor yang menjadi
penghambat didalam meningkatkan sikap sosial
siswaSiswakelas VIII SMP Negeri 27 Bandar Lampung
tahunpelajaran 2015.2016 melalui pendekatan Client
Centered Therap, yaitu: Faktor internal, yang terdiri dari:
Guru BK kurang memiliki kemampuan atau keterampilan
dalam mengidentifikasi faktor-faktor dari respon verbal,
Kurang terampil memahami dasar interviu dalam prose
menerima (attending), mendengarkan (listening),
danmempengaruhi (influencing), Kurang terampil
mengetahui dan menerapkan bagaimana dan kapan
menggunakan konfrontasi, Kurang trampil dalam
mengetahui dan menerapkan keterampilan interviuw.
Sedangkan factor dari siswa Kurangnya keinginan dan tekad
siswa untuk mengikuti semua kegiatan Client Centered
Therapi yang dilaksanakanoleh guru. berasal dari lingkungan
keluarga, lingkungan pendidikan baik formal dan non formal
Kaitan Jurnal dengan didalam journal penelitian ini. Peneliti menggunakan teknik
Teori Gestalt kursi kosong dalam konseling gestalt. Disini peneliti
membuat klien sadar untuk memperbaiki perilakunya dan
sudah terbentuk empati dari klien sehingga mampu
memahami posisi orang lain yang dibuktikan dengan
menurunnya tingkat agresivitas klien. Disini klien mampu
memahami perasaan korbannya dan dapat mengendalikan
dirinya bukan karena ancaman atau hukuman, tapi dari
dirinya sendiri. Dengan berperan sebagai top dog (orang yang
membuli) dan under dog ( dibuli), pelaku dapat
melampiaskan dan mengungkapkan emosi, sehingga
selanjutnya pelaku bisa mengontrol perilakunya.
Sesuai dengan konsep diatas paradigma adalah cara pandang seseorang terhadap
sesuatu yang dipikirkan didasarkan pada asumsi dan nilai tertentu yang dipengaruhi
oleh keadaan lingkungan dan faktor situasi, sehingga cara pandang tersebut dapat
mengubah kognitif atau pengetahuan, afektif atau sikap dan perilaku seseorang dalam
bertindak.
Dalam Pengertian tersebut ada tiga hal yang menjadi ciri paradigma dalam kajian
ini, yaitu:
1. Suatu cara pandang seseorang maka paradigma bersifat subjektif. Artinya setiap
orang dapat memiliki pandangan yang berbeda yang benar menurut pandangannya
masing-masing tergantung bagaimana orang memaknai sesuatu yang ada di
lingkungannya. Faktor subjektivitas inilah yang memungkinkan setiap orang bisa
memiliki paradigma masing-masing tentang sesuatu, serta memungkinkan begitu
luas dan beragamnya pandangan terhadap sesuatu yang dipikirkannya. Keragaman
tersebut dapat dipengaruhi oleh pengalaman seseorang tentang objek yang dikaji
nya, yang kemudian dapat membentuk sistem nilai atau norma norma yang
dianggapnya baik. Pradigma tentang mengajar misalnya setiap orang bisa
memiliki pandangan yang berbeda tentang hal itu. Hal itu sah-sah saja sebab
pandangannya itu dipengaruhi oleh keyakinan dasar orang tersebut. Ada orang
yang beranggapan mengajar adalah menyampaikan materi pelajaran, ada juga
orang yang beranggapan mengajar adalah proses menanamkan pengetahuan dan
keterampilan dan lain sebagainya.
2. Paradigma seseorang didasarkan pada asumsi dan nilai tertentu yang dipengaruhi
oleh keadaan lingkungan yang bersifat situasional. Hal ini mengandung pengertian
bahwa suatu paradigma terikat oleh keadaan lingkungan dan waktu yang tidak
statis tetapi sangat dinamis dipengaruhi oleh perkembangan zaman sehingga suatu
paradigma tentang sesuatu pada periode waktu tertentu tidak akan sama
dibandingkan dengan periode lainnya. Semua itu tergantung pada kemampuan
seseorang dalam menginterpretasikan berbagai bentuk realitas yang ada.
Paradigma tentang mengajar misalnya dahulu ketika ilmu pengetahuan masih
terbatas, mengajar adalah sebatas menyampaikan pengetahuan sebagai materi
pelajaran sekarang ketika ilmu pengetahuan berkembang sangat kompleks
ditambah dengan perkembangan teknologi khususnya teknologi komunikasi
pandangan mengajar sebagai proses penyampaian pengetahuan tentu saja tidak
relevan lagi.
3. Suatu paradigma dapat mempengaruhi pengetahuan sikap dan perilaku. Artinya,
paradigma berkaitan dengan performansi seseorang dalam bertindak yang
didasarkan pada keluasan pengetahuan dan norma-norma yang menjadi sistem
nilai. Perilaku seseorang tentang suatu hal baik dalam bersikap, berpikir dan
bertindak akan dipengaruhi oleh pandangan orang tersebut tentang sesuatu itu.
Inilah yang menumbuhkan adanya keanekaragaman tindakan dan perlakuan pada
suatu objek tertentu. Misalnya orang yang menganggap mengajar adalah
menyampaikan pengetahuan perilakunya akan tercurahkan pada bagaimana agar
materi pelajaran tersampaikan dengan efektif dan efisien, baik berkenaan dengan
aspek pengetahuan atau penambahan wawasan dan keilmuan tentang cara
penyampaian, menerima nilai-nilai positif tentang bahan atau materi pelajaran
maupun mengasah tampilan menyampaikan materi pelajaran agar lebih efektif.
berbeda dengan seseorang yang menganggap mengajar sebagai proses
membimbing siswa mengembangkan potensi setiap siswa secara optimal, baik
pada aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan orang tersebut akan selalu
berupaya memahami individual siswa dengan secara keunikan sebagai subjek
belajar serta akan berupaya mengasah keterampilan dalam melakukan berbagai
teknik membimbing siswa.
B. Aksioma
Kata aksioma berasal dari Bahasa Yunani αξιωμα (axioma), yang berarti
dianggap berharga atau sesuai atau dianggap terbukti dengan sendirinya.[1] Kata ini
berasal dari αξιοειν (axioein), yang berarti dianggap berharga, yang kemudian berasal
dari αξιος (axios), yang berarti berharga. Di antara banyak filsuf Yunani, suatu
aksioma adalah suatu pernyataan yang bisa dilihat kebenarannya tanpa perlu adanya
bukti.
Para filsuf sering bilang aksioma adalah klaim terhadap sesuatu yang bisa terlihat
secara nyata tanpa memerlukan bukti dukungan. Belakangan aksioma dimaknai
sebagai postulat atau premis atau titik awal penalaran. Aksioma adalah premis yang
dapat diterima sebagai sesuatu yang benar tanpa kontroversi. Kita dapat memahami
aksioma atau postulat sebagai premis atau titik awal dari penalaran, termasuk
penalaran terhadap komunikasi antarpersonal, hal ini karena aksioma adalah premis
yang nyata yang dapat diterima sebagai benar tanpa kontroversi. Sebagaimana
digunakan dalam logika modern maka keberadaan aksioma dibuat untuk digunakan
dalam domain analisis tertentu termasuk domain komunikasi antarpersonal yang
berfungsi sebagai titik awal untuk menyimpulkan kebenaran relatif lainnya7
C. ASUMSI
Asumsi adalah anggapan, dugaan, pikiran yah dimiliki oleh seseorang,
sekelompok orang atau para ahli menganai suatu objek. Anggapan atau asumsi
muncul karena ada makna yang tidak secara jelas disampaikan dalam
pernyataan.aasumsi-asumsi ini menjadi penting karena kita menggunakan asumsi kita
sebagai panduan dari tindakan dan pengambilan keputusan yang kita lakukan.
Pengambilan keputusan bisa menjadi bencana apabila kita menerima asumsi menjadi
fakta tanpa menganalisisnya terlebih dahulu.
6
Wina Sanjaya & Andi budimanjaya. 2017. Paradigma Baru Mengajar. Jakarta: Kencana. Hal: 2-3.
7
Alo liliweri. 2015. Komunikasi Antarpersonal. Jakarta: Kencana. Hal: 124.
Lalu bagaimana kita bisa menganalisis sebuah asumsi:
1. Lihat keadaan sumber.
2. Temukan sumber utama.
3. Apakah sumbernya valid.8
8
William A. Cohen. 2008. A Class With Drucker. Jakarrta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hal: 34-35.